Warok Ponorogo 2 Bara Api Di Dukuh Dawuan Bagian 2
"Kalau tidak mau keluar, aku yang akan seret kamu keluar. Mengerti", bentak laki-laki kasar itu.
Rupanya laki-laki di meja sebelah Wulunggeni itu tidak ingin membuat gara-gara lebih lanjut, maka segera menyudahi makannya dan setelah membayar langsung bergegas keluar warung itu, entah pergi kemana.
"Hae, Samprong. Ikuti jejak laki-laki sombong itu"
Perintah laki-laki kasar itu kepada seseorang yang bertubuh jangkung berkulit hitam pekat yang dipanggil Samprong itu.
Laki-laki jangkung itu kelihatan patuh menjalankan perintah lakilaki kasar yang agaknya menjadi pemimpin mereka.
Segera ia beranjak dari tempat duduknya dan lari mengambil kudanya.
Pergi mengikuti jejak laki-laki tadi.
Melihat adegan ini, semula Wulunggeni berusaha mengambil jarak untuk tidak mencampuri urusan mereka.
Tetapi dalam hati kecilnya, timbul rasa ingin tahunya.
Termasuk jenis gerombolan apa orang-orang kasar ini yang seenaknya saja bisa berbuat semaunya, mengganggu ketenangan orang lain di tempat umum begini.
Naluri ingin menolongnya tiba-tiba timbul muncul.
"Jangan-jangan bisa terjadi hal-hal yang mencelakan orang tadi.
Kasihan juga orang tadi kalau sampai dihajar oleh orang-orang kasar seperti mereka ini", pikir Wulunggeni dalam hati.
Maka setelah membayar makan minumnya di warung makan dekat pasar ini, Wulunggeni bukannya segera meneruskan perjalanannya meninggalkan kampung yang hiruk pikuk lantaran bertepatan pada hari pasaran ini, tetapi malahan ia memutar-mutarkan kudanya mencari tahu kemana perginya orangorang tadi. Di bawah seberang sungai itu, Wulunggeni menyaksikan seorang anggota gerombolan yang dipanggil dengan nama Samprong itu sedang menghajar tamu warung tadi yang pergi karena merasa terganggu itu.
Wulunggeni menelusup di antara semak-semak dan berlindung di balik pepohonan besar agar tidak diketahui mereka.
Terdengar beberapa pembicaraan di antara mereka.
"Hae dungu. Kamu kira sudah kuat jadi jagoan yah. Beraninya menghina pimpinan kami", teriak si jangkung berkulit hitam pekat yang ditugasi mengejar orang yang tidak bersalah itu.
"Ampun, Pak. Saya tidak ingin menghina. Di warung itu kan tempat umum, Pak. Kita harus saling menghormati, tidak saling membuat kegaduhan", bela orang itu yang mukanya sudah kelihatan babak belur dibajar si jangkung itu.
"Hayo, kamu ikut kembali ke kampung menghadap pimpinanku untuk meminta maaf"
"Baik, Pak. Tetapi jangan dihajar, yah"
"Tidak tahu, yang penting sekarang ikut aku".
Kedua orang itu kelihatan berkuda kembali menuju ke kampung di lembah perbukitan itu. Wulunggeni dengan pelan mengikuti dari jarak jauh arah kedua kuda itu. Tepat di depan pintu masuk gapura kampung itu, nampaknya rombongan para gerombolan itu telah menantikan kedatangan sijangkung di situ. Orang yang dipanggil pimpinan tadi, laki-laki kasar itu juga ada bersama mereka.
"Hebat juga kamu jangkung", teriak laki-laki kasar yang kelihatan sebagai pemimpin mereka menyambut kedatangan si jangkung yang berhasil meringkus tamu warung tadi dengan muka berseri-seri. Tanda puas atas kerja si jangkung yang cekatan itu.
"Ini, Pak. Orang yang sombong tadi"
"Bagus. Bagus, bawa dekat kemari"
"Maafkan saya, Pak. Kalau ada salah saya", kata laki-laki tadi kelihatan ketakutan.
"Akan aku maafkan. Tetapi serahkan dahulu itu semua bungkusan yang ada dalam pelana kudamu itu"
"Ini uang dagangan saya, Pak. Jangan diambil. Ini uang hutangan untuk...", kata laki-laki itu terbata-bata dengan muka pucat.
"Diam. Serahkan saja, dan diam", bentak laki-laki kasar tadi.
"Ya, ya. Akan aku serahkan. Ambillah, dan perkenankanlah aku pergi."
"Ambil semua kampluk itu, Samprong", perintah lakilaki kasar itu kepada laki-laki jangkung itu. Orang yang dipanggil Samprong itu dengan gesit menarik kampluk yang terikat di pelana kuda orang itu dan menyerahkan kepada pemimpin mereka laki-laki kasar yang tinggi tegap itu nampak pongah
"Bawa orang itu, Samprong", perintah laki-laki kasar itu
"Baik, Pak"
"Lho, akan diapakan aku. Semua barangku sudah aku serahkan. Katanya aku boleh pergi"
"Ha. .ha.. .dungu, hayo kemari", kata laki-laki kasar itu.
Samprong sekali tarik, laki-laki di atas kuda itu sudah berada di bawah dan dituntun menuju pemimpin mereka laki-laki kasar itu yang di sampingnya berderet beberapa anak buahnya dengan mukanya yang nampak angker .Mereka tersenyum-senyum melihat muka orang yang ditarik Samprong itu pucat pasi ketakutan. Setelah lakilaki yang diseret Samprong tadi dekat dengan jarak pemimpin mereka, laki-laki berwajah kasar itu
"Hae, mengapa muka kamu kok babak belur begitu, Tuan besar", tanya laki-laki itu berusaha mengambil simpati.
"Sas...saya.. dihajar orang ini, Pak", katanya ketakutan sambil menunjukkan ke arah Samprong yang telah menghajarnya tadi.
"Mengapa tidak kamu hajar kembali. Hayo sekarang hajar si Samprong itu dihadapanku. Kamu telah membayar aku dengan semua uang dan benda bawaanmu di kampluk itu, maka sekarang kamu berhak menghajar si Samprong yang telah menghajar kamu tadi. Hayo lakukan"
"Tidak berani, Pak"
"Kalau kamu tidak berani, kamu yang akan saya hajar. Hayo pilih mana menghajar atau dihajar".
Laki-laki itu terus menunduk ketakutan. Tidak berani harus berbuat apa. Tiba-aba suara
"bruk"
Laki-laki kasar yang disebut pemimpin mereka itu melepaskan tendangan ke arah muka laki-laki yang ketakutan itu, sambil meludahi mukanya.
"Dasar laki-laki pengecut. Taik kamu. Tadi di warung berani banyak bacot, sekarang mengkuret kayak kadal bunting. Ini sekali lagi terima pukulanku ". begitu tangan laki-laki kasar itu hendak mengayunkan tangannya mau menonjok muka laki-?aki yang sedang ketakutan itu, tiba-tiba lengannya seperti terkena hantaman batu keras.
"Aduuhhhh...sialan, tanganku, sakit", teriak laki-laki kasar itu sambil memegangi tangan kanannya yang nampak mulai mengucur darah keluar dari lengannya, sambil mulutnya menyeringai menahan sakit. Rupanya tangannya terkena lemparan batu keras sebesar kepalan tangan
"Bedebah. Siapa kamu yang berani melempar batu ini", teriak lakilaki berwajah kasar itu kelihatan menahan sakit.
"Kamu jangan berbuat jahanam kepada orang lemah ini. kawan", tiba-tiba suara Warok Wulunggeni yang keluar dari semak-semalk dedaunan ini berjalan menghampiri geromboian yang sedang mempermainkan laki-laki ketakutan itu
"Hah, kamu rupanya, orang asing yang ikut makan di warung tadi. Kebetulan, aku juga mencari kamu sejak tadi, kamu menghilang, yah. Kini kamu muncui lagi...ha...ha..kebetulan... kebetulan laki-laki asing yang angkuh ini memang mau cari gara-gara", teriak laki-laki bermuka kasar itu mulai lupa pada sakit di tangannya.
"Kamu telah membegal uang dan harta bapak ini. Kemudian kamu telah menghajarnya. Sekarang kamu mempermainkan orang yang tidak bersalah ini. Kalian ini semua binatang apa", kata Warok Wulunggeni nampak geram.
"Bajingan. Berani sebut aku binatang. Kamu sendiri cecunguk macam apa. Orang asing beraninya ngomong besar di daerah kekuasaanku", bentak laki-laki berwajah kasar itu dengan mata melotot menahan amarahnya.
"Aku telah menyaksikan keberingasanmu sejak di warung tadi terhadap bapak ini. Sekarang lepaskan bapak ini untuk pergi. Dan kembalikan semua yang telah kamu rampas itu. Cepattt, atau aku akan bikin mampus kalian", perintah Wulunggeni berusaha menghardik gerombolan laki-laki kasar itu.
"Hae, orang asing. Beraninya kamu membentak dan memerintah aku. Apa kata kamu, menyerahkan kampluk ini pada laki-laki pengecut ini, ha. ha...apa kamu rupanya punya nyawa rangkap, to Leeee"
"Sekali lagi aku peringatkan kembalikan kampluk bapak ini. Dan kalian semua pergi"
"He, sudah keterlaluan omonganmu, yah. Samprong! Hajar laki-laki asing itu", perintah laki-laki kasar itu kepada si jangkung. Samprong yang dengan sigap langsung menyerang Wulunggeni yang sedari tadi telah siap menerima kemungkinan serangan ini. Maka serangan Samprong yang kalap itu dengan mudah dapat dielakkan. Serangan laki-laki jangkung yang penuh tenaga itu hanya menerjang angin kosong. Kemudian dengan sabetan kaki kanan, Wulunggeni berhasil meghujankan tendangan melingkar ke punggung si jangkung.
Mungkin karena si Jangkung Samprong itu terlalu mengerahkan kekuatan yang besar, sehingga membuat si jangkung itu terpelanting oleh tenaganya sendiri ke depan hingga masuk ke selokan parit-parit di pinggir jalan itu.
"Kamu hanya jangkung, tetapi tidak punya otak", ledek Warok Wulunggeni untuk memancing emosi si jangkung yang dengan susah berusaha bangun dari parit-parit itu. Mukanya terkena kubangan lumpur yang berbau busuk menyengat itu.
Melihat anak buahnya menjadi bulan-bulanan Warok Wulunggeni, nampak bahwa Laki-laki kasar yang menjadi pemimpin mereka itu segera meloncat dari kudanya dan terus menerjang dengan berbagai serangan kombinasi jurus-jurus patukan yang melingkar-lingkar. Semula Wulunggeni agak kewalahan melihat cara bertarung lakilaki kasar yang nampak penuh variasi gerak itu, akan tetapi tidak berapa lama sudah diketahui beberapa gerak tipuan yang dilontarkan itu. Dengan sigap Warok Wulunggeni juga memasang gerakan tipuan perangkap sepertinya memberikan ruang kosong untuk mendapatkan serangan laki-laki kasar itu, tanpa dinyana laki-laki itu masuk dalam permainan perangkap Warok Wulunggeni.
Maka, dengan sekali serangan tendangan bertubi, lambung kanan laki-laki kasar itu terkena benturan sendokan kaki Warok Wulunggeni yang besar kekar itu.
Bhukk, blukk.
Pukulan yang keras itu telah masuk dalam perut, sehingga laki-laki kasar itu kehilangan keseimbangan geraknya. Ia maju gontai. Dengan sigap, sekali lagi Warok Wulunggeni menerbangkan gerakan pengkalan yang menghujam tepat di tengkuk laki-laki kasar itu sehingga ia terjungkal. Ia gagal berusaha untuk menghindar dari serangan pengekalan Warok Wulungeni yang cepat itu, sehingga ia menubruk gundukan batu besar dihadapannya. Kepala laki-laki itu membentur batu padas itu. Ia terguling beberapa langkah ke samping. Para anak buah laki-laki berwajah kasar itu, demi melihat pemimpin mereka terkapar di gundukan batu itu, maka mereka segera bertindak untuk menolongnya. Secara serentak mereka menyerang berbarengan ke arah posisi Warok Wulunggeni yang dengan sigap melayani datangnya serangan keroyokan itu. Beberapa kali Warok Wulunggeni beringsut mundur menghindari serangan bertubi-tubi yang datang hampir berbarengan dari berbagai jurusan itu. Ia berhasil melakukan gerakan melingkar lingkar sambil melancarkan tendangan berputar. Beberapa tendangan berhasil disarangkan ke tubuh beberapa pengeroyok itu. Nampak, Wulunggeni berusaha merobohkan para anak buah laki-laki berwajah kasar itu satu per satu. Agaknya laki-laki berwajah kasar itu telah melihat gelagat yang kurang beres yang akan menimpa dirinya dan anak buahnya. Melihat ketangkasan Wulunggeni yang begitu menguasai ilmu kanuragan tinggi itu, dengan sertamerta ia segera memberikan aba-aba kepada anak buahnya agar segera melarikan diri. Beberapa anak buahnya yang berusaha melarikan diri itu sempat terkena sambaran tendangan maut Wulunggeni dan tergeletak di tanah berguling-guling itu. Namun, beberapa saat kemudian mereka berhasil menaiki kuda mereka dan memacu dengan kencang menghindari dari amukan Wulunggeni.
Agaknya, Wulunggeni tidak berusaha mengejarnya, membiarkan mereka lari pontang-panting. Sepeningal gerombolan pengacau itu, laki-laki yang ditolongnya itu dengan gemetaran menghampiri Warok Wulunggeni yang tubuhnya penuh keringat itu.
"Kangmas, ter....imma kasih, Kangmas, atas segala pertolongan, Kangmas", kata laki-laki yang hampir saja kena korban pemerasan gerombolan liar tadi.
"Tidak apa, Kangmas. Mari kita segera tinggalkan tempat ini sebelum pamong kelurahan mengetahui kejadian di sini agar urusan tidak berkepanjangan", kata Warok Wulunggeni.
Warok Wulunggeni segera membantu laki-laki setengah baya yang ditolongnya itu menaiki kudanya sambil menyerahkan kampluk barangnya yang dirampas gerombolan pemeras itu. Untung saja kampluk yang berisi uang segepok itu masih sempat diselamatkan oleh Warok Wulunggeni
"Perkenalkan, nama saya Wulunggeni. Asal saya dari Kadipaten Ponorogo", Warok Wulunggeni memperkenalkan jati dirinya sambil mengulurkan tangan kanannya kepada laki-laki yang mukanya pucat pasi itu.
"Saya Poerboyo. Dari Trenggalek, Kangmas"
"Apakah Kangmas Poerboyo tinggal di kampung ini atau masih tinggal di Trenggalek"
"Saya masih tinggal di Trenggalek. Saya datang kemari untuk berdagang. Isteriku berjualan di pasar. Ia masih di sana bersama para pembantuku. Saya tadi sengaja mengarahkan kudaku kemari untuk mendekati daerah penjagaan keamanan kelurahan, karena saya merasa diikuti oleh anggota gerombolan itu tadi. Tetapi sesampainya di gardu jaga ini, ternyata tidak ada yang bertugas keamanan di sini. Rupanya gardu jaga ini hanya digunakan pada malam hari saja. Maka ketika akan kembali ke pasar, keburu kepergok sama si jangkung itu. Saya langsung dihajarnya. Untung Kangmas Wulunggeni mengetahui kejadian ini"
"Tidak apa kok, Kangmas Poerboyo. Mari saya antar kembali ke pasar"
Sesampainya di pasar, mereka berdua rupanya tidak segera memasuki pasar untuk menemui isteri Poerboyo yag sedang berjualan di sana bersama para pembantunya, tetapi singgah kembali ke warung makan yang tadi siang mereka singgahi itu.
Poerboyo membersihkan mukanya, sambil meminta dibuatkan ramuan untuk menutup luka-lukanya dan di minumnya untuk menambah kekuatan.
Semua itu dilakukan oleh Wulunggeni yang mulai menguasai ilmu pengobatan dan meracik ramuan jamu tradisonal dari dedaunan di situ.
Para pelayan warung itu dengan sigap ikut membantu mengambilkan keperluan apa saja yang dibutuhkan Wulunggeni untuk mengobati luka orang tadi. Malamnya, atas dorongan Warok Wulunggeni, Poerboyo dan keluarganya meneruskan perjalanan kembali ke Trenggalek dengan menggunakan dokar dan kuda yang tadi siang dipakai untuk digunakan oleh salah seorang pembantunya sebagai petunjuk jalan.
Malam itu juga Warpk Wulunggeni bermalam di rumah keluarga Poerboyo di Trenggalek.
Nampaknya tuan rumah, Raden Mas Poerboyo sebagai pengusaha beken di Trenggalek yang hidup dari usaha berdagang dan bertani, tidak ingin melepaskan kepergian Warok Wulunggeni buru-buru.
"Kakang Wulung, ada baiknya Kakang tinggal beberapa lama di rumah saya ini. Saya ingin memberikan penghormatan kepada Kakang Wulunggeni"
Akhirnya Warok Wulunggeni tidak bisa menolak permintaan kenalan barunya, Raden Mas Poerboyo itu untuk tinggal beberapa lama di tengah keluarga Raden Mas Poerboyo di kota Trenggelek yang asri permai.
Tiap hari ia dijamu, dan diperkenalkan kepada seluruh anggota keluarganya yang nampak bersikap ramah ramah menyambut kehadiran Warok Wulunggeni di tengah-tengah mereka.
****
BELAJAR BERTANI DAN BERDAGANG.
RADEN MAS POERBOYO, seorang pedagang keliling yang hampir kena celaka ketika berpapasan dengan gerombolan pemeras di perkampungan Lembah Dangkal itu, untung nasibnya masih mujur dapat ditolong oleh Warok Wulunggeni.
Ia sebenarnya seorang kaya yang rajin bekerja, dan banyak kenalan di kota kelahirannya di kota Kadipaten Trenggalek .Sudah beberapa hari ini Warok Wulunggeni menjadi tamu istimewa keluarga Raden Mas Poerboyo.
Nampaknya tuan rumah, Raden Poerboyo sebagai pengusaha beken di Trenggalek yang hidup dari usaha berdagang dan bertani, tidak ingin buru-buru melepaskan kepergian tamu yang dihormatinya itu, Warok Wulunggeni yang telah memberikan kebaikan kepadanya itu.
"Kakang Wulunggeni, ada baiknya Kakang tinggal lagi beberapa lama di rumah saya ini. Saya berminat untuk mempelajari ilmu bela-diri dari Kakang Wulung", kata Raden Mas Poerboyo pada suatu hari ketika dipamiti Warok Wulunggeni yang hendak meneruskan perjalanannya ke Blitar.
"Terima kasih, Kangmas Poerboyo", kata Warok Wulunggeni.
"Lain kali saja, saya akan mampir ke sini lagi sepulang saya dari Blitar. Sebab mempelajari ilmu bela diri itu tidak boleh terburuburu. Hanya dalam situasi bathin yang benar-benar siap untuk menerima tantangan. Siap menerima ilmu baru yang berat. Dan tidak mudah bersikap menyepelekan. Oleh karena itu Kangmas Poerboyo, kondisi saya sedang terburu-buru ingin segera sampai ke Blitar. Jadi barangkali kurang tepat untuk melakukan ngudi daya dalam keadaan yang dikejar-kejar waktu seperti saya sekarang ini. Jadi. Mohon maaf lo, Kangmas Poerboyo"
"Ohh, demikian, tidak apa-apa, Kangmas Wulunggeni. Kalau begitu maafkan saya, yang telah menahan Kangmas Wulung sampai begitu lama hampir sabi bulan di sini"
"Malahan, saya yang seharusnya berterima kasih kepada Kangmas Poerboyo dan keluarga di sini. Saya merasa berhutang budi kepada keluarga Kangmas. Terutama, saya telah mendapatkan pengetahuan cara bertani yang baik. Selama sekian hari di sini, Kangmas Poerboyo telah memberikan pembekalan pengetahuan bertani yang sangat berguna bagi saya untuk dipraktekkan di daerah Ponorogo, sepulang dari Blitar nanti".
"Ach. itu tidak ada artinya apa-apa kok, Kangmas. Itu cuma ceritera pengalaman saya bertani. Bukan pelajaran cara bertani yang baik kok, Kangmas"
"Yah. Saya bermaksud pada suatu hari nanti, pengetahuan bertani dari Kangmas Poerboyo itnu akan saya coba kembangkan untuk dicoba di daerah Ponorogo. Siapa tahu suatu hari, saya bisa mengikuti jejak kesuksesan Kangmas Poerboyo dalam bertani dan berdagang di Trenggalek ini."
Warok Ponorogo 2 Bara Api Di Dukuh Dawuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ach. Kangmas Wulung bisa saja. Saya ini yang justeru banyak berhutang budi terhadap Kakang yang telah menyelamatkan diri saya dari para perampok itu". Serambi ngobrol ngalor-ngidul, kedua laki-laki yang telah sebulan berkenalan itu nampak makin akrab. Tidak berapa lama, dari balik pintu dalam rumah muncul isteri Raden Mas Poerbayo yang mengenakan kebaya dengan baju hijau lumut Membawakan sebaki makanan dan minuman hangat
"Oh, Mbakyu, kok repot-repot terus sejak saya di sini", kata Warok Wulunggeni basa-basi.
"Tidak apa kok Kangmas Wulung. Kami sekeluarga merasa amat berbahagia sejak kedatangan Kangmas di rumah kami. Kangmas Poerboyo jadi betah tinggal di rumah, ada teman ngobrol dan jalan-jalan ke sawah. Kalau tidak ada Kangmas Wulung, biasanya Kangmas Poerboyo hanya suruhan para pembantu untuk menengok sawah", kata perempuan yang berparas cantik, isteri Raden Mas Poerboyo yang ramah itu membuat hati lakilaki seperti Warok Wulunggeni ini terbawa kesengsem setiap kali mendapatkan senyumannya yang merekah itu.
"Selama kehadiran saya di sini tentu makin menambah repot Mbakyu saja yang juga menambah beban masaknya jadi bertambah"
"Oh, tidak apa-apa kok, Kangmas Wulung. Bagi saya malahan senang ada kesibukan", kata isteri Raden Mas Poerboyo yang ikut menemani perbincangan itu, dengan mimik muka yang cerah itu, membuat Warok Wulunggeni pun bertambah kerasan berbincang, lupa tidak buruburu berpamitan berangkat pergi.
Keluarga Raden Mas Poerboyo yang kaya ini, selain memiliki sawah ladang yang luas, juga beternak kambing domba, berdagang pakaian, dan mempunyai pabrik krupuk rambak yang amat populer secara turun-temurun di daerah Trenggalek ini.
"Kehebatan usaha Kangmas Poerboyo ini ia orang yang suka merintis pekerjaan baru yang sebelumnya belum dijalankan orang. Kemudian setelah ditiru orang ia berusaha menciptakan usaha baru lagi. Sungguh luar biasa. Tetapi sayang, mengapa ia tidak mengupah para pengawal yang bisa menjaga keselamatan dan hartanya selama bepergian maupun tinggal di rumah besar ini", pikir Warok Wulunggeni dalam hati, tetapi ia tidak berani mengutarakan pendapatnya ini langsung kepada Raden Mas Poerboyo, takut menyinggung perasaannya. Rumah Raden Mas Poerboyo yang berhalaman luas, di situ banyak dipelihara perkutut yang tiap kali terdengar suara manggungnya sangat indah menarik. Ajeng Sarimbi, nama isteri Raden Mas Purboyo tiap pagi rajin memberikan makan perkutut-perkututnya itu.
Demikian juga hampir tiap sore kalau ia tidak sedang berjualan di pasar ia pun rajin menyiram air di tiap tanaman bunga yang nampak tertata asri membuat suasana rumah keluarga pengusaha di Trenggalek itu terasa nyaman tenteram.
Namun bagi Warok Wulunggeni kenyamanan rumah tinggal kenalan barunya itu tidak membuatnya ia harus berlama-lama tinggal di keluarga yang selalu menjamunya dengan baik itu. Masih ada rencana besar yang harus diselesaikan yaitu menuntut ilmu kanuragan yang lebih tinggi. Pada malam harinya ia menyampaikan rencana pemberangkatannya besuk pagi dan sekaligus mohon berpamitan dengan Raden Mas Poerboyo dan isterinya Ajeng Sarimbi yang selalu setia mendampingi suaminya itu. Mereka nampak haru akan melepaskan perpisahan dengan Warok Wulunggeni yang baik hati ini. Pagi-pagi buta ketika ayam jantan berkokok, Warok Wulunggeni nampak telah meninggalkan kota Trenggalek menuju timur dengan tujuan tetap ke Blitar selatan untuk menuntut ilmu. Sebelum berangkat Warok Wulunggeni mendapatkan bawaan perbekalan ransum serta perlengkapan lainnya sekampluk yang dipersiapkan oleh Ajeng Sarimbi, perempuan berparas cantik jelita, isteri Raden Mas Poerboyo untuk bekal di perjalanan selanjutnya.
*****
PERGOLAKAN DI UFUK TIMUR.
DALAM meneruskan perjalanan selanjutnya, Warok Wulunggeni beberapa kali dicegat olah para penyamun yang menghadang di perjalanan.
"Hai orang asing, dari mana kamu dan mau kemana", tiba-tiba terdengar suara keras sepertinya suara laki laki perkasa yang menggema di tengah hutan lebat belantara itu.
"Namaku Wulunggeni. Asalku dari daerah Ponorogo. Mau pergi ke Blitar", jawab Warok Wulunggeni melayani pertanyaan seorang lakilaki tinggi tegap yang menghadang tepat di tengah jalan.
"Kamu bawa apa", tanya laki-laki gagah itu.
"Aku hanya membawa bahan makanan untuk bekal di jalan", jawab Warok Wulunggeni nampak tenang.
"Serahkan semua yang kamu bawa itu kepadaku. Lalu kamu boleh lewat daerah kekuasaanku ini", perintah laki laki tegap itu.
"Aku akan kelaparan di jalan kalau menyerahkan bahan bawaanku itu kepada kamu", jawab Warok Wulunggeni berusaha menyangkal.
"Kamu pilih mati kelaparan, atau mati di tanganku", gertak lakilaki tinggi besar itu makin berangasan.
"Kalau boleh aku peringatkan, jangan coba-coba menghalangi perjalananku. Jangan mentang-mentang kamu merasa menguasai daerah sini kamu bisa main peras seenaknya perut sendiri pada tiap orang yang mau lewat sini. Aku tidak bisa kamu peras. Tahu", bentak Warok Wu?unggeni mulai memperlihatkan matanya yang mencorong tanda kesabaran orang itu mulai hilang.
"Hae, dasar anak bunglon, diajak ngomong baik-baik kok malah mau cari perkara. Sudah merasa kebal tombak kamu yah", laki-laki tinggi besar itu nampak memperlihatkan kemarahannya menghadapi sikap Warok Wulunggeni yang nampak tidak sedikit pun merasa tergetar hatinya menghadapinya. Tiba-tiba dengan gesit laki-laki itu membunyikan siulan nyaring, dan seketika itu pula datang bergerombol sekitar selusin anak buahnya yang siap menghunus golok tajam nampak bersinar berkilau .Warok Wulunggeni agak terperanjat melihat datangnya gerombolan yang begitu banyak, nampak seperti sosok laki-laki yang tangguh-tangguh dan berpengalaman bertanding.
"Bagaimana anak bunglon. Apa kamu masih mau menunjukkan kesombonganmu dihadapanku", ujar laki-laki tinggi besar itu sambil tertawa lebar setelah selusin anak buahnya mengitari posisi Warok Wulunggeni yang nampak agak kurang siap menghadapi kedatangan begal begal yang nampak bengis itu.
"Hai brewok", panggil Warok Wulunggeni kepada lakilaki tinggi besar itu.
"Lalu apa maumu dengan mendatangkan bajingan-bajingan cecunguk mengepung aku ini"
"Ha.. .ha.. .h.. .kau ternyata laki-laki jantan juga. Masih tegar hati kamu menghadapi jago-jagoku. Sudah aku katakan, tinggalkan itu barang bawaanmu, lalu kamu boleh lewat dengan aman. Jangan cari gara-gara. Sayangi nyawa kamu itu. Percuma melayang di ujung golokku ini. Ha...ha... ha", ejek laki-laki yang rupanya menjadi pimpinan para begal ini.
"Diam. Jangan banyak bacot. Kalau mau mengeroyok aku, keroyoklah. Hai para pengecut. Beraninya main keroyok. Tetapi kalau kalian laki-laki jantan. Maju satu per satu. Siapa berani maju dulu, bayooo majulah", tantang Warok Wulunggeni menunjukkan sikap ksatrianya.
"Wualah.. wualah, ini laki-laki benar-benar mau cari mati", teriak laki-laki pemimpin begal itu.
"Minggir kalian semua, aku yang akan membereskan orang asing yang sok jagoan ini. Minggirr", sambil teriak, laki-laki tegap yang berewokan itu melompat menerjang posisi Warok Wulunggeni yang nampak sedari tadi sudah siap memasang kuda-kuda untuk mmenghadapi segala sesuatunya.
"Cranggg", terdengar suara golok beradu.
Dengan sigap pula Warok Wulunggeni memutar-mutarkan 'motek' senjata golok khas Ponorogo yang siap menerima serangan dari pemimpin Begal yang nampak menyerang dari segala arah dengan penuh emosi itu
"Bajingan. Kamu cekatan juga anak bunglon", teriak laki-laki pimpinan Begal itu ketika serangannya yang bertubi-tubi itu dapat dipatahkan oleh gerakan-gerakan lincah Warok Wulunggeni yang sudah banyak makan garamnya pertarungan dahsyat.
"Hayo habiskan semua ilmumu, Brewok. Jangan sebut laki-laki kalau cara bertandingmu seperti keong manak begini. Lembek tidak ada kekuatan. Gerakmu lamban koyok kodok bunting. Kamu tidak punya daya kekuatan, Brewok", ejek Warok Wulunggeni kepada musuhnya yang dipanggil brewok itu agar terus emosi. Dengan demikian Warok Wulunggeni lebih mudah mengendalikan setiap serangan si brewok yang begitu bernafsu itu.
"Bajingan kamu, mau mempermainkan aku bunglon" teriak laki-laki brewok pemimpin Begal itu ketika ia mulai terdesak mundur oleh serangan balasan yang dilancarkan Warok Wulunggeni yang kelihatan penuh semangat bertempur itu
"Habiskan tenaga kamu, Brewok. Tampang kamu saja yang serem. Permainanmu tidak ada apa-apanya. Ini cara bertanding anak-anak yang baru sunat. Cukur itu brewok jelek kamu itu", ledek Warok Wulunggeni ketika ia berhasil memojokkan terus musuhnya itu mundur sampai beberapa langkah jauh ke belakang.
"Leeee, siaplah kalian semua. Serbu ini si bajingan bunglon", teriak laki-laki pimpinan Begal itu memerintahkan kepada para anak buahnya, ketika merasa tidak mampu menandingi jurus-jurus serang yang dilontarkan oleh Warok Wulunggeni yang nampak dengan enteng melukai tubuh laki-laki brewok yang darahnya mulai mengucur di berbagai tubuhnya yang terkena bacokkan motek Warok Wulunggeni yang dilumuri warang beracun. Seketika mendengar perintah menyerbu, selusin anak buah Begal Brewok itu menyerang serentak posisi Warok Wulunggeni.
"Wailadalah, memang kalian hanya bisa main keroyokan, yah", teriak Warok Wulunggeni sambil melepaskan jurus-jurus mautnya sampai beberapa gerakan beruntun. Ia kemudian menggeser langkahnya mundur kembali untuk menata irama jurus-jurus bertahannya. Dalam menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilancarkan serentak dari berbagai jurusan oleh para begal-begal yang mengeroyoknya itu, Wulunggeni mengembangkan jurus teratai berbunga. Dalam gerakan mundur sambil melepaskan serangan itu ternyata Brewok sempat terkena sabetan motek Warok Wulunggeni.
Seketika itu Brewok terkapar hampir mati terkena racun warangan yang dioleskan dalam senjata tajam khas para warok itu. Melihat pimpinannya tergeletak di tanah dengan darah merah mengucur di tubuhnya itu, para anak buah Brewok itu tidak berani mendekati Warok Wulunggeni dan malahan berusaha melaikan diri. Tak seorang pun berani menolong pemimpinnya yang seharusnya segera memerlukan perawatan agar tidak terserang peredaran racun yang mematikan ke seluruh tubuhnya. Dalam beberapa gerakan surut para begal anak buah Brewok itu telah berhamburan menghilang mencari selamat masuk ke sela-sela pepohonan hutan yang lebat itu. Melihat keadaan telah aman, para begal itu lalu menghilang. Warok Wulunggeni kemudian melakukan pertolongan terhadap Brewok yang tidak sadarkan diri itu. Melalui bahan ramuan pengobatan yang pernah dipelajari dari Dukun yang merawatnya ketika ia terbaring setelah menghadapi Warok Surodilogo tempo hari nampaknya telah membawa berkah juga, kini Warok Wulunggeni pun makin mahir menguasai ilmu pengobatan luka bacok .Berkat pertolongan pengobatan yang dilakukan oleh Warok Wulunggeni akhirnya jiwa Brewok dapat tertolong. Merasa jiwanya tertolong, setelah siuman dan tahu bahwa ia telah dikalahkan, dan mendapatkan perawatan yang baik dari Warok Wulunggeni, Brewok merasa berhutang budi terhadap Warok Wulunggeni itu.
Ia dapat disembuhkan, dan kemudian dalam perkembangannya, malahan kini ia menjadi berkawan akrab dengan Warok Wulunggeni
"Siapa namamu Brewok", tanya Warok Wulunggeni kepada Brewok yang masih tergeletak di atas dedaunan kering yang diatur oleh Warok Wulunggeni untuk proses penyembuhan itu
"Namaku Tanggorwereng, Kangmas", jawab Brewok inu lirih kelihatan masih lemas.
"Dari mana asalmu", tanya Warok Wulunggeni kembali
"Aku berasal dari Blitar, tetapi sudah lama aku tinggalkan kota itu. Orang tuaku sudah meninggal ketika aku masih bocah. Menurut ceriteranya, orang tuaku dulu bekerja menjadi punggawa di Kerajaan Lodaya. Kemudian sepeninggal orang tuaku, aku mengembara dan dipelihara orang di pinggir hutan ini, sampai sekarang aku anggap seperti orang tuaku sendiri. Lantaran kerjaan orang yang mengasuhku itu merampok, aku pun juga jadi rampok. Tetapi aku lebih suka jadi begal yang menghadang orang lewat di jalan daripada harus merampok memasuki numah-rumah penduduk, risikonya lebih berat .Cara membegal ini lebih mudah memperhitungkan lawan. Tetapi naas baru kali ini aku mendapatkan lawan yang tangguh seperti Kakangmas Wulunggeni. Aku minta maaf Kakang. Dan terima kasih, Kakang telah menyelematkan jiwaku", kata Brewok yang ternyata bernama Tanggorwereng itu.
Warok Wulunggeni hanya tersenyum gembira mendengar pengakuan Tanggorwereng yang telah mengaku kalah dan bahkan merasa berhutang budi kepadanya itu
"Aku juga perlu bantuanmu, Wereng", kata Warok Wulunggeni.
"Bantuan apa, Kakangmas"
"Apa kau pernah mendengar mengenal perguruan Lodaya di Blitar selatan yang terkenal dengan ilmu macan jadian itu"
"Eyangku sendiri yang memiliki perguruan Lodaya itu"
"Jadi engkau juga memiliki ilmu macan putih itu"
"Aku pernah diajari Eyangku ketika aku masih bocah, tetapi baru dasar-dasarnya. Dan sejak sepeninggal ayahku, aku tidak pernah ke sana lagi. Eyangku orang keras, aku tidak menyukai dia. Aku kabur dari perguruan Eyangku itu ketika aku harus belajar ilmu-ilmu putih itu bersama murid-murid Eyangku. Lalu sampai sekarang aku jadi begal begini, mana mungkin Eyangku akan menerima aku kembali. Ia orang suci. Ilmunya, ilmu suci", tandas Tanggorwereng nampak tak acuh.
"Apa engkau bisa antar aku ke Eyangmu. Aku ingin mempelajari ilmu macan putih itu"
"Kalau menghadap Eyangku, aku tidak mau. Tetapi aku hanya bisa menunjukkan jalan ke perguruan Eyangku. Aku tidak perlu masuk menemui Eyangku. Kakangmas sendiri yang masuk. Aku hanya dapat antar sampai depan pintu saja"
"Tidak apa, Wereng. Tunggu sampai engkau sembuh benar, baru kita berangkat"
"Baik, Kang Mas,"
Jawab Tanggorwereng
"Sekarang beristirahatlah dengan tenang sambil memulihkan kekuatan fisikmu"
"Terima kasih, Kangmas"
Tidak berapa lama kedua laki-laki yang sedari tadi terlihat berbincang akrab itu, kemudian mereka mencari tempat tidur masing-masing di atas kayu belahan besar berbentuk gubuk yang dibangun darurat oleh warok Wulunggeni. Hari bertambah malam dan hutan itu menjadi sunyi senyap hanya terdengar suara melengking serigala, babi hutan, kelelawar dan burung hantu yang menambah suasana seram di dalam hutan itu.
*****
BERSAHABAT.
HAMPIR satu minggu ini, Tanggorwereng dalam perawatan Warok Wulunggeni di tengah hutan itu.
Kondisi fisiknya nampak telah menunjukkan perubahan yang berarti.
Sudah ada tanda-tanda kemajuan terhadap kesehatannya.
Tanggorwereng nampak mulai dapat berjalanjalan.
Rupanya selama dalam perawatan Warok Wulunggeni itu, para anak buah Tanggorwereng itu pun terus-menerus mengintip sambil mengikuti segala kegiatan Warok Wulunggeni dari balik semak-semak dedaunan yang rindang itu .Mereka rupanya sangat terkesan oleh kemahiran Warok Wulunggeni dalam melakukan pengobatan terhadap pemimpinnya itu.
Nampak begitu sabar memperlakukan bekas lawannya itu, seperti memperlakukan muridnya sendiri. Kelihatan bersahabat. Kesan itu yang kemudian menimbulkan simpati kepada para anak buah Tanggorwereng.
Kemudian tidak lama, satu per Satu mereka muncul memberikan penghormatan kepada Warok Wulunggeni dengan sikap yang sangat sopan
"Kangmas Wulunggeni, aku dan konco-konco menghaturkan salam penghormatan kepada Kakang", kata seorang laki-laki yang bertubuh gempal dengan otot-ototnya yang menonjol di lengannya yang besar itu .Teman temannya memanggilnya dengan nama Brendel Gepuk
"Tidak apa, Brendel.
Aku hanya menjalankan tugas sebagai manusia biasa yang harus saling tolong-menolong sesama.
Apalagi pemimpinmu ini, Tanggorwereng dalam keadaan pingsan waktu itu. Oleh karena itu, aku mempunyai kewajiban untuk menolong dan merawatnya"
Kata Warok Wulunggeni ketika dihadap oleh Brendel Gepuk dan konco-koconya itu yang dengan takjim bersila duduk bersimpuh dihadapan Warok Wulunggeni yang kelihatan sedang memberikan wejangan macam-macam dihadapan mereka. Mereka akhirnya menghormati Warok Wulunggeni dan bersumpah setia untuk membela kepentingan Warok Wulunggeni. Akan tetapi Warok Wulunggeni justeru menyuruhnya untuk meneruskan pekerjaan mereka sebagai begal itu. Malahan menganjurkan untuk memperluas daerah operasinya agar menjalar sampai ke daerah Kadipaten Ponorogo.
Terus-menerus membuat kekacawan di masyarakat agar membuat kewalahan penguasa Kadipaten yang diharapkan akan meruntuhkan kewibawaan Penguasa Kadipaten Ponorogo itu. Penguasa Kadipaten Ponorogo dianggapnya tidak bisa bersikap adil terhadap dirinya ketika dalam menyelesaikan sengketa dia dengan Warok Surodilogo atas usaha jasa pengamanan kepada para pedagang di daerah Dawuhan tempo hari.
Warok Wulunggeni masih belum bisa menerima cara penyelesaian yang dilakukan Kanjeng Adipati yang mengharuskan ia adu tanding dengan Warok Surodilogo dan membuat malu karena kekalahannya itu.
Seharusnya Kanjeng Adipati bisa memutuskan mengenai siapa yang terlebih dahulu merintis usaha itu, ia yang berhak atas kelanjutan usaha itu.
Ini cara yang adil menurut Warok Wulunggeni. Kini usaha yang dirintis atas gagasannya itu dahulu menjadi beralih pemilik yang dikuasai oleh Warok Surodilogo.
Hal ini yang membuat kebencian Warok Wulunggeni kepada penguasa Kadipaten Ponorogo. Ia sebenarnya cukup jantan menerima kekalahan melawan Warok Surodilogo, karena ternyata ia lebih unggul, tetapi dia tidak bisa menerima terhadap keputusan Adipati untuk mengadakan adu tanding dalam perkara berebut rejeki ini.
Oleh karena itu, dalam hatinya ia bersumpah akan membuat kekacawan dimana-mana, ia merencanakan untuk menghimpun para jagoan, para begal, atau para perusuh untuk melakukan keonaran dimana-mana sehingga membuat repot penguasa Kadipaten Ponorogo dan membuat rakyat tidak percaya lagi terhadap Kanjeng Adipati yang sementara di antara para warok masih beredar anggapan bahwa Adipati yang berkuasa sekarang ini seharusnya tidak berhak berkuasa atas daerah Ponorogo, karena ia bukan turun raja Wengker. Apalagi ia bukan orang asli Ponorogo dan tidak memegang pusaka kerajaan Wengker sebagai wasiat utama tetenger kerajaan tertua yang dibanggakan oleh masyarakat Ponorogo di masa lalu itu
"Jadi kami ini harus bagaimana Kangmas,"
Tanya Brendel Gepuk memecahkan lamunan Warok Wulunggeni.
"Yah. Tunggu Brendel sampai kita dapatkan hari yang baik. Semantara ini teruskan untuk berlatih. Sampai nanti pada saatnya akan tiba, kita akan menjadi orang yang mulia."
"Kami siap membantu, Kangmas."
"Tunggu sepulangku dari Blitar. Kita mempunyai rencana besar,"
Kata warok Wulunggeni mantap. Brendel Gepuk dan konco-konconya itu hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti apa yang dimaksudkan oleh warok Wulunggeni.
BERSAMBUNG
******
Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Girl Talk 02 Berani Tampil Beda Joey Si Frustasi Yang Beruntung Karya
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama