Ceritasilat Novel Online

Topeng Pemasung Jiwa 3

Raja Gendeng 24 Topeng Pemasung Jiwa Bagian 3


Setelah berdiri tegak sang Resi membuka matanya yang selama perjalanan selalu dalam keadaan terpejam.

Sesepuh penghuni Lembah Batu Pijar ini pun lalu layangkan pandang ke arah mana pohon berwarna merah tegak berdiri.

Setengah tak percaya dia menatap pohon itu.

Dari mulutnya terdengar kata pujian,

"Kuasa dewa meliputi segalanya. Petunjuk telah menuntunku menemukan pohon ini. Terima kasih dewa, terima kasih pemilik langit dan bumi!"

Setelah mengucap demikian dengan wajah sedikit berseri Resi Cadas Angin dekati pohon.

Namun baru dua langkah dia mencapai pohon itu, dari arah pohon ada serangkum hawa dingin aneh menyambar tubuhnya.

Resi Cadas Angin terhuyung, namun tidak sampai jatuh.

Sambil mengucapkan doa-doa perlindungan, si kakek salurkan tenaga sakti kesekujur tubuhnya.

Sekali lagi dari mulutnya terdengar ucapan.

"Wahai Pohon Darah, apapun kuasamu. Aku dan kau tetaplah mahluk ciptaan yang Maha Kuasa. Aku datang bukan dengan membekal maksud jahat. Tujuanku adalah membuat dunia persilatan tenteram dan damai. Aku bukannya orang yang suka membuat kekacauan justru aku akan meredakan segala kekacawan yang terjadi. Jika kau mengerti ucapanku wahai pohon, biarkan aku mencari dan melakukan sesuatu terhadapmu. Berilah jalan yang mudah bagi tua bangka ini karena sesungguhnya saat ini keselamatan puteri Manjangan Putih dipertaruhkan!"

Setelah berkata demikian Resi Cadas Angin diam, lalu ulurkan tangannya ke batang pohon. Tidak terasa lagi ada hawa aneh menyambar

"Terima kasih."

Ucapnya ditujukan pada pohon.

Resi Cadas Angin kembali maju dua langkah.

Setelah berhadapan dengan pohon yang ukurannya empat pelukan orang dewasa, tangannya diangkat. Tangan itu didekatkan ke mulut, lalu dia meniup sebanyak tiga kali.

Asap tipis kelabu mengepul dari telapak tangan Resi Cadas Angin.

Tidak menunggu lama tangan kemudian disapukan ke batang pohon dengan gerakan mengusap dari atas ke bawah juga sebanyak tiga kali.

Seteleh itu kakek ini melangkah mundur sejauh dua tindak.

Tangan yang dipergunakan untuk mengusap kembali dipentang, dua mata yang teduh menatap telapak tangan dengan seksama.

Resi Cadas Angin tiba-tiba berjingkrak kaget.

Dari mulutnya terdengar seruan pula.

"Ada tiga bercak, berupa tanda merah muncul ditanganku.
Ini berarti sudah tiga kali pohon Darah didatangi orang. Berapapun banyaknya orang-orang itu mereka jelas-jelas telah berhasil menembus dan memasuki pintu gaib jalan masuk ke Istana Satu Celaka! Puteri Manjangan Putih dalam bahaya"

Kata si kakek kalut.

"Aku harus segera menuju kesana. Mudah-mudahan kedatanganku belum terlambat."

Baru saja sang Resi berkata seperti itu tiba-tiba dalam kegelapan diketinggian pucuk pohon terdengar suara raungan disusul munculnya cahaya merah, kuning, biru kehitaman.

Munculnya cahaya berbentuk seraut wajah itu disertai dengan bagian tubuh yang lain. Walau sosok bercahaya masih berada diatas ketinggian, namun Resi Cadas Angin sudah dapat melihat mahluk apa gerangan yang tengah bergerak turun menuju ke arahnya.

"Anjing Hitam. Yang datang adalah Tetua dari Alam Kehidupan Terlupakan. Ratusan tahun dia tidak pernah muncul ke dunia kehidupan manusia."

"Apa perlunya dia menyambangi tempat ini!"

Batin Resi Cadas Angin dengan hati bertanya tanya.

Selagi hati dan pikiran Resi Cadas Angin dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.

Pada saat itu pula disebelah atas terdengar suara lolongan panjang.

Sebagai orang yang sangat berpengalaman dan sedikit banyak mengetahui bahasa binatang, Resi Cadas Angin maklum suara lolong yang didengarnya mempunyai makna tidak bersahabat. Dugaan itu segera diikuti dengan gerakan matanya menatap ke atas.

Kekhawatiran Resi Cadas Angin ternyata tidak berlebihan.

Dari ketinggian mahluk berupa anjing besar itu ternyata melesat ke arahnya.

Dua kaki disebelah depan diayun.

Kuku-kuku siap mencakar, sedangkan mulut lebar dengan gigi-gigi yang runcing tajam besar siap mencabik

"Mahluk kurang ajar! Aku mengenal siapa dirimu! Hiaa..."

Dengan kecepatan laksana kilat, si kakek hantamkan tangannya ke atas melepas pukulan sakti Tameng Bumi Menghalau Badai.

Bersamaan dengan gerakan tangan ke atas Resi Cadas Angin langsung melompat ke samping selamatkan diri.

Serangkum cahaya merah menyala berbentuk bundar disertai tebaran hawa dingin luar biasa menderu ke atas menyongsong datangnya sang mahluk yang siap menerkam.

Melihat si kakek melepaskan salah satu pukulan saktinya, sang mahluk yang bukan lain adalah penguasa kawasan Alam Kehidupan Yang terlupakan keluarkan suara menggerung.

Dalam kejutnya dia segera batalkan serangan, Dua kaki depan yang seharusnya mencabik bahu dan wajah Resi Cadas Angin kini dia dorong ke bawah.

Dua larik angin dahsyat bergulung-gulung melesat ke bawah.

Dua pukulan sakti saling bentur diudara menimbulkan ledakan keras berdentum dan guncangan keras.

Kepulan asap tebal dan serpihan bunga api bertabur memenuhi udara membuat keremangan disekitarnya berubah menjadi terang benderang.

Resi Cadas Angin yang lolos dari maut menyeringai.

Ketika memandang ke depan dia melihat sang mahluk jungkir balik tak karuan namun dapat jejakkan empat kakinya dua tombak di depan sang Resi.
Kepulan asap lenyap.

Disana sini api yang bertebaran membakar dedaunan kering membuat suasana redup berubah jadi benderang.

Resi Cadas Angin menatap ke depan.

Keningnya berkerut ketika melihat kepala dan moncong anjing disebelah depan terlindung topeng hitam.

"Dia memakai topeng, tapi Topeng itu bukan Topeng Pemasung Jiwa sebagaimana yang membuatku resah selama ini."

Membatin si kakek.

Sang anjing menyalak garang. Sejauh itu sambil tetap bersikap waspada, Resi Cadas Angin tiba-tiba saja berucap.

"Mahluk hitam yang berjalan dengan empat kaki. Aku tahu siapa dirimu. Bukankah kau adalah Sapta Buana, penguasa kehidupan yang tak terlihat yang bernama Alam Kehidupan Yang Terlupakan. Mengapa kau lebih suka menampilkan diri dalam wujud mahluk yang menjijikkan dari pada menjadi dirimu sendiri!"

Pertanyaan itu membuat sang mahluk tersurut mundur.

Dia kaget tidak menyangka, kakek berambut putih ternyata mengetahui sekaligus mengenal siapa dirinya.

Sang mahluk pun kemudian jatuhkan diri.

Ketika kaki depan dan perutnya menyentuh tanah, seketika itu juga sosoknya raib menjelma menjadi seorang kakek berbadan kurus namun tinggi, berambut panjang hitam tidak terurus dan memiliki wajah mirip tengkorak

"Sudah kuduga, ternyata memang dirimu yang berada dihadapanku. Apa kabarmu kenalan lama. Kau sudah tidak betah lagi berada di alammu, lalu berkeliaran di dunia alam kehidupan manusia?"

Sindir Resi Cadas Angin disertai senyuman ramah.

Si kakek yang memang Sapta Buana mendengus.

Sepasang mata yang kemerahan berada dalam cekungan rongga hitam menatap sang Resi dengan sorot dingin.

Ketika si kakek menjawab, suaranya yang serak parau terdengar angker menyeramkan

"Aku tidak suka kau menyebutku kenalan lama, wahai Resi aneh."

"Pertemuan ini tidak pernah kuharapkan."

"Aku juga berpikir demikian!"

Jawab Resi Cadas Angin.

"Lalu mengapa kau berada disini?"

Tanya Sapta Buana ketus. Resi Cadas Angin tersenyum.

"Pertanyaan itu lebih tepat kau alamatkan untuk dirimu sendiri. Dunia yang fana ini memang alam kehidupan manusia. Sedangkan kau selayaknya berada dialam gaib, karena memang disanalah tempatmu!"

Tegas si kakek.Ucapan si Resi membuat kakek wajah tengkorak membisu. Namun dia tidak mau membuang waktu. Tidak ada pilihan lain, Sapta Buana memutuskan untuk berterus terang.

"Berdebat denganmu tidak akan ada habis-habisnya.Tapi...baiklah kali ini aku mau mengatakan dengan sejujurnya bahwa kedatanganku ke tempat ini adalah untuk menyusul anak asuhanku bernama Nila Seroja."

Begitu kakek muka tengkorak menyebut nama gadis asuhannya, Resi Cadas Angin segera ingat dengan Kunti Seroja, perempuan malang yang telah terbunuh oleh tiga mahluk pengiring Perawan Bayangan Rembulan.

"Kau sepertinya terkejut aku menyebut nama gadis itu. Apakah kau mengenalnya?"

Pertanyaan Sapta Buana seolah membuka jalan bagi Resi Cadas Angin untuk mengungkapkan segenap ganjalan hatinya. Maka tanpa ragu lagi dia berkata,

"Nila Seroja, dia adalah gadis yang dilahirkan oleh seorang perempuan muda bernama Kunti Seroja. Anak itu terlahir bukan atas kehendak ibunya."

Kata Resi Cadas Angin sambil memperhatikan betapa wajah kakek tengkorak tampak berubah kelam.

"Dan anak yang kau asuh itu, dia terlahir dari hubungan Cinta Hitam. Sapta Buana tahukah kau maksud dari cinta hitam?"

Tanya Resi Cadas Angin. Karena kakek muka jerangkong tidak kunjung memberi jawaban, si kakek pun lanjutkan ucapan.

"Cinta hitam adalah cinta yang tidak pernah tumbuh dihati gadis yang menjadi pilihan lelaki yang menginginkannya. Gadis itu bersedia diajak bercinta karena pengaruh ilmu pemikat bernama Segala Rindu. Jadi jelasnya Kunti Seroja dinodai dengan cara yang halus secara berulang kali. Tahukah kau wahai Sapta Buana. Ibu gadis dalam asuhanmu bahkan sampai akhir hayatnya tidak pernah tahu bagaimana wajah laki-laki yang telah menidurinya dan memberinya seorang anak."

"Apapun yang kau katakan itu, jelas bukan aku pelakunya. Kau tahu itu!"

Dengus si kakek jerangkong sinis.

Resi Cadas Angin tersenyum.

"Memang! Aku yakin memang bukan kau pelakunya. Pelaku yang sesungguhnya masih bebas berkeliaran disana. Tapi suatu saat kebenaran akhirrnya bakal terungkap juga. Cepat atau lambat laki-laki jahanam itu akan kutemukan. Tapi, Sapta Buana, satu yang sangat kusesali darimu...!"

Si Kakek jerangkong menyeringai. Ucapan Resi Cadas membuatnya merasa tersinggung.

"Kau menganggap aku terlibat dalam semua urusan gila itu?"

Sapta Buana mengerang. Resi Cadas Angin menggeleng.

"Aku tidak mengatakan kau terlibat dalam urusan asmara gila. Tapi jelas kau telah mengambil Nila Seroja ketika Ki Demang Sapu Lengga hendak membunuhnya. Kau telah menumbuhkan rasa benci dalam diri gadis itu. Kau juga mengajarkan ilmu sesat, meracuni otaknya dengan pikiran jahat. Satu lagi yang tidak kalah pentingnya. Kau sengaja memasung jiwanya dengan memberinya topeng iblis bernama Topeng Pemasung Jiwa. Aku tahu Sapta, siapa saja yang memakai topeng itu. Selamanya dia bakal menjadi budak topeng. Dia bakal melakukan kejahatan sampai akhir hayatnya. Aku merasa perihatin. Dan kau pastilah tertawa dialam kehidupanmu "

"Tawamu diatas penderitaan darah serta air mata orang-orang yang tidak berdosa!"
Raja Gendeng 24 Topeng Pemasung Jiwa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mata Sapta Buana merah berkilat, pelipisnya yang terbalut kulit tipis bergerak-gerak. Dia marah karena kata-kata Resi Cadas Angin dianggapnya terlalu lancang dan menusuk kedalam relung kalbu.

Dengan suara menggembor dia menjawab.

"Resi Cadas Angin, lagak bicaramu seperti seorang pemuka agama. Kau tidak perlu mengingatkan aku dengan segala khotbah busukmu. Aku tidak punya waktu untuk melayani manusia sepertimu!"

Berucap demikian Sapta Buana segera balikkan badan bersiap membuka pintu gaib penghubung ke Istana Satu.

Diluar dugaan Resi Cadas Angin cepat melompat dan tahu-tahu telah berdiri antara dirinya dan pohon Darah.

Tindakan sang Resi karuan saja membuat Sapta Buana tambah marah.

"Tua bangka tolol, kau hendak berbuat apa?!"

Hardik kakek muka jerangkong.

"Aku yakin Perawan Bayangan Rembulan telah memasuki gerbang ini dan sekarang sedang menuju ke Istana Satu. Kau hendak menyusulnya bukan? Tapi aku tidak mungkin mengijinkannya."

Ucapan Resi Cadas Angin membuat Sapta Buana jadi hilang kesabarannya.

"Aku tidak bisa membiarkanmu berbuat seperti ini!"

"Jika demikian berarti salah seorang dari kita harus ada yang mati!"

Sambut Resi Cadas Angin dingin.

Ucapan Resi Cadas Angin disambut tawa dingin oleh Sapta Buana.

Belum lagi gelak tawa kakek muka tengkorak lenyap, tiba-tiba saja dia kibaskan tangan kirinya ke depan.

Sementara tangan kanannya menderu mengarah ke bagian wajah.

Mendahului jotosan dan tamparan yang dikenal dengan nama Lambaian Iblis Tinju Setan membersit pula serangkum hawa panas dan hawa dingin.

Siapapun lawan yang terkena salah satu serangan itu, maka luka yang ditimbulkannya bisa membuat tubuh menjadi busuk.

Lawan bakal mati perlahan-lahan setelah seluruh tubuhnya leleh menjadi bubur.

Resi Cadas Angin sangat maklum keganasan serangan kakek muka tengkorak.

Namun dia juga termasuk tokoh sakti hebat.

Begitu kibasan tangan yang disusul jotosan menderu mengincar rusuk dan pelipisnya, dia menarik kaki kebelakang sekaligus sentakkan kepala menghindar dari jangkauan lawan.

Berbarengan dengan gerakan yang dilakukannya itu, dua tangan sang Resi yang telah dialiri tenaga dalam segera didorongkan ke depan menangkis kedua serangan ganas dengan menggunakan pukulan Perisai Dewa Menghalau Hujan.

Kehebatan serangan si kakek bukan cuma berguna untuk menangkis atau menghalau tapi juga sanggup melancarkan serangan balik dengan kecepatan serta kekuatan berlipat ganda.

Dua tangan bergerak menangkis.

Cahaya putih menyilaukan mata memancar dari kedua tinju si kakek hingga ke sumsum tulang Sapta Buana.

Walau sempat terguncang namun kakek muka tengkorak ini tetap lanjutkan serangan sambil lipat gandakan tenaga dalamnya.

Benturan hebat tidak terhindarkan lagi

Duuk!

Plak!

Kedua kakek sama keluarkan keluhan tertahan.

Seperti didorong oleh satu kekuatan luar biasa besar yang tidak terilihat. keduanya terpental ke belakang. Sapta Buana sempat terhuyung Walau tidak sampai terjatuh namun kedua kakinya nampak goyah. Lima tombak didepannya Resi Cadas Angin merasa lengannya yang beradu keras dengan tangan lawan serasa panas seperti terbakar.

Lengan yang terlindung lengan pakaian putihnya menggembung.

Tapi Resi Cadas tidak kekurangan sesuatu apa.

Hanya wajahnya yang bersih sedikit pucat dan nafas mengengah.

"Kau cukup tangguh! Tapi jangan gembira dulu karena apa yang kau lihat hanya awal dari sebuah malapetaka yang bakal menimpa dirimu!"

Dengus Sapta Buana dingin namun hatinya penasaran tidak menyangka lawan dapat mematahkan serangannya.

"Aku tidak mau banyak bicara, Sapta...Gunakan seluruh ilmu yang menjadi andalanmu!"

Jawab Resi Cadas Angin tanpa maksud mengagulkan diri. Ucapan sang Resi dianggap sebagai sebuah penghinaan. Tidaklah heran sambil menggeram dan salurkan tenaga sakti kebagian tangan dan kaki Sapta Buana tiba-tiba jatuhkan diri. Begitu lutut dan kedua sikunya bersentuhan dengan tanah, muka tengkorak ini melompat.

Wuut!

Secepat kilat tubuhnya melesat ke arah Resi Cadas. Sang Resi terkesiap ketika melihat lawannya telah berada sejengkal didepannya. Dua tangan Sapta Buana menghantam sedangkan kedua kaki juga lakukan tendangan menggeledek.

Diserang dengan kecepatan seperti itu, Resi Cadas Angin yang sudah bersikap waspada masih sempat melompat kesamping sambil dorongkan kedua tangan dan kaki lawan. Sayang gerakan menangkis yang dilakukan oleh Resi Cadas Angin terlambat dibandingkan datangnya serangan. Tanpa ampun satu pukulan keras mendarat didada si kakek, sementara tendangan kaki kiri lawan mendera perutnya.

Tidak ubahnya seperti pohon besar ditebang, Resi Cadas Angin tergelimpang roboh. Dadanya serasa remuk, perut seakan hancur. Sambil menahan sakit luar biasa kakek ini segera menghimpun hawa sakti dan menyalurkannya kebagian dada dan perut. Dalam waktu sekejab Resi Cadas Angin segera pulih. Namun wajahnya terlihat pucat keringatan.

Selagi Sang Resi berusaha bangkit berdiri, lawan kembali menyerbu ke arahnya sambil berucap.

"Resi Cadas Angin.Mungkin saja kau bisa lolos dari serangan Kodok Iblis Memukul Awan.Tapi kau tidak bakal lolos dari Sayatan Pedang Iblis Menebar Maut!"

Demi mendengar teriakan Sapta Buana, Resi Cadas Angin segera memutar tubuh.

Dalam keadaan duduk bersila dia menatap ke depan.

Kakek ini melihat dari sepuluh kuku jemari tangan lawan serta merta muncul selarik cahaya hitam bertepi merah berbentuk pedang yang memiliki ketajaman dikedua sisinya.

Sepuluh cahaya berbentuk pedang ketika melesat di udara segera berpencar tidak beraturan dan terus melesat mengincar sepuluh titik mematikan di tubuh si kakek.

Sang Resi katubkan bibirnya.

Dua tangan segera diangkat tinggi dijunjung diatas kepala.

Sekejab kemudian kedua tangan diturunkan didepan dada.

Dua tangan yang terangkat selayaknya orang yang memberi penghormatan lalu didorongnya ke depan.

Satu pemandangan indah mengagumkan terpentang didepan Sapta Buana.

Dia melihat dua tangan yang didorong kedepan tiba-tiba berubah membesar dua puluh kali lipat dari ukuran yang sebenarnya.

Dari telapak tangan itu memancarkan keluar cahaya kuning berkilau melesat bertubi-tubi dengan hawa dingin sejuk.

Hawa dingin kemudian menghantam sepuluh pedang jejadian yang melesat dari kuku-kuku jemari Sapta Buana.

Dreeet!

Krek!

Byar!

Benturan antara sepuluh cahaya berbentuk pedang dengan cahaya emas dan hawa sejuk yang dipancarkan kedua tangan Resi Cadas Angin tidak dapat dihindari.

Terdengar suara benda berpatahan.

Pijaran api bertabur kemana-mana.

Sapta Buana yang tadinya dalam posisi mengambang terpental sejauh lima tombak.

Walau dia terjatuh dengan dua kaki terlebih dulu menjejak tanah namun tubuhnya sempat limbung sementara sepuluh ujung jemarinya serasa remuk dan beku.

Ketika Sapta Buana tatap kedua tangannya, kakek tengkorak ini seketika belalakkan mata.

Dia melihat betapa sepuluh kuku jemarinya yang runcing tajam hancur bergugusan.

Sementara jari itu berwarna kebiruan

"Keparat kurang ajar! Ilmu apa yang dipergunakan tua bangka satu itu?"

Geram Sapta Buana penasaran. Dia lalu tatap ke depan. Si kakek melihat pertapa kedua tangan Resi masih pancarkan cahaya kuning sementara kedua mata sang Resi dalam keadaan terpejam selayaknya seorang petapa sedang bersemedi

"Resi Cadas...!"

Teriak kakek muka tengkorak.

Didepannya sang Resi membuka mata, menatap ke arah kakek itu dengan sorot mata tajam namun teduh.

"Aku tidak tuli, mengapa kau berteriak?"

Sambut Resi berwibawa.

"Kau sanggup mematahkan seranganku, bahkan jemariku membeku, kuku-kukuku hancur bergugusan, Bagaimana kau bisa menghancurkan Sepuluh Pedang Iblis milikku. Ilmu apa yang kau miliki?"

Tanya Sapta Buana penasaran.

"Ilmu Sepuluh Pedang Iblis adalah ilmu yang sangat ganas dan keji. Dan untuk mengatasinya aku terpaksa menggunakan jurus sakti Tapak Dewa. Jika kau tahu diri, sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sebaiknya batalkan niatmu menuju Istana Satu dan menyingkir yang jauh dari sini!"

Saran si kakek.

"Jurus Sakti Tapak Dewa. Bila dia menguasai jurus itu berarti Resi ini juga memiliki ilmu pukulan sakti Tangan Dewa Turun Ke Bumi! Dua ilmu yang benar-benar langka."

Membatin Sapta Buana terkejut.

Dia yang mengetahui kehebatan riwayat jurus dan pukulan langka itu sempat dibuat bimbang.

Namun ketika Sapta Buana teringat pada Topeng hitam yang dikenal dengan Topeng Pembunuh. Seketka itu juga rasa percaya dirinya pulih kembali.

Segera saja si kakek mengambil Topeng yang tersimpan dibalik pakaiannya.

Topeng itu lalu dikenakan.

Begitu topeng berwarna hitam angker melekat manyatu dengan wajah tengkoraknya tiba-tiba topeng pancarkan cahaya hitam, merah, biru berkilauan.

Bentuk asli topeng segera lenyap menyatu dengan wajah Sapta Buana.

Melihat seraut wajah angker menggidikkan yang terus menerus pancarkan kilatan-kilatan cahaya, Resi Cadas Angin segera menyadari Sapta Buana telah dirasuki oleh kekuatan jahat yang bersemayam dalam diri topeng.

Dan yang lebih mengerikan lagi, pengaruh dan kekuatan topeng bisa membuatnya dua kali lebih tangguh dari sebelumnya.

"Aku akan membunuhmu, Resi. Berkat topeng ini aku bisa menggunakan senjata apa saja. Dan senjata-senjata yang kubutuhkan kini telah bertebaran memenuhi udara. Ha ha ha!"

Raja Gendeng 24 Topeng Pemasung Jiwa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata Sapta Buana diiringi gelak tawa.

Resi Cadas tersenyum.

Dia memperhatikan udara disekelilingnya.

Namun dia tidak melihat satupun senjata yang dimaksudkan Sapta Buana.

Resi menjadi maklum, senjata yang disebutkan lawan pasti tak terlihat kasat mata namun memang ada disekitarnya

"Tangan Dewa Turun Ke Bumi. Seumur hidup, rasanya baru kali ini aku harus menggunakan ilmu pamungkas ini.
Tapi karena kedahsyatan ilmu pukulan sakti itu.Aku juga harus melihat keadaan dulu. Kalau tidak terpaksa aku akan gunakan ilmu yang lain!"

Pikir Resi Cadas Angin penuh pertimbangan.

"Resi, kau akan kujajal dengan Pedang Mata Setan!"

Berteriak demikian, Sapta Buana segera lambaikan tangannya ke udara.

Hanya sekejab ditangan kakek muka tengkorak ini tahu-tahu telah tergenggam sebilah pedang berukuran besar dengan ujung lebih lebar dari pangkalnya.

Ditangan Sapta Buana pedang berwarna hitam itu memancarkan cahaya redup angker.

Dan ketika pedang diputar sebat terdengar suara bergaung aneh disertai tebaran hawa panas luar biasa.

Tanpa banyak bicara lagi Sapta Buana menyerbu ke depan sambil tusukkan pedang ke perut lawan,Resi Cadas liukkan tubuhnya.

Dengan jurus Walet Emas menari, si kakek bergerak lincah loloskan diri dari setiap sergapan senjata Sapta Buana.

Berkali-kali serangan pedang tak mengenai sasaran, Sapta Buana menjadi penasaran hingga dia pun melipat gandakan tenaga dalam dan mempercepat gerakan tubuh sambil menyerang tubuh lawan disebelah bawah dengan tendangan beruntun.

Resi Cadas terpaksa melompat mundur, lalu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh orang tua ini kembali merangsak ke depan.

Tangan kiri mencari sasaran dibagian rusuk, sedangkan tinju tangan kanan menderu menghantam wajah lawannya.

Sayang selagi tinju menderu mengincar wajah.

Dari wajah lawan yang terlindung topeng menyambar cahaya berwarna warni ke arah tangan si kakek.

Kaget karena tak menyangka topeng dapat menyerangnya, Resi Cadas buru-buru batalkan serangan.

Sambaran cahaya luput mengenai sasaran namun masih sempat menyambar sorban putih disebelah atas hingga sorban hangus mengepulkan asap.

Si kakek segera lepaskan sorban dan coba padamkan api yang membakar sorban ini.

Kesempatan sesaat ini dipergunakan Sapta Buana untuk kibaskan pedang ke bahu lawannya.

Angin dingin menyertai berkelebatnya senjata itu.

Melihat serangan datang siap membelah bahunya, Resi Cadas melompat ke samping.

Dia berhasil selamatkan sorban dari kobaran api tetapi tak urung pakaian disebelah dada robek besar disambar ujung pedang.

Melihat lawan hanya mengalami luka goresan.

Sapta Buana segera memutar tubuh dan kini dia bacokkan pedang kekepala lawan yang tidak lagi terlindung sorban.

Resi Cadas Angin menggeram.

Sambil salurkan tenaga dalam ke ujung sorban dalam genggaman dia kebutkan sorban putih ke arah pedang.

Beet!

Ret!

Seketika ujung sorban melibat pedang.

Begitu disentakkan pedang terlepas dari tangan Sapta Buana.

Melihat senjatanya terlepas, Sapta Buana kembali menggapai udara.

Tiba-tiba saja ditangan Sapta Buana telah tergenggam senjata lainnya berupa cambuk dan celurit besar.

"Cambuk Pelenyap Raga dan Celurit Pemenggal Kepala!"

Desis Resi Cadas Angin dalam hati.

"Bagalmana dua senjata laknat itu bisa berada di tangannya?"

Pikir si kakek yang mengetahui riwayat kedua senjata itu. Tapi tidak ada kesempatan bagi Resi Cadas Angin untuk berpikir lebih lama.

Dia melihat cambuk sudah diayun membelah udara sedangkan celurit besar telah pula menyambar ganas ke tubuhnya dengan mengikuti ayunan cambuk

"Wuuus!"

Hantaman cambuk menghantam pohon besar dibelakang Resi Cadas Angin.

Terdengar ledakan dahsyat disertai suara bergemuruh ambruknya pohon.

Baru saja luput dari serangan pertama, celurit menderu kekepala si kakek.

Tidak ada cara lain, si kakek pun terpaksa jatuhkan diri sama rata dengan tanah.

Dia selamat namun rambut panjang si kakek yang berwarna putih laksana perak terbabat putus.

Tanpa menghiraukan rambutnya yang bertebaran diudara Resi Cadas Angin bergulingan menjauh.

Tapi lecutan ujung cambuk bermata tajam seperti sengat kalajengking terus mengejarnya.

Di tangan Sapta Buana cambuk itu berubah seolah ular ganas yang hidup.

Secepat apapun Resi Cadas berusaha selamatkan diri.

Tak urung ujung cambuk tetap menyengat kaki kirinya.

"Uarkh..."

Si kakek menjerit kesakitan.

Tusukan ujung cambuk serasa bara panas yang ditusuk ke daging. Si kakek limbung, darah mengucur dan ini membuat lawan tambah bersemangat untuk menghabisinya.

Dengan sekali lompat tahu-tahu Sapta Buana telah berada dua langkah di depan lawannya. Resi Cadas Angin menggembor murka, namun segera lambungkan tubuhnya ke udara membuat tebasan celurit ke punggung maupun sabetan cambuk hanya menghantam angin.

"Pengecut sialan! Bisamu Cuma melompat lompat seperti monyet buduk!"

Seru Sapta Buana sambil dongakkan kepala ke atas. Seringai penuh kemenangan yang menghias wajah Sapta Buana mendadak lenyap ketika melihat betapa diatas sana Resi Cadas Angin dengan kaki diatas dan kepala menghadap kesebelah bawah telah melesat ke arahnya.

Yang membuat Sapta Buana terkejut.

Dua tangan lawan yang dipentang lurus telah berubah membesar seukuran badan gajah.

Dan tangan itu kini pancarkan cahaya putih perak.

"Dia menggunakan pukulan sakti Tangan Dewa Turun Ke Bumi, kepa...!"

Belum sempat Sapta Buana selesaikan ucapan, Dan selagi kakek Ini dibuat terkesima dengan mulut ternganga. Dua tangan yang berubah menjadi luar biasa besar itu telah menghantam tubuh dan kepalanya.

Brees!

Greek!

Hantaman pukulan Tangan Dewa Turun Ke Bumi membuat tubuh Sapta Buana remuk dan amblas sedalam pinggang orang dewasa. Ditanah terdapat cap bekas telapak tangan dan sepuluh jemari Resi Cadas Angin yang besar luar biasa.

Resi Cadas Angin segera jejakkan kaki. Dua tangan yang terbenam segera ditarik lepas. Dalam keadaan seperti itu ukuran tangan lima puluh kali lebih besar dari tubuh sang Resi.

Namun setelah si kakek kibaskan kedua tangannya dalam seketika ukuran tangan kembali ke bentuk semula. Resi Cadas Angin menghela nafas sambil seka wajahnya yang bermandikan keringat.

Sejenak kemudian dia julurkan kepala, menatap ke arah dua lubang menganga bekas telapak tangannya sendiri.

Dia melihat tubuh Sapta Buana yang gepeng terdapat pada salah satu lubang itu.

"Semoga kau tidak pernah muncul lagi di dunia ini!"

Kata Resi Cadas.

Setelah berucap demikian.

Si kakek segera dekati pohon Darah.

Orang tua satu ini ternyata sudah tahu bagaimana caranya memasuki dan menemukan tabir pintu gaib yang menghubungkan ke Istana Satu. Resi Cadas Angin menggurat batang pohon hingga mengeluarkan cairan merah seperti darah.

Setelah itu dia melukai telunjuknya sendiri.

Ketika darah menetes dari telunjuknya.

Dia segera taburkan darah ke atas cairan yang keluar dari guratan di pohon.

Cees!

Byar!

Sekonyong-konyong didepan Resi muncul cahaya merah berupa pintu seukuran tubuhnya.

Ditengah pintu ada kabut putih memenuhi segenap sudut. Setelah mengucapkan sesuatu dia pun melangkah melewati pintu itu.

Si kakek raib, pintu gaib itu juga ikut lenyap.

Sepeninggalnya Resi Cadas Angin.

Di dalam lubang bekas telapak tangan kiri si kakek, tubuh remuk Sapta Buana tiba-tiba bergerak-gerak.

Dimulai dari tangan, kaki juga sekujur badan.

Kemudian terdengar suara keluhan disertai munculnya pancaran cahaya warna warni dari topeng yang ikut melesak bersama wajah orang tua itu. Pancaran cahaya menyapu sekujur tubuh yang tidak utuh itu.

Tebaran asap berbau amis memenuhi penjuru lubang.

Tebaran asap disusul dengan berkeretekan bersambungnya tulang-belulang membentuk wujud yang utuh.

Tubuh yang remuk segera utuh seperti semula lalu menggeliat bangkit.

Raja Gendeng 24 Topeng Pemasung Jiwa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selayaknya orang yang baru bangun dari tidur yang lelap, Sapta Buana membuka matanya.

Sejenak dia tertegun, memandang kesekelilingnya yang sunyi.

Penasaran dia memandang kesekeliling karena tidak dilihatnya lagi Resi Cadas Angin. Dari mulutnya menyembur sumpah serapah dan caci maki.

"Tua bangka itu tidak bisa membuatku mampus! Berkat Topeng Pembunuh itu aku bisa pulih dan hidup lagi. Manusia tolol, andai dia tahu harus melucuti topeng hitam lebih dulu maka mungkin aku sudah tidak bisa bangkit dan hidup kembali!"

Sapta Buana keluar dari lubang.

"Aku butuh waktu untuk memulihkan diri dengan kembali pulang ke Alam Kehidupan Yang Terlupakan!"

Setelah berkata demikian Sapta Buana hentakkan kedua kakinya.

Seketika itu pula tubuhnya melesat diketinggian.

Dalam perjalanan pulang dia bersumpah akan membuat perhitungan dengan Resi Cadas Angin.


*****


Udara sejuk serta aroma harum semerbak dari bunga-bunga yang sedang bermekaran menyambut kehadiran Nila Seroja di lembah itu.

Setelah melewati tengah malam, cahaya bulan empat belas hari mulai bergeser dilangit sebelah barat.

Nila Seroja alias Perawan Bayangan Rembulan yang berjalan paling depan dengan diringi tiga mahluk pengasuhnya tiba-tiba hentikan langkah.

Memandang ke depan ke arah kejauhan, gadis ini melihat sebuah lembah hijau.

Di tengah lembah terdapat sebuah bangunan kokoh yang bentuk dan bangunannya mirip dengan candi Prambanan.

Di menara bangunan itu ada kerlip cahaya terang yang berkedap kedip laksana kunang kunang. Di bagian lain bangunan tepat disudut sebelah timur terlihat pula cahaya benderang.

Nila Seroja menduga kemungkinan cahaya itu datang dari sebuah kamar yang ditempati oleh puteri yang mereka cari.

"Satu-satunya bangunan yang terlihat di kawasan ini hanyalah yang berada di lembah itu!"

"Mungkinkah bangunan yang kita lihat adalah Istana Satu tempat berdiamnya puteri Manjangan Putih?"

Bertanya Sekti Buana salah satu mahluk berwujud anjing.

"Aku tidak bisa memastikan, mungkin saja benar itu adalah Istana Satu!"

Sahut Nila Seroja.

"Jika demikian kita bisa kesana sekarang juga. Kita tidak perlu menelusuri jalan menuju lembah. Kita menggunakan cara biasa!"

Kata Rengga Buna.

Sang dara mengangguk.

Dua mahluk lainnya mengangguk pula.

Tanpa banyak bicara Nila Seroja memutar tubuh tiga kali dikuti oleh pengiringnya.

Wuuus!

Empat sosok tubuh berubah menjadi pusaran angin.

Secepat kilat empat pusaran angin melesat diudara.

Hanya dalam waktu sekedipan mata pusaran angin itu telah sampai dilhalaman bangunan megah yang bukan lain adalah Istana Satu.

Pusaran angin berhenti.

Empat sosok tubuh jejakkan kakinya masing masing. Suasana sunyi dan lengang terlihat diseluruh penjuru bangunan.

Tidak adanya penjaga menimbulkan tanda tanya dihati Nila Seroja.

"Istana seluas ini mustahil tidak ada penjaganya!"

Ucap gadis itu heran.

"Lihatlah, ada tulisan besar di gerbang pintu Istana. Tulisan itu berbunyi Istana Kebahagiaan' Hmm, pantas. Tidak ada kejahatan ditempat yang diberkahi dengan kebahagiaan. Aku tidak heran mengapa tidak ada pengawal dan penjaga berada disekitar sini!"

Ujar Sekti Buana.

"Jika demikian, dimana Puteri Manjangan Putih berada? Mungkinkah dia bersembunyi didalam istananya. Ataukah dia memang tidak tahu ada tamu datang menyambangi?"

Ujar gadis yang tidak pernah menanggalkan topengnya itu.

"Hus!, kita bukan tamu Nila. Kita hanya orang yang tidak diundang. Kita datang kemari untuk mengambil Bunga Anggrek Mayat, pemilik tempat bakal marah bila tahu kita ini adalah mahluk-mahluk yang suka memaksakan kehendak."

Gurau Rengga Buana. Sang dara mendengus.

Gurawan sang pengasuh sama sekali tidak digubrisnya. Nila Seroja kemudian bahkan berucap ditujukan pada Cakra Buana,

"Aku mau salah satu dari kalian segera melakukan penggeledahan. Dan yang kupercaya untuk melakukan semua itu adalah Cakra Buana."

"Walau kedudukanku lebih tinggi darimu, namun aku selalu menjunjung dan menghormati keputusanmu. Perintah segera dilaksanakan. Yang lain harap berjaga-jaga dari segala kemungkinan terburuk!"

Berkata Cakra Buana lalu segera merubah wujudnya menjadi seorang kakek bertubuh jangkung berkulit kecoklatan dipenuhi bulu lebat. Sebelum melesat memasuki pintu yang tertutup Cakra Buana gerakkan tangan di udara.

Sekejab kemudian ditangan kakek itu telah tergenggam sebilah tombak berbentuk aneh.

Mata tombak melengkung seperti bulan sabit.

Gagangnya berwarna hitam.

Dibagian pangkal dan ujungnya masing-masing terdapat satu mata tombak. Cakra Buana melirik pada gadis disampinginya. Nila Seroja anggukkan kepala sebagai tanda merestui.

Namun belum lagi kakek itu bergeser dari tempatnya, tiba-tiba saja terdengar suara denting alunan kecapi dari dalam istana. Mula-mula suara alunan kecapi demikian merdu, tapi semakin lama suara itu semakin meninggi tidak beraturan membuat kepala serasa mau pecah dan telinga seakan tuli.

Sadar orang menggempur mereka dengan alunan kecapi.

Nila Seroja, Cakra Buana dan dua pengiring lainnya segera kerahkan tenaga dalam untuk melindungi telinga mereka dari pengaruh getaran aneh dari suara itu.

Seiring dengan makin meningginya suara yang terdengar, Rengga dan Sekti Buana terpaksa merubah wujud menjadi dua orang kakek pula.

Kemudian sambil menyumbat lubang telinga masing masing keempat orang ini gabungkan kekuatan dan berbarengan keluarkan teriakan melengking.

Istana Kebahagiaan terguncang hebat laksana dilanda topan prahara.

Udara dipenuhi oleh debu dan pasir yang berterbangan.

Daun-daun dan reranting pohon hancur berguguran.

Kedua kaki Nila Seroja amblas sedalam mata kaki akibat beradu keras dengan tenaga dalam yang datang dari kecapi.
Ketiga kakek yang wujud asalnya anjing itu menyadari mereka bisa mendapat celaka akibat bentrok tenaga sakti, segera lipat gandakan tenaga dalamnya.

Mereka tidak lagi menghiraukan kaki mereka yang amblas ke tanah hingga sedalam lutut.

Sekali lagi mereka berteriak.

"Hiaaaaa...!

Karena teriakan itu keluar dari empat mulut sekaligus, maka akibatnya sungguh luar biasa. Angin laksana topan menderu dahsyat menghantam Istana Satu atau Istana Kebahagiaan sehingga membuat bangunan serba putih terguncang namun tidak mengalami kerusakan berarti.

Di udara suara teriakan dan suara denting kecapi saling tindih menindih. Agaknya karena dikeroyok oleh empat orang sekaligus, tiba-tiba terdengar suara senar-senar yang putus.

Tang!

ting!

tung!

Denting suara kecapi lenyap. Empat orang yang ada dihalaman terhuyung namun segera menarik kaki masing-masing yang terpendam di tanah. Tiga kakek pengiring Nila Seraja mengusap dada masing-masing yang mendenyut sakit.

Menatap ke bawah mereka sama belalakkan mata ketika mendapati celana mereka robek seperti dicabik.

Jelas pakaian itu hancur akibat pengaruh getaran suara kecapi. Hanya Nila Seroja yang tetap berdiri tegak. Pakalan yang melekat ditubuhnya tidak rusak. Bahkan daun hijau yang dijalin rapi sebagai penghias pakaian hitamnya tetap utuh.

"Seorang puteri bagaimana mungkin memiliki ilmu tenaga dalam sedahsyat iitu. Jangan-jangan ada orang didalam sana yang membantunya!"

Kata Nila Seroja curiga.

Sadar betapa kekuatan lawan tak dapat dijajaki, Nila Seroja lalu memberi isyarat pada ketiga pengiringnya untuk melakukan pemeriksaan di dalam istana.

Belum lagi orang-orang ini bergerak, tiba-tiba dari balik gedung megah dan indah yang dipenuhi ukiran itu terdengar suara orang berkata.

"Banyak petaka terjadi di dunia bukan bersebab dari amarah dewa. Kebencian dan kemarahan selalu menimbulkan dendam kesumat. Hawa nafsu sesat membuat orang bertindak membabi buta. Istana Satu, Istana Kebahagiaan hanya patut disambangi oleh orang-orang lugu berlaku jujur berhati bersih. Dunia dipenuhi banyak orang pintar tetapi sedikit orang yang berhati jujur. Kalian para penebar maut yang suka menumpahkan darah orang lain. Tidak mungkin mendapatkan apa yang kalian cari, karena yang bersih tidak bisa bercampur dengan yang kotor. Bunga Anggrek Mayat menyimpan sejuta khasiat. Namun bunga itu sesungguhnya menjadi pelajaran bagi insan yang hidup. Pelajaran yang tersirat, mengapa orang datang dan pergi ke dunia ini? Dan kemana pulangnya sang jiwa setelah badan menjadi seonggok jasad yang tidak berguna. Aku tidak punya kuasa atas bunga yang kalian cari. Aku bahkan tidak punya kekuasaan sedikitpun atas diriku sendiri. Walau aku tahu dimana tempat bertumbuhnya sang bunga keramat, aku tidak layak memberi tahu kepada mahluk-mahluk serakah seperti kalian!"

Suara yang mereka dengar tiba-tiba lenyap.

Nila Seroja menatap wajah ketiga pengiringnya.

"Suara yang kita dengar adalah suara wanita. Mungkinkah yang baru bicara adalah puteri Manjangan Putih?"

"Sekalipun setan yang baru saja bicara. Dia harus kita seret keluar dari istana itu."

Geram Rengga Buana.

Kakek itu kemudian memberi isyarat pada kedua temannya.

Cakra Buana dan Sekti Buana segera anggukkan kepala.

Sambil menghunus pedang dan golok besar dan dipimpin Rengga Buana yang bersenjatakan tombak mereka berkelebat menuju ke pintu istana.

Pintu istana yang berukuran besar berwarna kecoklatan itu pun mereka dobrak.

Terdengar suara berderak disertai berderitnya pintu yang terbuka.

Dari suara derit pintu mereka menyadari pintu jarang dipergunakan keluar masuk oleh penghuninya.

Tiga kakek tertegun.

Dibalik pintu yang menganga lebar ternyata suasananya gelap temaram.

Satu-satunya cahaya yang menerangi ruangan itu berasal dari balik ruangan tengah yang luas dan sejuk.

Raja Gendeng 24 Topeng Pemasung Jiwa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masuk!"

Tak sabar Nila Seroja memberi aba aba.

Mendapat perintah demikian ketiga kakek ini pun dengan senjata terhunus segera menyerbu masuk ke dalam ruangan. Selagi mereka menggeledah semua ruangan dibagian bawah, tiba-tiba saja menderu segulung angin ganas menghantam ke arah mereka disertai berkelebatnya satu sosok bayangan berpakaian serba hitam. Sosok hitam yang berkelebat dan muncul dari balik kegelapan disudut ruangan langsung merampas senjata ditangan ketiga orang tua.

Menggunakan senjata rampasan dengan ganas sosok hitam yang bergerak laksana bayangan menyerang mereka.

Sekti, Cakra dan Rengga berusaha menangkis sekaligus membalas serangan itu, namun semua perlawanan mereka sia-sia. Satu demi satu ketiga kakek dibuat terpelanting. Suara bergedebukan di ruangan dalam istana serta guncangan akibat benturan dan pukulan yang terjadi membuat Nila Seroja yang berada di luar istana terheran-heran.

"Hei, apa yang terjadi didalam! Apakah puteri Manjangan Putih telah ditemukan dan berhasil diringkus?"

Tanya sang dara kepada ketiga kakek yang berada didalam istana.

Sebagai jawaban terdengar suara bergemuruh seperti air bah menderu menembus pintu. Debu tebal bercampur bau harum semerbak mengepul tinggi membuat pemandangan dipintu depan menjadi gelap.

Nila Seroja yang mencium aroma aneh segera melompat mundur. Sedangkan dari mulut terlontar seruan kaget.

"Asap Pelenyap Ilmu Pelenyap Kesadaran!"

Dalam kejut tidak menyangka pengiringnya bakal mendapat sambutan yang berbahaya, sang dara berseru.

"Kalian semua yang berada di dalam lekas keluar!"

Terlambat!

Karena belum lagi teriakan gadis ini lenyap.

Dari balik pintu yang dipenuhi tebaran asap harum berlesatan tiga sosok tubuh.

Ketiga sosok yang tak lain adalah ketiga kakek pengiring itu jatuh bergedebukan dalam keadaan tidak sadarkan diri sementara tubuh mereka dipenuhi luka lebam dan luka goresan senjata mereka sendiri.

"Para pengiringku!"

Pekik Nila Seroja yang menyangka ketiga pengikutnya tewas.

Gadis ini jatuhkan diri, berlutut didepan ketiga kakek yang dalam keadaan tertumpuk tumpang tindih

"Siapa yang melakukan semua ini!"

Teriaknya lagi sambil menatap ke pintu istana yang terbuka.

Sebagai jawaban tiba-tiba saja pintu besar bergerak dengan sendirinya lalu menutup dengan satu hempasan yang keras.

Nila Seroja menggeram.

Dalam kemarahan dia segera memeriksa urat nadi dipergelangan tangan para pengiringnya.

Ternyata nadi mereka masih berdenyut walau sangat lemah

"Aku harus menolong mereka terlebih dulu. Dan siapapun orang yang telah mencelakai kakek-kakek ini, dia sangat layak untuk dibunuh!"

Sambil berkata demikdaan Nila Seroja melakukan usapan pada ketiga sosok kakek yang tak sadarkan diri

Wuus!

Sekali tangan bergerak ketiga sosok kakek bersama sang dara lenyap dari halaman istana.

Entah kemana Nila Seroja membawa para pengiringnya yang terluka.

Yang jelas dia bertekat sebelum mendapatkan Bunga Anggrek Mayat dia tidak akan meninggalkan Istana Kebahagiaan.

TAMAT

Kisah Berikutnya

Petaka Lembah Tanpa Suara


(Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..
mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini.Terima kasih)

Situbondo,28 September 2019

Sampai jumpa di episode berikutnya...

Terima Kasih

*** Saiful Bahri Situbondo ******


Special thank to Awie Dermawan



Sepuluh Anak Negro Ten Lime Niggers San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Detektif Stop Pengkhianatan Di Lembah

Cari Blog Ini