Ceritasilat Novel Online

Mutiara Tujuh Setan 1

Raja Gendeng 18 Mutiara Tujuh Setan Bagian 1


Raja Gendeng 18 Mutiara Tujuh Setan

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 18 dalam episode

Mutiara Tujuh Setan

*****


Team Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)


*****

Sehari sebelum datangnya sang tamu Agung.

Puncak gunung Papandayan yang selama sepekan sebelumnya diguyur hujan terlihat cerah.

Langit biru tanpa awan.

Sedangkan matahari bersinar terang.

Di tengah suasana alam yang cukup bersahabat tepat diujung sebelah selatan puncak gunung, seorang kakek tua renta berpakaian serba merah bertubuh kurus tinggi duduk diam di depan pondok buruk miliknya.

Si kakek berambut panjang menjela, berkumis dan berjanggut itu terlihat murung, seakan ada satu beban berat yang menjadi ganjalan dihatinya.

Berulangkali dia menghela nafas dalam-dalam. Setelah lama si orang tua duduk mencangkung diatas balai bambu, kini tatap matanya tertuju ke arah tujuh telaga warna yang terdapat di depan pondok. Tujuh telaga itu masing-masing memiliki air berwarna-warni seperti pelangi.

Tiba-tiba dari mulut si orang tua yang terlindung kumis putih menjela terdengar ucapan.

"Langit tetap biru seperti dulu. Matahari selalu muncul dari timur. Siang malam datang silih berganti. Kehidupan setiap insan pasti ada batas akhirnya. Seratus tahun sudah usia si tua ini. Menjadi juru kunci sekaligus penjaga telaga bukanlah impianku. Tapi kegembiraan dan duka terkadang datang laksana sejuknya semilir angin. Dan ketika seorang tamu agung menyatakan hasrat ingin datang menyambangi. Kelegaan dihati menjadi risau menunggu datangnya sang malam yang masih terlalu pagi. Aku bosan menunggu, tapi kesabaran juga yang membuatku memilih untuk tetap bertahan seperti ini."

Selesai berucap si kakek mengusap kumis dan janggutnya. Di rimba persilatan dia dikenal dengan nama Raga Sontang dan sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan karena memiliki ilmu pukulan sakti Tapak Guntur.

Tak lama kemudian dia bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah terseok-seok dan tubuh terbungkuk-bungkuk Raga Sontang melangkah memasuki pondok bututnya. Sekejab sosok si orang tua renta itu lenyap di balik pintu.

Belum lama si kakek masuk ke dalam pondoknya tiba-tiba saja terdengar suara gelegar gelak tawa merobek kesunyian.

Puncak gunung Papandayan terguncang keras tidak ubahnya seperti dilanda gempa besar. Bebatuan yang terdapat di sekeliling lereng gunung luruh berguguran. Sebagian diantaranya bahkan terpental menyebar keseluruh penjuru dan jatuh di kaki gunung disertai suara gemuruh laksana curah hujan.

Pengaruh hebat yang ditimbulkan oleh suara tawa itu ternyata tidak berhenti sampai disitu saja. Di bagian puncak di mana telaga tujuh warna berada, air yang terdapat di dalam ke tujuh telaga itu bahkan terlihat menggelegak bergetar seperti mendidih. Sedangkan pada bagian permukaan terus menerus bergolak. Raga Sontang yang berada di dalam pondok nampak tercekat.

Dia yang bermaksud mengambil tujuh kendi berisi air mantra penolak bala segera meraih sebilah keris pusaka dan tombak hitam.

Keris yang dikenal dengan nama Naga Penidur dan tombak hitam bermama Nyi Pleret itu bukan senjata sembarangan.

Kedua senjata itu adalah senjata sakti yang telah tersohor diseluruh penjuru tanah Pasundan. Setelah selipkan keris di pinggang sebelah kiri dan menggenggam tombak di tangan kanan.

Raga Sontang segera balikkan badan. Tapi belum sempat orang tua ini membuka pintu, terdengar suara ucapan dari luar.

"Kuncen tua penjaga Tujuh Telaga. Aku datang berkunjung ingin mengutarakan satu maksud satu keinginan. Bila keinginanku terlaksana maka kuanggap kau telah berlaku bijaksana. Aku bersumpah tidak akan mengusik selembar pun dari rambutmu. Setelah itu aku akan pergi dari tempat ini dan kau bisa melanjutkan sisa hidupmu dengan damai. Kelak kau bisa mati dengan tenang, lalu arwahmu dapat menghadap para dewa di Swarga loka. Mudah-mudahan dewa bermurah hati untuk memberimu sebuah tempat di sorga walau cuma diemperannya saja. Ha ha ha!"

Dibelakang pintu pondok Raga Sontang dibuat tercekat. Dia terdiam otak berpikir hati menduga duga.

"Suara dan caranya tertawa sungguh berbeda dengan suara orang yang ku tunggu. Siapa pun dia kedatangannya tentu membekal maksud dan keinginan yang tidak baik. Apa yang harus kulakukan? Menghadapinya? Orang ini jelas bukan manusia biasa. Tenaga dalam yang dia miliki pasti sangat tinggi dan itu telah terbukti lewat gelegar suara tawanya."

Batin Raga Sontang. Selagi orang tua ini diliputi kebimbangan.

Sekali lagi terdengar teriakan manggeledek

"Raga Sontang! Apakah matamu buta dan telingamu tuli.Kau tidak melihat tingginya langit dalamnya lautan? Aku tahu kau berada di dalam pondok butut itu. Kau sengaja bersembunyi disana apakah karena ketakutan ataukah sedang mengatur tipu muslihat? Kau tidak akan kubiarkan lolos kecuali kau mau serahkan satu benda berharga yang telah kau tunggu dan jaga selama puluhan tahun di tempat ini!"

Raga Sontang yang semula hanya diam menahan diri akhirnya mengambil satu keputusan. Dia akan menghadapi setiap rintangan sebesar apapun yang datang menghadang.

"Siapa yang bicara? Kunyuk gila atau iblis? Aku tidak mengerti apa maksud ucapanmu. Kau menyebut tentang benda, benda itu ada padaku. Benda apa itu? Aku hanya punya satu benda butut yang hingga setua ini belum pernah kupakai. Atau kau menginginkan benda yang lain, Kalau begitu lekas katakan, benda apa yang kau mau...!"

"Mutiara .bukankah selama puluhan tahun kau diberi tugas menjaga benda sakti bertuah itu. Dimana Mutiara Tujuh Setan kau simpan. Kau harus menyerahkannya padaku sekarang juga!?"

Teriak satu suara dari jauh sebagai jawaban. Lalu terdengar lagi suara melengking disertai dengan munculnya satu sosok bayangan dari arah sebelah utara puncak gunung.

Sosok bayangan itu berpakain serba biru dan melesat dengan kecepatan luar biasa. Mulutnya menggembung melakukan satu tiupan ke arah pondok dimana Raga Sontang berada

"Penuh...!"

Dari mulut sosok serba biru yang berkelebat menderu segulung angin laksana topan berhembus

Wous!

Lalu

Brak!

Pondok buruk di seberang tujuh telaga laksana alang kering tersapu mental, puing-puing pondok hancur berterbangan sedangkan sebagian lagi jatuh melayang ke arah kaki gunung.

Raga Sontang yang saat itu belum sempat keluar dari dalam pondok tampak tergontai.

Rambut panjangnya berkibar-kibar.

Kancing pakaian bertanggalan membuat dada hingga ke perut orang tua itu terbuka.

Orang tua ini masih beruntung karena dia tidak sampai ikut tersapu terpelanting.

Tapi akibat serangan ganas itu membuat wajahnya pucat, dada berdenyut sakit, sedangkan sekujur tubuhnya yang ikut terhantam hembusan angin serasa laksana ditancapi ribuan jarum beku.

"Manusia kurang ajar. Beraninya kau membuat kekacauan di tempat tinggalku."

Geram Raga Sontang sambil melompat tinggalkan tempat dimana tadinya pondok berdiri.

Sekejab kemudian begitu jejakkan kaki, si kakek segera pandang ke depan.

Dia terkesiap ketika melihat di depan sana sejarak dua tombak dari tempatnya berada berdiri tegak seorang laki-laki sekitar enam puluh tahun.

Orang tua itu memakai pakaian warna biru, rambut panjang menjela ditumbuhi lumut.

Di atas kepala yang ditumbuhi lumut melingkar seekor ular berwarna biru. Selain itu pula ada seekor ular warna biru juga seukuran lengan orang dewasa bergelayut bergelung di bagian lehernya.

Setelah memperhatikan orang tua di depannya dari mulut Raga Sontang terdengar suara desis ucapannya.

"Iblis Momok Laut Biru."

"Bagus ternyata kau mengenali siapa diriku,"

Dengus si kakek yang dijuluki Iblis Momok Laut Biru itu disertai dengan senyuman angker.

"Siapa yang tidak mengenal Aki Gde Samudra, bukankah begitu nama aslimu. Kau terlahir besar dan menghabiskan banyak waktu dilautan, seperti kodok, Kehidupanmu tidak pernah jauh dari air. Aku merasa aneh sekaligus heran karena kau mengembara jauh hingga ke gunung ini. Dan celakanya kau telah membuat kekacauan disini. Sungguh tindakanmu sangat tidak terpuji dan membuatku merasa heran."

Berkata Raga Sontang penuh teguran. Bukannya merasa sungkan karena sang pemilik tempat sudah tidak berkenan menyambut kehadirannya.

Tetapi sebaliknya Iblis Momok Laut Biru yang aslinya bernama Aki Gde Samudra itu malah berkacak pinggang, dongakkan kepala lalu tertawa tergelak-gelak.

Puas mengumbar tawa Iblis Momok Laut Biru berkata.

"Terserah aku mau berada di mana. Itu bukan urusanmu, kakek penjaga tujuh telaga. Yang jelas kedatanganku di sini tidak mau berpanjang kata, tetapi dengan tujuan ingin meminta mutiara Tujuh Setan darimu."

Mendengar permintaan orang tua di depannya, wajah Raga Sontang nampak merah mengelam. Sambil menghela nafas dengan tatapan dingin dia menjawab.

"Setelah berbuat keonaran, kini kau malahan mengemis minta sebuah benda keramat yang mana seumur hidup pun aku tak pernah melihatnya? Aku tidak bisa membayangkan malapetaka apa yang bakal terjadi bila Mutiara Tujuh Setan sampai terjatuh di tanganmu!"

Mendengar jawaban Raga Sontang yang bernada menghina itu. Iblis Momok Laut Biru seperti orang yang ditusuk besi pada liang telinganya.

Orang tua itu berjingkrak kaget.

Sepasang matanya mendelik, kedua alisnya yang ditumbuhi misai menjuntai bertaut. Dengan suara menggembor lantang Iblis Momok Laut Biru membentak.

"Tua bangka tidak tahu diuntung. Aku minta baik-baik, kau menganggapku sebagai seorang pengemis. Ketahuilah Sontang, jika aku berniat jahat ingin membunuhmu semua dapat kulakukan semudah membalikkan telapak tangan. Tapi aku masih menaruh belaskasihan pada dirimu. Mutiara Tujuh Setan bukan benda sakti milikmu.Tugasmu hanya menjadi anjing penjaga keutuhan dan keselamatan benda itu. Karenanya kuharap kau suka membuka mata untuk memberikan benda yang menjadi keinginanku. Kau hanya mengatakan dimana Mutiara Tujuh Setan kau simpan atau kau serahkan saja Mutiara itu padaku, aku pasti segera angkat kaki tinggalkan tempat ini. hai Raga!"

Raga Sontang diam membisu. Dia sadar Iblis Momok Laut Biru bukanlah manusia sembarangan. Selain dikenal karena keganasan dan kekejamannya, dia juga memiliki ilmu kesaktian yang sulit dijajaki.

Di lautan dia mahluk paling ditakuti. Sudah ratusan nelayan menjadi korbannya. Di daratan dia tidak ubahnya seperti hantu gentayangan penebar kematian pengumbar darah. Dengan segala kekejaman dan keangkerannya tidaklah mengherankan bila dia dijuluki Iblis Momok Laut Biru.

"Tamu agung yang kuhomati belum juga munculkan diri hingga saat ini. Aku yakin dia bukanlah orang, yang suka mengingkari janji. Waktu kedatangannya belum tiba. Menurut pesan yang kuterima beliau bakal muncul sore nanti. Tapi bagaimana dengan Iblis Momok Laut Biru? Aku harus memperdayai manusia satu ini. Mudah- mudahan dia menemui ajalnya di salah satu telaga itu."

Batin Raga Sontang sambil melirik ke arah telaga, Iblis Momok Laut Biru tersenyum, Dalam hati dia menduga pastilah Raga Sontang menyimpan benda sakti yang dia cari di dalam satu telaga itu.

Tidak ingin berlama-lama, sebelum kesabaran nya benar-benar habis si kakek berkata.

"Raga Sontang. Aku melihat gelagat, aku dapat membaca gerak-gerikmu. Sekarang sebaiknya katakan apakah benar kau menyimpan Mutiara Tujuh Setan di salah satu telaga itu?"

Raga Sontang tersenyum.

"Mengingat nama besarmu, aku berpikir tidak ada gunanya melawanmu. Aku tidak ingin mencari perkara denganmu. Dalam usia yang setua ini, aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan tenang."

Ucap si kakek.

Dan tentu saja apa yang diucapkannya hanya sebuah muslihat karena sebenarnya dia tidak takut kepada Iblis Momok Laut Biru.

"Bagus. Menyadari kelemahan diri sendiri bisa membuatmu terhindar dari kematian."

Menyahuti si kakek disertai seringai dingin.

Setelah memperhatikan orang tua di depannya, sang Iblis Momok Laut Biru lanjutkan ucapan.

"Jadi kau mau menyrahkan Mutiara itu kepadaku?"

Raja Gendeng 18 Mutiara Tujuh Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raga Sontang tanpa ragu anggukkan kepala.

"Sekarang katakan dimana Mutiara Tujuh Setan tersimpan?"

"Tepatnya aku tidak tahu, Iblis Momok Laut Biru. Aku sendiri menjaga benda keramat selama puluhan tahun. Namun aku tidak pernah tahu di mana tersimpannya. Benda yang kau cari mungkin tersimpan di salah satu telaga. Kalau kau ingin mengambil benda itu sebaiknya periksalah semua telaga itu. Nanti kau pasti bisa menemukannya"

Mendengar penjelasan Raga Sontang, Iblis Momok Laut Biru kertakkan rahang. Dengan tangan terkepal, pipi menggembung dia membentak.

"Tua bangka keparat, apakah kau bermaksud mencelakai diriku. Sebagai penjaga telaga selama puluhan tahun bagaimana mungkin kau tidak tahu di telaga mana Mutiara itu disimpan.?"

Dengan pura-pura tunjukkan wajah ketakutan dan tubuh menggigil. Raga Sontang buru-buru menjawab.

"Iblis Momok Laut Biru. Aku tidak berdusta."

Tetapi dalam hatinya dia berucap lain.

"Hm, rasakan kau tertipu."

"Apa kau tidak berdusta? Hm bagaimana bila kau saja yang menyelam dan aku menunggu di tepi telaga?"

Dengus Iblis Momok Laut Biru disertai seringai penuh arti.

"Tidak mungkin sebab masuk dan menyelam ke dalam telaga adalah pantangan besar bagi kuncen sepertiku. Aku bisa dikutuk. Dewa dikayangan akan marah melihatku melanggar sumpah. Memberi petunjuk tempat penyimpanan Mutiara Tujuh Setan saja sudah menjadi satu kesalahan besar. Aku tidak mau melakukannya. Jika kau tetap memaksa lebih baik kau bunuh aku saja!"

Berkata Raga Sontang dengan sikap seakan pasrah menerima nasib buruk.

Iblis Momok Laut Biru tercenung. Sepasang mata menatap lurus pada Raga Sontang.

"Aku telah memberi petunjuk. Kuharap kau mau berbaik hati dengan memberi kelonggaran pada tua bangka ini. Lagi pula kau adalah orang yang sudah terbiasa berada di air, Lautan luas menjadi daerah kekuasaanmu. Apa salahnya kau selami telaga-telaga itu?"

Ucap si kakek sengaja memanasi.

"Hm, baiklah. Sekarang kau boleh mengantar aku ke sana."

Raga Sontang anggukkan kepala tanda setuju. Tanpa keraguan namun dengan sikap waspada, Raga Sontang melangkah menuju telaga yang berada di bagian ujung paling utara.

Sementara di belakangnya Iblis Momok Laut Biru mengikuti. Sambil berjalan orang tua ini memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tujuh telaga warna yang menghampar dari selatan ke utara itu sebenarnya tidak seberapa luas, terletak berdampingan. Dan air pada masing- masing telaga berwarma merah, biru, kuning, hijau hitam, putih laksana susu dan juga ungu.

Sesampainya di ujung telaga ungu Raga Sontang hentikan langkah.

"Kau bisa mulai menyelam dari telaga yang paling ujung yang airnya berwarna ungu ini."

Saran Raga Sontang.

Iblis Momok Laut Biru terdiam.

Sepasang matanya menatap tajam pada orang di depannya.

Ada rasa curiga di dalam hati.

Rupanya dia khawatir Raga Sontang bermaksud menipu dan mencelakai.

Tidaklah heran bila sang Iblis pun akhirnya berkata.

"Seandainya aku mulai menyelam di telaga yang airnya hitam bagaimana?"

Mendengar ucapan Iblis Momok Laut Biru, Raga Sontang tak kuasa menahan gelak tawanya. Di tengah gelak tawanya dia menjawab,

"Iblis Momok Laut Biru. Telaga manapun yang hendak kau masuki. Bagiku tidak masalah. Aku tahu apa yang kau pikirkan. Namun jangan pernah punya prasangka buruk bahwa aku akan mencelakaimu. Semua kembali pada dirimu.Kau ingin mengambil Mutiara Tujuh Setan? Harap kau mencarinya sendiri. Aku telah memberi kemudahan dengan tidak merintangi keinginanmu itu"

"Ha ha ha. Kau benar juga. Ternyata hatimu polos. Tapi ingat jangan sekalipun kau berpikir untuk membuatku celaka.Jika ada musibah sekecil apapun yang aku alami. Aku tak akan mengampuni selembar nyawa busukmu!"

Setelah melontarkan ancaman, Iblis Momok Laut Biru segera balikkan badan menuju ke telaga ke tiga yang airnya berwarna hitam.

Raga Sontang yang seumur hidupnya belum pernah sekalipun menjajaki kedalaman telaga diam-diam menjadi resah.

Si kakek tidak pernah lupa bahwa setahun setelah mendapat tugas sebagai juru kunci penjaga Mutiara Tujuh Setan, di suatu malam dia bermimpi.

Dalam mimpi itu ada tujuh mahluk aneh tiba-tiba muncul mendatanginya ditengah tebaran kabut.

Kemudian masing-masing mahluk yang menemuinya itu berpesan agar dia jangan mencoba-coba memasuki ke tujuh telaga itu.

"Tujuh telaga warna adalah tujuh telaga setan. Semua telaga itu bisa menjadi tempat kematian bagi setiap orang yang masuk ke dalamnya. Kami sekedar memberi ingat padamu Raga Sontang. Dan peringatan kami demi kebaikan dirimu sendiri."

Selanjutnya setelah sempat memberi beberapa petunjuk penting mahluk berpenampilan aneh itu lenyap.

Raga Sontang terjaga dari tidurnya.

Ketika orang tua ini bangkit dari tempat tidurnya.

Dia mendapati di atas balai bambu berlapis jerami yang menjadi tempat ketidurannya tergeletak sebuah benda warna warni memancarkan cahaya redup seukuran tidak lebih besar dari ibu jari kaki.

Benda itulah yang disebut-sebut sebagai mutiara pelangi atau yang lebih dikenal dengan nama Mutiara Tujuh Setan.

"Rasanya aku telah siap untuk mencari Mutiara itu."

Kata Iblis Momok Laut Biru.

Suaranya lirih namun membuat Raga Sontang tersadar dari lamunannya.

"Aku tidak akan menghalangi. Tak banyak yang bisa kulakukan terkecuali menunggu engkau muncul kembali dari dalam telaga dengan membawa benda yang kau inginkan."

Iblis Momok Laut Biru sunggingkan senyum mengejek.

Dia tidak menanggapi melainkan segera rangkapkan kedua tangan di atas kepala.

Seiring dengan itu mulut yang terlindung kumis berselaput lumut hijau berkemak-kemik membaca sesuatu.

Satu pemandangan yang belum pernah dilihat Raga Sontang kemudian terjadi di depan matanya.

Sekujur tubuh Iblis Momok Laut Biru tiba-tiba memancarkan cairan minyak disertai kepulan asap.

Rupanya sang iblis sengaja memakai minyak pelapis pelindung tubuh penangkal dari segala bahaya yang tidak diinginkan selama di dalam air.

"Manusia keparat satu ini ternyata cukup cerdik juga. Dia telah memikirkan segala akibat dari setiap tindakan yang dia tempuh. Aku sendiri tidak pernah tahu apakah air telaga hitam ini bisa menjadi ancaman baginya."

Membatin Raga Sontang.

Si kakek menunggu, berdiri diam ditempatnya tanpa bergerak sedikitpun. Sementara tidak jauh di depan sana Iblis Momok Laut Biru tiba-tiba keluarkan seruan.

"Mutiara Tujuh Setan. Kuharap aku tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukanmu!"

Byurr!

Seruan Iblis Momok Laut Biru serta merta lenyap seiring dengan lenyap tubuhnya yang masuk ke dalam telaga.

Tidak lama setelah orang tua itu mengamblaskan diri masuk ke dalam telaga, tiba- tiba saja terdengar suara menderu disertai raungan menggelegar dari enam penjuru arah.

Raga Sontang terkesima.

Menatap kesekelilingnya si kakek tidak melihat apa-apa.

Namun ketika dia melihat ke atas langit yang cerah tiba-tiba mendadak berubah mendung.

Hembusan angin bertambah kencang, seiring dengan berubahnya cuaca yang berlangsung dengan cepat sekali.

Tujuh telaga warna menggelegak seolah-olah mendidih.

Air permukaan telaga kemudian bermuncratan setinggi dua tombak.

Raga Sontang tambah tercekat.

Wajahnya pucat, hati diliputi ketegangan.

Rasa takut yang dibalut dengan perasaan bersalah karena telah mengizinkan seseorang memasuki salah satu telaga pantangan membuat orang tua ini melangkah mundur.

Dua tangan dirangkap dan ditempelkan ke depan dada.

Sementara sambil terus bergerak menjauh dari telaga hitam mulutnya berucap,

"Para dewa maafkan hamba yang tidak pandai menjaga amanat. Saya hanya menginginkan agar Mutiara Tujuh Setan selamat dan bisa berada di tangan orang yang berhak menerimanya. Namun bila niat yang tulus itu masih dianggap sebagai suatu kesalahan. Dengan rela hati saya siap menerima hukuman."

Baru saja Raga Sontang selesai berucap, tiba-tiba terlihat kilat disertai gelegar suara petir yang menggemuruh.

Puncak gunung Papandayan terguncang hebat seolah hendak runtuh.

Raga Sontang jatuh berlutut. Deru angin tambah menghebat.

Kabut pekat muncul di mana-mana.

Air pada masing-masing Tujuh telaga terus menggelegak.

Bersamaan dengan itu ada kilauan cahaya memancar dari setiap telaga.

Masing-masing sesuai dengan warna airnya.

Kilau cahaya tujuh warna yang berasal dari ketujuh telaga bergerak lurus ke atas lalu mengapung di ketinggian.

Melihat kejadian itu Raga Sontang keluarkan ucapan dengan suara tercekat.

"Aku mohon berkah pengampunan dari para dewa pencinta berbagai keajaiban dunia. Apakah yang saya saksikan saat ini adalah berkah ataukah tujuh bahala. Tujuh telaga mengeluarkan cahayanya masing-masing. Bila ketujuh cahaya menyatu berarti akan banyak manusia yang ditimpa azab mala petaka... Oh! Dewa Agung, Jagad Agung. Janganlah sampai segala yang menjadi kehawatiranku ini menjelma menjadi sebuah kenyataan!"

Rintih Raga Sontang sambil linangkan air mata.

Traat!

"Gleger...!"

Sekali lagi kilat menyambar disertai dentuman petir menggelegar.

Kemudian seolah datang dari tahta langit. Raga Sontang tiba-tiba mendengar ada satu suara berkata.

"Raga Sontang. Tugasmu menjaga cukup sampai disini saja. Muslihatmu yang ingin mengulur waktu memperdaya Iblis Momok Laut Biru menjadi akhir pengabdian suci ini. Pantangan memasuki salah satu telaga telah dilanggar.Telaga tujuh warna membiaskan cahayanya. Bila cahaya itu menyatu seperti yang kau lihat saat ini, artinya tujuh telaga lenyap. Tujuh perbuatan buruk akan dilakukan manusia atas kehendak setan yang selalu menipu dan memperdaya manusia, mulai saat ini hingga dunia ini berakhir sebagian orang akan tersesat jalan hidupnya.Manusia menjadi rusak budi pekerti. Alam tidak lagi bersahabat dengan mahluk-mahluk di dalamnya. Dari segala yang disampaikan ini dalam waktu sekejab orang-orang di rimba persilatan akan saling bunuh. Tidak dapat lagi bisa dibedakan mana manusia waras dan mana yang gila. Adapun menyangkut dirimu. Sebagai hukuman atas kecerobohan yang telah kau lakukan, kau akan dibawa menuju ke suatu tempat terasing. Tempat itu jauh dari kehidupan manusia. Di sana para penghuninya tidak bersahabat. Mereka saling memangsa satu sama lain. Dan kau akan dijaga oleh tujuh ular berbisa yang bisa bicara selayaknya manusia, namun mereka bukan tujuh mahluk penyabar. Mereka sama sekali tidak bersahabat. Kau kekal berada di tempat itu selama-lamanya. Terkecuali pada suatu saat nanti para dewa mempunyai kehendak lain. Tidak tertutup kemungkinan dewa akan mengampuni dan kau dikembalikan ke alam kehidupan manusia."

"Siapa pun yang bicara. Saya mohon maafkan. Saya ingin sebuah pengampunan!"

Kata Raga Sontang dengan suara memelas.
"Keputusan telah berlaku. Tujuh cahaya akan membawamu dari tempat ini. Selamat tinggal Raga Sontang. Semoga tabah dalam menghadapi setiap cobaan."

Suara tanpa ujud itu pun raib.

Raja Gendeng 18 Mutiara Tujuh Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kilat menyambar.

Bersamaan dengan letupan dan ledakan yang terjadi pada tujuh telaga tujuh cahaya warna-warni yang mengapung di ketinggian melesat ke arah Raga Sontang, menyambar tubuh renta orang tua itu yang membuat si kakek tidak sempat menyelamatkan diri.

Ketika tujuh cahaya menyentuhnya, sosok Raga Sontang bergetar hebat lalu melayang di- ketinggian mengikuti melesatnya tujuh cahaya itu.

Raga Sontang menjerit ketakutan.

Baru saja cahaya yang membawa si kakek lenyap tujuh telaga yang menggelegak tiba-tiba meledak hancur disertai dentuman yang membuat sebagian puncak gunung Papandayan musnah menjadi kepingan.

Di balik ledakan dan bertaburnya reruntuhan puing dan batu-batu sebesar kerbau dari telaga berair hitam yang ikut meledak terlempar satu sosok tubuh.

Sosok yang terlempar itu terus menjerit dan meraung kesakitan.

Selanjutnya setelah sempat melayang-layang di bagian lereng gunung akhirnya sosok yang tak lain adalah Iblis Momok Laut Biru jatuh terkapar di sebelah utara kaki gunung.


*******


Mengambil keputusan sekaligus menyelamatkan Mutiara Tujuh Setan, bagi Ki Ageng Sadayana menjadi sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi.

Tidaklah mengherankan sesuai dengan janji dengan pesan yang dia titipkan buat Raga Sontang, kakek berbadan kurus berpakaian serba hitam memakai ikat kepala juga berwarna hitam ini rela meninggalkan murid serta padepokannya yang berada dipantai Pangandaran.

Sejak pagi buta si kakek sudah berangkat.

Dia menggunakan ilmu ajian Sapu Angin.

Ilmu kesaktian yang dapat membuat si kakek dapat berlari secepat topan berhembus.

Menjelang matahari terbenam kakek berambut putih panjang menjela sampai di kawasan kaki gunung yang dituju.

Di satu tempat tak jauh dari aliran sebuah sungai bening, Ki Ageng Sadayana memperlambat lari sambil memperhatikan keadaan di sekitarnya. Tidak terlihat tanda-tanda mencurigakan.

Dia pun yakin perjalanan rahasia yang dilakukannya tak ada yang mengikuti.

Setelah melewati bebatuan yang banyak bersembulan di permukaan sungai, sampailah Ki Ageng Sadayana di seberang sungai, setibanya dibantaran sungai dia menatap ke depan.

Di depan sana ada sebuah jalan setapak yaitu jalan satu-satunya dapat membawa si kakek ke puncak gunung.

Namun baru saja Ki Ageng hendak lanjutkan perjalanan dengan berjalan biasa sekonyong-konyong dia merasakan ada getaran hebat datang dari bagian puncak gunung.

Curiga bercampur rasa khawatir yang membuat si kakek dongakkan kepala menatap ke atas.

Sepasang matanya terbelalak kening berkerut ketika melihat di atas langit matahari yang bersinar terang kini lenyap tenggelam disaput mendung hitam tebal.

Kawasan di puncak gunung gelap gulita sedangkan kabut muncul di mana-mana.

"Mengapa alam tiba-tiba tidak bersahabat? Apa yang terjadi?"

Membatin si kakek di dalam hati.

Ingat dengan orang yang hendak dia kunjungi. Ki Ageng Sadayana semakin bertambah cemas. Tidak ingin sesuatu yang tak diharapkan menimpa orang yang sangat dia percaya orang tua ini segera berlari mendaki lereng gunung itu.

Sambil berlari dia terus berusaha mencari tahu tentang perubahan yang terjadi mengejutkan itu.

"Raga Sontang! Apa yang kau lakukan? Kau pasti telah melakukan pelanggaran. Kau melanggar pantangan dengan masuk ke telaga itu. Oh, betapa cerobohnya dirimu. Bukankah aku sudah berpesan jangan sampai sekali pun kau memberanikan diri memasuki telaga?"

Kata Ki Ageng Sadayana marah.

Dalam kemarahannya dia terus berlari.

Namun baru sampai setengah jalan langkahnya untuk mencapai puncak yang dituju tiba-tiba saja ledakan dahsyat mengguncang bagian puncak gunung.

Terkejut sekaligus terdorong rasa ingin tahu orang tua ini sentakkan kepala menatap ke atas.

Mata orang tua ini terbelalak lebar.

"Dewa agung. Maafmu meliputi segala. Ampuni dosa kesalahan Raga Sontang jika semua yang terjadi ini akibat kekeliruan yang dilakukannya."

Desis Ki Agung Sadayana.

Tidak ada waktu baginya untuk berpikir.

Terlebih ketika melihat bagian puncak gunung yang runtuh hancur luruh bergugusan bertebaran ke segenap penjuru.

Sedangkan sebagian diantara reruntuhan itu siap mengubur dirinya.

Tidak menunggu lebih lama dengan menggunakan ilmu mengentengi tubuh serta kecepatan gerak yang sangat luar biasa. Ki Ageng Sadayana melesat mencari tempat yang aman lalu jejakkan kaki di bagian agak ke hulu seberang sungai.

Suara bergemuruh dan benturan-benturan batu yang bertubrukan di kaki gunung akhirnya mereda.

Kepulan asap dan debu yang semula menutup pandangan mata lenyap.

Ki Ageng Sadayana menatap ke atas.

Terlihat bagian puncak gunung yang sudak tidak utuh lagi. Di saat itulah dia melihat satu sosok bayangan serba biru melayang diketinggian dalam keadaan jungkir balik tak karuan rupa lalu jatuh di atas timbunan reruntuhan batu dan tanah.

"Raga Sontang..apakah mungkin yang kulihat... terlempar jatuh diketinggian itu dia orangnya. Bukankah Raga Sontang biasanya berpakai merah? Tapi mengapa yang kulihat berpakaian warna lain? Mungkin... mungkin saja dia telah menceburkan diri ke telaga warna biru. Warna air di telaga itu tidak hanya bisa merubah warna pakaian tapi juga sanggup merubah warma kulit. Aku harus bertindak cepat, aku harus menolongnya...."

Setelah berkata demikian akhirnya dia bergegas hampiri sosok yang jatuh.

Ketika Ki Ageng Sadayana sampai di depan orang yang jatuh dari ketinggian, dia mendapati sosok itu dalam keadaan terkapar tidak sadarkan diri, Sekujur tubuh melepuh sebagian rambut yang panjang ditumbuhi lumut biru rontok seperti baru dicelupkan dalam air mendidih.

Kedua kaki remuk bahu miring mata terpejam sedangkan dari mulut serta hidungnya berlumuran darah beku. Melihat sosok yang mengalami luka parah itu ternyata bukanlah orang yang sangat dia kenal.

Ki Ageng Sadayana urungkan niat untuk menolong. Sambil memperhatikan si kakek diam-diam berkata.

"Siapapun dia pasti dia bukan Raga Sontang. Aku melihat kulit di sekujur tubuhnya yang melepuh berwarna hitam. Ini berarti dia telah memasuki telaga yang berair hitam. Dia pasti mencari Mutiara Tujuh Setan di dasar telaga. Aku kira kemungkinan besar Raga Sontang telah menipunya. Padahal dia tahu letak penyimpanan benda itu. Aku tidak perduli. Orang ini datang dengan membuat kekacauan. Kalau sekarang dia menemui ajal, itu sebagai imbalan setimpal atas segala perbuatan nekatnya. Satu yang merisaukan hatiku. Aku tidak melihat Raga Sontang. Apa yang terjadi dengannya? Aku harus menemukan orang tua itu sebelum matahari tenggelam. Tapi...!"

"Kemana aku harus mencari kuncen yang satu itu?!"

Si kakek tahu bahwa selama ini sang kuncen belum pernah meninggalkan puncak Papandayan. Sepanjang waktu hampir separuh hidupnya dia habiskan di puncak gunung itu.

"Sebagian puncak gunung hancur rontok menjadi kepingan. Aku tidak yakin Raga Sontang selamat. Mungkin saja dia tewas terjatuh disisi gunung yang lain."

Pikir Ki Ageng Sadayana dalam kebimbangan sambil menghela nafas.

Tiba-tiba saja dia ingat dengan benda keramat yang selama ini selalu dijaga oleh Raga Sontang.

"Benda itu, aku harus mencari sekaligus menyelamatkannya. Aku tidak mau sang pemilik benda datang menagih dan menjadi murka saat mengetahui benda yang menjadi titipan tidak ada lagi di tangan penjaganya."

Setelah berkata demikian Ki Ageng Sadayana balikkan badan dan melangkah tinggalkan tempat itu. Dan untuk memastikan apakah Raga Sontang benar-benar mengalami sesuatu yang tidak diinginkan, si kakek pun akhirnya menyisir keliling kaki gunung dan lembah, Tapi hingga matahari terbenam dan hari berganti malam. Ki Ageng ternyata tidak menemukan orang yang dicari.

"Mungkinkah dia tewas tertimbun reruntuhan. Wahai para dewa, aku yang bodoh dan lemah ini mohon petunjukmu."

Berkata si kakek di dalam hati sambil tetap berdiri tegak. orang tua ini pejamkan mata.

Dalam hati dia terus memanjatkan doa mohon petunjuk.

Sampai akhirnya si kakek buka kedua matanya kembali.

Lalu dengan perlahan dia dongakkan kepala menatap ke langit.

Ki Ageng Sadayana melihat langit bertabur bintang gemintang.

Dan diantara taburan bintang yang berkelip indah terlihat ada satu cahaya putih kebiruan bergerak ke bawah tepat dimana si kakek berada.

Ki Ageng Sadayana terkejut namun dia tidak bergeser dari tempatnya berdiri.

Sampai akhirnya cahaya putih bertepi biru yang seolah jatuh dari langit berhenti bergerak dan mengambang di ketinggian.

Melihat cahaya itu Ki Ageng Sadayana segera menyadari ada utusan yang datang.

Orang tua ini segera rangkapkan dua tangan di depan dada.

Sambil tundukkan kepala dalam-dalam dia berkata.

"Salam sejahtera buat para dewa juga semua mahluk putih yang turun dari kayangan. Saya Ki Ageng Sadayana menghaturkan maaf bila kejadian di Papandayan menimbulkan keresahan di kayangan."

"Sejahtera pula untukmu dan untuk setiap mahluk yang ada di dunia,"

Kata satu suara dari balik cahaya.

"Anak manusia terlahir dengan nama Ageng Pasopati atau juga dikenal dengan Ageng Sadayana atau Besar Segalanya. Ketahuilah... kau tidak perlu berlama-lama membuang waktu percuma di kaki gunung."

"Maafkan saya. Para dewa di kayangan pasti tahu apa yang saya cari."

Ujar si kakek sambil turunkan ke dua tangan. Lalu dia menatap ke atas memandang ke arah cahaya diketinggian sambil lanjutkan ucapan.

"Saya ingin memastikan bagai mana nasib Raga Sontang. Saya merasa khawatir sesuatu yang tidak dinginkan terjadi padanya."

"Mengenai keselamatan kakek itu tak perlu kau risaukan. Saat ini dia telah dibawa kesuatu tempat yang sangat jauh dari sini. Dia harus mengalami hukuman akibat kelalaiannya."

Jawab suara dari balik cahaya putih bertepi biru.

Ki Ageng Sadayana diam-diam terperanjat.

Sepasang alis yang ditumbuhi misal putih menjulai panjang berkerut.

Tidak sabar diapun ajukan pertanyaan.

"Kesalahan apa yang telah dilakukannya? Yang saya tahu dia adalah orang yang patuh dalam menjalankan amanat."

"Kau tidak perlu mengatakan tentang kepatuhan. Dalam keadaan tertentu ada kalanya manusia mengambil keputusan yang keliru. Dia telah mengizinkan Iblis Momok Laut Biru masuk dan mencebur diri ke dalam telaga hitam. Itu adalah sebuah pantangan besar yang dia langgar. Kesalahan itu yang membuatnya terbuang di tempat pengasingan."

"Dia melakukan semua itu pasti ada alasannya. Dia tidak ingin Iblis momok mengetahui juga menemukan Mutiara Tujuh Setan."

Terang Si kakek

"Tapi tidak seharusnya dia menganjurkan penguasa di lautan itu masuk ke dalam telaga karena bila pantangan dilanggar puncak gunung pasti meledak jadi kepingan. Di samping itu Mutiara Tujuh Setan sebenarnya telah dia titipkan pada seseorang yang sangat dipercaya.Mulai saat ini kau harus mencari dan menemukan orang yang dipercaya oleh Raga Sontang untuk membawa benda itu menuju ke satu tempat di gunung Wilis."

"Aku tidak tahu bagaimana ciri-ciri orang kepercayaan Raga Sontang itu. Harap saya diberi petunjuk,"

Pinta Ki Ageng Sadayana.

"Aku tidak dapat menjelaskan ciri-cirinya. Yang jelas dia mempunyai senjata hebat.Senjata itu berupa seruling, Maka...
aku hanya bisa beri petunjuk sebelum kau berangkat menuju ke gunung Wilis singgahlah ke sebuah dusun Bambu. Di desa itu tempat berkumpulnya orang-orang berkepandaian tinggi. Tanyakan pada mereka tentang orang yang kumaksudkan. Pasti bakal menemukan orang yang aku maksudkan."

Terang suara dari balik cahaya.

Raja Gendeng 18 Mutiara Tujuh Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah. Kalau sudah begitu saya hanya bisa mengucapkan terima atas semua petunjuk yang diberikan. Wahai suara putih, penyampai kebenaran dan kemuliaan. Saya mohon diri."

"Kuucapkan selamat jalan padamu. Semoga keselamatan selalu menyertaimu!"

Ki Ageng Sadayana anggukkan kepala.

Setelah menjura dalam dia bungkukkan badan.

Tinju kanan sekonyong-konyong dia hentakkan ke tanah.

Dees!

Seketika itu juga sosok Ki Ageng Sadayana lenyap hilang dari pandangan.

Setelah si kakek tidak berada lagi di tempat itu.

Cahaya putih kebiruan berada di atas ketinggian segera melesat ke atas kembali ke langit dan menghilang diantara ribuan bintang.

Sementara sepeninggalnya Ki Ageng Sadayana.

Iblis Momok Laut Biru yang sekujur tubuhnya dipenuhi luka-luka mengerikan akibat terjatuh dari bagian puncak gunung ternyata tidak menemui ajal sebagaimana yang disangka oleh Ki Ageng Sadayana.

Hanya beberapa saat setelah orang tua itu berlalu.

Iblis Momok Laut Biru yang semula diam tidak bergerak tiba-tiba saja menggeram.

Seiring dengan terdengarnya suara mengorok dan dengus dari mulutnya, jemari tangan Iblis Momok Laut Biru bergerak-gerak. Si kakek pun lalu membuka matanya.

Dengan tatapan nyalang dia berusaha memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

"Hmm,ternyata aku telah berada di kaki gunung. Terbaring diatas reruntuhan bebatuan. Uakh... sungguh keparat. Kemana perginya tua bangka bernama Raga Sontang itu? Dia telah menipu ku. Tidak tahunya begitu ceburkan diri aku merasa seperti masuk ke dalam kawah mendidih. Aku tidak akan membiarkan penghinaan ini. Mutiara Tujuh Setan belum kudapatkan. Dan kini aku tidak yakin benda itu tersimpan di salah satu dari tujuh telaga." geram Iblis Momok Laut Biru.

Dengan mata menerawang dia terus berpikir. Terlintas dalam ingatannya tiba-tiba saja telaga bergolak hebat lalu meledak hancur menjadi kepingan.

Si kakek dongakkan kepala. Tapi kegelapan yang menghampar di kawasan gunung membuatnya tidak dapat memastikan apakah semua telaga di puncak gunung ikut meledak

"Bila semua telaga meledak, pasti Mutiara Tujuh Setan tidak berada di tujuh telaga itu. Seseorang kemungkinan menyembunyikannya di tempat lain. Tapi siapa?!"

Tidak menyadari keadaan tubuhnya yang mengalami cidera. Orang tua itu tiba-tiba berusaha bangkit. Tapi rasa sakit yang mendera dikedua kaki juga bahu bahu kirinya membuatnya menjerit meraung kesakitan.

"Kurang ajar! Ternyata kedua kakiku patah, bahuku miring dan pasti ada tulang yang hancur. Hmm, aku harus memulihkan tubuhku dulu."

Setelah berkata begitu dalam keadaan rebah menelentang Iblis Momok Laut Biru segera membaca mantra- mantra saktinya.

Selesai membaca mantra sakti yang dikenal dengan ilmu Hantu Pemulih Segala, tiba-tiba saja dari dalam tanah tempat di mana Iblis Momok Laut Biru terkapar mencuat keluar cahaya redup berbentuk lidah berwarna kemerahan menebar bau busuk luar biasa.

Cahaya merah selebar telapak tangan itu kemudian menyebar ke bagian kedua kaki si kakek dan juga bahu kirinya disertai suara berkeretekan bersambungnya tulang-belulang.

"Arkhh... suakiit..!"

Iblis Momok Laut Biru menjerit setinggi langit.

Tapi teriakannya yang keras menyayat tidak berlangsung lama.

Setelah semua tulang-tulang yang hancur pada setiap bagian yang terluka bersambung kembali pulih sebagaimana semula suara jeritannya lenyap pula.

Bersamaan dengan kesembuhan yang dialami orang tua itu, cahaya merah panjang berbentuk lidah lenyap kembali mengamblaskan diri ke dalam tanah.

Iblis Momok Laut Biru menyeringai.

Dia pun segera duduk.

Setelah memeriksa bekas luka dikedua lutut hingga ke telapak kaki, si kakek menggerakkan bahu kirinya beberapa kali.

"IImu hebat. Tanpa ilmu Hantu Pemulih Segala, aku pasti bakal menderita cacat cidera seumur hidup."

Kata si kakek pada dirinya sendiri.

Merasa puas dengan kehebatan ilmu yang dimilikinya dia pun segera bangkit berdiri.

Kemudian tanpa menunggu lebih lama lagi, Iblis Momok Laut Biru melesat tinggalkan tempat itu.


******

Kitab batu bersurat bertuliskan hurup Palawa.

Di dalamnya pada baris ketujuh halaman sembilan terdapat ujar-ujar berbunyi:

Kebaikan dan Berkah dilimpahkan Para dewa bersama dengan kebaikan yang dilakukan penghuni dunia.

Dalam kegelapan 7 sekutu setan putih pernah menyelamatkan sebuah benda mustika kebaikan dari singgasana abadi kegelapan yang sedang menuju kehancuran.

Tujuh setan putih berusaha menyelamatkan Mutiara itu dengan membawanya ke tanah Dwipa.

Perjalanan tujuh setan tidak berlangsung mulus.Mereka dikejar, diburu dan dihadang oleh bala pasukan dan musuh penghancur.

Empat setan penyelamat Mutiara terbunuh. Tiga lainnya hanyalah setan-setan lugu berhati penuh kejujuran.

Di dalam kehidupan para setan sepanjang langit dan bumi berkembang hanya tujuh setan yang berhati lurus baik budi dan berjiwa luhur.

Tiga setan yang tersisa itu tiga mahluk yang dianggap paling baik. Selanjutnya tiga setan yang selamat membawa mutiara kramat ke tempat satu-satunya paling aman.

Di puncak Papandayan Mutiara 7 Setan disemayamkan, dijaga dan dilindungi.

Bila mutiara tidak berada lagi di puncak Papandayan. Maka kejahatan yang disebabkan oleh mutiara itu akan melanda kehidupan manusia.

Lenyapnya mutiara dari tempat penyimpanan juga menjadi penyebab bangkitnya satu mahluk paling jahat dari belenggu rantai bumi.

Bangkitnya mahluk yang satu ini kelak bakal membuat kekacauan di mana-mana.

Dewa selalu memberi perlindungan dan petunjuk penting buat insan suci berhati putih.

Kejahatan harus dihadapi dengan kebenaran.

Muslihat boleh disiasat dengan akal.

Sihir bisa ditangkal dengan yang gaib. Sedangkan kegilaan harus dihadapi juga dengan cara-cara yang gila.

Lalu siapa yang sanggup melakukannya.

Ujar-ujar berakhir sampai disitu.

Sungguh isi kitab batu itu sangat sederhana namun sangat penting artinya bagi seorang pertapa bermama Lisang Geni.

Selama puluhan tahun kakek berkepala botak sulah berpakaian kuning mendiami gua Tapa Insan tempat dimana batu bersurat tersimpan.

Selama itu pula tidak ada kejadian penting yang dialaminya. Tetapi malam itu ketika gerimis mengguyur kawasan sepanjang kali Serayu, kakek berjanggut putih yang tengah melakukan semedi ini sekonyong konyong dikejutkan oleh terdengarnya suara gemeretak seperti benda keras terbakar. Terdengarnya suara itu disusul menebarnya bau tulang belulang terbakar.

Merasa terusik, si kakek membuka kedua matanya.

Mula-mula dia melihat pelita kecil yang menyala disudut ruangan gua.

Tapi ketika Lisang Geni menatap ke arah suara gemeretak dan tebaran hawa menyengat, orang tua ini terlonjak kaget melihat kitab batu bertulis terbakar.

"Dewa agung jagad agung,"

Desisnya.

Dia segera bangkit lalu melompat hampiri kitab yang tergeletak di atas batu bundar.

Niatnya ingin mengambil kitab tersebut.

Namun baru saja tangannya terjulur hendak meraih kitab tiba-tiba saja ada satu kekuatan besar tidak terlihat menghantam sekaligus mendorong tubuhnya.

Sadar ada sesuatu kekuatan yang merintangi Lisang Geni kerahkan tenaga dalam dan segera dia alirkan ke kedua tangannya.

Namun semakin keras usahanya meraih kitab itu justru dorongan yang dia rasakan makin berlipat ganda!

"Wuargkh..."

Sang pertapa keluarkan pekikan panjang.

Tubuhnya terlempar ke belakang sedangkan punggungnya membentur dinding gua yang terdapat di sebelah belakang.

Secepat kilat dia berusaha bangkit.

Baru saja si kakek dapat berdiri dia melihat kobaran api yang membakar kitab batu bertulis makin membesar

Dhes!

Dhess!

Kitab meledak hancur jadi kepingan, Lisang Geni hanya bisa tercengang belalakkan mata.

Tanpa sadar mulutnya berucap.

"Tidak dapat dibantah. Aku bisa memastikan Mutiara Tujuh Setan sekarang ini sudah tidak berada lagi di puncak Papandayan. Seseorang telah membawanya pergi tapi siapa, apa tujuannya?"

Batin si kakek dengan rasa heran dan juga rasa khawatir.

Belum sempat Lisang Geni beranjak dari tempatnya berdiri. Tiba-tiba terdengar suara seruan dan teriakan yang datang dari luar gua.

"Kakek... guru. Apa kau mendengar? Jangan bertapa terus nanti bisa pikun. Keluarlah kemari aku butuh bantuanmu. Kita kedatangan tamu. Tamunya tidak diundang tapi beringas sekali!"

"Yang berteriak itu bukankah muridku Nilam Suri! Apa lagi yang dilakukan gadis itu? Hhh, ada apa yah," gerutu Lisang Geni.

Walau mulut berucap demikian namun si kakek tidak mau membuang-buang waktu.
Tanpa menunggu lama setelah melihat kitab yang hancur terbakar mustahil dapat diselamatkan. Lisang Geni segera berkelebat keluar gua. Sesampainya di depan halaman mulut gua yang teduh menghijau dia hentikan langkah. Sepasang mata dipentang menatap ke arah depan.

Kening Lisang Geni berkerut ketika melihat gadis berpakaian putih berambut panjang tergerai yang tak lain adalah muridnya sedang terlibat perkelahian sengit dengan satu sosok laki-laki berpakaian hitam berwajah hitam angker.

Saat itu sang murid yang bersenjata tombak bergerigi berhulu hitam tengah berusaha keras mendesak lawannya.

Dengan menggunakan jurus-jurus Awan Menutup Rembulan kedua tangan sang dara bergerak menyapu ke delapan penjuruh arah, Sementara kaki kanan menghantam melakukan serbuan ke bagian tubuh lawan sebelah kanan.

Dua tangan menyapu ke bagian wajah dan dada lawan. Serangan yang dilakukan Nilam Suri ini sebenarnya berlangsung cepat dan ganas.

Bahkan tombak bergerigi dalam genggaman tangan gadis itu berhasil membuat sobek baju lawan di bagian dada. Sayangnya sejauh itu Nilam Suri belum dapat merobohkan lawannya.

Malah ketika orang berpakaian hitam melakukan serangan balik gadis ini nampak mulai terdesak
Raja Gendeng 18 Mutiara Tujuh Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Guru! Mengapa kau hanya berdiri diam berpangku tangan? Lihatlah orang ini hendak membunuhku."

Seru Nilam Suri dengan wajah tegang namun cemberut.

"Telah kuwariskan ilmu serta jurus kesaktian yang pantas untukmu. Kalau kau tidak bisa mengatasi orang itu mengapa tidak angkat kaki saja dari situ,"

Sahut Lisang Geni diring gelak tawa terkekeh

"Guru terlalu memandang rendah diriku, Semua laki-laki juga bersikap sepertimu menganggap remeh perempuan.Baiklah, nampaknya aku harus membunuh semua laki-laki yang ada di dunia ini termasuk juga orang jelek satu Ini."

"Aku juga laki-laki. Apakah kau berniat menghabisiku juga? Ha ha ha!" kata si kakek sambil mengumbar tawa untuk yang kedua kalinya.

Nilam Suri tidak menjawab. Dia malah katubkan biibirnya. Lalu dengan tangan kiri dia cabut pedang pendek yang tersellp di pinggangnya.

Kemudian dengan menggunakan tombak di tangan kanan dan pedeng di tangan kiri Nilam Suri merangsak maju.

Melihat lawan menggunakan dua senjata sekaligus lakd-laki berpakaian hitam ganda tertawa. Sambil menghindar dari tebasan pedang dan tusukan tombak, laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun ini berkata.

"Bagus. Aku senang menghadapi perempuan liar dan galak. Bila kau masih punya senjata yang lain lebih baik pergunakan sekarang juga."

Sambil berkata demikian orang berpakaian hitam melompat kebelakang.

Tubuh dimiringkan ke kiri sedemikian rupa sehingga babatan pedang dan tusukan tombak yang seharusnya mengenai jantung malah membabat rambut laki-laki ini.

Sedangkan babatan pedang yang mengarah kebagian perut hanya mengenai bahu pakaian.

Bret!

"Ah hebat sekali.Hampir saja bahuku kau buat putus. Tapi sekarang terimalah ganjaran yang setimpal dariku."

Kata laki-laki itu.

Dengan gerakan terhuyung tiba-tiba saja orang berpakaian hitam ini memutar tubuh.

Bersamaan dengan itu kakinya berkelebat melakukan serangan ke arah Nilam Suri. Melihat serangan berlangsung secepat itu Nilam Suri segera menyambutnya dengan kibaskan pedang di tangan kiri.

Namun gerakan sang dara ternyata kalah cepat dengan gerakan kaki lawan nya.

Wuus!

Desss!

Satu tendangan keras berhasil menembus pertahanan Nilam Suri membuat gadis itu jatuh terpelanting.

Tombak di tangan terlepas sedangkan pedang di tangan kiri bergetar hebat.

Gadis itu meringis kesakitan.

Dia berusaha bangkit, namun perutnya yang kena ditendang lawan terasa mual seolah remuk di bagian dalam.

Dalam keadaan mengalami cidera dibagian dalam. Lawannya segera mempergunakan kesempatan ini untuk menghabisinya.

"Sekarang terimalah ajalmu!"

Teriak laki-laki berpakaian hitam.

Secepat kilat menyambar dia melompat ke arah Nilam Suri.

Melihat ini tanpa memperdulikan sakit yang di deritanya, Nilam Suri segera sambar tombak dan langsung babatkan senjata itu ke depan sambuti datangnya serangan. Tapi gerakan lawan sekonyong-konyong jadi tertahan ketika Lisang Geni dari arah samping hantamkan dua pukulan ganas, mengandung tenaga sakti ke bagian rusuk laki-laki itu.

Tidak ingin celaka, dia segera jatuhkan diri ke tanah lalu bergulingan selamatkan diri.

Deru angin dan kilatan cahaya hitam kemerahan menyambar sejengkal diatas tubuhnya.

Hawa panas menghampar dan suara dentuman menggelegar mengguncang kawasan di sekitar halaman gua.

Semak belukar hancur berguguran dikobari api. Laki-laki berpakaian hitam segera bangkit, namun belum sempat dirinya berdiri tegak. Lisang Geni kibaskan lima jemari tangannya ke arah orang itu.

Dari kelima ujung jemari itu terdengar suara berdesir disusul dengan mencuatnya lima kuku hitam panjang.

Lima kuku jari laksana lima mata pisau mengancam siap menghunjam ditenggorokan laki- laki itu.

"Siapa kau? Apakah sudah bosan hidup dengan membuat kekacawan di tempat ini?"

Tanya Lisang Geni dengan sikap mengancam.

"Orang tua. Namaku Sora Magandala. Aku datang dari kawasan Dieng. Kedatanganku ke tempat ini adalah untuk mencari tahu apakah kau masih menyimpan Kitab Batu Bertulis?"

"Orang jelek berkulit hitam. Jika kedatanganmu hanya ingin menanyakan tentang kitab mengapa kau menyerang muridku?"

Hardik Lisang Geni sambil delikkan matanya.

Melihat pemilik tempat unjukkan wajah tak senang, Sora Magandala dari Dieng terlihat gelisah.

Buru-buru dia melirik ke arah Nilam Suri. Merasa diperhatikan si gadis yang telah bangkit berdiri cepat palingkan wajah ke arah lain.

"Dia pasti mengatakan aku yang menyerangnya terlebih dulu,"

Dengus Nilam Suri

"Benarkah begitu?"

Tanya Lisang Geni sambil menatap ke arah Sora Magandala dan muridnya silih berganti.

Belum sempat orang tua ini menjawab, Nilam Suri buru-buru menjawab.

"Memang seperti itu guru. Aku curiga melihat kedatangannya. Dia mengendap endap seperti pencuri. Dia bahkan sempat mendekam di balik pondok ketiduranku. Bagusnya aku tidak sedang telanjang. Hik hik hik!"

"Murid bengal. Aku sudah bosan menyuruhmu selalu berpakaian lengkap di malam hari. Tapi kau tidak pernah mengindahkannya. Bagaimana jadinya jika ada laki-laki jahat menyelinap ke dalam pondokmu?"

Kata Lisang Geni sambil geleng-geleng.

"Laki-laki mana yang berani melakukannya? Jika ada yang berlaku nekat pasti kubuat buntung pusaka keramatnya. Terkecuali laki-laki itu muda gagah dan tampan. Kalau yang seperti itu aku mana berani menolak. Hik... hik"

Sahut Nilam Suri sambil tertawa tertahan.

"Murid gila. Jaga perangaimu."

Hardik Lisang Geni dengan wajah tegang berusaha sembunyikan kemarahannya. Sementara melihat murid dan guru bersitegang.

Sora Magandala terbatuk-batuk beberapa kali.

Entah sungguhan atau hanya batuk dibuat- buat. Yang jelas setelah Lisang Geni kembali menatap ke arahnya, Sora Magandala segera membuka mulut.

"Orang tua waktuku untuk berada di sini tidaklah lama. Mohon jelaskan padaku apakah benar kitab batu bertulis masih ada padamu?"

"Sora Magandala. Untuk menjawab pertanyaanmu itu bukanlah perkara sulit. Tapi aku ingin tahu apa hubunganmu dengan kitab itu?"

Tanya Lisang Geni disertai tatapan mata curiga.

Tidak mau berlama-lama Sora Magandala segera menjawab,

"Aku adalah penjaga tempat penahanan mahluk langit bernama Bethala Karma. Mengingat dirimu orang yang mengetahui isi kitab batu bertulis, pasti kau tahu siapa orangnya yang aku maksudkan."

"Bethala Karma mahluk sakti paling celaka yang tidak mengenal kata mati. Hidup dipendam dalam kerangkeng Delapan Paku Bumi. Dia tak lain adalah pembunuh empat setan dari tujuh setan penyelamat Mutiara kramat. Ternyata kau datang dari Dieng?"

Kata Lisang Geni terkejut.

"Aku telah menjelaskan."

Sahut Sora Magandala.

"Aku telah merasakan tanda-tanda bahaya Bethala Karma mungkin telah meloloskan diri dari ruang penahanan di gunung Dieng. Bagaimana kau bisa berkata begitu?"

Tanya Nilam Suri yang telah mengetahui tentang orang yang sedang dibicarakan gurunya.

Sora Magandala terdiam. Diam-diam dia menatap ke arah si gadis. Dengan mengurai senyum sang dara.

"Tanah di sekitar tempat hari terakhir selalu dilanda gempa. Burung-burung yang menetap di sekitar tempat itu berpindah tempat. Pepohonan kering layu. Orang-orang menjadi bisu dan tuli. Sedangkan bayi-bayi dalam kandungan berguguran dan ada pula yang lahir sebelum waktunya,"

Jelas laki-laki tua itu.

"Kalau memang demikian keadaannya tidak ada yang bisa dipungkiri lagi mahluk laknat pemburu Mutiara keramat itu memang telah terlepas dari penjara tempat dimana dia dipantek selama puluhan tahun."

Kata Lisang Geni cemas.

"Mengapa guru berkata seperti itu?"

Potong Nilam Suri dengan tercengang tak percaya.

Merasa diperhatikan oleh murid dan tamunya. Lisang Geni pun tanpa ragu segera menjelaskan apa yang terjadi pada kitab batu bertulis.

Setelah mendengar penjelasan si kakek, baik Sora Magandala maupun Nilam Suri menjadi tercekat. Seperti tidak percaya Sora Magandala akhirnya membuka mulut

"Jadi kitab itu telah mengalami kehancuran. Apakah ini berarti segala kebaikan akan lenyap lalu berganti dengan kejahatan? Empat setan putih telah binasa. Yang tertinggal hanya tiga setan jenaka.Mereka tidak akan bisa menghentikan Bethala Karma. Cepat atau lambat mahluk itu pasti bakal mendapatkan Mutiara kramat,"

Kata Sora Magandala gelisah.

"Kita harus melakukan sesuatu guru,"

Kata Nilam Suri berusaha bersikap tenang.

"Kita memang harus membantu tiga setan putih menyelamatkan mutiara yang sangat berharga itu. Tapi ada perkara yang harus kita sadari."

Tegas si kakek

"Perkara? Perkara apakah?"

Tanya Nilam Suri sambil memandang dengan tatapan tidak mengerti

"Andai saja ada yang dapat kau jelaskan padaku, orang tua?!"

Ujar Magandala.

"Kurasa tidak ada lagi yang perlu kuterangkan karena kau sudah tahu apa yang akan terjadi. Kitab batu bertulis telah terbakar. Kitab itu berhubungan erat dengan mutiara kramat dan juga mahluk tawanan di kaki gunung Dieng. Mutiara Kramat kini telah berpindah tempat, benda itu telah dibawa oleh seseorang turun gunung,"

"Seandainya semua dugaanmu itu memang benar, berarti Ki Ageng Sadayana dari Pangandaraan yang selama ini ketitipan benda dan dipercaya menjaga benda itu harus bertanggung jawab."

"Kau benar, namun kita tidak bisa melimpahkan semua tanggung jawab pada Ki Ageng Sadayana, karena ada seorang penjaga mutiara yang puluhan tahun dipercaya untuk mengawasi mutiara itu."

Raja Gendeng 18 Mutiara Tujuh Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa orang yang guru maksudkan itu?"

Tanya Nilam Suri

"Orang yang kumaksudkan tak lain adalah seorang kakek bernama Raga Sontang. Hanya dia satu-satunya orang yang mengetahui dengan pasti kemana mutiara dibawa pergi dan siapa pula yang membawanya."

Terang si kakek. Sora Magandala terdiam. Sedangkan Nilam Suri garuk-garuk kepala.

Setelah sempat berpikir lama gadis itu akhirnya berucap.

"Apa yang terjadi di puncak Papandayan tidak seorangpun diantara kita yang mengetahuinya."

Setelah berkata begitu Nilam Suri lalu menatap Sora Magandala.

"Bagaimana keadaan terakhir di Dieng sebelum kakek meninggalkan tempat itu?"

"Sepertinya beberapa hari terakhir ada kejadian ganjil melanda kawasan Dieng. Jauh sebelum Tiga Setan Putih membelenggu dan menjebloskan Bethala Karma dalam ruang pemasungan, mereka sempat menjelaskan padaku tentang segala kemungkinan mahluk itu dapat meloloskan diri dan kembali mencari mutiara kramat. Mereka menjelaskan tanda-t?nda kebebasannya. Semua tanda-tanda yang terjadi saat ini ciri-cirinya sama benar dengan apa yang mereka terangkan padaku. Berdasarkan semua itu maka aku datang kesini. Ternyata diluar dugaan kitab batu bertulis juga mengalami kehancuran,"

Ujar Sora Magandala sambil memandang ke arah murid dan guru dengan tatapan resah.

"Apa yang akan kita lakukan guru?"

Tanya Nilam Suri

"Menurutku karena semua tanda-tanda mengarah pada lenyapnya mutiara dari puncak gunung Papandayan, alangkah baiknya kita berbagi tugas."

"Sora Magandala sebaiknya pergi ke Gerobokan menemui Tiga Setan Putih, sedang aku dan muridku berusaha mencari dimana keberadaan Mutiara Kramat"

"Bagaimana kakek berkulit hitam, apakah kau setuju dengan usul guruku?"

Tanya Nilam Suri ketika melihat Sora Magandala hanya diam tertegun.

Si kakek kemudian tersenyum.

"Baiklah. Apa yang dikatakan oleh gurumu menjadi sebuah keputusan yang terbaik. Dan rasanya aku tidak mungkin bisa berlama-lama lagi berada di tempat ini."

Sahut Sora Magandala. Kemudian setelah menjura pada Lisang Geni. Si orang tua segera balikkan badan tinggalkan tempat itu.

Sepeninggainya Sora Magandala, Nilam Suri menatap gurunya lalu bertanya.

"Apakah kita hendak pergi malam-malam begini?"

"Tentu! Memangnya kenapa? Kita tidak bisa menunda sampai besok. Sekarang sebaiknya kau berkemas siapkan bekal untuk keperluan dalam perjalanan."

"Ah guru. Seharusnya guru saja yang pergi. Aku tidak mau terlibat segala urusan gila itu,"

Kata Nilam Suri bersungut-sungut.

"Selama gurumu ini jalan pikiran dan tindak tanduknya masih lempang sebagai murid kau tidak pantas membantah keputusanku."

"Siapa yang membantah. Aku cuma hendak mengatakan tidak suka bepergian di malam hari. Aku kan manusia bukan kalong. Hik hik hik!"

Ucap sang dara sambil melangkah gontai tinggalkan gurunya. Lisang Geni hanya bisa gelengkan kepala melihat kelakuan muridnya yang sering membuatnya kesal.

****

Seperti hantu yang berlari dikegelapan malam buta, dua sosok bayangan berlari memasuki sebuah dusun bambu di sebelah timur Gerobokan.

Disatu tempat sosok yang berada paling depan yang bertubuh paling pendek berpakaian hijau dan menutupi sebagian wajahnya dengan caping lebar hentikan langkah.

Melihat orang yang di depan hentikan larinya, sosok yang mengikuti tak jauh di belakangnya ikut berhenti.

"Mengapa berhenti? Dusun bambu masih jauh di depan. Kita baru sampai di hutan bambunya saja, adikku!"

Kata laki-laki berpakaian kelabu bertopi caping juga bertubuh pendek.

"Kakangku!"

Menyahuti perempuan yang dipanggil adik.

"Kita tidak harus menginap atau bermalam di dusun yang banyak bambunya itu. Orang dengan keadaan seperti kita mana mungkin bisa menumpang tidur dipenginapan atau masuk ke kedai makanan membaur dengan orang-orang biasa. Kita ini tidak sempurna.
Lihat tubuh kita ini.
Sudah pendek seperti kodok, berbulu seperti monyet berbuntut lagi."

"Kau benar adikku. Kita tidak mirip monyet, juga tidak mirip seperti manusia. Aku seharusnya tidak punya buntut. Biasanya yang punya buntutkan laki- laki ya kakang?!"

Kata sang adik lalu tertawa mengikik

"Ya. Laki-laki buntutnya didepan. Monyet buntutnya selalu dibelakang. He he he."

"Ah kakang! kita sedang dalam kesulitan, kakang masih sempatnya bercanda,"

Kata sang adik risau

"Aku tahu. Sejak kita meninggalkan puncak Papandayan dan menjalankan amanat yang diberikan oleh kakek Raga Sontang, rasanya kita jadi tidak dapat berkeliaran dengan leluasa. Setiap saat bahaya besar bisa saja datang menghadang.
Dan menurutku kita tidak harus singgah di dusun Bambu"

"Mengapa kau berkata begitu kakang Durgandala?"

Tanya perempuan bertubuh pendek menyebut nama sang kakak.

"Aku tidak yakin orang yang kita cari ada di Dusun Bambu. Yang kudengar orang yang harus kita temui itu berada disuatu tempat di kawasan Gerobokan. Mereka tengah melakukan tapa brata dan tapa itu telah berlangsung selama puluhan tahun."

"Tapi perutku lapar sekali. Sejak Meninggalkan puncak Papandayan kita belum pernah beristirahat sedikitpun"

"Durganini, ingat. Apapun yang terjadi kita harus menyampaikan amanat yang dibebankan pada kita pada yang berhak atas benda itu. Kau tahu apa jadinya bila benda titipan itu sampai jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab?"

Kata Durgandala.

Sang adik yang bernama Durganini langsung terdiam begitu mendengar ucapan Durgandala.

Dalam diam dia berpikir.

Apa yang dikhawatirkan Durgandala rasanya sangat beralasan.

Apalagi dia sudah tahu sejak benda keramat dibawa dari puncak Papandayan.

Keselamatan benda bertuah itu tidak ada lagi yang menjamin.

Sebaliknya bila Mutiara kramat tetap dipertahankan keberadaannya di puncak gunung.

Sebagaimana yang dikatakan Raga Sontang cepat atau lambat akan bermunculan tamu-tamu tak diundang yang berniat mengambil atau merampas mutiara langka itu.

"Aku lebih percaya pada kalian berdua dibanding seribu manusia yang pernah kukenal. Mutiara Tujuh Setan harus segera dikembalikan pada orang orang yang dulu bersusah payah menyelamatkannya dari Istana Kuno. Kalian tidak perlu takut apalagi sampai merisaukan keselamatanku. Pergilah kalian ke dusun Bambu. Sesampainya di sana temuilah seorang laki-laki setengah baya tidak bernama. Dia biasa disebut sebagai Seruling Halilintar. Hanya laki-laki itu yang bisa membantu kalian sampai ke tempat pertapaan Tiga Setan putih. Tapi bila di dusun bambu kalian tidak bertemu dengan Seruling Halilintar, sebaiknya kalian segera menuju ke timur. Sesampainya di Gerobokan carilah sebuah patung. Patung itu berupa seekor monyet putih. Tangan patung melambai ke atas seakan hendak menggapai langit. Kalian juga harus melihat kemana arah tangan lainnya patung itu menunjuk, kesitulah kalian harus pergi, Apakah kalian mengerti apa yang kukatakan ini?"

Kata Raga Sontang beberapa saat sebelum menyerahkan Mutiara Tujuh Setan pada salah seorang diantara mereka.

"Kami mengerti. Aku selalu berdoa untuk keselamatanmu, Raga Sontang sahabatku,"

Kata Durganini waktu itu.

Dan lamunan perempuan muda bertubuh pendek dengan sekujur tubuh ditumbuhi bulu dan Juga ekor itu buyar seketika begitu Durgandala menggamit bahunya.

"Jangan melamun? Apa yang kau pikirkan? Kuharap kau tidak salah mengerti tentang tujuan dari semua ucapanku,"

Kata Durgandala.

Durganini tersenyum sambil gelengkan kepala.

"Malam belum terlalu larut. Entah mengapa tiba-tiba saja aku teringat dengan sahabat Raga Sontang. Firasatku mengatakan sesuatu telah terjadi atas dirinya,"

"Kau jangan merisaukannya. Bukankah dia telah berpesan agar kita tidak perlu memikirkan nasibnya. Kita harus secepatnya sampai ke tempat tujuan. Patung tanda sebaiknya bisa kita temukan sebelum malam berganti pagi."

"Apakah kakang lupa. Sahabat Raga Sontang telah berpesan agar kita menemui seorang laki-laki setengah baya di dusun Bambu. Hanya laki-laki itu yang dapat mengantar kita ke tempat tujuan dengan aman,"

Berucap Durganini seakan mengingatkan

"Kau benar. Aku tidak mungkin lupa dengan pesannya. Namun apakah dusun Bambu adalah tempat yang aman untuk kita kunjungi?"

Tanya Durgandala ragu-ragu.

"Mengenai aman tidaknya aku mana tahu kakang. Tapi menjalankan pesan yang diamanatkan orang sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk melakukannya."

Durgandala terdiam. Rupanya laki-laki muda ini masih juga diliputi keraguan.

"Ayolah. Kau seorang laki-laki. Orang sepertimu tak perlu ragu dalam mengambil keputusan,"

Karena terus didesak oleh adiknya Durgandala merasa tidak punya pilihan.

"Baiklah, karena kau mendesak aku penuhi permintaanmu ini. Tapi ingat kita harus selalu waspada terthadap setiap kemungkinan yang tidak terduga."

"Jangan takut. Aku telah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk. Mari kita masuk dusun itu" jawab Durganini dengan perasaan lega.
Dia merasa senang karena membayangkan sebentar lagi mereka dapat melepas lelah sambil mencari makanan lezat yang mungkin banyak tersedia pada tiap kedai di dusun itu.

Kedua bersaudara berujud dan berpenampilan aneh ini lalu lanjutkan perjalanan.

Agar tidak menarik perhatian orang lain, mereka sengaja berjalan dengan melompat berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain.

Gerakan mereka sangat gesit bahkan tidak menimbulkan suara. Ini merupakan sebuah pertanda betapa mereka sangat lihai dan memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna. Setibanya Durgandala dan adiknya di ujung mulut dusun Bambu, segala kegembiraan yang sempat muncul dilubuk hati mendadak lenyap.

Di atas ketinggian pohon yang terlindung dedaunan lebat keduanya saling pandang. Durganini bahkan tidak mampu berkata-kata,lidah mendadak terasa kelu. Tenggorokan kering tercekat, sepasang mata yang terfindung topi caping lebar menatap dengan terbelalak ke arah dusun yang terlihat luluh lantak dikobari api.

"Dusun ini hancur. Tidak satu pun rumah yang tersisa. Siapa yang datang mengamuk, siapa yang telah melakukan pembakaran?!"

Desis Durgandala.

Durganini menghela nafas, lalu mengusapi lehernya yang terasa kaku. Baru kemudian membuka mulut menyahuti.

"Tempat ini seperti baru saja mendapat serbuan bala pasukan besar."

"Kita sama- sama tahu, tidak ada kerajaan disekitar sini. Lalu kekuatan apa yang membuat seluruh dusun menjadi porak poranda."

"Adikku. Kurasa tempat ini sudah tidak aman lagi bagi kita. Tidak ada makanan tidak ada tempat untuk melepas lelah. Sebaiknya kita lanjutkan saja perjalanan ini, Kita tak perlu mencari orang sakti yang dijuluki Seruling Halilintar itu."

Durganini tahu kegelisahan yang dialami sang kakak.

Walau tidak pernah tahu siapa yang telah menyerbu dusun bambu dan apa tujuan pembakaran dusun itu, namun pilihan untuk segera angkat kaki dari tempat itu rasanya memang keputusan tepat.

Apalagi tugas yang diembannya sangat penting

"Aku setuju. Kita tidak perlu turun ke bawah untuk melihat bagaimana nasib penduduk. Tapi dari sini kita dapat melihat sendiri banyak sekali mayat mayat bergelimpangan.
Raja Gendeng 18 Mutiara Tujuh Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diantaranya ada yang masih hidup. Tidak sedikit yang menderita cidera berat."

"Apa mungkin kita tega membiarkan mereka tanpa memberi pertolongan sedikitpun juga?"

Ucap Durganini iba.

"Aku tidak mau mencari masalah. Tidak ada yang bisa menjamin dusun ini sudah aman dari tangan para pembunuh yang haus darah."

"Kau benar. Aku juga sebenarnya khawatir tempat ini masih dalam pengawasan sang pembunuh. Aku dapat merasakan ada beberapa pasang mata di balik semak kegelapan yang terus mengawasi dusun. Mungkin ada yang mereka cari dan tidak tertutup kemungkinan ada yang mereka tunggu."

"Bagaimana kalau yang mereka tunggu itu adalah kita orangnya?"

Sahut Durgandala dengan suara lirih.

Durganini terdiam.

Hanya matanya saja yang berkedap kedip menatap ke arah sang kakak dan dusun yang hancur dilumat api silih berganti

"Kita pergi sekarang!" desah gadis itu dengan suara lebih perlahan.

Durgandala anggukkan kepala.

Dengan mengendap-endap keduanya pun berkelebat tinggalkan tempat itu. Selagi dua bersaudara pembawa Mutiara Tujuh Setan berada di pucuk pepohonan.

Tepat di bawah pohon dimana keduanya mendekam sebenarnya ada beberapa orang berpakaian gelap bersenjata lengkap telah mengetahui kehadiran kedua bersaudara ini.

Salah seorang anggota dari mereka berbisik pada sosok bertubuh gemuk yang agaknya menjadi pimpinan rombongan itu.

"Pohon di sebelah atas, tidak bergoyang tidak bergerak. Tapi mengapa tiba-tiba aku mendengar seperti ada orang yang bicara?"

"Betul. Saya juga mendengar seperti ada yang bicara," menimpali orang yang mendekam dibelakang si gemuk.

Tiga kepala sama bergerak, tengadahkan wajah menatap ke atas.

Tiga hidung mengembang dan menguncup sambil mengendus

"Ada aroma, ada bau aneh tercium dari atas. Bau apek seperti kambing."

"Jelas! Siapapun yang telah hadir diatas sana selain tak pernah mandi orang itu pastilah memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna."

"Kita harus mencari tahu siapa orang yang mendekam diatas pohon itu. Aku curiga jangan- jangan dialah orang yang kita tunggu kedatangannya. Kuharap kalian segera mengikuti begitu aku bergerak kesana,"

Tegas si gemuk.

Sambil berkata begitu diam-diam dia alirkan tenaga dalam ke bagian kakinya.

Namun belum sempat si gemuk lakukan niatnya.

Tiba-tiba saja terdengar suara deru angin datang dari ujung sebelah utara dusun Bambu.

Munculnya deru angin itu disusul dengan terdengarnya gelak tawa yang membuat sakit gendang telinga orang yang mendengarnya.

Si gemuk dan teman-temannya yang mendekam dibawah pohon terkesima.

Beberapa teman pengikutnya langsung tekab telinga untuk menghindari pengaruh tawa yang menyakitkan.

Si gemuk yang memiliki tenaga dalam serta kesaktian tinggi menggeram sambil meludah.

Ketika ludahnya menghantam dedaunan.

Daun-daun tampak mengepulkan asap disertai gemeretak daun yang hangus.

"Setan alas. Iblis mana yang berani mengumbar tawa dimalam buta?!"

Geram laki-laki itu sambil kepalkan tinjunya.

Dengan mata mendelik nyalang si gendut menatap ke dusun yang telah berubah menjadi puing-puing yang dikobari api.

Suara tawa lenyap, namun hembusan angin yang datang bersama tawa membuat kobaran api yang berasal dari reruntuhan rumah makin bertambah besar.

Lalu terdengar suara orang berkata dalam kekagetan yang luar biasa.

"Jagad Dewa Bathara.Dosa kesalahan apa yang telah dilakukan penduduk di dusun ini? Mengapa ketenteraman berubah menjadi murka, mengapa damai menjadi amarah.Haruskah ada darah yang tertumpah dan nyawa yang melayang sia-sia?!"

Deru angin mendadak terhenti.

Dari balik kegelapan melesat satu bayangan berpakaian kelabu berambut gondrong dengan sebuah pedang tergantung dipunggungnya.

Begitu jejakkan kaki, sosok muda yang tak lain adalah Raja Gendeng murid dua tokoh sakti Ki Panaraan Jagad Biru dan Nini Balang Kudu adanya ini geleng-gelengkan kepala.

"Banyak sekali yang terbunuh? Siapa yang melakukannya?"

Teriak Sang Maha Sakti Raja Gendeng sambil mengelus dada.

Kemudian sambil menangis sesunggukan seolah yang bergeletakan tewas adalah saudaranya sendiri, pemuda ini segera memeriksa mayat-mayat itu.

Yang tewas mengenaskan terdiri dari laki-laki dan perempuan, tua muda bahkan anak-anak.

Tapi yang terluka parah juga cukup banyak.

Mereka yang terluka segera dikumpulkan ke tempat yang aman.

Sedangkan yang tewas dikumpulkan lalu dibaringkan di sudut yang aman dan jauh dari kobaran api.

Setelah yang tewas dikumpulkan secara rapi. Raja berdiri tegak diantara mayat-mayat itu.

Dua tangan direntang.

Sementara mulut keluarkan ucapan.

"Wahai tubuh-tubuh yang mati sebelum waktunya. Aku Raja Gendeng maklum kalian tidak akan tenang dialam sana. Sebagai sesama manusia aku hanya bisa membantu menguburkan jasad kalian juga berjanji akan mencari siapa orangnya yang telah memperlakukan kalian seperti ini. Sekarang dengan kekuatanku yang diberkahi para dewa penguburan akan kulakukan!"

Sambil berkata demikian Raja tengadahkan wajah, mata memandang ke arah kegelapan langit sedangkan kedua tangan nampak bergetar dan mulai memancarkan cahaya berwarna biru terang.

"Wahai sang pemberi hidup.Terimalah mereka di sisimu dengan kedamaian."

Suara sendu penuh haru sang pendekar lenyap. Secepat kilat tubuhnya berputar sementara dua tangan dikibaskan ke arah mayat-mayat itu.

Wuus!

Wuus!

Pijaran cahaya biru melesat, menderu sekaligus menyelimuti puluhan mayat yang terkapar di sekelilingnya.

Beberapa saat dari kedua tangan dan sekujur tubuh Raja terus menerus memancarkan cahaya menyilaukan. Dan ketika sang pendekar berhenti bergerak, kilauan cahaya dari tubuhnya lenyap. Bersamaan dengan cahaya menerpa mayat- mayat itu maka dalam waktu sekedipan mata saja semua mayat menjadi lenyap. Semua pemandangan menakjubkan yang terjadi di tempat itu jelas tidak terlepas dari perhatian berpasang-pasang mata yang berada di balik tempat-tempat yang gelap.

Si gemuk bahkan sempat belalakkan mata melihat kemampuan pemuda yang tidak di kenal menguburkan mayat penduduk dusun.

"Siapa dia? Ketika datang mengumbar tawa seperti orang gila, Lalu melihat mayat bergelimpangan menangis tersendu seolah yang mati adalah kekasih yang dia cintai. Lalu dia kuburkan orang- orang itu dengan cara yang aneh." desis si gemuk.

Beberapa pengikutnya yang diajak bicara hanya bisa saling pandang. Seorang diantaranya memberanikan diri angkat bicara.

"Saudaraku tidak tertutup kemungkinan dia adalah seorang dewa yang turun ke bumi. Dia mempunyai ilmu kesaktian yang sangat luar biasa."

Ucap orang itu dengan suara tercekat.

"Kau terlalu berlebihan memuji. Mungkin saja dia itu seorang dewa, tapi dewa kesasar yang hendak mencari mati!"

Dengus si gemuk.

"Jelas bukan dia orang yang kita cari. Sia-sia saja kita menunggu di tempat ini." kata laki-laki yang di belakang tidak sabar.

Selagi mereka sedang menduga-duga siapa gerangan yang mengaku bernama Raja Gendeng itu, tiba-tiba laki-laki yang mendekam di bagian paling depan berseru perlahan.

"Lihat... dia menghampiri orang-orang yang terluka. Apa yang hendak dilakukannya?"

Tanpa bicara si gendut dan yang lainnya segera layangkan pandang ke arah di mana Raja berjalan.

"Nampaknya dia ingin mengobati para penduduk dusun yang terluka. Akan kulihat bagaimana caranya menyembuhkan sekian banyak orang yang terluka itu!"

Dengus si gendut disertai senyum mencibir. Tidak ada yang menjawab.

Semua pengikut si gendut sama menahan nafas sambil pusatkan perhatian ke arah Raja.

Dihadapan para penduduk yang mengerang kesakitan.

Dengan sikap tenang namun berwibawa Sang Maha Sakti berdiri tegak dengan dua tangan disilangkan ke depan.

"Saudaraku sekalian."

Kata Raja membuka ucapan.

"Kalian dengarkan baik-baik. Aku bukanlah tabib juga bukan juru obat delapan penjuru. Tapi karena penderitaan yang kalian alami, aku merasa terpanggil untuk memberikan sekedar bantuan. Kesembuhan itu datangnya dari pemilik kehidupan. Sedangkan aku hanya seorang manusia dan gendeng pula. Tapi aku akan mencoba dengan segala kemampuan yang kumiliki. Kuharap kalian bisa sembuh dalam waktu secepatnya. Pejamkanlah mata kalian. Jika kalian tidak mau menurut atau mendengar permintaanku, jangan salahkan aku bila mata kalian bakal diselimuti belek seumur hidup."

Raja lalu tersenyum memperhatikan orang-orang yang ada di depannya. Pada kesempatan itu seseorang yang terluka di bagian dada dan wajahnya melangkah maju. Setelah menjura hormat laki-laki berusia lima puluh itupun berkata.

"Kisanak. Budi baikmu yang mulia tidak mungkin bisa kami lupakan. Saya Ki Ladung Pangga Burita mewakili semua penduduk dusun ini mengucapkan banyak terima kasih."

Mendengar ucapan kepala dusun Raja hanya menyeringai sambil garuk kepala.

"Budi baik dan kemuliaan apa, aku telah datang terlambat. Banyak orang terbunuh, lainnya terluka kau malah berterima kasih,"

Kata pemuda itu.

Sang pendekar kemudian memberi isyarat pada kepala dusun untuk kembali ke tempatnya.

Setelah orang tua itu duduk kembali dibarisan belakang, kini dengan diliputi ketegangan mereka menunggu tindakan yang hendak dilakukan Raja.

Dengan sikap tenang di tempatnya berdiri Raja tampak memejamkan mata.

Mulut berkemak-kemik membaca mantra.

Selesai mantra dibaca dia masih melanjutkan dengan membaca mantra yang lain Ajian Petit Gembala Gaib.

"Sang Hyang kesembuhan penghilang segala penyakit segala derita luka.Sembuhkan mereka yang terluka, lenyapkan segala derita sakit.Penyakit datang tidak diundang, kesembuhan mendekat tanpa terlihat Malakatam...
Ram-Ram buku bertau..."

Selesai dengan ucapannya Raja kibaskan dua tangannya yang terkepal ke arah orang-orang berada di sekelilingnya.

Dari telapak tangan pemuda itu tiba-tiba bertaburan cahaya berkilauan berwarna hijau dan kuning keemasan.

Raja Gendeng 18 Mutiara Tujuh Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cahaya itu laksana butiran intan berjatuhan menimpa setiap orang yang ada di sekitarnya.

Ketika butiran cahaya mirip intan menyentuh setiap tubuh yang terluka, satu pemandangan luar biasa sulit dipercaya terjadi.

Luka robek bekas sabetan dan berbagai luka lain yang diderita penduduk dusun itu serta merta lenyap tidak meninggalkan bekas sedikitpun.

Orang-orang itu sama berpandangan dengan keheranan namun penuh rasa syukur.

Dan mereka merasa mendapat berkah baru di balik petaka yang mereka alami ketika sadar taburan cahaya kuning yang jatuh diatas tanah ternyata berubah menjadi kepingan uang emas

"Luar biasa. Pemuda gagah itu agaknya betul betul dewa yang menyaru jadi manusia. Buktinya dia bisa melakukan penyembuhan dan menghadiahi penduduk dusun dengan kepingan emas,"

Seru pengikut si gemuk takjub.

"Dia mempunyai ilmu sihir. Jangan percaya dengan tipuan murahan. Kepung dia dan tanyakan padanya apa keperluannya datang kesini!"

Geram si gemuk.

Walau kagum pada pemuda gondrong bersenjata pedang itu, namun tidak seorangpun pengikut si gemuk yang berani membantah.

Satu orang bangkit berdiri dikuti dengan suitan panjang.

Bersamaan dengan terdengarnya suara suitan itu, dari segala penjuru arah bermunculan sedikitnya dua puluh laki-laki berpakaian hitam bersenjata golok dan pedang besar dalam keadaan terhunus. Melihat kehadiran orang-orang itu penduduk yang baru disembuhkan oleh Raja jadi ketakutan. Sang pendekar tidak tinggal diam.

Kepada kepala dusun dia ajukan pertanyaan.

"Merekakah yang telah menghancurkan dan membunuh penduduk di dusun ini?"

Sang kepala dusun Ki Ladung Pangga Burita gelengkan kepala.

"Kami tidak mengenal mereka. Yang telah menghancurkan dan memporak porandakan desa kami adalah seseorang yang mengaku berjuluk Seruling Halilintar."

Jelas kepala desa.

"Hanya seorang saja, tapi sudah membuat kekacawan yang begini besar? Siapa Seruling Halilintar? Mengapa dia tega berbuat keji terhadap penduduk yang tidak berdosa."

Pikir sang pendekar.

"Mungkinkah ada sesuatu yang dia cari ataukah penduduk di sini menyembunyikan satu rahasia penting?"

Belum sempat Raja menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri, seorang laki-laki gemuk berkumis tebal berwajah angker ditumbuhi cambang bawuk lebat melompat maju sambil membentak

Ular Belang Putih Oei Eng Pek Hwa Coa Irama Pencabut Nyawa Karya Wen Wu Roro Centil 01 Empat Iblis Kali Progo

Cari Blog Ini