Ceritasilat Novel Online

Amanat Dari Liang Lahat 1

Raja Gendeng 17 Amanat Dari Liang Lahat Bagian 1


Raja Gendeng 17 Amanat Dari Liang Lahat

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 17 dalam episode

Amanat Dari Liang Lahat

*****


Team Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)


*****

Matahari sudah semakin meninggi ketika murid dua tokoh aneh dari pulau Es itu keluar dari balik pohon besar.

Dengan wajah membersitkan perasaan lega.

Sambil mengusap perut, Sang Maha Sakti Raja Gendeng kembali ketepi sumur tua tempat di mana dia meninggalkan Raja Pedang.

Ketika sampai ditempat itu, ternyata Raja Pedang sudah tidak berada lagi ditempatnya.

Menyangka pemuda bertopeng berambut panjang separoh putih separoh hitam itu telah pergi, maka Raja tersenyum,

"Ternyata dia telah angkat kaki dari sini. Manusia sombong itu rupanya tidak tahan menunggui aku kencing terlalu lama.Betapa senangnya karena tidak perlu membuang tenaga dan keringat sia-sia. Lagi pula aku harus segera menyusul para sahabat menuju ke Bukit Segala Puji Segala Serapah.Raden Pengging, Ratu Edan dan kakek gendut itu pasti butuh bantuanku!"

Sambil berucap demikian tanpa bicara lagi sang pendekar segera hendak tinggalkan tempat itu.

Namun baru saja pemuda ini mengayunkan langkahnya. Tiba-tiba terdengar suara bentakan tidak jauh di belakangnya.

"Kau hendak minggat kemana lagi?"

Walau tidak melihat tetapi karena merasa mengenali suara itu, Raja pun menjawab dengan sikap tenang.

"Ah... sahabat Raja Pedang. Kusangka kau jerih setelah mendengar suara anginku, lalu lari terbirit-birit bersama kuda hitam yang tolol itu. Apakah sekarang kau tetap keras kepala berlaku bodoh tidak memandang tingginya langit?!"

"Raja Gendeng! Langit memang tinggi, lautan juga dalam. Tapi menyangkut kehebatan dalam menggunakan pedang, diantara kita berdua, jurus-jurus pedangmu jelas masih berada jauh dibawahku!"

Hardik Raja Pedang dengan suara menggembor marah.

Sang pendekar menghela nafas.

Setelah gelengkan kepala dia balikkan badan menatap kearah datangnya suara.

Dia melihat laki-laki berpakaian hitam berjubah merah itu yang bukan lain adalah Raja Pedang, sedang duduk diatas kuda Kroya.

Mahluk tunggangan paling langka yang hentakan kakinya dapat mencetuskan api.

"Oh di situ kau rupanya. Duduk diatas kuda dibawah pohon yang teduh rasanya pasti nyaman. Tadinya aku pikir kau sudah masuk ke dalam sumur tua bersegar diri untuk mendinginkan otakmu yang kusut. Tapi tidak mengapa. Seandainya kau menggantung diri di pohon itu juga aku tidak perduli. Manusia aneh sepertimu ini wajar-wajar saja bila sampai mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidup." kata sang pendekar mengejek.

Wajah yang terlindung topeng hitam tipis nampak menegang, mata berkedap-kedip dengan mendelik.

"Beraninya kau bicara seperti itu pada seorang Raja Pedang!"

Hardik laki-laki itu dengan suara keras menggeram.

"Walah! Baru dengan yang namanya Raja Pedang. Sedangkan raja setan sekalipun aku bisa bicara lebih dari itu. Kau mau apa? Mau marah? Mau mencabut pedang, mau unjukkan jurus-jurus pedangmu yang hebat?"

Tanya sang pendekar sinis. Sikap dan kata-kata yang ditunjukkan oleh Raja ini memang dia sengaja untuk memancing kemarahan lawan.

Dan tanpa sadar Raja Pedang sudah termakan oleh ucapan-ucapan yang dilontarkan Raja.

"Jangan hanya bisa mengejekku. Sekarang aku ingin lihat apakah kau punya nyali dan kemampuan untuk menandingiku?"

Geram Raja Pedang

"Weleh-weleh. Ternyata kau benar-benar ingin mengajakku berkelahi? Boleh-boleh saja. Barangkali orang geblek sepertiku bisa mendapatkan pelajaran berharga ilmu pedang darimu hari ini Ha ha ha!"

"Banyak mulut! Heaaah...!"

Teriak Raja Pedang.

Dalam marah dan penasaran dia segera sentakkan tali kekang kuda sedangkan dua kaki menggebrak perut binatang yang menjadi tunggangannya.

Kuda hitam meringkik keras.

Seketika angkat kaki depan tinggi-tinggi lalu....

Wuss!

Secepat kilat kuda Kroya melesat menerjang ke arah Raja, Setiap kaki bergerak menghentak tanah, tanah dan batu yang dihempas kakinya tampak memijar mengepulkan api dan angin panas.

Terjangan kaki kuda yang mengarah dada dan injakan ke arah bahu sang pendekar datangnya secepat kilat menyambar.

Sang Maha Sakti Raja Gendeng sempat dibuat terkejut tak menyangka betapa cepatnya kuda itu bergerak.

Namun sebelum dadanya remuk, bahunya melesak amblas terkena tendangan dan injakan.

Dengan menggunakan jurus Langkah Gaib Dewa Mabok pemuda ini cepat menggeser kaki, tubuh dimiringkan dan tangan diputar.

Set!

Sret!

Wuus!

Gerakan menghindar dengan menghuyungkan diri yang dilakukan Raja tak ubahnya seperti orang mabuk sehingga serangan sang kuda luput.

Tendangan kaki kuda mengenai batu besar dibelakang sang pendekar.

Sedangkan injakan kaki kuda menghantam tanah keras.

Tanah bergetar hebat disertai ledakan yang membentuk sebuah lubang besar menganga hitam dikobari api.

Setelah selamat dari serangan kuda ganas yang sangat pandai menyerang selayaknya manusia ini, Raja memutar otak bagaimana caranya mengatasi kuda yang satu ini

"Raja Pedang belum menyerang, tapi aku bisa mati konyol bila tidak segera melumpuhkan kudanya."

Membatin sang pendekar di dalam hati. Secara tiba-tiba kuda berbalik.
Namun sebelum sempat menghadap ke arah Raja, kaki belakang kuda melesat kembali. Dan kali ini yang dituju adalah di bagian wajah sang Pendekar Gendeng.

"Dodol hitam! Apa jadinya hidupku nanti bila wajah tampan ini dibuat remuk!"

Teriak sang pendekar.

Mulut berkata demikian, namun dia segera melompat kebelakang.

Selagi tubuhnya mengambang sejarak setengah tombak di atas tanah dua tangannya ditarik ke belakang lalu dengan menggunakan ilmu pukulan Amukan Badai Laut Selatan dia menghantam bagian belakang kuda. Suara menggerumuh tak ubahnya seperti badai yang meluap menderu disertai pula berkiblatnya cahaya biru bergulung-gulung laksana amukan ombak.

Mendengar dan melihat suara gemuruh dan deru cahaya biru, Raja Pedang menghentak tali kekang kuda.

Maksudnya agar kuda cepat melompat kesamping hindari serangan.

Sementara dia sendiri segera kibaskan tangan menyongsong datangnya serangan sang pendekar.

Cahaya hitam laksana mata tombak melesat memotong gerak deru cahaya biru.

Tapi gerakannya menahan serangan ternyata kalah cepat dengan pukulan yang dilakukan Raja.

Walau sang kuda hitam telah menghindar tetapi tetap saja bagian bokong kuda yang menjadi sasaran serangan itu kena terhantam.

Prat!

Blees!

Buum!

Kuda meringkik keras nyaris terjungkal terdorong hantaman tenaga Raja yang begitu hebatnya.

Bokong kuda hingga ke kaki nampak mengepul disertai tebaran asap berbau bulu kuda yang hangus terbakar.

Untuk beberapa saat kuda berjingkrakan seolah berubah menjadi gila, membuat penunggangnya Raja Pedang menjadi kalang kabut memaki tak karuan.

Sementara akibat benturan kekuatan serangan sang pendekar dengan Raja Pedang membuat tanah ditempat itu mengalami guncangan hebat laksana dilanda gempa.

"Pendekar bodoh, Raja Gendeng sialan. Kau telah bertindak pengecut dengan menyerang kudaku. Awas! Kau akan mendapatkan balasan setimpal dariku! "

"Raja Pedang pengecut. Beraninya hanya mengandalkan kuda untuk menyerangku? Kau tak punya nyali menghadapi aku tanpa kuda. Atau kau termasuk laki-laki yang punya kelainan hingga mempunyai hubungan istimewa dengan kuda jantan itu. Ha ha ha!"

Sahut Raja Gendeng tak kalah sengit dan sengaja membuat suasana makin bertambah panas.

Geram dan kemarahan dihati Raja Pedang bukan kepalang.

Sementara itu kuda yang menjadi tunggangannya tampak sama marahnya dengan sang penunggang.

Bulu disekujur tubuh yang berwarna hitam kini berdiri tegak dan berubah menjadi merah berpedar-pedar.

Melihat ini sang pendekar menjadi terkejut namun lekas membuka mulut

"Wheh...warna bulu kudamu bisa berubah bagus begitu. Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Ehh...eeh...luar biasa...!"

"Aku telah kehilangan kesabaran. Kudaku pun telah menjadi marah. Sang Maha Sakti Raja Gendeng apakah kau telah siap untuk mampus?!"

Teriak Raja Pedang lantang.
Raja Gendeng 17 Amanat Dari Liang Lahat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Raja menyeringai, mulut sengaja dimonyongkan. Dia golang-goleng kepala lalu dengan enteng saja menyahuti..

"Melihatmu seperti layaknya perempuan kebakaran jenggot aku jadi geli. Tapi kalau dipikir-pikir mana ada perempuan yang punya jenggot. Entah kalau jenggot yang tumbuh dibagian yang lain. Dan satu lagi kau baru saja berkata apakah aku sudah siap mati. Jujur saja tak satupun manusia di dunia ini yang siap menghadapi kematian. Kalau kau ingin mencabut nyawaku silahkan saja. He he he!"

Berkata begitu Raja kembangkan dua tangan lebar-lebar bersikap seakan akan siap menyerahkan nyawanya.

Sikap yang ditunjukan sang pendekar justru membuat Raja Pedang makin bertambah murka.

Tanpa banyak bicara Raja pedang lalu menggebrak kudanya.

Kuda hitam yang bulunya berdiri tegak dan berubah merah itu mendengus lalu berlari ke arah Raja.

Dengan sikap mengancam kaki depan diarahkan langsung keatas batok kepala sang pendekar.

Melihat ini Raja segera menggerakkan kaki kiri, kepala dimiringkan sementara tubuh meliuk ke kanan, dua tangan menyambar ke arah kaki sang kuda.

Tapi pada waktu yang sama bahaya lain datang mengancam. Raja Pedang yang duduk diatas pelana kuda tiba-tiba bergerak.

Selagi kuda melaju kencang meluruk deras ke arah sang pendekar, Raja Pedang tanpa berpegangan pada pelana kuda ikut menyerang bahu Raja dengan satu tendangan keras yang disusul dengan pukulan tangan kosong.

Tiga serangan dahsyat sekaligus menderu ke arah sang pendekar.

Gemuruh angin, tebaran debu dan sambaran hawa panas yang memancar dari ujung kaki kuda dan pukulan tangan kosong yang dilakukan Raja Pedang membuat sang pendekar bergetar.

Tak ada pilihan lain.

Raja yang siap melepaskan serangan Cakar Sakti Rajawali ke arah kaki kuda terpaksa alihkan pukulannya ke arah serangan kaki dan tendangan Raja Pedang.

Ketika kaki kuda melesat menghantam kepala, pemuda ini menggeser tubuh kesamping.

Satu tangan kiri digunakan untuk menepis tendangan sedangkan tangan kanan yang berbentuk cakar menyambuti hantaman dua tangan Raja Pedang.

Plak!

Duuk!

Dher!

Kaki beradu keras dengan tangan kiri,sedangkan dua tangan bentrok di udara.

Satu benturan disertai satu ledakan menggelegar membuat Raja Pedang terguncang namun tidak sampai membuatnya jatuh terpelanting dari kuda.

Kuda kroya meringkik keras.

Serangannya pada kepala hanya mengenai batu di tempat mana tadinya Raja berdiri. Batu hancur menjadi kepingan.

Raja terpental jatuh terguling-guling sedangkan tangan yang dipergunakan untuk menangkis serangan menggembung bengkak seolah remuk dibagian dalam.

Sambil kibas-kibaskan tangannya, Sang Maha Sakti menggigit bibir, namun bengkak lebam ditangan segera pulih begitu dia meludahi tangan yang cidera sebanyak tiga kali. Melihat ini Raja Pedang menjadi heran, kaget sekaligus tak percaya.

"Aneh... betul-betul aneh. Hanya dengan diludahi tenaga yang cidera bisa sembuh secepat itu?"

Pikir Raja Pedang.

Namun karena merasa dirinya jauh lebih hebat dari Raja, tiba-tiba saja dia berbalik

"Kudaku si kuda sakit. Datang bersama penunggang kuda yang sakit.
Kami adalah penderitaan bagi setiap musuh.Kematian menyertaiku. Jauh di belakang neraka mengikuti. Hup! Hiya..."

"Hik! Heeeeh...!"

Mendengar ucapan Raja Pedang, kuda tunggangan keluarkan suara ringkikan aneh. Binatang itu melonjak-lonjak tak karuan.

Di depan sang pendekar sempat berdiri dengan bengong melongo. Sambil cengengesan tiba-tiba saja dia berseru.

"Raja Pedang kau ini manusia atau malaikat maut yang kesasar. Kalau kudamu sakit sebaiknya diobati, kalau kau sendiri yang sakit aku punya obat mujarab berupa tahi kambing yang pernah disimpan guruku selama seratus tahun. Kau bukan musuhku, tentunya aku tidak ingin membuatmu menderita. Aku juga tidak melihat kematian menyertaimu."

Dengus Raja.

Dia memandang jelalatan jauh di belakang Raja Pedang dan kudanya.

"Aku sudah melihat."

Kata Raja lagi sambung ucapannya.

"Ha ha ha! Agaknya kau sudah menjadi gila. Terbukti aku tidak melihat ada neraka mengikuti dibelakangmu. Kau cuma seorang pendusta, penyair murahan, Raja Pedang palsu, ompong tak memiliki kehebatan apa-apa."

Teriak sang pendekar diringi gelak tawa.

Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh sangat mengerikan.

Dengan kecepatan sehebat badai berhembus tiba-tiba saja Raja Pedang dan kudanya telah berada di depan Raja.

Melihat lawan menghantamnya dengan serangan bertubi-tubi, sementara kuda tunggangan juga memberi dukungan dengan tendangan dan hantaman kaki.

Dengan gerakan tak kalah cepat sang pendekar pergunakan jurus Tarian Sang Rajawali yang digabungkan dengan jurus Tangan Dewa Menggusur Gunung.

Ketika tangan yang teraliri tenaga dalam diputar sedemikian hingga membentuk perisai pertahankan diri yang kokoh.

Deru angin menyambar ganas menghantam kuda dan penunggangnya.

Tapi binatang tunggangan itu ternyata sangat hebat.

Dengan mudah dia berhasil menembus pertahanan yang dilakukan Raja, Melihat kuda merangsak maju.

Sementara tangan Raja Pedang menderu menghantam di bagian dadanya.

Sang pendekar terpaksa lambungkan tubuhnya ke atas. Justru tanpa disadari Raja semua serangan itu hanya tipuan saja.

Ketika Raja lambungkan tubuhnya ke udara.

Inilah saat yang ditunggu oleh Raja Pedang.

Dengan gerakan yang sulit dikuti oleh kasat mata, serta merta Raja Pedang ikut lambungkan tubuh, tinggalkan pelana sedangkan kaki menendang dan dua tangan menggebrak sekaligus.

"Ah, hebat! Aku kena ditipu!"

Rutuk Raja.

Dia masih sanggup meloloskan diri dari tendangan. Namun dia tidak bisa menghindar dari hantaman dua tangan Raja Pedang.
Des!

Des!

"Hukh...!"

Raja Gendeng keluarkan keluhan pendek.

Tubuhnya jungkir balik tak karuan namun dengan sekuat tenaga dia masih sanggup jatuhkan diri dalam keadaan berlutut.

Dengan nafas megap-megap seperti orang sakit bengek. Raja mendekap dadanya yang berdenyut seolah remuk di bagian dalam.

Sementara itu tak jauh di depan sana Raja Pedang masih mampu jatuhkan diri dengan duduk di atas punggung kudanya.

Walau dia berhasil menghantam Raja dengan dua pukulan sakti.

Tak urung Raja Pedang mengernyit kesakitan sambil perhatikan jemari tangannya yang bengkak menghitam.

"Aneh. Mengapa jemari tanganku serasa hancur tercabik seperti digigit ratusan buaya. Dia juga tidak mati. Mengapa bagian tubuhnya yang kuhantam seolah berbalik menyerangku."

Pikir Raja Pedang heran. Apa yang dialami Raja Pedang sesungguhnya bukanlah sebuah kebetulan belaka.

Raja Pedang tidak pernah tahu bahwa pakaian kelabu yang melekat ditubuh sang pendekar bukanlah sekedar pakaian biasa.

Pakaian itu tidak lain adalah pakaian sakti yang dapat melindungi tubuh sang pendekar dari bahaya serangan dengan sendirinya.

Jangankan hanya pukulan atau tendangan maut, senjata apapun yang mengenai pakaian tersebut tidak akan bakal sanggup menembus tubuh sang pendekar.

Tidaklah heran setelah mendapat pukulan sedemikian hebat.

Dalam waktu singkat Raja telah bangkit berdiri lagi.

Melihat lawan dapat berdiri secepat itu, Raja Pedang tidak mau berpikir terlalu lama tentang semua keanehan yang dialaminya, lalu sekali lagi dia melakukan gebrakan.

Raja Gendeng menyeringai.

Ketika melihat Raja Pedang akan menyerang lagi.

Kali ini dia tentu tidak bakal mau berlaku tolol lagi sehingga menjadikan dirinya kena dipukul kembali oleh lawan.

Ketika kuda merangsak maju.

Dia yang telah alirkan tenaga dalam ke bagian tangan tiba-tiba jatuhkan diri.

Melihat ini dengan beringas kuda segera bergerak untuk menginjak-injak tubuhnya.

Tapi injakan kaki kuda tak mengenal sasaran karena Raja dengan gerakan gesit bergulingan tak tentu arah.

Kuda itu mengalami kesulitan untuk mencederai lawan.

Sebaliknya Raja Pedang merasa lebih sulit lagi untuk menyerang Raja, karena takut tendangan maupun pukulannya malah akan mengenai perut dan kaki kudanya sendiri.

Disaat Raja Pedang dibuat belingsatan bingung tak tahu tindakan apa yang harus diperbuat, tibalah saatnya bagi sang pendekar berbuat jahil.

Dengan tidak terduga, tangan Raja berkelebat ke bagian bawah perut binatang itu lalu...

Dia berteriak.

"Kena... kau!"

Cressph!

"Weh... apa ini lembek-lembek empuk!"

Kata pemuda itu, lalu bergulingan menjauh dan segera bangkit tegak berdiri.

Seperti kerasukan setan kuda meringkik keras.

Berjingkrak melonjak kian kemari lalu hentakkan tubuhnya hingga membuat Raja Pedang tersungkur dari atas punggung kuda tersebut.

Raja Gendeng 17 Amanat Dari Liang Lahat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuda berlari menghambur sambil memandang ketakutan ke arah Raja.

Melihat ini Sang Maha Sakti Raja Gendeng tertawa terbahak-bahak.

Apa yang telah terjadi pada kuda Raja Pedang yang tiba-tiba menjadikannya kaget sehingga Raja Pedang kehilangan keseimbangan dan terjatuh?

Raja Pedang bingung. Dia kemudian bangkit berdiri dan memanggil kuda tunggangannya dengan suara keras.

Tetapi sang kuda hanya berani meringkik menguik dari kejauhan.

"Kudaku seperti menderita sakit luar biasa. Apa yang dilaksanakan gondrong sialan itu padanya?"

Membatin Raja Pedang.

Dia pun lalu menatap ke depan.

Dia melihat lawan berdiri bertolak pinggang, mulut menyeringai mengejek sementara mata dikedap-kedipkan.

"Monyet gondrong edan! Apa yang telah kau perbuat terhadap kudaku?" hardik Raja Pedang dengan tubuh bergetar dilanda amarah.

"Apa yang kulakukan? Ha ha ha. Tidak ada yang lebih buruk mempunyai kuda jantan dari pada kuda betina. Kalau kuda betina tak ada yang bisa diremas. Karena kudamu kuda jantan, aku bebas meremas sepasang buah jambu yang tumbuh dibawah perutnya, Kudamu jadi liar dan gila karena aku pencet biji jambunya. Apa kau merasa iri dan ingin ikutan kupencet lalu kuremas buah jambu keramatmu sampai hancur, Ha ha ha!"

"Raja keparat monyet gondrong sialan. Kubunuh kau sekarang juga!"

Teriak Raja Pedang dengan penuh marah.

Sret!

Sing!

Raja Pedang yang kalap seketika mencabut pedang pusaka Penggebah Nyawa yang tergantung dipunggungnya.

Seperti diketahui pedang berwarna hitam adalah senjata sakti yang hebat ciptaan seorang empu bernama Empu Balawa.

"Riwayatmu segera tamat, lekas pergunakan senjatamu!"

Seru Raja Pedang yang tak sudi dianggap pengecut karena menyerang lawan yang tidak bersenjata.

"Aku tahu apa yang harus kulakukan. Seranglah aku sesuka hatimu. Tapi terus terang kau tak mungkin bisa menundukkan aku, meskipun kau memiliki jurus pedang dan senjata hebat. Ha ha ha!"

Sahut Sang Maha Sakti acuh.

"Manusia keras kepala. Sheeaaa....!"

Dibarengi dengan teriakan keras.

Raja Pedang bergerak maju.

Kedua kaki membuat gerakan langkah aneh namun teratur.

Sedangkan tangan kiri lakukan gerakan mendorong, menghantam ke atas dan ke bawah mencari sasaran di bagian titik mematikan.

Dengan pedang di tangan kanannya di mana senjata itu bergerak indah sambil lakukan bacokan, tusukan dan babatan menyilang.

Raja harus mengakui jurus- jurus pedang yang dipergunakan Raja Pedang selain indah namun sangat ganas dan berbahaya.

Terbukti dalam waktu yang singkat sang pendekar mulai terperangkap tergulung cahaya hitam berkilau yang memancar dari serangan pedang.

Yakin lawan tak mungkin lolos dari serangannya, Raja Pedang semakin memperhebat daya serangan yang dilancarkannya.

Tapi Raja Pedang lupa.

Sang Maha Sakti Raja Gendeng bukanlah manusia biasa.

Lima belas tahun dia berada dalam gemblengan dua guru aneh yang mempunyai tabiat angin-anginan.

Tentu saja sang pendekar juga mengusai semua jurus sakti termasuk jurus- jurus langka dalam menggunakan pedangnya yaitu Pedang Gila.

Ketika pedang di tangan lawan menyerang secara berputar membabat dari kepala, bahu, perut dan kaki seolah hendak menguliti lawannya, tanpa disangka-sangka pemuda itu ikut berputar mengikut gerak arah pedang.

Dengan demikian jangankan untuk mencidrai, untuk menyentuh tubuh sang pendekar sendiri bagi Raja Pedang sulitnya bukan main.

Dalam keadaan marah dan penasaran, tiba- tiba saja Raja Pedang mendengar ucapan lawannya.

"Pedang berputar, akupun ikutan berputar. Pedang menusuk aku mengelak. Pedang membabat, membacok atau menebas aku menghindar. Dan ini adalah pukulan Seribu Jejak Kematian, hadiah terbaik dariku!"

Seru pemuda itu.

Dengan gerakan yang sulit dikuti kasat mata, Raja yang terkurung gulungan cahaya pedang dan terhadang oleh pukulan tangan kiri serta tendangan kaki kanan tahu-tahu sudah melaloskan diri.

Tinjunya yang terkepal menderu.

Cahaya menggidikkan membersit menghantam wajah Raja Pedang.

Merasakan ada sambaran angin dingin menerpa wajah, Raja Pedang pergunakan senjata di tangan untuk menangkis sekaligus membabat. Sementara tangan yang lain dia pergunakan menghantam perut lawannya.

Semua gerakan yang dilakukan Raja Pedang anehnya masih dapat dikelit sekaligus dihindari oleh lawannya.

Tinju meliuk seperti ular, menderu lalu menghantam...

Dess!

Walau Raja Pedang selamatkan wajah dari pukulan tinju Seribu Jejak Kematian.

Namun dadanya masih kena dihantam pukulan Raja.

Kerasnya pukulan itu membuat Raja Pedang terjungkal.

"Ha ha ha! Terrnyata kau bisa jatuh juga."

Seru sang pendekar sambil tertawa-tawa.

Raja Pedang menggeram.

Wajah di balik topeng hitam nampak merah padam, pipi menggembung, rahang keluarkan suara bergemeletukan.

Bertumpu pada dua kakinya, dia sentakan kepala dan bahunya.

Raja Pedang bangkit berdiri

"Kau..."

Ucapnya sambil acungkan pedang ke arah lawan.

"Ternyata kau cukup hebat. Belum pernah aku bertemu dengan orang bertampang tolol bertingkah edan sepertimu memiliki ilmu serta jurus-jurus serangan yang hebat."

"Kau kelewat memuji. Aku hanya mencoba melayani orang yang selalu menjadi budak dari kemarahannya sendiri. Tapi agar tidak membuatmu penasaran. Aku akan berusaha menghadapimu dengan senjata bututku ini!"

Berkata demikian Raja Gendeng tiba-tiba mencabut senjata dari rangkanya.

Sring!

Begitu senjata berada dalam genggaman dan disilangkan ke depan dada Raja Pedang diam-diam terkesima.

Dia dapat merasakan ada hawa aneh namun penuh kharisma terpancar dari pedang berwarna kuning berhulu melengkung berbentuk ukiran seorang pertapa.

Hulu pedang dari batu kumala biru itu juga di mata Raja Pedang nampak mempunyai getaran aneh seolah hidup.

"Senjata yang bagus. Apakah aku boleh mengetahui nama pedangmu itu?"

Tanya Raja Pedang takjub namun dingin.

"Senjataku ini. Orang menyebutnya senjata sakti Pedang Gila!"

"Si empunya pedang bernama Raja dan Gendeng pula. Juga punya pedang bernama Pedang Gila. Yang punya gendeng, pedangnya gila. Berkah para dewa telah menjodohkan orang gendeng dan senjata gila. Aku jadi penasaran, seberapa hebat senjata di tanganmu itu?"

Kata Raja Pedang.

"Pedangku. Senjata ini dapat kugunakan untuk menghabisi sepuluh gajah gemuk dalam sekedipan mata. Lihat serangan...!"

Teriak sang pendekar.

Belum lagi lenyap suara teriakan Sang Maha Sakti.

Kedua kaki sang pendekar bergerak cepat, pinggul melenggang lenggok seperti kucing berjalan bahu bergoyang sedangkan tangan yang menggenggam pedang meliuk-liuk tak beraturan.

Ujung pedang bergetar.

Cahaya kuning berkilau menyilaukan mata memancar dari seluruh pedang yang teraliri tenaga dalam.

Melihat ganasnya serangan pedang yang mengejar ke arahnya, Raja Pedang segera geser kaki kanan membentuk kuda-kuda.

Kemudian tanpa menunggu dia pun menyambut serangan itu dengan menggunakan jurus Kemusnahan Dikegelapan.

Tanpa ampun ketika Raja Pedang pergunakan senjata di tangan, keluar cahaya hitam menggidikkan menyertai berkelebatnya senjata itu.

Lalu dengan gerakan indah pedang hitam yang dikenal dengan nama Penggebah Nyawa berusaha menangkis senjata lawan yang siap menusuk bahu dan bagian rusuk kirinya.

Sing!

Tring!

Tring!

Dentringan suara beradunya dua senjata sakti bergema diudara.

Cahaya emas dan cahaya hitam berpijar.

Percikan bunga api muncrat diudara disertai tebaran asap menebar bau menyengat.

Raja dan Raja Pedang sama terdorong mundur sejauh dua tindak.

Tangan yang memegang pedang bergetar.

Raja Pedang merasakan ada hawa panas menyengat telapak tangannya.

"Tenaga dalam yang dia miliki nampaknya tidak berada dibawahku.Aku harus menyerangnya secara bertubi-tubi untuk memecah perhatiannya."

pikir Raja Pedang.

Kemudian selagi sang pendekar masih tertegun akibat bentrokan senjata yang baru saja terjadi.
Raja Gendeng 17 Amanat Dari Liang Lahat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Raja Pedang tiba-tiba saja berteriak.

"Rembulan Malam Menubruk Binatang"

Seru laki-laki itu menyebut nama jurus yang dipergunakan. Tidak mau kalah sang pendekar pun ikut berseru menyebut nama jurus pedangnya.

"Pedang Bayangan Dewa Membela Langit!"

Berkata begitu Raja segera memutar pedang ditangan untuk menangkis serangan, ketika melihat ada cahaya hitam yang memancar dari senjata lawan membersit menghantam tubuhnya.

Buum!

Buum!

Dua dentuman keras menggelegar mengguncang tempat itu.

Raja terhuyung namun dalam waktu singkat dia telah dapat menguasai diri.

Tapi saat itu dia tidak punya banyak waktu untuk melakukan serangan balasan, karena bersamaan dengan itu. Raja Pedang telah menyerang kembali dengan gempuran-gempuran yang lebih dahsyat dan berbahaya.

"Pedang Kilat Menusuk Matahari!"

Seru Raja begitu melihat serangan lawan datang bertubi-tubi laksana curah hujan yang turun dari langit.

"Matilah kau!"

Teriak lawan lalu menyerang dengan dua babatan dan satu tusukan cepat ke arah pinggang sang pendekar.

Wuut!

Raja menangkis.

Namun tangkisannya luput karena lawan telah membelokkan serangan ke bawah dan kini justru kaki sang pendekar yang terancam.

Sambil mendengus diselingi seringai mengejek, pemuda itu lambungkan tubuh ke atas.

Pedang di tangan dibabatkan ke bawah menyambut tebasan pedang yang seharusnya membabat kaki sang pendekar.

Angin menderu, cahaya keemasan memijar.

Raja Pedang berusaha melompat ke samping hindari benturan, namun gerakannya masih kalah cepat dengan gerakan sang pendekar.

Traang!

Tring!

Dua benturan terjadi berturut-turut, membuat pedang dalam genggaman Raja Pedang terpental.

Sedangkan Raja Pedang sendiri kibas-kibaskan tangannya yang sakit luar biasa.

Kelengahan yang hanya sekejab ini dimanfaatkan oleh Raja.

Sambil melesat ke arah lawan, Pedang Gila ditangan dia babatkan ke arah kepala lawannya.

Namun tidak disangka-sangka Raja Pedang tiba-tiba rundukkan kepala dengan membungkukkan badan.

Serangan kilat sang pendekar hanya membabat putus puluhan helai rambut putih lawannya.

Selagi sang pendekar memutar tubuh dengan dua kaki meluncur ke bawah siap menjejak tanah, pada saat itu Raja Pedang hantamkan dua pukulan lagi ke tubuh Raja.

Buk!

Dess!

Walau berhasil hindari salah satu pukulan sakti lawannya, namun Sang Maha Sakti Raja Gendeng tidak sempat selamatkan bahunya dari pukulan ke dua.

Tanpa ampun tubuhnya terpelintir lalu jatuh terhenyak, mata melotot seakan tidak percaya dengan apa yang dialaminya.

Melihat ini Raja Pedang segera memungut pedangnya yang terlempar.

Lalu dengan kecepatan luar biasa dia menyerang Raja.

Deru senjata disertai kilatan cahaya memancar dari pedangnya.

Ujung pedang menggeletar mencari sasaran di bagian mata dan batang leher sang pendekar.

Melihat ini Raja tidak tinggal diam.

Dia segera menghantam mendahului dengan pukulan Kabut Kematian.

Hamparan cahaya seperti kabut bergulung-gulung melabrak ke arah Raja Pedang.

Tidak ada deru tidak pula terlihat pijaran cahaya, namun Raja Pedang dibuat terkejut ketika merasakan satu sambaran hawa aneh luar biasa menindih tubuhnya juga membuat nafasnya menjadi sesak seakan ada satu kekuatan yang tidak terlihat menyumbat tenggorokannya.

Tidak ingin celaka, Raja Pedang dalam keadaan terdorong mundur segera lipat gandakan tenaga dalamnya.

"Heaa...!"

Sambil keluarkan teriakan menggeledek dia babatkan pedang ke depan berusaha memupus serangan Kabut Kematian yang dilancarkan Raja.

Satu letupan keras terjadi.

Raja Pedang terguncang.

Namun dia berhasil merangsak maju.

Lagi-lagi pedangnya bergerak menebas sekaligus menusuk

"Kubilang mati kau hari ini!"

Teriak Raja Pedang dingin.

"Sebelum ajal berpantang mati."

Sahut Raja, Sedikitpun pemuda ini tidak berusaha menghindar ketika pedang menusuk jantung dan membabat perutnya.

Raja Pedang terkejut namun juga menyeringai, senang melihat sikap lawan yang seolah pasrah menunggu kematian.

Tanpa ampun tusukan dan bacokan senjatanya menghantam tepat pada sasaran.

Tapi apa yang kemudian terjadi sungguh membuat Raja Pedang terkaget-kaget.

Tusukan dan bacokan tak mampu menembus tubuh lawan.

Sebaliknya serangan itu malah membuat Raja Pedang terpental seolah ada kekuatan luar biasa besar tak terlihat melemparkan tubuhnya.

Jatuh terlempar dalam keadaan terguling-guling dan pedang masih dalam genggaman membuat laki-laki itu tambah penasaran.

Secepat kilat dia berusaha bangkit.

Namun pada waktu yang sama dia merasakan pedang lawan telah membelintang siap menggorok putus lehernya.

Melihat pedang Gila siap menghabisi dirinya maka wajah Raja Pedang yang terlindung dibalik topeng tampak pucat pasi.

Gugup melihat pedang lawan bergoyang-goyang sendiri mengancam lehernya. Raja Pedang menatap ke arah sang pendekar.
Tidak jauh di depannya Sang Maha Sakti Raja Gendeng berdiri tegak, cengar-cengir sambil menggaruk rambutnya.

"Apakah kau sudah siap mati, Raja Pedang?"

Tanya pemuda itu dingin.

Raja Pedang tampak gugup. Terbata-bata dia menjawab.

"Bagaimana mungkin pedang ini tahu-tahu telah menempel di leherku? Apakah kau yang mengendalikan?"

Tanya Raja Pedang sementara sekujur tubuhnya telah basah bersimbah keringat dingin.

Raja tersenyum, dongakkan kepala lalu menyahuti.

"Tadi aku memang yang mengendalikan senjata itu karena aku yang memegangnya. Tapi sekarang pedang itu dikendalikan oleh dirinya sendiri. Kau tahu mengapa senjataku dinamakan Pedang Gila?"

Tanya Raja.

Tanpa menunggu jawaban Raja Pedang dia jawab sendiri pertanyaannya.

"Sebabnya tak lain senjataku kadang berbuat sekehendaknya sendiri. Dan sekarang hanya dengan sekali ucap aku bisa saja meminta Pedang Gila menggorok lehermu sampai putus. Kau bisa bayangkan betapa ajalmu telah di depan mata. Kau siap mati Raja Pedang,"

Tanya sang pendekar dingin.

Raja Pedang gelengkan kepala dengan wajah tegang. Setabah-tabahnya Raja Pedang, namun melihat pedang menempel ketat sedemikian rupa dan tanpa berada dalam kendali pemiliknya. Diam- diam jadi bergidik ngeri.

"Raja Gendeng. Aku mengaku kalah! Seperti yang telah kukatakan aku bersedia membantumu dalam mengatasi persoalan yang kau hadapi di Bukit Segala Puji Segala Serapah."

Tegas Raja Pedang masih saja gugup.

"Apa yang terjadi diantara kita bukanlah soal kalah atau menang. Aku tidak merasa mengalahkanmu. Dan satu yang harus kau ingat. Aku hanya ingin kita mengatasi persoalan ini bersama-sama. Dan aku tetap merasa senang karena tidak ada satu diantara kita yang harus berangkat ke akherat lebih dahulu."

Kata pemuda itu dengan senyum diwajahnya.

"I-lya. Tapi jauhkan pedangmu dari leherku!"

Pinta Raja Pedang dengan lebih bersahabat.

"Ha ha ha! Itu perkara yang mudah."

Sahut sang pendekar. Kemudian ditujukan pada Pedang Gila, Raja berseru.

"Wahai pedang serta jiwa yang bersemayam di dalam pedang kembalilah ke rangkamu!"

Wuut!

Slep!

Secepat kilat pedang gila melesat tinggalkan leher Raja Pedang. Lalu bergerak cepat masuk ke dalam rangkanya.

Melihat ini Raja Pedang terkagum-kagum sekaligus takjub. Kejadian yang dilihatnya memang sesuatu yang sangat sulit dipercaya. Sedikitpun dia tidak menyangka Sang Maha Sakti dari Pulau Es mempunyai kesaktian dan senjata yang lebih hebat dibandingkan dirinya

"Raja..."

Kata Raja Pedang setelah bangkit dan sarungkan senjata miliknya sendiri.
Raja Gendeng 17 Amanat Dari Liang Lahat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Aku mengaku tunduk kepadamu. Maafkan segala kesombonganku. Sekarang aku siap mengantarmu menuju ke bukit Terjanji atau Bukit Segala Puji Segala Serapah."

"Tidak usah berlebihan. Bersikaplah biasa saja. Aku sudah siap pergi. Kau boleh memanggil kudamu!"

Saran Raja.

Raja Pedang anggukkan kepala.

Tanpa menunggu dia bersuit tiga kali.

Dikejauhan terdengar suara sahutan berupa ringkikan kuda.

Tak lama kemudian kuda Raja Pedang muncul.

Tapi dia tidak berani mendekat.

Mahluk itu hanya menatap dari tempat yang dianggapnya aman dari jarak antara majikannya dengan sang pendekar.

"Kudaku kemarilah!"

Seru Raja Pedang sambil lambaikan tangan ke arah kuda. Tapi kuda hanya meringkik, diam di tempat dan menatap pada Raja dengan takut-takut.

"Hampirilah kudamu. Dia Pasti takut anunya kuremas lagi untuk yang kedua kalinya. Ha ha ha!"

Kata sang pendekar disertai gelak tawa.

Tidak seperti sebelumnya, kali ini Raja Pedang ikut tertawa mendengar ucapan Sang Maha Sakti Raja Pedang lalu berlari ke arah kuda. Sedangkan sang pendekar segera mengikuti dari jarak yang agak jauh untuk menjaga agar kuda tidak menjadi tambah ketakutan.


*****


Matahari bersinar cerah.

Langit terang tiada berawan.

Dalam suasana seperti itu di timur Purworejo, tepatnya di sebuah kawasan bukit yang dikenal angker diliputi kegaiban, terlihat kesibukan yang sangat luar biasa.

Segala hiruk pikuk untuk menyambut perhelatan tumbal persembahan yang dilakukan oleh mahluk-mahluk alam gaib dari golongan hantu dan dedemit serta mahluk halus lainnya itu tentu tidak dapat dilihat dan didengar oleh golongan manusia biasa.

Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kesaktian tinggi serta penglihatan batin tajam saja yang dapat melihat kesibukan menyambut perhelatan penyempurnaan tumbal yang akan dilangsungkan pada malam harinya.

Disatu tempat tepat di puncak bukit yang dinaungi pepohonan tinggi berdaun merah darah.

Puluhan hantu hantu berwajah rata dan ratusan dedemit berkulit merah terlihat sedang menyiapkan sebuah altar besar tempat di mana korban persembahan akan dibaringkan.

Sementara dalam sebuah bangunan bundar yang mengelilingi kawasan lereng bukit, beberapa makluk alam kubur berwajah angker mengerikan sedang merangkai bunga, mempersiapkan pendupaan, sesajen juga mengolah masakan yang terdiri dari ulat, belatung juga lintah.

Tidak terdengar senda gurau.

Setiap orang melakukan apa yang menjadi tugas masing-masing dengan bersungguh-sungguh.

Sementara itu dalam satu ruangan serba cokelat, di atas sebuah balai berkasur jerami, tergeletak menelentang dalam keadaan terikat seorang gadis bergaun putih berambut panjang.

Gadis berkulit putih berwajah cantik itu terus saja meronta-ronta berusaha membebaskan diri dari ikatan.

Tapi segala upaya yang dilakukannya hanya sia-sia saja karena tali yang mengikat kedua tangan dan kaki ternyata sangat kuat dan tak mungkin dapat putus, meski gadis yang tak lain adalah Dadu Sirah Ayu itu telah menggunakan tenaga luar dalam untuk memutuskannya.

Merasa kelelahan setelah berkali-kali gagal membebaskan diri. Dadu Sirah Ayu akhirnya diam terkulai.

Dengan mata menerawang menatap ke langit-langit yang dipenuhi ular-ular berbisa, gadis ini berharap ada keajaiban terjadi pada dirinya.

Setidaknya dalam keadaan diri ditimpa kesulitan seperti yang dialaminya saat itu, sahabatnya Kelut Birawa dan bersama sahabatnya yang lain datang menolong.

Namun dia juga berpikir mungkinkah para sahabatnya bisa tahu dimana keberadaannya?

Sedangkan saat itu ketika badai hitam datang menyerang, para sahabat juga termasuk seorang pendekar yang datang hendak menolong dibuat tercerai-berai oleh amukan badai.

Sebagaimana telah diceritakan dalam episode Kitab Pedang Darah'

Dadu Sirah Ayu gadis yang menjadi dambaan para siluman tidak dapat menyelamatkan diri ketika Badai Hitam melibat dan menggulung tubuhnya.

Badai yang muncul dari pohon beringin putih itu bukan badai biasa karena di dalam pusaran badai mendekam maha diraja liang kubur yang dikenal dengan sebutan Yang Terlaknat Dari Alam Baka.

Mahluk sesat dari kegelapan kubur ini yang juga menjadi sekutu Gagak Anabrang dalam memperkaya diri.

Setelah tergulung pusaran badai.

Pusaran badai aneh itu pun kemudian menerbangkan sekaligus membawa Dadu Sirah Ayu ke bukit terjanji yang lebih dikenal dengan bukit Segala Puji Segala Serapah sesampainya di kaki bukit, Badai hitam yang membawanya lenyap.

Di balik badai muncul sosok tinggi tua renta bertubuh kurus kering, bertubuh putih jarang dengan sekujur tubuh dipenuhi bekas luka cambukan juga cabikan senjata.

Mahluk itu berlendir bermata merah menjuntai seperti hendak tanggal dari dalam rongganya.

Punggungnya bergerigi laksana gergaji dan mahkota api di atas kepalanya.

Kemudian tanpa bicara apa-apa segera membawa Dadu Sirah Ayu dengan cara menentengnya.

Dadu Sirah Ayu menjerit-jerit ketakutan sehingga akhirnya tidak sadarkan diri.

Seperti diketahui gadis itu hanya tubuhnya saja yang berkembang dengan baik.

Akibat dijadikan patung oleh Kelut Birawa perkembangan otaknya tidak mengikuti pertumbuhan badannya.

Tidaklah heran walau usianya sudah hampir dua puluh tahun namun jalan pikirannya tak berbeda dengan bocah berusia tujuh tahun.

Ketika Dadu Sirah Ayu sadar, dia mendapati dirinya berada dalam ruangan serba cokelat dan dalam keadaan terikat.

"Setiap orang pasti bakal mati. Tapi aku tidak mau mengalami kematian dengan cara seperti ini!"

Rintih sang dara sedih juga dicekam rasa takut luar biasa.

"Kakek Kelut sahabatku. Dimana kau. Mengapa kau dan sahabat yang lain tidak segera datang menolong?"

Ucapnya lagi.

Dalam keadaan dilanda kegalawan Dadu Sirah Ayu tiba-tiba ingat dengan batu sakti pinjaman kakek jerangkong Raden Pengging Ambengan yang belum sempat dia kembalikan.

Dengan batu itu dia pasti bisa merubah diri menjadi kunang-kunang.

Seandainya tubuh dapat mengecil menjadi kunang-kunang dia yakin dapat meloloskan diri.

Tapi bagaimana caranya mengambil batu yang tersimpan di balik kantong gaun sedangkan dua tangannya dalam keadaan terikat, Dadu Sirah Ayu berpikir namun lagi-lagi dia merasa tidak berdaya.

Sementara itu pada waktu yang sama, tidak Jauh dari kawasan bukit tepatnya di sebuah lembah yang menghubungkan ke jalan satu-satunya menuju puncak bukit.

Seorang kakek tua berpakaian mewah berbelangkon batik dan membekal sebuah keris di punggungnya terus memacu kuda yang menjadi tunggangan bernama Empu Saladipa. Si tua yang tak lain yang telah kehilangan salah satu tangan akibat ditebas oleh Raja Pedang dalam suatu perkelahian ini merasa bahwa sekarang adalah waktunya yang tepat untuk mencari muka dan mengeruk keuntungan.

Tidaklah mengherankan ketika Gagak Anabrang memerintahkannya mencari sekaligus menghabisi Raden Pengging Amberngan sang empu tamak yang selalu tergila-gila dengan kilauan harta benda itu langsung saja menyanggupi.

"Aku tahu bakal terjadi keramaian di Puncak bukit Segala Puji Segala Serapah. Dan kakek tua bertubuh macam jerangkong itu pasti bakal hadir di sana,"

Batin orang tua itu.

"Hiya! Hiya...."

Tali kekang kuda disentak kuda digebah.

Kuda berbulu cokelat itupun meringkik keras.

Kuda berlari kencang.

Namun setelah melewati tikungan menuju ke arah jalan mendaki yang dipenuhi batu-batu terjal, sang kuda tiba-tiba hentikan larinya, lalu meronta sambil mengangkat dua kaki depannya.

"Ada apa?"

Terheran-heran empu Saladipa pentang mata dan menatap ke depan.

"Batu Kawin Silang Madu yang konon kabarnya menjadi jalan satu-satunya menuju ke puncak bukit, masih jauh dari sini. Mengapa tiba-tiba kau berhenti?"

Tanya si kakek ditujukan pada sang kuda.

Binatang itu tentu tidak bisa menjawab. Dan kuda itu terlihat tambah gelisah

"Binatang sialan! Mengapa sekarang banyak tingkah dan menjadi sulit diajak bekerja sama?"

Teriak si kakek kehilangan kesabarannya.

Walau dibentak dan dihardik bukan membuat kuda menjadi takut pada majikannya, sebaliknya berubah menjadi liar.

Selagi empu tua ini dibuat sibuk mengendalikan kuda dengan sebelah tangan kirinya, tiba-tiba saja terdengar suara langkah berat yang disertai dengan guncangan pada tanah di sekitarnya.

Empu Saladipa diam-diam terkejut.

Seketika dia menatap lurus ke arah terdengar suara datangnya langkah kaki.

Belum habis rasa heran mendengar suara langkah berat yang menimbulkan guncangan.

Dari balik semak belukar muncul satu sosok tinggi besar seperti hendak menyandak langit berkulit serba hijau bertelanjang dada.

Sosok yang munculkan diri itu tidak hanya tinggi dan besar tapi juga mempunyai penampilan aneh kalau tidak dapat dikatakan mengerikan.

Di bagian kening ditumbuhi tanduk hitam mencuat.

Kedua siku tangan juga bagian lututnya ditumbuhi tanduk.

Mahluk satu ini juga hanya memiliki mata tunggal.

Mata itu lebar dan besar terletak persis di tengah kening.

Walau memiliki hidung, namun mulut sang mahluk hijau begitu lebar dengan gigi-giginya runcing dan tajam.

Melihat kehadiran sosok serba hijau empu Saladipa sempat tercekat.

Tapi sekejab kemudian dia telah dapat menguasai diri.

Setelah menenangkan kudanya. Empu Saladipa ajukan pertanyaan.

"Makluk aneh tidak dikenal. Siapa dirimu ini? Bagaimana bisa muncul di tempat ini?"

Raja Gendeng 17 Amanat Dari Liang Lahat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar pertanyaan si kakek sang mahluk hijau yang tak lain adalah Dedemit Rawa Rontek adanya menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang hijau tajam

"Kau bertanya siapa aku, mengapa aku sampai ke sini? Kau sendiri apa yang kau lakukan di tempat ini, kakek tua bertangan buntung sebelah?"

Tanya Dedemit Rawa Rontek

"Kurang ajar. Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah balik bertanya,"

Maki empu Saladipa dalam hati.

Karena tidak mengetahui seberapa hebat kekuatan mahluk yang dihadapinya Empu Saladipa memilih mengalah dengan menjawab.

"Aku sedang dalam perjalanan mencari seseorang, Namaku empu Saladipa. Kau sendiri siapa?"

"Empu Saladipa. Ahli pembuat keris hebat juga kaki tangan begundal Gagak Anabrang, manusia culas yang tidak pernah menghargai nyawa orang lain. Ketahuilah aku dikenal dengan nama Dedemit Rawa Rontek. Aku yang dipercaya oleh Penghuni Perahu Setan untuk mencari dan menghancurkan semua musuh-musuhnya. Kedatanganku ke tempat ini, ingin mengambil kembali gadis yang diculik dan dilarikan oleh Yang Terlaknat Dari Alam Baka. Siapa mahluk jahanam satu itu, majikanmu Gagak Anabrang pasti mengetahuinya."

Empu Saladipa yang memilih mencari lebih selamat, buru-buru berkata.

"Aku sama sekali tidak tahu mengenai segala urusan Gagak Anabrang dan Yang Terlaknat Dari Alam Baka. Itu urusan mereka. Aku sama sekali tidak terlibat."

Dedemit Rawa Rontek sebagaimana diketahui sebelumnya terpaksa meninggalkan padang hijau karena gadis yang diincarnya dibawa lari Yang Terlaknat melalui serangan Badai Hitam, kini menyeringai.

"Aku tidak pernah bertemu denganmu, tapi kau kelihatannya sama culasnya dengan majikanmu Gagak Anabrang. Kau datang kesini pasti ada sesuatu yang kau cari. Selagi bertemu apa salahnya bila aku meminta sesuatu darimu?"

Kata mahluk itu. Berdebar hati empu Saladipa mendengar ucapan Dedemit Rawa Rontek. Entah mengapa perasaannya tiba-tiba jadi tidak enak. Tapi si kakek tidak mau bila cuma sekedar menduga.

Tidak menunggu lama Dedemit Rawa Rontek melanjutkan ucapannya.

"Permintaanku tidak sulit. Dan yang kuminta itu kujamin ada padamu."

"Aku tidak mau kau mempermainkan aku dengan teka-teki. Lekas katakan saja apa yang kau inginkan dariku!"

Hardik empu Saladipa kehilangan kesabaran.

"Aku minta nyawamu.Harap serahkan nyawa busukmu sekarang juga!"

Dengus Dedemit Rawa Rontek.

Kemudian tanpa basa-basi lagi, sang mahluk julurkan tangannya ke sang empu.

Lima jemari tangan melesat cepat siap menjebol dada.

Empu Saladipa yang merasa tidak dipandang sebelah mata oleh Dedemit Rawa Rontek, mana sudi serahkan nyawanya, Sambil menggembor marah dia hantamkan tangannya ke arah lima jemari tangan mahluk hijau.

Diserang dengan pukulan sakti Empu Saladipa, Dedemit Rawa Rontek malah ganda tertawa.

Tangan yang dipergunakan lawan untuk menyerang dikibaskan.

Selarik cahaya biru yang melesat dari tangan empu tua buyar hancur menjadi kepingan.

Sementara itu setelah berhasil menggagalkan serangan lawan, sang mahluk kibaskan tangan kiri kanan ke arah pinggang dan dada si kakek. Sepuluh kuku berwarna kehijauan mencuat tajam menderu disertai tebaran hawa dingin menusuk tulang.

Empu Saladipa dapat membayangkan seandainya pinggangnya kena ditebas sambaran kuku itu, dia bakal terpotong menjadi dua.

Dalam keadaan terkaget-kaget tak menyangka lawan dengan mudah dapat memusnahkan pukulan saktinya.

Dengan gerakan cepat namun enteng, si kakek lambungkan tubuhnya ke udara.

Diketinggian dia terus berjumpalitan lalu jejakkan kaki di atas cabang pohon.

Serangan Dedemit Rawa Rontek luput, tapi sepuluh jemari terus menderu.

Raak !

Hileegk...."

Kuda meringkik keras ketika sepuluh jari tangan membeset leher dan menjebol tulang punggungnya hingga berderak patah.

Binatang itu roboh ke tanah, darah menyembur kaki melejang-lejang lalu diam melotot tak berkutik lagi

Cras!

Cras!

Melihat binatang kesayangannya menemul ajal secara mengenaskan, dari atas pohon sang empu menggerung marah.

Diringi suara raungan menggidikkan si kakek melesat tinggalkan cabang pohon.

Selagi tubuhnya melayang turun ke bawah, dia segera menghantam batok kepala lawannya dengan satu pukulan ganas menebar hawa panas luar biasa.

Dedemit Rawa Rontek yang dalam keadaan posisi membelakangi tidak sempat melihat apa yang dilakukan oleh lawannya.

Namun ketika merasakan ada hawa panas menyengat bagian atas batok kepala, Sang mahluk keluarkan suara mendengus. Tanpa menoleh dia hantamkan tangan ke atas menyambuti lawannya.

Tidak menyangka lawan menangkis serangan yang datang, tidak ada waktu lagi bagi sang empu untuk batalkan serangan.

Terdorong oleh rasa ingin menjajal kekuatan lawan, dia pun berlaku nekat dengan melanjutkan serangannya.

Plak!

Tiga telapak tangan saling berbenturan.

Lalu menempel ketat hingga membuat keduanya sama-sama mendorong yang satu ke bawah dan satunya ke atas.

Dedemit Rawa Rontek menggerung ketika menyadari kedua kakinya mulai amblas akibat tekanan berat luar biasa yang dilakukan lawan.

Tapi dia tidak mau bersikap ayal.

Sambil dongakkan kepala dia arahkan tanduk hitam yang tumbuh dikening.

Begitu tenaga sakti dialirkan ke bagian tanduk tiba-tiba membersit cahaya hitam yang langsung menghantam dada empu Saladipa.

Si kakek tidak sempat menghindar apalagi meloloskan diri karena ketika dia hendak menyentakkan tangannya dari telapak tangan lawan.

Tidak disangka sangka tangan tunggalnya dicengkram oleh lawan dengan erat.

Tanpa ampun sambil melolong menjerit kesakitan orang tua itu jatuh terpelanting.

Pakaian bagus di sebelah dada hangus terbakar.

Di balik pakaian yang hangus tampak sebuah lubang luka menganga hitam.

Si kakek melejang berkelojotan.

Mata mendelik, tapi dia tidak dapat bertahan lama.

Sekejab kemudian sang empu meregang nyawa.

Dedemit Rawa Rontek keluarkan suara berdengus.

Dari lubang hidung mengepul uap panas. Setelah itu dia menghela nafas panjang.

Lalu tanpa menghiraukan mayat lawannya dia berkata.

"Menembus Tabir Gaib Batu Kawin Silang Madu telah kucoba. Tapi ternyata tidak mudah untuk melakukannya. Padahal hanya itu jalan satu- satunya untuk mencapai Bukit Segala Puji Segala Serapah. Apa yang harus kulakukan. Mahluk gaib berkepandaian sepertiku saja tidak tahu caranya menghancurkan jalan gaib itu. Tapi untuk menyerah dan kembali menghadap Penghuni Perahu Setan sama saja dengan mencari mati. Dia paling benci pada orang yang tidak bisa menyelesaikan tugas. Hm, harusnya aku tidak menjadi budak mahluk kurang ajar yang satu itu. Tapi bagaimana mungkin aku bisa hidup tenang selama dia masih hidup dan gentayangan di rimba persilatan."

Dedemit Rawa Rontek lalu terdiam cukup lama. Dalam diam otak berpikir untuk mencari jalan yang paling baik.

Pergi, menghindar sejauh-jauhnya dari Penghuni Perahu Setan. Tapi kemana dia harus pergi. Penghuni Perahu Setan mempunyai penciuman setajam anjing geladak. Apalagi dia selalu menggunakan perahu yang dapat melayang di udara. Dedemit Rawa Rontek gelengkan kepala.

Tidak ada pilihan.

Setidaknya untuk saat ini dia harus melakukan tugas yang tidak dia sukai. Akhirnya mahluk serba hijau ini melangkah tinggalkan tempat itu.

Namun baru beberapa tindak kakinya bergerak pada waktu bersamaan terdengar suara bergemuruh disertai melesatnya sebuah benda berbentuk bulat mirip bola namun dikobari api.

Melihat bola api meluruk deras siap menghantam perutnya Dedemit Rawa Rontek cepat melompat ke sebelah kiri lalu jatuhkan diri bergulingan menjauh.

Buum!

Satu ledakan keras menggelegar mengguncang tempat itu. Tanah bergetar seperti dilanda gempa.

Sang mahluk selamat terhindar dari malapetaka namun satu tanda tanya besar mengusik benaknya.

"Siapa yang menyerang?"

Pikir Dedemit Rawa Rontek.

Dengan cepat dia bangkit berdiri.

Memandang ke depan tepat dimana ledakan terjadi terlihat ada sebuah lubang besar menganga dalam.

Ada asap tebal menebar bau busuk bangkai mengepul di udara, meliuk-liuk membentuk sebuah tulisan kuno.

Walau terkesiap kaget.

Dedemit Rawa Rontek mencoba menyimak dan membaca tulisan dalam hamparan asap itu.

"Amanat Dari Liang Lahat. Penguasa Raja Diraja Alam Baka akan mengangkat hajat pada malam ini, malam sabtu kliwon tepat jatuhnya pada bulan sabit malam ke tujuh. Ada tumbal sesembahan yang hendak dipersembahkan demi sempurnanya kekuatan dan kekuasaan. Para tamu yang diundang hanyalah sesepuh penghuni makam tua yang pernah tersesat dalam hidup dan tersiksa di alam baka. Ada tanda yang harus dibawa. Tanda itu telah disepakati dalam perjanjian lama. Orang diluar kawasan bukit terjanji atau bukit Segala Puji Segala Serapah baik dari kalangan dedemit atau manusia dari mahluk halus maupun berujud kasar. Yang tidak diundang tidak diharap kehadirannya.Diharapkan tidak mengganggu tidak mencampuri. Siapa saja yang bertindak nekat melanggar amanat yang ditetapkan.
Yang mulia diraja segala derita kesengsaraan penguasa dari alam baka telah menetapkan hukuman berat dalam derita siksa, juga kematian dan kesengsaraan.
Sang pembuat amanat dari liang lahat Diraja Yang Terlaknat Dari Alam Baka...."

Tebaran asap yang mengepul meliuk-liuk di udara bergoyang keras.

Bau busuk tambah menyengat.

Lalu...

Buum!

Terjadi satu letupan kecil dari bagian bawah dimana asap berasal.

Kepulan asap lenyap.

Di dalam lubang ledakan tiba-tiba saja terdengar suara desis disertai melesatnya satu benda seukuran kepalan tangan orang dewasa.

Benda berwarna kecoklatan itu memancarkan cahaya berpedar.

Setelah berada diketinggian benda itu kemudian berputar tak ubahnya seperti sebuah gasing.

Tertegun merasa heran bercampur rasa tidak mengerti, Dedemit Rawa Rontek diam memperhatikan, Selagi dia berusaha mencari tahu benda apa gerangan yang berputar itu, dari dalam benda yang berputar itu terdengar suara sayup-sayup yang mengiang di telinga sang dedemit.
Raja Gendeng 17 Amanat Dari Liang Lahat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Amanat telah disampaikan. Bila segala perintah peringatan tidak dindahkan, maka akan datang sang penghukum untuk mewakili kepanjangan tangan"

Suara mengiang lenyap, Dedemit Rawa Rontek tercekat ketika menyadari bahwa ucapan itu tak lain memang ditujukan kepadanya.

"Keparat jahanam!"

Teriak Mahluk hijau itu.
Lalu balikkan badan siap menghambur tinggalkan tempat itu. Tapi segalanya menjadi terlambat. Benda berwarna kecoklatan yang mengapung sambil berputar di udara dengan kecepatan luar biasa itu tiba-tiba saja meledak.

Dar!

Dar!!

Sang benda aneh hancur menjadi kepingan dan tebaran asap, Kepingan berhamburan kemana- mana dan pada waktu bersamaan dari delapan arah menderu cahaya merah.

Delapan cahaya yang ternyata adalah Panah api itu menderu cepat menghantam sekujur tubuh Dedemit Rawa Rontek.

Sementara di balik kepingan dan benda yang hancur muncul pula satu sosok mahluk hitam berbentuk jerangkong memakai jubah hitam tak terjahit mirip kain kafan orang mati.

Di tangan mahluk jerangkong itu tergenggam sebuah senjata aneh berbentuk arit melengkung namun mempunyai gagang yang panjang.

Dedemit Rawa Rontek terkesima.

Gerakan berlarinya terhenti.

Dan tidak ada waktu lagi baginya untuk berpikir, ketika delapan panah api muncul dari kawasan bukit Segala Puji Segala Serapah menghujani tubuhnya.

Mahluk satu ini keluarkan suara menggembor marah.

Sambil berputar dia menghantam delapan panah api dengan pukulan sakti.

Delapan pukulan maut yang dikenal dengan nama Di Dalam Rawa Mengintai Petaka berkiblat menghantam delapan panah api disertai suara gemuruh aneh seperti air mendidih.

Bum!

Byar!

Byar!

Sedikitnya empat panah api yang datang dari arah depan dan samping sebelah kanan dibuat rontok.

Namun empat panah api lainnya masih terus melesat siap menghunjam ditenggorokan dada, perut dan juga kakinya.

Sang makduk tercekat, tengkuknya mendadak menjadi dingin.

Namun dengan kecepatan luar biasa dia segera jatuhkan diri sama rata dengan tanah lalu berguling menjauh.

Tep!

Tep!

Empat panah api mengenai tempat kosong.

Satu menghunjam ke pohon sedangkan yang satunya hancur menghantam batu, selebihnya masuk ke tanah.

Dedemit Rawa Rontek selamat.

Secepat kilat dia bangkit berdiri.

Tapi belum sempat makluk itu berdiri tegak.

Tiba-tiba angin deras berhawa dingin menerpa tubuhnya.

Dedemit Rawa Rontek merasakan darahnya merasa membeku.

Dia segera lipat gandakan tenaga dalam dan segera mengalirkannya kesekujur tubuh.

Begitu pengaruh aneh yang dia rasakan lenyap secepat kilat dia menoleh.

Begitu tahu sambaran angin dingin itu ternyata datang dari mahluk jerangkong membekal senjata aneh melengkung, Dedemit Rawa Rontek segera melompat ke depan.

Dua tangan dijulur, sepuluh jari dipentang siap dihunjamkan ke bagian leher dan dada sang mahluk.

Diluar dugaan seolah dapat membaca gerak serangan lawan, sang jerangkong tiba-tiba rundukkan kepala tubuh membungkuk sedangkan senjata di tangan bergerak laksana kilat membabat dari sebelah kanan mencari sasaran di bagian pinggang.

Kilatan cahaya hitam redup berkiblat, menyambar ganas ke pinggang Dedemit Rontek membuat mahluk satu itu terpana.

Tetapi dia segera melompat ke belakang menghindari tebasan senjata.

Wuut!

Serangan itu luput, Sang Dedemit menjadi kalap dan murka.

Tidaklah mengherankan baru saja kedua kaki menjejak tanah dia segera membalas serangan lawan dengan dua pukulan sakti sekaligus. Dari tangan kiri sang mahluk hijau berkiblat cahaya biru terang.

Cahaya itu meluruk deras membabat bagian kaki.

Sedangkan dari tangan kanannya keluar satu cahaya merah terang bergulung-gulung seperti awan menerpa bagian tubuh mahluk jerangkong di sebelah atas.

Sang mahluk keluarkan ter?akan melengking, begitu menyadari mendapat serangan dari dua arah sekaligus membuatnya menjadi serba salah.

Tapi dia bertindak nekat.

Tiba-tiba saja dia melompat ke atas selamatkan kaki dari kehancuran.

Pukulan cahaya biru menghantam tanah tempat dimana mahluk jerangkong tadinya berdiri. Kaki selamat namun cahaya merah siap menghancurkan tubuh dari atas.

Sang mahluk katubkan mulutnya.

Dua mata yang menghitam bengkak lembam mendelik, penuh rasa benci dia ayunkan senjata anehnya menyambuti hantaman cahaya merah yang membersit dari telapak tangan kanan Dedemit Rawa Rontek.

Bret!

Rerrt!

Des!

Dua letupan keras terjadi berturut-turut ketika cahaya pukulan dan senjata itu saling beradu dengan keras.

Dedemit Rawa Rontek terguncang dan terhuyung.

Dua tangan terasa nyeri dan dingin luar biasa.

Sementara di depan sana sang jerangkong sempat terpental.

Senjata dalam genggamannya nyaris terpental, sedangkan badan senjata yang melengkung tampak membara mengepulkan asap.

"Kau hanya mahluk terkutuk yang menjalankan amanat. Kalau tidak segera menyingkir angkat kaki dari hadapanku. Aku pasti segera menghabisimu!"

Seru sang Dedemit. Mahluk jerangkong keluarkan suara mendengus, ketika Dedemit Rawa Rontek keluarkan ilmu ajian sakti Sang Maut Dari Dasar Rawa.

Begitu berhasil memadamkan senjatanya yang membara. Jerangkong berjubah hitam tiba-tiba berkata.

"Diraja yang mulia. Mahluk kiriman Penghuni Perahu Setan ternyata memiliki kesaktian hebat. Mohon kiranya kirimkan bantuan! Segera!"

Permohonan disambut.

Dari kawasan bukit yang tak dapat ditembus manusia tiba-tiba membersit tiga cahaya kuning terang.

Tiga cahaya melesat ke arah dimana mahluk jerangkong berada.

Semakin dekat cahaya itu pada sang mahluk semakin besar pula ujudnya.

Sampai akhirnya segalanya menjadi lebih jelas.

Tiga cahaya kuning yang datang ternyata berupa tiga buah benda, salah satu diantaranya berupa cambuk, satunya lagi berujud golok besar sedangkan yang terakhir berupa palu godam bergerigi.

"Tiga alat penyiksa Liang Lahat!"

Desis Dedemit Rawa Rontek yang mengenali tiga senjata ganas itu.

Mahluk jerangkong keluarkan tawa lepas.

Dedemit Rawa Rontek bersikap tidak perduli.

Tidak ingin celaka dihantam tiga senjata gaib itu.

Mula-mula sang Dedemit menghantam sang jerangkong yang hendak menyerangnya kembali.

Setelah itu dia pun menghantam tiga senjata kiriman yang menderu dari sebelah atas.

Tidak ubahnya seperti luapan lumpur pekat.

Satu gelombang bercampur cahaya hitam pekat bergulung-gulung melabrak mahluk jerangkong.

Kemudian serangan lainnya dihantamkan kepada tiga senjata maut itu.

Laju gerak tiga senjata kiriman tiba-tiba terhenti.

Namun senjata senjata terus berusaha menembus serangan yang dilakukan sang dedemit. Sementara tak jauh di depannya, mahluk jerangkong berusaha keras menghancurkan pukulan menggulung yang melabraknya.

Sambil melepaskan pukulan sekaligus babatkan senjata di tangan kanan mahluk jerangkong berhasil memusnahkan pukulan lawan, Sementara di ketinggian terdengar suara ledakan berdentum begitu tiga senjata kiriman berhasil hancurkan serangan sang dedemit.

Sreeng!

Tetapi walau berhasil menghancurkan serangan yang dilakukan Dedemit Rontek.

Namun serangan lanjutan dari tiga senjata hanya mengenai tempat kosong.

Tiga senjata melayang mengapung diketinggian.

Mahluk Jerangkong terkesiap tidak percaya ketika menyadari lawan ternyata raib tidak meninggalkan bekas.

"Mahluk itu berhasil lolos. Kurang ajar. Harusnya dia mampus direjam di tempat ini."

Kata mahluk jerangkong.

Selagi mahluk ini dibuat kecewa tiba-tiba terdengar suara memanggil.

"Kalian semua pulang!"
Raja Gendeng 17 Amanat Dari Liang Lahat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mendengar panggilan itu, tiga senjata melambung tinggi.....

Setelah sempat berputar diketinggian sebanyak tiga kali, tiga Alat Penyiksa Liang Lahat pun melesat pergi. Selanjutnya mahluk jerangkong mengikuti tidak jauh di belakangnya.

Pada waktu yang sama Dedemit Rawa Rontek yang sengaja meninggalkan tempat terjadinya pertempuran terlihat terus saja berlari, mahluk bertanduk berkulit hijau ini berkata.

"Aku tidak akan lagi ikut melibatkan diri pada setiap masalah Penghuni Perahu Setan.. mohon maafku karena sejak hari, ini aku bersumpah tidak akan sudi diperintah dan diperbudak olehmu dan oleh siapapun."

Sang Dedemit pun semakin mempercepat larinya hingga lenyap dari pandangan.

******

Jauh sebelum Raden Pengging Ambengan, Ratu Edan juga Kelut Birawa kakek gendut bercelana selutut berpakaian putih tak terkancing, jejakkan kaki di mulut jalan menuju puncak bukit berselubung Segala Puji Segala Serapah.

Raden Pengging Ambengan telah menyadari betapa berbahayanya berada di daerah kekuasaan Yang Terlaknat Dari Alam Baka.

Itulah sebabnya si kakek bertubuh kurus kering itu kemudian meminjamkan batu sakti biru kepada Ratu Edan.

Pada Kelut Birawa si kakek tidak memberikan karena sebelumnya dia juga sudah meminjamkan batu sakti yang membuat si gendut dapat berubah menjadi kunang-kunang.

Dengan membekal batu kehadiran mereka di mulut jalan rahasia yang dibentengi kuasa gelap dan dikenal dengan nama Batu Kawin Silang Madu maka mereka tak dapat dilihat oleh Yang Teriaknat dari Alam Baka juga kaki tangan dan penjaganya.

Namun Raden Pengging menganggap bekal itu belum cukup. Kepada Kelut Birawa dan Ratu Edan, gadis cantik rupawan yang suka berdandan menor itu dia minta untuk segera meminum air Seribu Mantra Penolak Bala yang telah tersedia di dalam kantong hitam perbekalannya.

Sehingga keberadaan mereka tetap tidak terlihat oleh Yang Terlaknat Dari Alam Baka.

"Aku mendengar suara teriakan-teriakan di lembah. Apakah mungkin telah terjadi perkelahian di sana?"

Ucap gadis berpakaian Biru berambut Panjang bermahkota kecil yang tak lain adalah Ratu Edan sambil tatap dua kakek di sebelahnya.

Saat itu mereka sedang mendekam bersembunyi di balik bebatuan tinggi yang menghadap ke arah mulut sebuah jalan!

Di atas jalan itu terdapat sebuah gapura melengkung yang diatasnya terdapat patung batu berupa dua sosok laki-laki dan sosok perempuan saling berhimpitan.

Ratu Edan sendiri ketika jejakkan kaki di tempat itu dan melihat ke arah patung segera palingkan wajah ke jurusan lain dengan wajah merah, hati menyimpan rasa malu.

Beda dengan Kelut Birawa.

Melihat pemandangan yang bertengger di atas gapura si kakek tersenyum, julurkan lidah lalu menggaruk habis kepalanya.

"Jangan hiraukan setiap suara apa pun yang kau dengar sahabat Ratu Edan."

Ucap Raden Pengging mengingatkan.

"Saat ini kita harus memusatkan perhatian kita untuk menyelamatkan Dadu Sirah Ayu."

"Aku tahu. Tapi apakah kau yakin gadis lugu itu sekarang berada dalam sekapan Yang Terlak nat Dari Alam Baka?"

Bertanya sang dara sambil tatap kakek di sampingnya. Tanpa keraguan Raden Pengging Ambengan anggukkan kepala.

"Kakek sahabatku."

Berkata pula Kelut Birawa.

"Bukan maksudku meragukan kemampuan mata batinmu. Tapi kita sama-sama mengetahui bahwa kawasan bukit ini dibentengi oleh tembok gaib yang sulit di tembus. Jangankan diriku. Mahluk seperti Penghuni Perahu Setan sekalipun tidak berdaya untuk menembus benteng gelap itu. Hanya gerbang Batu Kawin Silang Madu inilah satu- satunya jalan untuk mencapai puncak bukit."

"Aku tahu, aku mengerti. Kau pasti hendak bertanya bagaimana caranya untuk memastikan gadis yang kita cari berada dalam sekapan mahluk itu bukan?"

Potong si kakek. Kelut Birawa anggukkan kepala.

"Setiap mahluk apapun golongannya boleh mempunyai seribu ilmu segudang kesaktian. Namun harus diingat selalu saja terdapat celah kelemahan yang bisa disusup yang dapat ditembus, Mata batinku melihat celah itu tetapi aku tidak dapat menembus masuk kesana. Aku melihat Dadu Sirah Ayu disekap dalam sebuah ruangan serba cokelat. Ruangan itu mirip makam besar. Tidak berpintu. Tidak beratap juga tidak berdinding. Inilah yang membuat kita kesulitan untuk menembus."

Mendengar penjelasan Raden Pengging, Ratu Edan tercengang.

Kelut Birawa langsung dekap wajah dengan air matanya berurai tanpa isak.

Si kakek yang mengenal Dadu Sirah Ayu jauh lebih dekat dibandingkan dua sahabat itu rupanya terguncang

"Anak itu sangat menderita. Kedua orang tuanya tewas dibunuh oleh Gagak Anabrang. Hidupnya diburu dan terus dikejar hanya karena dia terlahir pada waktu yang dianggap istimewa."

"Bagaimana keadaannya kek?"

Tanya Ratu ikut prihatin.

"Saat ini dia baik-baik saja. Namun dia begitu sedih dan hampir putus asa,"

Terang sang raden.

"Harusnya dia dapat pergunakan batu sakti yang kupinjamkan padanya. Dengan batu itu dia dapat merubah diri menjadi kunang-kunang. Tapi apa yang bisa dilakukan bila kaki dan tangannya dalam keadaan terikat?"

"Apa?! Mahluk terkutuk itu mengikat kaki tangan Dadu Sirah Ayu?"

Bentak si gendut geram

"Begitulah yang kusaksikan lewat mata batinku."

Lalu segalanya berubah sunyi.

Setiap orang sama terdiam, wajah menunduk dalam keprihatinan namun dengan pikiran yang jernih mereka berusaha mencari jalan keluar untuk menolong sekaligus membebaskan Dadu Sirah Ayu dari sekapan.

"Harusnya kita segera kesana. Bagaimanapun caranya?"

Usul Ratu Edan.

Raden Pengging tidak segera menjawab. Kelut Birawa diam memperhatikan menunggu hingga si kakek jerangkong bicara. Si Kakek menghela nafas. Kemudian dia berkata.

"untuk mencapai puncak bukit. Seseorang harus mampu menembus pintu masuk yang terdapat di bawah gapura itu."

"Dibawah gapura tidak ada pintu. Kulihat hanya tanah rata berbatu yang diselimuti sarang laba-laba,"

Potong Kelut Birawa heran.

"Sampai kapanpun atau bahkan kedua biji matamu menatap terus menerus ke bawah gapura tetap saja kau tak bakal bisa melihat tabir pintu kegelapan. Hanya orang yang mempunyai jurus kunci pembuka dan memiliki pedang sakti saja yang dapat menjebol pintu kegelapan yang kumaksudkan,"

Terang si kakek.

Merasa bingung, Ratu Edan dan Kelut Birawa saling berpandangan. Kelut Birawa lalu ingat dengan Raja. Pendekar sakti dari pulau Es yang pernah datang memberi bantuan. Namun usahanya gagal karena badai Hitam datang membawa pergi Dadu Sirah Ayu.

"Pemuda itu mempunyai jurus-jurus pedang sakti yang aneh dan langka. Andai saja tidak sedang mencari Raja Pedang, mungkin dia dapat membantu mengatasi kesulitan yang kita alami."

Ucap si gendut

"Mempunyai pedang dan jurus-jurus hebat belum tentu bisa menjebol pintu gaib kegelapan. Terkecuali dia memiliki jurus kunci yang berasal dari sebuah kitab langka bernama Kitab Pedang Darah."

"Apakah mungkin dia memilikinya? Bagaimana dengan orang berkuda yang dikenal dengan nama Raja Pedang?"

Tanya Ratu Edan.

"Aku juga tidak dapat memastikannya. Kitab Pedang Darah biasanya muncul di sumur Tua yang dikenal dengan nama sumur Penentuan Kehendak. Mahluk dari dunia bawah yang selalu membawanya keluar dari sumur tua Penentuan Kehendak. Tetapi dalam beberapa kejab bila tidak ada satu orangpun yang datang membutuhkan sesuatu dari dalam kitab itu, maka sang mahluk utusan dari dunia bawah itu akan membawanya kembali ke dasar sumur tua tersebut. Yang membuat aku khawatir baik Raja maupun si Raja Pedang tidak pernah bertemu dengan mahluk yang membawa kitab Pedang Darah. Jika dugaanku ini benar maka keberadaan mereka berdua di tempat ini tetap tidak berguna."

"Aku tidak suka pada Raja Pedang."

Desis Kelut Birawa.
"Mengapa? Bukankah Raja Pedang memiliki musuh yang sama dengan kita yaitu Gagak Anabrang juga Penghuni Perahu Setan,"

Jelas Ratu Edan.

"Yang kau katakan memang benar. Tapi dia pernah mengancam akan membunuh Dadu Sirah Ayu. Bahkan kehadirannya di padang hijau ini untuk maksud dan tujuan yang sama.Bagusnya pendekar Raja Gendeng menghalangi niat jahatnya."

Cetus si gendut bersungut-sungut.

"Mengapa dia menginginkan kematian Dadu Sirah Ayu? Karena dengan kematian gadis itu tidak ada orang lagi yang bisa memanfaatkannya untuk dijadikan tumbal persembahan." terang Raden.

"Aku juga menduga demikian,"

Timpal Ratu Edan.

"Mudah-mudahan bukan Raja Pedang yang datang kemari, tapi Sang Maha Sakti Raja Gendeng. Dengan demikian aku bisa punya pasangan. Hik hik hik"

Setelah berkata begitu sang Ratu mengumbar tawa lirih.

Melihat sikap si gadis, Kelut Birawa tiba-tiba menyela.

"Dasar gadis genit. Sudah gatal kau rupanya. Coba beri kesempatan padaku untuk menggaruk. He he he,"

"Tua bangka tolol. Siapa yang mau digaruk tua bangka sepertimu. Kalaupun ada orang yang kelak menggaruk bagian tubuhku yang gatal, pastilah pendekar itu, bukan kau."

Rungut Ratu Edan lalu buru-buru palingkan wajah ke junusan lain. Melihat ini sambil menahan geli Kelut Birawa kembali membuka mulut.

"Ah, sudah muak kau rupanya melihat wajah keriput penuh lemak si tua bangka ini. Mungkin sudah suratan takdir si tua yang malang tak laku-laku. Kalau begini senjataku bisa karat bulukan percuma. He he he."

Ratu Edan sembunyikan senyumnya.

Sedangkan Raden Pengging Ambengan delikan mata pada Kelut Birawa.

"Kalian berdua, mengapa suka saling mengejek kekurangan satu sama lain. Banyak bergurau padahal kita sedang menghadapi masalah yang sulit?"

Tanya Raden Pengging Ambengan!

"Kita tidak boleh bersikap lengah. Saat ini kita berada ditempat yang sangat berbahaya,"

Ujar Raden Pengging Ambengan lagi dengan kesal. Melihat si kakek Raden Pengging Ambengan tunjukkan wajah tidak suka, Ratu Edan dan Kelut Birawa buru-buru menjura sambil meminta maaf.

"Kami mengerti. Sekali lagi kami yang bodoh ini minta maaf,"

Kata kedua orang itu hampir bersamaan.

"Baiklah. Sekarang kita harus memikirkan bagaimana caranya agar kita dapat melewati pintu kegelapan itu?"

Kata Raden Pengging Ambengan.

"Tapi... bukankah kau mengatakan hanya orang yang menguasai jurus kunci dari kitab Pedang Darah saja yang sanggup membuka pintu itu?"

"Aku tahu, Ratu Edan. Karena kita tidak yakin apakah Sang Maha Sakti memiliki jurus kunci yang kita harapkan. Dan kita tidak mungkin menunggu pertolongan yang tidak pasti itu terlalu lama. Saat matahari tepat ada di atas kepala. Setengah hari ke depan hari berganti malam. Jika sampai malam tiba kita akan terlambat untuk menolong Dadu Sirah Ayu dari sebuah malapetaka besar."

Terang Raden Pengging membuat Kelut Birawa kembali dihantui rasa cemas.

Penjelasan Raden Pengging memang masuk akal.

Malam nanti tepat malam bulan sabit ke tujuh.
Raja Gendeng 17 Amanat Dari Liang Lahat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Yang Terlaknat dari Alam Baka dijelaskan sejak awal telah melakukan berbagai persiapan untuk melakukan pengorbanan nanti malam.

Jika mereka tetap tidak bisa masuk ke puncak bukit dapat dipastikan Dadu Sirah Ayu bakal menemui ajal, dijadikan korban oleh mahluk alam baka itu.

Selagi mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Pada saat itu Ratu Edan tiba-tiba melihat ada sebuah perahu berwarna merah darah melayang, melintas persis di atas mereka.

Perahu melaju kencang dengan dua layar terpentang lebar.

Dibagian depan haluan perahu berdiri tegak satu sosok berpakaian dan berjubah merah mengenakan topeng tipis bergambar tengkorak. Sambil berdiri berkacak pinggang pemilik sekaligus Penghuni Perahu Setan itu mengumbar tawa tergelak sambil keluarkan ucapan menggembor lantang.

"Akulah calon diraja. Akulah yang nantinya bakal menjadi raja diraja penguasa kegelapan dan dunia persilatan.Siapa yang berani menentangku pasti kubunuh. Ha ha ha!"

Suara teriakan penghuni Perahu Setan bergema melanda seluruh penjuru kawasan Bukit Segala Puji Segala Serapah.

Menyaksikan kehadiran mahluk dalam perahu yang secara terang-terangan, Jelas menandakan dia datang sengaja untuk menantang pemilik kawasan.

"Mahluk edan satu itu. Bagaimana dia bisa memiliki perahu yang bisa melayang terbang di udara?"

Desis Kelut Birawa heran.

"Itu adalah perahu keramat. Benda itu satu-satunya kendaraan langka yang terdapat di dunia ini." menerangkan si kakek jerangkong.

"Tidak cuma dia yang punya benda seperti itu. Aku juga punya keranjang terbang!"

Dengus Ratu Edan yang masih menyimpan sakit hati yang mendalam pada Penghuni Perahu Setan ini.

Sebagaimana telah diceritakan dalam episode Ratu Edan' mahluk penghuni Perahu Setan itu telah membakar istana milik sang Ratu.

Disamping itu juga telah membunuh kedua pengawalnya.

"Aku bisa saja memanggil keranjang sakti milikku lalu mengejar mahluk keparat itu dan memberinya pelajaran setimpal!"

Geram Ratu Edan.

"Jangan! Lebih baik tidak usah dilakukan,"

Cegah Raden Pengging Ambengan sambil menahan bahu si gadis yang segera hendak bangkit berdiri. Ratu merasa gusar dan buru-buru tatap kakek di sebelahnya.

"Aku tidak akan membiarkan keparat itu, setelah dia mengacau dan merusak di pulauku? !"

Sentak Ratu Edan.

"Apakah kau ingin membuat semua rencana kita menjadi kacau. Kau juga ingin agar kehadiran kita diketahui oleh pemilik wilayah. Lalu dia datang ke tempat ini bersama puluhan mahluk-mahluk sakti yang menjadi pengawalnya untuk membantai kita?!"

Terang Raden Pengging membuat Ratu Edan tersadar dan segera mendekam di tempatnya kembali.

"Apa yang dikatakan kakek jerangkong benar, Ratu. Menuruti kata hati akan menimbulkan kerugian di pihak kita. Tempat ini dipenuhi penjaga dan senjata-senjata yang siap membantai siapa saja. Penghuni Perahu Setan segera akan mendapat hadiah atas segala tindakannya yang ceroboh."

Ucap Kelut Birawa.

Yang dikatakan si gendut memang tidak berlebihan.

Terbukti hanya sesaat setelah perahu merah darah itu melayang berputar mengitari kawasan bukit.

Seketika itu pula terlihat kilatan- kilatan cahaya bermunculan dari bukit yang terlindung tabir kegelapan.

Kilatan-kilatan berasal dari serbuan berbagai jenis senjata menyerang Perahu Setan dan pemiliknya dari segala penjuru arah.

Melihat datangnya serangan senjata yang siap meluluh lantakkan diri dan perahunya maka mahluk misterius penghuni Perahu Setan keluarkan suara gembor marah.

"Keparat jahanam! Yang Terlaknat Dari Alam Baka. Ternyata dirimu hanyalah mahluk pengecut yang bersembunyi dibalik tirai gaib kegelapan, Kau lindungi puncak bukit laknat Segala Puji Segala Serapah hingga aku tidak bisa melihatnya. Lalu kau hanya berani mengirimkan senjata-senjata yang tidak berguna. Kau mengira aku bakal pergi, lari terbirit-birit? Kau keliru. Aku telah siap menghadapi serbuan senjata rahasiamu,"

Sambil berkata begitu Penghuni Perahu Setan segera melompat tinggalkan haluan.

Tidak lama kemudian dia muncul lagi di haluan belakang dengan sekujur tubuhnya diganduli puluhan kendi berwarna merah.

Dengan mata nyalang Penghuni Perahu Setan layangkan pandang ke bawah.

Dia melihat puluhan senjata dari berbagai jenis yang dikendalikan dari kawasan bukit yang berada dibawah perahunya.

Semua senjata berterbangan dengan kecepatan laksana kilat menyerbu ke arah perahu yang dia tumpangi, siap menghancurkan perahu berikut pemiliknya.

"Kau akan lihat! Betapa diriku jauh lebih cerdik darimu, Yang Terlaknat?"

Kata Penghuni Perahu.

Kemudian sambil menyeringai dia lemparkan sedikitnya sembilan kendi merah sebesar kepalan tangan yang tergantung dibahu kiri ke arah senjata yang datang menyerang.

Setelah itu dia juga lemparkan rangkaian kendi yang dijalin dengan ikatan ke sebelah kanan perahu.

Begitu dua renteng kendi melayang ke bawah. Penghuni Perahu hentakkan dua tangannya ke bawah membuat gerakan meremas. Delapan belas kendi hancur teremas secara gaib oleh pemiliknya.

Isi kendi yang terdiri dari cairan berbau busuk kotoran dan bau pesing muncrat bertebaran kesegenap penjuru arah.

Tanpa ampun lagi ketika cairan dalam kendi yang oleh Penghuni Perahu disebut sebagai Penangkal Dalam Penghancuran menghujani puluhan cahaya yang memancar dari senjata. Senjata-senjata itu sesuai kehendak orang yang mengendalikannya dibalik bukit, berkelit meliuk-liuk hindari guyuran cairan penangkal.

Namun karena cairan itu datangnya laksana curah hujan.

Tidak dapat dihindari puluhan senjata penyerbu yang siap membuat perahu porak poranda, luruh berjatuhan ke bawah disertai suara desis seperti suara besi panas dimasukkan dalam air.

Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah

Cari Blog Ini