Ceritasilat Novel Online

Petaka Lembah Tanpa Suara 1

Raja Gendeng 25 Petaka Lembah Tanpa Suara Bagian 1


Raja Gendeng 25 Petaka Lembah Tanpa Suara

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 25 dalam episode

Petaka Lembah Tanpa Suara

*****


Team Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)

Spesial thank to : Awie Dermawan

*****


Istana Kebahagiaan berdiri menjulang.

Siang hari udara di kawasan Lembah tempat dimana istana berdiri terasa sejuk.

Panas matahari hampir tidak terasa.

Di dalam satu ruangan istana yang bernama Kehormatan Utama sang puteri penghuni istana duduk dengan menyandarkan diri ke dinding.

Puter itu berwajah ayu, berambut putih laksana perak dan bergaun indah berwarna putih pula.

Tampaknya dia sedang memejamkan matanya. Wajah sang puteri terlihat pucat.

Keningnya mengucurkan keringat akibat bentrok tenaga sakti dengan Nila Seroja dan tiga pengasuhnya.

Puteri ini adalah puteri Manjangan Putih mengalami guncangan di bagian tubuhnya sebelah dalam.

Tidaklah heran setelah Nila Seroja membawa ketiga pengasuhnya menyingkir dari halaman istana, puteri cantik yang diatas kepalanya bertengger mahkota putih bersimbol tanduk manjangan ini segera duduk bersila memulihkan diri.

Seperti diketahui dalam episode Topeng Pemasung jiwa, Nila Seroja yang juga dikenal dengan sebutan Perawan Bayangan Rembulan bersama para pengasuhnya yang terdiri dari Rengga, Sekti dan Cakra Buana berhasil memasuki pintu gaib yang tersembunyi di pohon Darah.

Pintu yang mereka tembus itu menuju ke Istana Satu atau Istana Kebahagiaan. Sesampainya di lembah, Nila Seroja memerintahkan pengasuhnya untuk melakukan penggeledahan ke dalam istana.

Belum sempat perintah itu dilaksanakan, Penghuni Istana telah menyerang mereka dengan suara alunan kecapi.

Berkat gabungan kekuatan ke empat orang itu akhirnya suara kecapi lenyap setelah beradu keras dengan suara teriakan yang keluar dari masing masing mulut ke empat orang itu.

Tiga pengasuhnya kemudian menyerbu masuk ke dalam istana guna mencari Puteri Manjangan Putih.

Namun mereka diserang oleh sosok bayangan hitam di dalam ruangan yang gelap.

Keinginan untuk menangkap Puteri Manjangan Putih tidak tercapai. Ketiga pengasuh malah dilempar keluar istana dalam keadaan terluka tidak sadarkan diri.

Kembali pada Puteri Manjangan Putih.

Setelah merasa luka dalamnya pulih, Puteri membuka matanya.

Tak jauh di depan diatas lantai istana bertingkat dua itu tergeletak sebuah alat musik yang tidak lain adalah kecapi.

Kecapi dalam keadaan rusak berat.

Beberapa talinya putus.

Puteri Manjangan Putih menghela nafas berat lalu berdiri dan segera tinggalkan lantai yang berlapiskan permadani.

Kembali kesinggasana tempat kedudukan yang dilapisi beludru berwarna biru.

Puteri ini layangkan pandangannya ke arah pintu yang terbuka.

"Aku tidak ingin ada pertumpahan darah di tempat yang diberkahi dengan kebahagiaan ini. Orang-orang dari alam dunia luar itu datang membawa kejahatan.Bunga Anggrek Mayat adalah bunga keramat. Bunga itu sedang dicari oleh gadis yang kerap menebar darah bersama para pengikutnya. Bukan mustahil akan menyusul orang lain yang memiliki keinginan yang sama. Apa yang harus kulakukan.?"

"Tidak mudah mengusir orang-orang seperti itu sendirian. Mereka orang-orang sakti yang membekal niat jahat. Kawasan istana Satu sekarang berada dalam ancaman bahaya. Apakah lebih baik jika aku meninggalkan istana ini untuk sementara waktu?"

Baru saja sang puteri berpikir demikian, tiba-tiba muncul seorang wanita renta berpakaian hitam bertopi mirip jubah.

Melihat kehadiran si nenek renta sang puteri tersenyum.

Dengan anggukan kepala gadis ini memberi isyarat agar si nenek duduk di kursi yang terdapat di depannya. Orang tua yang wajahnya tertindung topi jubah segera lakukan apa yang diperintahkan.

Setelah duduk si nenek berkata.

"Jalan pintu rahasia di pohon Darah telah banyak diketahui orang. Gusti puteri harus meninggalkan istana secepatnya."

"Saya juga ingin tahu apakah gusti dalam keadaan baik-baik saja?"

Bertanya lagi si nenek sambil menatap kecapi yang tergeletak dilantai ruangan.

Wajah si nenek mengernyit ketika melihat kecapi itu mengalami kerusakan yang cukup parah. Dawai-dawainya putus.

"Ini pertanda orang yang menyerang suara petikan kecapi tidak dapat dipandang sebelah mata."

"Aku tidak apa-apa, Nyai Sentika. Lawan di luar memang cukup berat juga, namun aku sanggup mengatasi. Bagaimana dengan dirimu. Bukankah beberapa saat yang lalu pengasuh Nila Seroja melakukan penyerbuan di ruangan bawah?"

Tanya Puteri Manjangan Putih. Sementara tatap matanya memandang si nenek yang ternyata bernama Nyai Santika itu dari kepala hingga ke ujung kaki.

Si nenek tersenyum.

"Tiga orang pengasuh gadis bertopeng itu memang sangat tangguh. Tapi mereka kurang cerdik. Saya melumpuhkan mereka dengan Harum Bunga Surga. Begitu mereka terbius dan menjadi lemah, saya langsung menyerang dan melemparkan ketiga kakek itu keluar. Mereka kemudian segera pergi. Tapi firasat saya mengatakan mereka pasti akan kembali."

Puteri Manjangan Putih mengangguk perlahan sambil menghembuskan nafas pendek. Dua matanya menerawang menatap langit-langit ruangan putih dipenuhi ukiran indah berupa manjangan betina

"Nila Seroja atau Perawan Bayangan Rembulan dan pengasuhnya hanya muncul di malam hari saat bulan ada di langit.Sebentar lagi fajar menyingsing. Nila Seroja pasti akan bersembunyi tidak jauh dari sini selama sehari penuh."

"Jika begitu kita harus menggeledah kawasan lembah, gusti puteri. Kita pasti bisa menemukan mereka."

Usul Nyai Sentika.

Tapi usul itu tidak disetujui oleh Puteri Manjangan Putih

"Jika kita berada diluar istana akan lebih berbahaya karena yang datang menyambang tempat kita bukan cuma gadis itu saja. Aku bisa merasakan hadirnya orang lain selain dari mereka. Dan yang baru hadir ini juga menginginkan Bunga Anggrek Mayat."

Mendengar Puteri berkata Nyai Santika jadi penasaran.

"Gusti puteri apakah saya boleh melihat apa saja orang-orang yang gusti maksudkan?"

"Tentu saja, Nyai Santika. Kau adalah satu satunya orang yang paling kupercaya dan paling dekat denganku. Kau boleh menggunakan air dari Cawan Jiwa untuk melihat apakah yang kukatakan ini benar ataukah keliru."

Setelah berkata demikian puteri ulurkan tangannya ke arah jendela yang terbuka.

Untuk diketahui jendela yang berada di belakang kursi kebesaran itu bukanlah jendela biasa.

Dari jendela tersebut bila puteri Manjangan Putih menghendaki dapat mendatangkan langsung benda-benda sakti yang konon dari nirwana.

Begitu tangan dijulur, terdengar suara desir halus dari jendela.

Seiring dengan itu sambil pejamkan mata sang puteri berucap lirih namun jelas

"Berkah para dewa meliputi segala.Aku adalah puteri yang diutus sebagai penyampai kebenaran di dalam kebaikan sejati.Aku menginginkan Cawan Jiwa bersama air berkah di dalamnya sekarang juga!"

Baru saja Puteri Manjangan Putih berkata demikian.

Dari luar jendela muncul satu bayangan berupa dua buah tangan bertabur cahaya menyilaukan.

Di atas tangan raksasa itu ada sebuah benda berbentuk cawan berwarna emas yang luar biasa besarnya.

Cawan melayang memasuki jendeia, kemudian jatuh tanpa suara diatas sebuah batu bundar berukir berbentuk meja.

"Terima kasih permintaanku telah dikabulkan. Utusan, silahkan kembali ke Nirwana!"

Bayangan tangan raksasa yang memancarkan cahaya lenyap dari depan jendela lalu terdengar suara langkah kaki menderu dikejauhan langit.

Puteri Manjangan Putih membuka mata.

Menatap cawan yang ukurannya sepuluh kali cawan biasa dengan bibir tersenyum. Dengan diikuti Nyai Santika puteri bangkit dan menghampiri Cawan Jiwa yang terisi penuh air berwarna bening.

Tanpa bicara sepatah kata pun puteri mengembangkan tangan kanannya.

Tangan yang mengembang digerakkan di atas permukaan mulut cawan.

Air bening di dalam cawan bergetar hebat.

Sambil terus tegak berdiri sang puteri tiba tiba berkata ditujukan pada cawan di depannya

"Wahai air kemurahan, wahai Cawan Jiwa Perlihatkan padaku siapa saja orang yang berhasil menembus pintu gaib dan kini telah berada di wilayah kediamanku!"

Selesai sang puteri membuka mulut.

Air di dalam Cawan Jiwa tiba-tiba bergolak hebat seperti mendidih.

Warna warni pelangi bermunculan silih berganti pada air cawan yang tadinya bening sejuk.Gelegak air di dalam cawan lenyap, warna biru, merah putih kuning, jingga juga hijau lenyap.

Air di dalam cawan kembali bening.

Di permukaan air secara berturut-turut bermunculan sosak orang-orang yang telah memasuki kawasan Istana Satu Istana Kebahagiaan. Mula-mula yang terlihat dipermukaan air dalam Cawan Jiwa adalah Nila Seroja dan tiba-tiba anjing pengasuhnya.

Karena sang puteri telah tahu siapa mereka, Bahkan telah terlibat adu kekuatan gaib dengan mereka maka diapun segera berujar.

"Yang kau perlihatkan itu telah kami ketahui. Munculkan gambar orang yang lainnya!"

Raja Gendeng 25 Petaka Lembah Tanpa Suara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pinta Puteri Manjangan Putih. Gambaran orang yang ada dipermukaan air lenyap, Selanjutnya Cawan Jiwa bergetar diikuti dengan guncangan air yang ada di dalamnya.

Sejurus kemudian dipermukaan air muncul seorang nenek dan seorang pemuda berambut gondrong. Puteri Manjangan Putih dan Nyai Santika memperhatikan lebih seksama.

Semakin lama keduanya pun dapat melihat gambar di dalam air itu menjadi lebih jelas. Ternyata pemuda itu berpakaian kelabu.

Wajahnya cukup tampan, tampang lugu dan terlihat selalu cengengesan saat bicara.

Di samping si pemuda adalah seorang nenek berumur sekitar tujuh puluh tahun, memakai pakaian hitam lebar mirip jubah sedangkan bagian lengannya membentang jubahnya mirip sayap kelelawar.

Selain memiliki wajah yang sangat cantik selayaknya gadis yang berusia empat puluh tahun, nenek ini juga menyanggul rambutnya.

"Siapa pemuda gondrong itu?"

Tanya Nyai Santika.
Sekejab dia melirik ke arah puteri yang berdiri disebelah kanannya. Namun kemudian perhatiannya kembali tertuju ke arah air dalam cawan.

"Pemuda ini adalah orang yang sering muncul dalam semediku. Dalam tidurku dia juga kerap datang lewat mimpi. Datang dan pergi seperti setan gentayangan. Tapi dia adalah manusia berhati jujur berjiwa polos. Aku sangat yakin kedatangannya membekal maksud baik. Mungkin saja dia hendak membantu. Namun mengingat sifat serta wataknya yang angin-anginan siapa yang bisa menduga hatinya?"

Jelas sang puteri bimbang.

"Apakah dia memiliki julukan?"

Tanya Nyai Santika.

"Hamba kurang yakin pemuda gondrong Itu mempunyai iImu kesaktian yang bisa diandallkan"

"Hmm..ilmu kesaktian?"

Gumam sang puteri

"Aku memang belum pernah bertemu dengannya. Namun aku sudah mengetahui riwayat dan asal usulnya.Dia masih keturunan raja, jadi dia bisa disebut pangeran.Dia berasal dari Istana dingin yang disebut Istana Es.Namanya Raja dan lebih dikenal dengan sebutan Sang Maha Sakti Raja Gendeng 313. Orangnya memang aneh, banyak lagaknya, konyol mungkin juga menyebalkan. Namun ilmu kesaktiannya tidak diragukan.Sahabatku Nini Balang Kudu yang menetap di dasar laut pantai selatan itu adalah salah seorang gurunya."

"Apa? Jadi dia muridnya nenek bawel Nini Balang Kudu yang mempunyai peliharaan seekor naga sakti raksasa bernama Naga Putih?"

Desis Nyai Santika kaget.

Mulut si nenek ternganga seolah tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Puteri Manjangan Putih mengangguk sambil tersenyum.

"Walau sudah lama aku menjalin hubungan dengan Nini Balang Kudu, tapi dalam belasan tahun belakangan ini aku tidak pernah menyambanginya. Bila bertemu dengan pemuda aneh itu, aku tidak akan mengatakan bahwa aku adalah sahabat gurunya."

"Lalu siapa nenek cantik yang bersama pemuda itu? Apakah mungkin kekasihnya?"

Tanya Nyai Sentika lagi.

Si nenek melihat wajah ayu puteri disampingnya bersemu merah.

Namun itu hanya sekilas saja.

Sekali lagi puteri tersenyum.

"Aku belum pernah melihat nenek yang satu itu. Dia dan Raja cocok jalan bersama. Keduanya sama-sama orang sinting. Lihat saja sambil berjalan mereka bergandengan tangan segala."

Ucap sang dara.

Lalu palingkan kepala ke arah jendela.

"Gusti, bagaimana kalau nenek itu memang kekasihnya?"

"Aku tidak perduli. Yang penting kedatangannya kesini tidak sama dengan Nila Seroja."

"Bukankah pemuda itu selalu bersahabat dengan orang baik-baik?"

"Aku belum tahu. Pemuda polos seperti dia bisa saja dimanfaatikan oleh orang-orang licik. Dia bisa masuk dalam perangkap dan tipu muslihat orang lain"

"Kasihan dia. Seorang pewaris tahta tapi mengapa tampangnya terlihat seperti orang gila? Diluar sana yang namanya rimba persilatan, banyak sekali tokoh-tokoh sakti yang mempunyai tingkah laku aneh. Dan Raja adalah salah satu diantara yang aneh itu...!"

"Aneh tapi sakti itu tidak mengapa gusti. Kalau aneh karena mabuk itu baru gila namanya."

Celetuk Nyai Sentika, Si nenek kemudian tertawa, menertawakan gurauannya sendiri.
Puteri diam membisu. Kembali perhatiannya tertuju pada air didalam Cawan Jiwa.

"Perlihatkan gambar yang lain!"

Tiba-tiba Puteri Manjangan Putih berseru.

Air dalam cawan kembali bergetar demikian juga dengan cawan emas yang menjadi wadahnya.

Perlahan namun pasti didalam cawan kembali muncul seraut wajah seorang gadis dan juga seorang kakek.

Yang membuat Puteri Manjangan Putih melengak kaget, begitu juga dengan Nyai Sentika.

Mereka mengenal dengan baik salah seorang diantaranya.

"Gusti puteri... lihat...bukankah kakek yang bersama gadis bergaun merah bermahkota indah dengan symbol buaya itu, Ki Demang Sapu Lengga?"

Sentak Nyai Sentika setengah berteriak. Walau sempat terkejut melhat kemunculan KI Demang Sapu Lengga, Puteri Manjangan Putih anggukkan kepala.

"Orang tua itu menyalahi aturan, melanggar Janji. Dulu dia merengek-rengek meminta agar aku memberinya ilmu Segala Rindu. Dia beralasan istrinya yang bernama Rai Cempaka yaitu kakak dari Kunti Seroja bermain gila dengan laki-laki lain yang lebih tampan dan lebih muda. Tidak disangka semua alasan itu hanya tipu muslihatnya saja. Dia ternyata menggunakan ilmu pemberianku untuk berbuat maksiat. Sudah ratusan anak gadis yang jatuh dalam pelukannya. Dan aku curiga mungkin Kunti Seroja hamil dan melahirkan juga akibat perbuatannya. Sudah saatnya ilmu pemberianku itu kucabut kembali. Dia juga harus mempertanggung jawabkan perbuatan dosanya kepadaku juga kepada para dewa."

Geram Puteri Manjangan Putih dengan wajah merah padam mata berkilatan menahan kegusaran.

"Ki Demang benar-benar tua bangka yang tidak tahu membalas budi kebaikan orang."

Nyai Sentika ikut geregetan.

"Seandainya saya adalah gusti puteri. Saya tidak Cuma akan memusnahkan ilmu yang telah diberikan. Saya juga bakal memenggal kepala yang diatas juga yang disebelah bawah biar dia tahu rasa agar setiap melihat gadis cantik dia cuma bisa gigit jari. Hik hik hik!"

Tidak terpengaruh ucapan si nenek, sang puteri menanggapi.

"Kebahagiaan tidak pernah ada bila kita berdiri diatas penderitaan orang lain. Biarlah para dewa yang memberikan balasan setimpal atas apa yang diperbuat oleh Ki Demang"

"Tapi mengapa Ki Demang bersama perempuan muda bergaun merah itu gusti? Apakah mungkin perempuan itu Istri barunya? Kudengar Kunti Seroja telah meninggal belasan tahun yang lalu."

Kemudian sang puteri memperhatikan gambar dipermukaan air cawan dengan lebih seksama.

Terlihat ada untaian rantai melilit dileher Ki Demang dan salah satu ujung rantai itu ada dalam genggaman gadis bergaun merah. Sang puteri lalu tersenyum dan berucap.

"Seorang istri mana mungkin membelenggu leher suaminya dengan rantai selayaknya seekor anjing. Ki Demang pasti telah menjadi tawanan gadis itu. Dengan ilmu kesaktian yang dia miliki, rasanya mustahil Ki Demang dapat takluk oleh gadis berusia muda itu!"

Kata Nyai Sentika yang tahu banyak kehebatan si kakek. Dengan mata menerawang menatap kejauhan diluar jendela, Puteri Manjangan Putih berkata.

"Ingatlah dengan ujar-ujar di atas langit masih ada langit. Setinggi apapun ilmu serta kehebatan seseorang pasti ada saja yang bisa mengalahkannya. Ki Demang kena batunya. Karena Ratu Buaya jelas-jelas bukan tandingannya."

Mendengar ucapan sang puteri sepasang alis mata Nyai Sentika berkerut tajam.

"Apakah gusti puteri mengenal gadis itu?"

Tanya si nenek sambil tatap wajah sang puteri dalam-dalam

"Melihat mahkota yang bertengger diatas kepalanya, aku dapat memastikan dia adalah Ratu Siluman Buaya. Aku menaruh dugaan, kedatangannya kemari adalah untuk mendapatkan bunga Anggrek yang akan digunakan untuk melenyapkan pengaruh kutukan yang menimpanya selama ini."

"Eh, apa maksud gusti."

Bertanya Nyai Sentika dengan hati diliputi perasaan tidak mengerti.

Puteri Manjangan Putih yang menghela nafas sebentar lalu melanjutkan perkataannya.

"Dulunya dia adalah seorang bidadari. Tapi karena selalu melanggar aturan di kayangan dengan pergi ke dunia kehidupan manusia, maka dewa pun mengutuknya dan menempatkannya di dunia ini."

Sang Puteri kemudian menceritakan kejadian masa lalunya yang dilakukan oleh sang ratu.

Selesai menjelaskan riwayat gadis itu, Puteri Manjangan Putih berterus terang

"Aku memang tidak mengenal Ratu Buaya Putih. Segala kisah manusia bisa kuketahui lewat petunjuk dan wangsit yang datang dari langit.Melihat kehadiran Ratu Buaya. Saat ini lebih baik aku pergi."

"Gusti puteri hendak kemana?"

Puteri tidak segera menjawab.

Dia berjalan mundar mandir, agaknya dia tengah berpikir apa tindakan terbaik yang harus diambilnya, Langkah Puteri Manjangan Putih kembali berhenti tepat di depan di mana sebelumnya dia berdiri.

"Aku akan pergi ke Lembah Tanpa Suara!"

Mendengar disebutnya nama Lembah itu, si nenek terperangah.

"Apa? Mengapa gusti malah hendak berada ditempat bertumbuhnya Bunga Anggrek Mayat? Tidak seorang pun yang dibenarkan bicara keras di lembah itu. Selain dapat membangunkan ular raksasa penjaga Anggrek Mayat, suara atau ucapan keras orang yang datang ke tempat itu dapat membahayakan orang itu."

Kata si nenek.

"Bicara keras tidak boleh, tapi berbisik tidak dilarang. Kau mengetahui rahasia itu tapi orang luar termasuk Ki Demang tidak mengetahuinya, Aku tidak suka mengotori tanganku dengan darah karena aku tetap ingin bahagia. Bila ada yang kusakiti berarti nikmat kebahagiaan yang kurasakan akan ikut berkurang."

"Lembah itu akan menjadi sebuah tempat kebinasaan bagi orang-orang yang suka berbuat kerusakan di rimba persilatan. Saya kira ini adalah rencana yang sangat baik. Tapi bagaimana dengan nasib orang-orang yang mungkin saja berada di pihak gusti puteri?"

"Masalah itu semuanya aku serahkan pada dewa."

Jawab Puteri Manjangan Putih.

"Sudah saatnya kita harus tinggalkan istana ini!"

"Eeh, tunggu!"

Seru Nyai Sentika saat dilihatnya sang puteri hendak berlalu

"Ada apa lagi, Nyai?"

Tanya si gadis tanpa menoleh

"Apakah gusti puteri tidak ingin melihat lagi ke dalam Cawan Jiwa. Siapa tahu masih ada yang lain yang datang ke sini."

Gadis itu tersenyum

"Kehadiran mereka sudah cukup. Mudah mudahan kehadiran yang lainnya menjadi kabar baik!"

Setelah berkata demikian Puteri Manjangan Putih memberi isyarat pada Nyai Sentika untuk mengikutinya.
Tanpa banyak bicara si nenek pun menyusulnya.

Seperginya kedua orang ini. Cawan Jiwa yang berada diatas meja mendadak lenyap dari pandangan mata.


*****
Raja Gendeng 25 Petaka Lembah Tanpa Suara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Berkat Ilmu Menjajak Raga yang dimilikinya. Ki Lumut Adayana dan Bunga Jelita yang bergelayut dipunggungnya berhasil menyusul ke arah mana sosok anjing hitam yang memancarkan cahaya merah biru dan kuning di bagian kepala itu pergi. Setelah yakin orang yang mereka ikuti turun di kawasan luas yang ditumbuhi berbagai pohon menjulang tinggi, Ki Lumut segera sentakkan terompah sakti yang telah membawanya terbang diketinggian.

Dua terompah yang terpasang dikedua kaki tiba-tiba bergetar.

Ada satu tenaga luar biasa besar yang keluar dari dari dua terompah menyentakkan kakinya ke bawah, Ki Lumut dan Bunga Jelita meluncur laksana meteor yang jatuh dari langit. Begitu kaki menjejak tanah Bunga Jelita yang bergelayut dipunggung melepaskan diri.

Ki Lumut segera simpan terompah sakti ke dalam kantong perbekalannya.

Tanpa bicara satu sama lain, kedua orang ini pun menatap kesekelilingnya.

Bila Ki Lumut dibuat tertegun begitu matanya membentur pohon besar berbatang, berdaun dan bercabang merah. Sebaliknya Bunga malah keluarkan seruan kaget ketika melihat dua lubang sedalam pinggang berukuran luar biasa besar berbentuk telapak tangan

"Pohon Darah! Ternyata orang yang kita ikuti datang ke tempat ini. Tapi aku hanya bisa merasakan bau keringatnya.Orangnya entah ke mana?"

Kata kakek yang sekujur tubuhnya ditumbuhi lumut hijau itu. Tanpa menghiraukan ucapan Ki Lumut sebaliknya gadis cantik yang luar biasa berpakaian cokelat berambut hitam panjang malah berseru.

"Lihat kek Aku melihat telapak tangan raksasa. Bila telapak tangannya saja sebesar gajah orangnya sebesar apa?"

Kata Bunga terkagum-kagum. Walau merasa kesal ucapannya diabaikan orang.

Tak urung Ki Lumut memutar tubuh balikkan badan.

Sejurus kemudian dia menatap ke arah yang ditunjukkan Bunga Jelita. Gadis yang juga dijuluki Bunga Kembang Selatan Ini lagi-lagi berucap.

"Hebat bukan kek? Aku tidak begitu percaya ada manusia raksasa berdiam disekitar tempat ini."

Ucapan itu membuat Ki Lumut tak kuasa menahan gelak tawa. Bunga menjadi heran. Dalam keheranannya dia bertanya,

"Memangnya ada yang lucu dalam ucapanku kek?"

Pertanyaan itu membuat si kakek hentikan tawanya.

"Gadis cantik bau kencur. Aku yakin kencingpun kau belum lempang."

Gurau si kakek, membuat Bunga tersinggung lalu jewer telinga Ki Lumut yang licin.

Ki Lumut berteriak kesakitan, padahal jeweran yang dilakukan Bunga tidak menimbulkan rasa sakit sama sekali.

"Jangan tarik telingaku, bisa putus nanti. Apa kau tidak takut kualat?"

Jeweran dilepas. Sambil bersungut-sungut Bunga Jelita mendamprat.

"Kakek sinting! Bicara ngaco kurang ajar. Memangnya kau tahu dari mana kencingku belum lempang?"

Ki Lumut tertawa namun segera menjawab.

"Aku cuma bergurau. Aku baru tahu, gadis secantikmu ternyata gampang naik darah."

"Ya sudah, kau jangan bergurau terus."

Dengus Bunga Jelita lalu kembali menatap ke arah dua lubang bekas telapak tangan. Setelah memperhatikan bekas telapak tangan si kakek menjelaskan.

"Ketahuilah hanya manusia di jaman dulu dan dulu sekali yang mempunyai tangan sebesar itu...."

"Lalu bekas telapak tangan siapa Ini?"

Potong Bunga. Si kakek tidak segera menjawab.

Ia menatap keadaan sekelilingnya.

Setelah itu dia tengadahkan wajah ke atas, cuping hidungnya bergerak-gerak mengembang mengempis mendengus

"Hmm, ternyata belum lama berselang di sini telah terjadi satu pertempuran hebat.Aku bisa membaui aroma siluman yang terluka mungkin juga sudah mampus"

Ki Lumut Julurkan kepala menatap ke arah lubang bekas telapak tangan yang di sebelah kiri. Dia melihat legukan lebih dalam di telapak tangan itu.

Bentuknya seperti bekas tubuh seseorang.

"Lubang ini baunya sangat tajam.Mungkin ada siluman yang menemul ajal."

"Jika benar mengapa mayatnya tidak terlihat?"

Tanya Bunga Jelita terheran-heran.

Ki Lumut tersenyum

"Namanya juga siluman. Selagi hidup saja kau tidak bisa melihat wujudnya apalagi sudah mati? Tapi mungkin saja setelah kematiannya dia menghilang.Kejadian seperti ini adalah sesuatu yang biasa di alam mereka."

"Bila benar ada mahluk yang dibunuh, siapa yang melakukannya?"

"Telapak tangan ini. Hanya ilmu kesaktian Tangan Dewa Melanda Bumi saja yang bisa seperti ini. Di rimba persilatan hanya ada satu orang yang mempunyai ilmu sehebat itu. Orang yang kumaksudkan tak lain adalah Resi Cadas Angin."

Ki Lumut kemudian menceritakan siapa resi hebat yang satu itu.

Ki Lumut kemudian melanjutkan ucapannya

"Ya, kemana perginya Resi Cadas Angin, itu perlu kita selidiki."

Jawab Ki Lumut sambil perhatikan pohon Darah, sementara hidung kembang kempis mendengus. Bunga Jelita pun bertanya.

"Pohon itu apakah kakek tertarik?"

"Memangnya gila apa tua bangka sepertiku tertarik pada pohon, Di dunia ini apakah sudah tidak ada lagi nenek cantik yang kutarik-tarik!"

Sahut Ki Lumut lalu tertawa cengengesan.

"Rasanya tidak ada kek. Begitu melihatmu, nenek yang sudah matipun pasti kaget!"

Bunga Jelita pun tertawa.

"Dengarlah! Mungkin kau tidak pernah tahu bahwa pohon Darah adalah jalan masuk satu satunya menuju ke Istana Satu."

"Tapi pohon yang satu ini empuk dan ada lubangnya."

"Apa?! Istana Satu memang ada dialam gaib."

"Tapi kek, tak usah bergurau dengan mengatakan bahwa pohon Darah adalah jalan menuju ke istana. Apa kau sudah gila?"

"Bagaimana kita bisa menembus pohon? Pohon manapun di dunia ini pasti keras kek"

"Apa maksud ucapanmu?"

Tanya Bunga tidak mengerti.

Bukannya menjawab.

Sambil senyum-senyum. Ki Lumut sebaliknya malah berjalan mendekati pohon.

Pohon kemudian diketuk-ketuk.

Si kakek menyeringai.

Pohon diketuknya lagi, kemudian telinga ditempelkan di batang pohon lalu dia menyeringai lagi.

"Orang tua ini agaknya memang gila sungguhan."

Batin Bunga Jelita gelisah juga tidak sabar.

"Apa kataku, Pohon ini baru saja mengatakan memang pohon ini satu-satunya penghubung menuju Istana yang kita cari."

Apa yang dikatakan Ki Lumut sebenarnya bukan sesuatu yang berlebihan. Sebagai orang yang pernah melakukan tapa di pohon Hijau tentu saja dia paham dengan bahasa pohon. Tapi bunga yang tidak tahu tentang kehidupan Ki Lumut mana mau percaya begitu saja.

"Kek, tidak ada waktu bagi kita untuk berlama lama di sini. Jalan menuju ke Istana Satu harus segera kita temukan karena Perawan Bayangan Rembulan pasti telah sampai di sana."

"Jalanan yang mana lagi. Pintu gaib itu adanya di sini,"

Ki Lumut tetap bersikeras.

"Aku tidak melihat ada lubang aku tidak melihat ada jalan di batang pohon."

"Ucapanmu membuat aku ingat ujar-ujar yang mengatakan. Manusia asalnya dari lubang, lalu mencari lubang dan kembali ke lubang. Ha ha ha!"

"Ujar-ujar gila dari mana itu?1"

Dengus Bunga jadi hilang kesabarannya

"Tentu saja ujar orang yang gila lubang!"

"Kek, jika kau tidak segera hentikan bualan kosongmu, aku bersumpah akan meninggalkanmu sendirian di tempat ini!"

Ancam sang dara sambil bersiap-siap tinggalkan tempat itu

"Eh tunggu. Maafkan tua bangka ini yang kerap bicara melantur. Tapi... tapi aku tidak bergurau. Aku akan minta pohon Darah ini membuka jalan untuk kita!"

Tegas Ki Lumut khawatir gadis jelita itu benar-benar meninggalkannya, Ki Lumut ketuk pohon tiga kall, lalu mengusap pohon dengan jarinya hingga mengeluarkan darah.

Byar!

Begitu pohon diusap.

Tiba-tiba dari batang pohon memancar cahaya merah terang yang disusul dengan munculnya pintu berkabut.

Kaget tidak menyangka dengan kebenaran yang diucapkan Ki Lumut.

Gadis itu tercengang dengan mata terbelalak

"Oh sungguh mengagumkan.
Kau hebat kek!"

Puji Bunga tanpa sadar

"Sudah jangan memuji, lekas ikuti aku. Pintu alam gaib ini tak akan terbuka lama.
Begitu lenyap kita kesulitan untuk membukanya kembali!"

Walau sempat ragu-ragu, namun Bunga Jelita akhirnya ikuti juga perintah Ki Lumut.

Dia berjalan dibelakang kakek ini.

Dan ketika Bunga melewati pintu yang berkabut, dia merasakan hawa sejuk memasuki rongga dadanya lalu pikirannya menjad lebih tenang.
Raja Gendeng 25 Petaka Lembah Tanpa Suara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



******


Bagi Raja bertemu dan melakukan perjalanan bersama dengan Nini Buyut Amukan yang juga dikenal dengan sebutan Si Jubah Terbang justru menambah pengalaman baru yang cukup mengesankan.

Nini Buyut adalah seorang sahabat tua yang enak diajak bicara.

Disamping itu sifat dan wataknya juga tidak jauh berbeda dengan Raja.

Si nenek suka bergurau.

Bicaranya polos dan ceplas-ceplos.

Kadang melantur kemana-mana diselingi dengan gelak tawa.

Kini sambil mengayunkan langkah menelusuri jalan bertingkat seperti anak tangga, kedua orang ini bergegas menuju lembah.

Tak jauh di depan sana sebuah bangunan putih.

Tatanannya indah mirip dengan anggunnya sebuah bangunan candi.

"Nek,kita sudah hampir sampai. Tapi... apakah benar bangunan yang ada di lembah sana itu memang Istana Satu?"

Suara Raja memecah keheningan. Nini Buyut Amukan tidak segera menjawab.

Diperhatikannya bangunan yang megah itu tanpa sadar mulutnya berdecak kagum.

"Siapakah yang membangun istana ini? Orangnya pasti memiliki cita rasa seni yang sangat tinggi. Dan aku yakin ini memang Istana Satu tempat tinggal Putri Manjangan Putih."

"Kalau bangunan itu ternyata hanya sebuah candi yang tidak berpenghuni. Lalu di mana kita bisa menemukan Puteri Manjangan Putih."

Tanya pemuda itu ragu

"Keraguan dapat membuat seseorang menjadi lemah dan tak akan pernah bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Hatiku mengatakan bangunan indah itu bukan candi, tapi istana. Kalau tidak percaya lekas ikuti aku!"

Seru si nenek Nini Buyut Amukan kemudian hentakkan kakinya.

Hentakan kedua kaki membuat tubuh Nini Buyut melambung lalu melesat laksana terbang menuju ke halaman Istana Satu. Karena Raja tidak memiliki jubah yang bisa menerbangkannya sebagaimana yang dimiliki Nini Buyut.

Pemuda itupun tertinggal jauh

"Nek, tunggu.Jangan kau perlakukan aku seperti bocah tolol. Dengan jubah itu kau bisa melesat diudara.Bagaimana dengan aku, aku tidak punya jubah juga tidak punya sayap,"

Seru Raja sambil berlari mengejar Nini Buyut Amukan.

Si nenek tertawa mengikik.

"Siapa bilang kau tidak punya sayap.
Bukankah lelaki punya burung, bukankah burung punya sayap. Dengan burung itu sekarang terbanglah! Susul aku!" sahut si nenek lalu tertawa tergelak-gelak.

"Nenek sial! Jangan sebut burung bodoh yang satu itu. Tentu saja dia tidak becus terbang, kemampuannya hanya mencari sangkar.Dia juga cuma mampu membuat perempuan sepertimu masuk angin nek."

Jawab Raja tak kalah konyol.

"Masuk angin bagaimana maksudmu, aku tidak mengerti!"

Sambil melayang si nenek pentang daun telinganya lebar-lebar berlagak selayaknya orang yang tuli.

"Kura-kura tua dalam perahu, berpura-pura tidak tahu. Si burung biasanya cuma menyantet kaummu, membuat perutnya melembung. Bunting nek apakah kau tidak tahu bagaimana orang hamil? Ha ha ha!"

"Pendekar geblek, raja goblok. Enak saja kau bicara. Kalau tidak ada perempuan sepertiku kau kira dunia ini bisa ramai. Siapa yang melahirkan bayi?"

Kata Nini Buyut Amukan yang saat itu sudah jejakkan kaki dihalaman istana.

"Kau betul nek. Laki-laki mana yang bisa melahirkan. Perempuan memang punya jasa dan andil besar dalam membuat sesak dunia. Tidak peduli bayi yang dilahirkan atas hubungan sah atau hubungan gelap. Yang penting bisa melahirkan saja, apakah begitu nek."

Sindir Raja.

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Raja. Sang pendekar yang baru sampai dengan nafas terengah-engalh delikkan matanya

"Nek, kau ini sudah gila atau apa? Aku baru saja berhasil menyusulmu. Bukannya memberiku hadiah ciuman sebaliknya kau malah menamparku. Gelo betul!"

Maki Raja Gendeng 313 sambil mengusap pipinya yang kemerahan.

Si nenek tertawa terkekeh.

Di tatapnya pemuda disampingnya.

"Betul kau minta dicium. Ciumanku bisa membuatmu terlena. Kau bakal terus mengejarku, minta dicium lagi dan menjadi lupa diri hingga tak dapat membedakan siang atau malam.Hi hi hi!"

Goda si nenek sambil julurkan lidahnya yang merah. Melihat tatap muka si nenek yang sayu dan lidah merah yang terjulur itu Raja malah bergidik ngeri.

Tanpa sadar dia melangkah mundur menjauh dari si nenek, membuat Nini Buyut Amukan senyum senyum penuh arti,

"Tidak! Jangan nek.Dari pada kau cium lebih baik aku mengucapkan terima kasih saja!"

Kata Raja terbata-bata

"Pemuda bau kencur.
Mukanya merah, mata ketakutan. Aku yakin dia memang belum pernah mencium atau dicium. Dia masih perjaka tong-tong kalau gadis namanya perawan ting-ting. Aku tidak memungkiri dia memang tampan.
Sejak awal bertemu aku memang sudah tertarik padanya.Aku menyukainya.Tapi apakah patut tua bangka sepertiku jatuh cinta pada pemuda yang pantas menjadi cucuku?"

Batin si nenek gelisah.

Dalam hati Nini Buyut Amukan merasa menyesal mengapa dia terlahir duluan.

Melihat Nini Buyut diam tertegun sambil menatap padanya dengan sorot mata aneh, Raja tambah tidak tenang

"Nek, memangnya kau kenapa? Apa kau kesurupan dedemit penunggu lembah? Awas bila kau berpikir macam-macam padaku!"

Raja mengancam. Si nenek menggeleng.

"Tidak. Aku berpikir satu macam saja tapi yang kupikirkan yang enak-enak saja. Yang tidak enak buat apa aku pikirkan. Hik!"

"Yang satu macam itu apa nek?"

Tanya Raja penasaran.

"Hus, jangan tanya rahasia wanita!"

Si nenek lalu cepat-cepat tempelkan telunjuknya di depan bibir. Setelah degup Jantungnya reda, Nini Buyut Amukan menatap ke arah pintu Istana Satu.

"Istana Kebahagiaan!"

Begitu kalimat yang tertera pada pintu istana.

"Istana Satu, apakah ini juga yang disebut Istana Kebahagiaan nek?"

Bertanya sang pendekar sambil memperhatikan tulisan besar-besar itu.

"Hmm, benar. Bukankah di dalam hidupnya setiap orang berusaha untuk mencari dan mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan menjadi nomor satu. Tanpa kebahaglaan bagaimana ketentraman hidup bisa diraih?"

"Kau benar juga nek. Otakmu ternyata cukup encer. Masih bagus cairannya tidak meluber ke telinga. He he he!"

"Dasar gendeng. Apakah kau tidak bisa bicara yang menyejukkan hati tua bangka ini!"

Rutuk Nini Buyut bersungut-sungut.

"Kalau hatimu mau sejuk, atau kau suka yang sejuk-sejuk datang saja ke pulauku nek. Kita bisa berendam dan bersejuk diri karena disana banyak es. Ha ha ha!"

"Kunyuk sinting. Letak pulau dimana kau pernah dilahirkan pun jarang orang mengetahuinya. Pulaumu itu seperti pulau hantu. Tapi sudahlah...!"

Nini Buyut menghela nafas dalam.

"Kita harus menemui Puteri Manjangan Putih dan memberitahukan kemungkinan bahaya yang mengintainya "

"Bukan kemungkinan nek. Bahaya besar memang sedang mengincarnya dan para musuh sudah pula memasuki kawasan ini"

Tegas Raja. Nini Buyut manggut-manggut membenarkan.

"Pintu istana dalam keadaan tertutup, Tidak terlihat adanya penjaga atau pengawal. Tapi mungkin saja orang yang hendak kita temui berada di dalamnya. Sekarang mari kita kesana!"

Raja diam membisu. Saat itu dia telah berjalan mendahului si nenek

"Setan! Aku mengajak dia sudah duluan."

Nini Buyut Amukan lalu bergegas menyusul Raja. Ketika keduanya sampal di depan pintu istana, Raja dan si nenek sama berpandangan.

"Ucapkan salam dulu nek, perkenalkan diri kita. Katakan pula bahwa kita orang baik-baik. Baru kalau tidak ada yang menjawab kita masuk."

Entah mengapa Nini Buyut Amukan kali ini menurut saja apa yang dikatakan Raja. Membuat hati Raja Gendeng 313 menjadi geli. Tapi ucapan dan saran yang asal-asalan itu ternyata membawa akibat yang menakjubkan.

Tiba-tiba saja terdengar jawaban berupa suara mengiang yang seolah datang dari seluruh penjuru langit.

"Orang-orang jujur lagi diberkati. Tata kerama sangat penting artinya sebagai lambang jati diri orang yang hidup. Orang yang sudah mati mana mengenal tata kerama dan santun. Kalian boleh masuk ke Istana Kebahagiaan. Carilah apa yyang kalian inginkan. Bila tidak ditemukan kalian boleh pergi. Berkah kebahagiaan akan menyambut kehadiran kalian di istana. Rasa bahagia jangan sampai membuat kalian lupa diri apalagi menjadi gila."

Suara itu lenyap. Di depan mereka pintu istana terbuka dengan sendirinya.

Semilir hawa sejuk menerpa mereka membuat keduanya saling pandang dengan hati dan pikiran tenteram dipenuhi kebahagiaan.

"Amboi. aku bahagla sekali nek.Aku belum pernah merasakan kebahagiaan sedahsyat ini.Seluruh tubuhku jadi tenteram dan damai. Bahkan aku merasa rambutku pun ikut bahagia."

Kata Raja sambil kembangkan kedua tangan lebar-lebar dan seyum-senyum sendiri.

Nini Buyut Amukan tatap pemuda di depannya.

Dia sendiri mengakui memang merasakan kebahagiaan yang luar biasa.

Otak jadi lempang dada tambah lapang, Namun dia tidak merasakan kebahagiaan sebagaimana yang diucapkan Raja.

Yang membuat Nini Buyut tambah heran lagi.

Dia juga melihat sekujur tubuh Raja dipenuhi kilatan cahaya dan taburan bunga dan kerlip cahaya mirip bintang dikejauhan langit.

"Aku bahagia, kau juga. Tapi tubuhmu."

Seru si nenek
Raja Gendeng 25 Petaka Lembah Tanpa Suara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Eng, memangnya ada apa dengan tubuhku? Aku sedang bahagia nek, jangan diajak bicara nanti kebahagiaanku lenyap!"

Sahut Raja namun diam diam dia memperhatikan dirinya sendiri. Dia tidak melihat kilatan cahaya, taburan bunga maupun kerlip cahaya seperti bintang.

"Nek kau bergurau lagi ya?"

Nini Buyut jadi gelagapan.

Semua keanehan yang ada dalam diri pemuda itu mendadak lenyap.

Kebahagiaan yang dia rasakan juga ikut raib.

"Keanehan ditubuhmu menghilang. Sungguh luar biasa."

Puji Nini Buyut disertai decak kagum. Raja menghela nafas. Sambil geleng kepala pemuda ini berkata.

"Nek... gara-garamu yang bicara terus kebahagiaanku jadi hilang. Kau ini sungguh keterlaluan nek"

Geram pemuda itu.

"Jangan menyalahkan. Aku memang melihat sesuatu telah terjadi padamu. Tapi aku tidak bisa mengatakan apa?"

"Kau mabuk ya nek? Minumnya kapan? Mengapa bicaramu jadi melantur seperti ini?"

"Jangan mengada-ada. Tua bangka sepertiku mana pernah mabuk. Kalaupun mabuk paling juga mabuk asmara."

Jawab si nenek sambil senyum senyum

"Kapan nek...?"

Tanya Raja Curiga

"Eng... anu, dul... dulu sekali."

Jawab Nini Buyut terbata-bata.

"Yang sudah lama sudah basi jangan dibicarakan lagi nek. Tapi sudahlah sekarang sebaiknya kita periksa seluruh ruangan yang terdapat di istana ini."

"Bangunan ini bertingkat-tingkat. Apakah kita akan memeriksa semuanya?"

"Ya nek. Sebaiknya kita berbagi tugas saja. Nanti kita bertemu di sini lagi."

Usul Raja.

Setelah terdiam dan berpikir sejenak, Nini Buyut Amukan akhirrnya mengangguk setuju. Keduanya lalu berpisah.

Raja menuju bangunan disebelah atas sedangkan Nini Buyut Amukan melakukan pemeriksaan di seluruh ruangan bawah. Tidak sampai sepemakan sirih Nini Buyut Amukan sudah muncul lagi ditempat semula dan disusul dengan Raja.

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 313 mengangkat bahu dan gelengkan kepala.

"Diatas tidak ada nek."

Jelasnya lesu.

"Di bawah juga tidak ditemukan."

Timpal Nini pula.

"Mungkin puteri Manjangan Putih sudah pergi. Lebih baik kita cari di tempat lain saja nek."

"Baiklah, aku setuju. Mari kita tinggalkan tempat ini!"

Nini Buyut Amukan kemudian memutar tubuh lalu bergegas menuju pintu.

Sesampainya di depan pintu si nenek berharap ada sekelumit kebahagiaan datang menghampiri. Namun kebahagiaan itu tidak pernah lagi singgah mengisi hati dan pikirannya sampai dia dan Raja telah melangkah jauh tinggalkan istana Kebahagiaan.


******


Pertempuran dengan Sapta Buana penguasa kawasan gaib Kehidupan Yang Terlupakan menjadi salah satu perkelahian paling seru dalam hidup Resi Cadas Angin.

Jika saja dia tidak segera menggunakan ilmu pukulan sakti Tangan Dewa Melanda Bumi maka dirinya pasti bakal menemul ajal di tangan mahluk keji itu.

Apalagi Sapta Buana memakai topeng hitam yang dikenal dengan nama Topeng Pembunuh, saat menyerang, Dengan mengenakan topeng itu maka segala kekuatan gaib berdatangan mendukung Sapta Buana untuk menghabisi sang Resi.

Sejauh itu Resi Cadas Angin, kakek berpenampilan serba putih ini masih belum mengetahul bahwa Sapta Buana yang telah dibuat remuk gepeng itu ternyata masih bisa bangkit dari kematian berkat topeng yang melekat di wajahnya.

Kehebatan Topeng Pembunuh itu adalah kelebihan kesaktiannya yang dapat memulihkan jasad Sapta Buana.

Mengembalikan tulang belulang serta memulihkan tubuhnya yang remuk redam.

Berjalan sendirian di kawasan yang cukup asing mengharuskan Resi Cadas Angin bertindak lebih waspada.

Dia menyadari butuh tindakan yang cepat untuk mencegah agar pertumpahan darah tidak terjadi dilembah atau kawasan yang diberkati oleh para dewa itu.

Ingat semua kekejian yang pernah dilakukan oleh Perawan Bayangan Rembulan maupun Ratu Siluman Buaya Putih, orang tua ini pun mempercepat langkahnya.

Dari sekedar berjalan cepat diapun kemudian berlari. Disuatu tempat, ditikungan jalan menuju lembah sesiur angin disertai serangan tidak terlihat menerpa tubuhnya.

Resi Cadas berjumpalitan kebelakang menghindari serangan gelap sambil pukulkan dua tangan ke depan menangkis serangan orang.

Bum!

Satu ledakan keras menggelegar mengguncang kawasan itu membuat dinding tebing ditikungan jalan runtuh.

Sebagian tanahnya bermuncratan kesegenap sudut penjuru sementara asap mengepul membumbung tinggi memenuhi udara.

Dengan gerakan yang enteng setelah sempat terguncang, Resi Cadas Angin yang perkasa itu jejakkan kedua kakinya diundakkan pertama jalan bertingkat.

Menatap ke depan dia melihat sesosok tubuh berupa seorang kakek berpakaian mewah warna hitam memakai blangkon duduk bersimpuh.Kakek ini tidak berdaya karena dilehernya digelayut rantai tak ubahnya seperti anjing piaraan.

Sedangkan ujung rantai yang lain berada dalam genggaman tangan gadis bergaun merah dengan mahkota bersimbol buaya putih yang bertengger di atas kepalanya. Sekali melihat Resi ini segera maklum siapa adanya gadis itu.

Juga kakek yang dirantai yang tak lain adalah Ki Demang Sapu Lengga, orang yang selama ini menjalin hubungan yang sangat dekat dengan adipati Salatiga Cakra Abiyasa.

Kepulan asap kini benar-benar lenyap.

Keadaan udara menjadi bersih dan menebarkan aroma harum semerbak bunga-bunga indah yang sedang bermekaran.

Resi Cadas Angin melangkah maju. Tiga tombak di depan Ratu Buaya dan Ki Demang langkahnya berhenti.

Belum sempat si kakek membuka mulut Ratu Buaya telah mencecarnya dengan pertanyaan.

"Kakek tua, berpakaian putih berkumis dan berjanggut putih. Apakah aku mengenalmu?"

"Dia adalah Resi Cadas Angin, pertapa dari Lembah Batu Pijar. Bagaimana kau bisa tidak mengenalnya Ratu!"

Yang menyahut bukan Resi Cadas tetapi Ki Demang. Sebagai imbalan Ki Demang Sapu Lengga mendapat satu tendangan keras di punggung belakangnya. Ki Demang menggeliat keras, rasa sakitnya bukan kepalang.

"Ratu jahanam! Aku memberitahu mengapa kau malah menghajarku!"

Teriak Ki Demang dengan mata mendelik dan wajah garang.

Plak!

Satu tamparan mendarat dimulut Ki Demang, membuat darah menyembur dari bibir yang pecah. Ketika Ki Demang meludah bukan cuma darah yang tersembur tapi juga dua buah giginya tanggal akibat tamparan ikut keluar.

Dengan dingin dan tenang tanpa meghiraukan penderitaan yang dirasakan Ki Demang, Ratu Buaya menjawab.

"Bukan kau yang kutanya, mengapa kau yang menjawab? Kau hanya seorang pecundang. Tugasmu hanya menunjukkan dimana Puteri Manjangan Putih dan tempat bertumbuhnya Bunga Anggrek Mayat berada."

Geram sang Ratu.

Dia lalu berbalik menghadap ke arah Resi Cadas.

"Orang tua kau belum menjawab pertanyaan!"

"Orang tua malang itu sudah berbaik hati menjawab pertanyaanmu. Tidak salah apa yang dikatakannya, aku memang Resi Cadas Angin. Kau tidak mengenalku tapi aku mengenalmu, Ratu Siluman Buaya Putih. Akhir-akhir ini aku juga banyak mendengar tentang kejahatanmu!"

Walau terkejut tak menyangka orang mengetahui siapa dirinya.

Namun Ratu Buaya malah tertawa tergelak-gelak

"Hi hi hi. Kau menuduh orang secantik dan sebaik diriku telah melakukan kejahatan besar.Memangnya kejahatan apa yang telah kulakukan Resi?"

Tanya gadis itu dengan sikap mencemo'oh

"Kamu telah membunuh tokoh-tokoh dunia persilatan karena mereka tidak dapat menunjukkan dimana beradanya Bunga Anggrek Mayat."

"Oh rupanya itu maksudmu.. Kalau memang benar kau mau apa? Mau mengadili aku, memangnya kau penegak keadilan dari kerajaan mana?"

"Untuk mengadili orang yang besalah, tidak perlu menunggu amanat dari kerajaan. Alu bisa melakukannya sendiri!"

Jawab Resi Cadas Angin. Mendengar ucapan Resi Cadas Angin, Ki Demang merasa mendapat kesempatan yang baik untuk meminta pertolongan. Tanpa membuang waktu diapun segera berkata dengan suara memelas agar yang mendengarnya merasa iba.

"Resi Cadas, rasa syukur kupanjatkan pada para dewa. Kau datang pada waktu yang tepat. Aku mohon bebaskan diriku dari Ratu sesat ini.Dia telah menipu diriku lalu menawan dan memperlakuanku seperti ini. Jika kau mau menolong, aku bersumpah akan menjadi hambamu yang paling setia!"

Selali lagi Ki Demang mendapat tendangan dari Ratu Buaya.

Namun kakek ini tidak perduli.

Dia berusaha menarik ujung rantai yang ada dalam genggaman sang Ratu.

Namun Sang Ratu tiba-tiba saja menyalurkan hawa panas ke rantai itu.

Rantai besi putih berpijar.

Pijaran menjalar cepat ke arah rantai yang melilit leher Ki Demang. Orang tua yang ilmu kesaktiannya dilumpuhkan oleh Ratu Buaya tentu saja tidak dapat melindungi dirinya sendiri.

Begitu hawa panas menyerang leher Ki Demang masih sempat berseru dengan wajah kesakitan.

"Resi Cadas, tolong...."

Jeritan lenyap, Ki Demang tidak sadarkan diri. Melihat sikap Resi Cadas Angin yang diam tidak memberikan pertolongan, Ratu Buaya menjadi heran.

"Katanya kau mau menolong. Mengapa kau biarkan aku menyakitinya?"

Resi Cadas Angin tersenyum. Sambil melipat kedua tangan di depan dada dia menjawab.

Raja Gendeng 25 Petaka Lembah Tanpa Suara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau dan dia sama jahatnya. Malah kejahatan Ki Demang sangat luar biasa."

"Apa maksudmu?"

"Rupanya kau belum pernah mendengar tentang Misteri Cinta Hitam? Seorang laki-aki bertopeng menggunakan Ilmu Segala Rindu untuk merayu seorang wanita bernama Kunti Seroja. Lalu gadis itu terbuai, mereka lalu melakukan hubungan terkutuk berulang kali. Perempuan itu hamil tanpa mengetahui siapa laki-laki yang tidur dengannya.Dan tahukah kau wahai ratu, perempuan yang kumaksudkan adalah adik ipar Ki Demang"

"Oh ceritamu sungguh luar biasa. Apakah benar Ki Demang yang telah melakukannya?"

"Aku tidak mengatakan demikian, tapi dari semua penyelidikanku. Dugaanku mengarah ke dia. Telah banyak korban yang disebabkan oleh perbuatan Ki Demang. Dan aku curiga Ki Demang mempunyal ilmu penakluk wanita bernama Segala Rindu mengingat hubungannya dengan Puteri Manjangan Putih di masa lalu."

"Apakah Puteri Manjangan Putih memberikan ilmu itu kepada tua bangka ini?"

Tanya Ratu Buuaya sambil menunjuk laki-laki tua yang terkapar di depannya.

"Mungkin saja. Dulu ketika hubungan persahabatan diantara mereka masih terjalin dengan baik."

"Lalu anak yang dilahirkan dari hubungan itu kemana?"

Tanya sang dara yang diam-diam tertarik juga mendengar cerita Resi Cadas Angin.

"Si anak yang lahir dari hubungan gelap itu kemudian hendak dibuang. Tapi seorang dari dunia kehidupan lain mengambilnya, mengasuh dan mendidiknya sehingga menjadi besar. Sampai kemudian dia muncul membuat kekacauan di malam munculnya bulan di langit!"

Penjelasan Resi menimbulkan keterkejutan luar biasa di hati Ratu Buaya.

Dia sama sekali tidak menyangka bahwa saingan beratnya untuk mendapatkan Bunga Anggrek Mayat tidak lain adalah gadis yang terlahir dari cinta hitam.

"Tua bangka ini sudah selayaknya mati!"

Berkata demikian Ratu Buaya Putih tiba-tiba angkat tangannya.

Begitu diangkat dari tangannya memancar cahaya hijau redup.

Ratu Buaya siap menghantam Ki Demang yang pingsan dengan pukulan beracun

"Tunggu!"

Cegah Resi Cadas Angin.

Merasa dihalangi, Ratu Buaya pun membentak.

"Resi... kau mengatakan tua bangka tidak berguna ini bersalah. Tapi mengapa malah melarangku membunuhnya?!"

Si kakek tersenyum. Tanpa perduli dengan sikap Ratu Buaya, orang tua ini berkata.

"Bersalah tidaknya seseorang itu harus dibuktikan. Walau pun menurut dugaanku dia orangnya yang membuat Kunti Seroja menderita sengsara batin sampai akhir hayatnya. Namun aku butuh bukti."

"Bukti apakah Ki Demang memiliki ilmu Segala Rindu harus ditanyakan kepada puteri Manjangan Putih. Dia pasti mau memberitahu jika dulu pernah memberikan ilmu pemikat itu pada KI Demang"

"Mengapa harus bertele-tele. Lebih baik bunuh secepatnya. Kemudian tentang kebenarannya itu boleh kau tanya kepada Puteri Manjangan Putih dan itupun bila dia masih hidup, Hik!"

Ucapan Ratu Buaya membuat kening Resi Cadas Angin berkerut dalam. Tidak sabar dia bertanya.

"Ratu Buaya, apa maksud ucapanmu?"

"Resi tujuanmu kemari adalah untuk mencari kebenaran dan mengadili mereka yang bersalah. Tapi aku bukanlah orang sepertimu. Aku datang untuk mendapatkan Bunga Anggrek Mayat. Bunga itu untuk melenyapkan pengaruh kutukan yang terjadi atas diriku. Aku telah muak menjadi penguasa mahluk buaya yang menjijkan. Dan kau pasti tahu bahwa aku sebenarnya adalah seorang bidadari cantik. Hanya bunga itu yang sanggup memusnahkan pengaruh kutukan dewa."

"Jika hanya itu yang kau inginkan mengapa harus melakukan banyak pembunuhan."

Ucap Resi Cadas Angin menyesalkan.

"Aku membunuh siapa saja yang berusaha menghalangi keinginanku!"

Teriak Ratu Buaya marah

"Ratu, dengarlah.Aku bisa membantumu mendapatkan bunga itu asalkan kau mau bersabar. Akan kubicarakan keinginanmu pada Puteri Manjangan Putih. Aku yakin dia perduli dengan nasibmu!"

"Hmm, begitu. Kau lupa, walaupun aku tidak membunuh Puteri Manjangan Putih, pasti akan ada orang lain yang bakal membunuhnya."

"Apakah Perawan Bayangan Rembulan itu yang kau maksudkan?"

Tanya si kakek

"Kau kira siapa?"

Sentak Ratu Buaya

"Jika demikian kita harus bisa mencegahnya!"

Ujar Resi Cadas Angin. Diluar dugaan Ratu Buaya malah mengumbar tawa. Sambil ketawa terkekeh dia berkata.

"Tidak semua mahluk mempunyai hati sebaik dirimu Resi. Sikap tulusmu merupakan kemuliaan seorang manusia. Tapi dalam hal urusan kita, aku dan kau sama-sama memiliki cara yang jelas-jelas berbeda. Aku akan menemui gadis itu dan mudah-mudahan tua bangka ini cukup berguna untuk membantu. tidak! aku akan menghanguskan tubuhnya!"

Kata Ratu Buaya mengancam.

"Ratu Buaya, kau tahu sesungguhnya kau adalah gadis yang baik. Kesalahanmu di masa lalu hanya karena kerap melanggar aturan kayangan. Jika kau mendengar saranku, akan banyak orang yang membantumu, percayalah.Tapi kau berniat menghabisi puteri Manjangan Putih. Dengan sangat menyesal aku kehilangan simpati terhadap jalan takdirmu"

Mendengar ucapan si kakek wajah Ratu Buaya berubah kelam. Tanpa dia sadari ada air mata bergulir menuruni pipinya. Namun Ratu Buaya berusaha bersikap tegar, buru-buru dia seka air mata yang mengalir di pipinya.

"Orang tua, aku akan mempertimbangkan semua saranmu. Tapi suasana hati dan keputusanku semua tergantung pada keadaan. Jika keadaan tidak berpihak padaku, jangan pernah menyesal bila aku terpaksa membunuhmu juga!"

"Aku percaya kau memang gadis yang baik. Mudah-mudahan dewa memberikan yang terbaik untukmu"

"Hu!, tak usah bicara manis. Sudah sejak lama para dewa di kayangan marah dan gusar atas perbuatanku. Sekarang aku harus pergi!"

Ucap Ratu Buaya

"Bagaimana dengan orang tua yang menjadi tawananmu?"

Tanya si kakek.

Dalam hati dia berharap agar Ratu Buaya mau menyerahkan Ki Demang padanya. Di luar dugaan Ratu Buaya gelengkan kepala

"Tidak! Ki Demang tetap sebagai tawananku. Dia lebih mengenal Puteri Manjangan Putih. Itu sebabnya aku membawanya ke tempat ini."

Tegas sang dara bergaun merah.

"Tindakanmu itu sangat kusesalkan."

Ujar Resi Cadas Angin sambil mengurut dada

"Lalu apa yang hendak kau perbuat Resi? Hendak membunuhku? Ketahuilah tidak seorangpun manusia yang sanggup membunuhku!"

"Aku percaya. Lagi pula aku memang tidak punya niat untuk membunuhmu."

"Kau boleh pergi, Ratu Buaya."

"Terima kasih atas kebaikanmu. Aku tidak akan melupakannya!"

Setelah berkata demikian Ratu Buaya sentakkan rantai dalam genggamannya.

Begitu rantai tersentak ke atas, tubuh Ki Demang melayang dan jatuh di pundaknya.

Kemudian tanpa menoleh lagi sang Ratu berkelebat menuju ke arah bangunan yang terdapat di tengah lembah.

"Kasihan gadis itu. Mudah-mudahan dia tidak mengambil jalan kekerasan untuk memperoleh bunga yang diinginkannya."

Kata Resi Cadas Angin seorang diri. Sekejab dia memandang ke arah lembah yang sunyi.

Si kakek yakin Puteri Manjangan Putih sudah tidak ada lagi di Istana Satu.

"Petunjuk dar? semediku, dikawasan ini ada satu lagi lembah yang lain. Lembah tempat tumbuhnya Bunga Anggrek Mayat. Aku harus mencari dan menemukan lembah itu!"

Ucap Resi Cadas Angin lalu melangkah pergi.


******


Lembah Tanpa Suara keadaannya jauh berbeda dengan Lembah Kebahagiaan.

Lembah Tanpa Suara sebenarnya adalah sebuah danau besar yang berair bening sejuk.

Di tengah pulau ini hanya tumbuh pohon besar berdaun lebar mirip dengan daun talas. Diantara pepohonan itu tumbuh pula beraneka jenis bunga, namun setiap bunga baik daun maupun bunganya berwarna merah biru.

Setiap bulan purnama tiba dibagian tengah pulau terapung itu tumbuh mekar sebuah pohon raksasa berdaun panjang.

Batang dan daun serta rantingnya mirip dengan anggrek.

Tidak seperti tanaman Anggrek pada umumnya yang tumbuh bergelayut menopang pada pohon atau tanaman lainnya.

Pohon Anggrek yang sangat istimewa ini justru muncul dipermukaan tanah berpasir.

Setiap bulan purnama kuntum bunga anggrek bakal mekar dengan jumlah tidak lebih dari tiga kuntum.

Dan bila ini mekar maka seluruh penjuru lembah akan dipenuhi aroma bau setanggi.

Aroma wewangian yang biasa dipergunakan untuk mayat.

Itulah sebabnya Anggrek ajaib yang muncul dan mekar disaat bulan purnama penuh tersebut dinamakan Bunga Anggrek Mayat.

Tidak sembarangan orang bisa memetik bunga yang memiliki banyak khasiat itu.

Mengingat setiap anggrek muncul ditanah pasir akan dikuti dengan munculnya seekor ular raksasa bersisik merah.

Ular besar yang dikenal dengan nama Sang Penghela biasanya akan melingkari tumbuhan anggrek, lalu menjaganya sampai kuncup bunga yang mekar menjadi layu.

Seluruh batang daun dan bunga akan kembali raib menjelang fajar menyingsing diufuk langit sebelah timur.

Selama ratusan abad berlalu, bunga Anggrek Mayat memang kerap muncul di pulau itu.

Tumbuh dengan cepat, keluar putik lalu bermekaran dan lenyap kembali menjelang pagi.

Selama itu tidak seorang manusiapun yang mengusiknya.

Mungkin karena tumbuhnya sang bunga ajaib di alam gaib sehingga tidak seorang pun manusia yang sanggup menyambangi tempat itu.

Yang jelas Nila Seroja alias Perawan Bayangan Rembulan telah berhasil menemukan pintu alam gaib yang kemudian disusul dengan kehadiran para tamu tidak diundang lainnya.

Puteri Manjangan Putih seperti telah diketahui telah lama menetap di Lembah itu. Dia yang sudah sangat memahami seluk beluk pulau lalu memilih tempat yang aman untuk dijadikan tempat peristirahatan sementara.

Tempat yang dipilihnya dan kemudian ditunggui menjadi tempat tinggal adalah sebuah pohon besar, dipenuhi banyak cabang dan berdaun rindang. Pohon itu letaknya tidak jauh dari tanah berpasir tempat dimana Bunga Anggrek Mayat biasanya muncul, tumbuh dan berkembang.
Raja Gendeng 25 Petaka Lembah Tanpa Suara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Sebagai penguasa kawasan, sang puteri tentunya tidak takut pada ular Merah Raksasa yang dikenal dengan nama Sang Penghela, karena ujar tersebut sangat mengenal dirinya bahkan tunduk pada setiap perintahnya.

"Matahari sebentar lagi tenggelam dibalik peraduannya."

Kata Puteri Manjangan Putih ditujukan pada Nyai Sentika abdi setia yang baru saja menutupi bangunan sederhana yang selesai dibangun di cabang pohon.

Ketika bicara suara sang puteri berbisik.

Untuk diketahui bicara dengan suara keras menjadi pantangan besar saat berada di Lembah Tanpa Suara ini.

"Begitu matahari tenggelam, bulan pun muncul di langit. Saya tidak nyaman dengan munculnya bulan dilangit, gusti."

Dengan suara berbisik pula Nyai Sentika menjawab.

"Orang-orang pasti berdatangan kemari" ujar sang puteri pula.

Dia menatap keseluruh penjuru danau melalui dinding pondok yang terpasang hanya setengahnya saja.

Setelah itu perhatian puteri cantik berambut perak ini beralih ke arah tanah luas berpasir

"Jika orang-orang yang datang mencari gusti di istana Kebahagiaan, lalu tidak menemukan gusti, maka dengan segala upaya mereka pasti bakal menyisir seluruh kawasan. Saya khawatir mereka akan menemukan lembah ini."

"Aku tidak takut dengan mereka. Aku justru takut pada derita kesengsaraan yang bakal mereka alami.Mereka tidak tahu pantangan dan larangan jika mereka datang dengan suara keras apalagi dengan suara berteriak-teriak. Tidak hanya Si Ular Raksasa yang akan melumat mereka, para penghuni dasar danau juga bakal murka."

Gumam sang puteri.Wajah gadis ini jelas-jelas membayangkan kekhawatiran.

Lain halnya dengan Nyai Sentika, begitu puteri Manjangan Putih menyebut Ular raksasa merah yang biasanya melingkari Bunga Anggrek Mayat dan juga para penghuni dasar danau, wajah nenek ini menjadi berubah pucat dan banyak bersimbah keringat.

Tengkuknya mendadak dingin. Kemudian dengan berbisik namun suara bergetar dia berujar.

"Mereka adalah musuh yang sudah selayaknya mati gusti. Mengapa gusti risau?"

"Orang seperti Nila Seroja memang musuh kita, begitu juga dengan Ratu Buaya, Dia juga membekal maksud yang tidak baik.Tapi bagaimana dengan orang-orang yang tidak bersalah yang datang ke sini dengan dengan niat yang tulus yaitu ingin membantu kita. Mereka tidak layak menjadi korban!"

"Apakah maksud gusti pemuda gondrong itu?"

Tanya Nyai Sentika.

Ketika berucap dia sengaja memerhatikan wajah sang puteri untuk memastikan bagaimana raut wajah junjungannya.

Puteri Manjangan Putih tersenyum

"Pemuda itu memang keturunan raja, dia adalah seorang pangeran. Jangan mengira aku tertarik padanya.
Aku dan dia beda alam. Dia manusia sedangkan aku mahluk alam gaib.Lagi pula sudah ada seseorang yang menaruh hati pada pemuda itu walau dia sendiri tidak mengetahuinya."

Jelas sang puteri seadanya.

"Memangnya siapa gadis yang gusti maksudkan?"

Bertanya Nyai Sentika penasaran.

"Gadis itu berwajah cantik luar biasa. Ilmu kesaktiannya cukup hebat. Bahkan dia pernah menjadi kepala pasukan kadipaten Salatigo. Namanya Bunga Jelita suka disebut juga Bunga Kembang Selatan. Saat ini gadis yang sangat baik itu telah memasuki kawasanku. Kedatangannya kemari hendak mencari Perawan Bayangan Rembulan yang telah membunuh pamannya."

"Jika demikian dia tidak boleh mati sia-sia ditempat ini!"

Ucap Nyai Sentika menyayangkan

"Hidup matinya seseorang tidak ada yang bisa memberi jaminan. Semua tergantung pada takdir masing-masing. Ada kalanya orang baik pendek umurnya, sebaliknya orang jahat malah dikaruniai panjang umur."

"Ya, saya juga sering melihat demikian gusti. Jika begitu yang kuasa tidak bersikap adil"

"Bukan demikian."

Sergah sang puteri disertai senyum.

"Orang baik pendek usianya karena yang kuasa menganggap kebaikannya sudah cukup sebagai bekal kehidupan di alam sana. Orang jahat panjang umur yang kuasa sengaja memberinya usia panjang untuk bertobat. Sayang sangat sedikit manusia yang memikirkannya."

"Gusti benar juga. Tetapi saya ini kan termasuk orang baik, mengapa saya berumur panjang? Padahal usia saya hampir dua ratus tahun."

"Mungkin untukmu merupakan sebuah pengecualian."

Bisik sang puteri

"Pengecualian. Apa maksud gusti?"

Tanya Nyai Sentika penasaran ingin tahu.

"Mungkin karena kau belum mendapatkan jodoh, Makanya yang kuasa dan para dewa memberimu umur panjang!"

Jawab gadis itu sambil tersenyum.

"Ah, gusti ada-ada saja, Gusti sendiri mengapa tidak segera mencari jodoh?"

Sindir si nenek

"Aku. Apakah kau lupa tanpa jodoh pun aku sudah sangat-sangat bahagia.. Bukankah orang yang mencari jodoh tujuannya selain untuk mendapatkan keturunan juga untuk mencari kebahagiaan. Kalau orang sepertiku sudah bahagia, buat apa jodoh untukku?"

Si nenek manggut-manggut namun masih penasaran, dia menjawab.

"Untuk menambah lagi kebahagiaan yang ada gusti."

"Hidup terkadang tidak seindah yang diharapkan. Apa yang kita dapat belum tentu sesuai dengan yang kita inginkan. Kebahagiaan bisa ditemukan dari kebajikan-kebajikan yang diperbuat oleh setiap orang. Janganlah memberi bila kita mengharap balasan. Semakin banyak berharap, semakin banyak kekecewaan datang."

"Apa yang gusti katakan memang betul."

"Ah sudahlah, Lebih baik kita bersiap-siap menghadapi datangnya malam. Oh ya apakah kecapi baruku telah siap?"

"Oh maaf gusti. Kecapi memang sudah selesai dan siap pula untuk menghibur gusti. Namun tertinggal dibawah pohon itu."

"Tolong kau ambil!"

"Bukankah suara kecapi bisa membangunkan mahluk-mahluk di dalam danau?"

Kata si nenek cemas

"Jangan khawatir. Aku hanya ingin kecapi itu menemaniku di sini."

Jawab Puteri Manjangan Putih sambil tersenyum.

"Jika demikian saya akan mengambilnya."

Lalu nenek itu menjura hormat pada sang puteri. Setelah melangkah mundur dan balikkan badan dia tinggalkan pondok kayu tersebut.


******

Setelah sampai dihalaman Istana Satu yang juga adalah Istana Kebahagiaan, Ki Lumut dan Bunga Jelita segera melakukan pemeriksaan ke bagian dalam istana.

Ketika berada di dalam istana seperti yang dialami oleh Raja maupun Nini Buyut Amukan, Bunga dan Ki Lumut sama sekali tidak merasakan adanya rasa kebahagiaan yang datang menghampiri jiwa mereka.

Ki Lumut malah merasa gerah kepanasan sehingga begitu orang yang mereka cari tidak ditemui, si kakek segera mengajak dara cantik itu bergegas keluar.

Sebelumnya beberapa saat yang lalu Ratu Buaya Putih juga telah masuk ke dalam istana itu. Tapi selain sang ratu tidak mendapati orang yang dicari Ratu Buaya malah merasakan kepalanya pusing luar biasa.

Bagian kepala menggembung bengkak, membesar laksana bola karet seperti mau meledak. Tidak hanya itu dadanya juga ikutan menggembung seperti mau meletus.

Ratu Buaya yang seumur hidupnya tidak pernah mengalami kejadian seaneh itu menjadi ketakutan.

Takut terjadi sesuatu dengan kepala dan dadanya dia segera berlari keluar.

Ketika sampai diluar satu keanehan lagi-lagi terulang kembali.

Kepala maupun dada yang melembung besar dari ukuran normal itu mengempis.

Tetapi kemudian dari liang telinga dan juga pusarnya terdengar bunyi suara.

Pret!

Pret...!

Bertalu-talu. Marah bercampur perasaan tidak mengerti sang Ratu pun berteriak.

"Kurang ajar. Tidak ada seekor kunyuk pun di dalam istana itu lalu mengapa telinga dan..."

Ratu tidak melanjutkan ucapan, sebaliknya mengusap dadanya yang menonjol tegak.

"Mengapa telinga dan pusarku bisa mengeluarkan suara seperti orang kentut. Apa kata orang bila sampai melihat semua kekonyolan ini."

"Gusti ratu ada apakah?"

Tanya Ki Demang Sapu Lengga yang rupanya sudah sadarkan diri dari pingsannya.

"Tua bangka tak berguna. Aku tidak bicara denganmu!"

Geram Ratu Buaya yang tambah gusar

"Sesuatu yang tidak menyenangkan agaknya terjadi di istana terhadap dirimu. Aku melihat hiburan yang asyik."

Kata Ki Demang. Si kakek nampaknya sudah tak perduli lagi dengan keadaan dirinya

"Apa maksudmu?"

Teriak Ratu Buaya.

Dia menyambar rantai yang tergeletak di tanah.

Rantai ditarik hingga leher Ki Demang ikut tersentak.

Tapi Ki Demang makin tidak perduli.

Sambil tergelak gelak dia menjawab.

"Sesuatu yang sangat luar biasa dibawah lehermu.Aku suka yang besar-besar. Ha ha ha!"

Dees!

Satu hantaman yang keras mendarat di bahu Ki Demang, membuat tawanya lenyap berganti raungan.

Ki Demang terkulai tidak sadarkan diri

Raja Gendeng 25 Petaka Lembah Tanpa Suara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tua bangka hina, kelak kematianmu akan kubuat sangat menyakitkan!"

Geram Ratu Buaya. Sambil meludahi wajah si kakek, gadis ini kemudian menyeret Ki Demang tinggalkan tempat Itu.

Dia tidak perduli lagi walau tubuh si kakek kotor penuh debu dan bilur-bilur luka akibat bergesekan dengan pasir.

****


Kembali pada Bunga Jelita dan Ki Lumut. Setelah keluar dari istana. Ki Lumut kemudian berjalan ke arah sebatang pohon berbuah lebat yang terdapat diseberang halaman istana.

Buah pohon itu bentuknya seperti cempedak, namun buah yang masak menebar aroma seperti sawo matang.

Ki Lumut yang sudah kelaparan tanpa banyak bicara segera memetik beberapa buah, lalu mengupasnya dengan jemari tangan.

Ketika si kalek hendak memakan buah tesebut.

Sebuah batu melayang menghantam tangannya.

Buah yang siap masuk ke mulut terjatuh.

Si kakek menjerit sambil kibas-kibaskan tangannya yang tertimpa batu.

"Hei, mengapa kau menggangguku? Aku kelaparan, buah ini bisa menjadi penangsal perut"

Gerutu Ki Lumut setelah mengetahui yang melemparnya adalah Bunga Jelita.

"Orang tua bodoh. Makan buah itu walaupun hanya sebutir saja bisa membawamu keliang kubur. Lihat! Semua buah dalam keadaan utuh, tidak terlihat ada musang atau sebangsa kampret yang menggerogotinya? Mengapa, karena buah ini sangat beracun."

Mendengar ucapan Bunga, Ki Lumut segera campakkan semua buah di tangannya. Dia lalu duduk bersandar di bawah pohon. Wajahnya terlihat letih, matanya membayangkan rasa kecewa.

"Memangnya buah mirip cempedak menebar harum sawo masak itu buah apa?"

Tanya Ki Lumut penasaran.

Sang dara tidak segera menjawab.

Sebaliknya dia duduk menghadap ke arah Ki Lumut.

Setelah layangkan pandang ke atas pohon dia berujar,

"Nama pohon ini adalah Buah Mabok Sampai Mati. Siapa yang memakannya mula-mula akan merasakan kepalanya pusing, perut mual dan panas seperti terbakar selayaknya orang yang mabok. Dalam waktu singkat sekujur tubuh korbannya akan mengeluarkan api.Dan kau bisa mati dalam keadaan hangus seperti dipanggang diatas kobaran api."

"Eeh, bagus aku tidak sempat memakannya. Kalau kau tidak memberi tahu, sekarang ini aku past sudah jadi almarhum!"

Desis Ki Lumut dengan mata terbelalak

"Kau berhutang nyawa padaku. Ingat baik-baik kek."

Jawab Bunga Jelita sinis.

"Ya, aku memang berhutang nyawa.Kelak aku akan membayarnya dengan beras. Tapi ngomong ngomong dari mana kau bisa tahu buah ini adalah buah maut?"

Ki Lumut. Rupanya dia penasaran. Si gadis cemberut

"Enak saja hutang nyawa dibayar beras. Tapi biarlah tidak mengapa. Anggap saja aku tidak menghutangkan apa pun padamu."

"Terima kasih, kau baik sekali. Tapi kau belum menjawab pertanyaanku."

Ki Lumut menuntut

"Buah Mabok Sampai mati biasa tumbuh di daerah selatan. Tempat yang sangat diyakini menjadi kumpulan para mahluk lelembut. Aku tidak heran bila buah itu ada di sini, Karena kita juga berada di alam gaib."

Menerangkan si gadis

"Nama buahnya lucu juga ya. Baru sekali ini aku mendengarnya."

Si kakek lalu menggaruk kepalanya

"Lucu tapi mematikan."

"Sekali lagi aku berterima kasih. Aku tidak tahu apa jadinya jika tidak bersamamu!"

"Kau boleh menyimpan rasa terima kasihmu orang tua. Tapi lihatlah! Sekejab lagi hari akan berganti malam.Puteri yang kita cari tidak ada di istana. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadapnya.Apalagi kita juga tidak menjumpai Nila Seroja di tempat ini."

Ucapan Bunga membuat Ki Lumut segera ingat dengan tujuannya semula.

Orang tua ini terdiam sambil berpikir

"Malam ini adalah malam bulan purmama penuh. Nila Seroja pasti sedang berada di puncak kekuatannya.
Apalagi Nila Seroja memiliki Topeng Pemasung Jiwa. Tanpa topeng itu saja kesaktiannya sudah sangat luar biasa.Bila topeng terus itu melekat diwajahnya, apakah aku dan gadis ini sanggup menghadapinya?"

"Kek, memangnya kau sedang memikirkan apa? Berpikir boleh boleh saja tidak dilarang.Tapi harus diingat waktu kita tidak banyak"

"Eeh, Iya. Maaf.Aku hanya merisaukan gadis yang telah membunuh pamanmu itu. Jangan-jangan dia telah menemukan puter? Manjangan Putih dan membawanya pergi"

"Apakah kau mengendus tanda-tanda kehadiran Nila Seroja di sekitar sini?"

Tanya Bunga curiga.

"Walau samar namun aku yakin gadis itu memang pernah menyambangi istana ini. Dan ditempat ini telah terjadi bentrokan yang cukup hebat"

"Lalu..!"

"Kita harus menemukan sang puteri maupun Nila Seroja secepatnya."

Tegas Ki Lumut. Bunga Jelita bangkit. Dengan kesal dia hentakan kakinya di depan si kakek hingga membuat tanah bergetar dan debu berterbangan.

"Kau..sudah gla atau apa?"

"Aduh kek. Kau ini bagaimana. Kita harus segera menemukan mereka tetapi sementara ini kita sendiri tidak mempunyai petunjuk tentang keberadaan mereka!"

Jawab gadis itu kesal. Ki Lumut tersenyum. Dia lalu membuka kantong perbekalannya.

Sepasang terompah sakti dia keluarkan dari kantong bututnya yang lusuh.

"Buat apa keluarkan terompah yang cuma bisa membawa kita terbang."

Kata Bunga Jelita yang tambah kesal melihat kelakuan Ki Lumut

"Eit jangan salah."

Sahut K Lumut sambil goyang-goyangkan jari telunjuknya di depan hidung.

"Kau belum tahu kehebatan lain yang dimilik terompah ini."

"Apa maksudmu kek? "

"Terompah saktiku memiliki banyak keistimewaan. Selain dapat membawa terbang kesuatu tempat, terompah ini juga dapat mencari tahu dimana keberadaan Puteri Manjangan Putih. Jika aku berkata.

"Cari Puteri Manjangan Putih,"

Lalu meniup terompah tiga kali maka terompah sakti akan mengantar kita ke tempat Puteri Manjangan Putih itu berada."

Terang si kakek sambil senyum senyum.

"Ucapan itu bersungguh-sungguh atau gurauan saja?"

Bunga Jelita tampak ragu-ragu.

"Siapa bergurau?"

"Jika kau tidak bergurau mengapa kalau bicara selalu tersenyum kek."

Dengus sang dara.

"Aku memang sudah begini dari sananya. Mau diapakan lagi! Tapi sudahlah sekarang sebailknya kita cari Puteri Manjangan Putilh dengan memakai terompah."

"Ayo... pegang pundakku! Aku akan membawamu serta."

"Aku membonceng di punggungmu lagi? Kau yang keenakan aku yang rugi."

"Rugi bagaimana?"

Tanya Ki Lumut tidak mengerti.

Dia tatap wajah gadis di depannya yang wajahnya merona merah.

"Jangan berlagak bodoh, kek. Aku bergelayut di punggungmu, sementara gerakan terompah kadang berayun tak karuan. Bukankah dadaku kerap menempel, bersentuhan dengan punggungmu yang lumutan itu kek?1"

"Ho ho ho. Oalah... kukira apa. Begitu saja kok ribut. Aku ini sudah tua, kau sudah kuanggap seperti cucuku sendiri. Mana mungkin aku tega membayangkan yang tidak-tidak. Lagi pula punggungku ini sudah mati rasa. Jika tidak mau digendong dibelakang apa kau mau kugendong di sebelah depan?"

"Kakek kurang ajar. Siapa sudi?!"

Dengus Bunga Jelita lalu palingkan wajah ke jurusan lain.

"Siapa yang kurang ajar. Kalau kau kugendong, bukankah menjadi sama-sama enak. Ha ha ha!"

Goda Ki Lumut sambil tertawa terkekeh.

"Bicaramu makin tak karuan kek. Walaupun kau telah menolongku, tapi bukan berarti aku tak boleh menghajarmu"

Ancam gadis itu sengit. Melihat Bunga kesal Ki Lumut pun hentikan tawanya. Kemudian dia berkata.

"Sudah. Kalau tak mau bergelayut di punggungku, kau boleh memegangi kakiku, atau mau memilih berjalan kaki? Silahkan saja, Mungkin kau akan butuh waktu beberapa purnama untuk menemukan Nila Seroja atau bahkan tak bakal menemukannya sama sekali"

Bunga Jelita terdiam. Dia melihat matahari sudah mulai tenggelam menghiasi langit. Inilah malam terakhir Nila Seroja muncul.

Di malam gelap gadis itu tak mungkin gentayangan dikehidupan manusia

"Nila Seroja harus bertanggung Jawab atas kematian pamanku juga para tokoh persilatan yang tewas ditangannya. Ki Lumut mungkin saja benar, waktunya sangat sempit. Biarlah tidak mengapa aku menumpang di punggung yang lumutan itu, demi arwah orang-orang yang dibunuh oleh Perawan Bayangan Rembulan"

Sesudah Bunga memutuskan lalu tatap kakek di depannya dan berkata.

"Mari kita berangkat kek!"

"Hah, sudah berubah pikiran kau rupanya?"

Si kakek menyambut gembira keputusan Bunga.

Tanpa menunggu dia menyebut nama Puteri Manjangan Putih tiga kali setelah itu dia meniup terompah juga sebanyak tiga kali.
Raja Gendeng 25 Petaka Lembah Tanpa Suara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Terompah bergetar memancarkan cahaya biru redup.

Si kakek segera memakainya.

Satu dikaki kiri satunya lagi di kaki kanan.

Melihat terompah telah terpasang Bunga pun segera hampiri Ki Lumut, dua tangan dilingkarkan dileher si kakek

"Sudah siap?"

Tanya orang tua itu ditujukan pada dara di belakangnya.

"Ya."

Jawab Bunga singkat. Ki Lumut hentakan kaki

Wuus!

Pedang Pusaka Buntung Karya T Nilkas Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Pendekar Rajawali Sakti 177 Siluman

Cari Blog Ini