Ceritasilat Novel Online

Rahasia Pangeran Durjana 1

Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana Bagian 1


Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 10 dalam episode

Rahasia Pangeran Durjana

*****


Team Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)


*****

Pangeran Durjana menjadi sangat murka ketika tahu bahwa Bocah Bocah Iblis telah menjadi korban senjata pusaka Sang Maha Sakti Raja Gendeng.

Sedikitpun dia tidak menyangka bahwa senjata pemuda itu aneh dan dapat menyerang dengan sendirinya.

Benar-benar merupakan senjata pamungkas paling hebat yang belum pernah dia lihat seumur hidupnya.

Dengan segala kemarahan Pangeran Durjana yang saat itu berada di dalam bangunan aneh berbentuk sarang lebah yang diberinya nama Istana Kekuasaan dan Hasrat Cinta.

"Keparat gila itu datang dari sebuah negeri antah berantah. Kehadirannya membuat semua yang telah kurencanakan tidak dapat berjalan mulus. Aku benci kegagalan. Keinginan menjadi penguasa dari seluruh manusia yang ada di dunia ini tidak mungkin bisa menjadi kenyataan bila tidak dapat menyingkirkan pemuda gila itu secepatnya!"

Geram sang pangeran dengan tangan terkepal dan geraham bergemeletukan.

Pemuda berpakaian hitam berwajah tampan dan dapat merubah-rubah penampilannya sehendak hati itu kemudian bangkit berdiri. Dia memperhatikan kesegenap penjuru sudut ruangan yang serba merah dan terasa sunyi itu.

Tidak lama setelah mondar-mandir sambil memutar otaknya, Pangeran Durjana lagi-lagi membuka mulut dan berucap.

"Atas nama kebencian, amarah dan dendam kesumat, semua yang telah kurencanakan harus tercapai. Akan kuhabisi pemuda yang bernama Raja itu. Aku juga harus bisa merampas pedang aneh dari tangannya."

Pangeran Durjana lalu mengangkat wajah dan menatap ke langit-langit ruangan yang besar dan sejuk.

"Wahai... Mata Tunggal Mata Setan penguasa Tahta Sitaloka, apa pendapatmu tentang segala rencanaku ini?
kau punya rencana yang lebih baik, lekas katakan padaku karena aku tidak mungkin melakukan semua tugas ini seorang diri"

Setelah berkata begitu, sang pangeran lalu kembali duduk di kursi kebesarannya.

Kemudian dia menunggu sementara perhatiannya tertuju ke langit-langit ruangan.

Penantian tidak berlangsung lama.

Terdengar satu suara berdesir diikuti pula dengan terdengarnya suara pohon tumbang.

Selanjutnya di langit langit ruangan muncul satu cahaya merah terang seukuran telur.

Tak lama setelah suara bergemuruh selayaknya pohon yang tumbang lenyap dari pendengaran, cahaya di langit-langit ruangan nampak membesar dan memipih membentuk sebuah mata tunggal berwarna merah terang tanpa titik di bagian mata.

Itulah Mata Tunggal yang dikenal dengan sebutan Mata Setan dari Tahta Sitaloka yang selama ini selalu mendukung rencana sang pangeran.

Dia pun tersenyum melihat kehadiran Mata Setan.

Tanpa membuang waktu. Pangeran Durjana segera berkata.

"Bagus kau telah datang menghadap memenuhi panggilanku."

Sang Cahaya merah yang hanya berupa sebuah mata tanpa kepala dan anggota tubuh itu tiba-tiba berpedar membuat suasana ruangan yang sudah terang menjadi tambah benderang. Tidak lama ketika cahaya kembali meredup ke ukuran sebelumnya, Pangeran Durjana sayup sayup mendengar suara ucapan.

"Pangeran segala nafsu, pemuja kenikmatan duniawi dan segala keinginan. Yang Mulia penguasa Mahadiraja kegelapan selalu mendengar dan memberi dukungan kepadamu. Aku datang bukan karena panggilanmu. Aku menemuimu atas perintah Mahadiraja Kegelapan.... "

Mendengar itu Pangeran Durjana sunggingkan seringai buruk lalu cepat-cepat memotong.

"Apapun yang kau katakan aku tidak perduli, wahai mata-mata culas. Aku selalu menaruh hormat pada Mahadiraja Kegelapan tapi aku tak tunduk kepadamu."

"Aku mengerti,"

Sahut Mata Setan.

"Aku mendapat perintah untuk membantumu. Dan aku tahu pangeran saat ini menemui banyak kendala dalam mewujudkan segala keinginan dan citacita."

Pangeran Durjana menggerutu.

Dengan perasaan marah dia segera berkata.

"Aku tidak suka berpanjang kata. Banyak kesulitan datang diluar perhitunganku. Aku tidak punya pembantu yang dapat kupercaya. Dan kedua tua bangka yang kuutus untuk membantu menyelesaikan masalah nampaknya tak bisa kupercaya. Apa jawabmu?"

Tanya sang pangeran. Adapun dua orang yang oleh Pangeran Durjana sebutkan tak lain adalah sepasang suami istri, kakek dan nenek bernama Aki Kolot Raga dan Nini Burangrang.

Di tempat asalnya di timur mereka dikenal dengan sebutan Sepasang Naga Pamabokan.

"Mempercayai dua manusia bekas tawanan itu bukan pilihan bijak. Membunuh mereka jauh lebih baik dari pada memberi tugas mereka."

"Aku sudah tahu. Bila mereka tidak memenuhi perintah, akan ada yang datang untuk menghabisi mereka,"

Dengus Pangeran Durjana tambah kesal. Lalu lanjutkan ucapannya.

"Kuminta lupakan dua cecunguk tua tidak berguna itu. Sekarang katakan apa pendapatmu tentang Sang Maha Sakti bernama Raja Gendeng itu!"

Mata Tunggal bercahaya di langit-langit nampak mengedip lalu disusul dengan jawaban

"Pertama aku ingin mengingatkan padamu pangeran, Pemuda yang pangeran sebut keparat gila dari negeri antah berantah itu sesungguhnya bukan orang gila. Dia memiliki mu kesaktian hebat. Aku menyebut dia sebagai si segala bisa. Dia bisa apa saja. Dan dia bukan datang dari negeri antah berantah. Sesuai dengan penyelidikanku, pemuda itu datang dari sebuah pulau terpencil, terletak jauh di tengah laut selatan. Di pulau itu ada sebuah istana bernama istana Pulau Es. Dia adalah keturunan raja."

"Hmm, jadi si keparat itu masih keturunan raja tapi mengapa bertingkah seperti orang kurang waras?"

Geram Pangeran Durjana. Sang Mata terdiam tidak menjawab. Pangeran Durjana yang penasaran lanjutkan ucapan.

"Dia membunuh Bocah Bocah Iblis dan kau tahu anak-anak itu tak lain darah dagingku sendiri. Aku ingin menyingkirkannya serta merebut pedang dari tangannya.

"Pangeran! Menurut hematku, jika pangeran terus menerus berada di Istana Kekuasaan dan Hasrat Cinta rasanya sulit untuk melenyapkan semua musuh pangeran, apalagi untuk merampas pedang milik Sang Maha Sakti juga tidak mudah. Pedang itu hanya tunduk dan patuh pada Raja...."

"Pada Raja, apakah pemuda itu bernama Raja?"

Sentak Pangeran Durjana.

"Benar! Pangeran.Pemuda itu bernama Raja, tapi gurunya biasa memanggilnya Raja Gendeng. Dan perlu kiranya pangeran ketahui bahwa pedang di tangan pemuda itu memiliki jiwa. Karena pedang mempunyai jiwa yang bersemayam pada bagian hulunya maka dengan sendirinya bila Sang Maha Sakti terdesak sang pedang segera memberikan bantuan,"

Terang Mata Setan. Pangeran Durjana tertegun. Hatinya diliputi rasa heran dan kaget

"Ada pedang memiliki jiwa, bertingkah aneh seperti pemiliknya. Sungguh baru sekali ini aku mendengarnya,"

Gumam sang pangeran.

"Aku tidak berlebihan dalam bicara, semua sesuai dengan penyelidikanku. Pedang itu memang mempunyai jiwa, jiwa sakti yang dapat mengendalikan pedang sesuai dengan keinginan sang jiwa. Karena itu dengan usaha keras sekalil pun pangeran tak bakal bisa memiliki pedang itu."

"Apakah pedang itu punya nama?"

Tanya Pangeran Durjana sambil angguk-anggukkan kepala

"Ya, kalau tak salah pedang itu bernama Pedang Gila!"

Terang Mata Setan lagi membuat Pangeran Durjana tak kuasa menahan gelak tawa.

"Mengapa Pangeran tertawa?"

Tanya Mata Setan tak mengerti.

"Ha...ha ha... bagaimana aku tidak tertawa. Pemilik pedang bernama Raja Gendeng. Sedangkan senjatanya bernama Pedang Gila. Jadi aku bisa mengatakan mereka adalah mahluk sedeng, edan tidak Waras!"

Jawab sang pangeran terus saja mengumbar tawa. Tak lama setelah tawanya mereda Pangeran Durjana tiba-tiba ajukan pertanyaan.

"Jadi tidak mudah untuk mendapatkan Pedang Gila. Apakah kau punya pendapat yang patut aku lakukan?"

Tidak menunggu lama, Mata Setan menjawab.

"Menurutku lebih baik pangeran bersama semua kekuatan yang ada meninggalkan istana ini. Seranglah istana Malingping bunuh raja dan semua pengikutnya. Tapi jangan lupa... pangeran harus bisa tidur dengan kedua puteri sang prabu yang bernama puteri Arum Senggini dan puteri Nila Agung. Bila pangeran bisa bercinta selayaknya suami istri bersama kedua puteri itu. Tanpa ragu aku mengatakan kesaktian pangeran akan menjadi berlipat. Dan tak akan ada lagi manusia yang memiliki tingkat kesaktian setinggi apapun yang mampu mencelakai pangeran."

Penjelasan Mata Setan benar-benar membuat hati pangeran Durjana merasa senang. Sambil menyeringai sang pangeran berkata seakan ditujukan pada dirinya sendiri.

"Di balik kematian bocah-bocah itu ternyata ada kebaikan bagiku. Aku akan mengerahkan semua kekuatan untuk menyerang istana Malingping. Seperti sumpahku dulu semua keturunan prabu Kalijati ataupun keturunan Ratu Tria Arutama yang tak lain adalah bekas orang tuaku sendiri harus kubunuh."

"Bagus. Aku merasa senang mendengarnya, pangeran. Lalu perlu apa menunggu lebih lama lagi. Bukankah malam ini pangeran sudah bisa bergerak memimpin para bocah dan kawanan Lebah Kepala Hati Berbunga...?"

Pangeran Durjana menganggukkan kepala. Diapun lalu menambahkan.

"Tidak hanya Lebah Kepala Hati Berbunga yang kubawa serta. Aku juga akan membawa Lebah Pembunuh untuk menghabisi mereka!"

Tegas laki-laki itu

"Aku yakin ini akan berhasil."

"Dan aku akan menjadi matamu sebagai penunjuk dalam kegelapan sekaligus penasehat yang paling tepat."

"Terima kasih. Aku berterima kasih kepadamu juga pada maha diraja Kegelapan." kata Pangeran Durjana sambil bergegas pergi.


*****


Berjalan dengan mengendap-endap sambil dekap bagian bawah perut yang hanya terlindung pakaian dalam kulit. Sang Maha Sakti Raja Gendeng benar-benar merasa risih. Apa lagi saat itu angin bertiup kencang. Langit mendung dan hujan turun deras membuat pewaris tahta istana Pulau Es itu jadi kedinginan.

Setelah berjalan cukup lama di suatu tempat di bawah pohon yang rindang Raja hentikan langkahnya.

"Hujan tambah deras. Kilat menyambar petir menggeledek. Ah-ah-ah... mungkin para dewa tidak suka melihatku dalam keadaan yang seperti ini," kata Raja sambil menyeringai.
Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Para dewa tidak murka, hanya para dewi di kayangan merasa malu melihat paduka Raja Gendeng."

Tiba-tiba terdengar suara bisikan dari hulu pedang Gila yang tergantung dipunggungnya.

"Walah, biarkan saja. Keadaanku yang seperti ini bukan kemauanku sendiri. Kau juga melihat bocah-bocah Iblis... suruhan Pangeran Durjana itu yang telah mencabik habis pakaianku .Dan aku masih beruntung karena menggunakan ajian sakti perisai tubuh hingga membuat tubuhku menjadi alot, tak bisa dicakar tak mempan digigit .Kalau tidak, saat ini kemungkinan aku cuma tinggal tulang belulang tidak berguna dan nyawaku amblas gentayangan di emperan surga atau entah pula di emperan neraka."

Celetuk Raja.

"Mengapa di emperan neraka paduka?"

Tanya jiwa pedang melalui ngiangan.

Raja terkekeh.

Perlahan dia turunkan dua tangan yang dipergunakan untuk mendekap bagian perut sebelah bawah.

Enteng saja pemuda berambut gondrong yang kehilangan seluruh pakalannya akibat diserang Bocah Bocah Iblis itu menjawab.

"Aku merasa diriku ini bukan orang suci. Setiap orang kudengar ingin masuk ke sorga tanpa berusaha keras berbuat kebajikan. Karena aku rasa kebaikan yang kuperbuat belum banyak. Ya... jika para dewa menginginkan aku menempati emperan neraka juga sudah bagus. Siapa tahu di sana banyak gadis-gadis cantik, orang ternama dan makanan yang serba enak. Jadi menurutku dari pada berebut makanan di surga, di emperan neraka pun tidak apalah. Ha ha ha..."

"Yang mulia paduka Raja Gendeng."

Lagilagi sang Jiwa yang bersemayam dalam hulu pedang memberi bisikan.

"Di neraka dan emperannya saya yakin paduka dengan mudah bisa menemukan gadis-gadis yang cantik"

"Bagaimana kau bisa berkata begitu wahai jiwa sahabatku?"

Tanya Raja tak mengerti.

"Iya... Soalnya semasa di dunia kebanyakan yang suka menukar diri dengan sejumlah harta benda adalah gadis cantik, Kalau gadisnya jelek mana ada laki-laki yang mau."

"Hus... Jangan bicara sembarangan. Lebih baik kau ikut memikirkan diriku yang malang ini. Aku tak mungkin bisa keluar dari hutan ini bila aku tidak bisa mendapatkan seperangkat pakaian sebagai pengganti pakaianku yang hancur "

"Paduka, bukankah saya telah katakan. Paduka berjalan saja lurus ke depan. Nanti pakaian bisa paduka dapatkan."

"Jiwa. Aku tahu pulau es udaranya sepuluh kali lipat lebih dingin dari udara disini. Tapi lihatlah tiupan angin begini kencang, pandangan mataku tak kuasa menembus kepekatan kabut yang muncul di sekitar sini. Lagi pula apa nanti kata dunia bila melihatku dalam keadaan seperti ini?"

"Dunia tidak pernah berkata apa-apa paduka. Di hutan ini hanya didiami sekawanan monyet. Monyet jantan dan monyet betina. Tapi paduka tak perlu merasa malu pada monyet-monyet betina itu karena mereka pun tidak berpakaian seperti paduka."

"Kau sungguh keterlaluan. Aku tidak mau lagi bicara. Aku mau berjalan ke depan,"

Ujar Raja Gendeng.

"Pandangan mata tertutup kabut, bagaimana kalau paduka tersesat. Nanti saya yang disalahkan lagi."

Raja diam tidak menghiraukan ucapan jiwa dalam pedang. Sebaliknya dia angkat ke dua tangannya tinggi-tinggi. Sepuluh jemari tangan tersusun rapi lalu dua tangan yang saling bertautan diletakkan di atas kepala. Bersamaan dengan itu, Sang Maha Sakti membaca sebuah mantra aji penolak hujan.

Ketika mulut yang berkemak-kemik terkatup rapat tanpa keraguan Raja segera langkahkan kaki lurus ke depan. Satu pemandangan yang sulit dipercaya pun lalu terbentang di depan mata. Tiba-tiba saja sejarak satu tombak di sebelah kiri dan sebelah kanan curah hujan yang mengucur deras dari langit seperti menyibak seolah memberi jalan pada Sang Maha Sakti untuk melewati jalan setapak itu. Walau di kanan kiri Raja hujan terus mengguyur namun tidak setetespun air hujan yang menyentuh tubuh pemuda itu.

"Hyang Jagad Batara. Kuasa dewa penuh dengan limpahan rahmat kebijaksanaan. Hujan menyingkir memberi jalan, angin berputar berhembus ke arah yang lain sungguh saya gembira karena paduka Raja ternyata diberkahi berbagai bekal ilmu berguna,"

Kata Jiwa dalam pedang memuji.

Raja sedikitpun tidak menanggapi.

Dia terus saja melangkah lurus sebagaimana yang diperintahkan jiwa pedang gila.

Setelah melewati semak belukar dan bebatuan licin berlumut, kini Raja terpaksa menuruni sebuah bukit yang ditumbuhi tanaman merambat dan batu-batu aneh berwarna putih terang .Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tarap sempurna Raja berjalan melewati bukit dengan dua tangan dijunjung di atas kepala.

Sekali kaki dihentakkan.

Wuus!

Wuust!

Sekejab kemudian Raja telah sampai di bawah bukit.

"Paduka kita sudah sampai..." kata sang Jiwa memberi tahu.

Sambil tetap menjunjung dua tangan di atas kepala Sang Maha Sakti celingukan memperhatikan keadaan di sekitarnya.

"Tempat yang aneh."

Gumam pemuda itu. Perlahan dua tangan di atas kepala diturunkan

"Tempat aneh bagaimana maksud paduka?"

Bertanya sang jiwa tak mengerti. Raja busungkan dada lalu menghirup nafas dalam-dalam. Setelah itu baru membuka mulut menjawab pertanyaan sang jiwa.

"Aku mengendus hawa kematian. Aku merasakan roh-roh yang tersesat masih gentayangan di tempat ini. Dan bau aneh ini...."

Gumam Raja. Suaranya begitu lirih namun cukup didengar oleh sang jiwa.

"Saya tak mengendus aroma apa-apa. Terkecuali bau ketiak paduka yang asem."

Raja terkejut dan segera mencium ketiaknya di sebelah kiri dan sebelah kanan. Kesudahannya Raja tersenyum.

"Hmm... kau benar. Bau ketiakku sedikit asem. Tapi aku yakin bukan ketiak ini yang menjadi pangkal sebab. Sejak kecil hingga sekarang keringatku tidak menebar bau kemenyan. Tapi yang terendus olehku saat ini adalah bau kemenyan."

"Sudah.... jangan terlalu dipikirkan paduka. Baru mencium bau kemenyan saja paduka sudah ribut. Lihat saja ke samping itu!"

"Ke samping?"

Desis Raja.

Seketika dia balikkan badan sambil berdiri tegak dia menatap lurus ke depan.

Dia tertegun ketika mendapati di depan sana terdapat sebuah lubang besar setinggi orang berdiri.

Bagian depan lubang terlindung akar dan daun tumbuhan merambat menjuntai.

Sementara di bagian dalam terlihat gelap gulita.

"Apakah kau yakin di dalam gua itu tersimpan pakaian yang aku butuhkan?!"

Tanya Raja.

"Ya. Saya telah melihat ke dalam. Tapi paduka harus hati-hati"

Raja tersenyum.

"Aku tidak mengerti mengapa ada orang yang begitu berbaik hati menyimpan pakaian di tempat seperti ini?"

"Wah itu saya tidak tahu. Saya melihat di dalam gua ada kerangka manusia dalam keadaan duduk bersila selayaknya orang yang sedang bertapa."

"Heh, apa?"

Sentak Raja sambil berjingkrak kaget.

"Kau melihat orang bertapa sampai mati. Gila sekali."

"Saya tidak mengatakan orang itu tengah bertapa. saya hanya menemukan tengkorak sedang duduk bersila...."

"Jadi kau menganjurkan aku memakai pakaian orang yang sudah mati?"

Kata Raja. Matanya mendelik menunjukkan rasa tidak senang. Buru-buru sang jiwa menjawab.

"Jangan berpikir buruk dulu. Pakaian itu sama sekali bukan pakaian yang melekat di tubuh kerangka tengkorak. Saya melihat seperangkat pakaian bagus di dalam sebuah peti hitam tak jauh di samping kerangka bersemedi."

"Begitu? Hmm, apakah kau mau mengambilkan pakaian itu untukku?"

Tanya Raja sambil melirik ke arah hulu pedang di punggungnya.

"Mengapa saya. Paduka yang butuh maka paduka pula yang harus mengambilnya."

"Tampaknya aku tidak punya pilihan. Tapi gua ini sangat gelap,"

Keluh Raja setelah sempat berpikir lama. Sang jiwa terdiam.

Dia tahu bagian dalam gua memang sangat gelap gulita.

Sebagai mahluk yang hanya terdiri dari jiwa dan tidak terikat raga dia dapat pergi kemana pun tanpa dilihat orang lain. Sementara Raja walau memiliki berbagai ilmu kesaktian yang hebat namun berada dalam kegelapan membuatnya sulit.

Selagi jiwa dalam hulu Pedang Gila berpikir mencari cara yang dianggapnya paling tepat pada saat ini tiba-tiba saja terdengar suara erangan yang kemudian disusul oleh suara raungan panjang.

Sang Maha Sakti Raja Gendeng tersentak kaget.

Dia segera balikkan badan dan menatap ke arah datangnya suara.

Pemuda ini jadi tercengang begitu melihat di depan sana sejarak empat tombak dari tempat Raja berdiri entah dari mana datangnya muncul satu mahluk besar berbulu hitam pekat setinggi dan sebesar anak kuda dewasa.

Mahluk berbulu lebat berekor panjang menatap Raja sambil menyeringai memperlihatikan gigi-giginya yang runcing tajam.

Lidah sang mahluk menjulur keluar masuk. Melihat kehadiran sang mahluk yang memandangnya dengan sorot mata tajam menusuk. Raja jadi tertegun.

Setelah menelan ludah basahi tenggorokannya yang mendadak kering dengan suara perlahan dia berkata pada sang jiwa pedang.

"Seumur hidup aku belum pernah melihat ada anjing sebesar ini. Besarnya hampir sama dengan kuda. Apakah mungkin mahluk satu ini adalah penjaga gua.
"

"Paduka Raja Gendeng. Anjing itu nampaknya anjing betina. Mungkin penjaga gua ini. Tapi bagaimana kalau ternyata dia adalah mahluk jejadian," sahut sang jiwa melalui ilmu menyusupkan suara.

"Jejadian bagaimana maksudmu?"

Tanya Raja tak mengerti.

"Ingat paduka. Bukankah waktu bertemu dengan Dewa Mabok. Beliau mengatakan paduka bakal bertemu dengan seorang gadis berpenampilan serba hitam? Bisa saja mahluk ini adalah gadis yang beliau maksudkan namun muncul dalam rupa dan ujud yang berbeda."

Terang sang jiwa. Terkejut dan sadar akan keadaan diri yang hampir polos, Raja tiba-tiba mendekap bagian bawah perutnya. Melihat Raja jadi salah tingkah dan tarsipu malu. jiwa pun berujar.

"Bagus. Yang itu memang harus ditutupi paduka, Biar paduka tidak menjadi malu dan mahluk berujud anjing itu ikut menanggung malu."

"Bukan itu yang merisaukan hatiku. Aku takut kalau tidak kulindungi begini. Bagaimana bila tiba tiba dia menerkamku dan berusaha merebut kantong menyanku. Padahal kau sendiri tahu aku cuma punya satu kantong bawaan sejak lahir," kata Raja risau.

Terdengar suara tawa mengekeh. Dan tawa sang jiwa tentu saja hanya Raja sendiri yang dapat mendengarnya.

"Auuung...."

Tiba-tiba sang anjing hitam dongakkan kepala sambil keluarkan lolong panjang menggidikkan. Raja terkesima. Tapi kemudian dia segera bergerak mundur mendekati mulut gua. Dengan sikap waspada dari tempatnya berdiri pemuda itu terus memperhatikan tapi sang anjing besar ternyata tidak menunjukkan sikap hendak menyerang. Sebaliknya binatang itu malah ulurkan kaki depan lalu letakkan kepala di atas kedua kaki sedangkan dua matanya berkedap-kedip.
Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Lidah dijulur keluar menunjukkan sikap bersahabat.

"Paduka! Lihatlah... binatang itu sama sekali tidak bersikap memusuhi. Tingkahnya bersahabat. Paduka, bagaimana bila kau mengajaknya bicara? Siapa tahu dia mengerti bahasa manusia,"

Ujar sang jiwa memberi saran.

"Apakah kau sudah gila. Kau menyuruhku mengajak bicara binatang?"

Dengus Raja, suaranya perlahan namun kesal. Didamprat begitu rupa, sang jiwa sama sekali tidak merasa tersinggung. Sebaliknya dia kembali memberi bisikan.

"Saya tidak gila paduka Raja Gendeng. Menurut riwayat dan nama seharusnya paduka yang gila. Tapi untuk apa kita mengungkit segala kekurangan diri. Lebih baik paduka cari pakaian itu. Saya menyertai gusti dan mudah mudahan Yang Maha Kuasa memberikan kelimpahan serta rahmat bagi paduka juga pada saya."

Mendengar ucapan sang jiwa, Raja jadi berpikir apakah mungkin segala yang dikatakan mahluk penghuni hulu pedang itu benar adanya?

Apakah benar sang anjing bisa bicara atau setidaknya mengerti setiap kata yang diucapkannya.

Terdorong oleh rasa ingin tahu sambil menekan bagian bawah perut tangan kiri. Raja palingkan kepala dan menatap ke arah anjing besar.

Dengan hati diliputi keraguan akhirnya dia berucap.

"Wahai mahluk hitam. Aku tidak tahu apakah kau mahluk sungguhan ataukah cuma anjing jejadian. Apa pun yang membuatmu hadir di tempat ini. Kuharap kau tidak membawa maksud tertentu yang membuatku jadi repot. Aku membutuhkan seperangkat pakaian yang pantas saat ini. Dan menurut sahabatku yang tidak pernah menunjukkan diri di dalam gua ada pakaian yang kubutuhkan. Aku ingin mengambilnya. Tapi jika kau ternyata penjaga sekaligus pelindung pakaian itu aku berharap kemurahan hatimu untuk memberikan pakaian itu padaku!"

Setelah berkata begitu, Raja pun terdiam menunggu. Sang anjing geleng kepala sambil kedap kedipkan matanya. Melihat ini karuan saja Raja berucap ditujukan pada sang jiwa.

"Wah, dia geleng kepala. Dia tidak mengijinkan kita mengambil pakaian itu."

"Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Siapa tahu mahluk itu lehernya sedang sakit dan pegal paduka. Gusti harus bersabar. Lihatlah... sekarang dia bangkit berdiri!"

Ujar sang jiwa menanggapi..

Kembali menatap ke arah mahluk hitam.Raja memang melihat anjing besar bangkit berdiri. Kemudian tanpa mengeluarkan suara apa-apa mahluk ini berjalan lurus menghampiri mulut gua.

Ketika berjalan sang mahluk sedikit pun tidak menoleh atau berani menatap ke arah Raja.

Agaknya dia merasa malu melihat Raja dalam keadaan seperti itu. Saat anjing itu lewat di depan Raja, diam diam dia melangkah mundur sambil alirkan tenaga sakti ke bagian kedua tangan dan kakinya.

Raja berpikir bila sang anjing menyerangnya dengan tak terduga.

Dia dapat membela diri dengan melepaskan pukulan. Dugaan pemuda ini ternyata meleset.

Dengan sikap acuh anjing itu terus berjalan mendekat di depan gua.

Sesampainya di depan mulut gua sang anjing ulurkan kepala lebih ke depan.

Seiring dengan itu dari mulutnya terdengar suara lolongan tiga kali berturut-turut.

Belum lagi suara lolongannya yang lirih memiluhkan lenyap.

Tiba-tiba dia gerakkan kaki depan sebelah kanan.

Kaki terjulur dan disentuhkannya ke atas batu bundar yang menyembul menonjol di atas tanah.

Kreek!

Raja yang terus memperhatikan gerak gerik binatang itu belalakkan matanya begitu melihat kaki anjing menyentuh batu menonjol itu, tiba-tiba saja bagian dalam ruangan gua yang tadinya gelap kini berubah menjadi terang.

"Dia tidak bermaksud jahat.Ternyata dia berniat membantuku," batin Raja.

Kemudian pada sang anjing buru-buru Raja bungkukkan badan menjura hormat sambil berkata.

"Melihat dirimu aku yakin kau bukanlah anjing biasa. Tapi siapapun dirimu ini, aku berterima kasih atas segala budi pertolongan yang kau berikan."

Anjing besar keluarkan suara menggerung lirih.

Dia balikkan badan lalu melangkah menjauh tinggalkan mulut gua.

Raja kemudian melihat sang anjing kembali dan mendekam di tempat pertama memunculkan diri.

Dia terus mengawasi namun tidak lagi keluarkan suara apapun.

Sementara itu setelah ruangan di dalam gua berubah menjadi terang ,jiwa yang bersemayam dalam pedang Gila kemballi memberi bisikan.

"Paduka. Anjing itu nampaknya tahu banyak tentang gua ini. Niatnya jelas sekali ingin membantu paduka. Tunggu apalagi sekarang masuklah ke gua itu ambil pakaian yang paduka butuhkan!"

"Hmm, baiklah."

Sambil menghirup napas dalam-dalam Raja menyahuti.

"Mahluk itu sudah menolong."

"Tapi ada yang aneh paduka."

"Aneh apanya."

"Yang aneh maksud saya adalah penampakan paduka Raja saat ini."

Ucapan sang Jiwa membuat Raja perhatikan diri sendiri.

"Keadaanku tidaklah aneh, hanya memalukan sedikit. Yang aneh mengapa mahluk itu tidak mengantarku, mengapa dia tidak ikut ke dalam gua?"

"Ah paduka ini bagaimana. Anjing itu saya lihat kelaminnya betina. Tentu saja dia merasa malu melihat paduka. Saya rasa paduka tak perlu curiga. Yang paduka butuhkan cuma mengambil pakaian yang dibutuhkan setelah itu baru pergi."

Raja manggut-manggut tanda setuju.

Tanpa banyak membuang waktu lagi akhirnya dia melangkahkan kaki memasuki mulut gua. Tidak sulit untuk mencapai bagian dalam gua itu.

Raja bahkan tidak harus membungkuk karena bagian pintu dan ruang dalam gua amat tinggi.

Raja hanya perlu menyingkirkan akar dan tetumbuhan merambat yang menjuntai menutupi bagian depan gua. Ketika Sang Maha Sakti Raja Gendeng sampai di bagian dalam gua, penciumannya yang tajam mengendus bau harum semerbak bercampur dengan bau pesing.

Aroma yang bercampur aduk itu membuat Raja terpaksa menahan nafas.

Sambil terus melangkah ke bagian dalam gua yang ternyata sangat luas, pemuda itu terus memperhatikan keadaan di sekelilingnya .Sekarang dia tahu cahaya putih benderang yang menerangi gua ternyata bukan berasal dari nyala pelita ataupun obor.

Cahaya yang menerangi ruang gua berasal dari bebatuan putih seperti intan yang banyak bermunculan di bagian dinding dan langit-langit gua itu.

"Jiwa... kau lihat sendiri. Ruangan ini nampak bersih seperti ada orang yang merawatnya setiap hari. Aku menaruh curiga tidak tertutup kemungkinan tempat ini ada penghuninya."

"Mungkin yang menghuni gua ini adalah anjing yang ada diluar tadi paduka. Tak usaha banyak pertimbangan. Lihatlah begitu banyak pakaian digantung di sudut sebelah kiri gua itu. Lekas pilih dan ambil yang ukurannya pas buat paduka."

Tanpa bicara Raja menatap ke arah yang dimaksudkan sang jiwa.

Dia melihat ada beberapa pasang pakaian bergelantungan di dinding gua.

Pakaian itu terdiri dari beberapa macam warna.

Tapi setelah didekati ukurannya ada yang kecil, besar dan besar sekali.

"Pakaian ini bukan cuma ukurannya saja yang tidak sesuai dengan tubuhku, warnanya juga terlalu menyolok. Siapa yang meletakkan pakaian itu di sini?"

Kata Raja ditujukan pada sang jiwa.

Belum lagi mahluk alam gaib penghuni pedang sempat menjawab.

Tiba-tiba terdengar suara deru hebat seperti suara gemuruh angin.

Raja terkesiap.

Keheranan menyelimuti dirinya.

Dia memang mendengar suara angin menderu namun tidak merasakan ada angin berhembus di dalam gua.

Belum lagi lenyap keheranan dalam hati Sang Maha Sakti.

Tiba pula dia mendengar suara gemercik air seperti di pancuran.

Tidak ada pancuran air di dalam gua itu.

Dia juga tidak melihat ada air menetes di langit-langit goa.

Tapi sekonyong-konyong nafas pemuda ini tersedak begitu dia mengendus bau busuk menyengat disertai bau pesing luar biasa.

Pemuda ini jadi kelabakan.

Dadanya terasa sesak seperti mau meledak.

Pandangan berkunang-kunang, kepala sakit berdenyut dan perut bergelung mual seperti diaduk-aduk.

Terhuyung-huyung sambil pegangi kepalanya dengan tangan kanan pemuda itu jatuhkan diri bersandar pada dinding goa.

"Bau pesing dan bau busuk ini membuat aku tak kuat berada disini lebih lama." keluhnya.

Raja lalu memijiti keningnya yang terus berdenyut. Kemudian pada jiwa, melalui ilmu menyusupkan suara dia berkata.

"Cepat kau cari tahu dimana pancuran itu berada. Selain itu kau juga harus mencari tahu mahluk apa yang menebar bau pesing sehebat ini?"

"Paduka Raja Gendeng. Yang paduka dengar barusan tadi bukan suara air pancuran. Tapi suara seseorang yang sedang kencing. Kencingnya tidak di sini tapi berada jauh di suatu tempat sejarak dua hari perjalanan berkuda."

Terang mahluk di hulu pedang itu. Raja tercengang seolah tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Apa? Ada orang buang hajat kecil suaranya bergemuruh seperti pancuran besar. Dan kau mengatakan orang itu tidak buang hajat disini tapi disebuah tempat jauh malah sejarak dua hari perjalanan berkuda. Betul-betul edan. Kuharap kau tidak bicara ngaco, jiwa."

Geram Raja penasaran.

"Saya tidak mengada-ada paduka. Memang demikian keadaannya."

"Orang yang kencing itu memangnya sebesar dan setinggi apa?"

"Saya hanya bisa menduga, paduka. Orangnya mungkin hampir setinggi langit dan sebesar gunung."

"Walah! Apa mungkin ada orang setinggi dan sebesar itu? Lagi pula apa yang dia makan? Mengapa baunya sepesing ini?"

Kata Raja sambil geleng kepala.

"Saya rasa makanan utamanya pete dan jengkol, paduka. Lalu minumannya air kencing selusin kuda!"

Jawab jiwa asal-asalan.

Mendengar itu Raja tak kuasa menahan tawa. Tapi belum lagi tawanya reda.

Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba suara menderu lenyap begitu juga dengan suara gemercik air dan bau pesaing menyengat ikutan lenyap.

Sekali lagi Raja dibuat tertegun. Dengan mulut terganga kehilangan tawanya Sang Maha Sakti menatap ke arah mulut gua.

Tidak seorang pun muncul di sana.

Suasana sunyi mencekam.

Tapi kesunyian tidak berlangsung lama.

Raja pun kemudian tertegun begitu sayup-sayup mendengar suara ngiang di telinga kanannya.

"Anak manusia yang datang dari sebuah pulau dingin. Kalau tidak tahu latar dan penyebab yang membuatmu nyaris telanjang seperti itu. Kalau tidak mengingat di luar sana bakal ada kekacauan besar dan kau sangat dibutuhkan untuk membantu mengatasi semua kekacawan itu. Jangankan sampai bicara ngaco, sembarangan di dalam tempat peristirahatan sesepuh Tetua Ageng Datu Katu Lampa. Menginjakkan kaki di pintu gua itu pun kau dan mahluk yang bersemayam dalam hulu pedangmu bisa dihukum sampai mampus. Dan demi kemuliaan dan kemurahan hati para sesepuh, serta Tetua Ageng Datu Katu Lampa yang telah berpulang. Hari ini sebagai penjaga gua Kepantasan Penutup Rasa Malu, aku Malae Daeng Pasir Tujuh Angin yang juga dikenal dengan sebutan Lindu Cal Bumi memberimu maaf dan mengampuni selembar Jiwamu."

"Astaga! Tak kusangka tempat ini rupanya berpenjaga. Dan penjaga itu siapapun dia pastilah memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi sekali. Dia bicara melalui ilmu mengirimkan suara. Dia tidak berada di sekitar gua ini. Tapi dia tahu aku tidak sendiri. Selama aku meninggalkan pulau Es. Rasanya belum pernah seorangpun yang tahu di dalam pedang gila ada jiwa yang bersemayam. Tapi orang ini sungguh luar biasa."

Batin Raja.

Sadar dirinya telah melakukan kesalahan memasuki gua tanpa seizin penjaganya. Raja cepat rangkapkan dua tangan di depan dada.

Dia lalu jatuhkan diri berlutut menghadap ke arah mulut gua.

Dengan kepala menunduk sebagai tanda penghormatan Sang Maha Sakti membuka mulut dan berucap.

"Orang tua siapa pun dirimu. Mohon maafkan aku karena telah memasuki tempat peristirahatan Tetua Ageng Datu Katu Lampa tanpa seizinmu."

"Ha ha ha. Ternyata walau dirimu seorang penerus tahta kerajaan kau pemuda berhati polos dan cukup tahu diri. Dibalik sikapmu yang ugal ugalan dan kerap berlaku sekehendak hati ada kejujuran dan kemuliaan dalam tujuan hidupmu. Aku telah memberimu maaf.Bukankah kau telah mendengarnya."

"Ya, aku sudah mendengarnya orang tua."

Jawab Raja tanpa berani mengangkat wajahnya.

Lagi-lagi terdengar suara tawa mengiang di telinga pemuda itu.
"Saat ini kau tidak melihatku, aku bahkan berada sangat jauh dari tempat dirimu berada. Dari mana kau tahu bahwa aku seorang tua?"

Walau merasa bersalah memasuki gua tanpa seizin penjaganya.

Sambil menahan senyum pemuda itu berucap.

"Saya memang tidak melihatmu. Aku tak melihat rupamu bagus atau jelek. Namun dari tarikan nafas yang berat seperti tersangkut ditenggorokan saya yakin engkau sudah pantas kiranya dipanggil kakek."

"Pemuda gelo! Tapi apa yang kau katakan itu memang benar adanya. Sekarang kau dan jiwa dalam pedangmu itu dengar baik-baik."

"Aih, dia juga tahu tentang aku. Padahal aku tak terlihat tapi dia bisa melihatku. Malu aku jadinya paduka,"

Bisik Jiwa.

"Kurasa bukan cuma kau. Aku yakin dia juga bisa melihat setan,"

Sahut Raja.

"Kalian dengar. Mengapa kalian jadi sibuk sendiri selagi aku hendak bicara,"

Damprat suara mengiang menunjukkan rasa tidak sukanya.

"Bb... baiklah, maafkan kami." kata Raja.

"Berdiri. Kau tak perlu berlutut seperti orang tolol begitu? Lagi pula aku tidak berada dihadapanmu."

Kembali terdengar suara ngiang mendamprat membuat Raja cuma bisa tersenyum namun cepat bangkit sebagaimana yang diperintahkan kepadanya. Setelah Raja berdiri tegak lagi-lagi terdengar suara mengiang di telinganya.

"Aku tidak ingin kau berlama-lama berada di dalam gua itu. Karena aku tahu kau membutuhkan pakaian. Kau boleh saja mengambil seperangkat pakaian yang kau butuhkan. Pilihlah pakaian yang bergelantungan di dinding."

Tentu saja Raja jadi tercengang

"Pakaian itu? Kujamin tak satupun yang pas ditubuh saya. Lagi pula baunya pesing sekali!"

"Tentu saja. Pakaian yang berwarna kuning besar luar biasa adalah pakaian mbah buyutku. Orangnya sudah pikun. Tapi siapapun yang memakai pakaian itu bisa membuatnya terbang seumur hidup."

"Aku bukan burung, aku tak perlu terbang,"

Sahut Raja.

"Ya. Aku tahu, pedang di punggungmu itu bisa membuatmu terbang."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

Tanya Raja kaget. Begitu juga halnya dengan Jiwa dalam hulu pedang

"Bagiku itu persoalan mudah."

Sahut Malae Daeng Tujuh Angin.

"Jadi kau tahu segalanya tentang diriku?"

"Tahu atau tidak. Bagiku tidak penting lagi. Sekarang bagaimana, apa kau mau ambil pakaian yang berwarna merah atau yang biru?"

Raja memperhatikan dua perangkat pakaian yang disebutkan oleh Malae Daeng Pasir Tujuh Angin

"Pakaian yang berwarna merah memang agak kecilan. Tapi rasanya itu hanya cocok untuk perempuan. Sedangkan pakaian yang biru memang pakaian laki-laki.Rasanya pas untuk orang yang berbadan gendut!"

Ujar Raja.

"Yang kau katakan benar. Pakaian merah memang pakaian perempuan. Pemiliknya adalah seorang nenek sakti berjuluk Gila Semusim. Bila kau memakai pakaian itu kau tak pernah mengalami dan merasakan susah hati. Kau terus akan bergembira sepanjang hari sepanjang tahun"

"Pantas saja dia dijuluki Gila Semusim. Aku tak sudi menerima pakaian itu. Aku tidak mau ikutan menjadi gila sungguhan."

Raja kemudian terdiam. Setelah sempat berplkir dia pun ajukan pertanyaan.

"Bagaimana dengan pakaian yang berwarna biru?"

Sebagai jawaban lagi-lagi terdengar suara bisikan.

"Seperangkat pakaian biru adalah pakaian keramat. Siapa saja yang memakainya bisa membuatnya awet muda umurnya panjang tidak mati mati. Bila yang memakainya orang jelek dia bisa berubah menjadi tampan. Banyak wanita nantinya jatuh hati padanya, terutama para janda dan wanita paruh baya. Segala dedemit, kalongwewe, hantu jembalang bahkan sampai kuntilanak liang kubur bakal tergila-gila padanya. Malah binatang buas sekalipun menjadi tunduk padanya...!"

"Sudah-sudah! Aku tidak mau dengar. Aku tidak mau dikejar segala wanita dan mahluk kesasar,"

Potong Raja. Pemuda itu menghela nafas. Dia ingat dengan ucapan Jiwa. Tak heran Raja buru-buru menyambung ucapan.

"Aku ingin pakaian yang ada dalam peti hitam."

Ucapan yang tidak disangka-sangka itu membuat kaget sang penjaga gua yang saat itu berada di sebuah tempat sejauh satu hari perjalanan.

"Menginginkan apalagi berhasrat ingin memiliki pakaian dalam peti hitam bukan perkara mudah. Pakaian itu adalah milik Tetua Ageng Datu Katu Lampa."

"Bukankah orang yang kau maksudkan jenazahnya hanya tinggal seonggok belulang dalam keadaan duduk bersila tak jauh dari peti itu?"

Tanya Raja sambil diam-diam melirik ke arah kerangka tengkorak menyender di dinding sebelah kanan gua.

"Benar. Pakaian sakti dalam peti hitam itu bernama Kabut Api Angin.Siapa saja yang memakai bisa menjadi kebal dari serangan, tahan bacokan dan pukulan sakti juga menjadi kebal terhadap racun terjahat sekalipun."

Penjelasan Malae Daeng Pasir Tujuh Angin ini membuat wajah Raja jadi sumringah. Dia bahkan kegirangan.

"Itu yang kucari. Rasanya aku ingin memakainya!"

Kata Raja berterus terang.

"Seperti yang kukatakan untuk memiliki pakaian itu ada satu syarat yang harus kau penuhi disuatu saat kelak. Syarat itu sangat berat."

"Apapun syarat yang ditetapkan aku akan menenuhinya. Katakan saja apa pun syaratnya. Mudah-mudahan atas izin dan bantuan Yang Maha Kuasa aku bisa memenuhinya."

"Paduka Raja. Jangan suka menyanggupi suatu perkara bila kita belum tahu benar syarat apa yang harus paduka penuhi," kata Jiwa memberi ingat

"Kau tenang saja. Aku harus mendapatkan pakaian secepatnya. Aku sudah tidak betah bertelanjang diri seperti orang hutan begini. Aku mau pakaian itu"

"Kalau paduka sudah berkata begitu. Saya tidak mau ikut campur. Apapun akibatnya kelak paduka sendiri yang bakal menanggung" kata Jiwa mengalah.

Raja mengangguk sambil cibirkan mulut

"Kau sudah mendengar nasehat mahluk halus dalam pedangmu. Tentang syarat-syarat untuk memiliki pakaian itu tidak harus kau penuhi hari ini. Disuatu saat kelak pada waktu yang tepat aku akan mengatakannya padamu,"

Terang Malae Daeng Pasir Tujuh Angin.

"Jadi aku dizinkan untuk memakai pakaian itu?"

Tanya Raja dengan perasaan lega.

"Begitulah. Namun satu hal aku harus pastikan. Dan kau harus pula menjawabnya dengan jujur."

"Katakan saja apa pertanyaanmu?"

"Aku ingin tahu apakah sampai hari ini kau masih seorang perjaka?"

Karuan saja pertanyaan itu membuat Sang Maha Sakti berjingkrak kaget

"Apa hubungannya antara pakaian dan keperjakaan?"

Tanya Raja bingung tak mengerti.

"Ketahuilah, Tujuh manusia sakti berjiwa pilihan yang masih berhubungan dengan tetua Ageng Datu Katu Lampa pernah menjajal pakaian itu.Tapi semuanya mampus hangus terbakar karena mereka sudah tidak perjaka. Bagaimana dengan dirimu? Kau bisa menjamin dirimu masih perjaka?"

Tanya Malae Daeng dari kejauhan.

"Jiwa, menurutmu apakah aku masih perjaka?"

Bisik pemuda itu sambil melirik ke arah pedang di punggungnya

"Paduka. Soal perjaka tidaknya paduka Raja mana saya tahu. Paduka ingat-ingat saja sendiri, apakah paduka pernah menggunakan benda pusaka yang satu Itu untuk menyerang wanita? Atau apakah pernah rajawali keramat yang paduka miliki terbang menuju ke sarangnya.."

Sahut Jiwa sambil menahan tawa. Sang Maha Sakti menggeram mendengar jawaban Jiwa yang dia anggap tidak memuaskan itu

"Mahluk sialan keparat. Bicaramu ngaco. Sungguh kau tidak bisa diajak berunding!"

Dengus Raja. Lalu sambil bersungut-sungut dia gelengkan kepala. Selanjutnya dengan penuh keyakinan pula dia menjawab.

"Aku masih perjaka. Aku perjaka ting-ting, eeh aku perjaka tong-tong. Aku belum pernah merasa dekat apalagi jatuh cinta pada gadis manapun."

"Bagus. Jika terbukti kau berdusta, nanti bakal kau tanggung sendiri akibatnya. Sekarang mohonlah pada tetua Ageng Datu Katu Lampa. Semoga beliau yang telah tenang di alam peristirahatannya memberi restu dan pakaian sakti yang beliau buat kelak banyak memberi manfaat kepadamu!"

Tegas Malae Daeng Pasir Tujuh Angin .Tanpa ragu Raja lalu melangkah kehadapan Sosok yang duduk bersemedi yang cuma tinggal tulang belulang dan tengkorak itu.

Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda ini lalu jatuhkan diri berlutut di depan kerangka tengkorak, rangkapkan kedua tangan di depan dada.

Dengan kepala tertunduk dalam Sang Maha Sakti Raja Gendeng dengan suara bergetar berucap,

"Wahai orang tua.Semoga berkah Yang Kuasa selalu menyertaimu dan kami semua. Aku Raja Gendeng, orang jelek yang biasa disebut Sang Maha Sakti pewaris istana pulau yang dingin mohon restumu. Perkenankan diriku memakai pakaian sakti Kabut Api Angin milikmu. Aku harap engkau tidak marah, aku mohon engkau memberi izin. Engkau ridho, aku pun senang."

Baru saja Raja selesai mengucapkan katakata seperti itu, tiba tiba terdengar suara berdesir dan gemuruh di dalam peti hitam.

Pemuda ini segera bangkit dan cepat-cepat menatap ke arah peti hitam yang berada satu tombak di depan sebelah kirinya. Belum lagi keheranan yang menyelimuti hati Raja lenyap, Suara deru tambah menjadi.

Kreek!

Penutup peti terbuka.

Dari balik peti yang terbuka muncul kabut pekat berwarna putih.

Kabut bergulung-gulung memenuhi seluruh penjuru gua. Tapi kepulan kabut tidak berlangsung lama.

Dari dalam peti mendadak menyembur lidah api yang disusul dengan suara deru angin disertai tebaran hawa panas dan dingin.

Raja melangkah mundur, bersikap waspada dari setiap kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.

Namun segala sesuatu yang dikhawatirkannya ternyata tidak terjadi.

Api yang muncul dari dalam peti bersama hembusan angin akhirnya padam dengan sendirinya.

Setelah api padam, muncul pula perasaan cemas dihati Raja.

Dia takut pakaian yang tersimpan di dalam peti ikut hangus terbakar.

"Paduka. Api dan angin aneh lenyap. Mengapa paduka tidak segera hampiri peti itu?"

Kata jiwa.

"Mungkin petinya masih panas. Aku jadi ragu apakah pakaian yang kubutuhkan masih utuh?"

Gumam pemuda itu.

Walau merasa ragu.

Dia tetap menghampiri peti tersebut.

Tak lama Raja telah duduk bersimpuh disamping peti.

Setelah menatap peti beberapa kejab lamanya Raja segera ulurkan tangan ke mulut peti.

Diam-diam dia merasa heran sekaligus takjub begitu sadar ternyata bagian dalam peti yang sempat dikobari api dalam keadaan sejuk dan dingin-dingin saja.

"Aku belum pernah melihat keanehan seperti ini. Apakah mungkin kabut api dan angin yang keluar dari peti ini berasal dari pakaian yang tersimpan di dalamnya? Bukankah pakaian itu bernama Kabut Api Angin?"

Batin Sang Maha Sakti, Dengan cekatan jemari tangan Raja lalu meraih bagian dasar peti.

Begitu tangan ditarik keluar di tangan Raja kini tergenggam seperangkat pakaian berwarna hitam kelabu lengkap dengan manik-manik kecil seperti butiran pasir berkilawan.

"Pakaian ini sangat ringan sekali. Aku harus segera memakainya dan tinggalkan tempat ini lebih cepat."

Kata pemuda itu.

Tanpa banyak pertimbangan Raja segera mengenakan pakaian itu.

Mula-mula celana yang dikenakannya.

Setelah menanggalkan pedang yang tergantung di bagian punggung diapun memakai bajunya.

Baju berlengan panjang berikut celana ternyata sangat pas dengan ukuran tubuhnya.

"Pakaian ini sangat cocok denganku."

Gumam Raja girang.

"Ya... kau tidak terbakar. Berarti kau memang masih perjaka. Namun ada sebuah proses dan penyesuaian yang harus kau lalui. Kau dan pakaian akan sulit menyesuaikan diri..." sekali lagi terdengar suara mengiang di telinga Raja.

Sang Maha Sakti merasa heran. Namun belum sempat dia ajukan pertanyaan. Tiba-tiba pakaian yang baru saja dia kenakan menggeletar, bergerak gerak seolah hidup lalu mengetat sekaligus menyusut ditubuh Sang Maha Sakti .Pemuda itu tersentak sekaligus berteriak kaget. Dia merasakan sekujur-tubuhnya seperti dipeluk oleh ribuan jari tangan raksasa yang tidak terlihat.

Raja menggeliat meronta dan berusaha membebaskan diri dari pakaian yang melekat di tubuhnya. Tapi baru saja mengalirkan tenaga dalam kesekujur tubuh jeratan pakaian di tubuh mengendur. Dan sebagai gantinya Raja merasakan hawa panas yang luar biasa hebat seolah membakar sekujur tubuhnya.

"Apa yang terjadi denganku. Pakaian ini mengapa malah menyeretku dalam kesengsaraan?" teriak Raja.

Sambil menggerakkan tubuhnya dan kerahkan tenaga sakti berhawa dingin dia memperhatikan dirinya sendiri. Pemuda ini tercengang saat sadar tidak ada api yang membakar ditubuhnya. Sampai kemudian hawa panas berangsur lenyap. Raja melongo dan terlihat bingung dengan beberapa kejadian yang baru saja dia alami.

"Pakaian ini tidak mencekik atau melumat tubuhku, juga tidak ada api yang membakar."

Ucap Raja. Sekilas dia layangkan pandang ke arah mulut gua.

"Wahai penjaga gua Kepatutan Penutup Rasa Malu. Apa yang terjadi?"

Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara mengiang.

"Aku sudah katakan pakaian dan dirimu perlu ada penyesuaian. Bila penyesuaian telah didapat artinya kalian berjodoh.Sekarang sudah tiba waktunya bagimu untuk angkat kaki dari gua itu. Pergilah ke Istana Malingping, selamatkan apa dan siapa saja yang masih sempat diselamatkan. Aku ingin istirahat lagi pula aku bosan melihat tampangmu dan muak pula bercakap denganmu.Ha ha!"

Kata Malae Daeng Pasir Tujuh Angin diiringi tawa bergelak

"Sialan" gerutu Raja dalam hati.

Dia kemudian mengambil pedang yang tergeletak di lantai.

Setelah meletakkan pedang di bagian punggung dan mengikatkan tali talinya yang berhubungan dengan rangka pedang di bagian dada. Sang Maha Sakti segera tinggalkan gua.

Sesampainya di depan mulut gua Raja tertegun.

Dia merasa heran begitu mengetahui anjing besar yang berada di bawah pohon saat dia tinggalkan kini ternyata telah pergi entah kemana.

Sebagai gantinya dia melihat di bawah pohon itu menunggu seekor kuda berbulu hitam lengkap dengan pelananya yang juga berwarna hitam.

"Kemana perginya mahluk besar itu?"

Desis Raja heran

"Paduka Raja Gendeng. Anjing itu mungkin merasa tidak perlu terlalu lama menunggu di sini,"

Jiwa dalam hulu pedang menyahuti.

"Mengapa ada kuda? Jangan-jangan anjing tadi merubah diri menjadi seekor kuda. Aku curiga dia mahluk jejadian yang dapat merubah diri menjadi mahluk apa saja."

"Tak usah berlebihan. Siapapun yang meletakkan kuda di sana pasti untuk tujuan mempercepat perjalanan paduka! Tak penting apakah mahluk hitam yang memberikan ataukah penjaga gua. Pergunakan saja kuda itu!" saran sang Jiwa.

Setelah sempat berpikir, Raja merasa saran Pedang Jiwa ada benarnya juga. Bukankah waktunya sudah semakin sempit apalagi Malae Daeng Pasir Tujuh sudah mengatakan dia harus pergi ke Malingping. Raja yakin kekacauan besar bakal terjadi di istana itu. Dengan langkah lebar Raja berjalan menghampiri kuda hitam itu. Setelah disamping kuda dan lepaskan tali kekangnya yang tertambat pada pohon kecil, Raja segera menyadari kuda itu ternyata kuda betina.

Disamping itu di atas pelana kuda dia juga melihat ada sebuah pesan tulis diatas selembar daun lontar. Raja segera meraih dan membaca tulisan yang ditulis dalam bahasa purwa tersebut.

"Jangan berdebat dengan hati. Jangan mempermasalahkan siapa dan mengapa harus berbuat, baik. Genderang perang sudah ditabuh oleh Pangeran Durjana. Iring-iringan pasukannya sedang menuju ke istana Malingping malam ini. Gunakan kuda ini. Namanya Angin Ribut. Kuharap kau sampai di istana sebelum matahari terbit

tertanda Kabut Hitam"

Selesai membaca pesan di daun lontar. Raja justru jadi tak mengerti.

"Kuda ini bernama Angin Ribut yang memberikan kuda menggaku Kabut Hitam. Siapa dia? Apakah kau tahu, Jiwa?"

"Saya tidak tahu paduka. Mengapa banyak bertanya. Mengapa tidak segera ke punggung kuda. Siapa pun Kabut Hitam niatnya pasti untuk membantu paduka."

Kata mahluk gaib di hulu pedang memberi semangat.

Walau hati masih diliputi tanya.

Akhirnya Raja segera melompat ke atas punggung kuda.

Setelah berada diatas pelana kuda, dia mengusap leher sang kuda yang ditumbuhi bulu-bulu lebat.

Sambil mengusap dia berkata.

"Kuda yang baik. Aku tidak perduli namamu apakah Angin Ribut ataukah Angin Topan. Yang penting bagiku antar aku ke Istana Malingping secepatnya!"

Sang kuda meringkik keras.

Setelah sempat menggeleng-gelengkan kepala akhirnya kuda berlari meninggalkan tempat itu.

Sesuai namanya selain dapat berlari secepat hembusan angin.

Disepanjang jalan kuda itu terus menerus mengeluarkan suara ringkik panjang.


****


Istana Malingping berdiri diatas pedataran tinggi berudara sejuk.

Bangunan istana megah itu berukuran sangat luas dan dikelilingi tembok benteng tinggi. Sementara di bagian luar tembok terdapat puluhan pohon besar tumbuh mengelilingi benteng. Matahari belum lama tenggelam lenyap di bilik peraduannya.

Malam ditandai dengan munculnya bintang-bintang dan rembulan.

Langit biru terang bersih tanpa setitik awan.

Di gardu depan yang juga merupakan gerbang utama, puluhan perajurit berpakaian serba hitam bersenjata lengkap tampak berjaga-jaga.

Di halaman hijau itu terlihat ratusan perajurit bersenjata aneka jenis yang selalu siap dan waspada.

Sementara di seluruh sudut penjuru benteng bahkan sampai di bagain belakang istana puluhan pasukan pemanah juga siap diposisinya masing masing.

Sejak munculnya Pangeran Durjana dengan segala tindakannya yang meresahkan itu .Gusti prabu Tubagus Kasatama telah memerintahkan pada para pejabat istana untuk meningkatkan pengawalan dengan penjagaan berlapis. Apalagi ketika Patih Aria Kusuma, Penujum Aneh Juru Obat Delapan Penjuru serta rombongan kecil menyertai mereka tak pernah kembali lagi ke istana, setelah ditugaskan menyelidiki keberadaan Pangeran Durjana dan pengikutnya .Tidak ada kabar tentang mereka.

Sang prabu tak pernah tahu apakah para utusannya itu selamat ataukah telah menemui ajal.

Yang jelas setelah patih Aria Kusuma tak terdengar lagi kabar beritanya maka tugas senopati yang tadinya dirangkap oleh patih kini dialihkan pada pejabat Istana bernama Rangga Wulung Utama.

Untuk diketahui kakek bertubuh pendek berusia sekitar enam puluh itu memang seorang yang sangat ahli dalam muslihat perang.

Dia cerdik pintar dan banyak akal.

Orang tua yang mengandalkan rambut panjangnya sebagai senjata ini mengatur sias?t membuat pertahanan berlapis di bagian dalam maupun di luar benteng Istana.

Walau dalam mengatur siasat perang Rangga Wulung Utama sangat pintar, namun dia tidak bekerja sendiri.
Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Di samping si kakek,Sang prabu juga menugaskan satu lagi pejabat penting lainnya untuk membantu senopati baru itu.

Dan pejabat yang terpilih tak lain adalah Jatulaka, laki-laki setengah baya yang wajah maupun tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu aneh belang merah kecoklatan .Karena warna pada kulit tubuhnya yang aneh serta kebiasaan Jatulaka yang suka menggeram pada setiap peperangan membuatnya dijululki Si Maung Berem. Penjagaan memang dilakukan demikian ketat .Namun sejauh itu Prabu Tubagus Kasatama masih dihinggapi kegelisahan, sebab dia tidak ingin rakyat kerabat dan keluarganya menjadi korban kebiadaban Pangeran Durjana.

Sebagaimana dikisahkan dalam episode sebelumnya, Pangeran Durjana tidak hanya membunuh para penduduk desa yang dia anggap tidak memberi manfaat apa-apa.

Bersama kawanan lebah Kepala Hati Berbunga. Sang Pangeran melakukan penculikan terhadap para gadis-gadis muda belia dan masih perawan untuk dijadikan pemuas nafsu dan pemberi keturunan.

Gadis-gadis itu kemudian mengandung secara aneh dalam waktu tidak kurang dari tiga hari perempuan itu melahirkan.

Dan setelah dilahirkan bayi-bayi itu tumbuh berkembang menjadi seorang bocah seumur dua atau tiga tahun dalam waktu tak kurang dari dua hari pula.

Para bocah yang dikenal dengan sebutan Bocah Bocah Iblis itu tidak hanya memangsa ibu yang telah melahirkannya saja tetapi mereka juga ternyata menjadi sebuah kekuatan pembunuh yang hanya tunduk dan patuh pada sang pangeran sendiri .Belakangan prabu Tubagus Kasatama mengetahui pangeran Durjana ternyata menginginkan kesucian kedua putrinya.

Menurut penujum Aneh Juru Obat Delapan Penjuru, bila sang pangeran berhasil tidur dan mendapatkan kesucian puteri Arum Senggini dan Nila Agung maka tidak ada satu orang pun di dunia persilatan yang dapat mengalahkannya .Atas pertimbangan keselamatan kedua putrinya sang prabu akhirnya memutuskan melarang kedua anaknya untuk meninggalkan istana.

Tapi larangan keras sang prabu terhadap anak-anaknya menimbulkan rasa tidak puas dalam diri sang puteri sulung Arum Senggini.

Gadis yang sering meninggalkan istana secara diam-diam bersama adiknya Nila Agung itu akhirnya memberanikan diri bicara pada sang prabu setelah beberapa hari berdiam di taman kaputren dan bilik peraduannya.

"Ayahanda prabu,"

Berkata gadis cantik berpakaian serba putih itu dengan kepala menunduk dan dirangkapkan di depan dada.

"Saya datang menghaturkan sembah dan hormat. Begitu juga dengan adik hamba Nila Agung ini,"

Ucap Arum Senggini lagi sambil melirik ke arah gadis berpakaian biru berwajah rupawan dangan dua lesung pipit dikedua pipinya.

Laki-laki gagah berkumis rapi berpakaian sutera warna emas yang sedang duduk dalam ruang peristirahatan itu membuka mata.

Sekilas dia menatap kedua gadis cantik yang duduk bersimpuh di depannya.

Setelah itu sang prabu menoleh sekaligus melirik ke belakang tempat di mana dua dayang pengasuh yang tengah mengipasinya berdiri.

Walau gusti prabu tidak bicara apa apa namun kedua dayang itu sadar sang prabu meminta mereka meninggalkan ruangan.

Setelah meletakkan dua kipas besar para dayang menjura hormat padanya.

Kemudian mereka buru-buru meninggalkan ruangan.

Pintu berwarna cokelat di tutup.

Dua penjaga bertubuh tegak siap bersiaga di depannya.

Di dalam ruangan yang terasa nyaman dan sejuk diterangi pelita emas suasananya terasa hening. Di atas tempat duduknya sang prabu menghela nafas.

Mengingat kebiasaan kedua putrinya yang suka bepergian dia sudah menduga gerangan apa yang hendak disampaikan oleh kedua anaknya. Tidaklah heran, tanpa menunggu lebih lama laki-laki itu segera membuka mulut dan berkata.

"Anak-anakku! aku tahu kalian tidak kerasan tinggal berdiam lebih lama di dalam istana. Sejak lama kalian tidak bisa mematuhi segaia aturan yang telah kutetapkan. Kalian sering pergi diluar sepengetahuanku. Kalian mengembara tanpa pernah perduli bahwa kalian adalah wanita yang bisa mendapatkan bahaya bila berada di luar sana. Kalian merasa mampu melindungi diri dari segala bentuk kejahatan. Pada hal tanpa kalian sadari ilmu kepandaian silat, serta tenaga dalam yang kalian miliki sebenarnya masih sangat rendah."

Mendengar ucapan ayahanda mereka puteri Nila Agung dan puteri Arum Senggini cepat tundukkan kepala hingga menyentuh lantai merah yang dingin. Setelah mengangkat kepala dan menatap ayahnya ia buru-buru berucap

"Ayanda, maafkan kami. Selama ini kami selalu melanggar aturan dan membuat ayahanda prabu menjadi resah."

"Ayahanda prabu,"

Berkata puteri Nila Agung pula yang sedari tadi hanya diam memperhatikan.

"Maafkan ananda juga. Beberapa kesalahan memang pernah ananda dan kakanda pernah lakukan. Tapi kehadiran kami kali ini di depan ayahanda bukanlah untuk meminta restu untuk pergi pelesiran. Mengingat semakin runyamnya persoalan yang ayahanda hadapi. Sebagai anak kami berdua juga tidak bisa tinggal diam berpangku tangan...!" terang gadis itu dengan wajah menyiratkan rasa prihatin yang mendalam.

Mendengar ucapan puteri keduanya itu sang prabu tersenyum.

"Lalu kalian mau berbuat apa heh?"

Kata sang prabu. Suaranya pelan namun tegas.

"Kalian hendak menyelamatkan kerajaan dan rakyat diseluruh negeri dari cengkeraman tangan jahat pangeran keparat yang baru bangkit dari kematiannya itu?"

Nila Agung terdiam.

Dia sadar melihat bagaimana ayahnya bicara.

Jelas sekali prabu tak mengijinkan mereka melakukan sesuatu apa pun.

Tapi Arum Sengg?ni yang diam-diam menaruh hati pada Raja sejak pertemuan pertamanya di pantai Carita beberapa bulan lalu nampaknya tidak kekurangan akal.

"Maafkan saya ayahanda. Menyelamatkan kerajaan kalau bisa kami lakukan adalah sebuah kewajiban bagi kami. Tapi menyelamatkan rakyat dari ancaman pangeran Durjana adalah sesuatu yang sulit."

Sang prabu menyeringai. Sambil memilin kumisnya yang tertata rapi dia ajukan pertanyaan

"Kalau kau dan Nila Agung menyadari menyelamatkan rakyat dar? ancaman Pangeran Durjana bukan pekerjaan mudah. Apa perlunya menghadap menemui diriku?!"

Tanya laki-laki itu.

Arum Senggini tidak segera menjawab.

Sebaliknya dia melirik ke arah adiknya.

Merasa ditatap Nila Agung tahu sang kakak mengharap agar d?a membantunya bicara.

Tidak membuang waktu puteri berlesung pipit yang suka bergurau itu segera berucap.

"Ampun beribu ampun ayahanda. Apakah ayahanda ingat beberapa waktu yang lalu kami pernah mengatakan pada ayahanda bahwa ketika melakukan perjalanan berkuda di pantai Carita kami diserang oleh Pangeran Durjana. Walau pangeran itu hanya mengirimkan kembaran bayangannya saja. Kami nyaris tertangkap menjadi tawanan. Kemudian muncul seorang pemuda aneh berambut gondrong. Pemuda yang ternyata bernama Raja dan dikenal dengan sebutan Sang Maha Sakti itu tidak hanya menolong dan menghancurkan kembaran bayangan pangeran Durjana. Tapi dia juga berjanji akan membantu kita. Waktu itu Raja meminta kami segera kembali ke istana sedangkan dia sendiri mempertaruhkan nyawa mencari tempat persembunyian mahluk menjijikkan itu."

Timpal puteri Arum Senggini dengan wajah sumringah sedangkan sorot matanya berbinar binar.

Melihat wajah anaknya jadi berseri ketika menyebut nama Raja, prabu pun segera ajukan pertanyaan,

"Ayah akui, di luar semua persoalan rumit yang kita hadapi engkau memang sudah selayaknya mendapatkan pendamping hidup, Arum Senggini. Sekali ini saja ayah ingin bertanya. Apakah kau menyukai pemuda aneh itu?"

Pertanyaan yang tidak terduga dari sang prabu karuan membuat wajah Arum Senggini berubah merah, telinga, pipi. Dengan tersipu malu Arum Senggini buru-buru menjawab.

"Tidak ayahanda prabu, walau memiliki ilmu kesaktian luar biasa tinggi dan punya senjata hebat. Bagi ananda Raja biasa-biasa saja. Hamba tidak tertarik padanya ayahanda."

Arum Senggini diam sejenak. Lagi-lagi dia melirik pada adiknya

"tapi kalau adik Nila Agung ananda lihat memang jatuh hati padanya. Bukankah begitu adikku?!"

Tanpa ragu dan tanpa merasa sungkan Nila Agung anggukkan kepala. Yang lebih mengejutkan Arum Senggini, anggukan kepala sang adik dilanjutkan dengan ucapan.

"Terus terang saya memang tertarik padanya ayahanda prabu. Selain hebat dia juga tampan. Kulit putih bersih, rambut hitam panjang, hidung mancung, matanya tajam. Dan ketika mata itu menatap ananda membuat jantung ini rasanya seperti berhenti berdenyut."

Sang prabu geleng kepala mendengar keterusterangan putri bungsunya yang polos dan suka bicara apa adanya itu.

"Kalau begitu kau tidak boleh terlalu dekat pada pemuda aneh itu?"

Tentu saja keputusan ayahnya membuat Nila Agung kaget. Dengan mata terbelalak tak percaya dia ajukan pertanyaan.

"Kenapa ayahanda prabu?"

Sang prabu tersenyum namun segera menjawab.

"Mungkin kau dan dia sama gilanya anakku. Tapi bagaimana aku tega membiarkanmu bersama pemuda itu.Sekali dipandang saja membuat jantungmu serasa berhenti berdenyut Apa jadinya bila dia terus menerus menatapmu. Kau bisa mati sungguhan!"

Nila Agung tersipu, namun di hatinya ada sedikit rasa lega.

Berbeda dengan Arum Senggini yang bersifat agak tertutup dan selalu mengingkari perasaannya sendiri.

Keterusterangan sang adik tentang rasa sukanya pada Raja tentu membuat hatinya pedih dan nyeri. Walau hati diliputi rasa sedih dan kecewa.

Namun Arum Senggini berusaha bersikap wajar.

Malah kemudian dia berkata.

"Ayahanda prabu. Mengingat besarnya persoalan yang kita hadapi. Rasanya kita, khususnya kami berdua tak mungkin terus bertahan di dalam istana."

"Apa yang kau risaukan putriku? Istana ini dijaga ketat. Pangeran keparat itu tak mungkin bisa menembus benteng walau dia dibantu oleh Bocah Iblis dan kawanan Lebah Kepala Hati Berbunga?"

"Ayahanda,"

Ujar Nila Agung.

"Paman patih. Penujum Aneh beserta rombongan kecil yang bersamanya tidak pernah kembali, Penujum dan paman Patih bukan manusia lemah. Bila mereka tidak kembali kemungkinan besar telah terjadi sesuatu yang sangat buruk pada mereka. Ini merupakan pertanda, Pangeran Durjana tak dapat dipandang sebelah mata."

"Soal itu ayah sudah tahu. Lalu apa yang membuat kalian risau? Selama tinggal di dalam istana, ayah yakin kalian aman-aman saja. Tidak mudah bagi mahluk liang kubur itu menembus pertahanan istana kita."

"Tapi kami ingin mencari Raja. Bila kami dapat mengajaknya kemari. Kami yakin kekuatan kita makin bertambah,"

Terang Arum Senggini yang sebenarnya sangat merindukan Raja.

Prabu Tubagus Kasatama terdiam, sepasang alisnya yang tebal terangkat naik ke atas.

Setelah menghela nafas berat sambil gelengkan kepala dia pun dengan tegas berucap

"Mencari dan menemukan pemuda aneh seperti Raja tidak mudah. Jika kalian berdua berada di luar Istana bisa menimbulkan malapetaka sekaligus bencana yang luar biasa hebat! Tidakkah kalian sadari kenyataan itu?"

Kedua puteri ini saling pandang dengan tatapan tak mengerti. Tanpa menunggu lama Nila Agung ajukan pertanyaan.

"Apa maksud ayahanda. Sungguh kami tidak mengerti. Mohon kami diberi penjelasan."

"Benar ayah. Katakan sesuatu yang tidak kami ketahui,"

Timpal Arum Senggini memberi dukungan. Prabu Tubagus Kasatama tercenung. Mulut terkancing mata menerawang, pipi menggembung namun wajah tak kuasa sembunyikan kegelisahan di hati. Setelah menghela nafas untuk yang kesekian kalinya prabu pun berkata.

"Sebagai raja aku menghargai maksud niat baik kalian. Namun sebagai seorang ayah aku mengkhawatirkan keselamatan kalian. Kalian harus tahu, pangeran Durjana sesuai yang dikatakan Penujum Aneh Juru Obat Delapan Penjuru beberapa waktu yang lalu Dia menginginkan kalian berdua. Bila pangeran itu bisa tidur dengan kalian berdua. Kalian tidak hanya kehilangan kehormatan diri juga masa depan. Kalian bisa menjadi budak nafsu sang pangeran lalu beranak-pinak. Kalian jadi lupa diri dan jadi musuh setiap orang yang menjunjung kebenaran. Dan keuntungan lain yang didapat Pangeran Durjana bila mendapat kehormatan kalian. Dia menjadi mahluk luar biasa jahat dan tidak dapat lagi dilukai, dikalahkan bahkan dibunuh dengan senjata apa pun yang ada di rimba persilatan ini."

Mendengar penjelasan sang prabu Arum Senggini merasa sekujur tubuhnya jadi merinding .Nila Agung bergidik ngeri. Dia segera, mengusap tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus indah. Dan tengkuk itu terasa dingin laksana gumpalan es.

Hening!

Wajah kedua putri itu terlihat tegang. Mata mereka membayangkan perasaan cemas yang teramat sangat. Diluar sadar Nila Agung meraba dada dan bagian bawah perutnya membuat prabu merasa jengah dan cepat palingkan kepala ke jurusan lain. Di tengah keheningan Arum Senggini tiba tiba membuka mulut.

"Ayahanda. Terus terang kami berdua merasa takut. Mulai sekarang kami tak akan meninggalkan Iitana. Tapi ayah tak usah khawatir dengan keselamatan kami. Kami berdua bisa menjaga diri."

"Betul ayahanda prabu. Kami punya pakaian pelindung yang sukar ditembus. Hi hi h...,"

Ucap Nila Agung malu-malu namun kembali menemukan keceriaannya. Sang prabu tercengang. Merasa tidak pernah memberikan pakaian sakti istimewa dia ajukan pertanyaan.

"Pakaian apa?"

Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pokoknya ada. Hi hi hi...!"

Kata kedua gadis itu bersamaan diiringi derai tawa.

Setelah itu keduanya bergegas tinggalkan ruangan.

Prabu Tubagus Kasatama cuma bisa geleng kepala melihat sikap putri-putrinya. Jika di dalam ruang istirahat raja prabu Tubagus Kasatama baru saja terlibat pembicaraan dengan kedua putrinya.

Sebaliknya tak jauh dari istana Malingping yang dijaga ketat.

Tepat di sebelah timur benteng kerajaan.

Di dalam sungai berair jernih bernama Kali Atis.

Di malam sunyi dan dingin. Satu kepala mendadak muncul menyembul diatas permukaan air.

Pemilik kepala yang ternyata seorang kakek tua berpakaian hitam berambut putih dan berkumis lebat begitu munculkan diri segera dongakkan kepala menatap sekelilingnya.

Dia tidak lagi melihat mahluk-mahluk sebesar ibu jari berwarna hitam kemerahan berterbangan di sekitar sungai, si kakek bersenjata tongkat dan memakai celana setinggi lutut menyeringai tersenyum.

Wajahnya yang pucat keriput terlihat begitu lega.

"Mahluk-mahluk pembunuh itu telah pergi Nini?!"

Gumam si kakek dengan tubuh menggigil menahan dingin.

Karena tidak ada jawaban, si kakek yang biasa memakai topi berupa kupluk berwarna hitam segera ulurkan tangan ke sebelah kiri.

Begitu tangan di angkat terenggut olehnya rambut hitam awut-awutan dari seorang nenek cantik berkebaya biru.

Begitu muncul dipermukaan air si nenek yang tidak lain bernama Nini Burangrang itu langsung mendamprat

"Tua
bangka keparat! Kalau menarik rambutku harus memakai perasaan. Memangnya aku ini sudah mati,"

Bentak si nenek pada si kakek yang tak lain adalah suaminya sendiri. Dibentak begitu rupa, si kakek yang bernama Aki Kolot Raga ini malah tersenyum. Sambil tersenyum buru-buru dia berkata.

"Maafkan aku istriku. Aku baru saja mengatakan mahluk pembunuh itu telah pergi. Tapi kau diam tidak menjawab. Begitu terlihat tak kusangka kau enak enakan terus mendekam di dasar sungai. Aku cemas kau mati karena kita telah mendekam di dasar sungai ini selama seharian penuh. Tapi aku merasa lega ternyata kau masih ada nafasnya, masih hidup."

"Tua bangka kurang ajar,"

"Andai bukan karena ilmu sakti Menahan Nafas di Dalam Air kemungkinan besar kita sudah mampus setelah sehari penuh bersembunyi di dalam air."

"Semua ini gara-gara Lebah Pembunuh sialan itu."

"Kalau bukan ingin menghindar dari mereka aku mana sudi basah kedinginan seperti ini."

Gerutu Nini Burangrang yang kerap terlibat pertengkaran dengan suaminya.

Tapi walau mereka dikenal kerap bertikai setiap hari namun keduanya merupakan pasangan yang tak bisa dipisahkan.

Aki Kolot Raga tertawa.

Belum lagi tawanya lenyap si kakek membuka mulut timpali ucapan istrinya.

"Istriku! berkat ilmu, berkat kesabaran kita juga berkat kemurahan dewa kita masih hidup. Selain kita kau lihat sendiri. Kawanan Lebah Pembunuh yang dikirimkan Pangeran Durjana untuk memata-matai gerak-gerik kita sudah tidak ada lagi di tempat ini. Mungkin mereka menyangka kita sudah mati, begitu menceburkan diri di dalam sungai ini. Mereka menyangka kita bunuh diri. Mereka tidak tahu kita sengaja melakukan ini semua untuk menghindari mereka."

Nini Burangrang tidak menyahut. Sebaliknya dia bangkit. Sambil berenang ketepi si nenek berujar.

Pendekar Samurai 1 Tarian Maut Di Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit

Cari Blog Ini