Ceritasilat Novel Online

Ratu Edan 1

Raja Gendeng 15 Ratu Edan Bagian 1


Raja Gendeng 15 Ratu Edan

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 15 dalam episode

Ratu Edan

*****


Team Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)


*****

Malam bulan sabit ke enam.

Satu hari menjelang pengorbanan tumbal yang harus ditepati oleh Gagak Anabrang.

Dengan ditemani oleh Lor Gading Renggana pengikut paling dekat dan paling disayang.

Laki-laki bertubuh pendek berpakaian serba hijau dan berkumis tipis ini berlaku nekat dengan memasuki kawasan Sindang Pantangan.

Sejak berada di tepi sindang si pendek kerdil yang selalu murah senyum itu sudah nampak gelisah.

Sebagai seorang abdi yang paling setia berpikiran polos kalau tidak dapat dikatakan bodoh, Lor Gading Renggana dikenal sebagai manusia sakti bertubuh besar.

Kecepatannya dalam berlari tidak diragukan lagi.

Tidaklah mengherankan bila majikannya selalu mengandalkan laki-laki besar itu karena kecepatan dan kekuatannya.

"Cepatlah kau kayuh perahu ini. Antarkan aku ke pulau Damai tempat kediaman Ratu Edan!"

Perintah Gagak Anabrang begitu memasuki perahu.

Lor Gading Renggana yang bertubuh hitam ditumbuhi bulu-bulu lebat keluarkan suara mengorok.

Dengan menggunakan sepuluh jemari tangannya yang besar-besar seperti pisang. Lor Gading Renggana mulai mengayuh.

Sekali dua tangan mendayung perahu melaju membelah permukaan sindang yang dalam dan berair sejuk .Sambil terus mengayuh perahu dengan dua tangan yang berotot kekar dengan lugu Lor Gading ajukan pertanyaan.

"Gusti junjungan. Mengapa kita hendak menuju ke pulau Damai. Bukankah kawasan pulau dan hutan di sekitarnya dikenal sebagai daerah paling terlarang dimasuki tetamu asing tidak diundang?"

Mendapat pertanyaan seperti itu dari pengikut setianya yang sakti namun tolol, Gagak Anabrang mengumbar tawa bergelak

"Tahu apa kau tentang segala daerah terlarang? Ketahuilah olehmu daerah paling terlarang bagiku paling enak untuk dimasuki. Terbukti istriku sampai sembilan, Ha ha ha...!"

"Junjungan. Saya tidak mengerti. Mohon jelaskan pada saya maksud ucapan gusti junjungan itu?"

Kata Lor Gading Renggana sambil terus mendayung. Di luar dugaan wajah yang murah senyum itu berubah menjadi masam. Dia meludah sekaligus berkata.

"Perlu apa aku memberi segala penjelasan. Kau hanya kacung suruhan. Tugasmu menjalankan perintahku dan tidak lebih dari itu!"

Dengus Gagak Anabrang lalu palingkan kepala menatap lurus ke arah pulau Damai yang saat itu telah berada di depan mata.

Lor Gading Renggana sama sekali tidak tersinggung apalagi marah mendengar ucapan majikannya.

Sebaliknya dia manggut-manggut sambil katubkan mulutnya.

Perahu didayung cepat membuat benda sepanjang dua tombak dengan lebar tidak lebih dari setengah tombak itu laksana terbang dipermukaan air.

Melihat pembantu setianya melakukan tugas dengan bersemangat. Gagak Anabrang tertawa tergelak-gelak. Sambil tertawa laki-laki pendek itu membuka mulut.

"Ini yang aku mau. Tidak banyak bicara tapi banyak kerja. Ha ha ha!"

Lor Gading Renggana atau yang biasa disapa Lor Gading saja oleh Gagak Anabrang diam tidak menanggapi.

Namun selagi Gagak Anabrang mengumbar tawa bergelak, tiba-tiba saja dari balik kegelapan di balik pepohonan yang tumbuh subur di kawasan pulau terdengar suara bentakan menggelegar.

"Semua tamu tidak diundang! Siapapun orangnya bila berani memasuki pulau yang menjadi tempat kediamanku. Sudah selayaknya mendapat hukuman berat dariku!"

Gagak Anabrang tercekat.

Mulut terkatub dan suara tawanya lenyap seketika.

Tanpa menunggu dia memandang ke satu jurusan tempat dari mana suara teriakan mengandung teguran berasal.

Mata jenaka sosok laki-laki bertubuh pendek itu berputar liar, lalu terbelalak melotot seakan hendak melompat dari dalam rongganya.

Ketika itu dia melihat sebuah benda hitam kecoklatan berbentuk bulat lonjong seperti keranjang menderu dan berputar ganas menuju ke arahnya.

Suara deru menggidikkan menyertai berputarnya benda yang ternyata memang keranjang yang terbuat dari anyaman rotan kasar.

Melihat keranjang rotan itu, Gagak Anabrang yang sangat memahami tabiat pemilik pulau yang aneh segera maklum orang yang dicarinya memang berada di dalam keranjang yang berukuran cukup besar.

Mengingat kedatangannya tidak membekal maksud yang buruk maka sebelum keranjang rotan menyambar kepalanya, Gagak Anabrang yang duduk dibagian depan perahu segera berseru.

"Ratu Edan penguasa Alas Sindang Pantang harap tidak salah faham. Aku Gagak Anabrang bersama pembantuku Lor Gading datang hendak menyambangimu dengan maksud baik.Jangan menyerang kami. Kumohon!"

"Aku sudah menduga, aku juga sudah melihat. Yang satu bertubuh besar seperti kerbau dungu. Dan satunya lagi yang bertingkah selayaknya penguasa dunia bertubuh kuntet. Siapa lagi kalau bukan penguasa paling kaya di seluruh tanah Dwipa."

Kata suara dari balik keranjang yang masih terus berputar.

Walau hati merasa marah dihina begitu rupa, namun Gagak Anabrang merasa lega karena Ratu Edan masih mengenali dirinya. Dengan mulut mengumbar senyum dia berkata.

"Ratu Edan... perkenankan diriku jejakkan kaki di bibir pulau. Izinkan aku bicara denganmu! Jangan menyerang jangan pula mencelakai. Karena aku benar-benar datang dengan membawa maksud damai."

Ucap Gagak Anabrang.

Diatas ketinggian bergerak naik turun, keranjang rotan yang bagian lingkarannya dipenuhi gerigi laksana mata pisau berputar perlahan dan berhenti didekat perahu yang semakin mendekati bibir pulau. Dalam keadaan mengapung diketinggian.

Dari balik keranjang yang dikenal dengan sebutan singgasana Ratu Edan terdengar jawaban bernada mencemo'oh.

"Lima belas tahun sudah aku tidak melihat batang hidungmu. Lima belas tahun hubungan kita sebagai sahabat sudah kau lupakan."

"Persahabatan menjadi putus karena kau tidak mau mengikuti jalan hidup yang kupilih!"

Potong Gagak Anabrang.

"Buat apa aku mengikuti jalan hidupmu yang penuh dosa bergelimang darah penderitaan orang lain."

"Tapi kau sudah melihat sendiri. Kini hidupku benar-benar mengalami perkembangan yang pesat. Aku menjadi kaya bahkan orang yang paling kaya di seluruh tanah Dwipa."

"Hik hik hik. Aku tahu. Semua kekayaanmu itu kau dapatkan dari hasil persekutuan dengan Yang Terlaknat Dari Alam Baka dan menindas rakyat dengan berbagai beban upeti yang menyengsarakan."

Dengus orang di balik keranjang sinis.

Gagak Anabrang menelan kemarahannya.

Kalau saja tidak mengingat hubungan persahabatan lama ingin sekali dia melabrak orang di dalam keranjang rotan itu.

Namun mengingat dia mempunyai suatu maksud yang tidak dapat dihindari maka laki-laki itu memilih untuk mengalah.

Sambil mengulum senyum dia berkata,
"Sahabatku. Aku tidak ingin berdebat denganmu.Yang terpenting sekali lagi aku mohon izinkan aku jejakkan kaki di pulaumu."

"Tidak, kau harus ingat. Tempat tinggalku ini pulau yang suci. Tidak sembarang orang boleh masuk, apalagi manusia sepertimu."

Penegasan orang di dalam keranjang rotan yang tak lain adalah Ratu Edan itu membuat wajah yang selalu tersenyum ramah itu berubah menjadi merah padam. Sekali lagi sambil menahan rasa kecewa di hati, Gagak Anabrang berkata.

"Ratu Edan. Sungguh kau tidak memandang muka padaku. Kau tidak mau mengingatku sebagai seorang sahabat? Aku datang dengan suatu maksud dan ingin menyampaikan suatu permintaan."

"Lain dulu lain sekarang. Kalau ingin mengatakan sesuatu lebih baik kau katakan sekarang. Perintahkan kacung suruhanmu itu untuk berhenti mendayung. Kalau tidak aku akan menghancurkan kedua tangannya,"

Kata Ratu Edan mengancam.

"Gusti Junjungan. Saya lagi senang- senangnya mendayung mengapa dilarang? Saya tidak senang. Dan mengapa tidak gusti perintahkan pada saya untuk menghancurkan perempuan di dalam keranjang itu?"

Tanya Lor Gading Renggana tampak tidak puas.

"Kau diam. Jangan bertingkah. Ikuti perintahku tak usah membantah. Cepat, berhentilah mengayuh perahu!"

Hardik Gagak Anabrang.

Walau hati menggerutu, tidak puas juga kecewa, namun Lor Gading Renggana memang tidak punya pilihan lain.

Dengan menahan segenap kegusaran laki-laki bertubuh besar berkepala kecil dan bodoh itu cepat angkat tangannya untuk tidak mengayuh perahu lagi.

Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluarkan ucapan menggembor.

"Sekarang apakah kau puas? Aku sudah tidak mengayuh perahu sialan ini!"

Mendengar ucapan Lor Gading ditujukan pada dirinya, sang Ratu yang berada di ranjang rotan siap hendak mendamprat.

Namun dia yang berada di atas ketinggian segera urungkan niat ketika melihat disekeliling perahu yang ditumpangi Gagak Anabrang dan pengikut setianya itu tiba-tiba bermunculan gelembung-gelembung aneh.

Selagi Penguasa Alas Sindang Pantangan ini tertegun dan bertanya-tanya dalam hati.

Tiba-tiba air bergolak seperti mendidih.

Seiring dengan itu perahu yang ditumpangi Gagak Anabrang tiba-tiba berputar-putar cepat laksana titiran seolah mereka terjebak dalam arus pusaran air.

Kejut dihati Gagak Anabrang dan Lor Gading bukan kepalang.

Kedua orang itu saling berpandangan dengan wajah pucat
Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Gusti junjungan, apa yang terjadi?"

Tanya Lor Gading sambil cepat cengkeram kedua sisi perahu, berusaha menjaga keseimbangan perahu agar tidak terbalik atau tenggelam.

Gagak Anabrang gelengkan kepala.

Menyangka kejadian yang dialaminya merupakan tipu muslihat Ratu Edan, laki-laki ini cepat dongakkan kepala menatap ke atas ketinggian.

Dengan mata mendelik dia berteriak pada sosok berpakaian serba biru yang duduk di dalam keranjang.

"Jahanam! Apa yang kau lakukan terhadap perahu kami, Ratu Edan?"

Dalam keterkejutannya Gagak Anabrang ternyata tidak lagi menghiraukan apa yang menjadi maksud kedatangannya. Kemarahan karena merasa direndahkan juga dipermainkan membuatnya kalap dan gelap mata.

"Hik hik hik! Sindang luas yang mengelilingi pulauku memang dipenuhi perangkap yang dapat membuat seseorang celaka. Namun semua perangkap maut itu saat ini sedang tidak kupergunakan. Aku sendiri tengah berpikir gerangan apa yang terjadi dengan perahumu dan apa pula yang berada di kedalaman air sana."

"Perempuan edan penipu, ratu gila! Siapa yang percaya dengan bualanmu! Mampuslah kau...!"

Teriak Gagak Anabrang lalu hantamkan kedua tangan ke atas tepat ke arah keranjang rotan tempat di mana Ratu Edan duduk bersila.

Melihat Gagak Anabrang menyerang dengan ilmu pukulan sakti ganas, Ratu Edan menyadari bahwa bekas sahabatnya itu memang punya niat keji ingin membuatnya celaka.

Ratu Edan menggeram sedangkan mulutnya mendamprat.

"Diberi ingat bukannya segera mencari selamat. Sebaliknya malah melontarkan fitnah laknat menuduh diriku yang tidak berbuat jahat. Dasar manusia sesat dan bejat."

Teriak Ratu Edan.

"Aku mengenal semua ilmu yang kau miliki, Gagak Anabrang. Aku bahkan mengenal isi perutmu sampai dengan warna kotoranmu. Kau hendak menghabisi aku dengan pukulan sakti Palu Bumi Membelah Langit? Kau mengira seberapa hebat kekuatan palumu.Bila kau tidak segera minta maaf pada gusti ratumu dan menarik balik seranganmu. Bukan mustahil para dewa bakal mendampratmu.Hik hik hik!"

Berkata begitu Ratu Edan yang berada di dalam keranjang sakti itu goyangkan benda yang didudukinya.

Keranjang Rotan bergoyang keras, lalu berputar meliuk dan menghindar dari serangan yang datang.

Dua pukulan ganas menebar hawa panas memancarkan cahaya biru berbentuk palu menderu namun gagal mengenai sasaran.

Ketika dua pukulan mencapai titik tertingginya, cahaya berbentuk palu akhirnya meledak menjadi kepingan.

Udara disekitarnya tergetar.

Keranjang rotan yang dikenal dengan sebutan Singgasana Ratu Edan terguncang akibat ledakan dan sempat pula terombang-ambing.

Melihat lawan lolos bukannya menyadari kekeliruan yang dia lakukan.

Sebaliknya Gagak Anabrang malah bertambah penasaran.

"Mungkin kau tahu semua jenis ilmu pukulanku yang dulu, namun apakah kau tahu juga ilmu kesaktianku yang baru. heaaaa....!"

Sambil keluarkan seruan keras Gagak Anabrang lambungkan tubuhnya ke udara.

Dan ketika laki laki itu melesat ke atas ketinggian lalu pun kembali hantamkan tinjunya ke arah Ratu Edan.

Gagak Anabrang sudah terbapar amarah.

Dia tidak menyadari ketika perhatiannya tertujuh ke arah Ratu Edan yang berada di dalam keranjang sakti, perahu yang ditumpanginya semakin terseret ke dalam pusaran air.

Pusaran itu semakin lama semakin menyedot ke dasar air.

Walaupun Lor gading berusaha keras mempertahankan perahu agar tidak terbalik atau tenggelam, tapi ketika Gagak Anabrang lambungkan diri ke udara perahu jadi kehilangan keseimbangan.

Perahu oleng dan sebelum perahu amblas lenyap tersedot pusaran arus Lor Gading sempat berseru kepada majikannya.

"Gusti junjungan. Perahu tak dapat saya pertahankan! Saya... blep...!"

Lor Gading yang selalu menutupi wajahnya dengan kain hitam itu amblas lenyap bersama perahunya. Sementara dari tangan Gagak Anabrang yang terkepal saat itu menderu satu cahaya aneh berkelok-kelok tak ubahnya kilat. Cahaya itu terus melesat siap menghancurkan keranjang dan penghuninya. Ratu Edan diam-diam terkejut. Dalam hati dia berkata.

"Ilmu serangan apa yang dipergunakan si kerdil ini. Bentuknya seperti cambuk, tapi juga mirip petir. Dia telah berlaku nekat. Tidak hanya nekat tetapi juga tolol. Dia tak tahu perahu yang ditumpanginya telah amblas tersedot sesuatu yang berada di bawah sana."

Hati berkata begitu, namun mulut menyeringai sunggingkan senyum mengejek

"Gagak Anabrang.Hebat juga seranganmu. Apakah ini ilmu pukulan sakti yang baru? Tapi ketahuilah, walau aku tidak mengenal ilmu pukulanmu yang satu ini. Namun aku tahu cara menghancurkannya!"

Seru Ratu Edan lagi-lagi disertai tawa mengikik.

Dan sesaat sebelum kilatan cahaya menghantam hancur keranjang sakti termasuk diri sang ratu.

Perempuan berpakaian serba biru itu kibaskan tangan kanannya ke bawah tepat ke arah di mana kilatan cahaya datang menggebu.

Dua buah benda seukuran rambutan berwarna hitam pekat menebar bau aneh menusuk berkelebat dan langsung menyambar serangan yang dilakukan Gagak Anabrang.

Benturan keras tak dapat dihindari lagi.

Bersamaan dengan itu terdengar pula suara letupan.

Dher!

Dher!

Di atas ketinggian Ratu Edan tertawa mengikik.

Sementara di bawahnya tepat dipermukaan air Gagak Anabrang yang sempat terjajar akibat terjadinya ledakan kini dibuat terkesima ketika menyadari tidak ada lagi tempat baginya untuk berpijak

"Lor Gading...di mana kau?"

Pekiknya.

Sekuat tenaga dia berusaha menahan diri agar tidak sampai jatuh tercebur ke dalam air.

Dan berkat ilmu meringankan tubuhnya ditambah dengan ilmu Kodok Mengapung di atas air maka walaupun pada akhirnya terjatuh tetapi tidak membuatnya tenggelam.

Sambil menyumpah Gagak Anabrang segera menggerakkan kedua tangan mengayuh diri yang melembung seperti karet menuju ke tepian.

Melihat upaya yang dilakukan penguasa kaya raya yang satu ini. Ratu Edan tak kuasa menahan tawanya.

"Hei sahabatku. Melihat dirimu bertingkah seperti kodok membuatku tak kuasa menahan tawa dan juga merasa iba. Kau dikenal sebagai orang sakti berkepandaian tinggi, banyak orang yang takluk padamu. Tapi kini kau tidak lebih daripada seekor kecoak yang tidak berdaya. Hi hi hi...!"

Mendengar ucapan yang bernada mengejek Gagak Anabrang sangat murka. Dia menjadi geram, sementara sambil terus menuju ke tepi mulutnya berucap.

"Di dalam air segenap kekuatan yang kumiliki tak dapat kugunakan sepenuhnya. Tapi bila berada di daratan, jangan harap kau bisa lolos dari kematianmu!"

"Kedengarannya sangat menyeramkan. Tapi...."

Belum sempat sang Ratu menyelesaikan ucapannya. Tiba-tiba dia mendengar suara mengiang di telinganya.

"Gusti Ratu. Dimana Gusti berada. Harap kembali secepatnya! Istana Damai diserang dan dihancurkan orang. Kami tidak mungkin bisa bertahan lebih lama. Orang yang datang menyerang sangat sakti luar biasa dan rasanya kami berdua tak mungkin bisa menahannya lebih lama."

Ratu Edan yang sangat mengenali suara orang yang baru menyampaikan pesan diam-diam dibuat tercekat.

Seketika dia menatap ke arah bangunan yang terdapat di tengah pulau. Kejut dihati ratu berwajah cantik yang berdandan menor itu bukan kepalang ketika melihat dalam gelapnya malam muncul kobaran api menjulang tinggi

"Celaka...istanaku...!"

Desisnya.

"Aku harus ke sana!"

Kata sang ratu memutuskan.

Tanpa membuang waktu lagi sang ratu yang masih gadis ini segera menggoyangkan keranjang sakti yang didudukinya.

Keranjang yang tadinya hanya melayang berputar-putar disekitar sindang kini melesat cepat menuju ke tengah pulau.

Melihat lawan pergi. Gagak Anabrang yang saat itu telah berhasil menyelamatkan diri ditepi sindang berteriak.

"Perempuan pengecut! Hendak kemana kau? Hendak melarikan diri selayaknya pengecut?!"

"Sahabatku. Sebenarnya aku masih ingin melanjutkan perkelahian denganmu sampai seribu jurus. Sayang masih ada kepentingan lain yang harus aku selesaikan. Maafkan aku, mudah- mudahan kau masih hidup sampai malam sabtu kliwon bulan sabit ke tujuh sehingga aku dapat membunuhmu! Hi hi hi...!"

Sahut Ratu Edan. Ternyata walau hatinya cemas sang Ratu masih juga sempat bergurau.

"Gadis gila! Selagi masih ada kesempatan aku ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting padamu!"

"Simpan saja keinginanmu di dalam perutmu, kalau perlu biarkan sampai membusuk!"

"Betul-betul perempuan jahanam"

Geram Gagak Anabrang sambil membanting kakinya.

Hantaman kaki yang dilakukan dalam keadaan dilamun amarah dan kecewa membuat tanah disepanjang tepian sindang mengalami guncangan dahsyat laksana dilanda gempa.

Tapi Gagak Anabrang masih juga penasaran hingga dia melontarkan caci maki dan sumpah serapah.

Segala kemarahannya kemudian mereda begitu dia ingat dengan Lor Gading Renggana Karena tak mungkin dapat menyusul Ratu Edan yang berada diseberang sindang, Gagak Anabrang pun kini layangkan pandang ke tengah sindang.

Setelah menatap ke tengah sindang dalam waktu yang cukup lama Gagak Anabrang tidak menemukan orang yang dicari. Dia yang menyangka kemalangan pengikutnya merupakan perbuatan Ratu Edan segera mendamprat.

"Ratu Edan. Jika Lor Gading Renggana sampai celaka apalagi tewas aku bersumpah akan mempesiangi tubuhmu yang cantik dan mulus itu!"

Geramnya sambil kertakkan rahang.

Laki-laki cebol ini diam sejenak.

Lalu tercenung, mata menatap kosong sedangkan pikiran kusut dipenuhi berbagai macam persoalan.

Selagi Gagak Anabrang tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

Tak jauh di depannya tiba-tiba dia melihat muncul gelembung- gelembung air ditepi sindang.

Bersamaan dengan itu sayup-sayup dia mendengar ada suara orang berkata.

"Gagak Anabrang! Apakah kau cemas memikirkan nasib manusia tolol piaraanmu yang selama ini kau jadikan kuda? Ketahuilah... dia berada dalam cengkeramanku. Semula aku berniat menculiknya, namun setelah lama kurenungkan ternyata dia adalah mahluk tidak berguna maka dengan sangat senang aku mengajaknya berjalan-jalan dalam air melihat pemandangan indah di dasar sindang. Tapi karena terlalu rewel dan tidak menurut, maafkan aku bila terpaksa berbuat jahil."

Ucapan lenyap disusul dengan gelak tawa. Merasa ada yang menertawakan disaat diri dalam keadaan kalut.Gagak Anabrang mendamprat.

"Iblis busuk bersembunyi di dalam sindang. Siapapun dirimu cepat tunjukkan diri!"

"Pengikutmu! Kau lupa pada pengikut setiamu. Dia dulu yang muncul baru kemudian aku menyusul mengikuti. Ha ha ha!"

Gagak Anabrang hanya bisa mendelik.

Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangan terkepal mengeluarkan suara berkeretekan.

Suara tawa lenyap.

Kemudian seakan dimuntahkan dari perut bumi.

Satu tubuh besar yang bukan lain adalah Lor Gading melesat ke udara.

Air ditepian sindang muncrat bertebaran membumbung mengikuti gerakan Lor Gading, lalu luruh berjatuhan di permukaan menimbulkan riak-riak kecil.

Melihat tubuh Lor Gading hampir menghempas diatas bebatuan, Gagak Anabrang tak ingin pengikut setianya itu mengalami nasib celaka.

Dengan gerakan yang enteng sambil mendengus dia berkelebat menyambar Lor Gading.

Ketika tubuh berat Lor Gading berhasil diraihnya dia segera membawanya ke tempat yang aman.

Lor Gading lalu dia turunkan dari pondongan.

Laki-laki berkepala kecil itu megap-megap sambil mengomel, Gagak Anabrang segera menekan dada Lor Gading yang diketahuinya masih hidup.

Namun sekujur tubuhnya dipenuhi luka-luka lembam bengkak seperti bekas pukulan.

"Bangun... bangun bodoh! Mengapa tubuhmu yang biasanya kebal segala macam pukulan kini babak belur tak karuan begini?"

tanya Gagak Anabrang terheran-heran.

Orang yang ditanya walau mendengar namun tak bisa menjawab.

Sebaliknya dia terbatuk-batuk beberapa kali kemudian dari mulut dan hidung semburkan cairan bercampur beberapa ekor ikan kecil yang ikut tersedot amblas ke perut saat Lor Gading berusaha selamatkan diri. Setelah muntahkan semua air yang masuk ke dalam rongga pernafasan dan perutnya. Lor Gading Renggana akhirnya sadar sepenuhnya.

Dia pun segera bangkit.

Setelah duduk sambil senderkan punggung pada batu dibelakangnya. Lor Gading membuka mulut menjawab pertanyaan junjungannya.

"Maafkan saya gusti junjungan. Saya-saya bukan saja tidak bisa berenang. Tapi segala ilmu kesaktian saya menjadi lemah bila berada di dalam air. Saya tidak berdaya. Saya bahkan tidak bisa melawan ketika orang menggebuk dan mencubiti tubuh saya."

"Memangnya apa yang terjadi? Siapa yang menyerangmu di dalam air?"

Tanya Gagak Anabrang. Sejenak dia nampaknya lupa dengan orang yang bicara melalui suara ngiangan.

Lor Gading menghela nafas. Tidak lama setelah jalan nafasnya menjadi lebih baik dia berkata.

"Saya tidak tahu siapa mahluk yang bersembunyi dalam air itu. Sebelum perahu ditenggelamkan dan menyeret, membetot saya ke dalam air. Saya melihat wajah. Wajah yang pucat seperti mayat, berpakaian seperti pocongan. Saya hanya bisa menduga kemungkinan dia pocong penunggu sindang!"

"Pocong penunggu sindang. Dia mengetahui kelemahan ilmu serta kelemahanmu yang tidak bisa berenang. Aku yang menjadi majikanmu tidak mengetahui tentang hal ini. Edan...!"

Geram Gagak Anabrang.

"Gusti junjungan. Maafkan saya sekali lagi. Saya memang tidak pernah menceritakan karena takut junjungan mencelakakan saya."

Jawab Lor Gading terbata-bata.

"Takut aku celakai? Nyatanya kau hampir dibuat celaka orang lain."

Damprat Gagak Anabrang. Secepat kilat dia bangkit berdiri. Lalu dengan mata melotot menatap ke arah sindang dia berteriak

"Hai kunyuk yang mendekam dalam sindang cepat tunjukkan dirimu agar aku dapat melihat rupa tampangmu!"

"Jangan hanya berani bicara dengan suara mengiang saja!"

Sunyi.

Tidak ada jawaban.

Gagak Anabrang terus menunggu dengan hati penasaran.

Sementara itu Ratu Edan yang berada dalam keranjang diketinggian menuju kembali ke sebuah bangunan berlantai panggung yang disebutnya istana Damai.Sang Ratu sebenarnya sempat melihat ada sebuah benda lain melayang melesat menembus kegelapan malam.

Dia tidak sempat memperhatikan benda apa gerangan yang berkelebat di sisi sebelah kirinya itu, karena perhatiannya sendiri saat itu tertuju ke arah kobaran api yang telah membakar bangunan cukup megah yang menjadi kesayangannya.

Dugaan Ratu Edan ternyata tidak berlebihan.

Benar saja ketika dia hampir mendekati halaman ,sang ratu melihat bangunan besar berlantai panggung berbentuk rumah adat Minang Kabau itu telah musnah dilalap api. Hanya tinggal puing dan beberapa tiang penyangga yang tersisa.

Ratu Edan menggeram. Dua tangan ditekankan ke arah dua sisi mulut keranjang sakti.

Begitu ditekan keranjang bergerak turun ke bawah.

Satu tombak sebelum keranjang menyentuh halaman. Ratu Edan segera melesat keluar tinggalkan benda aneh yang selalu membawanya kemanapun dia pergi.

Begitu jejakkan kaki di halaman istana gadis berpakaian biru ini dongakkan kepala menatap ke keranjang.

"Melambunglah yang tinggi, kembali ke tempat peristirahatanmu. Jika aku membutuhkan aku akan memanggilmu."

Kata sang Ratu.Seakan mempunyai nyawa mata dan telinga, keranjang sakti itu bergoyang-goyang

Lalu....

Wuus!

Sekali keranjang melesat menuju ke ketinggian, hanya sekedipan mata lenyap dari pandangan.

Ratu Edan segera berlari mengitari halaman istananya, mata jelalatan liar mencari-cari

"Jubah sakti dan Jubah Api, di mana kau...?"

Seru sang Ratu memanggil nama dua orang kepercayaan yang selama ini bertugas menjaga istananya.

Tidak ada jawaban.

Ratu Edan dengan hati cemas segera berlari menuju ke halaman belakang.

Di sana dia melihat dua sosok tubuh terkapar, jubah hangus dan tubuh dalam keadaan hancur nyaris tidak berbentuk.

Ratu Edan yang masih mengenali sosok yang berada di depannya segera datang menghampiri.

Dia bersimpuh, tubuh yang dalam posisi rebah miring ditelentangkan.

Kemudian dia melihat seraut wajah bersimbah darah nampak megap-megap.

Rambut panjang yang biasa terlindung topi jubah hangus.

"Jubah Sakti apa yang terjadi? Siapa yang melakukan semua kekejian ini?"

Tanya sang Ratu. Si Jubah Sakti yang aslinya adalah seorang gadis pemalu berusaha menjawab.

Tapi banyaknya gumpalan darah yang menyekat menyumbat batang tenggorokan membuat si Jubah Sakti jadi kesulitan untuk menjawab.

Ratu Edan membuat beberapa totokan di bagian paru-paru dan jantungnya.

Dengan suara terbata-bata Jubah Sakti akhirnya membuka mulut.

Dengan suara bergetar dia berkata.

"Gus... Ratu Edan ."

"Gus apa? Katakanlah siapa orang yang melakukan ini agar kau tidak pergi dengan sia-sia."

Desak sang Ratu.

"Gus-ti... iblis itu datang dari langit. Dia membawa bendera darah. Dia datang dan bertanya apakah gusti Ratu menyembunyikan seorang gadis keramat bernama Dadu Sirah Ayu!"

"Gadis keramat? Dadu Sirah Ayu... oh rupanya gadis dambaan para siluman itu yang diincarnya. Tapi siapa monyet gila itu? Dengan apa dia sampai kemari?"

Tanya Ratu Edan sambil menatap pengawalnya lekat-lekat

"Perahu Setan....!"

"Apa? Dia naik perahu. Perahu Setan itukah yang kau maksudkan?"

Tanya Ratu Edan dengan suara menyentak.

Tidak ada jawaban.

Sang Ratu mengguncang bahu pengawalnya.

Kepala itu justru terkulai.

Jubah Sakti tewas dengan mata mendelik. Ratu Edan diam terkesima.

Nafasnya tersengal, tatap mata meredup, Dia menarik nafas sambil menggeleng berulang kali.

Tidak ada kata-kata yang terucap.

Namun jelas Ratu Edan cukup terguncang melihat kematian pengawalnya.

Kemudian dengan jemari tangannya dia mengusap kedua mata yang terbuka itu.

Sebelum bangkit berdiri.

Dari mulutnya terdengar ucapan.

"Maafkan aku Jubah Sakti. Aku tidak melupakan apa terjadi malam ini. Aku bersumpah demi ibuku yang telah menjadi memedi, kematianmu tidak akan sia-sia."

Ratu Edan akhirnya bangkit.

Dengan langkah gontai dia menghampiri si Jubah Api. Setelah mendekat dan berada di depan Jubah Api. Ratu Edan kembali dibuat tercengang.

Dia melihat Jubah Api keadaannya jauh lebih mengenaskan dibandingkan Jubah Sakti.

Sekujur tubuh Jubah Api selain hangus juga dipenuhi luka seperti direjam.

Badan tercabik- cabik, kepala rengat, hidung amblas remuk. Hanya jubahnya saja yang masih utuh.

Seperti diketahui jubah yang dipakai oleh laki-laki muda satu ini bukan cuma sekedar jubah pelindung tubuh, tapi juga merupakan jubah yang dapat mencetuskan api.

Dan jubah itu tidak akan hangus walau diberangus kobaran api sehebat apapun

"Semua kejadian ini menjadi malapetaka yang sangat berat bagiku. Hilang sudah istanaku yang damai. Apa yang terjadi dirimba persilatan? Mengapa diriku ikut terseret ikut terbawa-bawa?"

Ucap Ratu Edan sedih. Gadis ini diam termenung.
Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Perahu Setan? Pasti bangsat misterius yang berada di dalam Perahu Setan itu yang telah menghabisi kedua pengikutku! Tadi aku melihat ada benda melesat diketinggian. Pastilah itu tadi adalah Perahu Setan!"

Geram Ratu Edan.

Sejurus dia terdiam.

Terpikir olehnya apakah harus menguburkan jenazah kedua penjaganya lebih dulu ataukah segera lakukan pengejaran.

Ratu Edan memilih langkah kedua.

Namun selagi dia berniat tinggalkan mayat kedua pengikutnya tiba-tiba sang Ratu mendengar suara dengung halus dibelakangnya.

Laksana kilat Ratu Edan balikkan badan sambil mengangkat tangan siap lancarkan pukulan sakti.

Tapi segala niatnya menjadi urung begitu dia melihat tiga kunang-kunang terbang mengapung di depannya.

Memperhatikan tiga kunang-kunang yang dua kurus dan satu gemuk, kening Ratu Edan jadi berkerut.

Seumur hidup dia menetap tinggal dipulau damai belum pernah sekalipun dia melihat ada kunang-kunang muncul di tempat itu.

"Tiga kunang-kunang!"

Ratu Edan membentak.

"Jika kalian datang dengan membekal maksud yang baik, kuharap segera tunjukkan diri. Tapi bila kalian datang ingin membuat kekacauan, aku bisa membuat tubuh kalian hancur lebur."

"Jangan! Jangan hancurkan kami. Aku sahabatmu!"

Tiba-tiba terdengar suara dari salah satu kunang-kunang yang berada di bagian depan.

"Kami orang baik. Jangan dibuat hancur. Jelek-jelek begini aku juga masih ingin hidup lebih lama!"

Timpal kunang-kunang bertubuh gemuk yang bukan lain adalah wujud penjelmaan seorang kakek bertubuh gendut Kelut Birawa.

Ratu Edan yang sedang dirundung duka dan perasaan kalut tidak sempat berpikir jernih. Walau terkejut tak menyangka kunang- kunang bisa bicara.

Namun sambil turunkan tangan kanannya yang teraliri tenaga dalam dia berkata.

"Sahabatku! Siapapun dirimu harap tunjukkan diri. Jangan membuatku berlaku nekat berbuat gila!"

"Baiklah!"

Kata kunang-kunang yang berada di depan.

Binatang malam itu kemudian memutar tubuhnya tiga kali.

Cahaya biru yang memancar dari kunang-kunang menyala lebih terang.

Gerakan kunang-kunang pertama diikut oleh dua kunang-kunang lainnya.

Lalu....

Byar!

Byar!

Tiga kunang-kunang keluarkan suara berdesis disertai kepulan serta tebaran asap biru.

Ketiga mahluk lenyap.

Begitu tebaran asap biru sirna di depan Ratu Edan berdiri tegak seorang gadis cantik bersama dua orang kakek.

Ratu Edan hanya mengenali salah satu kakek itu, namun dia tidak kenal dengan kakek gendut berpakaian putih tak terkancing serta gadis cantik bergaun putih berenda.

"Raden Pengging Ambengan sahabatku!" serunya gembira.

"Maafkan aku, aku kira dirimu siapa? Tidak biasanya kau datang dengan menyaru menjadi kunang-kunang." kata Ratu Edan.

Lalu sang Ratu palingkan kepala menatap ke arah Kelut Birawa dan gadis cantik yang bukan lain adalah Dadu Sirah Ayu.

"Siapa dua sahabat itu?"

Raden Pengging Ambengan tersenyum

"Dia adalah sahabatku."

Jawab si kakek kurus berpakaian lurik bertubuh kurus kering macam jerangkong itu. Selanjutnya Raden Pengging Ambengan memperkenalkan Kelut Birawa Juga Dadu Sirah ?yu.

Ratu Edan manggut-manggut.

"Lama kita tidak bertemu."

Kata Ratu Edan.

"Saat kau muncul ditempat ini. Keadaanku kacau sekali. Istana Damai hancur menjadi debu dibakar orang."

Terang sang Ratu dengan wajah murung.

Raden Pengging, Kelut Birawa juga Sirah Ayu layangkan pandang berkeliling.

Ketika melihat dua mayat tergeletak tak jauh disebelah kanannya gadis ini menjadi kaget lalu tanpa sadar dekati Kelut Birawa dan bersembunyi di belakang orang tua itu.

"Tidak apa-apa, gadis ayu. Kedua mayat itu adalah para pengawalku."

Menerangkan sang Ratu

"Kekacauan apa yang terjadi di sini. Apakah baru saja terjadi kebakaran dahsyat? Wah kita datang terlambat, sahabatku jerangkong,"

Celetuk Kelut Birawa.

Di panggil kakek jerangkong oleh sahabatnya Kelut Birawa, Raden Pengging sama sekali tidak menanggapinya.

Karena dia tahu Kelut Birawa bermaksud bergurau.

Sebaliknya dengan menunjukkan keperihatinan mendalam dia membuka mulut ajukan pertanyaan.

"Aku turut merasa prihatin atas semua musibah dan malapetaka ini Ratu Edan. Semoga para dewa di kayangan sana memberikan ketabahan hati padamu. Tapi aku ingin mendengar apakah kau telah tahu siapa gerangan yang telah membakar istanamu dan membunuh Jubah Sakti dan Jubah api?"

Gadis cantik berdandan menor itu manggut-manggut sambil menggigit bibir yang dipoles sejenis pewarna berwarna merah menyolok.

Walau hatinya dirundung sedih dan kemarahan serasa membakar rongga dada, namun dengan seketika gadis periang ini dapat melenyapkan segala kegalauan di hati.

Dengan sikap tegar dia menjawab.

"Aku sudah tahu. Ada yang ingin kutanyakan padamu. Apakah kau pernah mendengar kehadiran seorang tokoh aneh tidak bernama. Orang itu selalu datang dan pergi dengan menumpang sebuah perahu berwarna darah. Perahu itu dikenal dengan nama perahu Setan."

Ditanya sedemikian Raden Pengging yang memiliki pengalaman luas dan penglihatan mata batin tajam terdiam. Hanya sepasang matanya yang cekung menjorok ke dalam yang berkedap- kedip. Belum sempat Raden Pengging menjawab, Sirah Ayu tiba-tiba berkata.

"Kakek! Raden penghuni perahu Setan bukankah salah satu diantara orang jahat yang menginginkan diriku?"

"Kau benar."

Menyahuti si kakek. Kemudian ditujukan pada Ratu Edan dia berkata.

"Aku tidak mengenal siapa mahluk misterius penghuni Perahu Setan. Dibandingkan Gagak Anabrang dia sama bejatnya. Meskipun tidak mengenal namun aku tahu penghuni Perahu Setan itu diam di sebuah tempat asing antara langit dan bumi. Dan tempat itu dikenal dengan nama Awan Cadas Setan. Tidak disangka mahluk sesat itu ternyata telah datang ke Istana Kesayanganmu. Apakah dia ada mengatakan sesuatu?"

Kata si kakek disertai tatap mata menyelidik

"Aku tidak sempat bertemu. Saat dia datang menghancurkan tempat ini aku sedang berada dikawasan sindang, karena disana muncul Gagak Anabrang...!"

Jelas Ratu Edan. Sirah Ayu menjadi kaget mendengar penjelasan Ratu Edan.

"Ih Iblis itu. Aku takut...!"

Kata Dadu Sirah Ayu dengan tubuh mengkeret menggigil ketakutan.

"Jangan takut."

Sahut Kelut Birawa berusaha menenangkan. Kemudian pada Ratu Edan si gendut ajukan pertanyaan.

"Apakah kau telah membunuh manusia jahat yang satu itu Ratu?"

"Tidak. Aku belum sempat menghabisinya. Saat itu tiba-tiba salah satu pengawal penjaga istana memanggilku."

"Sayang. Harusnya bangsat yang satu itu mendapat hukuman berat atas segala dosa dan kesengsaraan yang telah diperbuatnya kepada banyak orang."

"Dia pasti bakal mendapat hukuman."

Jawab Ratu Edan. Kemudian pada Raden Pengging sang Ratu menerangkan.

"Menurut Jubah Sakti sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, penghuni Perahu Setan datang kemari karena ingin mengetahui apakah aku menyembunyikan Dadu Sirah Ayu."

"Orang yang dimaksudkan mahluk itu adalah saya Gusti Ratu. Karena saya banyak orang tidak bersalah menjadi korban. Saya merasa sedih dan mungkin jalan terbaik untuk mengakhiri semua ini adalah dengan kematian saya sendiri. Kalau saya mati, tentu tidak akan ada lagi pertumpahan darah."

Ucap Sirah Ayu polos namun juga bersedih hati.

"Hus! tidak boleh bicara begitu gadis cantik."

Sergah Ratu Edan sambil tersenyum.

"Kita disini semuanya adalah sahabat. Antara satu dengan yang lain harus saling melindungi."

"Benar yang dikatakan Ratu, kita memang harus saling melindungi. Jangan menyalahkan diri sendiri. Kau sama sekali tidak berdosa. Sirah Ayu."

Kata Raden Pengging memberi dukungan. Walau jauh dilubuk hati merasa gundah, namun dukungan-dukungan yang diberikan oleh orang-orang disekelilingnya membuat Sirah Ayu jadi lebih bersemangat untuk bertahan hidup.

"Terima kasih. Kalian adalah orang yang sangat baik. Aku selalu berdoa semoga semua diberi umur dan kesehatan yang panjang,"

Kata Sirah Ayu polos.

"Jangan lupa pula doakan tua bangka ini agar mendapat jodoh. He he he!"

Celetuk Kelut Birawa sambil tertawa terkekeh

"Sahabat Kelut....Dalam keadaan seperti ini jangan bicara melantur tak karuan. Ingat kita harus menceritakan semua masalah yang terjadi pada sahabat Ratu Edan.Siapa tahu dia mau membantu dan bersedia ikut mencari jalan keluarnya."

"Ya-ya ya. Tidak mengapa. Di sini bebas bicara asalkan sopan. Mungkin kakek gendut itu sudah gatal dan kepengen segera kawin. Aku hanya punya satu usul. Kalau dia mau, aku bisa menjodohkannya dengan ratu empot-empot."

Ujar Ratu Edan sambil menahan geli.

Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, gusti Ratu ternyata kau baik sekali. Memangnya siapa Ratu Empot-empot itu. Apakah dia masih gadis atau sudah janda?"

Tanya Kelut Birawa dengan mata berbinar.

"Aku berani menjamin dia masih gadis. Ratu empot-empot itu tidak lain adalah harimau betina penunggu Alas Sindang Pantangan di sebelah utara."

Terang sang Ratu lalu tertawa tergelak-gelak

"Ah teganya gusti. Jangan karena tubuhku gemuk besar aku hendak dikawinkan dengan harimau. Bisa-bisa malam pengantin tubuhku babak belur bersimbah darah."

Karena jalan pikirannya seperti bocah tujuh tahun, Sirah Ayu yang ikut mendengar jadi terheran dan ajukan pertanyaan.

"Memangnya malam pengantin itu malam apaan kek?"

Sambil bersungut-sungut Kelut Birawa menjawab seadanya.

"Malam pengantin adalah malam... membelah durian"

Karuan saja semua orang disekeliling si gendut jadi ikutan tertawa. Walau tidak mengerti apa yang ditertawakan, dengan polos sekali lagi Sirah Ayu bertanya

"Duriannya banyak kek?!"

"Tidak! Cuma satu tapi gondrong. Ha ha ha!"

"Aneh. Memangnya ada durian yang..." belum sempat Sirah Ayu menyelesaikan ucapannya. Raden Pengging cepat-cepat memotong

"Sudah. Jangan bergurau terus. Kita sedang berada dalam kesulitan besar. Selain itu sahabat Ratu Edan juga baru saja mendapat musibah. Kuharap kau selalu ingat dengan tujuan utama Kelut?!"

Raden Pengging memperingatkan membuat si gendut manggut-manggut, mulut dikatub dan dia terlihat berubah bersungguh-sungguh. Sekejab suasana berubah sunyi. Namun kesunyian tidak berlangsung lama. Ratu Edan tiba-tiba ajukan pertanyaan.

"Apapun masalah yang kalian hadapi, aku ingin sahabat Raden Pengging mau berterus terang."

"Tapi aku merasa tidak enak di hati karena saat ini sebenarnya kau sendiri sedang tertimpa musibah."

Sang ratu tersenyum. Dia segera berujar.

"Aku masih cukup kuat menerima cobaan ini. Jangan hiraukan segala yang terjadi ditempat ini. Sekarang katakan saja bantuan apa kiranya yang dapat kuberikan."

Tegas gadis itu tanpa ragu. Mendengar ucapan Ratu Edan. Raden Pengging Ambengan menghela nafas lega. Dia menatap Kelut Birawa. Tapi si kakek yang tahu arti tatapan mata itu cepat berkata.

"Kau saja. Bila aku yang bicara menyampaikan semua masalah yang kita hadapi bisa-bisa mulutku bicara melantur lagi."

"Baiklah."

Raden Pengging mengalah.

"Jauh-jauh kami datang ke sini adalah untuk meminta bantuan darimu."

Secara gamblang orang tua itu kemudian menceritakan duduk perkara yang sebenarnya. Selesai Raden Pengging menuturkan semua yang terjadi, Ratu Edan nampak diam tercenung sementara perhatiannya tertuju pada Dadu Sirah Ayu.

"Kurasa ini bukan perkara mudah. Yang kita hadapi adalah iblis-iblis gelap mata dan rela melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tapi engkau dan rela melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tapi engkau dan sahabatmu tidak mungkin terus menghindar dari mereka. Karena cepat atau lambat salah satu dari mereka pasti akan menemukannya. Satu satunya cara yang paling baik adalah menghadapi mereka."

Tukas Ratu Edan tanpa ragu- ragu

"Tapi bila itu dilakukan dapat membahayakan keselamatan Sirah Ayu."

Jawab Raden Pengging khawatir. Si gadis tersenyum

"Dalam setiap masalah selalu ada resiko yang harus ditanggung. Aku tidak setuju bila kalian selalu bersembunyi atau lari dalam menghadapi masalah. Lagi pula..."

Ujar Ratu Edan sambil menghela nafas.

"Bagiku semua ini sudah kepalang basah. Kehancuran istanaku juga terbunuhnya dua pengawal membuat aku merasa sedih. Penghuni Perahu Setan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Selain itu Gagak Anabrang yang juga menginginkan Sirah Ayu untuk dijadikan tumbal persembahan bukan lagi sahabatku. Seperti yang kukatakan sebaiknya kita hadapi mereka bersama-sama."

"Jadi gusti Ratu mendukung kami?"

Tanya Kelut Birawa dengan perasaan lega. Yang ditanya tertawa lalu baru menjawab.

"Pertama kuharap kau tidak memanggilku dengan sebutan gusti ratu. Panggil aku ratu saja. Dan yang kedua aku tentu tidak membiarkan sahabatku menghadapi kesulitan seorang diri"

"Oh terima kasih Ratu Saja."

Ucap Kelut Birawa sambil rundukkan kepala berulang kali.

"Cukup kau memanggilnya dengan Ratu, tidak memakai kata saja! Dasar tua bangka tolol."

Dengus Raden Pengging cemberut

"Iya... maaf..."

"Sudahlah. Masalah kecil saja dipersoalkan. Mari kita pergi dari sini. Aku khawatir kehadiran kalian telah diketahui orang lain. Sekarang sebaiknya ikuti aku. Aku punya jalan rahasia yang bisa kita lewati agar kita bisa keluar dari pulau Damai dengan aman."

Sambil berkata begitu. Ratu Edan kemudian balikkan badan lalu menuju ke arah timur pulau yang dikelilingi sindang luas itu.

Tanpa banyak bicara Raden Pengging dan yang lainnya segera mengikuti.

****

Sebenarnya tidak sulit bagi Maha Sakti Raja Gendeng untuk menyusul Raden Pengging dan rombongan bila dia mau mempergunakan Pedang Gila senjata sakti yang dapat membawanya melayang terbang.

Sebagaimana yang telah dituturkan pada episode sebelumnya, setelah Jiwa yang bersemayam di hulu pedang mengabarkan kakek sakti dari Kaliwungu menyelinap pergi dengan merubah diri menjadi kunang-kunang.

Raja yang sempat melihat Dedemit Rawa Rontok dan Iblis Betina Muka Dua terlibat perkelahian sengit., karena ingin mendapatkan Dadu Sirah Ayu yang dibawa masuk menyelinap ke dalam pohon batu.

Akhirnya memutuskan untuk menyusul Raden Pengging, Kelut Birawa juga Sirah Ayu yang menjadi incaran banyak tokoh.

Niat sang pendekar hanya satu yaitu ingin membantu sekaligus menolong ketiga orang itu dari segala kesulitan yang dialaminya.

Tetapi menyusul tiga orang yang berubah menjadi kunang-kunang ternyata bukan perkara mudah....

Terlebih lagi Pedang Gila ketika melakukan pengejaran ternyata lebih memilih melayang di atas pucuk-pucuk pohon yang tinggi sehingga sukar bagi pemuda ini untuk mengawasi tiga kunang-kunang yang terbang diantara semak belukar.

"Jiwa dalam hulu pedang! Kita telah kehilangan jejak ketiga kunang-kunang itu."

Kata si gondrong sambil tetap mengangkat pedang ke atas sementara matanya jelalatan liar menatap ke arah hutan lebat yang terdapat di bawahnya.

"Mencari dan berusaha menyusul tiga kunang-kunang bukan perkara mudah paduka Raja. Mereka hanya mahluk kecil yang suka terbang rendah. Jika saya mengikuti mereka dengan melayang di tempat yang rendah di antara pepohonan lebat. Saya takut paduka terluka karena terbentur pohon atau tersangkut semak berduri."

Satu ngiangan terdengar di telinga Raja. Dan suara ngiangan itu bukan lain berasal dari sang Jiwa mahluk alam gaib penghuni hulu Pedang Gila.

"Pedang Gila, apakah perlu aku mengalirkan tenaga dalam ke badan pedang supaya dapat memancarkan cahaya yang dapat menerangi kegelapan?"

"Saya rasa tak perlu, gusti. Cahaya yang kelewat besar bisa mengundang perhatian musuh. Dan gusti tak usah cemas. Saya yakin tidak lama lagi kita bisa menemukan mereka!"

Raja terdiam, dua tangan masih berpegangan pada hulu pedang.

Sementara pedang yang membawanya melesat melayang di atas ketinggian membuat rambut Raja berkibar-kibar sementara tubuhnya mulai menggigil kedinginan.

Tetapi tanpa menghiraukan dinginnya udara pemuda ini kembali layangkan pandang ke bawah.

Dia melihat ada sebuah padang rumput liar tidak jauh di depan di bawah sana.

"Sebaiknya kita turun. Aku ingin memastikan apakah mereka melewati padang rumput itu atau tidak."

Pedang dalam genggaman mengeluarkan suara bergemerincing aneh disertai getaran lembut. Bagi Raja isyarat-isyarat yang diberikan pedang merupakan sebuah pertanda yang tidak baik.

"Saya rasa padang rumput itu bukanlah tempat yang aman. Bukankah gusti telah menerima isyarat yang diberikan badan pedang?!"

Sang Jiwa memberi ingat.

"Aku tahu. Tapi aku tidak perduli. Aku tidak mau kau harus terus menerus membawaku melayang seperti ini seekor burung."

"Maaf gusti, Mengenai yang gusti sebutkan bukankah gusti memilikinya."

"Jangan bicara ngaco. Lakukan saja apa yang aku perintahkan. Turunkan aku di tepi padang rumput itu!"

Kata Raja tidak sabaran.

"Baiklah! Kalau gusti Raja sudah berkata begitu saya mana berani menolak. Sekarang bersiap-siaplah! Saya akan membawa paduka turun ke padang rumput di bawah sana."

Kata sang Jiwa memperingatkan.

Raja anggukkan kepala lalu semakin mempererat cekalannya pada hulu pedang.

Arah pedang tiba-tiba berbalik menghadap kebawah.

Ketika Pedang Gila meluncur deras ke bawah terdengar suara bergemuruh dan gemerincing menyakitkan telinga tak ubahnya seperti suara genta kematian.

Seluruh badan pedang memancarkan cahaya kuning berkilauan memerihkan mata yang memandangnya.

Dua tombak sebelum ujung pedang menghujam ke bumi, Raja segera menyentakkan pedang ke atas.

Pedang menggeletar sementara pemuda itu sendiri berjumpalitan sebanyak tiga kali lalu menjejak tanah berumput tanpa suara sedikitpun.

Suara gemerincing genta lenyap,pancaran cahaya meredup lalu padam.

Seet!

Treek!

Sekali tangan sang pendekar bergerak, pedang telah lenyap masuk ke dalam rangkanya.

Tanpa membuang waktu sang pendekar segera memperhatikan keadaan di sekitarnya.

Pada kesempatan itu dia juga berkata ditujukan pada sang jiwa.

"Pasang matamu, jangan sampai tidur. Perhatikan keadaan di sekitar sini. Bila melihat ada tanda-tanda tiga kunang-kunang yang kita cari munculkan diri kau harus segera memberi tahu,"

"Baiklah paduka Raja. Izinkan saya melakukan penjelajahan."

Jawab Jiwa Pedang lalu segera lenyap dengan suara desir angin.

Kemudian sunyi.

Hanya desiran angin malam dan suara serangga yang terdengar.

"Aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan mereka.Mungkinkah mereka melewati padang rumput ini? Atau mereka menempuh jalan yang lain?"

Pikir Raja sambil menduga-duga.

"Paduka!"
Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Tiba-tiba saja Raja mendengar suara sang Jiwa Pedang.

"Kau telah kembali?"

"Begitulah paduka."

Sahutnya dengan suara bergetar.

"Suaramu serak parau. Apakah ada sesuatu yang membuatmu menjadi cemas?"

Tanya Raja penuh rasa ingin tahu.

Raja merasakan ada hawa hangat berbentuk satu sosok yang tak terlihat mendekatinya.

Lalu ada dengus nafas lembut menyapu daun telinga sebelah kiri.

Walau tidak melihat mahluk tak kasat mata itu. Raja tahu Jiwa Pedang hendak membisikkan sesuatu padanya tetapi karena tak kuasa menahan geli pemuda itu lalu menggeser kaki kesamping, tangan ditekapikan ke telinga kiri mulut berucap mendamprat,

"Hei jangan kurang ajar. Hembusan nafasmu membuat aku kegelian. Kalau mau bicara ya bicara saja jangan sampai menyentuh telingaku."

"Paduka. Saya sedang tidak bergurau. Saya ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting tapi saya khawatir orang-orang itu mendengar pembicaraan kita!"

Raja menyeringai. Sambil mengusapi telinganya dia berkata.

"Kau hendak bicara apa?"

"Sebelumnya saya ingin bertanya apakah paduka melihat sesuatu?"

Karena memang tidak melihat apa-apa, Raja langsung menggeleng.

"Paduka tidak melihat, namun saya menyaksikan tak jauh dari sini dibalik pohon tepat dibelakang paduka ada dua orang mendekam di sana. Yang membuat saya heran kedua orang itu tidak mempunyai detakan jantung. Mereka hidup namun jantung diam dalam kebekuan. Tidak pula terdengar desiran darah yang mengalir diseluruh bagian tubuhnya."

Penjelasan sang Jiwa Pedang membuat sang pendekar jadi tertegun.

"Punya jantung tapi tidak berdetak, sudah begitu hidup lagi,"

Gumam Raja.

"Menurutmu mereka siapa?"

Tanya pemuda berpakaian kelabu itu sambil melirik ke samping tempat dimana Jiwa Pedang berada.

"Saya tidak berani memastikan gusti Raja. Namun menurut saya mereka hantu."

"Rupanya itu yang membuatmu gentar?" tanya Raja lagi.

"Bukan begitu, gusti. Terus terang saya memang tidak suka dengan hantu. Menurut pengalaman saya hantu adalah roh orang yang mati tersesat. Segala yang menyesatkan membuat mahluk seperti saya tidak menyukainya."

Mendengar pengakuan Jiwa bukannya merasa takut. Sebaliknya sang pendekar malah mengumbar tawa bergelak. Tidak mau berlama-lama sambil tertawa dia berseru ditujukan pada orang yang dimaksudkan Jiwa Pedang.

"Aku tidak takut dengan segala hantu kesasar. Kalau benar hantu, kedua kakinya pasti tidak menyentuh tanah. Siapapun yang bersembunyi dibalik pohon sebaiknya.cepat keluar. Rajamu tidak punya waktu untuk menunggu lebih lama."

"Astaga! Paduka bukannya pergi setelah saya beri tahu sebaliknya malah menantang."

Bisik Jiwa.

Rupanya dia cemas dengan sikap Raja yang dianggapnya ceroboh.

"Kau tenang saja. Aku ingin tahu siapa mereka."

Sang pendekar kemudian menatap ke arah jurusan di mana satu pohon besar berdiri tegak dibalik keremangan cahaya.

Tiba-tiba saja dia mendengar suara mengorok, serta suara desis aneh.

Bersamaan dengan itu dari balik kegelapan pohon berkelebat dua sosok bayangan ke arah sang pendekar.

Tidak sampai sekedipan mata dengan gerakan ringan seperti kapas dua sosok tubuh tinggi berwajah aneh berkulit cokelat kemerahan dan satunya lagi berkulit hitam telah berdiri tegak di depan Raja.

Melihat penampilan dan keadaan kedua sosok itu aneh dan juga mengerikan, tanpa sadar murid Ki Panaran Jagad Biru dan nenek bawel Nini Balang Kudu itu melompat mundur.

Dia juga menahan nafas karena hidungnya mencium bau busuk menyengat.

Bau busuk mayat!

"Hei...kalian ini manusia ataukah hantu yang baru terlepas dari neraka. Pantas saja sahabatku jadi ketakutan."

Tanya Raja sambil menatap memperhatikan kedua sosok di depannya lebih seksama.

"Yang satu wajah dan keadaan tubuhnya seperti kuda, pakaian hangus perut dan dada bekas dijahit benang kasar. Satunya lagi wajahnya pucat seperti mayat. Kepala dan bahu seperti pernah dibelah, lalu dijahit kasar oleh orang yang bukan ahlinya. Tidak hanya tubuh menebarkan bau busuk, wajah kalian juga ternyata tidak sedap untuk dipandang. Lekas katakan padaku siapa diri kalian?"

Kedua laki-laki yang bukan lain adalah Arwah Kaki Kuda dan Singa Tetua saling pandang sesamanya. Kemudian dengan suara serak parau tersendat-sendat salah satunya menjawab.

"Kami hanya menerima perintah. Kami bahkan tidak bisa mengingatkan siapa diri kami..."

"Tugas kami hanya membunuh seseorang!"

Menyahuti Singa Tetua.

Raja tertegun sambil menggaruk kepalanya.

Tidak bisa mengingat nama namun tahu tugas yang harus dilakukan.

"Betul-betul edan.Kalian bukan lagi manusia. Kalian berdua adalah orang mati yang dibangkitkan oleh seseorang dari kematian. Siapa yang membuat kalian dapat hidup kembali."

Yang ditanya sekali lagi saling berpandangan.

"Kami tidak diizinkan memberi tahu. Tapi kami menyebutnya gusti junjungan."

Kata Arwah Kaki Kuda.

Raja terdiam.

Dia berpikir sambil berusaha mencari tahu siapa orang yang telah mengutus mereka.

Seperti telah dikisahkan dalam episode Misteri Perawan Siluman.

Sesungguhnya Arwah Kaki Kuda dan saudara tuanya yang bernama Singa Tetua itu telah tewas dibunuh oleh Raja Pedang di Lembah Batu Gamping.

Tapi ketika Si Raja Pedang berlalu setelah membantu Kelut Birawa dan Sirah Ayu meninggalkan lembah itu muncul Perahu Setan dan mahluk misterius penghuninya.

Kedua mayat bersaudara itu kemudian dibawa ke sebuah kawasan hutan jati.

Setelah itu mahluk misterius penghuni Perahu Setan menjahit luka-luka yang menjadi penyebab kematian kedua orang itu.

Dengan segenap ilmu sesat yang dimiliki, Penghuni Perahu Setan akhirnya dapat menghidupkan mereka.

Karena pernah mengalami kematian maka kedua bersaudara itu mengalami kerusakan otak hingga ingatannya menjadi terbatas.

Penghuni Perahu Setan kemudian mengisi mereka dengan paku sakti yang dipantekkan ketubuh mereka hingga membuat kekuatan Arwah Kaki Kuda dan Singa Tetua menjadi berlipat ganda dari sebelumnya.

Setelah mendapat bekal tambahan ilmu baru, kedua orang ini lalu diperintahkan untuk mencari dan membunuh Raja.

Seperti telah dikisahkan sebelumnya, penghuni Perahu Setan sangat mendendam pada Raja karena sang pendekar telah membunuh dua bersaudara kembar Ayudra Bayu dan Ayudra Tirta yang ternyata adalah murid-murid kesayangan tokoh misterius itu.

Setelah tidak mendapatkan jawaban siapa yang mengutus kedua mahluk tersebut maka Raja akhirnya palingkan kepala ke belakang.

Sambil memandang ke arah Pedang Gila yang tergantung dipunggungnya pemuda ini ajukan pertanyaan.

"Aku penasaran siapakah yang telah membangkitkan kedua orang mati ini? Hai Jiwa Pedang kau yang tahu berbagai perkara terang maupun tersembunyi. Apakah kau telah tahu siapa orang yang berada di belakang mereka."

"Tak usah bingung paduka. Paduka pasti masih ingat beberapa waktu yang lalu paduka Raja pernah membunuh dua manusia kembar orang suruhan Gagak Anabrang di desa Tretes."

"Oh ya-ya... kejadian yang membuat aku nyaris tenggelam itu memang tak mungkin bisa kulupakan. Aku sendiri bahkan masih mengkhawatirkan bagaimana nasib Kabut Hitam yang terseret arus. Apakah dia selamat atau tidak tertolong."

"Mengenai nasib Kabut Hitam saya rasa dia dalam keadaan baik-baik saja. Dia berada di suatu tempat yang sangat jauh dari sini. Saya hanya berharap gusti dapat melupakan Kabut Hitam untuk sementara ini. Terkecuali gusti memang ada rasa suka pada gadis yang dikutuk menjadi anjing itu."

"Enak saja kau bicara. Aku tidak menaruh perasaan apa-apa terhadapnya. Perasaanku padanya adalah biasa-biasa saja. Lagi pula aku belum gila jatuh cinta pada seekor anjing walaupun aku tahu ujud sebenarnya adalah seorang gadis. Heh...!" dengus Raja mencibir.

"Weleh gusti Raja tak usah marah. Saya kan hanya baru sekadar menduga."

"Sudah. Lebih baik kau katakan siapa orangnya yang telah membuat kedua orang mati ini berjalan. Apakah Perahu Setan?"

"Ah, gusti ternyata sudah tahu. Namun perlu kiranya saya luruskan. Yang membangkitkan mereka bukan Perahu Setan melainkan orang yang menghuni perahu itu sendiri."

"Penghuni perahu? Tidak seorangpun manusia yang tahu apakah orang dalam perahu yang konon dapat melesat di udara itu dedemit, iblis ataukah manusia. Namun siapapun dia adanya bila sanggup mengirimkan air bah yang menenggelamkan desa Tretes dan kemudian membangkitkan orang-orang ini aku yakin dia adalah mahluk yang sangat luar biasa."

"Tidak hanya luar biasa, Penghuni Perahu Setan juga merupakan orang yang sangat ditakuti di rimba persilatan. Gusti...!"

"Kau mau bicara apa?"

Tanya Raja.

"Maafkan saya bila dianggap bicara lancang. Sebenarnya Perahu Setan sangat menghendaki kematian gusti. Tapi disamping itu dia juga menginginkan Dadu Sirah Ayu gadis dambaan para siluman yang pergi bersama kedua kakek dalam pohon batu itu."

"Aku tidak mengerti mengapa Dadu Sirah Ayu dikejar-kejar oleh mahluk dari alam lelembut."

"Bukan cuma mahluk siluman yang menginginkannya. Gagak Anabrang juga menginginkan Sirah Ayu untuk dijadikan tumbal persembahan pada Yang Terlaknat Dari Alam Baka."

"Tapi bukankah menurut riwayat perjanjian dengan diraja alam baka, Gagak Anabrang seharusnya mempersembahkan putri tunggalnya yang bernama Arum Dalu kepada yang Terlaknat sebagai balas budi atas bantuan mahluk alam baka. Karena selama ini telah banyak membantu Gagak Anabrang dalam memperkaya diri."

"Itu memang benar paduka Raja, namun Gagak Anabrang nampaknya hendak ingkar janji. Dia terlalu sayang pada putri tunggalnya. Jadi dia bermaksud menukar Arum Dalu dengan Dadu Sirah Ayu sebagai persembahan. Gagak Anabrang lupa, Yang Terlaknat Dari Alam Baka sesungguhnya tahu segala rencana juga muslihatnya. Jadi dua-duanya memang dikehendaki oleh mahluk itu."

Raja menganggukkan kepala tanda mengerti.

Sementara itu Arwah Kaki Kuda dan Singa Tetua yang semula dibuat terheran-heran melihat Raja seperti bicara terus pada diri sendiri akhirnya tak dapat menahan diri.

Keduanya merasa diremehkan.

Dengan marah Singa Tetua melangkah maju, lalu hentikan langkah tiga tindak di depan Raja.

Begitu Singa Tetua mendekat tercium bau busuk yang semakin santar membuat sang pendekar merasakan perutnya bergulung mual lalu cepat tekap hidungnya.

"Mahluk busuk. Cukup sampai disitu saja. Tubuhmu bau, aku mau muntah!"

Dengus Raja dengan suara dihidung.

"Gemkh... gondrong aneh yang suka bicara sendiri seperti orang gila, aku tak punya waktu berada di tempat ini lebih lama."

"Siapa yang meminta kau di sini berlama-lama. Terus terang aku lebih suka bila kau dan si muka kuda lekas angkat kaki dari hadapanku!"

Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sahut Raja disertai seringai.

"Bicaramu kelewat sombong, mulutmu begitu menghina. Aku hanya ingin ajukan pertanyaan sekali saja."

Kata Singa Tetua.

"Mau bicara atau bertanya tidak ada yang melarang. Apa yang hendak kau tanyakan?"

Sebelum menjawab Singa Tetua yang mengalami kerusakan otak paling parah berpaling pada Arwah Muka Kuda. Pada saudaranya itu dia berkata.

"Apa yang hendak kita tanyakan?"

Arwah Kaki Kuda melangkah maju beberapa tindak. Setelah berada disamping Singa Tetua dia berhenti. Sejenak dia menatap sang pendekar dengan pandangan kosong namun curiga.

"Kami ini bertanya siapa dirimu ini?"

"Aku?"

Desis Raja lalu menunjuk dirinya sendiri.

"Namaku sangat panjang. Susah bagi kalian yang sudah mati untuk mengingatnya."

Jawab Raja disertai seringai mengejek.

"Sepanjang apapun namamu cepat sebutkan!"

Hardik Arwah Kaki Kuda jadi tidak sabaran. Sambil menggaruk kepala, tersenyum senyum sang pendekar menjawab.

"Aku dikenal dengan nama Raden Cokro Baculo Satu Mangku Jando Sekali Dua atau Tigo."

Mendengar Raja sebutkan namanya. Arwah Kaki Kuda dan Singa Tetua jadi bingung. Mereka saling tatap sama berpandangan.

Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang

Cari Blog Ini