Ceritasilat Novel Online

Perawan Bayangan Rembulan 3

Raja Gendeng 21 Perawan Bayangan Rembulan Bagian 3


Seruan yang keras itu membuat suara Nini Buyut Amukan memantul keseluruh penjuru tebing menimbulkan gema susul memyusul.

Si nenek yang dibuat pengang oleh suaranya sendiri segera tutup kedua telinganya.

"Sahabat tua, aku tidak tuli. Bicara di lembah ini tidak perlu berkeras-keras.
Aku tahu pada akhirnya kau akan datang padaku. Semua yang kukatakan dulu kini terbukti sudah.
Gadis yang lemah itu kini tidak hanya menjadi sakti. Tapi dia juga telah berubah menjadi mahluk ganas yang sudah tidak layak disebut manusia.
Ha ha ha!" kata kakek di atas kobaran api yang memang Resi Cadas Angin adanya.

Sekali kakek ini gerakan kedua kaki yang bertumpangan di atas lutut.

Seketika itu juga tubuhnya melesat lalu berdiri tegak dua langkah di depan Nini Buyut Amukan.

Si nenek terkejut sekaligus melangkah mundur ketika merasakan satu sengatan hawa panas menebar dari tubuh kakek berwajah bening kemerahan itu.

"Ada apa Nini Buyut Amukan, sobatku. Apakah tubuhku yang baru ku garang ini berbau gosong?"

Tanya Resi Cadas Angin disertai senyum.

"Agaknya kau telah menyempurnakan ilmumu. Aku menjauh bukan karena tubuhmu menebar bau daging hangus. Aku hanya tidak tahan dengan panas yang menebar dari sekujur tubuhmu."

Jawab Nini Buyut Amukan.

"Oh begitu,maafkan aku."

Ucap Resi Cadas Angin. Sejenak bibir yang tertutup kumis putih laksana kapas terkatub, si kakek lalu melakukan beberapa usapan kesekujur tubuhnya.

"Wuus!"

Seiring dengan usapan yang dilakukannya. Hawa panas menyengat mendadak lenyap berganti dengan hawa sejuk.

"Bagaimana? Apakah sudah sejuk?"

Tanya Resi tersenyum ramah.

Nini Buyut Amukan mengangguk, namun wajahnya tiba-tiba berubah muram.

Melihat perubahan di wajah si nenek, Resi segera maklum kehadiran sahabat lamanya itu tentu dengan membawa sebuah beban yang cukup berat.

Tak ingin berlama-lama.

Resi Cadas Angin segera berkata.

"Aku mempunyai satu tempat yang bagus. Tempat itu sangat cocok dipergunakan untuk membicarakan urusan penting. Lekas ikuti aku."

Si kakek lalu melesat menuju ke arah utara lembah. Tidak jauh dibelakangnya Nini Buyut amukan mengikuti.

Dalam perjalanan ke arah tempat yang dituju. Dalam hati Nini Buyut Amukan berucap,

"Sobatku yang satu ini. Bukan cuma ilmu kesaktiannya saja yang bertambah hebat.
Sekarang ilmu kecepatan gerak dan ilmu meringankan tubuhnya semakin mantap. Tidak sedikit para sahabatku yang punya ilmu hebat. Namun satu demi satu mereka dihabisi oleh gadis iblis itu." geram Nini Buyut Amukan.

Tempat bagus yang dimaksudkan oleh Resi Cadas Angin terletak sebuah ceruk dalam terlindungi oleh kerimbunan pohon dan dedaunan lebat. Untuk mencapai tempat itu si kakek dan Nini Buyut Amukan harus melewati sebuah aliran sungai bening yang cukup dalam. Beberapa bebatuan yang menonjol membelintang ditengah aliran sungai berfungsi sebagai jembatan untuk menyeberang. Resi Cadas Angin memberi tahu sungai itu dihuni oleh beberapa buaya besar. Dan salah satu buaya penghuni sungai itu adalah seekor buaya siluman berwarna putih yang konon penjelmaan dari seorang bidadari cantik yang mendapat kutukan oleh dewa di kayangan.

Pada waktu tertentu buaya putih penguasa dari seluruh buaya yang tinggal di sepanjang aluran sungai menampakan diri. Resi Cadas Angin sendiri tidak terlalu akrab namun juga tidak bermusuhan dengan siluman buaya itu.

Walau mereka tinggal tidak berjauhan, keduanya lebih memilih lebih menyibukan diri dengan urusan masing-masing, Ketika Nini Buyut Amukan sampai dalam ruangan besar dibalik legukan tebing di atas sungai.

Si nenek sempat menyinggung keberadaan buaya siluman itu. Tapi Resi yang telah duduk di depan si nenek nampaknya kurang berkenan membicarakan sang siluman.

"Aku tidak mengurusi apa yang bukan menjadi urusanku. Siluman Buaya Putih itu setahuku telah menghilang sepekan yang lalu. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin saja dia melakukan hajat meluluskan kaulnya yaitu mencari puteri Manjangan Putih."

Terang Resi dengan suara lirih terkesan berhati-hati.

Nini Buyut Amukan maklum.

Sahabatnya berlaku waspada bahkan terkesan segan membicarakan siluman buaya itu karena pembicaraannya akan didengar buaya buaya lain.

Karena semua buaya di sungai tunduk pada siluman buaya putih.

Bisa jadi segala yang didengar oleh kawanan buaya disampaikan kepada gusti ratunya.

"Untuk apa siluman itu mencari puteri Manjangan Putih?"

Tanya Nini Buyut Amukan.

"Aku tidak tahu. Mungkin saja dia ingin bertanya tentang keberadaan sebuah tumbuhan langka bernama Anggrek Mayat."

Terang Resi Cadas Angin.

"Anggrek Mayat? Seumur hidup baru kali ini aku mendengar ada bunga bernama Anggrek Mayat. Yang ku tahu hanya anggrek bulan dan yang lainnya."

"Anggrek Mayat bukan tumbuhan liar biasa.Bunga itu tumbuh didaerah tertentu.Aku sendiri cuma tahu sedikit tentang Anggrek Mayat. Kabarnya bunga itu dapat dipergunakan untuk mengobati penyakit ganas.Anggrek Mayat juga bisa dipergunakan untuk melenyapkan segala bentuk kesialan diri dan masih banyak lagi kegunaannya."

"Apakah mungkin mahluk siluman itu menduga Puteri Manjangan Putih mengetahui tempat bertumbuhnya bunga Anggrek Mayat?"

Tanya si nenek.

Demikian tertariknya Nini membicarakan tentang sang siluman serta Anggrek Mayat yang disebutkan Resi Cadas Angin.

Sampai-sampai dia lupa dengan urusannya sendiri.

"Nini, aku heran.Sebenarnya kau kesini untuk membicarakan urusan orang lain ataukah kau sendiri punya persoalan yang membutuhkan bantuanku?"

Kata Resi mengingatkan.

Nini Buyut Amukan tersentak kaget. Seakan baru ingat dengan diri sendiri serta masalah besar yang dibawanya. Nenek berkulit putih berwajah licin ini segera membuka mulut.

"Resi Cadas Angin maafkan aku karena sudah bicara melantur tidak karuan. Aku yakin kau sudah bisa menduga maksud kedatanganku kesini."

Sambil berkata demikian si nenek menatap wajah kakek di depannya.

Resi menghela nafas. Sepasang mata yang tajam menatap lurus ke arah kegelapan di sekitarnya. sang Resi sambil menghembuskan nafas dalam-dalam.

"Apapun yang terjadi diluar sana, sedikit banyak aku telah mendengar juga mengetahui. Aku juga telah menyirap kabar saat ini sedang terjadi kekacauan besar di rimba persilatan. Kekacauan itu bermula dari terbunuhnya beberapa tokoh penting di tanah Dwipa di kawasan timur dan tengah. Hampir semua tokoh yang terbunuh itu adalah mereka yang beraliran putih. Sejauh ini tak ada yang bisa mengetahui siapa yang membunuh mereka. Yang pasti pembunuhan selalu terjadi bersamaan waktunya dengan munculnya bulan di langit. Kejadiannya dimulai dari satu hari bulan dan berakhir setelah empat belas hari bulan. Orang-orang yang terbunuh itu keadaannya sungguh mengenaskan. Setiap korban bagian tubuhnya selalu tercabik.Mata melotot seperti melihat jembalang atau hantu. Sebagai orang yang berada di luar lembah apakah kau sudah mengetahui atau sedikitnya menemukan petunjuk siapa pembunuh keji itu?"

Tanya Resi Cadas Angin sambil tatap wajah nenek di depannya dalam-dalam.

Ditanya seperti itu membuat si nenek terdiam.

Dia sadar tidak cukup banyak petunjuk yang didapatnya.

Dia malah lebih kagum pada sang Resi yang ternyata cukup banyak mengetahui apa yang terjadi.

Sambil menghelas nafas pendek Nini Buyut Amukan menjawab.

"Pembunuh itu datang bersamaan dengan munculnya bulan hingga berakhirnya bulan purnama. Walau kuakui tidak banyak pengetahuanku tentang hal itu. Tapi aku yakin orang yang telah menghabisi tokoh-tokoh aliran putih masih manusia juga. Beberapa sahabat yang berhasil kuhubungi mengatakan... Tunggu!"

Sergah Resi Cadas Angin,

"Aku ingin memastikan apakah sahabat yang kau temui itu pernah berhadapan langsung dengan pembunuhnya?"

Tanya Resi.

Nini Buyut Amukan anggukan kepala.

"Benar. Mereka adalah orang yang terpaksa tinggal dipengasingan untuk menghindari kejaran mahluk-mahluk itu.."

"Mahluk-mahluk? Apakah maksudmu?"

Tanya Resi tidak mengerti.

"Kukatakan mahluk karena menurut mereka. Pembunuh itu selalu muncul dimalam hari, Kedatangannya selalu didahului oleh kehadiran tiga mahluk besar berbulu hitam, berujud tiga ekor anjing."

"Tiga anjing pembunuh!"

Desis si kakek kaget

"Benar. Melihatmu terkejut seperti ini apakah berarti sebenarnya kau telah mengetahui tentang tiga mahluk yang kusebutkan?"

"Aku tidak pernah bertemu dengan tiga mahluk itu. Aku melihat mahluk itu dalam semadiku.Merekalah yang mencabik dan membunuh korban-korbannya." jelas si kakek

"Apakah kau melihat juga hanya tiga mahluk berujud anjing itu saja yang melakukan pembantaian? Menurut beberapa sahabat setelah tiga anjing pembunuh muncul.Biasanya datang seseorang bermata putih, berwajah cantik luar biasa namun rambutnya juga putih."

"Ya, ya. Kukira dia seorang gadis, seorang perawan yang menjadi pimpinan kawanan anjing pembunuh itu."

Jawab Resi Cadas Angin.

"Aku tidak tahu. Aku melihat gadis itu dalam semediku. Aku melihat dia berdiri diantara kegelapan dibawah bayangan rembulan. Aku melihat senyumnya yang dingin menggidikan. Aku mendengar tangisnya yang pilu, aku juga mendengar tawanya penuh kedukaan."

"Tangis pilu, tawa duka?"

"Kehadirannya sangat menakutkan. Mungkin saja dia muncul dalam rupa yang lebih mengerikan. Ini bisa dilihat bahwa orang-orang yang terbunuh itu kebanyakan matanya mendelik. Seolah mereka melihat setan paling angker di dunia."

"Perawan Bayangan Rembulan."

Gumam Resi Cadas Angin.

"Apa? Kau barusan bicara apa?"

"Aku menyebutnya sebagai Perawan Bayangan Rembulan karena dia selalu muncul bersamaan dengan munculnya bulan dilangit. Dia tidak menampakkan diri secara terang-terangan. Tapi memilih berdiri dibalik bayang-bayang rembulan."

"Tapi siapakah dia sebenarnya?"

Tanya Nini Buyut Amukan dengan kening mengernyit.

"Harusnya kau yang mencari tahu siapa dia. Kau hidup di dunia bebas tidak terkurung di dalam lembah sepertiku."

"Aku tahu. Tapi apakah gadis itu bukan jelmaan siluman buaya putih atau sang bidadari yang mendapat murka para dewa yang dikirim ke dunia?"

Tanya si nenek curiga

"Tapi tadi kau mengatakan Siluman Buaya Putih itu menghilang dari sungai ini beberapa pekan yang lalu."

"Itu benar."

"Kau yakin bukan?"

"Satu yang perlu kujelaskan padamu. Pembunuhan yang beruntun itu juga mulai terjadi sekitar lima belas hari yang lalu. Belum lama memang namun korbannya sudah banyak."

"Kita tidak bisa mengatakan Perawan Bayangan Rembulan adalah siluman buaya putih sebelum kita mendapat bukti yang kuat antara Perawan Bayangan Rembulan dan siluman buaya putih sesungguhnya mahluk yang sama."
Raja Gendeng 21 Perawan Bayangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Jelas Resi Cadas Angin.

"Baiklah. Aku bisa menerima semua alasan yang kau ucapkan. Namun kedepannya aku masih bingung tindakan apa yang harus kulakukan. Aku berharap dengan menyambangi tempat tinggalmu dapat membantu aku mencari gadis yang kau sebut sebagai Perawan Bayangan Rembulan itu."

Resi Cadas Angin gelengkan kepala.

Matanya terlihat bimbang, wajah diliputi rasa ragu

"Kalau kau tidak mau membantu. Tidak mengapa. Aku akan mencari gadis iblis berhati keji itu."

Ucap si nenek memutuskan.

Resi Cadas Angin tersenyum.

"Nini Buyut Amukan, kelakuan dan sifatmu yang dulu masih juga belum berubah. Kau selalu memutuskan apa yang belum kutetapkan. Kau sudah menduga-duga ketika melihat raut tampang rupaku. Padahal aku belum bicara apa-apa. Tapi kau sudah menyimpulkan sendiri seakan-akan keputusanku sesuai dengan prasangka hatimu."

"Bagaimana suasana hati manusia dapat kita ketahui hanya melalui gambaran wajah dan tatap matanya."

"Kenyataannya matamu mengatakan sebagaimana yang aku katakan!" dengus si nenek tak mau mengalah.

Si kakek tersenyum sambil menggeleng kepala.

"Aku ingin tahu mengapa kau bersikeras ingin mencari Perawan Bayangan Rembulan? Padahal nama sebenarnya gadis itu dan dimana dia menetap pun kau tidak tahu?"

"Resi Cadas Angin, tidakkah kau mengerti. Gadis keji itu cepat atau lambat bakal menghabisi kita?"

Kata Nini Buyut Amukan pula.

"Kalaulah benar. Apa yang harus ditakutkan? Aku tidak khawatir dengan ancamannya. Aku juga tidak risau dengan bahaya yang mengancam yang mungkin bakal kualami. Yang menjadi perhatianku adalah siapakah Perawan Bayangan Rembulan itu? Mengapa dia melakukan pembunuhan hanya disetiap munculnya bulan dilangit? Mengapa dia tidak melakukan pembunuhan dimalam-malam yang lain?"

"Satu lagi yang tidak kalah pentingnya, apa yang dia cari? Gerangan apapula yang menyebabkan dia menjadi seorang pembunuh?"

"Maksudmu jika seseorang tega membunuh orang lain tentu ada sebab dan alasannya, begitu?"

Kata Nini Buyut Amukan dengan mata mendelik.

Resi tersenyum. Dengan sikap yang arif dia menjawab.

"Setidaknya memang demikian. Seseorang tidak mungkin begitu dingin melakukan tindakan dengan membabi buta. Apalagi menghabisi sekian banyak manusia yang tidak berdosa. Pasti ada sebabnya."

Jelas Resi Cadas Angin yang membuat Nini Buyut Amukan tidak sabar. Sambil mendengus dia menyela,

"Aku tidak mau bicara selayaknya nelayan merajut jala. Kau tahu orang yang membuat jala selalu merajut dari pangkalnya,"

"Eh apa hubungannya jala dengan ucapanku, Nini?"

Tanya Resi Cadas Angin heran juga bingung.

Si nenek tertawa dingin.

"Aku mengucapkan dengan bahasa yang paling mudah. Tidakkah kau sadar apa yang kau ucapkan itu bakal menghabiskan waktu dengan percuma? Ucapanmu secara tidak langsung menyuruhku menyelidiki siapa gadis itu, mengapa dia membunuh tokoh-tokoh aliran putih? Dan mencari tahu dimana tempat tinggalnya? Mengapa kau tidak katakan sekalian gadis itu anak siapa, kapan terlahir dan apakah kedua orangtuanya masih hidup?"

Ujar Nini Buyut Amukan jengkel.

"Ha ha ha! Nini.. nini. Begitu saja kau sudah sangat marah. Aku tidak memintamu melakukan semua itu. Setiap orang punya hak mengemukakan pendapatnya masing-masing. Aku hanya sekedar memberi gambaran Nini Buyut Amukan. Lagipula kau tak usah ambil peduli apalagi mencari Perawan Bayangan Rembulan itu?"

"Astaga! Aku tidak menyangka kau bakal bicara seperti itu. Dunia persilatan berada dalam ancaman besar tapi kau enak saja menyuruhku agar tidak terlalu ambil peduli?"

"Manusia seperti apakah dirimu ini Resi Cadas Angin? Kau yang kupandang sebagai salah satu tokoh yang dapat membantu menghentikan sepak terjang gadis iblis itu dan tiga anjing pengikutnya mengapa bicara seperti itu? Sungguh tak kusangka."

Sentak Nini Buyut Amukan dengan mata terbelalak tak percaya.

"Nini kau jangan salah paham. Aku tidak mungkin berpangku tangan bersikap pasrah melihat semua kekacawan yang terjadi diluar sana. Tapi kau juga harus tahu dalam wangsit petunjuk yang kuterima. Untuk mengakhiri kejahatan yang dilakukan oleh Perawan Bayangan Rembulan bukan urusan semudah membalikan telapak tangan. Dan yang lebih penting, tiga anjing pembunuh yang bersamanya bukan mahluk biasa."

Terang Resi Cadas Angin. Mendengar itu Nini mendengus sambil memperlihatkan seringai buruk.

"Kau telah menerima wangsit. Betapa mudahnya manusia sepertimu menerima wangsit. Aku pernah bersemadi berpuluh-puluh hari perut kelaparan dan tubuh lemas. Kau tahu apa yang kudapat? Bukannya wangsit tapi setumpuk kotoran kelelawar!"

Geram Nini Buyut Amukan dengan wajah cemberut mulut mendengus.

Walau merasa geli mendengar ucapan Nini Buyut Amukan.

Namun Resi berusaha menahan diri agar tidak sampai keterlepasan tawa.

Setelah memberi waktu pada si nenek untuk menenangkan diri.

Barulah si kakek berkata.

"sobatku, tentang semadimu itu, mungkin kau bersemadi di tempat yang salah."

"Memang! Ketika itu aku memilih bersemadi didalam gua kelelawar. Aku ingin tahu apakah petunjuk dewa bisa didapat ditempat seperti itu. Ternyata tidak. Dewa tidak berkenan memberi petunjuk di tempat yang kotor."

"Sudahlah. Jangan berkecil hati. Aku akan tetap membantu dirimu dalam menyelesaikan semua ini. Hanya saja kau harus tahu, sesua8 dengan petunjuk yang kudapat. Satu-satunya orang yang bisa membantu menghentikan segala kekejian yang dilakukan gadis itu hanyalah seorang pendekar bernama Raja, yang dikenal dengan sebutan Sang Maha Sakti Raja Gendeng 313."

Jelas Resi Cadas Angin seadanya.

Walau hatinya galau namun penjelasan sekaligus jawaban yang diberikan oleh Resi Cadas Angin sedikit memberi harapan bagi si nenek. Setelah sempat terdiam, akhirnya Nini Buyut Amukan berkata.

"Baiklah,aku memilih mengikuti apa yang kau katakan. Mudah-mudahan datangnya petunjuk sebagaimana yang kau katakan benar adanya."

"Aku lega mendengar ucapanmu Nini Buyut Amukan sahabatku."

Kata Resi Cadas Angin sejujurnya.

Nini Buyut Amukan diam tidak menanggapi. Si nenek kemudian bangkit. Baru saja si nenek hendak berbalik badan. Tiba-tiba saja Resi Cadas Angin berseru.

"Nini... kau hendak kemana?"

Nini Buyut Amukan ketawa. Dengan sikap acuh dia berkata.

"Aku tidak mungkin mendekam di tempat ini sebagaimana yang kau lakukan selama ini. Aku harus pergi."

Ucapan tegas Nini Buyut Amukan membuat si kakek menghela nafas sambil menggeleng.

"Nini. Cuaca di lembah tidak menentu. Datangnya pagi masih terlalu lama. Aku tahu kau datang ke lembah ini dengan mudah, tapi untuk keluar dari lembah apakah semudah saat kau turun?"

"HI hi! Percuma saja aku punya jubah terbang. Dengan jubah ini aku tentu bisa melewati tebing lembah kapan saja aku mau!" jawab si nenek

"Baiklah."

Resi Cadas Angin mengalah.

"Aku memang tidak bisa menahanmu. Kau boleh pergi sekarang!"

Kata Resi Cadas Angin. Kemudian tanpa menoleh lagi si nenek tinggalkan ruangan dibalik legukan. Sesampainya dimulut legukan, dia tidak lagi menyeberangi sungai dengan melompati batu-batu yang bersembulan dipermukaan air sebagaimana kedatangannya. Melainkan segera pentang kedua tangannya. Ketika dua tangan di pentang,

sret!

set!

Bagian lengan jubah sebelah bawah tiba-tiba mengembang. Kemudian dari dalam jubah longgar terkembang yang lentur laksana sayap kelelawar itu menderu angin yang akhirnya mengangkat tubuh si nenek menuju ketinggian.

Begitu dia mengibaskan kedua tangannya maka selayaknya burung yang kepakan dua sayap.

Wuus!

Nini Buyut Amukan tiba-tiba melambung tinggi. Setelah sempat berputar tiga kali si nenek terus melesat ke atas melewati tebing-tebing batu yang membentang disebelah kiri dan kanannya. Sekejab kemudian sosoknya raib dari pandangan mata.

Melihat kehebatan jubah yang dimiliki Nini Buyut Amukan, Resi Cadas Angin pun berdecak kagum.

"Jubah sakti jubah terbang. Sungguh beruntung dia memiliki jubah sehebat itu. Sayang suratan nasib dan perjalanan hidupnya tidak semulus gerakannya ketika berada di udara. Aku selalu berdoa semoga dia selamat dan dapat melewati masa tua dengan damai."

Setelah berkata demikian, Resi Cadas Angin kemudian melangkah tinggalkan tempat itu.


*****


Suara kecipak air, deru angin dan teriakan monyet-monyet membuat Raja terjaga dari tidurnya. Kawasan Gondang yang ditumbuhi pepohonan dengan daun-daun lebat menghijau memang dihuni oleh beberapa jenis binatang.

Diantaranya terdapat pula binatang buas seperti harimau dan anjing liar.

"Sudah siang rupanya."

Gumam Raja sambil mengusap matanya, Raja yang tidur di atas cabang pohon menggeliat.

Kemudian segera duduk sambil menatap ke segala penjuru.

Tatap matanya terhenti tertuju ke satu sudut dimana tergeletak sebuah peti besar berwarna kecoklatan.

Peti itu tergeletak dibawah pohon besar.

Tidak terlihat isinya karena mulut peti tertutup rapat. Penasaran ingin mengetahui apa gerangan isi peti tersebut.

Raja bangkit berdiri.

Kemudian selayaknya orang hutan dia bergelayutan melompat dari satu akar tumbuhan merambat ke akar yang lain.

Sesampainya ditempat yang dituju,sang pendekar melompat turun lalu jejakan kedua kaki tidak jauh dar? tempat dimana peti itu berada.

Sang pendekar diam-diam terkejut ketika melihat ke arah peti mati itu.

Demikian banyak lalat-lalat hijau mengrubuti penutup peti.

Disamping kehadiran lalat-lalat, Raja juga mengendus adanya bau bangkai busuk menyengat

"Apa isi peti ini?" gumam Raja.

"Gusti."

Tiba-tiba terdengar suara mengiang ditelinganya. Dan itu adalah suara jiwa perempuan

"Saya telah memeriksa bagian dalam peti. Saya dapati sedikitnya ada tiga mayat bertumpuk dalam peti itu. Dua mayat laki-laki dan satunya mayat perempuan."

Menerangkan jiwa perempuan.

"Bagaimana keadaan mereka? Apa yang menjadi penyebab kematian mereka?"tanya Raja kaget. Lagi-lagi terdengar suara mengiang tapi di- telinga kanannya. Kali ini jiwa pedang yang ber- bicara.

"Menurut perkiraan saya. Mayat-mayat tewas sekitar empat hari yang lalu. Mereka terbunuh bukan oleh senjata. Sepertinya tubuh mereka dipenuhi luka bekas cabikan. Hem,"Raja mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.

Raja Gendeng 21 Perawan Bayangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka dibantai oleh binatang buas. Tapi jika benar binatang yang Perawan Bayangan Rembalan 109 membantainya mengapa mayatnya dimasukan kedalam peti. Binatang mana yang bisa melakukan tindakan sebagaimana yang dilakukan oleh manusia?"

Gumam Raja dengan kening berkerut

"Itulah yang membingungkan."

Kata jiwa perempuan.

"Mungkin sebaiknya kalian membuka peti itu. Aku ingin melihat siapa mereka!"

Perintahnya.

"Huek, baunya busuk sekali gusti. Saya takut gusti pingsan!"

Jawab jiwa perempuan.

"Mencium bau busuk seperti itu bisa membuat kepala gusti pening."

Timpal jiwa pedang pula.

"Tapi bagaimanapun aku harus tahu siapa mereka, bukan?"

Tukas Raja kesal.

"Tak usah dibuka kami bisa menerangkan. Melihat pakaian yang melekat ditubuh mereka, nampaknya ketiga orang itu bukan orang biasa. Mungkin saja mereka pejabat atau pembesar."

"Pejabat atau pembesar katamu, sobatku?"

Sentak Raja.

Dia terdiam sambil mengingat-ingat Kawasan Gondang memang masih menjadi bagian wilayah Kadipaten Salatigo.

Dan Kadipaten itu dipimpin oleh adipati Cakra Abiyasa.

Konon sang adipati adalah seorang pemimpin besar yang sangat berpihak pada kepentingan rakyatnya.

"Tapi siapa tiga mayat dalam peti? Apakah kerabat adipati atau pembesar serta keluarganya yang berasal dari daerah lain?"

"Tubuh tercabik. Jika pelakunya binatang buas harusnya mayat-mayatnya dibiarkan begitu saja. Mungkinkah pembunuhnya manusia namun bertingkah laku selayaknya mahluk buas?"

Kata Raja tampak tidak puas

"Tidak tertutup kemungkinan seperti itu dan bisa saja terjadi paduka."

Sahut jiwa perempuan

"Jika benar demikian, siapa orang itu?"

"Paduka, seperti yang saya katakan. Akhir akhir ini dikawasan kadipaten memang tersirap kabar menggegerkan dengan terbunuhnya tokoh-tokoh aliran putih. Mereka dibunuh, dihabisi dengan semena-mena."

Terang jiwa pedang.

"Membunuh tanpa sebab dan alasan yang tidak jelas. Manusia atau mahluk apa yang tega berbuat sekeji itu?"

Geram Raja sambil kepalkan tinjunya.

"Saya menaruh dugaan pembunuhnya manusia juga tetapi ada mahluk lain yang menyertainya."

"Jiwa perempuan. Apa maksud ucapanmu?"

Tanya sang pendekar dengan kening berkerut tanda tidak mengerti.

"Maafkan saya gusti. Saya bukan sekedar menduga. Tetapi ditengah bau busuk menyengat ini saya mengendus adanya aroma kejahatan manusia dan kejahatan binatang di dalam kematian mereka."

"Hm, ternyata penciumanmu sangat tajam, jiwa perempuan. Aku kagum padamu,"

Puji Raja.

"Penciumannya tajam karena mungkin saja dia masih punya hubungan dengan anjing, gusti. Anjing penciumannya selalu tajam."

Celetuk jiwa pedang sambil tergelak.

"Jiwa kurang ajar. Mahluk cantik sepertiku mana ada hubungannya dengan anjing yang suka julurkan lidah."

Damprat jiwa perempuan disertai suara bak bik buk pukulan dan suara mengaduh.

"Apa yang kalian lakukan. Berhenti berselisih!"

Hardik Raja Gendeng.

Sambil menoleh kebelakang dia delikan mata kearah mana kedua jiwa dia perkirakan berada. Suara bergedebukan berhenti. Lalu ada suara mendengus marah.

"Habisnya gusti,saya tidak senang dia menyebut saya satu golongan dengan anjing."

Kata Jiwa perempuan selayaknya seorang anak yang mengadu pada orang tuanya.

"Ya sudah. Jangan hiraukan dia. Nanti kalau jiwa pedang bicara ngaco tidak karuan biar kubetot anunya lalu kuberikan pada kawanan anjing hutan."

Sahut Raja sambil menahan geli

"Ah gusti teganya dirimu. Tapi bagaimana gusti bisa melakukannya melihat saya saja gusti tidak bisa?"

Kata jiwa pedang.

"Sudah! Jangan bergurau terus."

Bentak Raja. Kemudian kepada jiwa perempuan dia berkata,

"Sekarang lanjutkan ceritamu."

"Ya...seperti yang saya katakan. Pembunuh orang didalam peti itu adalah manusia dan binatang berkaki empat."

"Apakah kau bisa menduga mengapa mereka dibunuh?"

"Saya merasakan ada hawa kemarahan dan dendam dalam diri sang pembunuh, Saya juga meyakini gusti dia hanya membunuh dimalam hari."

"Dimalam gelap?"

"Tidak. Di dalam bulan muncul dilangit sampai berakhirnya bulan purnama. Siang hari dia adalah manusia biasa yang baik hati.."

"Membunuh disaat munculnya bulan dilangit? Jiwa pedang, kau tahu apakah hubungan antara munculnya bulan dengan tingkah laku seseorang?"

Tanya Raja kepada jiwa sahabatnya.

"Menurut saya, secara langsung tidak ada gusti. Pelakunya saya perkirakan juga bukan laki-laki. Tidak ada pria yang datang bulan. Kalau perempuan mungkin."

Jawab jiwa pedang.

"Jadi menurutmu pelakunya perempuan?"

Tanya Raja penasaran.
"Saya baru menduga tapi tidak berani memastikannya."

Ucap jiwa pedang.

"Satu yang membuat saya tidak mengerti. Mengapa dia membunuh hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Mungkinkah kehadiran bulan mengubah tingkah laku seseorang hingga membuatnya liar tidak terkendali?"

"Bukankah tadi saya juga menanyakan hal yang sama?"

"Saya tahu gusti."

"Apa yang harus kulakukan. Aku tidak suka melihat pembunuhan yang semena-mena."

Sekali lagi Raja tatap peti mati di depannya.

Belum sempat kedua mahluk alam roh itu menjawab. Tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh langkah kuda yang dipacu cepat menuju ke arah dimana sang pendekar berada.

Dalam kejut Raja tidak punya kesempatan untuk menghindar atau menyingkir ke tempat yang aman. Derap suara kuda lenyap, ketika sang pendekar menatap ke depan. Tahu-tahu dia melihat rombongan orang berkuda yang jumlahnya mencapai belasan orang telah mengepung tempat itu

"Peti mati itu jelas milik keluarga adipati. Lihatlah ada cap bersimbol burung gagak pada dinding sebelah atas penutup peti."

Seru seorang perempuan tua gemuk berpakaian kuning, berambut disanggul mirip sarang lebah.

Memperhatikan sekilas pada perempuan tua gemuk itu, Raja segera menyadari bahwa perempuan itu bukan pemimpin rombongan orang berseragam perajurit Kadipaten.

Ketika memandang ke arah sebelahnya Raja melihat dua kakek tua berpakaian putih berhidung mancung mirip paruh burung.

Di sudut paling sebelah kanan duduk di atas kuda seorang gadis cantik berpakaian seragam berwarna kecoklatan berkulit putih mulus berdada Indah.

Gadis ini mengikat kepalanya dengan selembar kain berwarna coklat bersimbol burung gagak di sebelah depan.

Lalu dibelakang mereka berempat terlihat puluhan prajurit bersenjata lengkap berupa pedang, tombak dan golok.

Agaknya gadis jelita itulah yang bertindak sebagai pimpinan rombongan pengawal Kadipaten.

Merasa tidak melakukan sesuatu.

Dengan tenang Raja tersenyum unjukkan sikap ramah pada mereka.

Tapi orang-orang itu menyambut dingin keramahan Raja, sebagian malah bersikap tidak bersahabat ada pula yang terlihat curiga.

"Peti mati sudah ditemukan."

Berkata nenek gemuk berpakaian kuning berkilat.

"Melihat lalat-lalat menggerubuti peti, Serta lenyapnya dua kereta kuda berisi harta benda. Aku yakin Rara Sintren, Raden Salya dan ki Bangor Madung telah menemui ajal."

Wajah cantik gadis jelita berpakaian coklat berubah merah mengelam.

Untuk diketahui Raden Salya yang disebut nenek berpakaian kuning yang bernama Limbuk Ayu atau lebih dikenal dengan sebutan Gembala Akhirat itu tak lain adalah paman si gadis.

Raden Salya juga masih terhitung kerabat dekat Adipati Cakra Abiyasa, Sedangkan Rara Sintren adalah gadis yang menjadi tunangan Raden Salya.

Walau gadis ini memanggil Raden Salya dengan sebutan paman, namun usia sang raden sepantaran dengan gadis itu.

Sedangkan orang yang bernama ki Bangor tak lain adalah bendahara Kadipaten yang bertugas mengurus upeti dan harta kekayaan kadipaten Salatigo.

Orang yang disebut terakhir walau usianya hampir tujuh puluh tahun dikenal sebagal orang yang cerdik juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Raden Salya dan tunangannya bukan manusia lemah.

Raja Gendeng 21 Perawan Bayangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keduanya termasuk pendekar muda yang gagah berani.

Di kawasan tanah Dwipa bagian tengah sampai ke timur, keduanya termasuk orang yang sangat disegani karena ketinggian ilmunya.

Dua kereta kuda lenyap.

Tiga orang berpakaian tinggi terbunuh.

"Kalau belum melihat isi peti itu dengan mata kepala sendiri haruskah aku percaya?"

Dengus dara cantik bernama Bunga Jelita namun juga dikenal dengan julukan Bunga Kembang Selatan itu ketus

"Gusti Bunga..."

Berkata kakek berambut putih berhidung bengkok bersenjata arit besar.

"Jika ingin bicara, bicaralah kakek Bagus Lara Arang."

Ucap sang dara tidak sabaran.

"Eh baik. Menurut hemat saya. Peti yang raib dari tempat penyimpanannya beberapa hari yang lalu itu kemungkinan memang berisi mayat. Untuk meyakinkan apakah orang-orang yang kita cari ada di dalamnya tidak ada cara lain kecuali membukanya."

"Aku setuju!"

Sambut kakek bungkuk hidung mancung yang berada disebelah Bagus Lara Arang

"Kalau setuju, mengapa kau tidak turun secepatnya Demang Sapu Lengga!"

Kata si nenek gembrot sambil mengipasi pahanya yang basah keringatan.

"Aku? Bukankah ada pengawal bersama kita. Atau...tidakkah sebaiknya kita suruh saja pemuda gondrong berpedang yang berdiri dibawah pohon itu."

Kata ki Demang Sapu Lengga sambil menunjuk ke arah Raja yang sedari tadi berdiri tegak di sana. Semua mata kini arahkan perhatian pada sang pendekar.

Raja yang semula berniat tinggalkan tempat itu jadi terhenyak kaget. Belum lagi dia sempat bicara apa-apa. Nenek berpakaian kuning tiba-tiba membuka mulut memanaskan suasana yang sejuk

"Setelah penutup peti dia buka. Sebaiknya kita tangkap dia. Sebelum kita datang dia sudah berada di sini. Aku curiga dialah yang telah membunuh kerabat adipati."

"Bukan mustahil dia pula yang merampas tiga peti harta bawaan lalu menyembunyikannya ditempat lain."

"Benar seperti yang diucapkan Limbuk Ayu, pemuda gondrong itu patut digantung!"

Seru Bagus Lara Arang membuat keadaan tambah memanas. Terpancing ucapan si nenek, belasan prajurit berkuda berlompatan dari kuda masing-masing.

Dengan gerakan yang cepat namun teratur mereka menyebar, tahu-tahu mereka telah mengurung Raja dengan senjata terhunus.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, sang pendekar pun angkat bicara.

"Kalian semua dengar. Jangan ada seorang pun yang melempar fitnah busuk kepadaku. Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan, aku bahkan tidak tahu apa-apa."

Bunga Jelita yang sedari tadi tetap tenang tidak termakan ucapan kaki tangannya ini terus memperhatikan Raja.

Sebaliknya Limbuk Ayu, ki Demang Sapu Lengga dan Bagus Lara Arang setelah saling melempar pandang tertawa terbahak-bahak. Ki Demang malah sambil mengumbar tawa berujar.

"Lihatlah si gondrong itu. Dia bertingkah selayaknya orang tolol, mengaku tidak tahu apa-apa bahkan tidak mengerti apa yang kita bicarakan.Apakah dia juga tidak melihat pemimpin kita yang cantik?"

"Mana ada pencuri yang mengaku! Lebih baik ringkus dia, bila melawan bunuh."

Seru Limbuk Ayu dengan suara melengking dan lantang.

Sebelas prajurit yang terpancing ucapan Limbuk Ayu serentak merangsak maju.

Melihat ini Raja yang dibuat kesal oleh ucapan-ucapan nenek gemuk dan dua kakek itu diam-diam alirkan tenaga dalam kebagian kaki juga kedua tangannya.

Tapi selagi para pengawal bergerak mengurung, tiba-tiba terdengar suara bentakan merdu.

"Tahan!"

Para pengawal yang mengenal baik suara pemimpinnya seketika hentikan langkah.

"Pengawal-pengawal tolol. Siapa sebenarnya yang menjadi pimpinan kalian?"

"Aku atau kedua nenek dan kakek itu?"

Tanya sang dara dengan sikap wibawa.

Para pengawal tundukan kepala.

Sementara Limbuk Ayu yang telah lama memendam ganjalan di hati pada Bunga Jelita dalam hati mendamprat

"Gadis keparat. Kalau tidak mengingat dirimu adalah kemanakan adipati, sejak dulu-dulu kau kupesiangi.Setidaknya kubuat cacat wajahmu yang cantik itu baru aku merasa puas."

Sementara Bagus Lara hanya diam menggerutu. Sebaliknya, Ki Demang Sapu Lengga dalam hati membatin.

"Sebetulnya akulah yang patut menjadi kepala pengawal dibawah perintahnya. Bila menuruti keinginan hati. Orang sepertiku tidak selayaknya rasanya tidak malu bila kukatakan bahwa aku menaruh hati kepadanya. Apalagi sejak istriku meninggal dan sudah lama aku hidup sendiri. Aku suka padanya, keindahan tubuhnya sulit untuk kulukiskan. Pinggulnya bagus, dadanya juga besar. Akh...tapi sungguh keparat. Sejak tadi dia hanya terus menatap si gondrong sialan. Siapa monyet satu ini ?"

Geram ki Demang Sapu Lengga sambil usap-usap janggutnya yang meranggas memutih

"Gusti Ayu...maafkan kami semua. Kami sekarang menunggu perintah gusti."

Kata pengawal yang bertubuh paling tegap.

"Bagus. Kalian dengar. Aku tidak mau menghukum seseorang sembarangan."

Ucap Bunga Jelita. Kemudian pada Raja gadis ini berkata.

"Ki sanak, bolehkah aku tahu siapa dirimu dan apa yang kau lakukan di tempat ini?"

Terlanjur kesal Raja menyahuti.

"Sungguh pertanyaan yang bagus, aku tidak melakukan apapun. Peti mati itu memang sudah teronggok membusuk begitu aku datang."

Bunga Jelita manggut-manggut walau hatinya geram melihat sikap Raja yang dianggapnya menyebalkan.

"Mungkin begitu. Lalu apakah ki sanak tidak mau memperkenalkan nama?"

Tanya Bunga Jelita tambah geram

"Namaku, ha ha ha. Orang menyebutku sang maha sakti Raja Gendeng, Aku lebih suka menyebut diriku pendekar Maha sakti 313."

Merasa tidak mengenal nama dan julukan sang pendekar, mereka semua tertawa terbahak- bahak. Bunga Jelita terdiam, kening berkerut. Mencoba mengingat-ingat apakah dia pernah mendengar dan mengenal nama dan julukan yang aneh itu.

"Aku pernah mendengar munculnya seorang pendekar aneh dari laut pantai selatan, Apakah pemuda ini orangnya?"

Belum lagi Bunga Jelita mengucapkan sesuatu, tiba-tiba saja ki Demang Sapu Lengga berteriak.

"Sang Maha Sakti Raja Gendeng, pendekar Maha Sakti 313. Puah nama dan julukan apa itu? Kukira dia hanya seorang pemuda gila yang kebetulan kesasar ketempat ini."

"Kalau pendekar mustahil. Orang gila mungkin saja."

Timpal Limbuk Ayu disertai derai tawa.

"Ha ha ha! Bicaralah sesuka hati sampai gigi kalian tanggal."

Kata Raja.

"Aku lebih suka tidak melayani orang seperti kalian!"

Berkata begitu sang pendekar segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun belum sempat melangkah. Bunga Jelita yang mulai menaruh curiga padanya segera berseru.

"Cegah dia, jangan biarkan pergi."

Sebelas prajurit dengan gerakan cepat segera berlompatan maju. Tombak, pedang dan golok menderu membabat dan menusuk dari segala penjuru.

"Manusia-manusia tolol! Hea...!"

Teriakan Raja ini dibarengi dengan gerakan memutar tubuh. Lalu sambil berputar dia kibaskan kedua tangannya ke arah senjata dan para prajurit yang menyerangnya.

Beberapa tombak, berpentalan diudara dalam keadaan patah menjadi beberapa bagian.

Pedang dan golok terpelanting.

Limbuk Ayu bahkan sampai delikan mata ketika dapati kuda yang dia tunggangi ambruk dengan perut terburai dirobek dengan pedang pengawal yang ditendang Raja.

Walau tubuhnya gemuk gombrot, namun dengan gerakan enteng dia berjumpalitan selamatkan diri.

Sebaliknya, beberapa pengawal yang mengalami patah kaki atau bagian lengannya terluka nampak kesakitan dengan wajah pucat dan perih.

"Aku tidak membunuh! Aku juga tidak punya silang sengketa dengan kalian., Tetapi kalau kalian semua tetap memaksa jangan salahkan aku jika jatuh korban orang yang tidak berdosa di tempat ini."

Teriak Raja

"Dia sudah sangat kelewatan. Tindakannya itu sungguh sebuah penghinaan bagi kita semua."

seru Ki Demang Sapu Lengga.

Orang tua itu kemudian berpaling pada Bagus Lara Arang.

Sekali dia anggukan kepala, keduanya secara serentak melompat dari atas kuda masing-masing.

Melihat kedua kakak beradik itu bertindak nekat ingin menghabisi Raja.

Sang pendekar yang saat itu berdiri dibelakang peti mati segera gerakan ujung kaki menendang bagian bawah peti.

Peti berat itu melambung di udara.

Menderu sebat ke arah kedua kakek yang melesat diketinggian.

Melihat peti siap menghantam diri mereka keduanya segera dorongkan kedua tangan masing masing kedepan.

Dua larik cahaya biru terang membersit dari tangan Ki Demang.

Sedangkan dari telapak tangan Bagus Laras Arang menderu segulung angin dingin menebar hawa dingin luar biasa.

Wut!

Blak!

Der!

der!
Raja Gendeng 21 Perawan Bayangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Ketika semua serangan itu menghantam peti mati.

Kedua kakek ini dibuat kaget bukan main.

Dua pukulan ganas yang dilancarkan kakek itu ternyata tidak sanggup menghalau apalagi menghancurkan peti.

Pukulan sakti mereka seolah amblas seperti membentur busa karet tebal.

Keduanya sama sekali tidak tahu bahwa diam diam Raja telah lindungi peti mati dengan menggunakan ilmu Selubung Inti Es.

Tindakan ini sengaja dia lakukan untuk memberi pelajaran pada kedua kakek itu.

Melihat peti tidak dapat mereka hancurkan.

Kedua kakek itu bertindak nekat dengan melompati bagian atas peti.

Namun belum sempat niat mereka terlaksana.

Tiba-tiba saja dari tempatnya berdiri Raja gerakan jemari tangannya.

Gerakan jarak jauh yang dilakukan Raja membuat peti berisi mayat meluncur deras menimpa tubuh kedua lawannya.

"Keparat. Apa yang dilakukan gondrong sinting itu?"

Tanya ki Demang kaget. Dia bertindak cepat dengan menahan peti agar tidak menimpa tubuhnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bagus Lara Arang. Tapi mengingat kaki kedua kakek ini mengapung diketinggian gerakan menahan yang mereka lakukan sia-sia.

Ketika Raja dorongkan jemari tangan ke arah peti. Kedua lawan merasa berat peti bertambah berlipat ganda. Melihat hal ini Limbuk Ayu segera melompat memberi bantuan. Namun tindakannya kalah cepat dan tahu-tahu.

Bruk!

Peti mati jatuh menimpa kedua tubuh kakek itu. Penutup peti terbuka. Dari dalam peti menggelinding tiga sosok mayat yang dalam keadaan mengembung bengkak membusuk dan dipenuhi luka-luka mengerikan.

"Huek.. huek!"

Bagus Lara Arang perutnya bergulung mual lalu muntah.

"Singkirkan benda keparat ini dari kami."

Teriak ki Demang Sapu Lengga.

Perajurit pengawal yang selamat dari kemarahan Raja segera datang memberi bantuan.

Sedangkan Bunga Jelita terkejut ketika melihat sang pendekar tidak berada lagi di tempatnya.

Menyesal tidak mengetahul banyak tentang diri penmuda itu.

Gusar pula melihat para pengikutnya yang gegabah, Bunga Jelita turun dari kudanya.

Saat itu peti mati telah berhasil disingkirkan dari tubuh-tubuh Ki Demang dan Bagus Lara Arang. Gadis itu juga melihat Limbuk Ayu tengah meneliti mayat-mayat yang bergeletakan di depannya.

Mengetahui Bunga Jelita datang menghampiri, nenek ini berkata.

"Gusti benar dugaan kita. Ketiga mayat ini memang benar orang yang kita cari."

Sang dara diam memperhatikan

"Masukan kembali mayat dalam peti. Kita harus membawanya kembali ke Kadipaten, Aku akan melaporkan kejadian ini pada paman Adipati."

Tegas bunga Jelita sambil balikan badan kembali ke kudanya.

"Bagaimana dengan pendekar gila itu?"

Tanya ki Demang yang sudah berdiri dan sibuk membersihkan diri dari cairan berbau busuk.

"Dia telah pergi. Lebih baik urus saja para pengawal yang terluka. Naikan mereka ke atas kuda masing-masing."

Perintah si gadis. Kepergian Raja yang bak ditelan bumi menimbulkan kegegeran diantara mereka.

"Mungkin saja pemuda itu setan penunggu tempat ini."

Kata Limbuk Ayu sambil mengiringi pengawal terluka yang dibawa kuda di depan.

Ki Demang memilih diam.

Kakek itu sepertinya merasa jerih juga.

Sedangkan Bagus Lara Arang memilih memacu kudanya lebih cepat takut dihadang mahluk-mahluk halus penunggu hutan.

TAMAT

Ikuti selanjutnya


Bidadari Penebar Maut


(Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..
mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini.Terima kasih)

Situbondo,26 September 2019

Sampai jumpa di episode berikutnya...

Terima Kasih

*** Saiful Bahri Situbondo ******





Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Goosebumps 8 Gadis Pecinta Monster Pendekar Pedang Matahari 2 Misteri Batu

Cari Blog Ini