Ceritasilat Novel Online

Wasiat Mahkota Wengker 1

Warok Ponorogo 1 Wasiat Mahkota Wengker Bagian 1


Wasiat Mahkota Wengker

Karya Sabdo Dido Anditoru

Jilid 1 Seri Ceritera Warok Ponorogo

Penerbit Pt Golden Terayon Press Jakarta 1996

Gambar ilustrasi : Syamsudin

******

Buku Koleksi : Gunawan AJ

Edit teks dan pdf : Saiful Bahri Situbondo

Team Kolektor E-Book

*****



BANTARAN ANGIN.

KERAJAAN Bantaran Angin di daerah Ponorogo, sejak ditinggal mangkat rajanya, Raden Bagus Kelana Swandana, nampak terasa mulai turun pamornya.

Perselisihan antar kerabat dekat di dalam kehidupan keraton nampak semakin meruncing.

Intrik politik di dalam tubuh kerajaan yang memperebutkan pangkat dan kedudukan tinggi makin hari makin menjadi-jadi.

Secara diam-diam telah terjadi persekongkolan, saling sikut, dan saling tikam di antara para anggota keluarga kerajaan.

Di tingkat para pejabatnya, antara pimpinan yang satu dengan pimpinan lainnya pun saling berseteru berebut pengaruh dan mencari pengikut.

Kerajaan Bantaran Angin telah lama berdiri kuat.

Ketika di bawah kepemimpinan Raja Bagus Kelana Swandana, dengan didampingi permaisurinya yang termashur bernama Dewisri Sangga Langit, putri cantik jelita keturunan Raja Daha dari Kediri yang waktu itu banyak diperebutkan oleh raja-raja yang ingin mempersuntingnya, akhirnya Raden Bagus Kelana Swandana yang memenangkan perebutan putri tersebut.

Beliau berhasil mempersunting putri itu yang kemudian menjadi permaisurinya diboyong ke keraton Bantaran Angin di Ponorogo.

Kerajaan Bantaran Angin kemudian mencapai puncak keemasannya pada masa pemerintahan Raden Bagus Kelana Swandana itu.

Rakyat hidup tenteram.

Hasil bumi tiap tahun dapat dipanen berulang-ulang, sehingga berlimpah ruah.

Perdagangan antar daerah berjalan baik.

Kehidupan kesenian berkembang pesat, terutama kesenian khas Reog Ponorogo yang lahir pada masa pemerintahan Raden Bagus Kelana Swandana ini.

Ketika itu Raden Bagus Kelana Swandana ingin melamar putri kerajaan Daha Kediri, yang bernama Dewisri Sangga Langit yang amat terkenal dengan kecantikannya yang menawan hati tiap laki laki pada masa itu.

Namun bagi tiap pelamar yang terdiri dari para raja sakti yang berasal dari hampir semua kerajaan kerajaan di seluruh tanah Jawa, dipersyaratkan harus mampu menyajikan suatu hasil ciptaan baru berupa pertunjukan.

kesenian asli yang belum pernah ada duanya di dunia.

Raden Bagus Kelana Swandana penguasa Kerajaan Bantaran Angin dari Ponorogo itu pun akhiraya mampu menciptakan jenis kesenian rakyat yang masih abadi dilestarikan hingga sekarang yang disebut Reog Ponorogo itu.

Atas keberhasilan menciptakan kesenian Reog Ponorogo itu, maka Raden Bagus Kelana Swandana berhasil mempersunting putri Raja Daha Kediri yang cantik jelita itu yang kemudian diangkat menjadi permaisurinya.

Lalu diboyong ke keraton Bantaran Angin di Ponorogo. Namun, amat disayangkan, setelah Raja Bagus Kelana Swandana meninggal dunia, tatanan kehidupan keraton menjadi kacau-balau.

Kerajaan Bantaran Angin hancur.

Kehancurannya bukan karena disebabkan oleh serangan musuh dari luar, tetapi hancur dari dalam sendiri.

Banyak desas-desus yang sengaja dihembuskan oleh para peminat peraih kekuasaan di seputar kekuasaan keraton sendiri.

Entah itu dari para penggede atau keluargsa turun Raja sendiri, terutama anak-anak dari selir-selir raja dan pengikutnya.

Sejak runtuhnya kerajaan Bantaran Angin, timbul sebagian pendapat dari para sesepuh keraton bahwa tidak ada lagi turun raja yang dapat dianggap berhak naik tahta.

Sebab tunun Raja Kelana Swandana yang beristerikan puteri berasal dari kerajaan Daha Kediri itu, dimilai bukan orang asli daerah Ponorogo, maka anak turunnya dapat dianggap tidak asli lagi, merupakan darah campuran.

Bahkan ada pendapat yang berkembang, bahwa anakanak turun Raja dari selir yang berasal dari perempuan, orang Ponorogo asli, justeru yang lebih berhak menjadi pengganti raja daripada turun permaisuri yang bukan orang Ponorogo asli.

Silang pendapat di antara para sesepuh keraton menjadi ramai.

Masing-masing pihak yang berselisih sama-sama berpegang pada pendiriannya sendiri-sendiri.

Akhirnya kehidupan keluarga keraton terpecah belah.

Suasana yang tidak menentu itu telah mengganggu kehidupan rakyat menjadi kacau-balau.

Banyak muncul kejahatan.

Banyak lahir jagoan yang membikin keonaran dimana-mana.

Berita yang terjadi di daerah Ponorogo itu akhirnya sampai terdengar ke telinga Prabu Brawijaya, Raja penguasa kerajaan Majapahit di Trowulan .Melihat situasi yang kacau di daerah Ponorogo ini, akhirnya Prabu Brawijaya mengambil prakarsa untuk menjadikan daerah Ponorogo sebagai daerah kekuasaanya menjadi daerah Kadipaten.

Dan kemudian telah ditunjuk seorang Adipati yang berasal dari salah seorang perwira tinggi kerajaan Majapahit, yang kemudian setelah menjadi Adipati bergelar Kanjeng Raden Adipati Sampurnoaji Wibowo Mukti.

Walaupun ketika pengangkatan Kanjeng Adipati sebelumnya telah dilangsungkan upacara di Trowulan, pusat kerajaan Majapahit, namun di Ponorogo juga diadakan Kirab besar-besaran untuk memberikan penghormatan atas pengangkatan Adipati baru di daerah Ponorogo ini.

Selain digelar pertunjukan reog Ponorogo, juga dipagelarkan sajian wayang kulit yang berlangsung hingga tujuh hari tujuh malam, tiada henti-hentinya.

Siang diadakan pertunjukan reog, dan malamnya digelar wayang kulit.

Penduduk Ponorogo nampaknya dapat menikmati gelar pertunjukan yang amat di sukainya itu. Pagi itu di halaman depan keraton Kadipaten Ponorogo, nampak para prajurit Majapahit yang berpakaian seragam beraneka rupa warna sedang berjajar rapi ikut menyemarakkan upacara kebesaran yang diikuti pula oleh pasukan penabuh genderang, pasukan pengendara kuda, kereta kereta kerajaan Majapahit, yang dimaksudkan sebagai upacara kebesaran pengangkatan Adipati baru untuk daerah kekuasaan di Kadipaten Ponorogo.

Kanjeng Adipati berpakaian lengkap kebesarannya, didampingi isterinya yang cantik jelita, kemudian berbaris para penggede Kadipaten bersama isteri masing-masing berikutnya diiringi oleh deretan putri-putri keraton yang berdandan elok menawan, dayang dayang hari itu pun ikut berbaris berhias diri dengan mengenakan pakaian seragamnya yang terbagus, dan para punggawa piliban yang merupakan prosesi yang lazim diadakan bagi penobatan seorang Adipati sebagai penguasa tunggal daerah Kadipaten Ponorogo yang baru.

Bunga-bunga mawar, melati, sedap malam, dan lain-lainnya menghiasi dinding-dinding keraton, terhampar di permadani yang memberikan aroma harum semerbak dimana-mana, bak seperti suasana pengantenan dua raja yang penuh wewangian membawa citra pesona bagi para undangan yang hadir di keraton yang dikeramatkan itu.

Setelah dilangsungkan acara pelantikan di keraton Kadipaten Ponorogo, kemudian diadakan arak-arakan keliling kota Ponorogo.

Barisan kesenian Reog Ponorogo menduduki posisi paling depan, kemudian diikuti oleh para penari yang berjoget ria melenggang lenggokkan tariannya dengan menggunakan aneka rupa warna pakaian tradisonal khas Ponorogo, baik perempuannya maupun para lakilakinya, anak-anak kecil maupun orang dewasa, semuanya'tumplek blek' jadi satu tenggelam dalam suasana kegembiraan pada harihari yang bersejarah itu.

Atraksi yang paling menarik bagi rakyat Ponorogo adalah pegelaran kesenian Reog Ponarogo yang legendaris itu.

Sebuah barongan besar yang berkepala harimau, kemudian di atasnya digelar bulu-bulu burung merak yang kepala mencekeram tepat di atas kepala hariamau nampak hijau tua berkemilawan.

Seorang gadis cantik sebagai penari bertengger di atas kepala harimau itu berjoget sambil barongan reog itu berputar-putar mengelilingi arena pertunjukkan.

Seorang yang menggunakan topeng pentulan, bernama Bujangganong menari-nari di depan barongan mengikuti irama gerak tabuhan musik yang ditabuh bertalu-talu pirantinya terdiri dari gamelan reog kethuk, kenong, kempul, kendang, slompret, angklung bambu, dan ketipung.

Barisan reog itu paling tidak terdiri dari jelmaan Raden Bagus Kelana Swandana yang membawa pecut sakti, Patih Kelana Wijaya, Patih Singolodro Barongseta, barisan jaranan atau jejeran para peningga kuda dari bambu.

Melihat iringan-iringan reog itu penonton terus berteriak teriak bergembiraan.

Orang-orang yang sedang mengurus pekerjaannya langsung saja meninggalkan pekerjaannya itu, mereka yang sedang bertani di sawah, yang sedang mengembala ternah di lapangan terbuka, yang sedang masak di dapur, begitu mendengar suara tabuhan reog sudah lupa pada pekerjaannya segera lari mendatangi suara gaduh yang penuh sorak-sorai penonton yang kegirangan.

Baik itu laki-laki, perempuan, anakanak semua bebondong mendatangi suara tetabuhan reog itu.

Mereka berkerumun beramairamai, anak-anak kecil sampai dipanggul oleh kakeknya agar dapat melihat kesenian reog yang digemari masyarakat Ponorogo itu. Kemudian, barisan ketiga dari iring-iringan pawai yang meriah itu diisi oleh para penggede Kadipaten, Patih Brojosento sebagai sesepuh senior yang rambutnya telah memutih itu menunjukkan kewibawaannya sebagai orang yang disegani di lingkungan keraton, kemudian para penasehat spiritual, para warok yang ditunjuk sebagai kepala-kepala pengamanan daerah, para senopati yang nampak muda-muda dan gagah berani, kemudian dibelakangnya disusul barisan pasukan perang Kadipaten, ikut serta pula pasukan pengamanan sebagai polisinya rakyat, kemudian bala tentara Majapahit yang berbaris tegap dengan beraneka persenjataan, tombak-tameng, pedang-tameng, kemudian pasukan kavaleri yang berkuda dan berkereta merupakan pasukan yang diandalkan oleh kerajaan Majapahit yang kini telah mengatur rakyat Ponorogo melalui penguasa Kadipaten .Masyarakat Ponorogo menyambutnya dengan gegap gempita sebagai hiburan yang menarik dan jarang terjadi.

Pertunjukkan reog yang paling gempar biasanya hanya terjadi pada bulan syuro, namun kali ini pertunjukkan lebih lengkap karena ditunjang oleh para seniman-seniman yang didatangkan khusus dari Trowulan pusat kerajaan Majapahit yang megah pada zamannya.

Suara tetabuhan yang terus terdengar bertahu-talu selama tujuh hari tujuh malam itu telah membangkitkan gairah masyarakat Ponorogo untuk mengingat kembali kerajaan Wengker peninggalan zaman dahulu yang pernah tumbuh dan kemudian punah di tengah perubahan zaman.

****

PERMASALAHAN TOMBAK PUSAKA

SEMENJAK berubahnya kedudukan kerajaan Bantaran Angin menjadi daerah Kadipaten di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit ini, memang kehidupan keraton nampak makin tertata.

Akan tetapi, masih banyak orangorang Ponorogo asli yang tidak begitu menyukai perubahan kedudukan dari Kerajaan menjadi daerah Kadipaten itu.

Terutama dari kalangan warok yang dulu pernah mengabdikan diri dihadapan bekas kerajaan Bantaran Angin dahulu kala.

Atau para sesepuh dahulu yang pernah mengenyam masa kejayaan Kerajaan Wengker sebelumnya kemudian berubah menjadi Kerajaan Bantaran Angin itu. Tidak sedikit para warok yang sakti mandraguna yang masih memimpikan kembalinya daerah Ponorogo menjadi kerajaan yang berdiri sendiri secara mandiri.

Terlepas sama sekali dari campur tangan kekuasaan kerajaan besar mana pun, termasuk terlepas dari pengaruh Kerajaan Majapahit itu.

Para warok itu kemudian banyak yang keluar dari kedudukannya sebagai punggawa Kadipaten yang baru berdiri ini.

Mereka lebih menyukai hidup bebas di tengah masyarakat.

Umumnya mereka, kemudian hidup menjadi petani, pencari kayu bakar di hutan, atau ada juga yang menjadi pamong pengamanan di desa-desa yang jauh dari jangkawan pengamatan penguasa Kadipaten.

Meskipun demikian masih beredar pendapat di kalangan masyarakat Ponorogo bahwa Kanjeng Raden Adipati Sampurnoaji Wibowo Mukti itu sebenarnya tidak berhak memerintah daerah ini.

Selain bukan turun Raja Ponorogo, beliau juga tidak mewarisi senjata pusaka kerajaan Wengker yang sampai sekarang belum tahu ujung pangkalnya, dimana keberadaan pusaka kerajaan itu.

Siapa pun orangnya yang menguasai pusaka kerajaan itu, justeru dianggap lebih syah berkuasa daripada dari Kerajaan Majapahit itu.
penguasa tunjukan. Namun demikian, melihat kemampuan Kanjeng Adipati dalam mengelola perekonomian rakyat Ponorogo, dan kecerdikannya mengatur orang orang yang berpengaruh di Ponorogo, telah menjadikan kedudukan Kanjeng Adipati sebagai penguasa daerah Ponorogo lambat-laun makin kokoh .Ditambah lagi, melihat karakter rata-rata orang Ponorogo yang biasanya sangat percaya diri.

Mereka biasanya merasa lebih suka menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Merasa menjadi jagoan dan tidak mudah diatur orang lain, sehingga jarang yang berhasil menjadi pemimpin di antara mereka.

Kedudukan mereka dianggap sejajar.

Hal ini yang kemudian membuat orang Ponorogo sukar untuk bersatu.

Mereka berjalan sendiri-sendiri.

Demikian juga kehidupan para Warok, biasanya tidak ada seorang Warok pun yang sudi menjadi bawahan Warok lainnya.

Mereka bisa saling segan sesamanya, bisa saling menghormati, tetapi tidak sudi jadi anak buahnya.

Dalam soal urusan pribadi.

biasanya juga diselesaikan secara pribadi, satu lawan satu.

Menghindari main keroyokan.

Tetapi tiap perkara yang menyangkut antar pribadi biasanya diselesaikan secara kasatria, berhadapan langsung tanpa melibatkan orang lain.

Kanjeng Adipati nampaknya sangat maklum terhadap sifat-sifat orang-orang Ponorogo ini.

Warok Ponorogo 1 Wasiat Mahkota Wengker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oleh karena itu ketika beliau ditunjuk oleh Prabu Brawijaya menjadi penguasa Kadipaten ini, ia berusaha mengatur perimbangan kekuatan-kekuatan yang berkembang di masyarakat Ponorogo.

Khususnya kehidupan para warok-warok yang biasanya menguasai daerah-daerah tertentu dan disegani oleh masyarakat setempat.

Lantaran antar Warok biasanya juga tidak mudah bersatu.

Bahkan cenderung untuk bersaing.

Berebut pengaruh, dan meninggikan derajadnya masing-masing atas kekuatan ilmu kanuragan yang dikuasainya.

Oleh karena itu, Kanjeng Adipati berusaba memecah-mecah kekuatan-kekuatan itu jangan sampai terhimpun, dan kemudian menyerang untuk menghadapi dirinya.

Tidak sedikit para warok yang berpengaruh yang kemudian ditawari untuk menjadi penggede Kadipaten dan memimpin kekuatan prajurit prajurit pengamanan.

Tujuannya tidak lain untuk menghadapi warokwarok lain yang banyak berkeliaran di kampung-kampung yang apabila mereka tidak puas terhadap cara pemerintahan Kanjeng Adipati bisa menjadi ancaman terhadap keluhuran penguasa Kadipaten itu.

Kebetulan memang, orang-orang yang menyandang gelar warok dari penduduk itu, lazimnya adalah orang-orang yang 'mumpuni', tidak sembronoan, dan lurus hati.

Walaupun termasuk orang keras, tetapi tergolong orang baik yang tidak mudah membuat keonaran, justeru sering menjadi payung pengamanan penduduk.

Suka menolong, dan bersikap jujur.

Dan terlebih-lebih sukar untuk diajak komproni dalam melakukan tindak kejahatan.

Oleh karena itu, hampir tidak ada ceriteranya pemberontakan para warok ini yang ditujukan kepada penguasa yang adil, dan arif bijaksana.

Pada suatu sore hari Kanjeng Adipati Sampurnoaji Wibowo Mukti sedang dihadap oleh para penggede Kadi paten, para penasehat spiritual, para pengatur kemakmuran rakyat, dan para pengamanan termasuk salah seorang warok yang loyal kepada kepemimpinan Kadipaten.

"Kakang Empu Tonggreng", ujar Kanjeng Adipati kepada salah seorang penasehat spiritualnya yang sudah termasuk jajaran senior dalam sesepuh Kadipaten, Bagaimana berita kemajuan mengenai usaha pencarian tombak pusaka peninggalan kerajaan Wengker itu. Apa sudah ada titik-titik terangnya".

"Ampun Kanjeng Adipati", jawab Empu Tonggreng.

"Segala daya dan upaya telah kami kerahkan untuk mencari tombak pusaka peninggalan kerajaan Wengker itu. Namun, sampai hari ini belum nampak membawa hasil. Kami telah menggunakan kekuatan spiritual, bersemedi dan berusaha melihat dengan mata hati, tetapi nampaknya yang mengambil tombak pusaka ini bukan orang sembarangan. Memiliki keunggulan ilmu bathin yang tinggi. Oleh karena itu, kami menganjurkan kepada Kanjeng Adipati, agar untuk menemukan tombak ini, kita tidak menempuh cara biasa. Harus menggunakan cara-cara yang luar biasa .Membalik cara berpikir kita".

"Aku belum bisa memahami. Apa yang Kakang Empu maksudkan", kata Kanjeng Adipati nampak masih diliputi tanda tanya.

"Kalau yang menguasai tombak pusaka itu seorang maling ulung yang sangat pandai. Kita harus menyuruh orang yang sebangsanya dia. Maksud hamba, maling harus dilawan dengan maling", jelas Empu Tonggreng nampak mantab. Suasana persidangan itu jadi hening. Semua yang hadir nampak terdiam berusaha mencerna kata-kata Empu Tonggreng sebagai sesepuh keraton yang berfungsi sebagai penasehat Adipati dan keluarganya.

"Bagaimana menurut pendapat Dimas Warok Sawung Guntur yang telah lama memiliki pengalaman di lapangan pergolakan para jagoan di wilayah Ponorogo ini", kata Kanjeng Adipati yang ditujukan kepada Warok Sawung Guntur yang dinilai sebagai tokoh masyarakat yang tahu banyak soal cara-cara yang lazim dilakukan oleh orang-orang Ponorogo terhadap pusaka-pusaka keraton.

"Hamba rasa, pendapat Eyang Empu Tonggreng itu benar, Kanjeng Gusti. Dapat kita coba. Memang kalau kita sebagai penguasa pengamanan akan menangkap seorang perampok, tentu akan sulit kalau tidak berhadapan langsung untuk. bertarung secara terbuka. Tetapi dengan cara menangkap konco-konco perampok itu, kita cukup masuk akal dengan cara menyebar konco-konco perampok itu yang sudah jelas-jelas memihak kita. Kemudian kalau sudah ketahuan siapa pencurinya baru kita atur cara menggrebeknya", sahut Warok Sawung Guntur yang menjadi ompleng-omplengnya penguasa Kadipaten mendukung pendapat Empu Tonggreng itu.

"Lalu, siapa yang ingin memberikan urun rembugnya lagi", tanya Kanjeng Adipati kepada semua penggede yang hadir dalam persidangan itu. Akan tetapi nampaknya tidak ada yang menjawabnya.

"Kalau demikian, aku putuskan untuk menerima usulan Kakang Empu Tonggreng itu. Lalu, siapa orangnya yang bisa kita anggap dapat dipercaya dan mampu menjalankan tugas ini"

"Ampun hamba Kanjeng Adipati.
Hamba mengenal seorang perampok sakti yang sekiranya dapat kita ajak kompromi, namanya Begal Bledeg Ampar Mongsodilogo.
Ia banyak melakukan kejahatan di daerah Ponorogo Timur, di sekitar lereng bukit-bukit gunung Wilis. Dan konon ia berasal dari Dukuh Pulung.
Sudah kondang sak onang-onang, orang ini banyak menimbulkan kejahatan di masyarakat."

"Menurut berita terakhir, ia banyak memiliki hubungan dekat dengan para perampok perampok tangguh sampai ke daerah daerah lain di luar Ponorogo, misalnya daerah Kertosono, Daha Kediri, Wonogiri, sampai Blitar Selatan.
Hanya masalahnya, apakah bisa Kanjeng Adipati, memberikan pengampunan terhadap segala kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya ini."

"Lagipula dia tentu akan minta upah yang besar untuk menjalankan tugas ini", urai Warok Sawung Guntur.

Suasana jadi hening sejenak.

Kanjeng Adipati sedang berpikir keras.

Bagaimana mungkin akan mengampuni seorang perampok yang telah membuat kejahatan terhadap masyarakat.

Namun, soal tombak pusaka itu pun juga harus segera ditemukan lantaran menyangkut soal pembenaran terhadap kekuasaannya di daerah Ponorogo itu melalui lambang penguasaan tombak pusaka itu.

Akhirnya, Adipati lebih mempertimbangkan pada memperkuat kedudukan kekuasaannya terlebih dahulu dihadapan rakyat yang disimbulkan dengan peninggalan tombak pusaka itu daripada harus memperhitungkan soal kejahatan perampok ulung yang bernama Begal Bledeg Ampar Mongsodilogo itu

"Warok Sawung Guntur, usulmu baik. Aku dapat menerima.
Tetapi bagaimana caranya untuk mendapatkan Begal Bledeg Ampar itu.
Selama ini para punggawa sudah lama tidak bisa menangkapnya"

"Ampun Hamba, Adipati", jawab Warok Sawung Guntur.

"Soal cara menghubungi Begal Bledeg Ampar itu urusan hamba. Atas seijin Kanjeng Adipati hamba akan mengerahkan orang-orang kepercayaan hamba untuk mengirim pesan-pesen damai kepada Begal Bledeg Ampar. Jadi mohon hendaknya tidak perlu dikhawatirkan mengenai hal ini. Ada semacam isyarat-isyarat yang bisa disampaikan melalui orang kepercayaan yang berpengalaman. Kemudian isyarat itu tentunya akan dengan mudah bisa ditangkap maknanya oleh penerima pesan. Itu semua merupakan bahasa-bahasa di kalangan hitam yang beroperasi di daerah ini, Kanjeng Adipati", jelas Warok Sawung Guntur membanggakan diri.

"Baik, aku restui cara-caramu itu, Warok Sawung Guntur. Segera bersiaplah kamu untuk menjalankan tugas ini", perintah Kanjeng Adipati Sampurmoaji Wibowo Mukti kepada pengawal andalannya itu Warok Sawung Guntur yang gagah perkasa sakti mandraguna. Kemudian persidangan siang itu ditutup, para penggede Kadipaten bubar menuju ke tempat masing-masing.

*****

MEMBUAT PERJANJIAN.

WAROK SAWUNG GUNTUR satu-satunya warok di antara para warok lainnya yang bersedia memberikan pengabdiannya kepada penguasa Kadipaten. Ia mendapat tugas besar dari Kanjeng Adipati untuk mencari tombak pusaka peninggalan kerajaan Wengker yang hingga kini belum jelas dimana beradanya. Warok Sawung Guntur berusaha menjalin kontak dengan pemimpin perampok dari wetan yang konon berpusat di daerah Pulung itu bernama Begal Bledeg Ampar. Melalui orang kepercayaannya, bernama Seco Larendro yang bertindak sebagai kurier berpengalaman, ia diperintah oleh Warok Sawung Guntur untuk menyampaikan surat yang ditujukan kepada pemimpin perampok itu. Di tengah jalan ia dicegat oleh segerombolan laki-laki yang nampaknya mereka itu telah mengikuti Seco Larendro sejak ia keluar dari pendopo kadipaten. Anak buah Bledeg Ampar telah memata-matai gerakan Seco Larendro kemudian diikutinya dari belakang. Setelah Seco Larendro melewati Dukuh Prajangan, rasanya perjalanannya ada yang mengikutinya. Ia kemudian dengan cekatan membelokkan kudanya menikung tajam ke kiri menuju jurang batu. Ia segera turun dari kudanya, setelah menambatkan tali kuda itu pada pobon asam yang rindang itu, ia bersembunyi di semak-semak yang rimbun.

"Sialan. Kemana larinya monyet kecopret tadi,"

Terdengar suara laki-laki yang bersuara serak menandakan umurnya mungkin sudah tua dengan diikuti oleh sekitar lima orang anak buahnya yang semuanya berpakaian hitam legam.

"Sebaiknya kita berpencar saja, Paman."

Usul salah seorang anak buahnya itu.

"Bagus. Itu usulan yang bagus. Baiklah, kalian berpencar. Cari sampai dapat si bedebah tikus lodeng itu."

Tidak berapa lama terdengar suara langkah kuda mereka yang menuju ke segala arah. Mereka berpencar. Seco Larendro yang bersembunyi di balik pohon randu yang dikelilingi semak-semak belukar itu, menggunakan kesempatan baik ini untuk segera melarikan diri. Dengan mengendap-endap mendekati kudanya lalu meloncat ke atas dan memacunya kencang ke arah timur. Hari mulai sore dan akan memasuki malam. Seco Larendro mencoba mencari tempat bermalam, atau apakah malam begini akan terus langsung menuju ke tempat persembunyian Bledeg Ampar. Ia baru pikir-pikir langkah apa yang sebaiknya sambil duduk-duduk di bekas pohon-pohon rubuh yang besar-besar itu. Tiba-tiba terdengar suara keras seperti orang yang sedang dikejar mangsa yang dengan kuatnya memacu kudanya. Ranting ranting dedaunan itu seperti patah diinjak-injak oleh kakikaki kuda yang berlari kencang. Suaranya makin lama makin mendekat. Tidak berapa lama terlihat seorang perempuan yang kelihatannya masih muda belia menunjukkan wajahnya yang ketakutan berlari dengan kuda pacunya itu dari arah selatan menuju ke arah utara.

Seco Larendro terperanjat, apa yang sedang terjadi. Namun tidak berapa lama, tidak jauh dari larinya kuda perempuan muda itu menyusul serombongan laki-laki yang ternyata mereka itu para laki-laki yang sejak dari keraton kadipaten itu membuntutinya. Seco Larendro nampaknya tidak punya kesempatan lagi untuk bersembunyi, salah seorang dari orang-orang itu melihat Seco Larendro yang sedari tadi sudah dikagetkan oleh datangnya suara kuda kencang yang dikendalikan oleh perempuan muda tadi.

"Itu dia. Orang yang kita kejar tadi,"

Teriak salah seorang dari mereka.

Rupanya sejak melihat adanya Seco Larendro di tengah hutan itu, mereka lupa mengejar kepada perempuan muda tadi.

Kini perhatiannya berpaling kepada Seco Larendro yang sedang berdiri nampak kebingungan mau menghindar kemana.

Akhirnya ia memutuskan untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk yang bakal terjadi.

"Hae. Bajingan. Kemana saja kamu. Menghilang di tengah hutan tanpa memberitahu,"

Kata orang yang berambut memutih itu yang nampaknya sebagai pemimpin mereka .

"Apa maksud kalian membututiku sejak tadi dari kota kadipaten."

Kata Seco Larendro dengan penuh kewaspadaan.

"Hae.
Kunyuk, Kau kira aku tidak tahu maksud dan tujuanmu datang ke daerah kami ini.
Kamu akan mematamatai gerakan kami, yah.
Kamu orang dari punggawa kadipaten mau menyelidiki keberadaan kami di sini?"

"Jangan salah paham kawan.
Aku memang orang dari kadipaten.
Aku membawa pesan dari paman Warok Sawung Guntur untuk pemimpin kalian, Warok Bledeg Ampar."

"Ha...ha...ha. .Pandai membual si kunyuk ini. Apa buktinya kamu diutus Warok Sawung Guntur untuk membawa pesan kepada pemimpin kami Kangmas Bledeg Ampar"

"Aku membawa pesan khusus untuk paman Bledeg Ampar "

"Mana pesan tertulis yang kau bawa itu. Serahkan kepadaku."

"Aku harus menyerahkan sendiri dihadapan Paman Bledeg Ampar. Antar aku kepada beliau."

"Serahkan dahulu surat itu. Baru aku akan putuskan perlu untuk mengantar kamu atau tidak. Sekarang perintahku. Serahkan surat itu, atau kamu akan menemui ajalmu di sini."

"Maaf Sekali lagi mohon antarkan aku kepada Paman Bledeg Ampar. Jangan paksakan aku..."

Belum habis ucapan Seco Larendro. Ketiga laki-laki yang membuntuti Seco Larendro sejak tadi itu tanpa banyak omong lagi meloncat dari kuda mereka masing-masing terus menghajar Seco Larendro yang sedari tadi memang telah bersiap diri. Pergulatan pun tidak terhindarkan lagi. Seco Larendro dikeroyok beramai-ramai dengan menerima serangan dari berbagai jurusan. Untung Seco Larendro bukanlah seorang prajurit rendahan, ia adalah seorang senopati muda yang cukup memiliki bekal ilmu kanuragan yang 'mumpuni. Sehingga serangan para lakilaki yang begitu brutal itu dapat ditanggulangi dengan enteng hanya cukup meliuk-liukkan tubuhnya yang tegap itu telah membuat kewalahan para musuhnya itu. Tidak berapa lama, pimpinan gerombolan itu membunyikan peluit dengan mengapit tangannya, tanda ia memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk meninggalkan arena pertarungan. Tidak berapa lama para lakilaki yang mengeroyok Seco Larendro menaiki kudanya kembali dan pergi kabur meninggalkan Seco Larendro yang segera juga meloncat ke kudanya untuk mengikuti perginya gerombolan pencegat itu. Ia mengambil jarak agak jauh agar tidak diketahui oieh gerombolan itu. Tujuan mengikuti jejak gerambolan itu agar ia mendapat penunjuk jalan untuk menemui sarang gerombolan Begal Bledeg Ampar.

Sementara hari mulai malam. Jalan-jalan mulai gelap. Seco Larendro mulai kehilangan jejak gerombolan itu. Namun dengan menggunakan indera pendengarannya, Seco Larendro masih bisa mengenali arah perginya gerombolan tadi. Tidak berapa jauh, di kejauhan tiba-tiba Seco Larendro melihat beberapa obor yang kelihatannya baru saja dinyalakan. Ia menduga, barangkali oborobor itu milik gerombolan tadi yang mau untuk pulang ke sarangnya. Maka dengan cekatan, Seco Larendro memacu kudanya lebih cepat lagi untuk memenerangi jalan dekati arah obor-obor itu. Begitu cepatnya Seco Larendro untuk berusaha mendekat, tidak dinyana tiba-iba ia menginjak tanah yang kelihatanya tanah rumput tetapi begitu kudanya melangkah ke situ ia terpelosok ke dalam jauh ke bawah. Dari posisi tempat itu nampaknya ini bukan tempat asli tetapi sengaja ada yang membuat untuk memasang perangkap. Tiba-tiba terdengar banyak orang tertawa.

"ha.. ha..ha"

Benar juga tidak berapa lama muncul banyak obor-obor dinyalakan. Nampak dari atas lubang besar dimana Seco Larendro terperosok di dalamnya itu telah berkumpui banyak laki-laki yang hampir semuanya berewokan.

"Hae punggawa goblok,"

Hardik salah seorang dari mereka.

"Apa tujuanmu jauh-jauh dari kota kadipaten datang kemari."

"Ampun Paman. Namaku Seco Larendro. Aku membawa pesan dari Pamnan Sawung Guntur untuk disampaikan kepada Paman Bledeg Ampar."

"Hah apa maunya si Sawung itu. Ada pesan apa untuk aku?"

"Maaf, paman. Apa nama paman Bledeg Ampar."

"Ya. Aku Bledeg Ampar. Lalu apa maumu," kata laki-laki yang tinggi besar berewokan yang mengaku bernama Bledeg Ampar itu.

"Kedatanganku kemari untuk menyampaikan pesan-pesan penting kepada Paman Bledeg Ampar."

"Coba tunjukkan mana pesan-pesan tertulis dari si Sawung itu"

Seco Larendro segera menyerahkan sebuah potongan bambu yang disimpannya di baju dada itu. Bledeg Ampar sepenerima potongan bambu itu segera membuka isi pesan yang tertulis dalam lembaran daun lontar itu.

"Huh... ha... .ha... Apa benar yang dikatakan si tolol Sawung ini ha...ha."

Tawa Bledeg Ampar setelah membaca isi surat itu.

"Hai. Blekok, entaskan si tolol ini dari dalam lubang ini. Aku mau bicara banyak sama si tolol punggawa kesasar ini,"

Perintah Bledeg Ampar kepada salah seorang anak buahnya yang bertubuh paling tinggi untuk menaikkan Seco Larendro yeng tersuruk dalam lubang jebakan ini. Tidak berapa lama atas pertolongan laki-laki yang di panggil Blekok tadi, Seco Larendro kini sudah berada kembali di atas tanah.

"Hayoh, bawa orang ini ke sarang kita,"

Perintah Bledeg Ampar terus melangkah pergi mengambil kudanya yang kemudian diikuti oleh para anak buahnya yang berjumlah sekitar satu lusin.

Sementara itu Seco Larendro diikat tangannya dan disuruh menaiki kudanya mengikuti arah gerombolan ini. Tidak berapa lama mereka telah sampai pada suatu daerah yang nampaknya terdiri dari banyak rumah-rumah bambu.

Rupanya di tempat ini gerombolan Bledeg Ampar itu bersarang.

Kemudian Seco Larendro dibawa masuk ke rumah yang paling besar terletak di tengah-tengah di antara rumah-rumah lainnya yang mengelilinginya.

Warok Ponorogo 1 Wasiat Mahkota Wengker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nampak banyak perempuan yang berpakaian seenaknya, banyak yang terbuka dadanya, kelihatan pahanya, acuh tak acuh mondar-mandir di antara para laki-laki yang nampaknya sudah terbiasa dengan suasana hidup seperti ini.

Setelah sampai ke dalam rumah besar itu, Seco Larendro diminta duduk di ruang tengah.

Sementara itu Bledeg Ampar masih terus memegangi surat yang dibawa Seco Larendro tadi sambil beberapa kali dibaca berulang ulang.

"Hayoh, Seco. Kita makan malam dulu seadanya,"

Kata Bledeg Ampar menyilahkan Seco Larendro untuk makan berbarengan dengannya. Di ruang itu hanya empat orang pengawalnya Bledeg Ampar.

"Bagaimana menurut pendapatmu, Tarmo. Mengenai ajakan menjalin kerjasama dari si Sawung itu."

"Apakah itu bukan berarti jebakan, Kangmas,"

Kata orang yang dipanggil Tarmo itu. Nampak Bledeg Ampar mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kalau melihat kedudukan dia sebagai seorang warok. Aku dapat mempercayai ucapan-ucapannya. Aku mengenal Sawung Guntur ini sebagai orang yang jujur dan polos. Jadi saking jujur dan polos, ia kini satu-satunya warok yang masih bersedia dan mau mengabdikan diri kepada pihak kadipaten. Para warok lainnya, sudah bubar cari hidup sendiri-sendiri tidak ada yang sudi mengabdi kepada pihak kadipaten. maunya mereka itu mengabdi kepada Raja turun kerajaan Wengker. Nah dari pengamatanku ini, si Sawung ini nampaknya sungguh-sungguh. Ada kesulitan yang kini sedang ia hadapi dan ia memerlukan bantuanku. Ini merupakan kesempatan baik bagi kita untuk mencari dukungan dari penguasa kadipaten atas segala kiprah sepak terjang kita."

"Tetapi Kangmas, ajakan kerjasama untuk mendapatkan tombak pusaka peninggalan kerajaan Wengker ini, sebaiknya harus ditanggapi dengan sikap yang penuh hati hati."

"Nah, aku ada akal. Untuk menjamin kebenaran si Sawung itu. Sebaiknya si Seco Larendro ini kita jadikan jaminan. Seco Larendro harus kita sekap. Dengan tujuan untuk dijadikan sandera. Apabila ternyata surat undangan damai itu hanya akal-akalan Warok Sawung Guntur untuk menangkap aku, maka nasib Seco Larendro yang akan jadi korban sebagai tumbalnya."

Mendengar ucapan Bledeg Ampar itu, Seco Larendro yang lagi asyik asyiknya menyantap makanan itu langsung hilang selera makannya. Ia berhenti makan, dan mau mengajukan usulan.

"Beg...begini... Pam.."

Kata Seco Larendro tergagap-gagap.

"Berhenti bicaramu Seco. Kamu jangan banyak tingkah. Sekarang kamu ikuti mereka itu. Bawa si Seco masuk kerangkeng. Nasibmu akan ditentukan oleh pimpinanmu si Sawung Guntur. Kalau ia menipuku, habislah nyawamu. Kalau ia bertindak jujur, aku akan lepaskan kamu. Mengerti, Seco? "

Belum sempat Seco Larendro memberikan jawaban ia sudah digiring meninggalkan rumah besar itu dibawa masuk kerangkeng di bawah tanah, rumah di tengah hutan ini.

Suara harimau, anjing, kelelawar, burung hantu, babi hutan, dan binatang lainnya nampak terdengar tidak jauh dari perkampungan sarang penyamun ini. Dan Seco Larendro semalaman tidak bisa tidur terganggu oleh banyaknya nyamuk yang terus berkecamuk mengigiti tubuhnya.

*****

PERTEMUAN RAHASIA .

SUDAH tiga hari ini kurier kepercayaan bernama Seco Larendro yang dikirim oleh Warok Sawung Guntur itu belum ada kabar beritanya. Warok Sawung Guntur mengumpulkan para anak buahnya untuk mencari jalan bagaimana sebaiknya dapat menerobos sarang Bledeg Ampar yang telah berani menghinanya dengan menyekap kurier yang diutusnya itu. Sudah tiga hari ini kurier itu tidak kembali. Tetapi, tiba-tiba ada suara keras yang melesat di atas kepala mereka yang sedang berkumpul itu,

'switt.'

Sebuah anak panah yang melaju cepat menancap di atas pohon dadap dimana di bawahnya Warok Sawung Guntur beserta ketiga anak buahnya sedang berbincang-bincang di situ.

"Kurang ajar. Siapa yang berani berbuat ini." kata Warok Sawung Guntur geram.

Tetapi ketika diamati. Tancapan anak panah itu, ternyata disertai sepucuk surat. Ada surat rahasia yang datang kepadanya, bukan ditulis oleh kuriernya itu, tetapi oleh tulisan tangan orang lain yang mengatakan, perundingan bisa berlangsung di tempat Koh Tiong seorang pedagang rumah makan keturunan Tionghwa yang beroperasi di daerah Setono Jeruksing, berada di kota Ponorogo wetan.

Malam itu juga sepenerima pesan surat itu, Warok Sawung Guntur dengan dikawal oleh tiga orang perwira andalannya pergi meninggalkan pos pengamanan keraton Kadipaten dengan menunggang kuda menuju ke arah timur. Tujuannya ke daerah Setono Jeruksing, pusat rumah makan Pecinan waktu itu. Setelah berjalan beberapa lama, rombongan Warok Sawung Guntur itu berhenti di Rumah Makan Kangkung Cah milik pengusaha keturunan Tionghwa itu. Satu-satunya rumah makan termodern di kota Ponorogo waktu itu.

"Selamat malam,"

Kata Warok Sawung Guntur ketika memasuki Rumah Makan Kangkung Cah yang tertata rapi ala seni tradisional budaya Cina itu.

"Selamat malam. Oh. Tuang penggede Kadipaten. Silahkan, silahkan tuan,"

Kata Koh Tiong dengan logat cinanya yang masih cedal, ia adalah pemilik rumah makan Kangkung Cah itu mempersilahkan dengan hormat kepada rombongan Warok Sawung Guntur yang baru datang malam itu.

"Koh Tiong. Aku perlu ruangan khusus untuk malam ini. Apa bisa engkau sediakan tempat itu untuk aku", kata Warok Sawung Guntur setelah duduk dan dijamu minum oleh tuan rumahnya.

"Bisa. Bisa tuang penggede. Silahkan kemali, Tuang penggede. Di sini ada luang tamu istimewa yang dapat tuang penggede gunakan", kata Koh Tiong yang terkenal juga mengajarkan silat asal Cina di daerah ini. Sebuah ruangan yang diberi warna merah dengan gambar naga-naga liong besar itu tergambar di ruangan itu. Meja bundar di tengah dan ada tempat tidur agak besar di samping kanan ruangan. Dua buah senjata trisula, dan dua buah pedang pendek kembar yang berbendera kecil hitam di pajang di atas dinding sebelah kanan. Bau dupa khas suasana kehidupan keluarga Cina terasa menyengat ruangan itu.

"Apa tuang penggede mau makan-makan dulu Hanya minum-minum, atau mau tidul-tidulan. Apa pellu pelempuan. Apa ada pellu yang lain, silahkan. Semua ada. Kami siap melayani tuang penggede", tanya Koh Tiong kep?da Warok Sawung Guntur dengan sikap penuh hormat dan menunjukkan keramahan yang amat sangat dianggap sebagai pelayanan kepada pejabat tinggi Kadipaten.

"Saya memang ada perlu, Koh Tiong. Malam ini aku mau ada tamu. Ada orang yang aku undang datang kemari. Sebentar lagi ia akan datang. Malam ini juga. Kalau bisa, sementara ini, khusus malam ini, jangan menerima tamu dulu. Tutup sementara, saya mau gunakan ruangan ini untuk berunding. Ini sangat penting", kata Warok Sawung Guntur dengan mimik muka serius.

"Oh, tidak apa-apa. Lumah makan akan segela ditutup, Tuang penggede. Belapa olang tamu tuang,"

Kata Koh Tiong dengan bibir terus tersenyum lebar penuh keramahan.

"Belum jelas berapa banyak. Yang sudah jelas saja, aku undang seseorang. Tetapi apakah ia membawa teman, atau datang sendirian, aku tidak tahu."

Beberapa saat kemudian, mereka sambil makan minum di tempat itu dengan ditemani pelayan-pelayan yang ramah-ramah.

Tepat tengah malam, terdengar suara gaduh diluar.

Nampak beberapa kuda yang datang dari arah timur berjalan pelan tetapi pasti menuju mendekati rumah makan Kangkung Cah milik Koh Tiong ini. Warok Sawung Guntur segera memerintahkan kepada anak buahnya, perwira-perwira muda itu, untuk memeriksa dan berjaga-jaga diluar, dan segera memberikan isyarat untuk memastikan siapa yang datang dengan barisan kuda yang nampak begitu banyak itu.

"Mereka sudah datang, Kakang Sawung,"

Kata salah seorang pengawal andalannya itu melaporkan kedatangan rombongan gerombolan Bledeg Ampar yang amat terkenal itu.

"Baik. Bersiaplah dan berjaga-jagalah dengan baik kalian diluar. Pelajari dengan cermat segala kemungkinan yang bakal terjadi,"

Perintah Warok Sawung Guntur kepada para pengawal andalannya itu. Tidak berapa lama terdengar suara langkah orang, ada dua orang yang memasuki pintu depan rumah makan Cina ini. Dan nampak mereka berbisik-bisik dengan hatihati kepada Koh Tiong pemilik rumah makan ini.

Koh Tiong kelihatan hanya mengangguk-anggukkan kepaianya dengan penuh hormat.

Kemudian dua orang itu diantar Koh Tiong masuk ke ruang dalam dimana Warok Sawung Guntur berada.

"Selamat malam, Pak,"

Tegur salah seorang dari mereka ketika melihat Warok Sawung Guntur yang ada di dalam ruangan itu

"Selamat malam,"

Sahut Warok Sawung Guntur sambil menyalami kedua orang itu.

"Mana pemimpin kalian,"

Tanya Warok Sawung Guntur.

"Ada diluar, Pak. Kami ditugaskan untuk memastikan, apakah Bapak telah berada di sini."

"Yah. suruh pemimpin kamu kemari. Aku sendirian di sini. Dan diluar aku bawa tiga orang anak buah. Kalian bawa berapa orang."

"Banyak, Pak. Hampir semua penghuni sarang diikutsertakan."

"Seperti mau menghadapi perang besar saja. Segera laporkan kepada pemimpin kalian. Aku tunggu di sini."

"Baik, Pak."

Salah seorang dari dua orang itu segera membalikkan badannya menuju ke depan.

Sedangkan salah seorang lagi justeru mengambil tempat duduk di situ dihadapan Warok Sawung Guntur sambil matanya mengamati seluruh seisi ruangan itu.

Nampaknya ia memang diberi tugas khusus untuk memeriksa kalau ada hal-hal yang mencurigakan, maka itu menjadi urusan dia

"Ada apa, curiga.
Ada yang dicurigai,"

Tanya Warok Sawung Guntur ketika melihat orang dihadapannya itu yang kelihatan sedang memeriksa ruangan itu.

"Oh, tidak. Tidak, Pak. Tidak apa-apa. Saya hanya melihat-lihat."

"Bagus. Hati-hati itu baik. Aku senang melihat kerja kalian yang cermat ini."

"Terima kasih, Pak. Kami hanya menjalankan tugas yang ditugaskan kepada saya dari pimpinan kami, Pak,"

Kata laki-laki bertubuh pendek gempal yang nampak sangat berpengalaman menjalankan pekerjaannya itu

"Bagus. Bagus, itu sikap anak buah yang baik. Aku sangat menghargai sikap demikian ini,"

Kata Warok Sawung Guntur sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tidak berapa lama, orang yang keluar tadi telah balik kembali dengan membawa pemimpin mereka.

Laki-laki berewokan tinggi besar, matanya mencorong seperti mau menelan orang yang dipandangnya. Ia itu adalah pemimpin rampok yang sudah amat terkenal 'sak onang onang' bernama Begal Bledeg Ampar.

"Selamat malam, Sawung,"

Kata orang yang dinamakan Bledeg Ampar itu menyalami Warok Sawung Guntur yang nampak berusia sama. Kedua orang itu nampak sebagai satu angkatan yang sama-sama senior dalam dunia pergolakan para jago di daerah Ponorogo ini.

"Selamat malam, Bledeg. Hayo silahkan duduk,"

Sambut Warok Sawung Guntur menyilahkan laki-laki jantan yang baru datang itu untuk duduk di kursi dihadapannya.

Sementara itu, kedua pembantu Bledeg Ampar itu berlalu meninggalkan pemimpin mereka berjaga-jaga di luar ruangan sebelah dalam rumah

"Sudah makan, Bledeg?.
Kita makan-makan dulu.
Mau,"

Kata Warok Sawung Guntur menawarkan makan

"Bolehlah,"

Jawab Bledeg Ampar juga berusaha menunjukkan keramahannya kepada rekannya itu.

Tidak berapa lama Koh Tiong pemilik rumah makan Kangkung Cah itu telah menghidangkan bermacam-macam masakan khas Cina kepada kedua tamunya itu.

Kemudian kedua laki-laki perkasa itu nampaknya dengan gesit menyantapnya dengan lahap.

Sapta Siaga 11 Bermain Api Mayat Dalam Lemari Body In Closet Karya Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong

Cari Blog Ini