Ceritasilat Novel Online

Ratu Edan 2

Raja Gendeng 15 Ratu Edan Bagian 2


"Nama aneh. Mengapa Baculo mengapa Jando?"

Desis Singa Tetua.

"Ha ha ha! Tentu saja laki-laki punya culo atau cula. Culanya dari dulu sampai sekarang memang satu. Adanya bukan di kepala tapi di..." kata-katanya belum selesai sang pendekar sudah tertawa mengekeh.

"Paduka mengapa masih juga mengajak orang mati bergurau. Mereka harus dihabisi karena mereka sangat berbahaya."

Kata Jiwa memberi bisikan.

"Kau mau aku berterus terang?"

Kata Raja sambil melirik ke arah hulu pedang.

"Mengapa tidak? Mereka berdua, paduka juga tidak sendiri. Bila paduka mengijinkan saya siap membantu."

"Hmm, kau benar. Akan tiba waktunya bagimu untuk melakukan sesuatu."

Jawab Raja.

Arwah Kaki Kuda yang tidak tahu juga tidak melihat sang pendekar bicara dengan sang Jiwa Pedang tiba-tiba berseru.

"Lihatlah, orang gila ini kembali bicara sendiri. Aku tidak percaya dia bernama Raden Cokro Baculo Satu. Melihat tampangnya aku yakin dia adalah orang yang kita cari."

"Memangnya siapa yang kalian cari?"

"Kami mencari pemuda dengan ciri-ciri sepertimu. Pemuda itu bernama Raja biasa menyebut diri sebagai Sang Maha Sakti Raja Gendeng?!"

Terang Singa Tetua.

"Kalau merasa yakin akulah yang kalian cari dan diperintahkan untuk dibunuh, mengapa tidak segera kalian lakukan?!"

"Hah, jadi kau orangnya yang bernama Raja Gendeng?!"

Seru Arwah Kaki Kuda dengan mata melotot. Raja manggut-manggut sambil tertawa mengejek

"Kurasa harus kukatakan memang benar akulah orangnya. Ha ha ha!"

"Sialan! Gondrong bangsat ini telah menipu mengerjai kita! Mari kita bersatu merebut pahala. Bunuh dia!"

Teriak Singa Tetua ditujukan pada saudaranya.

Mendengar ucapan Singa Tetua. Arwah Kaki Kuda segera mengambil tindakan dengan mendahului menyerang Raja.

Walau gerakan sang Arwah kelihatan kaku, namun dalam menyerang ternyata dia mempunyai kecepatan sepuluh kali lipat dibandingkan saat sebelum mengalami kematian.

Melihat serangan datang berupa dua tinju hitam yang siap melabrak bagian tubuhnya di sebelah atas, Raja sempat tercengang, namun dia tidak punya waktu untuk berpikir lebih lama.

Sambil menarik kaki kiri ke belakang pemuda ini cepat rundukkan kepala.

Satu tinju menderu ganas lewat hanya seujung rambut di atas kepala.

Lolos dari serangan pertama tahu-tahu tangan kiri Arwah Kaki Kuda berkelebat menyambar ke bagian dada sang pendekar.

Hawa dingin luar biasa menderu dan sambaran hawa dingin itu pun membuat dada Raja terasa ngilu seperti ditusuk ribuan pedang.

Raja menggeram, secepat kilat dia lipat gandakan tenaga dalam dan kesaktian yang dimiliki.

Lalu dengan menggunakan jurus Kepakan Sayap Rajawali sambil miringkan tubuhnya ke kiri, tangan kanan dia angsurkan ke depan menangkis sambaran jari tangan sedangkan tangan kiri meluncur ganas menyusup ke bawah mencari sasaran dibagian perut.

Plak!

Crak!

Benturan keras terjadi bersamaan masuknya serangan tangan kiri Raja ke bagian perut lawan.

Benturan itu membuat keduanya terjajar.

Raja menyeringai mengernyit kesakitan.

Diam-diam Sang Maha Sakti Raja Gendeng dibuat terkejut.

Dia tak menyangka tangkisan yang dilakukannya membuat tangannya seperti membentur batu karang.

Sedangkan serangan tangan kiri yang mengenai perut seakan menghantam tumpukan kapas tebal.

"Edan! ilmu kesaktian apa yang dia miliki? Mengapa tubuhnya bisa keras atos sementara tubuh yang lain menjadi lunak seperti bukit kapas?!"

Rutuk sang pendekar dalam hati. Sambil leletkan lidah Raja melangkah mundur. Ketika Dia menatap ke depan dia melihat Arwah Kaki Kuda menyeringai dingin. Bentrok pukulan seakan tidak dirasakannya sedikitpun.

"Kau selayaknya mati di tangan kami. Dan kau tidak berarti apa-apa di mataku!"

Kata laki- laki itu dengan suara berdengus

"Aku juga jadi ingin menjajal kehebatannya! Hiaa...!"

Teriak Singa Tetua.

Mendengar suara teriakan Singa Tetua, sang pendekar cepat palingkan kepala memandang ke sebelah kanannya.

Sekali lagi Raja dibuat terperangah ketika melihat Singa Tetua tahu-tahu telah berada di depannya sambil kibaskan dua tangannya yang merah menebar cahaya panas menghanguskan.

"Mayat sialan! Sudah mati mengapa serangannya luar biasa ganas?" gerutu sang pendekar.

Namun kali ini dia sudah bersikap waspada. Dan bukannya menghindari serangan sebaliknya dengan menggunakan ilmu pukulan sakti Badai Es dan Badai Serat Jiwa dengan nekat dia menyongsong menyambuti serangan itu. Kibasan tangan Singa Tetua memancarkan kobaran api merah benderang membuat keadaan disekitarnya yang gelap temaram jadi terang benderang. Sebaliknya dua tangan raja yang diangsurkan ke depan juga telah berubah memutih disertai kepulan hawa dingin dan rebawa aneh yang membuat nafas Singa Tetua seperti terhenti.

Dua tangan saling beradu. Bentrok itu menimbulkan goncangan dahsyat luar biasa. Arwah Kaki Kuda yang berniat hendak membantu saudaranya sempat terjajar. Tapi setelah sempat terhuyung namun masih dapat menguasai diri, Arwah Kaki Kuda siap menyerang Raja lagi. Dari arah belakang dia mencoba menyerang dengan satu hantaman keras mengarah kepada punggung Raja.

Raja yang tengah berusaha untuk menghabisi Singa Tetua ternyata melihat niat culas Arwah Kaki Kuda. Sambil menahan dorongan keras Singa Tetua, pemuda itu berseru ditujukan pada sang Jiwa.

"Sahabatku. Aku bukan orang yang serakah menghadapi musuh seorang diri. Sekarang tiba waktunya bagimu. Singkirkan mahluk jelek yang bermulut dan berpenampilan seperti kuda itu!"

Sebagai jawaban Raja mendengar suara mengiang ditelinganya.

"Asyik! Saya memang sudah menanti kesempatan ini sejak tadi paduka. Selamat bersenang-senang!"

"Apa? Bersenang-senang gundulmu bau menyan!"

Damprat sang pendekar.

Mulut berkata begitu namun dia lipat gandakan tenaga sakti ke bagian tangannya.

Di punggung belakang. Pedang Gila keluarkan suara berkerotakan disertai gemerincing aneh seperti gempa.

Lalu....

Seet!

Cring!

Sing!

Senjata sakti yang memiliki banyak kelebihan itu melesat keluar disertai tebaran cahaya kuning kemilau memedihkan mata. Begitu pedang melesat senjata ini langsung menghadang gerak langkah Arwah Kaki Kuda.

"Pedang aneh? Bagaimana senjata itu bisa bergerak tanpa ada yang mengendalikan ?1"

Pikir Arwah Kaki Kuda.

Tak ingin celaka dia yang tadinya bermaksud menghantam punggung lawan dengan satu pukulan dahsyat terpaksa urungkan niat.

Kemudian dengan gerakan enteng dia lambungkan diri, tangan terjulur siap menangkap bagian hulu pedang.

Tetapi kenyataan yang dihadapinya kemudian benar-benar membuat sang Arwah jadi tercengang dan terpaksa menarik tangan yang hendak menangkap bagian hulu pedang ke belakang.

Tanpa pernah dia duga, seolah mempunyai mata yang dapat melihat, pedang itu berbalik, mata pedang lakukan gerakan menusuk dan membabat dari atas ke bawah.

"Betul-betul edan!"

Pekik Arwah Kaki Kuda sambil berjumpalitan ke belakang selamatkan diri. Sementara itu berkat pengerahan tenaga sakti yang berlipat ganda, dua tangan Raja yang menempel ketat pada telapak tangan lawan kini mulai tergetar.

Hawa dingin luar biasa disertai kepulan asap menyerupai kabut es membubung dan menggulung habis api yang membara di kedua tangan lawan.

Singa Tetua tampak mulai kewalahan, sedikit demi sedikit tubuhnya mulai terdorong mundur.

Sementara serangan hawa dingin yang berlangsung terus menerus kini berpindah ketangannya dan mendesak hawa panas yang memancar dari tubuhnya.

Singa Tetua menyadari andai lawan menyerang hanya dengan pukulan Sakti Badai Es dia dapat bertahan, tetapi karena sang pendekar Raja Gendeng juga menyerang dengan pukulan sakti yang lain maka dada Singa Tetua menjadi sesak seperti mau meledak.

Selagi Singa Tetua mencoba terus bertahan.

Tiba-tiba saja lawan berteriak.

"Kau mungkin saja sanggup bertahan dari ilmu badai Es, tapi kau pasti tidak akan selamat dari pukulan Badai Serat Jiwa. Setiap orang yang sudah mati jelas tidak mempunyai jiwa. Jika hanya jiwa titipan yang mendekam dalam tubuhmu, maka kau akan celaka. Hieaaah...!"

Sambil berteriak sang pendekar hentakan tangannya yang menempel ketat dengan telapak tangan lawannya.

"Wuaarkh...!"

Singa Tetua meraung keras.

Satu dorongan tenaga luar biasa besar tak sanggup lagi ditahan oleh Singa Tetua.

Walau dia telah melipat gandakan tenaga dalam dan mengalirkannya ke bagian tangan tetap saja masih tidak sanggup mengatasi serangan lawan.

Tanpa ampun lagi Singa Tetua terdorong mundur lalu jatuh terlempar seperti dicampakkan oleh satu tangan yang luar biasa besar.

Di tempatnya berdiri. Raja terlihat tegang seperti arca batu.

Dua matanya menyorot tajam menatap ke arah lawan yang saat itu berusaha bangkit.

Singa Tetua pada akhirnya sanggup berdiri tegak, namun dari mulut dan hidungnya menyembur darah kental berwarna hitam menebar bau busuk menyengat.

Apa yang dialami oleh Singa Tetua ternyata tidak hanya sampai disitu saja.

Sebagian tubuhnya mengalami kerusakan yang parah.

Wajah pecah-pecah nyaris tidak berbentuk.

Kelopak mata meleleh seperti lilin terbakar, dua mata gondal-gandil nyaris tanggal dari rongganya.

Namun patut diakui, sang mayat hidup ternyata memang mempunyai daya tahan yang sangat luar biasa.
Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Terbukti tanpa menghiraukan keadaan tubuhnya yang berserabutan menjadi serpihan diwarnai lelehan cairan busuk.

Singa Tetua kini balikkan badan lalu kembali menyerang Raja.

Tidak mau bersikap ayal.

Melihat lawan lakukan serangan maka dengan menggunakan jurus Tangan Dewa Menggusur Gunung sang pendekar segera merangsak ke depan.

Dua tangan yang dipentang berbentuk cakar berkelebat ke atas lalu meluncur ke bawah dan menyerang lawan pada bagian tubuh yang dianggap lemah.

Sementara itu Arwah Kaki Kuda sendiri saat itu dihadapkan pada pilihan sulit.

Ketika saudaranya dibuat jatuh terpental dan mengalami luka-luka disekujur tubuhnya akibat bentrok tenaga sakti.

Dia sebenarnya ingin memberi bantuan, tetapi Pedang Gila ternyata selalu merintangi jalannya.

Mengingat berkali- kali gagal menangkap pedang itu ditambah keinginan untuk membantu saudaranya selalu dihalangi.

Arwah Kaki Kuda pun akhirnya menjadi sangat murka.

"Pedang Gila sialan keparat! Jika aku tidak bisa menguasaimu, maka jalan satu-satunya yang paling baik adalah dengan menghancurkanmu!"

Geram Arwah Kaki Kuda.

Sebagai jawaban.

Pedang Gila meliuk dan menari-nari di udara.

Badan pedang tiba-tiba berubah melentur meliuk ke sana kemari disertai getaran aneh serta suara berdengung menyakitkan telinga. Melihat pedang unjukkan sikap mengejek Arwah Kaki Kuda katubkan mulut.

Kaki kanan yang berada di depan ditekuk.

Segera dia alirkan tenaga dalam saktinya ke bagian kaki dan ke bagian dua tangannya.

Tangan kemudian diangkatnya tinggi- tinggi.

Perlahan tangan itu bergerak turun.

Bersamaan dengan itu sepuluh jari dia acungkan ke arah senjata.

Seet!

Pedang Gila yang berada di atas ketinggian dan berjarak sekitar dua tombak dari Arwah Kaki Kuda nampak bergetar.

Sang Jiwa yang mengendalikan pedang itu keluarkan seruan kaget ketika dia merasakan pedang tersedot oleh satu kekuatan tidak terlihat yang muncul dari jemari tangan lawan.

"Mayat sialan! Dia menggunakan ilmu sesat Liang Lahat Menyedot Arwah!"

Desis Jiwa Pedang tetapi tentu saja lawan tidak bisa mendengar ucapannya itu. Dugaan Jiwa Pedang tidak berlebihan. Arwah Kaki Kuda saat itu memang menggunakan ilmu Liang Lahat Menyedot Arwah yaitu ilmu titipan pemberian Penghuni Perahu Setan.

"Dia hendak menguasai Pedang Gila! Hmm, mahluk seperti dia harus kuberi pelajaran setimpal!"

Berkata begitu Jiwa penghuni hulu pedang segera mengerahkan segenap kekuatan yang dia miliki.

Berkat usaha yang dilakukan Jiwa Pedang, Arwah Kaki Kuda tiba-tiba merasakan gerakannya menyedot senjata seperti dihadang oleh satu tembok tebal yang tidak terlihat.

"Tidak! Tidak mungkin senjata itu dapat bertahan. Pasti ada kekuatan lain yang mengendalikan pedang itu! Hii..." gerutu Arwah Kaki Kuda.

Sekali lagi dia salurkan tenaga sakti ke bagian dua tangannya. Dengan sekuat tenaga tangan yang dijulurkan ke depan dia sentakan ke belakang.

Wuus!

Sang Jiwa Pedang terkejut. Keinginannya untuk mengendalikan sekaligus menahan pedang lenyap begitu tenaga yang luar biasa besar menariknya. Pedang meluncur deras ke arah Arwah Kaki Kuda. Sang Arwah menyeringai. Merasa berhasil mendapatkan keinginannya dia pun cepat mengulur tangan menyambar hulu pedang. Namun diluar dugaan secepat kilat arah pedang berbalik. Selagi daya sedot tangan lawan mengendor karena salah satu tangan dipergunakan untuk menangkap pedang.

Pedang dengan leluasa menderu disertai suara berdentring lalu menyambar ganas kedua tangan lawannya. Arwah Kaki Kuda tidak sempat menyelamatkan kedua tangannya walau dia sudah menarik tubuhnya ke belakang

Crass!

Cras!

Pluk!

Dua tangan terbabat putus hingga sebatas siku. Tidak terdengar jeritan walau darah busuk menyembur dari kutungan kedua tangan. Bagian yang terputus jatuh ke tanah. Arwah Kaki Kuda hanya bisa mendelik, menatap ke arah tangannya dengan mulut ternganga.

"Tanganku! Walah tanganku buntung...!"

Teriak taki-laki itu meraung.

Tapi kehilangan tangan tidak membuat Arwah Kaki Kuda menjadi surut.

Dengan kedua kakinya kini dia mengamuk, menendang.sekaligus menerjang.

Tetapi semua serangan sekarang dengan mudah dapat dihindari Pedang Gila.

Malah pada satu kesempatan sang pedang tiba-tiba berputar sebat.

Cahaya kuning keemasan berpijar.

Setelah berputar diudara tiga kali.

Pedang Gila keluarkan suara raungan sekaligus menderu membabat leher Arwah Kaki Kuda.

Walau telah berusaha menghindar dari tebasan pedang dengan membungkukkan tubuh.

Namun ujung pedang tetap saja menembus leher sang arwah.

Arwah Kaki Kuda terhuyung.

Mata mendelik.

Dua tangan yang buntung menggapai kian kemari berusaha menekap luka namun dia tak mampu melakukannya.

"Iih... bau sekali...!"

Rutuk sang Jiwa Pedang lalu cepat sentakkan diri dan menjauh dari lawannya.

Setelah pedang yang menembus leher tercabut.

Arwah Kaki Kuda bukannya ambruk ke tanah.

Satu keanehan tiba-tiba saja terjadi.

Selagi pedang melayang menggantung diketinggian tiba-tiba saja tubuh sang Arwah nampak menggelepar.

Bersamaan dengan itu seluruh badan menggelembung bengkak urat-urat darah bersembulan keluar seolah hendak meletus.

Mata mendelik memberojol dari rongganya, Cairan darah kental memancar dari luka

"Apa yang terjadi?"

Sentak jiwa yang bersemayam dalam hulu Pedang Gila.

Mahluk yang tidak mempunyai tubuh kasat atau tidak berjasad itu diam memperhatikan.

Di depannya Arwah Kaki Kuda terus mengalami sebuah proses yang tidak wajar.

Wajah yang membengkak semakin tambah membesar.

Terdengar suara berkerokokan lalu terjadilah ledakan dahsyat.

Kepingan, serpihan dan potongan tubuh berhamburan diudara.

Bau busuk bangkai tambah menyengat.

Dan ketika seluruh kepingan tubuh yang bertebaran memenuhi udara luruh di tanah.

Tiba-tiba ditempat Arwah Kaki Kuda tadinya berdiri muncul satu sosok hitam berbulu, berkepala aneh mirip kepala buaya namun mempunyai kaki mirip kaki harimau.

"Mahluk jejadian? Aku yakin mahluk ini penjelmaan dari Paku Sakti yang ditancapkan penghuni Perahu Setan ke dalam tubuh Arwah Kaki Kuda. Paku itu pula yang membuatnya dapat hidup kembali. Hiaaa...."

Seru Sang Jiwa Pedang disertai pekikan keras.

Tidak menunggu lebih lama.

Pedang Gila kembali berkelebat, bergerak menyerang tepat disaat sang mahluk hitam berkepala buaya merangsak maju.

Sementara itu Raja yang sedang menghadapi gempuran Singa Tetua, diam-diam menjadi terperanjat melihat kehadiran mahluk yang menyerang Pedang Gila.

"Bila Arwah Kaki Kuda yang telah hancur dapat berubah menjadi mahluk menjijikkan seperti itu. Mungkin saja Singa Tetua pun akhirnya akan berubah menjadi mahluk yang sama. Aku harus hancurkan dia sebelum berubah menjadi sosok tak karuan."

Bulat dengan keputusannya Raja segera melompat ke depan.

Dengan tangan kiri pemuda ini menghantam dada Singa Tetua.

Namun dengan gerakan aneh Singa Tetua mengelak sehingga serangan luput.

Selanjutnya Singa Tetua juga hantamkan tinjunya ke dada lawan.

Raja berkelit, namun baru saja dapat menghindari pukulan, tiba-tiba kaki lawan telah melabrak perutnya.

Dess!

Pemuda itu jatuh terbanting.

Perutnya nampak mengepulkan asap.

Rasa panas seperti terbakar menjalar kesekujur tubuh.

Namun berkat pakaian sakti yang melekat ditubuhnya, dengan cepat hawa panas yang dideritanya lenyap terserap pakaian itu.

Melihat lawan tidak kekurangan sesuatu apa, Singa Tetua menggeram, dia melompat maju, kaki dihentakkan hendak menginjak dada sang pendekar.

Tak ingin celaka pemuda ini segera bergulingan menjauh.

Serangan luput namun sebelum sempat bangkit berdiri lawan telah mencecarnya dengan tendangan bertubi-tubi.

Tidak tinggal diam, pemuda ini segera menangkis tendangan lawan dengan mempergunakan kedua sikunya.

Tapi benturan demi benturan yang terjadi ternyata menimbulkan rasa sakit luar biasa.

Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raja merasa kedua tangannya seperti menghantam balok baja.

Kedua siku menggembung bengkak.

Lenyap sudah kesabaran pemuda ini.

Sambil berteriak murka, pemuda ini sentakan kakinya ke depan.

Begitu kaki menyentuh tanah tiba-tiba dia melambung ke atas.

Selagi tubuhnya melesat, Singa Tetua menghantam dengan jari-jari terkembang. Gerakan luar biasa cepat yang dilakukan Singa Tetua ternyata tidak sempat dihindari Raja.

Tanpa ampun sepuluh jemari tangan menghunjam dada sang pendekar.

Singa Tetua rupanya bermaksud hendak menjebol dada Raja.

Namun keinginannya itu tidak mudah untuk dilakukan karena pakaian yang melindungi dada pemuda itu ternyata sulit untuk ditembus. Bahkan semakin keras Singa Tetua hunjamkan kuku-kukunya ke dada Raja malahan dia merasakan ada hawa aneh menyerang dirinya.

Hawa aneh itu justru membuatnya megap-megap dan bagian tubuhnya menjadi sakit seperti ditusuk-tusuk.

Melihat lawan seperti kebingungan.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh sang pendekar.

Dengan tinju terkepal dia menghantam Singa Tetua dua kali berturut-turut.

Serangan yang diarahkan ke bagian dada lawan itu tidak sempat dihindari oleh Singa Tetua.

Duk!

Duuk!

Akibat pukulan luar biasa keras yang dilakukan Raja membuat satu benda berwarna hitam sepanjang satu jengkal yang tak lain adalah Paku Sakti Inti Jiwa yang pernah dipendam oleh Penghuni Perahu Setan terpental keluar dari bagian punggung Singa Tetua.

Paku itu kemudian jatuh berdenting lalu lenyap setelah menyentuh tanah.

Singa Tetua terhuyung.

Punggungnya menganga lebar.

Raja menyeringai sekaligus berkata.

"Benda laknat itu yang membuatmu dapat hidup. Sekarang aku mau melihat apakah kau masih sanggup bertahan!"

Sekali lagi sang pendekar menghantam.

Tidak tanggung-tanggung dia sengaja menyertakan ilmu pukulan Seribu Jejak Kematian dalam serangannya.

Wuus!

Tangan kanan menderu meluncur deras melabrak dada, Walau telah berusaha menangkis serangan. Singa Tetua yang dalam keadaan sempoyongan tak mampu membendung serangan Raja.

Brak!

Kraak!

"Uuuk...!"

Terdengar tulang-tulang rusuk berderak berpatahan.

Singa Tetua muntahkan darah hitam lalu jatuh terjengkang dan tidak berkutik lagi. Setelah yakin lawannya benar-benar menemui ajalnya, Pemuda ini memutar tubuh.

Ketika menatap ke depan dia melihat Pedang Gila senjata sakti yang menjadi andalannya tampak sedang berjuang keras untuk merobohkan lawan.

Namun setiap sang pedang melakukan serangan, ketika serangannya membentur tubuh lawan selalu terdengar suara berdenting.

Seakan pedang menghantam potongan besi.

Melihat ini Raja mencemooh sekaligus memberi kisikan melalui ilmu menyusupkan suara.

"Jangan berlaku tolol. Mahluk yang kau hadapi adalah jelmaan paku sakti yang tadinya mendekam dalam tubuh Arwah Kaki Kuda. Tusuk dia! Tusuk tepat dibagian dada!"

"Tentang asal-usulnya saya sudah tahu paduka. Cuma saya memang lupa tentang kelemahan yang satu ini. Terima kasih telah mengingatkan!"

Raja mengangguk sambil pencongkan mulutnya. Sementara itu mahluk hitam agaknya tambah penasaran karena usahanya menghancurkan pedang tidak juga membuahkan hasil.

Mahluk ini jadi kalap. Secara naluri dia berpikir jika tak dapat menghancurkan pedang maka dia lebih memilih untuk menangkapnya. Dengan segenap kekuatan yang dia miliki dia terus mengejar sambil julurkan tangannya. Beberapa kali tangan menyambar, nyaris berhasil mencengkeram hulu pedang. Namun pedang dengan gesit bergerak lincah berkelit menghindar dari sergapan. Sampai kemudian mahluk hitam keluarkan suara lolongan aneh. Bersamaan dengan terdengarnya suara lolongan kaki dihentakkan. Tubuh sang mahluk membal melenting di udara.
Gerakan kilat yang dilakukan sang mahluk yang tidak terduga membuat Jiwa yang mengendalikan Pedang Gila terkesima. Apalagi saat itu tangan mahluk yang berkelebat itu siap menangkap hulu senjata.

"Sekarang waktunya. Menghindar ke bawah dan tusuk dadanya!"

Seru Raja yang juga ikut tercekat.

Wuus!

Pedang meluncur ke bawah.

Lalu bergerak ke samping, bersamaan dengan itu ujung pedang menderu berkelebat ke bagian dada.

Walau telah berusaha keras hindari serangan sambil melesat ke belakang.

Namun akibat cahaya keemasan yang memancar dari Pedang Gila membuat sang Mahluk jadi kesilauan dan cepat lindungi matanya dengan kedua tangan.

Kelengahan yang hanya berlangsung sesaat tidak disia-siakan lagi oleh Pedang Gila.

Bress!

Mahluk hitam meraung panjang.

Tubuhnya yang berada satu tombak di atas tanah meluncur deras ke bawah.

Ketika tubuh sang mahluk jatuh di tanah terdengar suara berkerontongan.

Mahluk hitam raib meninggalkan kepulan asap.

Raja segera melangkah mendatangi.

Sementara Pedang Gila yang sempat berputar diketinggian akhirnya melayang menuju rangkanya.

Srek!

Pedang bertengger kembali masuk ke rangka yang tergantung dipunggung pemuda itu.

"Bagus! kau telah melakukan tugasmu dengan sebaik-baiknya."

Ucap Raja memuji.

"Semua itu berkat petunjuk gusti. Kalau tidak mungkin aku sudah kena ditawan."

Sahut Jiwa

"Ya. Bagus sekali ternyata kau cukup tahu diri."

Sambil berkata demikian. Raja pandangi kepulan asap yang mulai sirna. Dan ketika tebaran asap benar-benar sirna. Pemuda ini melihat sebuah paku hitam dalam keadaan hangus

"Paku sakti itu kini benar-benar menjadi benda rongsokan yang tidak berguna."

Dengus Raja.

Sang Pendekar pun balikkan badan lalu tinggalkan padang rumput yang hijau.


*****


Jalan rahasia yang dimaksudkan oleh Ratu Edan ternyata merupakan sebuah alur berbentuk gua terowongan yang cukup panjang.

Terowongan itu sangat dingin, bagian lantainya digenangi air sedalam mata kaki.

Walau sangat dingin dan rembesan air menetes sepanjang waktu dari langit-langit gua terowongan itu.

Namun keadaan didalamnya tidaklah gelap gulita sebagaimana yang dibayangkan oleh Sirah Ayu maupun si gendut Kelut Birawa.

Banyak sekali jamur api, yaitu jamur putih yang memancarkan cahaya terang yang tumbuh disepanjang dinding di kanan kiri terowongan itu.

Jadi tidak ada alasan mereka bakal tersesat. Walau demikian orang bisa saja tersesat akibat banyak lorong bercabang yang terdapat dalam terowongan itu.

Ratu Edan sebagai orang yang paling mengetahui rahasia serta seluk beluk terowongan itu berjalan memimpin di depan.

Sedangkan di belakang sang Ratu mengikuti Dadu Sirah Ayu, di belakangnya lagi ada Kelut Birawa.

Sedangkan paling belakang dari rombongan kecil itu adalah Raden Pengging Ambengan.

Orang tua bertubuh kurus kering macam jerangkong ini bertindak lebih waspada.

Rupanya dia khawatir ada yang menguntit perjalanan mereka.

Kekhawatiran yang dirasakan oleh si kakek rasanya tidak berlebihan karena dia menyadari tidak sedikit orang-orang rimba persilatan yang terus mencari mereka. Berbeda dengan Kelut Birawa.

Sejak bersama Raden Pengging apalagi Ratu Edan kini telah bergabung dengan mereka, si kakek tampak lebih tenang dari sebelumnya.

Mungkin karena si gendut ini merasa kini dia tidak lagi berjuang seorang diri dalam melindungi gadis dambaan siluman itu.

Setelah cukup lama menelusuri terowongan yang panjang itu.

Makin ke dalam airnya semakin tinggi hingga menyentuh dada.

Melihat kenyataan ini, Kelut Birawa tiba-tiba berkata.

"Ratu... mengapa air di terowongan ini menjadi dalam? Air di sini jernih sekali tapi sengat dingin. Herr.... Apakah tidak ada ularnya?"

Tanya si kakek. Matanya menatap ke sekelilingnya. Dua tangan dilipat ke dada sedangkan gigi mulai bergemeletukkan.

"Ular? Mungkin saja ada. Siapa berani memastikan. Tapi kalaupun ada ular atau lintah aku tidak begitu khawatir."

Jawab Ratu Edan tenang, sementara perhatiannya tertuju lurus ke arah terowongan di sebelah depan.

"Apakah ada yang lebih membuatmu khawatir Ratu?"

Tanya Sirah Ayu yang berada persis di belakang Ratu Edan. Gadis cantik berdandan menor menyolok itu anggukkan kepala. Tanpa menoleh dia menjawab.

Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku takut sewaku-waktu langit- langit diatas terowongan ini runtuh."

"Hah, bagaimana kau bisa berkata begitu?"

Sentak Kelut Birawa kaget.

"Ketahuilah,"

Ucap sang Ratu acuh.

"Saat ini kita berada persis di bawah sindang. Itu sebabnya air di sini jauh lebih dalam dibandingkan bagian terowongan sebelumnya. Kalian bisa membayangkan bagaimana jadinya bila langit- langit yang disebelah atas itu jebol dan rontok. Air di dalam sindang akan menerobos masuk tidak ubahnya seperti bendungan air bah yang jebol. Manusia berkepandaian selangit sekalipun tak mungkin sanggup menahan luapan air sindang yang tak terkira banyaknya."

Raden Pengging diam-diam merasa tegang. Tapi dia sendiri lebih memilih menutup mulut. Sedangkan Dadu Sirah Ayu lebih tercekat. Wajahnya pucat membayangkan kecemasan.

"Ih mengerikan sekali. Mengapa kau tidak mengatakan pada kami bahwa terowongan ini ada di bawah sindang?"

Tanya si gendut bersungut-sungut.

"Kalau kuberi tahu juga tidak ada gunanya. Hanya terowongan ini jalan satu-satunya yang paling aman. Para jahanam itu berkeliaran di luar sana. Aku dan Sirah Ayu bisa saja menumpang Keranjang Sakti milikku. Tapi keranjang itu tidak bisa membawa kalian berdua. Lagipula Perahu Setan saat ini berkeliaran di mana-mana."

"Apakah benar kau mempunyai keranjang yang bisa melesat diketinggian?"

Tanya Kelut Birawa.

"Aku pernah memberi tahu dirimu, mengapa masih bertanya lagi? Semula aku bermaksud menitipkan Sirah Ayu di dalam keranjang itu untuk dibawa ke suatu tempat yang aman. Itu sebabnya aku membawa kalian menemui Ratu Edan. Tapi... sekarang aku baru ingat, bukan keranjang milik Ratu Edan saja yang bisa melayang diudara. Sebaliknya Penghuni Perahu Setan ternyata mempunyai alat berupa perahu aneh yang dapat melayang di langit."

"Maaf, aku hanya sekedar ingin bertanya. Mungkin juga aku terlalu cerewet. Namun siapa tahu sewaktu-waktu aku bisa menumpang di keranjang milik Ratu. Seumur hidup aku belum pernah merasakan bagaimana perasaanku bila berada diketinggian. Apakah kepalaku pusing, perut mual seperti mabuk laut."

Kata Kelut Birawa polos.

"Orang tua bukankah kau punya burung? Mengapa harus menumpang dikeranjangku?" tanya Ratu Edan menggoda.

"Oala, ratu jangan keterlaluan. Kalau yang satu itu biarpun butut bulukan sahabat Raden Pengging juga punya. Tapi dia mana bisa terbang karena tidak punya sayap. Yang kutahu sepanjang hari kebiasaannya tidur terus terkecuali bila ada perempuan cantik."

"Memangnya bila melihat perempuan cantik kenapa?"

"Yang disitu biasanya manggut-manggut!"

Sahut Kelut Birawa lalu tertawa mengekeh. Sebagai gadis yang berpikiran selayaknya bocah, Dadu Sirah Ayu hanya bisa melongo mendengar gurauan kedua orang itu. Sebaliknya Raden Pengging yang pada dasarnya tak suka bergurau tiba-tiba saja menegur.

"Aku tahu kalian berdua senang bercanda. Tapi bergurau pada saat kita dihimpit kesulitan kurasa bukan pada tempatnya!"

"Raden Pengging. Aku tidak mau menjadi kurus sepertimu. Lihatlah tubuhmu mengapa tidak bisa menjadi gemuk sepertiku. Itu karena kau selalu dilanda ketegangan. Dalam hidup seharusnya kau lebih banyak tersenyum atau tertawa biar badanmu sedikit gemukan."

"Banyak tertawa? Biar orang menyangka diriku gila? Dasar tua bangka tolol!"

Dengus si kakek lalu cepat palingkan wajah ke jurusan lain.

Seakan tidak perduli, Kelut Birawa malah tertawa terkekeh-kekeh.

Tawa si kakek lenyap.

Suasana dalam terowongan itu kini berubah sunyi.

Hanya kecipak air saja yang terdengar.

Ke empat orang itu terus berjalan.

Mereka lalu berbelok memasuki alur sebelah kiri terowongan, sementara semakin jauh memasuki terowongan genangan air menjadi tambah dangkal.

Cukup lama mereka berjalan dengan tubuh basah kuyup menggigil kedinginan.

Akhirnya mereka sampai di ujung terowongan.

Sampai disini Raden Pengging yang berada dibagian paling belakang tiba-tiba berkata.

"Tunggu!"

Ratu Edan hentikan langkah.

Tangan yang sudah terlanjur siap menyibak semak dan reranting tumbuhan merambat yang menutupi mulut terowongan rahasia cepat ditariknya kembali.

Dia menoleh kebelakang, menatap pada kakek berwajah dingin bermata cekung dengan tatapan heran.

"Ada apa orang tua?"

Bertanya sang Ratu dengan tatapan tidak mengerti.

"Kita sudah jauh meninggalkan pulau. Bahkan terowongan ini berada di ujung Alas Sindang Pantangan daerah yang menjadi kekuasaanku."

Menerangkan si gadis.

"Aku tahu."

Tukas Raden Pengging. Si kakek kemudian cepat melanjutkan ucapannya.

"Aku sudah mengawasi keadaan diluar sana dengan mata batinku. Dan aku melihat ada orang yang berkeliaran diluar sana."

"Apakah mereka mengetahui keberadaan kita ditempat ini?"

Tanya kelut Birawa cemas.

"Aku tidak dapat memastikan."

Jawab Raden Pengging. Orang tua ini kemudian melangkah maju. Setelah melewati Dadu Sirah Ayu yang terlihat dicekam ketakutan dan Kelut Birawa akhirnya dia berhadap-hadapan dengan Ratu Edan.

"Biarkan aku melihat keadaan diluar. Aku curiga orang-orang diluar sana sedang mencari kita!"

Kata si kakek.

"Bagaimana dengan kami, orang tua? Aku bukan manusia pengecut dan rela mendekam ditempat ini seperti seekor tikus yang takut dengan burung hantu!"

Kata Ratu Edan apa adanya.

"Aku juga tidak takut. Apa yang terjadi harus kita hadapi bersama-sama. Aku dan Sirah Ayu telah muak melarikan diri menghindari kejaran."

Dengus Kelut Birawa.

"Aku tahu, tapi tunggulah sebentar, Biarkan aku memeriksa keadaan di luar sana."

Kata Raden Pengging. Ratu Edan, Dadu Sirah Ayu juga Kelut Birawa saling pandang. Merasa tidak punya pilihan lain mereka pun anggukkan kepala memberi persetujuan.

Raden Pengging tersenyum, lalu balikkan badan melangkah menuju ke mulut terowongan. Setelah menyibak dan menyingkirkan semak belukar yang menutupi mulut terowongan akhirnya dia sampai di depan pintu sebelah luar terowongan tersebut. Di depan terowongan terdapat sebuah padang lontar yang cukup luas. Sementara dikejauhan sana terlihat sebuah bukit ditumbuhi pohon-pohon menjulang tinggi.

Angin dingin berhembus sepoi-sepoi. Sementara sejauh mata yang memandang yang terlihat hanyalah hambaran kabut.

Sunyi mencekam.

Tidak terlihat tanda-tanda kehadiran orang lain di tempat itu, membuat hati sang Raden bertanya-tanya apakah mata batinnya telah melihat sesuatu yang salah?

Seumur hidup mempelajari dan menguasai berbagai ilmu. Beberapa diantara ilmunya itu ada yang sampai usang karatan karena jarang dipergunakan dan lupa dipuasai. Demikian banyak ilmu yang dia jadikan pegangan juga dia kuasai, malah sang Raden sampai lupa dengan sebagian ilmu yang dimiliki. Namun mengenai penglihatan batin, biasanya selalu tepat tidak ada yang meleset.

Lalu mengapa segala yang dilihatnya saat berada dalam terowongan seakan tidak menjadi kenyataan?

*****

Di tepi sindang di seberang pulau Damai, Gagak Anabrang semakin tidak sabar menanti lebih lama. Memandang dengan mata mendelik ke arah sindang sekali lagi orang tua bertubuh pendek cebol itu berteriak

"Mahluk jahanam yang menggagalkan niatku menyeberang ke pulau. Harap lekas unjukkan diri!"

Sebagai jawaban dia melihat gemuruh air di tepi sindang disertai munculnya gelembung.

Air pun kemudian bergolak hebat seolah mendidih.

Sekejab kemudian terlihat satu sosok bayangan melesat keluar dari dalam air lalu melambung tinggi diudara.

Setelah sempat mengapung diketinggian sosok tubuh berpakaian merah memakai topi mirip pocongan orang mati itu telah jejakan kaki tak jauh dari Lor Gading Renggana yang terduduk bersandar di batu dekat Gagak Anabrang.

Melihat kehadiran sosok kurus tinggi berwajah pucat tak bersemangat selayaknya orang yang sudah mati itu, Lor Gading Renggana langsung melompat bangkit. Sambil menunjuk ke arah laki-laki itu si tubuh besar berkepala kecil itupun berkata.

"Gusti junjungan! Inilah bangsatnya yang telah menenggelamkan perahu kita juga diri saya!"

Gagak Anabrang anggukkan kepala.

Dia menatap memperhatikan sosok didepannya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

Dalam hati Gagak Anabrang sesungguhnya terkejut ketika menyadari bahwa mahluk yang baru keluar dari dalam sindang ternyata walau berpakaian tetapi tubuhnya sedikitpun tidak basah.

"Dia bukan hantu penghuni sindang. Seseorang yang bisa membuat tubuh serta pakaiannya tetap kering walau cukup lama mendekam dalam air tentulah bukan manusia biasa. Siapa kunyuk serba merah yang satu ini?" membatin si orang tua dalam hati.

Gagak Anabrang melangkah maju. Sejarak dua tombak langkahnya terhenti begitu dia merasakan ada hawa aneh menyerang tubuhnya.

"Berdekatan dengannya membuatku seperti berada di sebuah pemakaman. Tengkukku merinding seakan malaikat pencabut nyawa berdiri di atas ubun-ubun."

Erangnya lirih.

Tapi Gagak Anabrang segera gelengkan kepala. Dengan tatapan dingin diapun ajukan pertanyaan.

"Orang berpakaian merah, memakai topi seperti pocong berwajah selayaknya orang yang sudah menemui ajal. Siapakah dirimu ini? Mengapa kau mengacaukan perjalanan kami? Bukan hanya mengganggu, kau juga hampir membuat celaka pengikut setiaku, Apakah kiranya dosa kesalahanku kepadamu hingga kau berani membuat perkara denganku!"

Mendengar pertanyaan Gagak Anabrang. Orang berpakaian merah dongakkan kepala lalu tertawa dingin. Kemudian dengan sikap selayaknya orang yang melantunkan bait-bait syair dia berujar.

"Manusia selalu bertingkah gila. Berbuat dosa dianggap biasa. Sampai tubuh binasa tetap tidak merasa kesesatan telah menguasainya. Gagak Anabrang namanya tersohor ke seluruh penjuru tanah Dwipa. Menumpuk kekayaan melebihi segala. Ketahuilah, orang mengenalku dengan sebutan si orang Mati Dari Makam Setan. Memang kau tidak berbuat salah juga dosa terhadap diriku. Dosa kesalahanmu hanya pada orang-orang yang telah kau bunuh dan juga mereka yang pernah kau sengsarakan. Hidupmu bergelimang harta tetapi jangan lupa pula dengan dosamu yang sedalam lautan selangit tembus."

Dengus orang berpakaian merah bertopi mirip pocongan berapi-api.

Mendengar ucapan orang, wajah yang selalu murah senyum itu tiba-tiba berubah tegang.

Mata mendelik garang, tangan terkepal mengeluarkan suara gemeretak,pipi menggembung pelipis bergerak-gerak

"Orang mati dari Makam Setan. Bersikap dan bertingkah seolah dirimu seorang dewa kematian. Apa perlumu mengingatkan diriku tentang segala dosa kesalahan. Kau bukan sanak bukan kadangku, tapi mulutmu bicara tak karuan seolah aku suka mendengarnya.Kau telah membuat kesalahan, bukannya berlutut minta ampun. Apa kau mengira aku bisa memaafkan segala tindakan yang kau lakukan kepada kami?!"

Hardik Gagak Anabrang.

"Junjungan! Tak usah banyak bicara, serahkan dia kepada saya. Dan saya bersumpah akan menghabisinya dalam waktu tidak sampai tiga jurus!"

Kata Lor Gading yang rupanya sangat mendendam pada orang Mati dari Makam Setan

"Ha ha ha! Aku telah sering mendengar keluhan, rintih, penderitaan dan kesengsaraan para penghuni kubur.Orang bertubuh besar, berkepala kecil mata ditutup kain hitam. Aku tahu kau hebat, kesaktianmu sangat tinggi. Tapi jangan lupa aku mengetahui kelemahan dari ilmu kesaktianmu.Kuharap kau jangan banyak mulut menjilat perhatian majikanmu. Kau harus ingat, jika aku menghendaki.Saat kutenggelamkan di dalam sindang sesungguhnya waktu itu sangat mudah bagiku untuk menghabisimu.Semudah membalikkan telapak tangan!"

Tegas Orang Mati dari Makam Setan. Ucapan itu membuat Lor Gading Renggana terdiam.
Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dia menyadari apa yang diucapkan orang memang benar adanya.

Tidak pula dapat dia pungkiri saat dirinya berada dalam air itulah waktu yang paling lemah dimana dengan mudah dia dapat dibuat celaka.

Diam-diam Lor Gading merinding.

Setelah bicara pada Lor Gading, kini Orang Mati dari Makam Setan palingkan kepala menatap ke arah Gagak Anabrang.

Pada laki-laki itu dia berujar.

"Orang pendek. Aku tidak perlu minta ampun padamu. Dan kau harus tahu takdir kematianku bukan berada ditanganmu. Karena itu kau tidak bisa membunuhku!"

"Begitu?!"

Sentak Gagak Anabrang, mulut tersenyum namun hati tidak puas

"Aku hanya ingin memberi kabar padamu. Bahwa segala muslihatmu tidak akan berhasil. Kau tidak mungkin bisa mengingkari janjimu dengan iblis itu...!"

"Iblis mana yang kau maksudkan, Orang Mati?"

Tanya Gagak Anabrang. Orang Mati dari Makam Setan tersenyum.

"Jangan pura-pura orang tua, karena sebenarnya kau tahu apa yang aku maksudkan. Kau telah membuat perjanjian dengan Yang Terlaknat Dari Alam Baka.Mahluk yang satu itu adalah raja dari segala raja kesesatan, Kau harus menepati janji karena selama ini dia telah membantumu menjadi orang yang sangat kaya. Karena sumpah janjimu dulu maka pada malam sabtu kliwon tepat bulan sabit ke tujuh yang akan jatuh besok malam, kau harus membawa anak satu-satunya yang kau cintai ke Bukit Segala Puji Segala Serapah. Di sana kau harus menyerahkan putrimu yang bernama Arum Dalu!"

Mendengar penjelasan Orang Mati, Gagak Anabrang diam-diam tercengang.

Dia berpikir bagaimana mungkin laki-laki berwajah pucat seperti mayat itu bisa mengetahui segala rahasia penting yang dipendamnya selama bertahun- tahun itu. Bukankah saat perjanjian dia buat bersama Yang Terlaknat Dari Alam Baka yang tahu hanya dirinya juga almarhum istrinya, Rai Nini.

Apakah mungkin Orang Mati Dari Makam Setan adalah kaki tangan Raja diraja alam baka itu.

Merasa penasaran Gagak Anabrang pun berkata.

"Orang Mati dari Makam Setan. Sedikitpun aku tidak menyangka ternyata kau mempunyai pengetahuan luas. Kau mengetahui perjanjian itu bukanlah sebuah kebetulan. Apakah kau datang membawa amanat Yang Terlaknat?"

"Aku tidak punya hubungan apapun dengan mahluk yang satu itu."

"Jika begitu perlu apa kau datang menemuiku?"

Tanya Gagak Anabrang dengan sorot mata curiga.

"Aku datang hanya ingin mendampingi beberapa orang yang kuanggap sebagai sahabat."

"Apakah kau bisa katakan siapa yang kau sebut sebagai sahabat itu?"

Desak Gagak Anabrang curiga. Sebagai jawaban dia cepat gelengkan kepala.

"Sayang aku tak bisa menjawab pertanyaanmu."

"Ha ha ha. Aku tidak perduli. Bagaimana pun aku tetap ingin menangkap gadis dambaan para siluman yang bernama Dadu Sirah Ayu. Gadis itu terlahir pada malam sabtu kliwon tepat pada malam bulan sabit ke tujuh. Hari kelahirannya sama persis dengan kelahiran putriku!"

Kata Gagak Anabrang bersemangat. Orang Mati dari Makam Setan tersenyum dingin.

"Aku melihat segala niatmu itu tidak akan terlaksana. Memperebutkan gadis istimewa itu hanya bakal membuat begitu banyak darah yang tertumpah. Kau dengan segala ilmu yang kau miliki ini tidak mungkin dapat mencapai keinginanmu. Kau akan tewas, kematianmu berakhir di ujung sebuah pedang."

Sepasang Mata Gagak Anabrang terbelalak tidak percaya. Darahnya menggemuruh. Jantung berdetak keras. Nafas memburu dilanda kemarahan.

"Aku akan mati di ujung sebuah pe- dang? Bedebah jahanam sok tahu? Pedang siapa yang sanggup melukai tubuhku? Apakah senjata milik Raja Pedang?"

Teriak Gagak Anabrang sengit.

"Waktunya akan tiba. Jawaban tak perlu diminta karena nantinya bakal datang sendiri. Selamat tinggal orang pendek jelek. Ha hu... ha hu...!"

"Hei, keparat! Tunggu kau hendak pergi kemana?"

Bentak laki-laki itu.

Percuma saja Gagak Anabrang berteriak mencegahnya.

Orang Mati dari Makam Setan tak ubahnya seperti segumpal kapas telah melayang diketinggian.

Melihat ini Lor Gading segera hendak menghantam dengan satu pukulan sakti mematikan.

Namun dia terpaksa urungkan niatnya dan hanya bisa menggeram begitu melihat sejarak tujuh tombak diketinggian Orang Mati dari Makam Setan hilang raib berubah menjadi kepulan asap putih.

"Dia telah memperdayai kita. Mengapa kita percaya dengan segala bualannya, junjungan!" kata Lor Gading.

Gagak Anabrang balikkan badan, lalu menatap dengan pandangan mata mendelik pada pengikut setianya itu.

"Memperdayai apa? Semua yang di- katakannya memang benar. Gilanya lagi dia mengetahui masa laluku. Jangan banyak bicara. Lekas bawa aku pergi dari tempat jahanam ini!"

Perintah Gagak Anabrang.

"Junjungan...."

"Diam! Lakukan saja apa yang aku minta!" sentaknya marah.

Lor Gading tak berani membantah. Dengan terbungkuk-bungkuk dia hampiri majikannya. Setelah Gagak Anabrang melompat lalu duduk bertengger di atas kedua bahunya. Dengan kecepatan luar biasa dia berlari sambil memanggul sang majikan.


*****

Kembali pada Raden Pengging Ambengan. Kakek renta itu tengah berdiri diam tercenung memikirkan segala keganjilan yang dirasakan disekitarnya.

Sebenarnya pemandangan batin yang sempat dia lihat saat berada dalam mulut terowongan tidak keliru.

Tidak salah pula mata batinnya melihat diluar jalan rahasia memang sudah ada beberapa sosok bercokol di sana. Tetapi kehadiran beberapa sosok di empat penjuru sudut bukan karena mengetahui keberadaannya di mulut terowongan. Beberapa sosok yang saling mengintai dan mendekam dibalik semak belukar lebar semata- mata karena melihat kepulan aneh berupa kabut putih dari sebatang pohon beringin yang terdapat di tengah padang.

Ketika Raden Pengging memunculkan diri, kepulan kabut mendadak raib dan pohon beringin yang sempat bergetar berhenti bergoyang. Tapi karena sebagian kabut tipis aneh yang sempat menebar ke berbagai penjuru maka membuat penglihatan semua orang yang berada di tempat itu menjadi samar sehingga tak bisa melihat secara jelas.

Sang Raden kemudian memutuskan untuk kembali menemui para sahabatnya. Sementara itu hal yang sama juga dialami oleh sang pendekar.

Raja yang awalnya berniat hendak memasuki Alas Sindang Pantangan, tiba- tiba jadi urungkan niat ketika dia melihat ada seorang penunggang kuda berambut separoh hitam separoh putih duduk diam diatas kudanya. Sama seperti dirinya penunggang kuda itu membekal sebilah pedang yang tergantung di- punggungnya. Hanya saja dia tidak dapat mengenali siapa adanya penunggang kuda.

Di sudut yang lain muncul lagi satu sosok aneh yang sebelumnya pernah dilihat oleh sang pendekar. Adapun sosok yang datang berpenampilan aneh ini, selain tubuhnya besar tinggi, kulitnya juga hijau. Di bagian kening terdapat satu tanduk berwarna hitam runcing.

Mata hanya satu tepat di tengah kening sedangkan di kedua siku juga kedua lututnya ditumbuhi tanduk. Raja yang memang pernah melihat mahluk tinggi besar ini tanpa sadar berseru.

"Dedemit Rawa Rontek, mahluk suruhan Penghuni Perahu Setan. Apa yang dilakukan keparat satu ini. Rupanya dia tidak mamp?s saat berkelahi dengan nenek dari liang kubur yang menyebut dirinya dengan Iblis Betina Muka Dua. Jadi siapa yang mati? Nenek itu? Aku tidak khawatir dengan dedemit serba hijau itu. Yang aku risaukan adalah penunggang kuda Hitam itu. Kelihatannya semua ini terjadi tidak secara kebetulan. Pasti ada sesuatu yang menjadi alasan."

Baru saja sang pendekar bicara seperti itu. Tiba-tiba tanah bergetar, pohon beringin besar di tengah padang juga ikut bergoyang.

Mata pemuda itu terbelalak ketika dia melihat ada kabut muncul disekitar pohon.

Kemunculan kabut itu menimbulkan perasaan aneh.

Tubuh Sang pendekar sempat menggigil sementara tengkuknya jadi merinding.

Sebagai seorang pendekar yang telah berbekal ilmu sakti termasuk sihir dan bekal ilmu gaib, Sang Maha Sakti Raja Gendeng sadar ada orang yang tengah mengerahkan ilmu jahat berupa ilmu sirapan yang dapat mengacaukan pandangan mata.

Tidak menunggu lama, Raja pun segera membaca mantra penangkal.

Dia tidak terpengaruh, namun hatinya penasaran mengapa orang melancarkan sirapan padahal tidak ada orang yang menjadi sasaran.

Kehadiran Raden Pengging yang tiba-tiba dan munculkan diri dari jalan rahasia memberikan titik terang serta gambaran jelas bagi raja.

Kakek itu muncul.

Jelas dia tidak sendiri.

Raden Pengging pasti bersama kakek gendut berpakaian putih.

Dimana ada kakek gendut pasti ada gadis dambaan para siluman bersamanya. Ingat sampai disini, wajah sang pendekar berubah tegang.

"Semua ini pasti berhubungan erat dengan Dadu Sirah Ayu. Ah celaka...!" sentak Raja tambah cemas.

Dia segera hendak memberi isyarat pada si kakek jerangkong dengan berteriak.

Namun dia khawatir teriakannya mengundang perhatian si penunggang kuda dan mahluk berkulit hijau.

Belum sempat sang pendekar mengambil keputusan, dari tempat di mana kakek jerangkong munculkan diri, kini dia datang lagi bersama tiga orang yang lainnya.

Raja hanya mengenal kakek gendut bersama gadis bergaun putih yang selayaknya puteri itu.

Dia tidak mengenal gadis berpakaian biru berdandan menor mencolok. Keempat orang itu sempat terlihat bercakap-cakap.

Sampai kemudian semuanya jadi terkesima ketika mendengar suara teriakan Dedemit Rawa Rontek

"Lama dicari-cari baru sekarang kutemui..."

Sambil berteriak demikian Dedemit Rawa Rontek berlari ke arah Dadu Sirah Ayu. Walau langkahnya berat dan menimbulkan getaran pada tanah yang dipijak, namun gerakannya cepat bukan main.

Melihat ini, Raden Pengging Ambengan, Ratu Edan dan Kelut Birawa terkesiap namun cepat berpencar melindungi Sirah Ayu.

Dari tempatnya berada Raja tidak tinggal diam.

Selagi Dedemit Rawa Rontek bergerak mendekati rombongan kecil itu dia berseru.

"Dedemit bertanduk itu menjadi bagianku. Kalian berempat segera tinggalkan tempat ini. Lindungi gadis malang berpakaian putih. Kuperhatikan tempat ini tidak aman!"

Sambil berteriak raja berkelebat.

Selagi melesat ke arah Dedemit Rawa Rontek pemuda ini segera menghantam mahluk itu dengan dua pukulan sakti sekaligus.

Cahaya putih berkiblat seperti badai mengamuk.

Sedangkan dari tangan kanan membersit selarik cahaya merah menggidikkan.

Cahaya itu menderu membabat kedua kaki Dedemit Rawa Rontek.

Tak pernah menyangka ada orang datang menyerang.

Dedemit Rawa Rontek menggerung marah.

Sambil tetap berlari mendekati Dadu Sirah Ayu yang dilindungi oleh tiga sahabatnya, dia segera menekuk sikunya.

Begitu siku dilipat.

Dari kedua tanduk yang tumbuh di tempat itu menderu setidaknya empat larik cahaya hitam menggidikkan.

Dua dari cahaya hitam membabat cahaya putih yang siap melabrak wajahnya sedangkan dua cahaya lainnya menghantam cahaya merah yang melesat dari tangan kanan Raja.
Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Ledakan keras berdentum menggema dikesunyian pagi.

Raja yang mengapung di- ketinggian terjajar lalu jatuh terpental namun masih sempat selamatkan diri.

Tak jauh di depan sana. Dedemit Rawa Rontek terhuyung, gerakan berlarinya jadi tertahan.

Dua tanduk ditangan seperti remuk.

Satu terasa dingin sedangkan tanduk yang satunya lagi seperti hangus terbakar.

Tapi sang Dedemit punya daya tahan tubuh yang luar biasa.

Bersikap seolah tidak merasakan sakit apa-apa dia kembali menyerbu ke arah Dadu Sirah Ayu dan ketiga sahabatnya.

Namun pada saat itu, Kelut Birawa dan Ratu Edan dengan sikap melindungi telah membawa gadis itu berlari menjauh dari tempat terjadinya pertempuran.

Raden Pengging Ambengan yang masih bertahan di tempat semula diam-diam merasa lega karena ada orang yang tidak dikenal agaknya berniat memberi bantuan.

Tapi segalanya kemudian berubah menjadi kacau.

Dari bawah pohon tempat dimana orang berkuda hitam berada terdengar suara teriakan.

"Orang-orang tolol! Dadu Sirah Ayu sudah selayaknya menjadi milikku."

Suara teriakan lenyap. Terdengar suara derap langkah kuda berlari yang dipacu dengan cepat.

Melihat kehadiran orang berkuda sang pendekar tersentak kaget.

Perhatiannya kini terpecah.

Dia yang semula berniat menghadang langkah Dedemit Rawa Rontek kini terpaksa balikkan badan siap menyerang sang penunggang kuda yang tak lain Raja Pedang adanya.

"Kau menginginkan gadis itu! Langkahi dulu mayatku!"

Seru Raja, Secepat kilat dia lambungkan tubuhnya ke udara. Begitu tubuh melambung dia pun segera menarik tangannya ke belakang. Tetapi belum sempat pemuda ini menyerang. Raja Pedang dengan satu serangan mematikan pada waktu yang sama tiba-tiba terjadi guncangan-guncangan yang disertai ledakan menggelegar.

"Jahanam! Apa yang terjadi."

Diatas punggung kuda si Raja Pedang berteriak kaget. Kuda meringkik lalu jatuh tersungkur.

Raja Pedang terpaksa selamatkan diri dengan melompat dari atas kuda.

Menatap ke sekitarnya pemuda bertopeng itu jadi terkesima.

Di tengah suara ledakan-ledakan mengguntur yang bermunculan di tempat itu, dia juga melihat pohon beringin besar berguncang hebat.

Pohon itu lalu meledak disertai munculnya pusaran angin besar hitam yang sangat luar biasa.

Asap tebal menebar bau menyengat muncul di mana-mana.

"Selamatkan Sirah Ayu...selamatkan dia..."

Teriak Raden Pengging begitu menyadari pusaran angin hitam raksasa bergerak menerjang ke arah Dadu Sirah Ayu.

Raja mencoba menghalangi.

Sang pendekar terjengkang.

Angin terus menerus mengejar ke arah Kelut Birawa yang berlari dibelakang Dadu Sirah Ayu dan Ratu Edan.

Raja mencoba bangkit.

Namun baru saja pemuda ini hendak mengejar ada satu benda hitam menabrak tubuhnya.

Benda itu hancur meledak menimbulkan tabir asap hitam.

Melihat ini Raden Pengging Ambengan kembali dibuat tercekat.

Dia pun berlari mengejar para sahabatnya sambil melepaskan pukulan sakti ke arah pusaran angin hitam raksasa.

Satu cahaya biru terang menderu, melesat ke arah angin hitam.

Tapi serangan si kakek tidak berarti apa-apa karena begitu menyentuh pusaran angin langsung musnah.

Malah pusaran angin itu melabrak tubuhnya membuat Raden Pengging jatuh terjungkal, nafas megap-megap dan dia hanya bisa melihat kegelapan di sekelilingnya.

Dalam keadaan yang bertambah kacau.

Di tengah hingar bingar suara ledakan dan ditengah deru pusaran angin yang menggilas apa saja.

Tiba-tiba terdengar pekikan Dadu Sirah Ayu yang dilanda ketakutan luar biasa.

"Mahluk keparat yang datang bersama pusaran angin! Hendak kau bawa kemana gadis itu?"

Teriak satu suara. Dan yang bersuara bukan lain adalah Ratu Edan. Teriakannya lenyap berubah menjadi raung kesakitan. Lalu terdengar pula suara deru bergemuruh yang bergerak menjauh disertai gelak tawa penuh kemenangan.

"Akulah raja, akulah penguasa abadi di alam kegelapan. Tidak seorang pun yang berhak atas diri gadis ini. Aku yang pantas mendapatkannya. Aku yang akan menjadikannya sebagai tumbal sesuai menuju keabadian. Ha ha ha!"

Suara teriakan di tengah gemuruh pusaran angin lalu lenyap.

Raja mengerang marah.

Dia berusaha bangkit, namun sekujur tubuhya yang menjadi korban ledakan benda hitam serasa luluh lantak.

Selagi sang pendekar berusaha mencari tahu bagaimana nasib orang-orang yang bersama Raden Pengging. Pada saat itu dia mendengar suara ringkik kuda disusul dengan ucapan menggeledek mengancam dari sang penunggang kuda.

"Pemuda gondrong berpedang! Kau telah mencampuri sebuah perkara yang bukan menjadi urusanmu. Aku tak akan melupakan kejadian hari ini. Kelak aku akan mencari dan membunuhmu!"

"Kurang ajar! Kepalaku berdenyut sakit seperti mau meledak. Sekujur tulang ditubuhku serasa remuk seperti bertanggalan. Ada orang yang mengancam diriku. Apakah dikira aku takut. Katakan siapa namamu!"

Geram sang pendekar sambil kepalkan tinjunya. Terdengar derap suara langkah kuda yang berlari menjauh.

Dikejauhan tempat dimana pusaran angin hitam pergi terdengar jawaban.

"Aku adalah si raja Pedang! Ingatlah baik-baik, aku Raja pedang!"

Sang Pendekar yang telinganya masih pengang akibat ledakan, menggerutu.

"Apa? Raja Pisang. Sialan baru menjadi raja pisang saja sudah berani mengancam seorang raja sungguhan. Edan sekali!"

Teriak pemuda itu.

Lalu tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya pemuda ini pejamkan mata.

Perlahan-lahan dia menghimpun tenaga sakti.

Setelah itu dia segera mengalirkannya ke seluruh tubuh.

Hawa dingin sejuk mengalir kebagian- bagian tubuh yang terasa sakit.

Setelah merasakan keadaannya lebih baik, lalu dia membuka mata.

Mula-mula dia memperhatikan diri sendiri.

Dia merasa lega ketika sadar tidak ada bagian tubuhnya yang terluka.

"Pakaian sakti ini. Pakaian ini yang melindungiku dari kehancuran akibat ledakan." batin Raja.

Sang pendekar kemudian memandang kesekitarnya. Dia melihat kepulan asap dan tebaran kabut pekat telah sirna. Menatap ke arah Dedemit Rawa Rontek, ternyata mahluk berkulit hijau itu sudah tidak berada di tempatnya.

"Kemana perginya mahluk jelek satu itu? Apakah mungkin dia bersekutu dengan mahluk yang datang bersama pusaran angin?"

Pikir Raja.

Sulit menduga, sulit pula untuk membuktikan.

Merasa pusing sendiri pemuda itu menatap kejurusan sebelah kanan.

Dia melihat kakek jerangkong dalam keadaan rebah entah pingsan entah sudah dijemput.

Sebaliknya ketika dia menatap ke arah sebelah kiri di ujung padang, pemuda ini menyaksikan gadis berpakaian serba biru berdandan menor justru sedang bertangis-tangisan dengan kakek gendut berpakaian putih.

Baik si kakek maupun si gadis berpakaian biru yang tiada lain adalah Ratu Edan wajah dan pakaiannya kotor bercelemongan dipenuhi debu.

Pakaian yang melekat di badan robek dan hancur di beberapa tempat.

"Celaka gusti! Gadis malang itu... di... dia terlepas dari perlindungan kita. Hu hu hu." kata Ratu Edan sambil menangis tersedu-sedu.

"Bagaimana ini! Pasti tidak selamat!"

Seru si gendut sambil sesunggukan. Merasa menyesal. Raja hanya bisa gelengkan kepala.

Dengan langkah gontai dihampirinya Raden Pengging.

Dia lalu berjongkok dan memeriksa denyut nadi tangan si kakek

"Ah syukurlah dia hanya semaput. Cuma pingsan dan tidak mati."

Pemuda itu lalu bangkit berdiri. Sambil berdiri tegak dia pandangi Ratu Edan dan Kelut Birawa yang juga bertangisan. Diam-diam dia berkata.

"Akan kutunggu mereka sampai berhenti menangis. Kalau perlu dari pagi ini sampai pagi lagi mereka bertangisan. Baru setelah itu mereka kuajak bicara. Manusia-manusia aneh. Menangis saja bisa kompakan. Dasar sinting dan Gila."

Gerutu raja lalu menggaruk kepala sendiri.

TAMAT.

Bagaimana nasib Dadu Sirah Ayu gadis istimewa incaran para siluman?

Siapakah yang telah menculiknya?

Mengapa Raja Pedang menanam sikap bermusuhan dengan sang pendekar?

Apa yang akan dilakukan oleh Penghuni Perahu Setan?

Mampukah Gagak Anabrang melindungi putrinya?

Ikuti Episode selanjutnya

Kitab Pedang Darah

Raja Gendeng 15 Ratu Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


(Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..
mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini.Terima kasih)

Situbondo,21 September 2019

Sampai jumpa di episode berikutnya...

Terima Kasih




From Darkest Side Karya Santhy Agatha Dewa Arak 10 Tiga Macan Lembah Neraka Pedang Siluman Darah 13 Misteri

Cari Blog Ini