Si Pedang Tumpul Karya Tong Hong Giok Bagian 20
"Pesilat pedang sesungguhnya tidak akan mau bertekuk lutut."
Wong Jong-ceng kembali tertawa.
"Benar, aku yakin akan ada sebagian orang yang tidak akan mau mengaku kalah, tapi aku sudah mempunyai cara yang akan membuat mereka menerimaku dengan kekaguman."
Lim Hud-kiam berteriak.
"Aku salah satu dari mereka yang tidak akan mau bertekuk lutut!"
Ma Kiu-nio menunjuk Lim Hud-kiam dengan pedangnya.
"Tidak mau bertekuk lutut bagiannya adalah mati!"
Tapi Wong Jong-ceng malah tertawa.
"Kiu-nio, jangan ladeni dia, aku menyukai anak muda ini, dia mempunyai semangat seorang pesilat pedang yang tulen, dulu aku juga mempunyai semangat seperti ini, maka baru bisa berhasil seperti sekarang, biarkan dia seperti itu!"
"Tuan, saat itu di Tai-san nama nona telah membuat semua orang terkejut dan nona hampir bisa menaklukkan semua orang, tapi sayang dikacaukan oleh bocah ini!"
Kata Ma Kiu- nio. Kata Wong Jong-ceng dengan serius.
"Bergurau adalah salah satu usaha yang mulia, bukan dengan kekuatan satu orang bisa menghalangi, dan aku mempunyai cara supaya dia mau bertekuk lutut, kau jangan mengurusi masalah ini lagi, cepat beritahu kepada Liu Ban-mong untuk mengumpulkan semua orang, hari ini aku akan menggunakan kedudukanku sebagai raja pedang, memberitahu pada dunia aku adalah raja pedang."
Ma Kiu-nio terpaku lalu bertanya.
"Bagaimana dengan kedua orang ini?"
"Aku bisa membereskan mereka, aku akan membawa mereka untuk mengikuti upacara penobatan,"
Jawab Wong Jong-ceng.
"Apakah penobatan akan dilakukan di lembah ini juga?"
Tanya Ma Kiu-nio dengan terkejut.
"Tentu, ini adalah cita-cita tuan besar dari dulu, saat aku menerima usahanya, aku pernah berjanji di depan beliau akan membuat lembah raja pedang menjadi tempat suci bagi ilmu pedang,"
Kata Wong Jong-ceng.
"Apakah tidak terlalu terburu-buru?"
"Tidak, aku sudah lama mengatur dan menyusun-nya, dan Liu Ban-mong sudah tahu, tempat sudah disusun, dalam waktu satu jam suruh dia untuk membereskan semua pekerjaan."
"Mungkin di lembah masih ada mata-mata yang menyelinap!"
"Aku percaya tidak ada, walaupun ada tidak menjadi masalah, aku hanya mengkhawatirkan seseorang, tapi Lim Hud-kiam sudah datang kemari, berarti orang itu tidak mungkin ke sini."
"Apakah usaha Tuan akan sukses?"
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Tentu tidak akan menjadi masalah, aku menyuruh kalian merebut Pit-kip sebenarnya tidak banyak berharap, maka aku memberi waktu setengah bulan, tidak disangka kalian membawa pulang Pit-kip
Jilid kedua yang memang kubutuhkan, dengan ilmu silat yang kumiliki sekarang dalam waktu satu minggu semua akan kukuasai, kemarin aku sudah selesai mempelajarinya, hari ini aku hanya ingin menyesuaikan keadaan."
Ma Kiu-nio pamit, Wong Jong-ceng mengangguk kepada Lim Hud-kiam dan Goan Hiong.
"Kalian ikut aku ke dalam, kita bisa mengobrol di sana!"
Lim Hud-kiam dan Goan Hiong masih ragu, raja pedang Wong Jong-ceng tertawa.
"Kalian jangan ragu, bila ingin bertarung masih banyak waktu untuk apa terburu-buru? Aku percaya kalian pasti banyak pertanyaan, pergunakan waktu satu jam ini dengan sebaik-baiknya, bila sempat aku akan menjawab pertanyaan kalian."
Lim Hud-kiam menarik Goan Hiong masuk ke kamar Wong Jong-ceng, Wong Jong-ceng mengambil sebotol minyak dan memberikannya kepada Lim Hud-kiam.
"Pertama, hapus dulu penyamaran kalian, biar aku melihat wajah asli kalian!"
"Mengapa kau menutupi wajahmu dengan topeng tipis?"
Tanya Lim Hud-kiam.
"Aku punya alasan tersendiri, tapi sekarang aku tidak bisa mengatakannya, setelah upacara penobatan selesai, dan aku sudah menjadi raja pedang, aku akan membiarkan kalian melihat wajah asliku."
Lim Hud-kiam tidak banyak bicara dia membubuhkan minyak di telapaknya kemudian meng-gosokan ke wajahnya, setelah wajahnya bersih dia memberikan minyak itu kepada Goan Hiong.
Wong Jong-ceng memperhatikan Lim Hud-kiam, dia terus menatapnya, akhirnya dia mengangguk dari suaranya terdengar agak bergetar, pelan-pelan dia berkata.
"Baik, benar-benar baik, bentuk wajahmu sangat mirip denganku... temanku dulu."
"Aku mirip ayahku,"
Jawab Lim Hud-kiam.
"Oh ya, apakah benar? Aneh sekali, saat kau masih kecil kau tidak seperti ini, saat itu kau hitam juga kurus."
"Mengapa kau bisa tahu bagaimana rupaku waktu kecil?"
Tanya Lim Hud-kiam.
"Aku pasti tahu karena aku pernah ke Ceng-seng."
"Dugaanku tidak salah!"
Dengan tegang Wong Jong-ceng bertanya.
"Apakah kau tahu siapa aku?"
"Tidak, tapi melihat pengaturan di sini, sangat mirip dengan Ceng-seng, jadi aku yakin kalau kau adalah orang yang telah keluar dari Ceng-seng."
Wong Jong-ceng menghembuskan nafas.
"Aku tahu kalau pengaturan di sini tidak akan bisa membohongi orang-orang Ceng-seng, tapi mengenai barisan Ciu Giok-hu sangat pelit, dia tidak akan mau mengajarimu, kau bukan orang kepercayaan- nya, dari mana kau mempelajarinya?"
Lim Hud-kiam tertawa.
"Dari sini dapat kusimpulkan kalau kau sudah lama meninggalkan Ceng-seng, tapi dalam barisan Ciu Giok-hu sudah bertambah pintar, pengaturan yang dulu sudah tidak digunakan lagi."
Sepertinya Wong Jong-ceng sangat terkejut, tapi sesaat kemudian dia tertawa, berkata.
"Ciu Giok-hu memang sangat menguasai ilmu mengenai barisan, tapi mengenai ilmu pedang dia masih jauh, dulu dia memang sombong tapi sekarang dia menjadi tahananku."
"Apakah dulu kau juga pernah dihina oleh Ciu Giok-hu?"
Tanya Lim Hud-kiam sambil tertawa. Wong Jong-ceng dengan serius berkata.
"Benar, orang itu jiwanya sempit, dia sombong dan tidak mengijinkan orang lain lebih kuat darinya, aku bisa keluar dari Ceng-seng separuh alasannya karena dia juga!"
"Aneh, kalau kau tidak tahan dengan penghinaan Ciu Giok- hu paling sedikit di Ceng-seng kau adalah orang terkenal, mengapa aku tidak ingat siapa dirimu,"
Kata Lim Hud-kiam. Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Bocah ini pintar dan licik, dari tadi kata-katamu pukul sini pukul sana, ternyata kau ingin tahu identitas ku, jangan cemas, aku akan memberitahumu hanya saja saatnya belum tiba, bersabarlah menunggu!"
"Wajahmu ditutup, apakah supaya tidak dikenal oleh orang- orang Ceng-seng?"
"Bisa dikatakan seperti itu, juga bisa tidak, aku menutup wajah asliku karena sumpahku sebelum menjadi raja pedang aku tidak akan menggunakan wajah asli menemui orang- orang, sudahlah kita jangan membicarakan hal ini lagi, kita ganti topik pembicaraan!"
"Aku masih ingin bertanya, apakah ilmu pedangmu kau dapatkan dari Pit-kip yang ada di dalam plakat itu?"
Wong Jong-ceng berpikir sebentar baru menjawab.
"Tidak semuanya, aku sudah membaca Pit-kip itu, dari dalam aku juga mempelajari sedikit ilmu tapi aku merasa terakhir-terakhir ilmuku lebih tinggi dari ilmu yang tercatat di dalam Pit-kip itu, maka aku berani menyebut kalau aku adalah raja pedang!"
"Apakah kau murid dari Ngo-heng-kiam?"
"Boleh dikatakan seperti itu, tapi ilmu yang kukuasai sudah di atas Ngo-heng-kiam."
"Pit-kip dunia persilatan hanya didapatkan oleh satu orang, mengapa kau bisa mendapatkannya?"
Wong Jong-ceng hanya tertawa tapi tidak menjawab. Lim Hud-kiam bertanya lagi.
"Apakah kau kenal dengan seseorang di Ceng-seng yang bernama Hoan Lam-huang?"
Tubuh Wong Jong-ceng bergetar, lama dia baru menjawab.
"Aku kenal orang itu, dia orang paling jahat di dunia ini, sekarang bagaimana keadaannya?"
"Dialah orang yang berhasil mendapatkan Pit-kip."
"Aku tahu, bagaimana keadaannya?"
"Mengapa kau bisa tahu?"
"Yang penting aku tahu, sekarang bagaimana keadaannya?"
"Sebenarnya dia adalah teman keluargaku, sejak ayahku meninggal, dia meninggalkan Ceng-seng, aku pun tidak tahu dia pergi ke mana, tapi sekarang aku tahu kalau dia tinggal di sebuah hutan lebat."
"Mengapa dia rela meninggalkan Ceng-seng?"
"Aku tidak tahu bagaimana jelasnya, tapi menurutku dia merasa menyesal dengan kematian ayahku, maka dia meninggalkan Ceng-seng."
Wong Jong-ceng masih memaksa bertanya.
"Akhir-akhir ini kau pasti telah bertemu dengannya, ilmu pedangmu pun warisan darinya, mengapa dia mau menurunkan ilmu pedangnya kepadamu?"
"Dia mengajariku ilmu pedang dia juga mengganti nama asliku,"
Jawab Lim Hud-kiam. Wong Jong-ceng berkata.
"Benar, aku ingat waktu kau kecil namamu adalah Lim Ku-cu, mengapa berubah menjadi Hud- kiam? Apa makna kedua huruf ini?"
"Dia berharap aku memiliki hati Budha setelah menguasai ilmu pedang, menghilangkan hati yang ingin membunuh, dua kali aku belajar ilmu silat darinya, dia menentukan aku hanya boleh menggunakan pedang tumpul, lalu dia pun memberikan sebuah tugas kepadaku, dia telah memperhitungkan kalau ketua Ngo-heng-kiam (pedang 5 unsur) akan muncul dan dia ingin aku menghalangi bencana ini."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Dia benar-benar kurang ajar!"
Dengan serius Lim Hud-kiam berkata.
"Ini adalah sebuah cita-cita yang luhur, apakah ini salah?"
Si Pedang Tumpul Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku benar-benar tidak mengerti orang itu, ilmu pedang yang dia ajarkan kepadamu hanya 60-70% yang ada dalam Pit-kip, tapi permintaannya kepadamu begitu banyak, mengapa dia tidak melakukan semua itu sendiri?"
"Karena dia belum mendapatkan Pit-kip
Jilid kedua, hal ini membuat tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan dan dia lumpuh."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Seperti anjing kentut, memang Pit-kip
Jilid pertama bisa membuat orang menjadi lumpuh, tapi itu bukan penyakit yang tidak bisa diobati, asal tahu caranya kita sendiri pun bisa mengatasinya, seperti aku, aku juga mengandalkan kekuatanku sendiri dalam berlatih!"
"Tapi dia tidak seperti dirimu bisa mendapatkan kesempatan secara kebetulan!"
Wong Jong-ceng menggelengkan kepala.
"Kau ditipu olehnya, ilmu silat yang dilatihnya adalah ilmu lurus, dia pasti bisa menyembuhkan dirinya sendiri, aku pun bisa menggunakan kepandaianku untuk mengobati diriku, ilmu silat yang kugunakan adalah ilmu silat yang dia gunakan juga, masa dia tidak mengerti? Anak muda, kau diperalat olehnya!"
"Tapi aku tidak merasa kalau aku diperalatnya."
Wong Jong-ceng berpikir sebentar lalu berkata.
"Sekarang ini aku tidak bisa mengatakan apa maksudnya, tapi aku percaya dia mempunyai rencana busuk, yang penting orang itu bukan orang baik, jiwanya sempit, sedikit-sedikit tidak suka langsung ingin membalas dendam, aku bisa memberikan sebuah contoh, saat kau baru berkelana di dunia persilatan kau sering kali mencari masalah dengan perusahaan perjalanan Su-hai, aku yakin ini pun permintaan darinya bukan?"
Lim Hud-kiam tidak mengaku juga tidak membantah. Tapi Goan Hiong yang berkata.
"Sangat aneh, apa kesalahan perusahaan perjalanan Su-hai kepadanya?"
Wong Jong-ceng tertawa.
"Tentu ada, dari awal aku sudah curiga dengan identitas aslinya sampai Lim Hud-kiam berseberangan dengan kalian dan selalu membuat masalah dengan kalian. Lim Hud-kiam pun selalu memaksa kalian menutup perusahaan perjalanan Su-hai, aku baru tahu apa alasannya sekarang, nama palsunya adalah Hoan Lam-huang, nama aslinya adalah Lam-huang-kiam-sou Lok Su-hoan (Pedang tua dari selatan)."
"Apakah itu benar Lim Toako?"
Tanya Goan Hiong.
"Benar!"
Jawab Lim Hud-kiam dengan terpaksa. Wong Jong- ceng tertawa dingin.
"Pasti dia, sebab Kian-kun-kiam-pai Siau Pek memaksanya membuka perusahaan perjalanan, maka guru dan murid ini bertentangan, akhirnya Lok Su-hoan membenci perguruannya, dia tidak peduli lagi pada keadilan juga kebenaran, bukankah orang itu sangat kurang ajar?"
"Aku tidak setuju dengan kata-kata ini, dia tidak ingin membuka perusahaan perjalanan, karena dia tidak tertarik pada pekerjaan ini, seharusnya Siau Pek tidak boleh memaksanya,"
Kata Lim Hud-kiam.
"Aku sudah pernah menyampaikan alasan ini kepada Lim Toako, aku kira semua ini tidak masuk akal, aku percaya dalam hati Lim Toako belum tentu mengaku kalau Lok Su- hoan benar,"
Kata Goan Hiong. Dengan terpaksa Lim Hud-kiam berkata.
"Dia hanya marah sesaat pada orang perguruannya, tapi dia tetap memperhatikan mereka, maka saat gurumu mengalami kesulitan, aku pernah membantunya melewati bahaya sebab pesan Lok Su-hoan aku pun pernah memberitahu dari samping mengenai kekurangan Tay-lo-kiam-hoat, itu adalah kehendaknya."
"Lim Toako sudah tahu identitasnya, mengapa saat guruku bertanya kau menyangkalnya?"
Tanya Goan Hiong.
"Aku tidak menyangkalnya, yang kalian tanyakan adalah Lok Su-hoan yang aku tahu adalah Hoan Lam-huang, yang pasti aku tidak akan mau mengakuinya,"
Jawab Lim Hud-kiam.
"Tapi Lim Toako sudah tahu kalau itu adalah satu orang bukan?"
"Aku telah dipesan olehnya tidak boleh memberitahukan namanya kepada siapa pun, aku pikir dia tidak ingin mengaku kalau dia adalah murid Kian-kun-kiam, jadi aku tidak perlu membuka rahasianya!"
Goan Hiong marah, katanya.
"Hanya karena marah saat itu dia menyusahkan Sute dan Suheng, orang itu sungguh tidak masuk akal."
"Goan-heng, Kian-kun-it-kiam Siau Pek bukan orang paling suci, keputusannya belum tentu masuk akal, hal ini sudah diakui oleh gurumu Ciam Cianpwee, karena itu jangan salahkan dia, guru tidak boleh memaksa muridnya melakukan hal yang tidak dia inginkan. Siau Pek terlalu memaksa, sedangkan Lok Su-hoan terlalu fanatik, tapi gurumu tidak mengeluarkan dia dari perguruan, namanya tetap ada di Kian- kun-kiam-pai, dia juga adalah Susiokmu, kau tidak boleh menyerangnya!"
"Kalau yang lebih tua tidak pantas dihormati, untuk apa aku harus menghormatinya?"
Kata Goan Hiong.
"Kalau begitu apakah dia membantah Siau Pek juga salah?"
Tanya Lim Hud-kiam sambil tertawa. Goan Hiong tidak bisa menjawab. Wong Jong-ceng tertawa, berkata.
"Siapa yang salah siapa yang benar tidak perlu kita bicarakan lagi, tapi paling sedikit bisa membuktikan kalau Lok Su-hoan bukan seorang lelaki berjiwa besar."
"Tapi permintaannya kepadaku adalah benar,"
Kata Lim Hud-kiam.
"Orang kerdil seperti dia, apakah permintaannya akan benar?"
Tanya Wong Jong-ceng tertawa dingin. Dengan serius Lim Hud-kiam berkata.
"Mungkin dia egois tapi aku tidak mau tahu, didikan yang kudapat aku masih bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah."
"Ayahmu meninggal sangat awal, siapa yang mendidikmu?"
"Ibuku, beliau adalah seorang Li Eng-hiong yang sempurna,"
Jawab Lim Hud-kiam.
"Kau menerima tawaran dari Lok Su-hoan apakah ibumu setuju?"
"Benar, aku diperintahkan ibu baru kembali mencari Hoan Lam-huang!"
"Apakah mereka masih sering berhubungan?"
"Tidak, semenjak ayahku meninggal, mereka belum pernah bertemu lagi, memang Hoan Lam-huang memberitahukan tempat tinggalnya, tapi ibuku tidak pernah pergi ke sana untuk menemuinya, sebenarnya sejak ibuku menjanda dia sudah menutup hatinya dan masuk menjadi murid Budha, selama 25 tahun ini kecuali aku beliau tidak pernah bertemu dengan siapa pun, beliau selalu menemani patung Budha dan lampu hijau yang ada di atas meja."
Terlihat tubuh Wong Jong-ceng bergetar.
"Apakah sudah berlangsung 25 tahun?"
"Benar, saat ayahku meninggal aku baru berusia 6 tahun, tahun ini usiaku sudah 31th, beliau menjadi ibu sekaligus ayahku, begitulah cara beliau membesarkan aku."
Wong Jong-ceng menarik nafas panjang lalu dia pun diam. Di luar ada yang mengetuk pintu, Wong Jong-ceng dengan suara berat bertanya.
"Siapa? Masuklah!"
Yang pertama masuk adalah Wong Han-bwee, dia segera merebahkan diri ke pelukan Wong Jong-ceng dengan manja berkata.
"Ayah, ilmu silatmu sudah berhasil, tapi ayah tidak memberitahuku!"
Di belakang Wong Han-bwee ada yang ikut masuk dia adalah Liu Ban-mong, Wong Jong-ceng mendorong Wong Han-bwee ke samping dan bertanya.
"Ban-mong, kau benar- benar tidak teliti!"
Liu Ban-mong menundukkan kepala.
"Benar, hamba pantas mati, hamba tidak tahu kalau mereka menyamar, dan dengan memakai baju lembah raja pedang mereka menerobos masuk!"
"Sudahlah, kepintaranmu bila dibandingkan dengan Lim Hud-kiam masih jauh, aneh, kau bisa memberikan plakat untuk melancarkan perjalanan mereka, kau benar-benar ceroboh, untung aku lebih cepat menyelesaikan latihan ilmu silat kalau aku mengandalkan buku
Jilid kedua sekarang adalah saat yang paling penting, bukankah ini akan mencelakaiku?"
Liu Ban-mong tidak berani membantah.
"Ayah, aku juga harus bertanggung jawab karena aku tidak berpatroli di lembah, kalau tidak mereka tidak akan bisa masuk,"
Kata Wong Han-bwee.
"Masih banyak yang masih harus kau pelajari!"
"Tapi tidak menjadi masalah, anak buah Kiu-nio aku yang melatihnya, bila mereka berani masuk tidak sampai membuat ayah terganggu."
Wong Jong-ceng tertawa, katanya.
"Aku tidak percaya, aku sudah melihat ilmu silat Lim Hud-kiam, dugaan kalian semua salah, dia setingkat dengan kalian."
Tiba-tiba Wong Han-bwee mencabut pedangnya.
"Aku akan segera mengalahkannya supaya ayah bisa melihatnya!"
Wong Jong-ceng segera membentak.
"Jangan sembarangan, simpan pedangmu!"
"Ayah, bukankah ayah pernah mengatakan kalau ayah adalah nomor satu dan aku adalah nomor dua, dan posisi 10 besar diduduki oleh orang-orang lembah ini, mengapa sekarang berubah?"
Dari nada bicara Wong Jong-ceng terdengar ada sedikit nada gembira.
"Benar, kata-kataku tidak akan berubah, posisi dari satu sampai sepuluh bukan diduduki oleh orang luar lembah, ilmu raja pedang harus lebih tinggi dari semua tapi Lim Hud-kiam berbeda, semua jurusnya sama denganku, itu adalah jurus perubahan dari Pit-kip itu, maka dia bukan orang luar lembah."
"Benarkah ilmu pedang ayah dari Pit-kip itu?"
Wong Jong-ceng mengangguk dan tertawa.
"Benar, sebelum aku kemari dasar ilmu pedangku adalah dari Pit-kip itu, setelah menikah dengan ibumu, aku baru mempelajari ilmu pedang baru kemudian digabung dengan ilmu pedang baru, maka lahirlah ilmu pedang baru tapi perubahan dasarnya tetap dari catatan Pit-kip itu, mengenai hal ini Kiu-nio lebih tahu jelasnya."
"Aku tidak tahu kalau ilmu pedang Tuan ada hubungannya dengan Pit-kip itu,"
Kata Ma Kiu-nio.
"Mungkin kau tidak tahu tapi kau pasti sudah terpikir kalau tuanmu yang dulu adalah turunan Ngo-heng-kiam, serangan Ngo-heng-kiam sangat lihai boleh dikatakan tidak ada yang bisa menandingi, tapi dalam penjagaannya kurang kuat, ilmu pedang yang ada di Pit-kip tepat mengisi kelemahan ini, setelah aku menggabungkan kedua ilmu pedang ini maka aku menamakan ilmu pedang ini adalah ilmu raja pedang."
"Pantas di Tai-san Lim Hud-kiam mengatakan kalau kita adalah turunan dari Ngo-heng-kiam tapi aku menyangkalnya, tidak disangka ternyata memang benar demikian."
Wong Jong-ceng tertawa, katanya.
"Dugaannya tidak salah, tapi kau menyangkal pun ada alasannya, sebab ilmu pedang kalian sudah melewati Ngo-heng-kiam, sudah menjadi ilmu tertinggi sekarang ini, yang kalian kuasai adalah ilmu raja pedang yang terkuat di dunia ini."
Wong Han-bwee masih ingin bertanya tiba-tiba dari luar ada yang berlari masuk, dengan terburu-buru dia melapor.
"Lapor Tuan, di luar banyak orang datang!"
Si Pedang Tumpul Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang yang lari datang adalah Heuw Liu-koan.
"Hampir semua orang yang ikut rapat di Tai-san sudah datang, mereka memaksa masuk, sekarang mereka berada di mulut lembah dan dihalangi oleh orang bawaan Wong Jin-jiu, tapi lawan sangat banyak, begitu juga dengan kekuatannya, aku takut akan sulit menghalangi mereka, jadi aku datang untuk meminta bantuan."
"Apakah mereka datang bersamaan?"
Tanya Wong Jong- ceng.
"Tidak, Kian-kun-kiam-pai bergabung dengan kelompok Liu Ta-su, dua bersaudara Bun dan orang-orang Ceng-seng serta sebagian orang telah bergabung, kedua kelompok ini datang dengan arah yang berbeda, tapi secara bersamaan tiba di mulut lembah, untung mereka terdiri dari 2 kelompok, jadi mereka tidak akan bekerja sama, pesilat lembah ini masih bisa menahan kalau mereka kompak, pintu kita dari tadi sudah jebol."
"Liu Ban-mong, apa yang kau lakukan? Semua orang sudah berada di depan pintu lembah sekarang, kau sedikit pun tidak tahu?"
Wong Han-bwee marah. Liu Ban-mong ketakutan, katanya.
"Nona, penjagaan di sini semuanya mengikuti petunjuk Tuan, tapi karena keributan yang dibuat Lim Hud-kiam...."
"Kau harus bertanggung jawab, kita sudah tahu dengan jelas keadaan orang-orang yang datang, pesilat tingkat pertama yang kau pimpin harus bisa melawan mereka."
"Pesilat yang kupimpin jumlahnya ada 21 orang, 5 orang sudah terbunuh di lembah, sisanya semua menjaga upacara penobatan nanti."
"Jangan saling menyalahkan, kedua kelompok ini ada orang Ceng-seng, maka pengaturanku untuk menjaga tempat ini tidak bisa menghalangi mereka, mereka datang di saat yang tepat, mereka bisa mengikuti upacara penobatanku, Han- bwee, kau bawa orang untuk menyambut mereka."
"Apakah sekarang ayah akan menyuruh mereka masuk?"
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Benar, sebetulnya rencana penobatan hari ini mereka tidak diundang, tapi kalau mereka sudah hadir, jadi tepat dan sempurna. Bawalah mereka masuk tapi beritahu juga kepada mereka supaya menjaga ketertiban di sini, selain tempat upcara penobatan, mereka tidak boleh berkeliaran di tempat lain, bila tidak mengikuti aturan ini mereka harus dibunuh. Sampai di lembah raja pedang harus menuruti peraturanku, Kiu-nio, bawa 24 orang Lo-liu yang kau pimpin bantulah nonamu. Menghadapi orang-orang Ceng-seng yang tidak mau menuruti aturan di sini, tidak perlu sungkan bunuh saja langsung!"
Wong Han-bwee dan Ma Kiu-nio segera membawa sekelompok perempuan setengah baya berlalu dari sana. Wong Jong-ceng berpesan pada Heuw Liu-koan.
"Kau bantu Liu Ban-mong membawa orang-orang yang kita culik ke lapangan penobatan dan menunggu di sana, sedangkan 3 orang gadis yang terakhir datang kalian harus bersikap lebih sungkan, kelak mereka akan menjadi orang-orang terhormat di lembah raja pedang, kedudukan mereka mungkin akan berada di atas kalian."
"Tidak mungkin, kami tidak akan bertekuk lutut,"
Kata Lim Hud-kiam.
"Jangan membicarakan ini terlalu dini, aku tahu kau adalah pemimpin dari sebagian orang itu, asal kau setuju maka mereka pun akan setuju."
"Aku tidak percaya aku mempunyai kekuatan begitu besar sehingga bisa mempengaruhi mereka tapi aku jamin aku tidak akan bertekuk lutut, aku mengaku ilmu pedang ada nomor satu di dunia ini tapi tidak akan mengaku kalai ditekan dengan keras sehingga mau bertekuk lutut kepadamu."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak lagi.
"Lihat saja nanti kau akan terkejut dan tidak akan percaya, sebab ada hal yang tidak terduga akan muncul! Waktu itu mau tidak mau kau akan menurut kepadaku!"
Dia melambaikan tangannya.
"Liu Koan, Ban-mong, pergilah kalian!"
"Tuan di sini tidak ada yang melindungi,"
Kata Liu Ban- mong.
"Kau benar-benar sudah pikun, apakah aku tidak bisa melindungi diriku sendiri?"
"Bagaimana dengan kedua orang ini?"
"Aku akan membawa mereka ke tempat penobatan!"
Liu Ban-mong masih terlihat ragu, Wong Jong-ceng membentak.
"Kau benar-benar cerewet, kalau bukan aku yang membawa mereka, apakah kau bisa menaklukkan mereka?"
Dengan terpaksa Liu Ban-mong dan Heuw Liu-koan memberi hormat lalu pergi dari sana. Wong Jong-ceng menunggu sebentar dengan nada ingin tertawa dia berkata.
"Mari kita juga pergi sekarang, di luar sana persiapannya pasti hampir selesai!"
Lim Hud-kiam yang ditatap Goan Hiong berkata.
"Ayo! Apa pun masalahnya nanti akan kita bereskan, aku benar-benar tidak mengerti mengapa paman Liu dan gurumu bisa datang ke sini, untuk apa mereka ke sini?"
"Mereka tiba-tiba kehilangan jejak kita, hingga mereka menjadi cemas, maka mereka mengejar kita kemari,"
Jawab Goan Hiong. Lim Hud-kiam mengerutkan dahinya.
"Aku meminta Leng- nio tinggal maksudnya adalah untuk menghalangi mereka ke sini, keadaan di sini tidak jelas, mengapa membawa begitu banyak orang ke sini?"
"Tenanglah, asal mereka mau mendengar kata-kataku, aku tidak akan membuat mereka sulit dan tidak akan membunuh orang untuk mencapai tujuanku."
"Tapi kau memaksa orang-orang bertekuk lutut kepadamu!"
Kata Lim Hud-kiam.
"Benar, aku hanya ingin disebut sebagai raja pedang, aku merasa bangga dengan nama raja pedang, ilmu pedang ada 2 macam, pertama, dengan teknik merebut kemenangan. Yang kedua, dengan ilmu pedang melatih sifat, kalau mereka tidak mau bertekuk lutut kepadaku mereka bisa melepaskan ilmu pedang mereka dan di rumah berlatih pedang untuk hobi saja, aku tidak akan mengganggu mereka bila mereka tidak memilih jalan itu, berarti ingin merebut kemenangan, dengan cara adil aku akan bertarung dan menaklukkan mereka, apakah cara ini salah?"
Kata-kata ini memang terdengar fanatik tapi masuk akal juga, maka Lim Hud-kiam tidak bisa membantahnya, hanya bisa diam. Tapi Goan Hiong membantahnya.
"Belajar ilmu pedang untuk menegakan keadilan dan kebenaran, menyingkirkan yang jahat, menjaga keamanan, semua pesilat harus mengerti hal ini, mengapa kau mengurung merk di lingkungan kecil ini?"
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Menyingkirkan kejahatan, menjaga keamanan, biar kerajaan raja pedang yang bertanggung jawab akan hal ini, itu lebih berguna dibandingkan bergerak sendiri, dunia bisa kacau kalau begitu, yang namanya menjaga keadilan dan kebenaran selalu diukur dari patokan baik atau jahat secara perorangan."
"Bagaimana kau mengukurnya?"
"Aku sudah menentukan sebuah disiplin, yang melanggar harus dihukum dengan cara dibunuh, hanya dengan cara seperti itu baru bisa membuat kejahatan tidak akan muncul, menjaga keadilan dengan kekerasan baru bisa menghentikan kekerasan, dengan disiplin ketat mendidik psilatku supaya mereka tidak akan berbuat kesalahan."
"Memang rencanamu sangat bagus, kalau kau bersalah siapa yang akan menghukummu?"
"Tidak akan, aku adalah raja pedang, aku tidak akan melakukan kesalahan,"
Jawab Wong Jong-ceng.
"Manusia bukan Tuhan, mana mungkin tidak akan melakukan kesalahan?"
"Aku mengaku kalau kata-katamu benar, tapi kedudukan semakin tinggi maka untuk melakukan kesalahan semakin sedikit, sifat manusia pada dasarnya baik, mereka berbuat kejahatan karena tergoda, aku percaya aku mungkin bisa melakukan kesalahan tapi tidak akan mengubah putih menjadi hitam, atau membalikkan fakta!"
Lim Hud-kiam menghela nafas panjang.
"Aku tidak bisa membantah lagi, karena sudah habis aturan-aturan yang disebut supaya kau mengerti, tapi aku tetap menganggap kalau caramu itu tidak masuk akal!"
"Di dunia ini tidak ada aturan yang pasti, benar atau salah, baik atau jahat, itu hanya pandangan masing-masing, sekarang jika aku membunuh, kau tentu anggap kejam, mungkin kau pun dipengaruhi sebagian orang sebab senjata yang kau pakai adalah pedang tumpul, namamu pun menjadi Lim Hud-kiam (Pedang Budha), apakah kau pernah membunuh?"
Lim Hud-kiam berhenti sebentar baru menjawab.
"Hari ini aku baru melanggar aturan ini, aku telah membunuh anak buahmu, dulu aku tidak pernah membunuh."
"Apakah anak buahku melanggar hukum yang berat?"
"Tidak, tapi untuk membela diri, bila aku tidak membunuh mereka mereka yang akan membunuhku!"
"Benar, kapan harus membunuh? Bila aku sudah menaklukkan semua orang dengan ilmu pedang, apakah kau tahu begitu banyak orang yang ingin membunuhku dan merebut posisiku, jadi sebelumnya aku harus membangun dulu wibawaku untuk mengikis pikiran dan menekan lawan, ini juga salah satu usaha pembelaan diri,"
Kata Wong Jong-ceng.
"Kau harus mengerti, kau pernah dihina dan ditekan di Ceng-seng, dalam keadaan seperti itu orang hanya mempunyai dua pilihan, pertama membenci orang yang menekannya dan bersumpah akan membalas dendam, yang kedua adalah menimbulkan perasaan takut dan selalu tunduk kepada orang itu, walaupun kau tahu kalau kekuatanmu sudah melebihi dia, kau tetap saja tidak berani melawannya, aku ingin semua tunduk karena...."
"Jangan salah, kelompok orang itu tidak akan tunduk kepadamu!"
"Aku akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk melawan, mereka bisa membunuhku bila mereka tidak sanggup membunuhku dan terbunuh, jangan salahkan aku!"
Arti dan aturan miring ini membuat Lim Hud-kiam bingung, dia tidak mempunyai cukup kata untuk membalikkan omongan Wong Jong-ceng.
Mereka berjalan bukan melalui jalan besar, setelah Wong Jong-ceng membawa mereka turun dari loteng, mereka segera memasuki sebuah jalan kecil kemudian masuk ke gua buatan.
"Jalan ini langsung menuju tempat duduk raja pedang aku harus muncul secara tiba-tiba seperti kemunculan artis di sebuah sandiwara, semua itu bisa menambah wibawaku!"
Kata Wong Jong-ceng.
Ooo)dw*de(ooO BAB 30 Mengadu kepintaran untuk memperlihatkan bakat Di dalam gua sangat lembap, gelap, panjang dan berliku- liku, di sekeliling gua banyak dipasang tonggak-tonggak kayu, gunanya untuk menopang tanah supaya tidak longsor, kadang ada yang terpasang tinggi, kadang ada yang terpasang rendah, kadang berbelok kiri kadang juga berbelok ke kanan, setelah berjalan beberapa saat akan membuat orang bingung dan tidak tahu arah.
Di dalam gua setiap 3-4 meter selalu ada api unggun, kadang-kadang ada kelelawar yang terbang tanpa arah, melihat keadaan di sini dapat diketahui kalau jalan bawah tanah ini jarang ada yang melewati, api unggun pun dipasang karena ada yang akan lewat, di bawah gua banyak genangan air, juga ada ampas batu bara, diperkirakan kalau gua ini adalah bekas pertambangan batu bara.
Wong Jong-ceng berjalan paling depan, dia menundukkan kepala, seperti sedang memikirkan sesuatu, juga seperti merencanakan sesuatu, Goan Hiong mendekati Lim Hud-kiam, dengan suara sangat rendah dia berkata.
"Lim Toako, apa rencanamu selanjutnya?"
"Aku tidak tahu, sekarang aku merasa bingung."
"Apakah Lim Toako terganggu dengan kata-kata sesatnya tadi?"
"Tidak, aku merasa pola pikirnya memang masuk akal, tapi itu bukan jalan benar."
"Melihatmu diam terus, aku mengira kau sudah terpengaruh oleh kata-kata sesatnya."
"Mana mungkin, aku bukan anak kecil yang bisa begitu mudah dipengaruhi, mana yang salah dan mana yang benar masih bisa kubedakan dengan jelas."
"Kalau begitu ini kesempatan yang bagus."
"Kesempatan apa?"
"Tiba-tiba menyerang, dalam 5 langkah akan membuatnya mati bukankah hal ini akan beres?"
"Tidak, tidak boleh melakukan cara itu."
"Ini adalah cara yang termudah dan tercepat, harus mengambil keputusan yang tepat, jangan seperti perempuan."
"Aku tidak ragu-ragu, hanya saja tidak mungkin, dia menganggap dirinya adalah Raja Pedang, ilmu pedang pedangnya pasti lebih tinggi darimu dan juga aku."
"Karena itulah, kita harus menggunakan cara ini, kalau tidak kita akan lebih sulit lagi mengalahkan dia."
Lim Hud-kiam masih tampak ragu, dan Goan Hiong sudah menyerang, diam-diam dia menyerang bagian belakang Wong Jong-ceng dengan pedang.
Wong Jong-ceng tidak menoleh, punggungnya seperti terpasang mata, dia membalikkan tangan menepuk, pedang Goan Hiong berhasil disingkirkan, kemudian Wong Jong-ceng memukul tangan Goan Hiong, karena sakit, Goan Hiong melepaskan pedang yang dipegangnya.
Wong Jong-ceng tertawa dingin.
"Jangan melakukan hal bodoh, seorang pesilat pedang bila ingin membunuh dia harus berhadapan muka dengan musuhnya, kau menyerang dari belakang benar-benar tidak punya etika sebagai seorang pesilat pedang."
Goan Hiong tidak puas, dia melemparkan 2 butir bom yang mengandung obat bius, tapi Wong Jong-ceng seperti tidak merasakannya, bom meledak dan dari dinding gua keluar asap bergumpal. Wong Jong-ceng menghirup udara itu dan berkata.
"Mainan apa ini? Begitu harum."
Si Pedang Tumpul Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah bicara tubuhnya lemas, dia terduduk lemas ke bawah. Goan Hiong mengambil pedangnya dia siap menyerang Wong Jong-ceng dengan pedangnya, tiba-tiba Lim Hud-kiam mencabut pedang dan menghalanginya.
"Goan-heng, tidak boleh, kau tidak boleh membunuh dia!"
"Mengapa? Bila kita berhasil membunuhnya, dunia akan aman."
"Tidak juga, masih ada anak buah dan putrinya, mereka semua adalah pesilat tangguh, bila kau membunuhnya, mereka akan membalas dendam akibatnya tidak terbayangkan."
"Bila kita tidak membunuhnya, apakah akibatnya juga akan lebih baik? Paling sedikit yang lainnya tidak akan sulit dihadapi, tidak akan sesulit menghadapinya."
"Yang penting adalah hati nurani kita, tadi kau menyerangnya dari belakang, bila dia akan membunuhmu hanya seperti membalikkan telapak tangan, tapi dia tidak melakukannya, berarti hatinya masih lurus."
"Tapi perilakunya sangat sesat."
Dengan serius Lim Hud-kiam berkata.
"Kita menentang dia karena kita berdiri di pihak benar, tapi kalau dengan cara seperti itu membunuhnya, kebenaran akan hilang, kita lebih sesat darinya, jadi aku tidak setuju."
"Jadi aku harus bagaimana?"
"Bila kau bertarung dan membunuh dia secara berhadapan, aku akan mendukungmu, jangan melakukan dengan cara seperti itu."
Goan Hiong berpikir sejenak lalu berkata.
"Baiklah, tadi aku terlalu emosi, sekarang bila menyuruhku melakukannya lagi, belum tentu aku sanggup melakukannya, jadi dengan cara apa kita akan menghadapinya?"
"Tidak ada cara lain, tolong berikan dia obat penawarnya."
Goan Hiong merasa aneh dan berkata.
"Cara ini bukankah sama seperti melepaskan harimau ke hutan?"
Lim Hud-kiam menarik nafas, katanya.
"Betul, bila kita menggotongnya keluar, akibatnya akan lebih parah lagi, bila pedang Wong Han-bwee sudah mengganas, tidak ada yang bisa menahannya! Apalagi anak buahnya seperti srigala dan harimau, ilmu pedang Liu Ban-mong telah kau saksikan sendiri sekelompok nenek-nenek itu lebih lihai lagi, bila masih ada dia, dia bisa memerintah mereka."
"Kita bisa mengancam dia dan dia akan mengikuti perintah kita."
Lim Hud-kiam tertawa kecut.
"Apa gunanya? Lembah Raja Pedang dibangun berdasarkan wibawa Wong Jong-ceng apakah dengan kau menguasai seorang ini saja sudah cukup?"
"Paling sedikit bisa membuat Wong Han-bwee bertekuk lutut."
"Tidak hanya Wong Han-bwee, Wong Jin-jiu dan Ma Kiu- nio, dan Heuw Liu-hoan pun bisa, tapi Liu Ban-mong sulit ditebak, mungkin dia berharap kita membunuh Wong Jong- ceng?"
"Kita tidak perlu takut kepada Liu Ban-mong."
"Kau salah, orang yang paling menakutkan adalah Liu Ban- mong, orang itu seperti Ciu Giok-hu sangat ambisius dan serakah."
"Tapi ilmu silatnya terbatas."
"Aku tidak menganggapnya seperti itu, di Lembah Raja Pedang ini kecuali Wong Jong-ceng, mungkin Liu Ban-mong lah yang terkuat, tapi dia sengaja menyembunyikannya."
"Aku tidak percaya, bukankah pada saat rapat akbar di Tai- san, kau berhasil mengalahkannya?"
"Waktu itu aku mengira berhasil mengalahkannya, setelah berada di Lembah Raja Pedang, aku baru sadar ternyata aku salah besar, ilmu silat Liu Ban-mong berada di atas semua orang."
"Apa ada buktinya?"
"Ada, Liu Ban-mong adalah pengurus lembah ini, dia pasti mengenal semua orang, tapi dia pura-pura bodoh membiarkan kita datang ke tempat Wong Jong-ceng, coba kau pikir semua ini apa maksudnya?"
"Apa maksudnya?"
Goan Hiong terpaku.
"Kabar yang dia titipkan kepada kita tidak penting, gedung penyimpan pedang selalu dijaga dengan ketat, orang mereka sendiri pun tidak bisa keluar masuk seenaknya, pasti sulit melewati berlapis-lapis penjagaan, walaupun bisa lewat tapi di loteng keadaan pasti sudah menjadi waspada."
"Maksud Lim Toako, dia sengaja membiarkan kita masuk?"
"Betul, setelah aku berpikir lama aku baru mengerti, dari awal dia sudah tahu kalau kita menyamar, Wong Jong-ceng pun pasti bisa mengetahui penyamaran kita, masa dia tidak? Dia sengaja menggunakan plakat perintah mengantarkan kita ke gedung penyim-panan pedang, tujuannya adalah memperalat kita untuk membunuh Wong Jong-ceng, atau merusak konsentrasi Wong Jong-ceng yang sedang berlatih ilmu silat, hanya saja dia tidak menyangka kalau Wong Jong- ceng sudah selesai lebih cepat berlatihnya, maka rencananya tidak terlaksana."
"Lalu apa rencananya?"
"Yang pasti dia ingin merebut tampuk kekuasaan dari Wong Jong-ceng, coba kau pikir bila rencananya tidak matang, apakah dia berani melakukan hal ini?"
"Apakah Wong Jong-ceng mengetahuinya?"
"Aku kira dia pasti tahu, kalau tidak dia sebelum selesai berlatih, sebenarnya dia bisa lebih awal keluar, tidak perlu bersembunyi di dalam rumah."
Tiba-tiba Wong Jong-ceng berdiri dan tertawa terbahak- bahak.
"Pintar! Pintar! Orang yang keluar dari Ceng-seng memang lebih pintar dari yang lain."
Melihat Wong Jong-ceng siuman dengan sendirinya Goan Hiong kaget. Wong Jong-ceng tertawa, katanya.
"Bom yang kau gunakan tadi kau pelajari dari Biauw-eng, mana mungkin bisa menaklukkanku? Kau beruntung, Lim Hud-kiam telah menolongmu, kalau tadi dia tidak menghalangimu, saat kau menyerangku yang mati adalah dirimu, aku selalu tidak sungkan menghadapi musuh seperti itu."
"Mengapa kau bisa mengatasi obat bius yang ada di dalam bom?"
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Kau harus berpikir, Biauw-eng adalah seorang perempuan, mengapa dia bisa sampai memerintah semua orang persilatan dan bangkit kembali?"
"Apakah kau yang ada di belakang, mendukung semua gerakannya?"
Tanya Lim Hud-kiam terkejut. Wong Jong-ceng mengangguk.
"Benar, pelayan yang ada di dekatnya semua berasal dari sini, dia bangkit lagi karena aku mendukungnya dari belakang."
"Bukankah Ciu Giok-hu juga mendukungnya dari belakang?"
"Ciu Giok-hu sedang bermimpi, apakah bakatnya bisa bersaing denganku? Aku menyuruh Biauw-eng pura-pura berhubungan dengan Ciu Giok-hu, hanya untuk mengetahui keadaan Ceng-seng, sebenarnya Biauw-eng adalah anak buahku aku tahu apa yang dia lakukan, kau menggunakan obat biusnya, bukankah sama dengan di depan pintu Lu Pan memperagakan golokmu?" (Lu Pan adalah ahli golok Tiongkok jaman dulu). Lim Hud-kiam dan Goan Hiong terdiam, Wong Jong-ceng tertawa lagi, lalu dia berkata kepada Lim Hud-kiam.
"Kau pintar, sampai-sampai keserakahan Liu Ban-mong pun bisa kau ketahui."
"Kau sudah mengetahuinya, mengapa orang seperti itu masih kau ijinkan tinggal di sisimu?"
Tanya Lim Hud-kiam.
"Orang itu sangat berbakat, dalam usahaku yang besar ini membutuhkan orang berbakat seperti dia, jadi aku pura-pura tidak tahu dan memberikan hak penuh kepadanya untuk memimpin, membuatnya bertambah serakah, dia mengira dia bekerja untuk dirinya sendiri maka dia bekerja dengan sepenuh hati, ini adalah taktikku dalam memperalat orang."
"Apakah kau tidak takut dia akan berbalik menggigit?"
Tanya Lim Hud-kiam. Wong Jong-ceng tertawa.
"Dia memperalat kalian untuk menggigitku, tapi apakah kalian bisa melukaiku? Pengemis berani bermain ular, dia pasti mempunyai taktik menaklukkan ular."
Lim Hud-kiam tertawa dingin.
"Banyak orang yang bermain ular, ujung-ujungnya mereka mati karena gigitan ular."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Seorang pengemis demi meminta sedekah dia bermain ular, bukan karena dia menyukai ular, saat dia tidak perlu mengemis lagi dia pun tidak akan menggunakan ular lagi."
Goan Hiong berkata.
"Burung yang terbang sudah habis jadi panah harus disimpan, kelinci yang licik telah mati, untuk memasak daging anjing kalian memperalat orang, sesudah itu dia akan dibuang, setelah dipikir-pikir aku jadi ingin muntah."
Wong Jong-ceng tertawa santai.
"Kalimat depan benar, sesudah burung habis panah harus disimpan dan tidak akan digunakan lagi, kelinci sudah mati, apakah kau mau memelihara seekor anjing yang tidak mau menurut? Kalau tidak dimasak lalu untuk apa?"
Goan Hiong tidak bisa menjawab. Kata Wong Jong-ceng lagi.
"Kalau anjing itu penurut aku akan membiarkan dia menjaga pintu, aku tidak akan membunuhnya, tapi setelah dipelihara malah menggigit tuannya, bila dibunuh jangan salahkan kalau aku kejam, ini adalah jalan yang dicarinya sendiri, Lim Hud-kiam sudah melihat kelakuannya jadi aku nasehati lebih baik kau diam, aku tidak takut kau membunuhku, walaupun kau menyerangku kau tidak akan sanggup membunuhku, tapi kalau kau benar-benar ingin membunuhku, keadaanmu akan lebih buruk, Liu Ban-mong akan membuat gosip, Han-bwee, Jin-jiu, dan Kiu-nio adalah orang yang tidak punya otak, bisa membuat mereka jadi gila akan membuat rencana Liu Ban- mong berhasil, dia lebih licik dariku."
Goan Hiong terdiam.
Wong Jong-ceng terus berjalan, kedua pemuda itu terus mengikutinya dari belakang, kali ini Goan Hiong lebih banyak diam dia tidak berani bertindak gegabah lagi.
Akhirnya mereka tiba di depan sebuah pintu, pintu itu tertutup rapat, terdengar dari luar ada suara ribut.
Wong Jong-ceng tertawa.
"Sepertinya belum siap, kita tunggu sebentar lagi, sebuah pertunjukan besar akan dimulai."
"Apakah kita boleh keluar untuk melihatnya?"
Tanya Lim Hud-kiam.
"Tidak, kalian harus keluar bareng denganku."
"Kau naik tahta menjadi Raja Pedang, lalu apa hubungannya dengan kami?"
"Karena aku sudah mengatur sebuah petunjukan di luar dugaan orang, bila kalian keluar sekarang, akan merusak suasana."
Dengan terpaksa kedua pemuda itu menunggu dengan sabar. Lama kelamaan suara ribut mulai mereda, ada seseorang yang mengetuk pintu lalu dengan pelan bertanya.
"Ayah, apakah kau sudah ada di sini, di luar semua sudah selesai."
"Sejak tadi aku sudah ada di sini, panggil Liu Ban-mong, suruh dia untuk memulai,"
Perintah Wong Jong-ceng. Wong Han-bwee bertanya.
"Mana Lim Hud-kiam dan Goan Hiong?"
"Mereka ada di sisiku, mengapa kau tahu ada kedua orang ini?"
Tanya Wong Jong-ceng aneh.
"Begitu melihat senjata Lim Hud-kiam aku sudah tahu, tidak ada orang lain yang mempunyai senjata seperti ini."
"Tapi wajah Goan Hiong sudah berubah karena menyamar, mengapa kau masih mengenalinya?"
"Liu Ban-mong yang memberitahuku."
"Mengapa dia tahu kalau itu Goan Hiong?"
Si Pedang Tumpul Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia menghitung jumlah orang yang datang, yang tidak ada adalah putra Goan Jit-hong."
"Dia benar-benar teliti, suruh dia bersiap, kita akan mulai."
"Apakah kedua orang itu akan mengacaukan situasi?"
"Apakah itu juga kata-kata Liu Ban-mong? "Dia pernah menanyakannya dan aku sempat terpikir, kedua orang itu paling tidak aman!"
Kata Wong Jong-ceng.
"Mereka ada di sisiku, mereka tidak akan membuat keributan, beritahu kepada Liu Ban-mong semua sudah selesai, suruh dia segera memulainya."
Weng Han Mai menyahut dan pergi. Wong Jong-ceng tertawa kepada Lim Hud-kiam dan berkata.
"Putriku masih sedikit pintar walaupun Liu Ban-mong berniat menggulingkanku, tapi ingin merebutnya dari tangan Han-bwee, sepertinya tidak akan begitu gampang."
Lim Hud-kiam dengan dingin berkata.
"Aku lebih memilih Liu Ban-mong yang menang dari pada putrimu, untuk menguasai Lembah Raja Pedang, nafsu membunuhnya terlalu berat, membuat dunia ini tidak aman."
"Itu adalah sifat aslinya, jangan salahkan aku!"
Wong Jong- ceng tertawa.
"Dia mewarisi sifatmu, sangat kejam, mengapa tidak menyalahkanmu saja?"
Kata Lim Hud-kiam. Sambil menggelengkan kepala Wong Jong-ceng tertawa.
"Aku tidak mau mengakui, bila dikatakan ini karena keturunanku, itu bisa turunan dari ibunya, di tubuhku tidak mengandung nafsu membunuh."
"Apakah kau mengira kalau kau sendiri baik?"
Tanya Goan Hiong.
"Aku tidak menganggap kalau aku adalah orang yang sangat baik, tapi aku percaya keturunanku sangat baik, nanti kalian akan mendapatkan bukti yang kuat."
"Kata-katamu selalu membuat kami bingung, seperti tersimpan sebuah rahasia besar, apa sebenarnya yang kau simpan?"
Tanya Lim Hud-kiam. Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Jangan terburu- buru, sebentar lagi teka teki ini akan terbuka, waktu itu keadaan akan membuat semua orang terkejut."
Waktu itu terdengar Liu Ban-mong dengan suara khasnya mengumumkan.
"Semua gunung tunduk, semua pedang menghadap kemari, Raja Pedang akan melaksanakan upacara."
Kemudian simbal dan musik mulai dimainkan, pintu yang tertutup rapat itu pelan-pelan terbuka, Lim Hud-kiam dan Goan Hiong melongok keluar, di luar, panggung dihias dengan begitu mewah, jaraknya sekitar 10 tombak dari tempat mereka, sebuah panggung yang terbuat dari batu.
Panggung yang terbuat dari batu marmer dan ditutup oleh kulit harimau dengan warna menyolok, di tengah-tengah ada sebuah kursi yang diukir dengan indah, kursi itu pun tertutup oleh kulit harimau.
Dari arah pintu gua sampai ke panggung batu harus melalui jalan yang telah ditutup dengan batu, jalan itu berada di atas jalan biasa setinggi 1 tombak, ada tangga untuk turun di sisi panggung, dan 2 baris pesilat memakai baju ketat.
24 orang perempuan setengah baya menggunakan baju ketat membawa pedang, dua gadis berbaju hijau bersiap-siap membawa Wong Jong-ceng ke panggung.
Liu Ban-mong, Heuw Liu-hoan, Wong Jin-jiu, dan Ma Kiu- nio berdiri di bawah panggung, di sekeliling panggung dijaga oleh pasukan Lembah Raja Pedang, mereka memakai baju baru berwarna-warni, dengan teratur mereka mengelilingi panggung batu itu.
Di luar barisan itu adalah pesilat-pesilat yang datang dari luar.
Wong Jong-ceng tertawa dan berkata.
"Kalain berdua turun dulu, ikut dengan penonton lain untuk menyaksikan upacaranya."
Goan Hiong melihat Ciam Giok-beng, Kie Tiang-lim, Pui Thian-hoa, juga Kie Pi-sia, mereka segera berjalan ke sana.
Wong Jong-ceng dibawa oleh kedua gadis itu, pelan-pelan berjalan menuju tengah panggung.
Wajahnya ditutup oleh kain tipis, maka dia terlihat begitu misterius, kedua tangannya digiring, musik segera berhenti, rapat yang dihadiri hampir seribu orang segera menjadi sunyi senyap.
Dengan sombong dia memandang ke bawah panggung, sorot matanya yang tajam, membuat orang takut, terdengar Liu Ban-mong berkata.
"Silakan Raja Pedang naik ke atas tahta."
Tapi Wong Jong-ceng menjawab dengan dingin.
"Tunggu, apakah kau sudah siap?"
Dengan hormat Liu Ban-mong menjawab.
"Aku sudah mempersiapkan semuanya."
"Begitu aku duduk, tidak diijinkan ada yang masih berdiri, apakah kau sanggup menyuruh semua orang berlutut kepadaku?"
"Bisa, tinggal sekelompok yang merupakan pengecualian karena mereka tidak punya orang yang di tahan di lembah ini!"
Wong Jong-ceng menunjuk ke arah Lim Hud-kiam.
"Apakah yang kau maksud adalah mereka?"
"Betul, tadinya aku ingin menyandera Liu Hui-hui dan Yu Bwee-nio, tapi Tuan tiba-tiba menyuruh nona mengganti rencana."
Wong Jong-ceng mengangguk.
"Tidak apa, bagaimana dengan yang lain?"
"Tidak ada masalah, sampai-sampai Kian-kun-kiam-pai karena Pui Ciauw-jin dan Ho Gwat-ji di sandera maka mereka pasti akan berlutut, aku yakin mereka tidak akan berubah pikiran."
"Bila tiba-tiba ada yang menolak berlutut, bagaimana?"
Tanya Wong Jong-ceng.
"Aku akan menurut perintah tuanku, membunuh sandera terlebih dulu baru menghukum orang yang menolak dan membunuh orang itu."
"Baik, apa kau sudah menyampaikan perintah ini kepada mereka semua?"
Tanya Wong Jong-ceng sambil tertawa.
"Sudah!"
Wong Jong-ceng mengangguk.
"Tapi aku tetap merasa tidak tenang, lebih baik sandera itu dibawa kemari supaya mereka pun bisa ikut melihat dan akan membuat mereka takut."
Liu Ban-mong melambaikan tangan, dari sudut barat lapang datang sekelompok pasukan berbaju hijau, dua orang mengapitkan seorang sandera, paling depan adalah Ciu Giok- hu, kemudian disusul Tiang Leng-cu, Thio In, terakhir adalah Pui Ciauw-jin dan Ho gwat-ji, mereka terlihat sangat lelah, kedua mata mereka tidak bersinar, seperti telah melewati siksaan yang berat.
Thio Siauw-hun dari Thian-san pertama-tama yang marah, dia berteriak.
"Wong Jong-ceng, dengan cara apa kau menyiksa orang tuaku?"
Wong Jong-ceng tidak meladeninya, Liu Ban-mong tertawa dan menjawab.
"Tidak ada siksaan, setiap hari makan kenyang, hidup mereka lebih baik enak dibandingkan raja."
"Mengapa mereka bisa terlihat begitu lelah?"
Thio Siauw- hun ikut berteriak.
"Suruh mereka menjawab sendiri,"
Kata Liu Ban-mong tertawa.
"Ibu apa yang kau alami?"
Tanya Thio Siau-hun. Dengan lelah Ciu Leng-hun menjawab.
"Tidak mengalami apa pun, hanya merasa lelah saja."
"Mengapa kau bisa begitu lelah? Apakah mereka memaksamu kerja paksa?"
Ciu Leng-hun tertawa kecut.
"Boleh dikatakan seperti itu, kerja paksa yang paling melelahkan."
Pui Thian-hoa berteriak.
"Ini merupakan penyiksaan!"
Liu Ban-mong berkata.
"Kalian boleh tanya, kerja paksa apa yang mereka lakukan, aku mengaku ini memang adalah pekerjaan yang melelahkan tapi mereka dengan suka rela melakukannya."
"Ayah, apakah semua ini betul?"
Tanya Pui Thian-hoa dengan cemas. Pui Ciauw-jin tidak ada tenaga untuk berbicara, dia hanya menyahut dengan suara rendah.
"Betul."
"Mengapa kau rela melakukannya? Apa yang telah terjadi?"
Pui Ciauw-jin menarik nafas.
"Bertarung ilmu pedang setiap hari, kecuali makan, pagi dan malam setiap hari melakukannya sebanyak 4-5 kali."
Semua orang terpaku, Lim Hud-kiam dengan tenang bertanya.
"Mengapa harus bertarung pedang? Bagaimana caranya?"
Liu Ban-mong berkata.
"Kami siap dengan ilmu pedang untuk menguasai dunia, tentu saja dengan ilmu pedang kami membuat mereka bertekuk lutut, maka semenjak mereka datang ke lembah ini, mereka mulai tahu bagaimana ilmu pedang kami, kami memerintah 100 pesilat melayani mereka, mereka sendiri yang menentukan ingin bertarung dengan siapa asal bisa menang dari mereka boleh meninggalkan lembah ini, syarat ini sangat gampang, tapi di antara mereka tidak ada seorang pun yang menang dari pesilat-pesilat kami."
"100 pesilat berada di tingkat berapa?"
"Semua tingkatan ada, yang pasti mereka adalah pesilat tangguh lembah kami, walaupun kami tidak mengikutinya, tapi aku kira itu pun sudah cukup."
Goan Hiong berteriak.
"Aku tidak percaya, aku pernah bertemu dengan pesilat tingkat pertama, tapi tidak begitu istimewa, aku yakin Paman Pui tidak akan kalah dari mereka."
Liu Ban-mong tertawa terbahak-bahak.
"Pesilat di lembah ini memang terbagi menjadi beberapa tingkat, tapi mereka hanya menjalankan tugas mengurusi tetek bengek, pesilat tangguh bukan mereka, ke seratus orang itulah baru pesilat kami, coba kau pikir, orang yang kami sandera adalah ketua perguruan, orang penting dari banyak perguruan, tapi di depan pesilat kami, mereka mengaku kalah, apa yang bisa direbut lagi?"
Si Pedang Tumpul Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Goan Hiong bertanya.
"Paman Pui, apakah betul ada 100 orang pesilat?"
Pui Ciauw-jin mengangguk.
"Betul, ke seratus pesilat ini setiap hari mengelilingi kami, setiap mereka siap melayani kami, tapi aku merasa malu, selama 5 hari ini aku telah mengajak 49 orang pesilat bertarung, hasilnya aku kalah 49 kali secara berturut-turut."
"Apakah mereka dengan teknik ilmu silat mengalahkan kalian?"
Tanya Lim Hud-kiam.
"Benar, di antara 100 orang ini, jurus pedang mereka tidak ada yang sama, setiap orang berbeda-beda ilmu pedangnya, aku mengaku kalah, sampai semangat berjuang pun sudah lenyap."
Semua orang yang datang lebih awal ke Lembah Raja Pedang menundukkan kepala, mereka bersikap seperti Pui Ciauw-jin, hal ini membuat semua orang takut.
Saat rapat akbar di Tai-san, dari Lembah Raja Pedang hanya datang Wong Han-bwee dan 5 orang wakil, itu pun sudah membuat mereka bergetar, selain Lim Hud-kiam tidak ada yang sanggup mengalahkan mereka.
Tidak disangka di Lembah Raja Pedang ini ada 100 pesilat tangguh, mungkin teknik mereka tidak setinggi Wong Han- bwee, tapi tetap membuat para pesilat yang datang merasa takut.
Kekuatan mereka begitu dahyat, siapa yang bisa melawannya? Di lapangan tidak terdengar suara, hanya Lim Hud-kiam yang bertanya pada Liu Ban-mong.
"Mana 100 orang pesilat itu?"
"Mereka berpencar di sekeliling lapangan sini menjaga setiap jalan dan siap membunuh orang yang berani meninggalkan tempat ini, jadi jangan berusaha kabur."
"Suruh mereka keluar, aku tidak percaya ada begitu banyak pesilat tangguh,"
Kata Lim Hud-kiam.
Liu Ban-mong tidak berani mengambil keputusan, dia meminta pendapat Wong Jong-ceng, begitu melihat Wong Jong-ceng mengangguk, dia segera memberi isyarat dengan tangannya, benar saja dari sekeliling lapangan segera muncul orang-orang yang mengenakan baju ketat berwarna putih, mereka membawa pedang terlihat sangat bersemangat juga gagah, umur mereka tidak lewat dari 30 tahun.
"Apakah mereka adalah keseratus orang itu?"
Tanya Lim Hud-kiam. Thio In melihat sekeliling kemudian berkata.
"Betul, itulah mereka, aku sudah hafal dengan wajah mereka, dalam 67 pertarungan, aku selalu kalah, aku mengaku kalah."
Wong Jong-ceng berkata.
"Lim Hud-kiam, jangan mencurigai kami bermain licik, dengan teknik pedang aku siap menjadi raja, aku mengeluarkan keahlian, tidak ada sedikit pun kebohongan, 100 pesilat tangguh ini saat diajak bertarung mereka berusaha untuk menang, tapi mereka tidak akan melukai lawan, sampai luka ringan pun tidak boleh, dalam teknik ilmu pedang, harus lebih tinggi dari mereka."
Wong Jong-ceng tidak berbohong dengan cara seperti itu untuk menang dari lawan memang harus mempunyai teknik lebih tinggi dari lawan, bila ke seratus orang itu kemampuannya lebih tinggi dari Ciu Giok-hu berarti Wong Han-bwee lebih tinggi lagi ilmunya, Wong Jong-ceng yang selalu menyebut dirinya sebagai Raja Pedang, bagaimana kehebatan ilmunya? Benar-benar tidak terbayangkan.
Dengan suara mantap Wong Jong-ceng berkata.
"Tidak perlu bertarung, memilih kalah adalah cara yang bagus, hal ini memang sulit dilakukan karena kalian belum pernah melihat ilmu pedang ini maka aku memilih cara yang akan membuat kalian mengalah, bila masih ada yang tidak terima, terpaksa aku membunuhnya dengan tujuan supaya dia mau mengaku kalah, aku berharap tidak akan terjadi seperti itu."
Matanya yang bersorot dingin membuat hati setiap orang bergetar, kemudian dia berkata.
"Beberapa sandera ini adalah pemimpin kalian, karena kekalahan mereka, maka mereka kehilangan semangat berjuang, aku harap ini bisa menjadi contoh untuk yang lain, Lembah Raja Pedang bukan tempat di mana kalian bisa melawannya, kalian hanya mempunyai 2 pilihan, pertama mengaku kalah, kedua, mati, kalian yang datang ke Lembah Raja Pedang jika ingin mati, tidak akan segampang itu, Liu Ban-mong sudah memberitahu hasilnya kalau melawan."
Di bawah panggung tidak ada suara, Wong Jong-ceng melihat tidak ada seorang pun yang berani bertanya, dia tertawa panjang, dia memegang pegangan kursi siap duduk. Tiba-tiba Ciam Giok-beng berkata.
"Tunggu sebentar!"
"Apa yang akan kau katakan?"
Tanya Wong Jong-ceng.
"Kami sudah melihat jelas kekuatan Lembah Raja Pedang, tidak ada orang yang bisa melawan, kalau Tuan dengan sebutan raja di lembah pedang memerintahkan semua orang berlutut, kami akan menurut, tapi tujuan Tuan adalah menjadi Raja Pedang, itu hanya untuk nama pribadi paling sedikit Tuan harus memperagakan ilmu Tuan sebagai seorang Raja Pedang."
Wong Jong-ceng berkata.
"Orang yang ada di sini mendapatkan latihan langsung dariku, apakah belum cukup? Kalian tidak bisa mengalahkan anak buahku, aku kira hal lain tidak perlu dibicarakan lagi!"
"Raja Pedang dan raja tidak sama, bisa menjadi raja, dia pasti orang yang lebih pintar dibandingkan orang lain, dia juga pasti mempunyai kepribadian yang baik, kalau ingin menjadi Raja Pedang, teknik pedangnya harus berada di atas semua orang, apakah Tuan setuju?"
Wong Jong-ceng mengangguk.
"Kau benar, apakah kau ingin mengujiku?"
Wong Han-bwee segera berkata.
"Ayah, kau adalah Raja Pedang, untuk apa melayani hal seperti ini, siapa yang tidak terima, aku akan membantu ayah membereskan dia."
"Semua ini tidak ada yang bisa mewakili,"
Kata Ciam Giok- beng. Wong Han-bwee marah.
"Masalah Raja Pedang tidak perlu ikut campur!"
"Sebelum ayahmu naik tahta dia belum menjadi seorang Raja Pedang, aku mengajukan permintaan ini hanya ingin membuktikan apakah ayahmu benar-benar seorang pesilat pedang yang tidak terkalahkan atau hanya sebuah boneka yang dikuasai oleh orang lain!"
Wong Han-bwee berteriak dan marah.
"Siapa yang menguasai ayahku?"
"Sulit dikatakan, di dunia persilatan sering terjadi hal seperti itu, orang yang berada di posisi paling puncak belum tentu dia penguasanya, seorang pesilat boleh menang dalam tehnik, tapi tidak boleh kalah dalam hal wibawa, kami akan tunduk kepadanya tapi kami tidak akan tunduk kepada sebuah boneka."
Wong Jong-ceng tertawa, katanya.
"Aku mengerti maksudmu, kau pasti mendapatkan kabar dan menganggap kalau aku adalah Raja Pedang palsu."
"Tidak juga, semua orang tahu kalau Anda adalah Raja Pedang yang sebenarnya tapi teknik pedangmu sudah mencapai tahap mana, kami harus tahu setidaknya sedikit saja."
"Jangan menutup-nutupinya lagi, kau pasti mendapat kabar aku berlatih silat hingga tersesat dan tidak bisa menggerakkan tubuhku, harus mengandalkan anak buahku untuk memalsukannya tapi kalian sudah melihatnya dengan jelas, gerakanku sangat lincah dan tidak terganggu oleh apa pun."
"Bisa berjalan beberapa langkah bukan berarti ilmu pedangmu adalah yang tertinggi di dunia ini."
"Muridmu Goan Hiong diam-diam pernah menyerangku dia tahu tehnik pedangku sudah setinggi apa."
"Muridku bukan yang terbaik, kalau dia bisa menguji seorang Raja Pedang yang ilmunya setinggi apa belum diketahui, sebenarnya tidak setinggi yang kami bayangkan."
"Maksudmu, kau ingin aku memperagakan ilmu pedangku?"
Kata Wong Jong-ceng tertawa. Ciam Giok-beng ikut tertawa.
"Memang ada gosip yang mengabarkan demikian, maka setidaknya Tuan harus mempunyai sedikit emosi supaya gosip-gosip itu hilang dengan sendirinya."
"Baiklah, aku ingin pihak kalian mengeluarkan 3 orang wakil naik ke panggung, apakah itu sudah cukup?"
"Hanya mengalahkan 3 orang sepertinya belum cukup untuk disebut Raja Pedang,"
Jawab Ciam Giok-beng.
"Lalu apa keinginanmu? Aku tidak mempunyai waktu atau semangat untuk bertarung dengan setiap orang."
"Itu tidak perlu, saat kami datang kemari kami telah berunding, satu wakil dari setiap 5 perguruan, perguruan pedang satu wakil, perguruan kami satu wakil, masih ada satu orang lagi...."
"Siapakah dia?"
"Untuk sementara kami belum bisa memberitahu siapa orang ini, Anda selalu menyebut diri sebagai Raja Pedang, aku yakin Anda pasti tidak masalah kalau di tambah satu ronde bukan?"
Wong Jong-ceng berpikir sejenak dan menjawab.
"Ditambah 10 ronde pun tidak apa, tapi aku tekankan kepada kalian jangan macam-macam kepadaku yang rugi pasti kalian sendiri."
"Kita bertarung harus dengan aturan, tidak ada cara yang bisa membuat kami bertindak macam-macam,"
Jawab Ciam Giok-beng tertawa.
"Baiklah, keluarkanlah 4 orang itu!"
Teriak Wong Jong-ceng.
"Sekarang ini tidak perlu harus sampai keluar semua, lebih baik keluar satu per satu, bila Tuan berhasil mengalahkan satu orang, otomatis orang kedua akan keluar,"
Jawab Ciam Giok- beng.
"Siapa yang mau tampil dulu?"
Dari kerumunan orang, muncul seorang laki-laki setengah baya.
"Aku!"
Dia keluar dari barisan 5 perguruan, Wong Jong-ceng melihatnya dan bertanya.
"Apakah Tuan mewakili 5 perguruan? Tuan dari perguruan mana?"
Lelaki yang berpenampilan seperti pelajar itu menjawab.
"Namaku Song Ciu-kun, aku bukan dari perguruan mana pun, aku hanya mempunyai hubungan dengan 5 perguruan, aku ingin mencoba ilmu pedang dari seorang Raja Pedang."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Aku tahu siapa dirimu, sejak plakat dunia persilatan menghilang dari 5 perguruan mereka pernah menyusun sebuah rencana rahasia, mengumpulkan ilmu pedang dari 5 perguruan, diturunkan pada seseorang untuk diteliti."
Wajah Song Ciu-kun berubah.
"Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Aku sudah lama mempelajari ilmu pedang, dan mendirikan sebuah perguruan pedang maka semua gerak-gerik perguruan pedang pasti harus tahu, menurut perhitunganku, dalam waktu dekat ini kau pasti akan keluar, apakah ilmu pedang dari lima perguruan sudah kau kuasai?"
"Ilmu pedang adalah ilmu tidak terbatas, mana mungkin bisa menguasai semuanya?"
Jawab Song Ciu-kun.
"Tapi, aku menganggap kalau aku sudah berada di puncaknya ilmu pedang dan ilmu pedangku tidak akan mungkin maju lagi, kau mungkin tidak akan mengerti dengan kata-kataku ini, aku juga tidak berharap kau akan mengerti, bila aku bisa mengalahkanmu, apakah 5 perguruan akan mengakui kekalahan mereka?"
Tanya Wong Jong-ceng. Song Ciu-kun berpikir sebentar baru menjawab.
"Aku mewakili 5 perguruan menyampaikan sebaris kata, seorang pesilat pedang selamanya tidak akan mengaku kalah, begitu juga dengan 5 perguruan pun selamanya tidak tunduk kepada Anda."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Kalian benar- benar mempunyai kesabaran luar biasa, ternyata sudah menyusun sebuah rencana begitu jauh."
"Betul, karena di dunia persilatan ada orang sekejam Anda maka kami akan terus menyusun rencana menghadapi Anda, setiap 10 tahun kami mendidik dan memunculkan satu orang baru,"
Si Pedang Tumpul Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Song Ciu-kun.
"Baiklah, bila aku tidak mati, aku akan menunggu 10 tahun lagi, 10 tahun lagi dan seterusnya, bila aku mati, akan ada yang mewarisi kedudukan Raja Pedang, ini adalah persaingan tanpa batas waktu, aku ingin tahu siapa yang bisa bertahan lebih lama?"
"Anda telah mengetahui rencana kami, pasti akan mengerti rencana ini memang disusun oleh 5 perguruan, tapi tidak mereka kuasai, maka ketua 5 perguruan sekarang ini tidak akan tahu siapa yang akan muncul berikutnya,"
Kata Song Ciu- kun.
"Tenanglah, aku tidak akan mencari tahu dari 5 perguruan, lebih-lebih tidak ingin menghalangi rencana kalian,"
Kata Wong Jong-ceng.
"Mencari tahu pun percuma saja, aku sendiri tidak tahu siapa berikutnya yang akan maju, aku memberitahu hal ini hanya berharap Anda jangan sembarangan membunuh,"
Kata Song Ciu-kun. Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Raja Pedang mempunyai jiwa besar sebagai seorang Raja Pedang, aku tidak akan bertindak kerdil, malah aku senang dengan adanya rencana ini, selagi aku masih hidup aku tidak akan memberi kesempatan kepada kalian untuk berhasil, apakah Raja Pedang berikutnya bisa sesukses diriku, aku tidak bisa menduga, tentang rencana kalian aku merasakan kalau ini adalah hal yang bagus, silakan!"
"Di mana kita akan bertarung?"
Tanya Song Ciu-kun.
"Tentu saja di punggung, asal bisa memukulku hingga jatuh dari panggung, kedudukan Raja Pedang akan menjadi milikmu, semua yang ada di Lembah Raja Pedang ini juga akan menjadi milikmu."
"Aku tidak serakah, kedudukanku sebagai penjaga 5 perguruan, wakil kami berikutnya juga punya posisi yang sama, kami menjaga kehormatan dan adat istiadat 5 perguruan."
Wong Jong-ceng tertawa keras, katanya.
"Baik, jaman dulu Su-ceng pernah menjadi perdana menteri 7 negara, tapi beliau tidak bisa menghalangi Raja Ceng-su mempersatukan Tiongkok, kalau kau pelindung dari 5 perguruan, kalau bisa mengalahkan Raja Pedang, sejarah akan tercatat namamu."
Song Ciu-kun tidak menjawab, dia meloncat ke atas panggung, kemudian berkata kepada kerumunan orang.
"Orang yang menduduki posisi 5 ketua dari 5 perguruan harap ke depan untuk mendengarkan perintah." 5 ketua dari 5 perguruan berjalan beriringan ke depan, Cia Hwie Cin-jin dari Bu-tong mewakili mereka memberi hormat.
"Kami di sini, harap pelindung mengeluarkan tanda untuk dicocokkan."
Dari balik baju bagian dada Song Ciu-kun mengeluarkan sebuah bendera berbentuk segitiga dan melemparkan ke bawah panggung, Cia Hwie Cin-jin memungutnya, kemudian memperlihatkannya kepada ketua yang lain, lalu menghancurkan bendera itu.
"Tanda sudah diperiksa dan itu adalah asli, harap Anda memberi perintah!"
Song Ciu-kun menarik nafas.
"Tidak ada yang harus kusampaikan, bendera ini pertama kalinya digunakan, apakah aku akan menang atau kalah, masih belum tahu, tapi aku akan berjuang dengan sekuat tenaga, bila aku kalah demi perguruan kalian masing-masing, kalian harus sabar menahan diri, setelah 10 tahun dari sekarang, pelindung 5 perguruan akan muncul kembali, mungkin dia tidak akan mengecewakan kalian."
"Aku harap pun begitu,"
Jawab Cia Hwie Cin-jin sambil menarik nafas. Mereka berlima berlutut, Song Ciu-kun dengan angkuh menerima penghormatan mereka, Wong Jong-ceng tidak tahan melihat situasi itu dan berkata.
"Pelindung 5 perguruan benar-benar sombong."
"Aku menerima penghormatan ini bukan tanpa sebab,"
Jawab Song Ciu-kun.
"Aku ingin tahu apa alasanmu?"
"Nanti Anda pun akan mengerti, sekarang aku tidak akan memberitahu."
Wong Jong-ceng tidak banyak bertanya lagi, dia melihat 5 ketua dari 5 perguruan yang masih berlutut, dia marah, bentaknya.
"Mengapa kalian terus berlutut kepadanya?"
"Jangan hiraukan mereka, mari kita mulai bertarung,"
Jawab Song Ciu-kun. Wong Jong-ceng mengangguk dan menggerakkan tangannya.
"Mana pedangku!"
Liu Ban-mong sudah terbang ke atas memberikan sebuah pedang panjang, pegangannya berwarna emas.
"Tuanku, biar hamba saja yang melakukan? Tidak perlu Tuan sendiri yang melakukan."
Wong Jong-ceng tertawa dingin.
"Apakah kau pantas melakukannya? Pedang ini melambangkan wibawa Raja Pedang sama dengan stempel raja yang terbuat dari batu giok, selama aku masih hidup belum sampai pada giliranmu untuk memegangnya, sekali pun aku mati aku tidak akan memberikannya untukmu."
Walaupun Liu Ban-mong kena semprotan keras, dia tetap tertawa dan berkata.
"Hamba tidak berpikiran seperti itu, hanya Tuanku baru saja selesai berlatih ilmu silat, jangan terlalu banyak bergerak dulu."
Dengan dingin Wong Jong-ceng berkata.
"Kau kira aku tidak mampu bergerak dengan leluasa?"
"Hamba tidak bermaksud seperti itu."
"Lalu apa maksudmu?"
"Hamba hanya berpikir, Tuan adalah Raja Pedang tidak perlu bergerak sendiri."
"Apakah kau tidak mendengar kata-kata Ciam Giok-beng tadi? Orang-orang curiga, aku menjadi Raja Pedang hanya seperti harimau kertas, bila aku tidak menunjukkan kehebatanku, mana mungkin bisa menak-lukan banyak orang?"
"Biarkan saja mereka bicara, mengapa Tuan harus mendengarkan kata-kata mereka?"
"Yang penting aku harus bertarung dengan pedang yang mewakili wibawa sebagai seorang Raja Pedang, selain itu juga untuk menguatkan kedudukanku sebagai Raja Pedang, siapa yang bisa mewakiliku?"
"Nona adalah putri Tuan, biar nona saja yang mewakili Tuan."
"Tidak, hanya Raja Pedang yang boleh menggunakan pedang ini."
"Apakah nona bukan Raja Pedang berikutnya?"
"Siapa yang mengatakan aku akan mewariskan kedudukan Raja Pedang kepada Han-bwee?"
"Tentu saja, sebab Tuan tidak punya keluarga lain lagi."
"Cerewet, turun, jangan ganggu aku lagi."
Liu Ban-mong segera turun dari panggung. Diam-diam Wong Han-bwee bertanya.
"Ayah, bukan karena putrimu menginginkan kedudukan ini, aku hanya merasa aneh...."
"Apa anehnya, masalahku, biar aku sendiri yang mengambil keputusan."
Ma Kiu-nio menarik baju Han-bwee dan berkata.
"Pedang raja tidak akan diberikan kepadamu, tapi juga tidak akan jatuh ke tangan orang lain, ini adalah adat keluarga kalian untuk apa terburu-buru? Raja Pedang atau Ratu pedang sama saja."
Wajah Wong Han-bwee menjadi merah, tapi Wong Jong- ceng malah memelototnya dengan benci kepada Ma Kiu-nio dan membentak.
"Kiu-nio, kau tahu tempat apa ini, jangan sembarangan bicara!"
Ma Kiu-nio terdiam tidak berani bicara lagi.
Pedang sudah dicabut oleh Wong Jong-ceng, sebuah sinar pelangi berwarna merah terlihat di depan mata, lalu berpencar mengeluarkan cahaya berwarna emas, Song Ciu-kun kaget dan tanpa terasa mundur satu langkah.
Wong Jong-ceng tertawa dan berkata.
"Tenanglah, pedang ini adalah simbol wibawa Raja Pedang, ini bukan senjata tajam, tidak akan sampai merusak senjatamu."
Song Ciu-kun membusungkan dadanya.
"Senjata tajam pun tidak akan menjadi masalah, ilmu pedang tidak harus mengandalkan senjata tajam, walaupun Anda mempunyai berbagai macam cara sesat, tapi kalau tidak mempunyai teknik mantap, belum tentu bisa menang dari senjata biasa milikku."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Benar, demi mendampingi posisi Raja Pedang, aku mencari pedang ini untuk keseimbangan, sebenarnya fungsi pedang ini hanya seperti sebuah pentungan, tidak ada istimewanya, sekarang keluarkan jurusmu."
Song Ciu-kun terlihat sangat serius, dia sudah bersiap dengan sepenuh hati, setelah bersiap dia baru mengeluarkan pedangnya dan dengan pelan menyerang.
Wong Jong-ceng tidak mau melihatnya, dengan enteng dia membuat pedang yang datang menyerang bergeser ke samping, lalu jurusnya berobah sangat cepat, Wong Jong-ceng mulai menyerang.
Tapi Song Ciu-kun tetap tenang menghadapinya, mereka terus bertarung dengan cara seperti itu.
Dia menyebut dirinya sebagai Raja Pedang, untuk pertama kali Wong Jong-ceng bertarung di depan umum, tentu saja menarik perhatian banyak orang, tidak hanya yang datang dari luar, orang-orang Lembah Raja Pedang pun memperhatikan pertarungan ini, apa lagi Liu Ban-mong, perhatiannya melebihi orang lain.
Wong Jong-ceng tidak percuma disebut sebagai Raja Pedang, jurusnya sangat aneh juga sesat, gerakan pedangnya sering menyimpang dari aturan biasa, setiap perubahan tidak bisa di duga, tapi jurus-jurus aneh ini di tangannya menjadi jurus sangat istimewa dan juga sangat berwibawa.
Yang paling membuat orang kagum adalah di depan musuh sikapnya terlihat santai, luwes, dan tenang, membuat orang tidak menyangka kalau dia sebenarnya sedang bertarung, sedangkan di sekelilingnya penuh dengan hawa membunuh.
Song Ciu-kun pun bertarung dengan bagus, perubahan- perubahan jurus Wong Jong-ceng bisa dicairkan satu per satu, hanya saja sikapnya sangat serius dan dia terlihat lelah.
Mereka bertarung sudah mencapai 40 jurus, kedua belah pihak sama-sama kuat.
Wong Jong-ceng tertawa.
"Bagus, sangat bagus, kau bisa menggunakan ilmu pedang dari 5 perguruan dengan begitu lancar, kau sudah melakukan yang terbaik, hanya sayang kau membuang tenaga dengan sia-sia, bila dengan semangat sepertimu ini mempelajari ilmu pedang Raja Pedang dariku paling sedikit kau bisa menduduki posisi sebagai pesilat tangguh nomor 4 atau 5."
Song Ciu-kun terdiam, dia mengayunkan lagi pedangnya menyerang, walau dia mulai merasa lelah tapi jurus pedangnya semakin ganas, dia lebih banyak menyerang dari pada bertahan, kadang-kadang karena memaksakan diri bisa menyerang, dia membuat banyak kelemahan, itu sangat berbahaya baginya, tapi dia sudah bertekad ingin mengalahkan lawan.
Kelemahan yang dia perlihatkan bukan merupakan kekurangannya, karena dari balik kelemahan itu dia akan berbalik menyerang, menyerang kelemahan ini harus menghadapi ujung pedangnya yang tajam, hal ini akan membuat kedua-duanya mati bersama-sama.
Sepertinya dia siap mengorbankan nyawanya sendiri, tapi Wong Jong-ceng tetap tenang dan masih bercanda, sama sekali tidak terpancing menyerang ke arah kelemahan itu, dia juga tidak ingin terburu-buru menang, dengan santai dia berkata.
"Marga Song, 5 perguruan sudah memberikan kebaikan apa saja kepadamu, sampai kau mau menjual nyawamu untuk mereka, kalau kau berbakti kepadaku, aku jamin kau akan mendapatkan kebaikan lebih banyak lagi."
Song Ciu-kun sama sekali tidak melayaninya, serangannya semakin gencar dan ganas. Wong Jong-ceng mulai tidak sabar.
"Marga Song, apakah kau benar-benar tidak peduli pada nyawamu sendiri? Aku punya aturan tersendiri, bila ada orang yang bisa menerima 100 jurusku, aku harus membunuhnya."
Dengan serius Song Ciu-kun menjawab.
"Kalau bisa, lakukan saja."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Ternyata kau mengira teknik pedangku hanya sebatas ini saja dan takut aku tidak bisa menang darimu, kau benar-benar buta, aku hanya menyayangi orang berbakat, maka aku sungkan kepadamu, sekarang 96 jurus sudah berlalu, aku sudah mengambil keputusan dalam 3 jurus aku akan mengalahkanmu, dan tidak akan membiarkanmu melewati 100 jurusku."
Song Ciu-kun masih diam, dia menyerang 3 kali, gerakannya seperti air mengalir cepat kemudian turun, tenaganya benar-benar tidak bisa ditahan, 2 serangannya berhasil dihindari oleh Wong Jong-ceng, pada jurus ketiga Wong Jong-ceng malah berhasil menempelkan pedangnya dengan pedang Song Ciu-kun, setiap orang bisa melihat dengan jelas kejadian itu, tapi tidak tahu dengan cara apa pedangnya bisa meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara bentakan.
"Lepaskan!"
Si Pedang Tumpul Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
PAK...
terdengar suara nyaring, itulah suara pedang yang terpukul, dengan mengerahkan tenaga yang tepat, tangan Song Ciu-kun jadi tergetar, pedangnya pun terbang dan terjatuh ke bawah panggung, di tanah yang penuh dengan batu, menancap sedalam 1 kaki lebih.
Ini membuktikan kalau tenaga Song Ciu-kun sangat kuat, juga membuktikan kalau tenaga Wong Jong-ceng sangat hebat.
Penonton yang ada di bawah panggung menghembuskan nafas, mereka baru tersadar setelah melihat pertarungan tadi.
Wong Jong-ceng tertawa keras, berkata.
"Apakah kau mengaku kalah?"
Song Ciu-kun tertawa sedih.
"Aku mengaku kalah, tapi aku tidak sudi harus menurut kepadamu."
"Kau benar-benar keras kepala, dengan cara apa aku baru bisa membuatmu menurut?"
Song Ciu-kun berpikir sebentar.
"Kecuali Anda bisa membuat ketua dari 5 perguruan bertekuk lutut, baru aku akan menurut kepada Anda."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Apa susahnya? Aku bisa melakukannya."
"Kau tidak akan sanggup melakukan ini selamanya, mungkin demi mempertahankan perguruan mereka, dengan terpaksa mereka akan berlutut kepadamu, tapi dalam hati mereka, mereka selalu ingin menentangmu, kau memaksa orang menurut kepadamu, dengan wibawamu membuat hati orang lain menurut kepadamu, apakah kau sanggup melakukannya?"
Wong Jong-ceng berpikir sebentar.
"Mungkin tidak bisa, tapi aku ingin bertanya, mengapa mereka begitu hormat kepadamu?"
"Kau ingin tahu mengapa bisa seperti itu? Sangat sederhana, aku akan bicara dulu kepada mereka, setelah itu aku akan memberitahu mu."
Kemudian dia berbicara dengan 5 ketua dari 5 perguruan yang berada di bawah panggung.
"Maaf, aku tidak bisa melaksanakan harapan kalian, maka kalian harus menunggu 10 tahun lagi." 5 orang yang ada di bawah panggung tidak ada yang bergerak tapi Song Ciu-kun sudah lemas terjatuh ke bawah dan kata-kata terakhirnya.
"Ini adalah jawabanku!"
Kemudian tubuhnya seperti sebuah bongkahan batu terlempar ke bawah panggung, 5 ketua sekali lagi memberi hormat dengan menyentuhkan kepala mereka ke tanah, baru diam-diam berdiri.
"Apa yang terjadi?"
Kata Wong Jong-ceng tidak mengerti. Cia Hwie Cin-jin dengan sedih menjawab.
"Sebelum bertarung, pelindung 5 perguruan sudah minum racun, racun itu dalam waktu setengah jam akan bekerja dan tidak akan tertolong, maka kami berlima sejak tadi berlutut sambil menyaksikan dia bertarung, semua itu untuk menyampaikan penghormatan kami."
"Ternyata begitu, tapi mengapa harus begitu? Aku tidak bermaksud membunuh dia!"
"Karena dia tidak boleh membocorkan rahasia mengenai bendera pelindung,"
Jawab Cia Hwie Cin-jin.
"Aku juga tidak bermaksud ingin mengetahui rahasia itu!"
"Ini mengenai diri Anda, dia tidak berpikir seperti itu, dia harus mati, kalau tidak kami tidak akan begitu hormat kepadanya."
"Bila dia menang dariku, apakah dia juga harus mati?"
Tanya Wong Jong-ceng.
"Benar, pelindung seumur hidupnya hanya bertarung satu kali begitu bertarung terbuka, kalah atau menang akan membawanya menuju kematian, maka kalau tidak terpaksa, kami tidak berani mengundang pelindung, bendera itu adalah hal yang paling mulia bagi seorang pesilat pedang."
"Pekerjaan yang harus mengantarkan nyawa, siapa yang mau menanggungnya?"
Tanya Wong Jong-ceng.
"Ada, pelindung bendera hanya keluar sekitar setengah jam, tapi dia mendapat penghormatan yang tidak akan didapat orang lain seumur hidup mereka, 10 tahun lagi bila keadaan kami berubah, pasti akan ada pelindung bendera yang lain yang akan muncul."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Aku tidak percaya hal ini terjadi."
"10 tahun sangat cepat, Anda pasti masih sempat menyaksikannya lagi,"
Kata Cia Hwie Cin-jin.
"Aku takut aku tidak bisa sabar menunggu,"
Kata Wong Jong-ceng.
"Aku tidak punya banyak cara menurunkan kepada generasi muda, memang tidak ada yang tahu pelindung bendera berikutnya berada di mana!"
Kata Cia Hwie Cin-jin.
"Kalau kalian tidak tahu, bagaimana meminta pertolongan kepadanya?"
"Tidak perlu memberitahu, dia akan tahu sendiri, apakah dia harus muncul atau tidak, semua keputusan ada di tangannya."
"Bila aku mengambil nyawa orang-orang dari 5 perguruan untuk dijadikan syarat, menyuruh orang itu dalam waktu setengah bulan mencariku, apakah dia tetap akan bersembunyi?"
Cia Hwie Cin-jin berpikir sebentar baru menjawab.
"Dalam waktu 10 tahun ini dia tidak akan muncul, karena pelindung bendera harus melalui 10 tahun meneliti ilmu baru yang lebih kuat dan lebih dalam ilmunya dibandingkan pelindung yang terdahulu, muncul pun akan percuma saja."
"Maksudmu pelindung berikutnya sudah lahir, dan ilmunya hampir sama dengan Song Ciu-kun?"
Wong Jong-ceng tertawa.
"Benar, menurut kami seperti itu, tapi sebenarnya keadaannya seperti apa tidak ada yang tahu lebih jelas, sebab kami tidak berhak mencari tahu."
Wong Jong-ceng tertawa dingin.
"Bila dalam 10 tahun kemudian orang-orang 5 perguruan mati semua, untuk apa dia masih menjaga bendera pelindung?"
"Teknik-teknik terbaik dari 5 perguruan sudah kami serahkan kepada pelindung bendera, jadi kami tidak akan mati, setelah 10 tahun berlalu bila pelindung bendera masih tidak bisa membereskan masalah, dia akan memberikan tugas itu kepada pelindung yang baru, bila berhasil pelindung baru akan mengajarkan ilmu-ilmunya kepada pemuda lurus dan berbakat di bidang ilmu silat, mereka akan membantu 5 perguruan mendirikan sebuah perguruan kokoh, maka kami tidak perlu takut ilmu kami akan musnah."
Akhirnya Wong Jong-ceng menarik nafas panjang.
"Orang yang membuat rencana ini benar-benar berbakat, sepertinya aku pun harus meniru caranya."
"Tidak, ayah, kita tidak perlu cara ini,"
Kata Wong Han- bwee.
"Mengapa?"
Dengan angkuh Wong Han-bwee berkata.
"Karena ilmu pedang kita sudah mencapai tahap tidak terkalahkan, jadi tidak perlu khawatir."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Betul, apa yang kau katakan tadi sangat betul, ilmu pedang dari Lembah Raja Pedang sudah mencapai tahap tertinggi dalam ilmu pedang, hanya khawatir tidak ada yang meneruskannya saja, kita tidak perlu takut dikalahkan orang lain, maka kita tidak perlu mempunyai rencana begitu rumit."
"Tapi ayah, untuk Raja Pedang berikutnya ayah harus memilih dengan hati-hati, paling sedikit harus disetujui olehku,"
Kata Wong Han-bwee.
"Mengapa harus disetujui olehmu?"
Wong Jong-ceng tertawa. Wajah Wong Han-bwee menjadi merah.
"Bila ayah mencari orang yang tidak becus, aku tidak rela, sebab ini berhubungan dengan kebahagiaanku seumur hidup."
"Anak, kau sudah salah paham, kau kira penerus ku pasti akan menjadi menantuku?"
Wong Jong-ceng tertawa. Wong Han-bwee menganga, jawab Ma Kiu-nio.
"Apakah bukan seperti itu?"
Wong Jong-ceng menggelengkan kepala, Wong Han-bwee bertanya.
"Ayah, aku tahu perhatianmu akan ilmu pedang sangat tinggi dan perempuan selalu terbatas tidak bisa mencapai apa yang ayah inginkan, tapi aku harap ayah jangan mewariskan ilmu pedang ini kepada orang lain!"
"Bukan orang lain juga bukan calon suamimu, lebih baik jangan banyak bertanya lagi, aku sudah menentukan orang itu.... siapa giliran berikutnya yang akan bertarung denganku?"
Tanya Wong Jong-ceng.
Mata besar Wong Han-bwee membelalak lebar dan besar, sorot matanya terlihat seperti kebingungan, Ma Kiu-nio, Heuw Liu-hoan, dan Weng Jin-jiu pun merasa bingung.
Orang-orang yang ada di bawah panggung saling pandang, setelah lama, Ciu Pek-ho keluar dan berkata.
"Aku, aku akan mewakili semua keluarga ilmu pedang."
"Mengapa harus dia?"
Lim Hud-kiam terkejut.
"Aku juga tidak tahu, tapi bocah itu sangat aneh dalam beberapa hari ini, ilmu pedangnya maju pesat, sebelum berada di sini, dia berturut-turut bisa mengalahkan beberapa pesilat tangguh, maka dia mewakili keluarga ilmu pedang,"
Jawab Liu Ta-su.
"Masih bisa diduga, begitu dia bertarung aku akan bisa memastikannya, tapi lebih baik kita lihat dulu,"
Kata Lim Hud- kiam. Ciu Pek-ho sudah berada di atas panggung, Wong Jong- ceng dengan tidak suka berkata.
"Mengapa mereka menyuruhmu menjadi wakil mereka? Apakah mereka sudah buta?"
Dengan angkuh Ciu Pek-ho menjawab.
"Aku menjadi wakil karena kehebatanku, jangan menganggap remeh diriku, dalam seratus jurus, kau tidak akan bisa mengalahkanku."
Wong Jong-ceng tertawa keras, katanya.
"Kalau kau bisa berhasil melewati 100 jurus, dalam rapat akbar pedang waktu itu kau bisa menjadi juara dan ayahmu tidak perlu tergesa- gesa mencari plakat dunia persilatan."
"Untuk apa ilmu yang tersimpan dalam plakat itu, aku hanya ingin mendapat julukan Raja Pedang,"
Si Pedang Tumpul Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ciu Pek-ho tertawa sombong.
"Apakah kau pantas mendapatkannya? Di Tai-san kau masih diberikan kesempatan hidup karena kami berbaik hati, kami tidak mau ambil nyawamu,"
Wong Han-bwee berteriak. Ciu Pek-ho tertawa, katanya.
"Waktu itu aku sengaja membiarkan kalian menang, kalau tidak ayahmu tidak akan muncul, ilmu pedang dari Ceng-seng lah yang nomor satu di dunia ini!"
Wong Jong-ceng menunjuk pada Ciu Giok-hu dan berkata.
"Lihatlah ayahmu yang kelelahan itu, kalau ilmu pedang Ceng- seng bagus dari awal dia sudah pasti bisa keluar."
Kata Ciu Pek-ho.
"Tidak bisa di katakan kalau ilmu pedang ayah pasti lebih tinggi dari putranya, kalau sampai kejadian begitu berarti setiap generasi akan lebih mundur dari generasi di atasnya, ilmu pedang hanya bisa maju tidak boleh mundur, ilmu silat harus semakin dalam, artinya yang muda harus lebih kuat dari yang tua."
Wong Jong-ceng tertawa, katanya.
"Bocah, kau benar- benar mempunyai mulut yang tajam."
"Mulutku tajam tapi pedangku lebih tajam lagi, bila kau sudah mencobanya, kau akan lebih mengetahuinya,"
Kata Ciu Pek-ho tersenyum. Wong Jong-ceng benar-benar dibuat marah, dia berteriak.
"Bocah tengik, kalau aku membiarkanmu lewati 100 jurusku, tidak perlu sampai kalah, aku akan memberikan posisi Raja Pedang kepadamu."
"Bagaimana Anda tidak akan memberikannya? Kalau Anda bisa melindungi kepala Anda supaya tidak sampai terpenggal, itu pun sudah beruntung."
Wong Jong-ceng benar-benar tidak tahan dengan sikap Ciu Pek-ho yang seperti gila itu, dia mulai menyerang terlebih dulu, sikap Ciu Pek-ho tampak sangat tenang, bahkan mengeluarkan jurusnya pun tenang dan bisa dengan baik mencairkan serangan Wong Jong-ceng.
Wong Jong-ceng sekaligus menyerang 10 jurus lebih, setiap jurus berubah-ubah dan ganas, tapi Ciu Pek-ho seperti tidak peduli, dia tetap bisa memecahkan setiap serangan Wong Jong-ceng dan setiap jurus mengenai kekurangan Wong Jong- ceng, bisa dikatakan semua jurus Wong Jong-ceng sudah tertutup, semakin bertarung Wong Jong-ceng semakin marah, dia berteriak.
"Han-bwee, mengapa kau bisa menganggap bocah ini bodoh dan tidak ada apa-apanya?"
Dengan kaget Wong Han-bwee menjawab.
"Aku pun tidak tahu, saat rapat akbar di Tai-san, ilmu pedangnya sangat biasa, tingkatannya hanya sampai prajurit level 3."
Liu Ban-mong berkata dari samping.
"Sulit dikatakan bocah itu pintar menyembunyikan ilmu yang sebenarnya, melihat ilmu pedangnya sekarang, dia berada di atas nona."
"Mengapa dia bisa mengenali jurus-jurus pedang kita?"
Tanya Wong Jong-ceng.
"Apa anehnya? Aku berbakat, bila sudah melihat satu kali aku tidak akan melupakannya, putri dan beberapa anak buahmu pernah memperagakan ilmu pedangmu, aku ingat perubahan dasarnya, ditambah sedikit berpikir aku segera tahu di mana kelemahanmu,"
Kata Ciu Pek-ho tertawa. Wong Jong-ceng tertawa dingin.
"Apakah kau menganggap kau pintar, saat kau kecil satu pelajaran pun kau harus membacanya sebanyak 10 kali lebih baru bisa ingat, aku tidak percaya setelah besar kau bisa begitu pintar."
"Mengapa kau tahu masa kecilku?"
Tanya Ciu Pek-ho sedikit kaget.
"Tentu saja aku tahu, apa yang terjadi di Ceng-seng, aku lebih tahu dari siapa pun, saat kecil kau sangat bodoh, setelah besar tetap saja bodoh!"
Kata Wong Jong-ceng.
Karena dibongkar terus, Ciu Pek-ho jadi panas dia segera menyerang, tapi malah membuat dia berada dalam posisi berbahaya, karena dia menyerang dulu Wong Jong-ceng malah mendapat kesempatan baik.
Liu Ban-mong berteriak dari samping.
"Hati-hati!"
"Kau menyuruh siapa berhati-hati?"
Tanya Wong Jong-ceng. Merasa dia sudah salah bersikap, dia segera menjawab.
"Aku sedang memperingatkan Tuan, karena bocah ini sangat licik, mungkin dia mempunyai rencana busuk."
Wong Jong-ceng tertawa dingin.
"Ususnya ada berapa buah aku tahu dengan jelas, aku tidak takut dia mempunyai rencana busuk! Siapa yang berani berbuat macam-macam di depanku, dia akan kena musibah."
Liu Ban-mong tidak berani membuka mulut lagi, Ciu Pek-ho sudah kembali ke sikap semula, dengan tenang dia bertarung, segera dia kembali pada posisi seimbang, sampai 50 jurus berlalu Wong Han-bwee berkata.
"Ayah, mengapa kau tidak membunuh dia saja? Apakah betul ayah ingin melewati 100 jurus lebih?"
Wong Jong-ceng tertawa dingin.
"Tenang saja, ayah tidak akan kalah."
"Aku tahu ayah tidak akan kalah, tapi ayah masih harus bertarung dengan yang lain, tiap ronde pasti akan sangat melelahkan, apakah ayah kuat?"
Tanya Wong Han-bwee. Wong Jong-ceng tertawa dingin.
"Kau kira aku tidak kuat melewati 400 jurus? Kau kira aku berhasil menguasai ilmu penting adalah hal yang tidak sebenarnya?"
"Sebetulnya dalam waktu setengah bulan lagi ayah baru selesai berlatih, sekarang ayah keluar lebih awal aku benar- benar mengkhawatirkan ayah."
Wong Jong-ceng tertawa terbahak-bahak.
"Kalau semua masalahku diketahui oleh orang lain, Lembah Raja Pedang dari dulu sudah direbut orang."
Karena bicara terus, Wong Jong-ceng jadi tidak berkonsentrasi, pedangnya ditahan oleh Ciu Pek-ho dan digeserkan ke luar, kemudian cahaya pedang berkelebat sangat menyilaukan, Ciu Pek-ho sudah mengeluarkan jurus sangat aneh.
Semua orang berteriak karena kaget, semua orang mengira Wong Jong-ceng pasti mati, setelah pedang dialihkan ke luar, tampak Wong Jong-ceng akan terluka, kalau dia tidak mati pun pasti akan terluka berat, tapi saat bayangan mereka terpisah, Wong Jong-ceng berdiri dengan tegak tanpa terluka sedikit pun, sebaliknya dada Ciu Pek-ho berlepotan darah, mulutnya terus berkata.
"Iblis pedang! Iblis pedang! dia iblis pedang!!"
Ooo)de*kz(ooO BAB 31 Jatuhkan ke sumur ditimpa batu Membunuh untuk tutup mulut.
Teriakan 'Iblis pedang' adalah teriakan Ciu Pek-ho secara tidak sengaja, tapi hal ini memang cocok dengan perasaan setiap orang, jurus pedang Wong Jong-ceng sangat aneh, dalam keadaan seperti tadi semua orang mengira dia pasti akan mengalami kekalahan, tapi dia bisa membalikkan keadaan menjadi kemenangannya dan tidak ada seorang pun yang melihat bagaimana dia mengeluarkan jurusnya.
Setelah berteriak Ciu Pek-ho tidak sanggup menahan rasa sakit karena luka di bagian dadanya, dia berguling-guling di atas panggung, akhirnya terjatuh ke bawah.
Ciu Giok-hu sangat menyayangi putranya, dia segera menghampiri putranya untuk memeluknya, tapi ada seseorang yang gerakannya lebih cepat darinya, pedangnya diayunkan dan tubuh Ciu Pek-ho sudah terbelah menjadi dua bagian.
Ciu Giok-hu terkejut, dia melihat pada orang itu, ternyata dia adalah Liu Ban-mong, dengan marah Ciu Giok-hu bertanya.
"Mengapa kau membunuh anakku?"
Liu Ban-mong menjawab dengan dingin.
"Putramu sudah berbuat tidak hormat kepada Raja Pedang dia berani menghina Raja Pedang, jadi pantas dia dihukum mati."
Ciu Giok-hu tidak bisa menjawab, Liu Ban-mong berkata lagi.
"Cepat kembali ke tempatmu, jangan lupa kau adalah tawanan lembah kami."
Ciu Giok-hu berteriak.
"Aku hanya mempunyai putra tunggal, sekarang dia sudah mati, harapanku seumur hidup pun ikut hancur, aku sudah tidak peduli apakah aku tawanan atau bukan!"
Liu Ban-mong menjawab dengan dingin.
"Apakah kau mau mati, tidak ada alasan bagi orang Ceng-seng harus ikut mati bersamamu, kalau kau masih berusaha melawan kau harus tahu apa akibatnya!"
"Aku tidak peduli!"
Teriak Ciu Giok-hu. Tiang Leng-cu segera mendekat.
"Ciu Toako, orang yang sudah mati tidak bisa hidup kembali, kau melawan sendiri pun tidak apa, tapi bila menarik kami ke dalam pusaran ini, kau bukan teman kami lagi, tadinya aku tinggal di See-tiang, tapi karena kau terus meminta aku keluar dari sana, aku pun menurut, sekarang kita sudah bergabung, kau pun harus memikirkan kepentingan kita, kembalilah!"
"Apakah putraku akan mati secara sia-sia?"
Kata Tiang Leng-cu.
"Dia tidak akan mati sia-sia, paling sedikit dia sudah membuat kita bisa menyaksikan kehebatan Raja Pedang, orang yang tahu diri akan menjadi orang yang hebat."
Sambil berkata demikian dia mengambil separuh separuh Ciu Pek-ho, Ciu Giok-hu berteriak.
"Kembalikan padaku, aku pasti akan membalaskan dendam putraku!"
Separuh mayat Ciu Pek-ho dikembalikan oleh Tiang Leng- cu, saat itu dia juga mengambil separuh mayatnya lagi dan berkata.
"Kita angkut mayat ini ke pinggir, nanti aku baru akan membantumu membalas dendam."
Ciu Giok-hu berdiri dengan bengong, Tiang Leng-cu terus memberi kode.
"Ciu Toako, balas dendam harus sabar, sekarang kalau kau bersikukuh membalas dendam, hanya akan menambah satu mayat lagi, kau tahu ilmu pedang Ciu Pek-ho lebih hebat darimu, tapi dia tetap kalah dari Raja Pedang, apalagi kau."
Tiang Leng-cu menariknya mundur, Ciu Giok-hu terdorong dengan masih dalam keadaan bengong, baru beberapa langkah dia sudah roboh.
"Ciu Toako harus bisa menjaga diri, jangan terlalu sedih,"
Kata Tiang Leng-cu.
Tapi Ciu Giok-hu sudah tidak punya tenaga lagi untuk berjalan, mayat separuh itu pun terlempar ke bawah, akhirnya setelah setengah didorong oleh Tiang Leng-cu, dia bisa kembali ke barisannya.
Bun Tho-hoan cepat datang menghampiri dan bertanya.
"Bagaimana keadaan Ciu Toako?"
"Mungkin dia terlalu sedih, biar dia duduk dulu untuk beristirahat,"
Jawab Tiang Leng-cu.
Ciu Giok-hu duduk, tapi dia tidak bergerak semua gerakannya menuruti orang yang membawanya, dia bengong, karena melihat kelakuan Ciu Giok-hu yang aneh, Bun Tho- hoan memeriksanya.
Setelah diperiksa akhirnya ketahuan, ternyata di pinggang Ciu Giok-hu tertancap sebuah pisau belati, dalamnya hujaman belati itu sudah mencapai bagian ginjal, dia sudah mati.
Inilah cara membunuh yang paling kejam, nadi yang ditusuk adalah nadi penting setelah ditusuk orang itu akan segera mati, berteriak pun sudah tidak bisa, malah tersamar dari luar, orang itu seperti mayat hidup setelah pisaunya dicabut, dia baru benar-benar akan mati.
Hanya Tiang Leng-cu yang pernah mendekati Ciu Giok-hu, jadi pasti dia yang membunuhnya, Bun Tho-hoan menunjuk Tiang Leng-cu.
"Apakah kau yang melakukannya?"
"Bun Toako, aku terpaksa melakukannya,"
Si Pedang Tumpul Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiang Leng-cu tertawa.
"Jangan sembarangan bicara, apa di antara kalian tersimpan dendam?"
Bun Tho-hoan marah. Tiang Leng-cu menjawab dengan dingin.
"Bun Toako, Ceng- seng dan aku sudah bergabung, karena putranya terbunuh, Ciu Giok-hu ingin memberontak hingga kita akan terbawa- bawa, aku melakukan hal ini pun demi kebaikan semua orang."
"Tapi kau tidak perlu sampai membunuhnya!"
Kata Bun Tho-hoan.
"Bila aku tidak membunuhnya kita akan celaka bersamanya, apakah kita bisa melawan Raja Pedang? Ciu Giok-hu biasanya sangat baik kepada kita, tapi demi putranya dia tidak akan ingat teman lagi, tidak salah jika aku membunuhnya."
Bun Tho-hoan menarik nafas panjang, kemudian Liu Ban- mong berkata sambil tertawa.
"Untung Tiang Leng-cu sangat cekatan, bisa segera membunuhnya, kalau tidak, menurut aturan lembah ini jika satu orang memberontak maka akan membuat yang lain celaka, mungkin akan dibunuh sampai anjing dan ayam pun tidak tersisa."
Dengan suara berat Wong Jong-ceng berkata.
"Liu Bang Mang, kapan kau naik pangkat, sampai sanggup mewakiliku mengambil keputusan? Aku belum membuka mulut, kau sudah menurunkan perintah!"
Liu Ban-mong dengan terkejut berkata.
"Aku tidak berani! Karena Ciu Pek-ho menghina Tuanku, aku sebagai pembawa acara ini, harus menghukum orang seperti dia."
Wong Jong-ceng tertawa dingin.
"Sudahlah, kau sudah menjelaskannya, tapi aku tidak pernah mengatakan harus menghukum yang lain juga, mengapa kau mengambil keputusan sendiri?' "Tuanku pernah mengumumkan cara seperti itu,"
Kata Liu Ban-mong terburu-buru menjelaskan. Wong Jong-ceng tertawa dingin.
"Betul, aku memang pernah mengumumkan cara seperti itu, tapi itu kalau aku sudah menjadi Raja Pedang sedangkan sekarang aku belum naik tahta."
Kata Wong Han-bwee.
"Ayah, kau tidak akan mengalami masalah, Liu Ban-mong memang terlalu tergesa-gesa, tapi dia melakukan untuk menjaga wibawamu."
Wong Jong-ceng menjawab dingin.
"Han-bwee, bila aku seperti kau begitu ceroboh, Lembah Raja Pedang ini sudah terlepas dari tanganku, dan direbut oleh orang lain, apakah kau sadar itu?"
Wong Han-bwee terpaku, tapi dia tidak terima dan membantah.
"Dari sisi mana aku terlihat ceroboh?"
Dengan serius Wong Jong-ceng menjawab.
"Kau melihat serangan Ciu Pek-ho tadi, kau harus mengerti mengapa begitu aku mengeluarkan jurus dia bisa memecahkannya!"
Lama Wong Han-bwee baru berkata.
"Ilmu pedang orang itu memang tidak terduga, mungkin dia pura-pura bodoh, di Tai-san dia telah mengingat semua jurus kita kemudian mencari cara untuk mengatasinya hingga berani mengajakmu bertarung."
"Apakah hanya karena alasan itu yang kau pikir?"
Dengan dingin Wong Jong-ceng berkata.
"Selain alasan itu tidak ada penjelasan lain."
"Tapi jurus pedang yang kugunakan tadi ada beberapa jurus yang kalian sendiri pun belum mempelajarinya, jadi tidak mungkin bisa sampai bocor keluar, sedangkan dia sudah tahu cara mengatasinya, beberapa jurus ini kecuali beberapa orang yang ada di lembah ini tidak ada yang pernah melihatnya, mengapa dia bisa memecahkannya?"
"Mungkin... mungkin dia tiba-tiba bisa terpikir."
"Tidak mungkin, ilmu pedangku bisa dikatakan tidak ada kelemahannya, tapi dengan tiba-tiba dia bisa memecahkan jurusku, jelas itu tidak mungkin, dia seperti tahu perubahan jurusku dan sudah mempersiapkan caranya, jadi ini hanya ada satu kemungkinan, yaitu dari awal dia sudah tahu jurus pedangku."
"Maksud ayah, ada orang membocorkan jurus pedangmu?"
"Tidak hanya itu saja, orang itu sudah membocorkan ilmu pedangku, dia pun bisa memecahkan ilmu pedangku dan diam-diam mengajarkannya pada Ciu Pek-ho."
Wong Han-bwee benar-benar terkejut.
"Tidak mungkin! Ilmu pedang ayah kami pun belum mempelajarinya dengan sempurna."
"Di luar memang terlihat belum sempurna, tapi diam-diam dia sudah menguasainya, selain menguasainya dia juga melihat di mana saja kelemahanku, sampai-sampai cara mengatasinya pun sudah terpikirkan, orang ini benar-benat tidak mudah dihadapi,"
Jelas Wong Jong-ceng.
"Kukira beberapa orang yang ada di sini tidak mempunyai bakat sehebat itu/ kata Wong Han-bwee.
"Kau bisa mengerti isi hati manusia sedalam apa?"
Jawab Wong Jong-ceng dengan dingin.
"Jin-jiu, Kiu-nio, dan Heuw Liu-hoan, aku tahu sedalam apa bakat mereka, dan kemampuan mereka terbatas, mereka tidak akan lebih tinggi dariku,"
Kata Wong Han-bwee. Dengan cemas Liu Ban-mong berkata.
"Apakah Nona mencurigaiku?"
Jawab Wong Han-bwee dengan dingin.
"Kau tidak perlu begitu percaya diri karena aku tidak menyebutkan namamu, dalam bidang ilmu pedang kau jauh sekali di bawah Kiu-nio, kalau bukan karena kau berbakat di luar bidang ilmu pedang, kau sama sekali tidak akan bisa menjadi pengurus lembah ini."
"Apa yang dikatakan Nona memang benar, aku tahu bakatku sangat terbatas, aku tidak bisa menyaingi Kiu-nio dan yang lainnya, sampai dibandingkan dengan pelindung tuan yang berjumlah 24 pun, ilmuku lebih rendah maka aku mengabdi kepada tuan dalam bidang lain."
Wong Han-bwee tidak peduli dengan perkataannya, dia terus bertanya kepada ayahnya.
"Ayah, siapakah orang itu?"
"Sebenarnya kau bisa tanyakan kepada Ciu Pek-ho, tapi dia sudah terbunuh, sekarang hanya Tuhan yang mengetahui siapa orang itu."
Dengan marah Wong Han-bwee memelototi Liu Ban-mong.
"Kau benar-benar bloon!"
Liu Ban-mong membungkukkan tubuh, berkata.
"Apa yang Nona katakan aku terima, aku benar-benar ceroboh, tapi aku tidak tahu akan ada hal seperti itu."
"Kalau ilmu pedangmu lebih tinggi dari sekarang, aku bisa mencurigaimu membunuh untuk menutup mulut, tapi kau bodoh terpaksa aku menyebutmu bloon, kau benar-benar ceroboh, secara tidak sengaja sudah membantu pengkhianat di antara kita, menurutmu kau harus dihukum dengan cara apa?"
Tanya Wong Han-bwee.
"Aku akan terima hukuman apa pun,"
Jawab Liu Ban-mong. Tapi Wong Jong-ceng malah tertawa.
"Dia tidak perlu dihukum karena dia memang tidak tahu, aku pun malas mencari pengkhianat itu, walaupun dia akan mengambil posisiku tapi kemampuannya masih jauh, ilmu pedangku bisa dikatakan tidak terkalahkan, berarti tidak akan ada yang bisa mengalahkanku."
"Tapi ayah, kita harus mencari pengkhianat itu."
"Tidak perlu dicari, orang itu dengan segala daya upaya mengaku sudah menguasai semua teknik pedangku, tapi dia sendiri tidak berani mencobanya dia malah mencari Ciu Pek-ho yang tidak tahu bahaya untuk mencobanya, nyawa bocah ini melayang dengan sia-sia,"
Kata Wong Jong-ceng tertawa. Sorot mata Wong Jong-ceng beralih kepada Tiang Leng-cu, suaranya berubah menjadi galak.
"Sebetulnya kalian tahu dan kalian masih satu kelompok, Ciu Giok-hu sedih karena putranya terbunuh, dia ingin memberitahu rahasia ini, tapi kau takut terbawa-bawa, maka diam-diam kau membunuhnya, orang seperti dirimu begitu takut mati dan lupa akan teman, seumur hidup tidak akan menjadi pesilat pedang sejati, kau tidak perlu takut aku tidak akan mencari masalah denganmu, hanya saja kelak kau harus berhati-hati jangan punya pikiran ingin melawanku, contoh nyata adalah Ciu Pek-ho, kalian tidak akan bisa mencuri ilmu pedang Raja Pedang."
Karena terkejut wajah Tiang Leng-cu berubah menjadi pucat, Bun Tho-hoan yang berada di pinggir pun ikut menjadi pucat. Wong Han-bwee tidak percaya, dia memprotes.
"Ayah, sejak masuk lembah ini, orang-orang ini selalu diawasi oleh putrimu, mereka tidak mungkin bersekongkol dengan yang lain."
"Apakah matamu tidak pernah beralih dari mereka?"
Tanya Wong Jong-ceng.
"Tentu saja tidak, sebab banyak hal yang harus kuselesaikan, tapi mereka berada dalam pengawasan 100 pesilat kita yang hebat, tidak mungkin mereka akan berbuat macam-macam!"
"Apakah kau bisa mempercayai 100 orang itu?"
Tanya Wong Jong-ceng. Wong Han-bwee benar-benar terkejut.
"100 orang ini belum pernah keluar lembah, setiap hari mereka kulatih sendiri, bila mereka ada masalah dengan kita, tidak mungkin mereka akan bergabung dengan Ciu Pek-ho, jadi aku kira mereka bisa dipercaya."
Wong Jong-ceng tertawa, katanya.
"Han-bwee, kau mungkin bisa meneruskan usaha ayah di Lembah Raja Pedang ini, aku akan mengajarimu satu hal.
"jangan percaya pada siapa pun,"
Kau mengatakan 100 pesilat ini tidak ada masalah, tapi aku menganggap kebanyakan dari mereka bermasalah, aku menutup pintu untuk berlatih ilmu silat, tapi aku lebih tahu jelas darimu yang tiap hari melihat mereka."
"Ayah, apa yang kau lihat?"
Wong Jong-ceng menunjuk tawanan yang ada di bawah panggung.
"Setelah melihat mereka, kau akan mengerti, kebanyakan mereka setelah bertarung mereka akan merasa sangat lelah, tapi ada beberapa orang mereka masih terlihat sangat semangat, mereka hanya pura-pura kelelahan."
"Siapa saja yang berpura-pura?"
"Masalah ini aku sisakan untuk kau selidiki, tapi aku bisa menunjukkan 1-2 contoh, membuktikan kalau kata-kataku benar, pertama adalah Ciu Giok-hu, saat Ciu Pek-ho terbanting ke bawah panggung, dia segera berlari menyambutnya, tubuhnya bergerak sangat gesit, apakah dia seperti orang yang sudah beberapa hari bertarung, tidak beristirahat dan tidak tidur? Kedua adalah Tiang Leng-cu, dia diam-diam membunuh Ciu Giok-hu, caranya cepat dan bersih, satu kali tusukan sudah membuat Ciu Giok-hu mati, bila dia kelelahan dia tidak akan bisa melakukannya."
Wong Han-bwee terpana tiba-tiba dia meloncat turun dari panggung, dia menunjuk Tiang Leng-cu dengan pedangnya dan bertanya.
"Katakan, siapa pengkhianat lembah ini?"
"Han-bwee, naiklah, jangan mengurusi hal ini lagi,"
Teriak Wong Jong-ceng.
"Mana mungkin hal ini ditinggalkan begitu saja?"
"Karena aku sudah tahu siapa pengkhianatnya, untuk apa menghabiskan tenaga bertanya-tanya kepada dia? Kau benar- benar kurang pintar, hal yang begitu sederhana saja tidak sanggup melihatnya dengan jelas."
Saat itu Weng Jin-jiu dan Ma Kiu-nio bertanya.
"Apakah Tuan tahu siapa pengkhianat itu?"
"Bukan hanya aku saja yang tahu, Lim Hud-kiam pun sudah bisa melihatnya dari samping, kalian benar-benar kalah dari orang luar, dari sini dapat diketahui kalau kalian benar-benar ceroboh."
Si Pedang Tumpul Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah dia?"
Tanya Wong Han-bwee.
"Aku tidak akan mengatakannya, sebab akan membuat dia menjadi ganas, apa lagi ancamannya tidak berat, aku masih ingin memperalat orang itu,"
Jelas Wong Jong-ceng.
"Ayah, memperalat orang seperti ini terlalu bahaya."
"Kalau sudah tahu isi hatinya, orang itu tidak akan berbahaya dan aku yakin orang seperti itu tidak akan menjadi ancaman, ilmu pedangnya pun tidak akan mencapai tarap sampai di mana aku menguasainya."
"Tuanku, harus dengan cara apa baru bisa mencapai tarap seperti Tuan?"
Tanya Liu Ban-mong.
"Etika, etika seorang pesilat pedang,"
Dengan santai Wong Jong-ceng menjawab.
"Etika apa yang harus dimiliki oleh seorang pesilat pedang?"
"Lupa pada diri sendiri, hati harus bersatu dengan pedang, saat bertarung menyatu dengan pedang, seperti jurus saat aku mengalahkan Ciu Pek-ho."
Liu Ban-mong mengenang kembali peristiwa tadi dan berkata.
"Jurus tadi memang hebat, Ciu Pek-ho menyebut Tuan iblis pedang, sebenarnya jurus tadi memang seperti ada tenaga gaib yang menguasainya, kukira itu bukan suatu penghinaan."
Wong Jong-ceng tertawa, katanya.
"Yang pasti merupakan penghinaan, sebetulnya itu adalah ilmu silatku yang asli, bukan tenaga gaib, saat aku menyerang dan berada dalam keadaan bahaya, akan membalikkan keadaan kalah menjadi menang, alasannya hanya 2 kata 'lupakan diri'."
"Aku memang bodoh, tapi aku tetap tidak mengerti, apakah Tuan bisa menjelaskannya dengan lebih teliti sehingga semua anak buah kita bisa mengerti,"
Kata Liu Ban-mong.
"Tentu saja aku bisa beritahu, saat aku menyerang aku hanya melihat kelemahan lawan, tidak memperhatikan bahaya pada diri sendiri,"
Jelas Wong Jong-ceng. Liu Ban-mong terpaku.
"Begitu sederhana?"
"Memang tidak rumit, tapi kau tidak akan mengerti, karena kau hanya memikirkan diri sendiri, tidak berani mencoba bahaya ini,"
Jawab Wong Jong-ceng.
"Pedang digunakan untuk melawan musuh, bila tidak bisa menjaga diri, mana bisa melawan musuh?"
Tanya Liu Ban- mong.
"Ucapanmu salah, semangat ilmu pedang bukan hanya untuk melawan musuh, tapi juga untuk mencari kemenangan, aku hanya tahu bagaimana bisa meraih kemenangan dari lawan, tapi tidak pernah terpikir apakah aku akan aman, pada pukulan tadi mungkin saja aku bisa terbunuh, tapi ternyata aku bisa menang dari lawan,"
Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan Goosebumps Teror Di Ruang Bawah Tanah
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama