Ceritasilat Novel Online

Kitab Pedang Darah 3

Raja Gendeng 16 Kitab Pedang Darah Bagian 3


Dengus Raja Pedang.
Sang pendekar hanya senyum-senyum saja walau dirinya disebut tolol.

"Utusan dari alam bawah. Apakah maksudmu bawah sumur atau bawah kubur?"

Gumam pemuda itu membuat Raja Pedang menjadi marah.

Tapi beruntunglah sebelum kemarahan penunggang kuda kroya itu memuncak ke ubun-ubun, sosok dalam lingkupan cahaya itu berkata,

"Anak manusia bernama Raja putra pewaris istana Pulau es, bergelar Sang Maha Sakti Raja Gendeng.Dengarlah baik-baik waktuku tidak lama. Begitu matahari terbit menampakkan diri aku harus sudah kembali ketempat asal."

Tidak menyangka sosok dalam cahaya mengetahui siapa dirinya juga asal- usulnya,diam-diam sang pendekar kaget.

Raja Pedang sendiri tercengang ketika mengetahui siapa pemuda gondrong itu adanya.

"Raja Gendeng.Bukan hanya namanya saja Raja, tapi dia masih putra seorang raja.Aku pernah mendengar adanya istana kuno dipulau es.Ternyata keberadaan pulau es bukannya legenda tapi istana itu benar-benar ada."

Batin Raja Pedang.

"Mahluk yang datang bersama cahaya. Siapa pun adanya dirimu, aku menghaturkan hormat padamu."

Berkata demikian sang pendekar segera bungkukan tubuh dalam-dalam. Setelah menjura sebagai tanda penghormatan, pemuda ini lalu berkata.

"Apapun yang hendak kau sampaikan aku sudah siap mendengar.!"

"Baiklah Putra darah biru yang rendah hati. Kedatanganku disini masih ada hubungannya dengan segala petaka yang bakal terjadi di puncak bukit Segala Puji Segala Serapah."

"Ah. Rasanya seperti kebetulan. Aku sendiri saat ini sedang dalam perjalanan menuju kesana. Beberapa sahabat bahkan sudah berangkat terlebih dahulu."

Terang sang pendekar. Diapun lalu menceritakan semua kejadian yang dialami oleh Dadu Sirah Ayu gadis calon tumbal persembahan pada malam sabtu kliwon bulan sabit ketujuh.

Tak lupa dia juga menceritakan kesulitan yang dialam termasuk juga melewati jalan satu-satunya menuju kebukit Segala Puji Segala Serapah.

"Menurut Raden Pengging Ambengan, celah jalan yang menuju bukit yang bernama Batu Kawin Silang Madu tak mungkin dapat dilewati atau ditembus oleh siapapun terkecuali oleh seorang ahli pedang yang telah diberi petunjuk. Petunjuk bisa didapat dari kitab Pedang Darah. Sampai saat ini aku tidak tahu dimana kitab itu adanya."

Ketika berkata demikian Raja melirik ke arah Raja Pedang.

Merasa diperhatikan dia buru-buru menjawab.
"Kitab Pedang Darah tidak ada padaku!"

"Kalau merasa tidak menyimpan mengapa harus gusar?"

Tukas sang pendekar dengan suara dihidung.

"Sudah. Jangan berbantah-bantahan. Diantara kalian mungkin saja punya sifat dan pendirian bertolak belakang. Satu seperti minyak dan satunya lagi seperti air. Tapi sebagai orang yang sangat handal dalam menguasai jurus-jurus pedang, kalian berdua wajib membuka jalan satu-satunya yang menuju kepuncak bukit Segala Puji Segala Serapah."

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Bicara terus terang, aku tak akan suka dibawah perintah pemuda itu walau dia seorang pangeran calon raja"

"Kalau aku suka-suka saja. Yang paling aku tak sukai aku tidak mau bekerja dibawah bendera apa-lagi dibawah ketiak.He he he."

Sahut Raja tenang- tenang saja.

"Betul saja dugaanku, pemuda satu ini benar- benar gila. Dia mungkin lebih gila dari senjata saktinya." geram Raja Pedang.

"Raja Pedang!"

Tegas sosok dalam cahaya.

"Segala apa yang menjadi ganjalan dihatimu pada Raja bisa diselesaikan nanti. Sekarang kau dengar baik-baik. Saat ini aku membawa Kitab Pedang Darah. Dalam Kitab itu terdapat sembilan puluh sembilan halaman,berisi sembilan puluh sembilan kebaikan dan jalan hidup. Juga sembilan jurus Pedang langka, sembilan ilmu pengobatan dan sembilan jalan kematian. Diantara sekian banyak wasiat ada satu kunci rahasia tetapi berguna untuk membuka pintu rahasia yang tersimpan didelapan penjuru angin. Batu Kawin Silang Madu termasuk salah satu rahasia alam gelap yang tak mungkin dibuka atau ditembus oleh orang yang memiliki ilmu kesaktian hebat sekalipun. Satu-satunya cara untuk sampai ke Bukit Segala Puji Segala Serapah adalah diantara kalian berdua harus menguasai jurus kunci Kitab Pedang Darah. Siapapun nantinya yang paling tepat menggunakan jurus itu patut disebut pemimpin. Setelah mempelajari jurus kunci kitab ditubuhnya akan muncul sebuah tanda merah.Sedangkan orang yang ditubuhnya muncul tanda hijau,maka orang itu harus mendampingi orang yang dipercaya oleh kitab untuk memimpin pembuka jalan,"

Terang sosok dalam cahaya.

"Menjadi pemimpin atau menjadi kaki tangan tidak masalah. Yang terpenting Bukit Segala Puji Segala Serapah harus segera dihancurkan. Jika tidak tempat itu akan menjadi sarang bagi setiap mahluk terlaknat membuat rencana menebar kejahatan." kata Raja.

"Pasti aku yang akan memimpin tugas ini. Karena aku seorang Raja Pedang, sedangkan dia cuma seorang Raja Gila. Ha.ha.ha."

Tukas Raja Pedang disertai tawa tergelak

"Aku tidak bisa mengatakan apapun.Segala takdir kehendak sepenuhnya terpulang pada para dewa di kayangan. Kepada siapa kunci dalam Kitab Pedang Darah ketemu jodoh semuanya tergantung kepada kerendahan hati salah satu diantara kalian."

Tegas sosok dalam cahaya sehingga membuat Raja Pedang terdiam.

Sementara sang maha Sakti Raja Gendeng sendiri cuma bisa tersenyum dan garuk kepala.


*****

Untuk sementara kita tinggalkan Raja Pedang dan Sang Maha Sakti Raja Gendeng.

Kini kita lihat dulu bagaimana nasib Gagak Anabrang yang menderita cedera berat akibat serangan ganas Penghuni Perahu Setan.

Setelah menderita luka dalam dan luka di sekujur tubuhnya, Gagak Anabrang yang dikenal sebagai tokoh hitam sangat disegani karena ketinggian dan kehebatan ilmunya, diam-diam harus mengakui Penghuni Perahu Setan ternyata bukan lawan yang mudah baginya.

Karena dia dibuat cidera sedemikian rupa, maka kemarahan sekaligus dendamnya kepada Penghuni Perahu Setan sedalam laut setinggi langit.

Dia berpikir bagaimana caranya agar dapat membalas segala rasa sakit hati dan dendam kepada mahluk misterius itu.

Rasa penasaran di hati Gagak Anabrang makin menjadi ketika dia ingat lawan telah membunuh Lor Gading Renggana, pengikutnya yang paling setia.

Sambil melayang-layang berada dalam cengkraman burung berbulu hitam besar yang ujut aslinya seorang pemuda tampan yang usianya tiga puluh tahun, Gagak Anabrang berusaha berpikir jernih.

Dalam keadaan dibawa melayang dia merasakan sekujur tubuh seperti remuk, nafas sesak dan dari mulut masih meleleh darah.

"Cepat, bawalah aku pulang, Patijara!"

Kata laki-laki pendek itu dengan nafas mengengah.

"Kaaaak!"

Sang mahluk jejadian keluarkan suara pekikan keras sebagai tanda mengerti.

Kemudian selayaknya manusia biasa burung hitam besar itu berkata,

"saya dapat merasakan junjungan Gagak Anabrang mengalami cidera cukup parah."

"Bukan cuma parah, aku malah hampir mampus kalau kau tak segera datang.Hari ini aku berhutang nyawa padamu. Segala hutang baru lunas bila aku telah mengawinkanmu dengan Arum Dalu anakku. Kau tak usah khawatir. Aku juga akan memberimu harta yang banyak. Kau pasti senang dan tak bakal hidup susah sampai keanak cucu!"

"Tapi junjungan!"

"Tapi apa Patijara? Kau tidak suka pada anakku?"

"Bukan begitu.
Saya tidak mungkin menikah dengan putrimu karena junjungan telah terikat perjanjian dengan Yang Maha Terlaknat dari Alam Baka"

"Hah apa? Kau tidak mau terima tawaranku karena tahu aku terikat perjanjian dengan setan kuburan itu.Kau mengira aku bakal rela menyerahkan putriku satu-satunya pada mahluk itu?"

Dengus Gagak Anabrang merasa tersinggung.

"Junjungan. Saya tidak mengharapkan apa-apa dari junjungan. Lagipula junjungan harus ingat Malam sabtu kliwon tinggal sehari lagi. Saya telah melakukan pengintaian junjungan."

"Pengintaian apa?"

Sentak Gagak Anabrang sambil mendekap dadanya yang berdenyut sakit.

"Saya telah melihat adanya satu kesibukan luar biasa di bukit terjanji, Bukit Segala Puji Segala Serapah." kata Patijara sambil terus melayang menuju kesebuah gedung megah mirip sebuah istana kuno yang tidak lain adalah gedung milik Gagak Anabrang.

Berada dalam cekalan sepasang kaki burung jelmaan itu, Gagak Anabrang tiba-tiba berkata,

"Kau melihat kesibukan luar biasa? Kawasan Bukit Segala Puji Segala Serapah kuketahui sebagai kawasan yang tertutup terlindung tabir dan kabut aneh.Jangankan dirimu, Penghuni Perahu Setan yang mempunyai ilmu kesaktian selangit saja tak mampu menembus daerah itu. Bagaimana kau bisa mengatakan bisa melihat segala yang terjadi disana?"

"Saya tidak mengatakan melihat segalanya. Saya mengatakan adanya kesibukan. Dengan menggunakan ilmu yang saya miliki, sebagai mata-mata saya telah melakukan penyusupan.
Memang hanya roh saya yang datang kesana. Tapi persiapan acara tumbal persembahan benar-benar akan dilakukan ditempat itu. Bukit Segala Puji Segala Serapah."

"Aku berterima kasih karena engkau telah memberi tahu. Aku yakin mahluk satu itu telah mempersiapkan segalanya.Perjanjianku dengannya memang segera berakhir,namun tentunya setelah aku menyerahkan putriku satu satunya. Aku tidak akan membiarkan itu semua terjadi."

"Junjungan. Saya lihat disana ada dua altar yang dipersiapkan. Artinya akan ada dua calon korban yang dipersembahkan!"

Terang Patijara.

"Satu altar akan ditempati oleh anakku satunya lagi pasti bakal ditempati oleh gadis terpilih. Dan gadis itu tak lain Dadu Sirah Ayu. Kurang ajar sekali! Yang Teriaknat dari Alam Baka ternyata tidak hanya licik, tapi juga serakah. Aku harus mengerahkan segala daya untuk menggagalkan semua rencananya."

"Junjungan tak mungkin bisa masuk ke kawasan bukit karena jalan satu-satunya menuju bukit terlindung oleh satu tabir kekuatan aneh yang sukar untuk ditembus!"

Menerangkan Patijara hingga membuat Gagak Anabrang diam membisu. Tidak berselang lama Gagak Anabrang telah dibawa memasuki bangunan megah miliknya.

Sebelum menjejakan kaki, Patijara jatuhkan orang yang berada dalam cengkramannya dengan gerakan yang lembut.

Gagak Anabrang jatuh bergulingan.

Karena merasakan sakit pada luka- lukanya. Gagak Anabrang lontarkan caci maki sumpah serapah.

Patijara sedikitpun tidak merasa tersinggung.

Malah begitu burung jejadian ini jejakan kaki, dia segera melipat kedua sayapnya.

Selanjutnya begitu kepala ditundukkan, seketika itu juga sosoknya berubah keujud yang asli, yaitu ujud seorang pemuda tampan berkulit bersih berhidung mancung berpakaian hitam.

Setelah kembali pada tubuh yang asli, Patijara memutar tubuh dan siap membawa Gagak Anabrang memasuki bilik peraduannya.

Patijara juga berniat memanggil beberapa tabib yang mempunyai hubungan erat dengan Gagak Anabrang.

"Lebih baik kau masukan aku kedalam ruang Penyembuhan dan keajaiban. Aku tidak butuh tabib, aku juga tidak ingin didampingi oleh siapapun termasuk oleh istri-istriku!"

Sentak laki-laki tua itu tegas.

"Kalau junjungan sudah menghendaki demikian, maka dengan senang hati saya akan membawa junjungan ke taman belakang!"

Setelah berkata demikian Patijara segera membopong majikannya. Sekejab kemudian keduanya lenyap dari pandangan mata.

Ruang penyembuhan dan keajaiban yang dimaksudkan Gagak Anabrang tak lain adalah sebuah bangunan kecil mirip puri.

Letaknya di sebelah kiri halaman belakang terpisah dari ruangan induk.

Ketika Gagak Anabrang sampai di tempat itu, Patijara hanya diperkenankan mengantar sampai di depan pintu.

Dengan patuh dan setia pemuda itupun akhirnya memilih menunggu dengan duduk diatas kursi kayu yang terdapat dibawah pohon.

Sambil meluruskan punggungnya yang terasa pegel, pemuda itu kitarkan pandang memperhatikan keadaan diseluruh penjuru halaman.

Sekilas sesuatu terlintas sekaligus mengusik benaknya.

Raja Gendeng 16 Kitab Pedang Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari sudah mulai siang.

Matahari bahkan bersinar cerah.

Biasanya pada saat seperti ini bagian belakang yang berfungsi sebagai tempat memasak beberapa abdi wanita terlihat sibuk mempersiapkan hidangan untuk santapan majikannya yang terdiri dari sembilan istri, putri juga Gagak Anabrang sendiri.

Tapi pemandangan saat itu terasa benar benar berbeda.

Tidak terlihat kesibukan para abdi, tidak terdengar tawa dan gurauan.

Bahkan bangunan megah itu terkesan sunyi seolah telah ditinggalkan penghuninya.

Rasa heran dan curiga membuat Patijara merasa tidak tenang di tempat duduknya.

Dia pun lalu bangkit, berjalan perlahan-lahan menuju kearah dapur.

Ketika membuka pintu di ruangan besar itu dia dibuat tercengang. Patijara tidak menemukan seseorang pun terkecuali genangan darah yang telah membeku. Sebagai orang yang memiliki indra penciuman setajam burung elang, sekali melihat dia segera dapat memastikan bahwa genangan darah yang itu adalah genangan darah berceceran manusia.

"Apa yang terjadi?" desis pemuda itu sambil menelan ludah basahi tenggorokan yang mendadak terasa kering.

Pemuda itu pun tambah penasaran. Seakan lupa dia harus menunggu Gagak Anabrang keluar dari dalam Ruang Penyembuhan dan Keajaiban. Patijara lalu bergegas memeriksa semua halaman gedung yang luas. Karena tidak menemukan sesuatu yang berarti dia lalu memutuskan untuk memeriksa bagian dalam gedung megah itu.

Sementara itu Gagak Anabrang sendiri sesampainya di dalam puri dengan tertatih-tatih segera duduk besilah. Dua tangan diletakan diatas lutut. Mata yang terpejam menghadap ke arah sebuah batu besar berwarna biru. Letak batu besar itu menempel pada dinding di depannya.Selain batu besar biru seluruh penjuru dinding juga dipenuhi dengan batu-batu seukuran kepalan tangan seorang bocah yang juga berwarna biru.
Semua batu yang menempel memenuhi dinding ruangan itu dikenal sangat ampuh dalam memulihkan cidera berat, ringan bahkan remuk tulang sekalipun. Sambil memejamkan matanya laki-laki kerdil ini diam-diam menghimpun tenaga dalam yang dia miliki. Dalam waktu sekejab, sekujur tubuh Gagak Anabrang bergetar. Seiring dengan bergetarnya tubuh, dari mulutnya terdengar suara.

"Batu-batu bertuah, batu sakti penyembuh dari semua derita sakit dan luka. Aku adalah junjungan sekaligus orang yang mempunyai kuasa atas dirimu. Sembuhkan aku dari segala luka. Luka ringan luka berat, luka diluar luka didalam, luka yang diatas juga luka yang dibawah. Sekarang juga dan bersegeralah..!"

Baru saja orang tua itu selesai berucap, seketika itu juga batu besar yang menempel pada dinding memancarkan cahaya biru terang namun sejuk. Memancarnya cahaya biru pada batu besar segera pula diikuti oleh puluhan batu-batu kecil yang terdapat disekeliling batu besar. Gagak Anabrang menarik nafasnya lalu seketika itu pula seluruh cahaya yang memancar dari batu tersedot masuk menembus mulut,dada,kepala dan sekujur tubuhnya.

Gagak Anabrang terguncang.

Dari ubun-ubunnya mengepul asap tipis berwarna kebiruan. Sementara dia merasakan rasa sakit dibagian dada, kepala juga bagian tubuh di sebelah bawah lenyap. Ketika dia membuka mata dan memperhatikan ternyata luka dibagian luar hilang tidak berbekas.

"Terima kasih! Kalian telah membantu diriku. Perasaanku lebih segar, lebih muda hingga membuatku merasa seolah baru dilahirkan kembali."

Kata laki-laki itu dengan mulut sunggingkan seringai puas. Seakan mempunyai telinga dan mengerti apa yang dikatakan Gagak Anabrang.

Begitu mendengar ucapannya, pijaran cahaya yang memancar baik dari batu besar maupun batu kecil tiba-tiba meredup dengan sendirinya.

Ketika seluruh cahaya batu padam hingga membuat keadaan di dalamnya ruangan Penyembuhan dan Keajaiban gelap gulita, Gagak Anabrang segera bangkit.

Setelah tegak berdiri dia pun memutar badan siap tinggalkan tempat itu.

Namun pada waktu yang sama laki-laki itu mendengar suara ketukan keras disertai seruan seseorang.

"Junjungan! Celaka! Sebuah malapetaka besar kiranya telah terjadi di tempat kediaman junjungan..!"

Teriak orang itu memberi tahu. Walau tidak melihat siapa yang bicara dan mengetuk pintu. Tapi dari suaranya Gagak Anabrang mengenali suara itu.

Dengan perasaan kaget namun hati diliput tanda tanya dia membentak.

"Patijara. Celaka apa maksudmu? Siapa yang celaka? Aku dalam keadaan baik-baik saja. Apakah engkau yang celaka?"

"Bukan itu maksud saya junjungan. Cepatlah keluar saya akan memberi tahu!"

Jawab orang itu yang bukan lain memang Patijara. Gagak Anabrang tambah penasaran.

Diapun segera membuka pintu.

Ketika pintu terbuka dia melangkah keluar.

Pintu ialu ditutupnya lagi.

Gagak Anabrang membalik badan.

Tahu-tahu Patijara telah berada di depannya dengan tubuh membungkuk sebagai tanda penghormatan, namun pemuda itu sendiri nampak menggigil.

Wajah pucat sepasang mata membayangkan kecemasan luar biasa.

"Lekas katakan apa yang terjadi?" sentak Gagak Anabrang sambil menatap tajam pemuda di depannya.

"Semua orang yang ada di dalam gedung tewas. Tubuh mereka dipenuhi luka bekas cabikan. Saya melihat darah dimana-mana, potongan tubuh para abdi saya dapati berserahkan di ruang belakang!"

Terang Patijara membuat Gagak Anabrang tercengang.

Laki-laki itu diam tertegun.

Beberapa saat lamanya dia tak kuasa berkata-kata.

Barulah setelah dapat menguasai diri, Gagak Anabrang buka mulut ajukan pertanyaan.

"Apa yang terjadi? Siapa yang membunuh mereka."

"Saya tidak tahu,junjungan."

Jawab Patijara.

"Bagaimana dengan istri-istriku?"

"Sembilan istri junjungan semuanya tewas dengan leher terkoyak, perut robek dada menganga."

"Apa?? Semuanya terbunuh? Tidak satupun disisakan untukku?"

Desisnya dengan mata terbelalak tak percaya.

Diapun lalu ingat dengan putrinya Arum Dalu. Gadis cantik yang selalu mengurung diri menderita cacat berupa kudis dan bila disiang hari tubuhnya menebar bau busuk bangkai.

"Bagaimana dengan nasib Putriku?!"

"Saya tidak tahu. Saya sudah memeriksa kamarnya. Pintu dalam keadan terbuka dan kamar itu kosong,"

Terang Patijara.

"Seseorang pasti telah menculiknya."

Desis Gagak Anabrang sekedar menduga. Sejurus lamanya dia terdiam, kening berkerut otak berpikir.

"Aku tidak yakin kalau kaki tangan dar? Yang Teriaknat Dari Alam Baka, telah datang ketempat kediamanku ini, untuk membunuh semua istri juga pembantu setia kemudian menculik serta membawa pergi putriku Arum Dalu."

"Saya tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Saat ini musuh ada dimana-mana, apapun bisa terjadi pada Putri junjungan....."

"Kau benar. Tapi ucapanmu itu bukan dengan maksud menyindirku bukan? Kau tentu tidak hendak mengatakan bahwa musuhku ada dimana-mana dan aku termasuk orang yang paling dibenci didunia ini bukan.!"

Dengus Gagak Anabrang dengan mata mendelik.

Patijara gelengkan kepala.

"Saya bicara sebenarnya. Sama sekali tidak punya maksud menyindir junjungan!!"

"Baiklah. Aku percaya. Sekarang temani aku. Ingin kulihat bagaimana keadaan di dalam sana."

Patijara tidak berani melarang walau dia sadar setelah melihat mayat sembilan istrinya Gagak Anabrang pasti terguncang. Dia hanya berniat mengikuti. Namun belum jauh Gagak Anabrang meninggalkan bangunan berbentuk puri itu, tiba- tiba dia dan Patijara dikejutkan dengan suara bentakan melengking yang disertai dengan bau busuk menusuk.

Bau bangkai.

Patijara hentikan langkah, demikian juga dengan Gagak Anabrang yang berada tiga langkah di depannya.

"Tidak ada yang perlu diperiksa, tidak ada lagi yang perlu diteliti. Aku telah mengakhiri semua kepalsuan hidup diatas segala derita yang dirasakan oleh banyak orang juga penderitaanku sendiri!" kata satu suara keras melengking menyimpan amarah dan kebencian.

Gagak Anabrang dan Patijara saling pandang. Hampir bersamaan pula mereka layangkan pandang kearah bagian belakang gedung tak jauh didepan mereka.

Gagak Anabrang yang merasa mengenali suara itu segera berseru,

"Anakku Arum Dalu. Bukankah kau yang baru saja bicara?"

Gaung suara Gagak Anabrang yang melengking lenyap.

Sunyi menyelimuti.

Namun sekejab kemudian terdengar jawaban.

"Aku manusia malang ini bukan anakmu. Hidupmu hanya memikirkan dirimu sendiri. Aku menderita tapi ayah hidup gemilang dalam kemewahan atas semua penderitaanku."

"Semua prasangkamu tidak benar, anakku!"

Bantah Gagak Anabrang.

"Yang terjadi bukanlah sebuah prasangka. Penderitaanku karena hasil perbuatanmu ayah. Kau telah bersekutu dengan iblis, kau bahkan telah mengikat perjanjian dengannya. Dan sebagai imbalan atas bantuan yang dia berikan hingga membuatmu menjadi kaya. Kau telah berjanji akan memberikan diriku sebagai tumbal persembahan!"

Dengus suara dibalik gedung kalap

"Anakku. Kalaupun semua itu benar. Tapi ayah telah menyadarinya. Ayah bersumpah tidak akan menyerahkan dirimu pada siapapun juga"

"Orang tua pendusta!"

Teriak sang anak, Hampir bersamaan dengan teriakan itu tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari dalam bangunan megah.

Lalu....

Buuum!

Buuuum!

Dua ledakan menggelegar menghantam dinding bangunan yang kokoh.

Dinding itu hancur luluh lantak berubah menjadi kepingan yang bertaburan. Seiring dengan hancurnya tembok, bagian atapnya juga berpelantingan kesegenap penjuru arah.

Kepulan asap,debu bercampur pasir mengepul tinggi menghalangi pandangan.

Dari balik dinding yang runtuh satu sosok tubuh melesat keluar, bergerak secepat kilat dan menyambar dan jejakan kaki tak jauh didepan Gagak Anabrang dan Patijara.

Ketika kepulan debu dan tebaran asap lenyap, baik Patijara maupun Gagak Anabrang sama melihat di depannya berdiri tegak seorang gadis berkulit putih, bergaun hijau, wajah pucat sekujur tubuh ditumbuhi bulu-bulu halus dan borok bersembulan. Melihat kehadiran gadis ini Patijara diam-diam palingkan wajahnya kejurusan lain sementara dalam hati dia berkata.

"Gadis inikah yang hendak dijodohkan denganku? Otak Gagak Anabrang sebenarrnya sudah gila. Jangankan tidur dengannya, berdiri dekat-dekatan begini saja sudah membuatku hampir tidak kuasa menahan muntah."

Batin Patijara.

Sementara itu melihat putrinya berdiri di siang bolong ditengah terik matahari, Gagak Anabrang yang mengetahui kelemahan anaknya dengan perasaan cemas berucap.

"Anakku. Kau tahu tubuhmu tak akan kuat menerima sengatan matahari. Kulitmu bakal melepuh, meleleh dan aku tidak sanggup melihat penderitaanmu!"

Raja Gendeng 16 Kitab Pedang Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang mata gadis yang merah nyalang menatap Gagak Anabrang penuh rasa benci.

"Kau membiarkan ibuku Rai Nini mati ditangan pertapa itu. Kau tidak berbuat apa-apa, bukankah begitu ayah?"

Tukas Arum Dalu.

"Aku benci meng- akui diriku sebagai keturunanmu. Aku juga sangat marah karena ulahmu ibu menemui ajal. Karena itu aku bunuh semua istrimu yang lain juga pembantu serta pengikutmu."

"Dugaanmu bahwa ayah mengabaikan kematian ibumu tidak benar. Ayah telah berusaha membalas dendam. Mencari pertapa itu bukan perkara mudah. Kau harus mengerti dengan berbagai kesulitan yang ayah hadapi. Ayah bahkan memberimu maaf walau kau telah membunuh sembilan istri ayah."

"Aku tidak butuh maafmu. Harusnya aku membunuh ayah, tapi mengingat dosa ayah setinggi gunung, Biarlah ayah dibunuh oleh musuh-musuh ayah yang lain. Sementara aku hanyalah gadis yang malang. Tubuhku menebar harum semerbak dimalam hari. Tapi disiang begini tubuhku jauh lebih busuk dari bangkai!"

"Kau tidak usah berkecil hati. Ayah akan memberikan obat yang tepat untukmu. Setelah kau sembuh kau bisa menikah dengan Patijara,pemuda baik hati ini. Bukankah begitu Patijara?" kata Gagak Anabrang sambil melirik kearah pemuda di sebelahnya.

Dengan terpaksa demi menyenangkan perasaan Arum Dalu, Patijara cepat anggukan kepala. Namun Arum Dalu sadar anggukan kepala pemuda itu bukan keluar dari dasar lubuk hati yang paling tulus.

Tidaklah mengherankan dengan sinis dia menanggapi,

"Manusia Palsu. Aku tahu kau tidak suka padaku. Laki-laki mana yang sudi mempersunting gadis busuk.Seperti yang kukatakan harusnya aku membunuh ayah juga semua sahabat dekatnya. Tapi aku memilih jalan hidupku sendiri Yang Terlaknat Dari Alam Baka tak mungkin bisa menjadikan aku sebagai tumbal persembahannya. Dan engkau ayah tak punya hak mengatur hidupku. Aku dengan segala penderitaan yang kualami menjadi milik diriku sendiri!"

Teriak Arum Dalu dengan tubuh terguncang dan mata berkaca-kaca.

Sesuatu diluar dugaan tiba-tiba terjadi.

Tubuh si gadis tampak mengepulkan asap tipis menebar bau kulit terbakar.

Sambil menangis tanpa menghiraukan tubuhnya yang tak kuat oleh sengatan matahari dia jatuh berlutut.

Tangisnya makin bertambah keras

"Anakku. Sudah kukatakan kau tidak bisa tahan berada diluar rumah disiang bolong begini, Masuklah kedalam anakku. Di dalam aman, tempatnya teduh."

Kata Gagak Anabrang.

Patijara sebenarnya siap hendak menolong, membawa Arum Dalu kedalam ruangan.

Tapi dia tak berani melakukanya Karena takut gadis itu marah.

Akhirnya dia hanya bisa berdiri diam

"Aku tidak butuh nasehat."

Teriak Arum Dalu sambil menahan rasa sakit akibat sengatan matahari yang mulai membakar sekujur tubuh dan pakaian yang melekat di badannya.

"Kau hendak berbuat apa?"

Tanya Gagak Anabrang makin cemas

"Aku ingin menyusul ibu!"

Sahut arum dalu.

Ucapan itu disertai dengan gerakan dua tangan yang sedemikian cepat menghantam kepala.

"Arum. jangan..." pekik Gagak Anabrang.

Dia mencoba mencegah dengan cara melompat dan meraih tangan Arum Dalu yang menderu kebagian kepala.

Patijara juga berusaha melakukan tindakan penyelamatan.

Sayang gerakan Arum Dalu ternyata sangat cepat luar biasa

Praak!

Terdengar suara kepala berderak remuk. Darah dan isi kepala bermuncratan di udara, menghambur keseluruh penjuru lalu berjatuhan diatas tanah. Gagak Anabrang menjerit meratapi anaknya yang nekat mengakhiri hidup.

Dia berlutut disamping Arum Dalu yang terus dikobari Api.

Gadis itu diam tidak bergerak

"Mengapa kau memilih jalan seperti ini? Huk.huk.huk!"

Ratap laki-laki itu dengan hati luluh hancur ditinggal putri yang dia cintai.

Arum Dalu yang telah menemui ajal tentu tidak dapat menjawab.

Patijara tundukan kepala sebagai tanda prihatin.

Seolah ikut berduka.

Panas terik tiba-tiba sirna.

Langit menjadi gelap tertutup mendung tebal.

Kilat menyambar,petir menggelegar.

Seiring dengan turunnya hujan tubuh Arum Dalu mendadak raib menjadi tebaran kabut.

Gagak Anabrang terkesima.

Patijara juga tercengang.

******

Kembali ke sumur tua tempat dimana Raja Pedang dan sang pendekar berada.

Saat itu matahari nyaris munculkan diri di ufuk langit sebelah timur.

Sementara itu kini Sang Maha Sakti Raja Gendeng dan Raja Pedang telah berdiri berhadap- hadapan.

Keduanya dipisahkan oleh sumur tua. Diatas sumur itu sejarak setengah tembok dari mulut sumur berdiri mengambang sosok samar dalam naungan cahaya biru.

"Aku tidak bisa menunggu lebih lama!"

Berkata Raja Pedang tidak sabaran.

"Aku masih bisa menunggu sampai kapan saja. Mulai sekarang sampai besok hingga besoknya lagi pasti akan kuladeni. Tapi aku juga sebenarnya khawatir. Kata orang berdiri atau duduk terlalu lama kaki bisa tumbuh akar."

Sela sang pendekar dengan mulut tersenyum.

Mendengar ucapan Sang Maha Sakti, diam-diam Raja Pedang menjadi geram. Tapi dia tidak melakukan apapun, hanya matanya saja yang menatap dengan mata mendelik pada pemuda di depannya.

"Kalian semua harus bersabar, karena aku pun tidak akan berada disini lebih lama lagi!"

Kata sosok dalam cahaya.

Setelah berkata begitu sosok samar yang diselimuti cahaya itu tampak mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya yang tembus pandang.

Raja Pedang dan Raja Gendeng menatap kearah sosok itu dengan tidak berkedip. Ketika tangan yang disusupkan dibalik pakaian biru ditarik keluar? Kedua orang sama melihat di tangan sosok dalam naungan cahaya tergenggam sebuah benda berbentuk empat persegi berwarna merah juga memancarkan cahaya merah terang.

"Kitab Pedang Darah!"

Desis Raja Pedang.

"Apakah kitab itu hendak kau serahkan pada kami?"

Tanya pemuda yang selalu melindungi wajah dengan topeng itu.

"Tak seseorangpun diantara kalian yang sanggup menyentuh kitab ini. Sekali kalian menyentuhnya, maka sekujur tubuh kalian bakal mengucurkan darah yang tidak dapat dihentikan. Dengar baik- baik...rahasia jurus kunci kitab ada dihalaman terakhir.
Aku akan membukanya untuk kalian.:Begitu halaman itu kubuka.
Isi jurus kuncian pembuka seluruh tabir gaib yang terdapat dalam halaman ini dengan sendirinya segera melebur dalam bentuk cahaya.Cahaya yang melebur berbentuk dua warna yaitu warna hijau dan merah. Warna hijau mewakili bumi sedangkan warna merah mewakili kehidupan di dalam bumi itu sendiri.Dua cahaya yang berasal dari jurus yang melebur itu dalam waktu bersamaan akan menghampiri kalian.Aku hanya ingin mengingatkan hendaknya masing- masing dari kalian menyiapkan diri untuk menerima jurus-jurus kuncian ini."

"Seperti yang kukatakan. Bila penyerapan jurus kunci pembuka rahasia alam gaib merasuk sekaligus menyatu dalam pikiran kalian, tandanya adalah dengan munculnya warna merah berbentuk bulat bundar bergambar langit bumi. Tetapi bila jurus kunci pembuka tabir tidak berjodoh dengan orang itu, maka di telapak tangan kirinya akan muncul warna hijau saja bergambar bumi bulat. Siapapun yang ditangannya muncul gambar bumi berwarna hijau, maka dia ditakdirkan untuk membantu atau mendampingi orang yang di tangan kirinya muncul tanda merah bergambar langit bumi. Kitab halaman terakhir segera kubuka.Apapun yang terjadi kalian harus siap menerimanya!"

"Pemuda tolol itu ,mana mungkin orang gendeng aneh seperti dia mendapat kehormatan menerima jurus kunci pembuka tanda merah itu."

Batin raja pedang dalam hati.

Diapun lalu kerahkan tenaga dalam yang disertai dengan pengerahan tenaga sakti kesekujur tubuh.

Dua mata dipentang menghadap lurus kearah sosok samar dalam cahaya.

Sementara kedua tangannya disilangkan di depan dada.

Diseberang sumur tua. Raja justru malah bersikap tenang dan pasrah dengan apapun yang akan terjadi.

Dia berpikir kalaupun mendapatkan tanda hijau juga tidak mengapa.

Menjadi pengikut ataupun pendamping juga tidak menjadi persoalan.

Yang terpenting dia dapat membantu membebaskan Dadu Sirah Ayu dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-sebaiknya.

Dengan penuh kepasrahan namun dengan semangat ingin menolong sesama. Raja diam-diam kerahkan hawa murni yang disertai pengerahan tenaga sakti kebagian kepala hingga kesekujur badan.

Dua mata memandang kedepan, sedangkan dua tangan diangkat tinggi dengan gerakan seperti menyambut sekaligus menghormat. Sikap aneh yang ditunjukkan Raja itu membuat Raja Pedang menyeringai mengejek.

"Dia memang edan sungguh edan.Buktinya bagaimana menyambut jurus baru saja dia tak tahu caranya."

Batin Raja Pedang dengan tatapan dingin.

"Raja Pedang dan Sang Maha Sakti, Kitab Pedang Darah segera kubuka. Kalian bersiap-siap lah menyambut jurus kuncian pembuka tabir gaib kegelapan."

Seru sosok dalam cahaya.

Raja Pedang anggukan kepala.

Sedangkan sang pendekar hanya tersenyum-senyum sambil menatap kedepan.

Tidak sampai sekedipan mata, sepasang tangan samar sosok dalam cahaya bergerak.

Kitab berwarna merah darah pun segera dia sibakkan tepat di halaman terakhir.

Begitu kitab terbuka, Raja Gendeng melihat dengan jelas satu sosok tinggi berpakaian serta berpenampilan serba merah sedang memainkan jurus-jurus yang belum pernah ia lihat seumur hidupnya.

Segala gerakan yang dilihat dalam waktu sesingkat itu terekam dalam benaknya dengan baik. Sementara dalam waktu bersamaan Raja Pedang juga melihat sosok aneh dalam halaman kitab.

Sosok yang ujud dan penampilannya mirip manusia dan mirip binatang buas itu ternyata juga sedang memperagakan junus-jurus aneh.

Jurus yang sama sekali baru pertama kali dilihat oleh Raja Pedang.

"Mengapa harimau dan kodok yang memperagakan jurus itu?"
Raja Gendeng 16 Kitab Pedang Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Batin Raja Pedang terheran- heran.

Semua yang dilihat pemuda itu meresap masuk amblas terpatri dalam ingatan.

Namun selagi Raja Pedang dibuat terheran-heran.

Seiring dengan terdengarnya suara menderu,dari halaman kitab Pedang Darah melesat dua larik cahaya hijau dan merah menuju ke arahnya, Dari halaman yang sama pula dua cahaya hijau merah melesat menderu ke arah sang pendekar.

Secepat kilat, masing-masing dua cahaya menghantam dada dan kening Sang Maha Sakti.

Sedangkan dua cahaya lain menghantam bagian yang sama di tubuh Raja Pedang.

Sebagaimana yang telah diingatkan oleh sosok dalam cahaya sang utusan dari Alam Bawah.

Keduanya tidak diperkenankan menghindar, menangkis atau balik menyerang kedua cahaya yang memancar dari kitab.

Hanya sikap pasrah yang diwajibkan bagi mereka.

Tanpa ampun lagi begitu dua cahaya menghantam dada dan kening mereka.

Kedua tokoh yang sama-sama memilki ilmu serta tenaga dalam luar biasa tinggi ini pun terguncang.

Raja Pedang menggerung ketika merasakan keningnya seperti dipantek besi menyala.

Sedangkan dadanya seperti hangus terbakar. Kilatan cahaya merah dan biru menyelimuti tubuh Raja Pedang.

Sedangkan kuda Kroya, mahluk tunggangan Raja Pedang meringkik ketakutan melihat majikannya mengalami keadaan yang demikian hebat.

Tidak jauh didepannya, Raja Gendeng sempat merasakan betapa dada dan keningnya seperti diguyur segunung cairan es.

Tapi sebagai orang yang pernah hidup ditempa dan digembleng di Istana Pulau Es yang sejuk pemuda ini tidak begitu terpengaruh oleh hantaman dua cahaya itu.

Dia malah senyum-senyum sambil leletkan lidah

Set!

Trat!

Trat!

Serangan dua cahaya yang tak lain bertujuan menyatukan jurus kunci inti Pedang Darah ke dalam diri kedua satria tingkat tinggi perlahan namun pasti mulai meredup.

Pijaran dan kilatan-kilatan cahaya merah dan hijau kemudian padam, Raja Pedang jatuh terduduk dengan sekujur tubuh mengepulkan asap.

Satu tangan mendekap kening, satunya lagi mendekap dada.

Rambut yang disebelah hitam separoh putih berdiri tegak awut- awutan sedangkan wajahnya nampak pucat tegang.

Raja jauh didepannya sang pendekar masih tegak berdiri.

Kedua lututnya goyah dan kesemutan.

Dada terasa lapang sedangkan kepala walau tidak terasa sakit namun pandangan mata sempat berkunang-kunang.

Karena tidak mengalami sesuatu yang berarti pemuda ini segera memandang ke permukaan sumur tua tempat dimana utusan dari Alam Bawah masih berdiri disana, mengambang dalam keadaan terombang-ambing sambil memegang kitab Pedang Darah dimana halaman terakhirnya dalam keadaan hangus menghitam.

Setelah dapat menguasai diri dari segala guncangan yang terjadi sosok dalam cahaya menutup kitab.

Tangan kemudian dia gerakan ke kiri dan kanan

Wuus!

Kitab Pedang Darah raib dari genggaman.

Sosok yang mengambang itu pun tersenyum kepada Raja juga kepada Raja Pedang.

"Aku telah menyampaikan amanat dari penguasa Alam Bawah. Masing-masing dari kalian telah mendapatkan sekaligus menguasai jurus kunc pembuka tabir gaib. Tetapi apapun yang kalian dapatkan di tangan kiri masing-masing, tidak ada yang boleh merasa lebih tinggi atau merasa lebih rendah.Karena semua yang kalian dapatkan hanyalah merupakan takdir semata."

Terang sang utusan.
Tanpa menunggu sosok samar dalam cahaya dongakkan kepala menatap ke langit.

Matahari telah muncul diketinggian.

"Sekarang sudah tiba waktunya bagiku untuk tinggalkan tempat ini. Kuharap kalian dapat bekerja sama, saling membantu dan kalau mungkin menjadi dua sahabat yang baik dan saling menolong. Selamat tinggal, semoga kalian selalu beruntung dan dalam lindungan para dewa."

Utusan Alam Bawah menghela nafas.

Kemudian tanpa menoleh lagi dia membalikkan badan, dua kaki yang mengapung dihentakan.

Sebagaimana kedatangannya.

Kini terdengar suara bergemuruh.

Sosok dalam cahaya biru terang bergerak turun amblaskan diri masuk ke dalam sumur.

Sumur tua yang semula terang kini menjadi gelap temaram.

Suara gemuruh juga lenyap.

Kemudian terdengar suara langkah terompah bergerak menjauh.

Segalanya pun berubah sunyi..

****

Di seberang sumur. Raja Pedang duduk terlolong.

Diseberang tak jauh didepannya. Raja yang sempat dibuat penasaran segera mengangkat tangan kiri.

Cukup lama dia memperhatikan tangan itu.

Kemudian Raja pun tersenyum ketika melihat tanda merah dalam lingkaran bundar bergambar separoh langit separoh bumi.

Tanpa sadar dia melonjak kegirangan, mulut berseru keluarkan ucapan.

"Aha...
tanda ditanganku ternyata merah.
Ada gambar langit bumi. Jurus kunci pembuka tabir gelap dalam kitab Pedang Darah telah kukuasai. Aku bahkan masih ingat sosok merah besar dalam halaman kitab seperti menari nari memainkan jurus inti itu padaku!"

Raja tertawa, wajah tambah sumringah.

Pemuda itu bahkan mulai menari-nari.

Raja Pedang yang tersentak kaget mendengar ucapan sang pendekar segera dekatkan telapak tangan ke depan wajah.

Agak lama dia menatap dan memperhatikan tangan kirinya.

Tiba-tiba saja terdengar seruan....

"Sial! Tanda ditangan kiriku berwarna hijau.Hanya gambar bumi dalam lingkaran tangan langit. Aku...aku mana mungkin jadi kacungmu!" sentak Raja Pedang.

Matanya menatap nanar tak percaya pada Raja.

Sang pendekar hentikan gerakan tariannya.

Sambil berkacak pinggang, mulutnya mencibir.

"Terima saja takdirmu. Mungkin kau terlalu angkuh dan gelap mata hingga dewa menentukan kau harus membantu aku dalam menyelesaikan masalah besar di bukit Segala Puji Segala Serapah!"

Ucapnya mengingatkan.

"Tidak. Mana mungkin."

Tukas Raja Pedang sambil gelengkan kepala.

"Apanya yang tidak? Apanya yang mana mungkin? Kau harus bisa menerima kenyataan."

"Aku jauh lebih hebat dan lebih sakti darimu. Aku tak terkalahkan. Itu yang membuatiu dijuluki Raja Pedang!"

Sentaknya sambil bangkit berdiri.

"Oh begitu? Aku cuma si geblek tolol. Menggunakan pedang kurasa hanya asal-asalan. Kalau kau tidak mau menerima keputusan dewa ya sudah. Tapi aku perlu bertanya padamu,"

Ujar Raja disertai senyum.

"Kau mau bertanya apa Raja Gila?"

"Aku mau bertanya, Ketika halaman sembilan sembilan dibuka. Aku yakin kau pasti melihat sosok yang sedang meragakan jurus-jurus aneh dalam kitab itu... Yang kau katakan memang benar, Lalu..."

"Siapa yang kau lihat memainkan jurus itu?"

Tanya sang pendekar sambil kedap-kedipkan matanya. Tanpa ragu Raja Pedang langsung menyahut.

"Aku melihat harimau dan kodok yang memeragakan jurus kuncian itu."

"Ha ha ha! Cocok dan tepat. Lambang, simbol yang kau lihat dengan yang aku lihat berbeda jauh. Itu berarti dihatimu tidak ada ketulusan. Kau masih angkuh dan punya sifat mengagulkan diri."

"Mengapa kau berkata seperti itu?"

"Apakah kau tidak tahu. Harimau adalah simbol keperkasaan,kemarahan dan kesombongan.Sedangkan kodok adalah lambang keangkuhan,mau menangnya sendiri.Tapi perut dan otaknya terlalu dekat dengan tanah.
Ha ha ha!"

"Pendekar sedeng, manusia sialan! Kau merendahkan aku? Aku tidak bisa menerima. Aku baru mau membantu dan menjadi kaki tanganmu bila aku sudah mengetahui kehebatanmu!"

Kata Raja Pedang dengan sikap menantang

"Oh betapa sedih aku mendengarnya.Padahal dimataku kau tidak lebih dari harimau ompong dan kodok buduk. Boleh saja kau menjajal kebodohanku dalam menggunakan pedang.Tapi sebaiknya beri aku waktu untuk melakukan sesuatu."

Setelah berkata begitu tanpa menunggu lagi. Raja segera balikkan badan dan bergegas menuju ke semak belukar dibalik pohon.

Menyangka Sang Maha Sakti hendak meninggalkannya. Raja Pedang berseru membentak

"Hei, pengecut kau mau kemana?"

"Aku.. aku mau kencing dan buang hajat dulu. Kau mau ikut atau kau menjagai aku yang hendak kencing? Silahkan saja, Ha ha ha!"

Sahut sang pendekar diringi gelak tawa.

Wajah yang terlindung topeng itu berubah merah padam. Dia menggeram pertanda marah.

Raja Gendeng 16 Kitab Pedang Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Raja gila gendeng, edan sialan! Kusangka kau mau minggat melarikan diri!"

Rutuk Raja Pedang sambil kepalkan kedua tinjunya.

Dibalik pohon Raja menanggapinya dengan tawa dingin.

Tamat

Ikuti kelanjutannya dalam episode

Amanat Dari Liang Lahat

(Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..
mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini.Terima kasih)

Situbondo,22 September 2019

Sampai jumpa di episode berikutnya...

Terima Kasih

*** Saiful Bahri Situbondo ******




Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Fear Street Ciuman Selamat Malam Ii A Romantic Story About Serena Karya

Cari Blog Ini