Ceritasilat Novel Online

Wasiat Mahkota Wengker 2

Warok Ponorogo 1 Wasiat Mahkota Wengker Bagian 2


Tanpa banyak basabasi mereka mencicipi semua masakan yang dihidangkan dan dimakannya tanpa ragu-ragu lagi .Beberapa saat setelah mereka menyudahi acara makan malamnya itu, nampak terdengar mereka sedang melangsungkan pembicaraan' serius.

"Langsung saja, Sawung. Apa sebenarnya yang kamu maui dariku,"

Tanya Bledeg Ampar membuka suaranya yang berat itu

"Begini Bledeg. Aku sebenarnya sedang mengemban tugas.
Aku mendapat tugas langsung dari Kanjeng Adipati untuk menyelidiki keberadaan tombak pusaka peninggalan kerajaan Wengker itu. Aku mau minta tolong kepada kamu untuk mendapatkan tombak itu.
Apa kamu bisa."

"Apa imbalannya untuk aku "

"Upah."

"Tidak cukup, Sawung."

"Lalu, apa maumu."

"Hentikan usaha penangkapan terhadap diriku dan gerombolanku ini. Karena aku melakukan perampokan tidak ngawur asal semua orang aku rampok, tetapi sasaranku jelas dan khusus ditujukan kepada orangorang yang pelit dan memeras masyarakat."

"Aku bertemu kamu di sini sekarang ini, tidak untuk membicarakan soal dosa-dosa kamu merampok. Aku hanya mau tanya sanggup, apa tidak menjalankan tugas ini."

"Aku sanggup, Sawung."

"Nah, itu jawaban yang aku maui."

"Lalu, bagaimana. Mengenai persyaratanku pertama tadi."

"Soal penghentian menguber kamu dan rombongan kamu. Aku dapat menerima syaratmu itu. Tetapi permintaanku, jangan membuat kekacawan baru. Yang sudah sudah dapat dimaafkan oleh penguasa Kadipaten. Aku telah mendapatkan restu soal ini langsung dani Kanjeng Adipati, dan disaksikan oleh banyak penggede dalam permusyawaratan lengkap. Jadi ini ada jaminan dariku atas seijin Kanjeng Adipati."

"Bagus kalau demikian. Aku menyetujui".

"Nanti dulu. Tetapi apa kira-kira kamu dapat menghentikan segala kekerasan yang kamu lakukan itu sementara ini."

"Apa kamu bisa jamin hidupku dan seluruh anak buahku."

"Tidak demikian maksudku, Bledeg. Kamu jangan melakukan operasi di daerah Ponorogo selama kamu menjalankan tugas ini. Cari sasaran daerah lain."

"Wah, berat kalau demikian."

"Apa beratnya, tinggal mengalihkan orang-orang kamu ke daerah tetangga-tetangga kita. Dan jangan sekali-kali beroperasi lagi di daerah Ponorogo"

"Boleh. Aku akan usahakan. Tetapi bagaimana dengan besarnya upah. Apakah cukup menarik."

"Sebelumnya aku pengin tahu. Bagaimana cara kerja kamu untuk mendapatkan tombak wasiat itu,"

Selidik Warok Sawung Guntur.

"Begitu malam ini kita ada kesepakatan. Aku akan segera bekerja untuk mendapatkan keterangan mengenai keberadaan tombak pusaka itu. Orang-orangku akan segera aku sebar ke segala penjuru daerah ini. Tapi masih ada syarat satu lagi, Sawung."

"Syarat, apa lagi."

"Aku perlu upah, dan uang muka."

"Bisa kita atur."

"Jangan bicara soal gampang mengaturnya. Sekarang ini aku perlu uang muka, Sawung"

"Berapa yang kamu minta"

"Untuk sementara ini, cukup tiga ribu keping saja."

"Banyak sekali."

"Terserah kamu saja. Bisa tidak menyediakan uang untuk aku sebesar itu. Sekarang."

"Aku baru punya uang seratus keping. Sisanya dapat engkau kirim esuk hari."

"Yah, aku setuju."

Kedua laki-laki perkasa itu kemudian berjabatan tangan erat

"Bledeg. Aku ingin tanya kenapa kurierku engkau sandra."

Sambil tersenyum Bledeg Ampar nampak tersipu-sipu, kemudian memberikan alasannya.

"Aku sebenarnya, tadinya masih belum percaya penuh kepada kamu, Sawung. Maka si Seco Larendro kuriermu itu aku jadikan sandra. Ia sekarang bersama aku. Dan engkau dapat temui lagi dia, sebentar lagi setelah aku tinggalkan tempat ini".

Warok Sawung Guntur mendengar alasan Bledeg Ampar menahan kurier Seco Larendro hanya bisa mengangguk anggukkan kepalanya. Dan keduanya berjalan menuju ke depan ruangan rumah makan Koh Tiong itu. Bledeg Ampar berpamitan dan menaiki kuda coklat yang gagah, diiringi oleh puluhan kuda lainnya. Begitu mendengar aba-aba suit dari Bledeg Ampar, mereka yang bersembunyi di berbagai tempat itu pada muncul berhamburan dari balik-balik pepohonan mengikuti di belakang kuda Bledeg Ampar. Warok Sawung Guntur hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat begitu banyaknya anak buah Bledeg Ampar yang dibawanya malam ini.

"Pantas saja, kekacawan sulit dipadamkan. Begitu banyaknya orang yang melindungi si Bledeg gendeng itu,"

Kata Warok Sawung Guntur kepada ketiga pengawal andalannya itu. Koh Tiong yang juga ikut mendengarkan pembicaraan Warok Sawung Guntur, dan mengikuti kepergian rombongan para perampok itu, nampak bulu kudugnya ikut merinding Gelombolan Bledeg Ampal,

"olang-olangnya kejam tuang penggede.
Sudah bebelapa kali belkunjung kemali," kata Koh Tiong setelah mengantarkan duduk kembali tamu istimewanya penggede Kadipaten itu.

"Apa mereka itu suka bikin keonaran terhadap rumah makanmu di sini, Koh,"

Tanya Warok Sawung Guntur

"Tidak Tidak pelnah.
Meleka tidak pelnah bikin libut di sini, Tuang penggede.
Akan tetapi dengan pala tamu lain yang kelihatan kaya, meleka biasanya suka memelgokinya sepulang dali sini.
Saya lebih baik membelikan upeti bulanan dalipada diganggu mereka, tuang penggede,"

Kata Koh Tiong dengan logat cedalnya yang masih kental.

"Yah, hati-hati saja sama mereka itu. Mereka itu dapat berbuat kejam semaunya sendiri. Aku akan tingkatkan pengawasan pengamanan di daerah sini,"

Kata Warok Sawung Guntur menenteramkan hati Koh Tiong pengusaha yang mendapat perlindungan penguasa Kadipaten karena mendapatkan rekomendasi usaha dari penguasa kerajaan Majapahit di Trowulan.

****

Warok Sawung Guntur bersama para pengawalnya kelihatan baru meninggalkan rumah makan Kangkung Cah itu ketika hari hampir pagi, rupanya ia sempat mendapatkan pelayanan ekstra dari Koh Tiong dipijat badannya secara ilmu Cina sehingga ketiduran sampai hampir pagi hari itu .

****

TUKAR ILMU.

RUMAH Makan Kangkung Cah, makin hari makin tersohor di daerah Ponorogo.

Tidak hanya terbatas di daerah Ponorogo, para bangsawan Majapahit pun kalau kebetulan sedang bertugas ke daerah Kadipaten Ponorogo selalu menyempatkan diri berkunjung ke rumah makan Kangkung Cahnya milik Koh Tiong itu.

Demikian juga banyak para pedagang pribumi yang kalau hari itu merasa mendapatkan kelebihan keuntungan dari hasil dagangannya, tidak sedikit yang kemudian memerlukan mampir ke Rumah Makan Kangkung Cah Koh Tiong itu, perlunya hanya untuk menikmati makan masakan Cina di rumah makan tersebut sambil ngobrol ketemu relasi dagang di situ.

Rumah makan itu dinamakan Kangkung Cah, lantaran memang menjual makanan khas Cina, dan yang paling digemari oleh penduduk terutarma karena bahan pangan yang digunakan berasal dari sayur kangkung yang banyak ditanam di kebun-kebun penduduk masyarakat Ponorogo, sehingga nama itu mudah dikenal oleh penduduk di sana.

Bagi penduduk Ponorogo, kata Kangkung itu telah lama akrab dengan kehidupan mereka.

Kemudian mereka juga menganggap kangkung cah bukan makanan asing tetapi merupakan makanan rakyat setempat yang diolah dari bahan setempat, begitu anggapan rata-rata mereka yang sering berlangganan makan di rumah makan Cina itu.

Oleh karena itu, dalam waktu singkat rumah makan Kangkung Cah itu cepat mendapat langganan dari para penduduk pribumi Ponorogo walaupun dikelola oleh keturunan Tionghwa.

Selain itu di tempat ini juga dibuka praktek pengobatan tradisional ala Cina, seperti sinshe, tusuk jarum, chi' atau tenaga dalam, dan pemijatan tradisional.

Banyak orang yang merasa cocok dapat disembuhkan oleh para tabib Cina yang tiap malam bercokol di rumah makan kangkung cah yang berlokasi di sebelah timur kota Ponorogo itu.

Tidak hanya itu di sebelah rumah makan itu juga dibuka toko yang melayani segaia rupa barangbarang keperluan sehari-hari yang harganya lebih murah, sehingga biasanya digunakan untuk tempat 'kulakan para pedagang dari kampung yang mengambil barang dagangannya dari toko Cina ini untuk dijual kembali di tokonya di daerah perkampungan di luar kota.

Tidak hanya soal masakan, atau makanan dan pengobatan yang dijajakan oleh para Cina pendatang itu, tetapi ia pun membuka kursus bela diri untuk mengajarkan seni bela diri asal Cina itu.

Semula banyak pemuda yang tertarik untuk ikut berlatih.

Ingin tahu dan mencoba kehebatan ilmu bela diri asing itu yang dianggapnya sebagai ilmu moderen yang ampuh, akan tetapi lama kelamaan banyak yang kemudian meninggalkan latihan ilmu bela diri Cina itu.

Mereka menganggap bahwa ilmu bela diri Cina itu tidak sejalan dengan falsafah hidup bagi kebanyakan orang-orang Ponorogo.

Gerakan bela diri Cina lebih mengandalkan pada kegesitan gerak, loncatan-loncatan, kecepatan menghindar, banyak melakukan liukan, dan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk pematahan pada tulang dan urat syaraf, atau ilmu totok. Selain itu terlalu banyak diberi variasi oleh gerak tarian yang melingkar-lingkar, sehingga dianggap tidak praktis.

Oleh karena itu, ilmu bela diri ala Cina itu rupanya tidak begitu disukai oleh kebanyakan orang-orang Ponorogo lantaran dianggap tidak memperlihatkan gerak kejantanan sebagai falsafah gerak bela diri kebanyakan ilmu kanuragan yang dianut oleh orang-orang Ponorogo.

Di daerah Ponorogo sendiri sebenarnya teiah banyak berkembang aliran-aliran perguruan ilmu kanuragan yang terutama keberadaannya di dusun-dusun. Mereka melakukan latihan-latihan secara sembunyi-sembunyi untuk keperluan bela diri, dan tidak membuka perguruan secara terbuka.

Namun banyak juga yang secara sengaja membuka perguruan ilmu kanuragan itu untuk tujuan menjaring murid-murid yang banyak dalam rangka menghimpun massa pengikutnya.

Demikian juga dimaksudkan guna memperkokoh kedudukan tokoh pendiri perguruan itu agar dianggap sebagai guru yang laku lantaran banyak muridnya.

Oleh karena itu tidak berapa lama kemudian, perguruan bela diri asal Cina yang dibuka di Ponorogo itu, kemudian ditinggalkan murid muridnya, dan sepi peminat.

Mereka banyak yang kembali bergabung kepada perguruan tradisional yang banyak tercecer di pelosok daerah Ponorogo itu.

Salah seorang tokoh masyarakat yang diberi julukan Warok Wulunggeni asal dari daerah Ponorogo selatan, ketika mendengar mengenai dijajakannya ilmu bela diri asal dari Cina dan ilmu-ilmu ketabiban itu.

ia pada suatu hari menyempatkan diri mendatangi rumah makan Kangkung Cah yang sudah tersohor itu perlunya hanya untuk menemui pendekar bela diri Cina itu untuk bertukar ilmu dan mengadu pengalaman.

"Koh Tiong, aku telah mendengar dari suara orang-orang di daerah sini, katanya sampeyan ini ahli ilmu ketabiban dan membuka perguruan bela diri Cina di rumah makan sampeyan ini. Apa memang benar ceritera orang-orang yang aku dengar itu", kata Warok Wulunggeni membuka pembicaraan.

"Be...be..enal. Benal Tuang", kata Koh Tiong beraksen Cina cedal sambil badannya menunduk-nunduk dihadapan tamunya, seorang lakilaki berperawakan tinggi besar yang nampak kokoh dengan kumisnya melintang tebal itu.

"Kedatanganku kemari pengin tukar ilmu dan pengalaman sama sampeyan. Ilmu ketabiban dan ilmu bela diri. Aku orang yang paling gemar mempelajari ilmu. Apa saja kalau bisa pingin aku pelajari. Apakah kita bisa berkawan dalam soal tukar menukar ilmu ini, Koh Tiong"

"Ohh, telima kasih Tuang Wulung yang telholmat. Kami olang juga senang menelima kedatangan, Tuang di sini. Kami olang juga senang belajal sama ilmu-ilmu tladisional yang ada manfaat untuk hidup. Begitu saya lasa Tuang Wulung. Kita sama-sama penggemal ilmu", kata Koh Tiong dengan logat Cinanya yang masih kental.

"Aku mau coba bertanding dengan kamu, Koh Tiong. Bagaimana kehebatan ilmu bela dirimu itu. Kalau aku kalah, kamu harus ajari aku. Tetapi kalau kamu kalah, perguruan bela-dirimu ini harus bubar. Demikian juga soal kehebatan ilmu ketabibanmu itu. Aku akan coba kepada kamu langsung, atau kepada muridmu. Dengan kugunakan beberapa ilmuku, kalau kamu terluka atau murid-muridmu terluka, aku pengin tahu bagaimana kehebatanmu menangani orang yang terluka itu menurut cara penyembuhan ilmu Cina"

"Tet. .teta... tetapi, Tuang. Saya tidak ingin cali gala-gala, Tuang. Saya hanya ingin menyebalkan ilmu untuk kebaikkan"

"Ya. Ya, aku mengerti. Ini bukan kita mau bermusuhan. Sama sekali bukan. Kita ini mau mencari kawan, sesama peminat dalam bidang ilmu. Tidak ada salahnya kita saling membantu mengembangkan diri, to"

"Ya...ya...baik...baiklah Tuang Wulung. Telima kasih telima kasih"

"Nah, sekarang kita bisa coba, to".

"Baik...ba.. .baik, Tuang. Kalau demikian, mali kita pindah di halaman delakang, Tuang Wulung", kata Koh Tiong terbata-bata dihadapan Warok Wulunggeni yang ingin mencoba kehebatan ilmu Cina itu.

Mereka berdua dengan diikuti oleh beberapa murid Koh Tiong, kemudian pindah tempat menuju ke halaman belakang rumah makan itu. Tidak berapa lama Koh Tiong telah berganti pakaian khas Cina, dan sebelumnya ia sempat membakar dupa dihadapan potret gambar leluhurnya itu sambil menyembah-nyembah, mungkin minta doa keselamatan. Tidak berapa lama kedua jagoan bela diri itu nampak telah bersiap diri saling berhadapan. Tanpa ada wasit yang memimpin pertandingan, pertarungan itu pun terjadi. Koh Tiong dengan gesit memperagakan jurus-jurus ilmu bela dirinya yang bergerak dengan cepat sulit ter tangkap indera mata orang awam. Terutama bagi mereka yang tidak biasa bertarung, tentu akan kewalahan menghadapi gerakan lincah berputar-putar demikian cepatnya kian kemari itu.Warok Wulunggeni mengandalkan pada ilmu kedigdayaan yang sangat ditopang oleh kemampuan daya lebih yang mengalir pada seluruh tubuhnya. Beberapa jurus serangan telah dilemparkan Koh Tiong ke berbagai arah yang mematikan di bagian-bagian vital Warok Wulunggeni, namun nampaknya Warok Wulunggeni yang bertubuh tinggi besar dan memiliki berbagai simpanan ilmu bela diri itu tidak mudah untuk dijadikan sasaran serangan yang bertubi-tubi datangnya it. Nampak belum ada satu orang pun yang terkena sentuhan jurus-jurus lawannya. Sudah beberapa lama berjalan belum kelihatan ada tandatanda siapa yang lebih unggul di antara kedua jagoan itu .Selanjutnya, ada hal-hal yang cukup ngeri bakal terjadi. Nampaknya kedua lakilaki itu ingin segera membuat perubahan perimbangan posisi. Koh Tiong sudah mengeluarkan senjata tajam andalannya berupa pedang kembar, sedangkan Warok Wulunggeni pun juga segera mencabut'motek' semacam golok yang dilambari dengan racun warang yang mematikan .Kedua senjata dari dua laki-laki itu berputar-putar kian kemari ingin menerobos sasaran pada lawan tandingnya. Kelibatan berkilau tersentuh cahaya yang memancar dari kedua senjata tajam itu, seperti terkena pantulan sinar dari berbagai jurusan nampak sangat membahayakan apabila sampai mengenai tubuh korban yang kurang waspada dalam mengatur pertahanan diri menghadapi lawan tandingnya itu. Dalam suatu gerakan yang cepat, tiba-tiba tubuh Koh Tiong itu menjadi ringan seperti melayang di udara dan hinggap di dinding tembok ruangan itu, rupanya ia telah melakukan jurus 'gingkhang untuk menyerang lawan dari arah atas. Warok Wulunggeni rupanya tidak begitu siap menerima serangan yang datang begitu tiba-tiba mendadak dari arah atas itu, dengan gerak spekulasi Warok Wulunggeni segera mengembangkan gerakan pertahanan tanpa mengindahkan risiko yang mungkin terjadi.

"Blarrmr", rupanya benturan dahsyat tak terhindarkan.

Keduanya terpental ke belakang beberapa langkah. Bagi posisi Warok Wulunggeni, walaupun sebenarnya ia telah mengerahkan daya lebih yang dimilikinya itu, terrnyata ia pun ikut terpental ke belakang beberapa langka lantaran ketepatan jurus tendangan yang dikembangkan Koh Tiong sangat akurat dapat mengenai sasaran dengan tepat yaitu pada hulu hati Warok Wulunggeni. Hanya saja, kebetulan yang dihadapi Koh Tiong itu adalah Warok Wulunggeni yang bukan orang sembarangan. Warok yang satu ini ternyata memiliki kemampuan bertahan tenaga dalam yang berlipat, sehingga benturan yang mematikan itu tidak membuatnya ia tergelepar. Kalau saja tendangan maut Koh Tiong itu mengenai orang biasa, mungkin sudah mati berdiri. Akan tetapi Wulunggeni bukan tandingan bagi orang yang sudah mendapat gelar warok ini. Setelah beberapa saat mereka mengatur persiapan gerakan lanjutan, mereka berdua mulai menyadari ada yang tidak beres pada diri mereka masing-masing. Kedua laki-laki itu terrnyata sama-sama terluka. Warok Wulunggeni terkena sabetan pedang kembar Koh Tiong pada lengan kanannya, demikian juge Koh Tiong terkena sabetan pedang pendek Warok Wulunggeni yang mengandung warang beracun itu pada paha kirinya. Pentarungan sengit itu telah menghasilkan luka-luka di antara kedua tokoh bela diri itu. Untuk itu pertarungan segera disepakati untuk dihentikan. Koh Tiong segera mengambil kotak obat-obatannya. Ia dengan gesit memperagakan cara pengobatan luka-luka itu, baik bagi pengobatan dirinya sendiri maupun untuk Warok Wulunggeni yang tercecer darah kental merah membasahi pakaiannya yang hitam pekat itu.
Warok Ponorogo 1 Wasiat Mahkota Wengker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Setelah kedua laki-laki itu sama-sama terluka dan terobati, kemudian mereka duduk bersama sambil menghirup minuman ramuan dedaunan yang disediakan oleh Koh Tiong. Para murid Koh Tiong yang baru saja menyaksikan kehebatan pertarungan yang sengit itu hanya bisa ternganga terheran-heran. Dan baru merasa lega ketika melihat pertarungan telah usai.

"Saya mengaku kalah, Tuang Walok Wulunggeni", tiba tiba terdengar suara Koh Tiong memecahkan kesunyian.

"Lho, kamu masih kuat meneruskan pertandingan lo Koh. Kita belum ada yang kalah. Kita masih sama-sama kuat . Kita sama-sama terkena senjata", balas Warok Wulunggeni

"Kalena saya teluka, belalti saya kalah, Tuang Walok Wulunggeni"

"Ach Jangan merendahkan diri begitu, Koh Tiong. Aku sebenarnya kagum sama permainanmu itu. Luar biasa. Baru kali ini aku mendapat lawan yang tangguh Sehebat kamu, Koh. Aku memujimu. Engkau adalah pendekar sejati"

"Ach jangan memuji begitu.
Tidak usah, Tuang Walok.
Saya telus telang mengaku kalah.
Sebab dalam ilmu Cina, sehalusnya kami tidak teluka. Tetapi telnyata saya teluka.
Itu belalti kami halus mengakui kehebatan ilmu Tuang Walok Wulunggeni.Dan mulai esuk kami akan menutup pelguluan ini.
Mengenai soal mempelajali cala pengobatan Cina itu, Tuang boleh belajal kapan saja semau Tuang.
Dengan senang hati kami akan membelikan, apa saja yang bisa kami belikan untuk Tuang Wulunggeni", kata Koh Tiong kepada Warok Wulungggeni.

Mendengar kata-kata pengakuan yang tulus dari Koh Tiong yang begitu rendah hati itu, hati Warok Wulung geni jadi 'trenyuh'.

"Koh Tiong.
Perguruanmu ini sebaiknya jangan ditutup. Soal ucapanku tadi, hanya main-main.
Jangan dipikirkan.
Teruskan saja dibuka perguruan ini. Banyak pemuda di sini yang membutuhkan ilmu bela diri Cina ini untuk menjaga diri dari banyak gangguan di daerah yang panas seperti Ponorogo ini.Teruskan saja dibuka.
Koh. Aku tidak ingin menghalangi usahamu ini."

"Aku hanya seorang penuntut ilmu.
Jadi keinginanku hanya untuk mencari dan mengembangkan ilmu.
Entah itu ilmu dari mana datangnya, aku akan cari terus. Jadi jangan hanya karena aku, engkau menutup perguruan ini.
Jangan lakukan itu, Koh."

"Aku sudah cukup gembira dapat berkenalan dengan orang seperti kamu yang menguasai ilmu bela diri dan ilmu ketabibab Cina ini.
Semuanya akan berguna bagi menambah pengetahuanku"

"Telima kasih, Tuang Wulunggeni. Akan tetapi saya halus tetap mengholmati peljanjian kita tadi. Aku kalah dan aku halus menepati janji untuk menutup pelguruan ini untuk umum".

"Yah terserah saja pada kamu, Koh Tiong. Tetapi terus terang aku tetap mengharapkan agar engkau tetap membuka kegiatan perguruan ilmu bela diri Cina ini di sini. Dan kalau menurut keyakinanmu harus ditutup, itu terserah. Itu bukan lantaran aku, lho"

"Telima kasih, Tuang Warok Wulunggeni"

Sejak saat kejadian pertarungan itu, perguruan bela diri khas Cina milik Koh Tiong itu akhirnya benar-benar ditutup untuk umum. Akan tetapi, Warok Wulunggeni rupanya dengan tekun menjadi murid pengobatan Koh Tiong. Ia diam-diam tanpa banyak diketahui orang, belajar ilmu ketabiban itu kepada pendekar Cina Koh Tiong itu. Sedangkan perguruan bela dirinya itu, sesuai perjanjian yang diyakini Koh Tiong dengan Warok Wulunggeni itu, tetap ditutup. Berita mengenai ditutupnya usaha Koh Tiong itu sampai ke telinga Warok Sawung Guntur sebagai penguasa keamanan Kadipaten.

"Lho, yang berhak menutup atau membuka setiap kegiatan apa pun di daerah kekuasaan Ponorogo ini kan penguasa Kadipaten, apa urusannnya Wulunggeni mengatur usahanya orang", kata Warok Sawung Guntur sebagai salah seorang penggede Kadipaten ketika mendengar laporan dari anak buahnya mengenai campur tangannya Warok Wulunggeni terhadap usaha di rumah makan Kakung Cah milik Koh Tiong itu, nampak ia menjadi berang

"Ampung, Tuangku. Sebaiknya masalah ini tidak pellu dipelpanjang", kata Koh Trong saat mendengar ucapan Warok Sawung Guntur ketika mengunjungi rumah makannya dan mendengarkan dari laporan yang tidak mengenakkan itu dari anak buahnya di rumah makan itu suatu siang hari

"Tidak diperpanjang bagaimana, Koh Tiong. Di sini yang berhak mengatur segala soal perijinan usaha ini, Aku. Yang berkuasa itu, Aku. Bukan orang lain termasuk si Wulunggeni itu bukan apa-apa. Orang semacam dia itu tidak ada apa-apanya bagi penguasa Kadipaten. Aku atas seijin Kanjeng Adipati yang menentukan segalanya". ujar Warok Sawung Guntur memperlihatkan muka marahnya.

"Ampung, Tuang penggede. Jangan salah paham. Yang memang belmaksud menutup usaha ini saya sendili yang punya mau, bukan lantalan Tuang Wulunggeni. Jadi kami halap Tuang penggede tidak salah paham. Kami hanya menutup usaha pelguruan saja, kalena memang di sini tidak ada lagi mulid yang mau ikut latihan. Sedangkan usaha yang lain telmasuk rumah makan ini masih terus dibuka"

"Ohh, jadi hanya perguruan bela dirinya yang ditutup. Rumah makan tetap dibuka", kata Warok Sawung Guntur mulai mengendor syarafnya.

"Benal. Benal Tuangku. Benal...benal demikian, Tuangku", kata Koh Tiong berlogat cedal.

"Kalau memang demikian. Ya, tidak apa-apa. Jadi malahan aku mau minta tolong kepada Koh Tiong, itu ilmu bela diri Cina tolong diajarkan saja kepada para. prajuritku. Para punggawa keraton selain sudah mahir ilmu kanuragan tradisional, tolong juga dilatih ilmu bela diri Cina itu, biar mereka kaya menguasai berbagai ilmu".

"Ampung, Tuang. Kami belsedia menuluti pelintah tuang penggede", kata Koh Tiong yang berbicara cedal sambil badannya membungkuk bungkuk tanda hormat kepada Warok Sawung Guntur itu.

"Nah. Kalau demikian, mulai esuk hari, Koh Tiong boleh datang ke gladi pelatihan di Kadipaten untuk memberikan dasar-dasar latihan ilmu bela diri Cina itu".

"Siap Tuang penggede".

"Baiklah kalau demikian, aku minta diri pulang dulu. Jangan lupa mengenai latihan itu besuk. Usahakan tertib waktu. Soal teknis kegiatannya, nanti akan diatur bersama oleh para senopati Kadipaten"

"Siap, Tuang penggede"

Tidak berapa lama rombongan Warok Sawung Guntur yang sedang melakukan inspeksi keliling kota itu meninggalkan rumah makan Kangkung Cah pada soreharinya setelah disuguh makan-minum sepuasnya di rumah makan yang beken di kota itu.

*****

TERJADI PERUBAHAN PESAT.

SETELAH hampir sepuluh tahun'berjalan sejak berdirinya Kadipaten Ponorogo di bawah kepemimpinan Kanjeng Raden Adipati Sampurnoaji Wibowo Mukti, nampak bahwa daerah Kadipaten Ponorogo ini makin maju.

Perdagangan antar daerah berjalan lancar.

Arus barang banyak yang keluar masuk daerah ini.

Demikian juga banyak pendatang dari luar daerah yang kemudian berminat mendirikan usaha di daerah Kadipaten Ponorogo yang terus berkembang pesat di sini.

Kali Sekayu yang terletak di sebelah barat ibukota Kadipaten Ponorogo, merupakan alur strategis sebagai pusat berkembangnya perdagangan yang amat bernilai bagi masyarakat setempat.

Oleh Karena itu, Kali Sekayu makin memegang peranan penting sejak kegiatan ekonomi penduduk daerah kadipaten Ponorogo mulai maju.

Di sepanjang pinggir sungai ini, apabila di situ dijumpai kampung maka hampir dapat dipastikan akan menggunakan sarana air sungai itu untuk menunjang kegiatan usahanya.

Barang-barang dagangan banyak dibawa dengan menggunakan alat angkut 'getek terdiri dari bambu-bambu yang diapungkan untuk membawa pedagang pedagang lokal yang penuh barang dagangan menyeberangi sungai itu. Oleh karena itu, roda perekonomian rakyat Ponorogo .nampak makin bergairah maju.

Para pembuat grabah yang bahannya diambilkan dengan cara mengolah dari tanah lempung, kemudian setelah dibentuk beraneka ragam peralatan, antara lain kendi untuk tempat air minum, lepek untuk menuangkan kopi panas agar cepat dingin, kendil, wajan gorengan, dan sebagainya.

Selain grabah, juga dibuat tikar mendong. Semua usaha kerajinan itu banyak dihasilkan oleh penduduk di desa-desa yang kemudian dipasarkan ke kota kadipaten menyeberang sungai, antara kali Sekayu itu dengan menggunakan rakit bambu 'Getek. Banyak rakyat yang kemudian patuh membayar upeti, terutama upeti dari hasil bumi yang disetorkan ke penguasa Kadipaten, dan kemudian oleh penguasa Kadipaten sebagian besar disampaikan sebagai persembahan kesetiaan kepada junjungan pemerintahan pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan.

Daerah Ponorogo juga dikenal maju oleh adanya pertanian rakyatnya.

Pertanian dapat berkembang pesat yang membawa hasil panen berlimpah ruah pada tiap tahunnya.

Ponorogo waktu itu juga dikenal sebagai penghasil produksi gula rakyat.

Baik itu gula aren dari pohon aren, gula kelapa dari buah kelapa, maupun gula dari bahan batang tebu.

Di kampung-kampung, banyak tumbuh industri tradisional pembuatan gula rakyat yang diusahakan oleh masyarakat setempat yang merupakan mata pencaharian sampingan selain bertani padi dan tumbuhan palawija.

Perkebunan tebu yang merupakan bahan untuk diolah menjadi gula, kemudian banyak diusahakan oleh petanipetani Ponorogo dengan pengolahan secara tradisional. Menggunakan peralatan peras yang ditarik dengan tenaga lembu, sapi, kemudian hasilnya dimasak dicetak dengan lemper tanah, kemudian dibungkus dengan daun-daun kering tebu untuk dipasarkan kedaerah-daerah Kadipaten lain di tanah Jawa. Kemajuan perekonomian daerah Ponorogo sebenarnya juga tidak terlepas dari kemajuan hubungan dagang yang terjadi di Trowulan, pusat kekuasaan kerajaan Majapahit. Ketika itu banyak para pedagang Cina yang menggunakan kapal-kapal dagang besar datang berlabuh di pelabuhan Gresik pantai pesisir utara laut Jawa.

Para pedagang asal negeri Tiongkok itu membawa banyak barang dagangan yang kemudian bermitra dagang dengan para pedagang Cina lokal yang sudah lama tinggal di pusat kekuasaan kerajaan Majapahit itu.

Bahkan konon, Raja Prabu Brawijaya juga banyak menerima persembaban putri-putri Cina yang cantik-cantik jelita untuk dijadikan selir Raja Agung Benantara itu.

Oleh karena itu, perhubungan dagang antara negeri Cina daratan dan kerajaan Majapahit juga telah membawa pengaruh pada perubahan situasi perdagangan pada daerah-daerah kadipaten yang di bawahinya.

Kadipaten Ponorogo yang juga di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit ternyata juga menjadikan daya tarik bagi pedagang pedagang dari luar daerah yang datang untuk menjajakan barang dagangan, dan kemudian kebalikannya mereka membeli hasil bumi dari daerah Ponorogo.

Tidak terkecuali bagi para bangsa Cina yang datang untuk berdagang, mereka datang ke Ponorogo untuk mendirikan rumah makan, membangun tempat hiburan, dan memperkenalkan cara berjudi moderen kepada masyarakat sekeliling yang didiaminya itu.

Selama ini masyarakat Ponorogo belum mengenal permainan judi.

Mereka hanya mengenal cara taruhan melalui 'botohan' sabung ayam jago jantan, atau adu orang kuat antar jago yang dipertarungkan.

Para orang kuat yang diadu itu kemudian istilahnya 'dikalang' di tengah-tengah arena pertarungan yang dikelilingi oleh para petaruhnya, yaitu orang-orang yang menjagokan jagonya itu sebagai bahan taruhan .Ayam jago yang kalah bertarung, biasanya lalu disembelih oleh pemiliknya untuk dijadikan sebagai bahan masakan sate.

Maka sejak saat itu orang Ponorogo suka membuat makanan sate dari ayam jantan.

Sate Ponorogo kemudian makin dikenal rasanya lezat.

Ada anggapan pada masa itu bahwa bagi mereka yang mau makan sate ayam jantan Ponorogo, maka ia akan menjadi petarung hebat seperti kehebatan ayam jantan sabungan.

Maka kemudian makanan sate ayam jantan itu menjadi berkembang sebagai makanan yang populer sampai ke Trowulan pusat kerajaan Majapahit yang merupakan makanan khas dari orang-orang Ponorogo waktu itu.

Kepandaian memasak sate ayam itu kemudian dikembangkan, ditekuni, dan dimonopoli hanya oleh dua dinasti yang saling berebut pengaruh di Ponorogo yaitu Dinasi Brang Kidul yang biasa mangkal di pojok Ngepos, tempat pusat berkumpul para pedagang asal dari luar kota Ponorogo, dan Brang Lor di Pasar Legi yang biasa sebagai tempat berkumpul para pedagang lokal asal dari Ponorogo asli .Biasanya para pedagang sate ini banyak mangkal di pojok-pojok jalan tengah kota yang banyak dikerumuni orang-orang yang sedang menyaksikan sabung ayam jago atau pertarungan antar orang-orang kuat yang dijagokan dengan menggunakan taruhan uang keping. Bahkan, sejak masuknya pendatang Cina, cara bertaruh itu makin menjadi-jadi.

Pertaruhan mulai berkembang mengarah pada permainan judi yang menggunakan sarana kartu, domino, dadu, dan sebagainya.

Bandar-bandar judi yang dikelola oleh orang-orang Cina itu makin meramaikan suasana kehidupan malam di kota Ponorogo pada masa itu.

Juga kebiasaan hidup jelek orang-orang Cina ikut menulari bangsa pribumi di Ponorogo, seperti madat, menghisap ganja, dan minum minuman arak yang memabukan. Dari kegiatan kota seperti itu semuanya, kemudian penguasa Kadipaten dapat memungut upeti.

Pajak judi, pajak permainan, pajak minuman keras, pajak ganja, pajak penghasilan rumah makan, pajak penginapan, pajak hiburan, dan rupa-rupa jenis upeti lain yang tiap hari dan malam mengalir ke kas daerah penguasa Kadipaten.

Kegiatan para pedagang Cina, misalnya seperti yang dilakukan oleh Koh Tiong pemilik rumah makan Kangkung Cah itu, yang ternyata juga memperkenalkan ilmu bela diri Cina, Kungfu yang dilatihkan secara terbatas kepada para pungggawa prajurit Kadipaten, barangkali tujuannya agar di antara mereka ada hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Para pedagang Cina itu butuh pertindungan politik, keamanan, dan perijinan untuk menjalankan roda usahanya di daerah Kadipaten Ponorogo.

Sedangkan, sebaliknya bagi para prajurit punggawa Kadipaten itu, juga membutuhkan ilmu bela diri untuk menunjang kariernya di bidang keprajuritan dan juga tambahan penghasilan pribadi dari hasil kontribusi para pedagang Cina itu kepada mereka. Latihan bela diri Kungfu Cina itu terutama banyak diikuti oleh para anak buah Warok Sawung Guntur, sejak perguruan bela diri itu ditutup untuk umum ketika pendekar Cina Koh Tiong selesai adu tanding dengan Warok Wulunggeni tempo hari itu. Di samping mereka telah menguasai ilmu kanuragan tradisional khas Ponorogo, mereka mendapatkan tambahan ilmu bela diri dari Cina itu.

Oleh karena itu, dengan mudah mereka telah terjalin hubungan yang erat antara orang-orang Cina itu dengan Warok Sawung Guntur bersama anak buahnya.

Para pedagang Cina itu hanya berani tinggal di kota Kadipaten Ponorogo, kerena mendapatkan perlindungan keamanan dari Warok Sawung Guntur itu.

Hampir dapat dikatakan tidak ada satu pun orang Cina yang berani tinggal di kota kecil di luar kota Kadipaten, sebab sudah jelas mereka akan menjadi sasaran perampokan para Begal yang menyukai orang-orang asing kaya bagi tujuan operasi mereka. Orang-orang Cina yang berdagang di Ponorogo itu umumnya mempunyai jaringan operasi dagang dengan sesama orang Cina antar daerah.

Terutama dengan mereka yang tinggal di pusat pemerintahan kerajaan Majapahit di Trowuian.

Hal demikian ini, sehingga mereka dapat bergerak secara leluasa karena kebijaksanaan pemerintahan Prabu Brawijaya menerapkan sistem perdagangan bebas.

Banyak pedagang dari Tiongkok dapat langsung mengadakan hubungan dagang dengan orangorang pribumi maupun dengan pemerintahan kerajaan Majapahit.

Suasana yang serba memungkinkan tersebut telah membuat makin banyaknya barang-barang dari Cina beredar di pasaran.

Di daerah Ponorogo, pedagang-pedagang Cina itu umumnya menjual beraneka rupa pakaian, bahan-bahan kain, bahan dupa, kertas, lilin, rokok, arak kemenyan,garam, dan mercon.

Sedangkan mereka membeli hasil buruh dari penduduk setempat, terutama bahan bahan pengobatan seperti sirih, temu lawak, jahe, kunyit, daun-daunan lainnya lagi, tembakau, gula, dan sebagainya untuk dibawa pulang ke negeri leluhurnya, daratan Tiongkok sana .

Para pedagang Cina itu juga memperkenalkan berbagai ilmu Cina kuno kepada masyarakat Ponorogo misalnya soal ilmu ketabiban, juga yang amat beken adalah ilmu cara meramal nasib, ilmu peramalan, ilmu tata letak bangunan yang disebutnya hongsui', ilmu perbintangan, ilmu sulap, ilmu perhitungan tahun misalnya tahun babi, tahun monyet, tahun macan, dan segala rupa.

Rupanya segala sajian ilmu-ilmu aneh dari Cina itu ditanggapi dingin oleh masyarakat Ponorogo.

Hanya beberapa orang yang dapat dihitung jari berminat mau mempelajarinya.

Selebihnya banyak yang lebih menyukai menggunakan ilmu-ilmu yang digali dari daerah asli mereka masing-masing yang kaya di daerah Ponorogo.

Mereka menganggap, Ponorogo gudangnya ilmu-ilmu gaib dan segala rupanya itu.

Dan ilmu Cina yang mengandung kekuatan-kekuatan gaib yang mencoba di masyarakatkan di Ponorogo, tidak mendapatkan pasaran.

Mereka kebanyakan masih lebih percaya kepada ilmu-ilmu yang tumbuh berkembang dan berasal dari Ponorogo asli daripada mempercayai ilmu-ilmu yang datang dari luar itu. Terkecuali Warok Wulunggeni, satu-satunya orang Ponorogo yang bisa menghargai dan mau mempelajari segala rupa ilmu yang datangnya dari mana saja itu.

Babah Kongjie adalah nama orang Cina yang paling beken mengembangkan usaha dagang rokok dan tembakau di daerah Ponorogo.

Ia banyak berhubungan dagang dengan para pedagang pribumi di kota Ponorogo itu .Rumahnya yang terletak di pojok alun-alun kota Ponorogo itu, siang-malam senantiasa kedatangan tamutamunya untuk berhubungan dagang dengannya.

Daerah itu kemudian dinamakan Pecinan, lantaran makin hari makin banyak orang Cina pendatang yang berdiam di daerah tersebut. Babah Kongjie juga banyak mempekerjakan para jagojago kepruk pribumi yang biasanya sangat loyal mengamankan kepentingan kaum Cina dari gangguan para perusuh pribumi yang merasa iri atas makin majunya penguasaan pasar orang-orang Cina itu, sehingga menggeser peranan para pedagang pribumi yang sebelumnya telah mencuat namanya.

Warok Ponorogo 1 Wasiat Mahkota Wengker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian juga para jago kepruk itu berfungsi juga sebagai tukang tagih.

Orang-orang Cina mempunyai kebiasaan untuk meminjamkan uangnya kepada pedagang-pedagang pribumi dengan bunga rente yang tinggi.

Oleh karena itu waktu itu sangat dikenal sebutan "Cina Mendring", adalah para tengkulak Cina yang merangkap menjadi renternir.

Namun tidak sedikit yang kemudian di antara mereka membentuk kongsi dagang bersama para pedagang pribumi.

Dari situasi makin mendominasinya perdagangan barang-barang Cina ini yang kemudian memunculkan banyak begal-begal yang tujuannya adalah untuk memboikot tersebarnya barang-barang Cina itu di kota-kota kecil Ponorogo.

Maka sejak saat itu daerah Ponorogo juga diramaikan oleh banyaknya gangguan keamanan.

Begal-begal yang sewaktu-waktu siap menghadang di jalan bagi para pedagang yang dicurigai memperdagangkan barang-barang dari Cina itu .Tidak jarang para begal itu ada yang berasal dari para pemuda baik-baik yang lantaran kecintaannya kepada rasa kepribumiannya mereka melancarkan operasi pembegalan kepada para pedagang pribumi yang memperdagangkan barang-barang Cina ke daerah-daerah.

Namun kemudian, banyak juga yang mulai ngawur, tidak saja mempunyai sasaran kepada barang-barang Cina tetapi barang apa saja yang dibawa pedagang dibegalnya. Keadaan ini yang kemudian telah memancing perhatian para warok yang tidak bisa menerima perlakuan para bekal yang main hantam kromo ini.

Kalau saja mereka mempunyai sasaran hanya terhadap barang-barang Cina, mereka nampaknya mendukungnya, tetapi ternyata banyak laporan yang sudah mengarah makin brutal.

Oleh karena itu akhirya, selain para petugas pengamanan dan Kadipaten turun tangan, para warok yang menjadi ompleng-omplengnya penduduk daerah setempat pun ikut terjun menanggulagi masalah gangguan ini.

Penguasa Kadipaten agaknya sangat memprioritaskan pengamanan hanya pada jalur utara.

Sebab, jalur utara ini yang langsung menghubungkan antara kota Ponorogo dengan kota Trowulan.

Berhubung ramainya lalu-lintas yang menggunakan jalur utara ini, maka para petugas pengamanan yang tangguh selalu disiagakan di sepanjang perjalanan jalur utara ini.

Banyak berdiri gardu-gardu penjagaan.

Patroli jalan yang dilakukan oleh prajurit pilihan, mengawasi di sepanjang jalan yang menuju kota Ponorogo dari arah kota Trowulan.

Oleh karena itu para pedagang, para utusan dari Majapahit yang akan berkunjung ke kota Ponorogo mempunyai kesan sangat aman untuk datang ke kota Ponorogo.

Lain halnya, untuk pengamanan daerah selatan, timur, dan barat, penguasa Kadipaten hanya mengandalkan kepada kemampuan para warok yang loyal kepada pemerintah Kadipaten' yang kemudian diangkat sebagai kepala pengamanan daerah setempat.

Kalaupun ada patroli keamanan keliling yang diadakan oleh para prajurit Kadipaten, biasanya terdiri dari rombongan pengawalan dalam jumlah besar, dan hal itu jarang terjadi.

Hanya kadang-kadang, memang ada barisan penjaga keamanan keliling yang dipimpin langsung oleh seorang Senopati Kadipaten untuk memeriksa pengamanan tiap daerah.

Tetapi tidak terjadi tiap hari. Hanya pada daerah daerah yang dilaporkan adanya kejahatan, baru diturunkan seorang Senopati beserta prajuritnya untuk membantu pengamanan daerah bersangkutan.

Rombongan Senopati Kadipaten itu dalam menjalankan operasinya biasanya mengadakan koordinasi terlebih dahulu dengan Warok setempat yang bertugas sebagai kepala pengamanan daerah bersangkutan itu.

Warok Sawung Guntur sebagai orang yang dijagokan oleh Penguasa Kadipaten dalam menanggulangi setiap kemelut keamanan yang terjadi di daerah.

Namun oleh Kanjeng Adipati, Warok Sawung Guntur justeru diberi tugas yang tidak berhubungan dengan warok warok lainnya.

Ia mendapat tugas khusus untuk mengamankan daerah jalur utara yang membawahi prajurit prajurit pengawalan andalan yang dilatih khusus untuk keperluan itu.

Sawung Guntur sebagai warok justeru tidak diberi tugas untuk membawai daerah-daerah selatan, timur dan barat, dimana di tiap daerah telah diangkat kepala pengamanan daerah diambilkan dari sosok seorang warok yang disegani di masing-masing daerah di situ.

Pengaturan ini dilakukan oleh Kanjeng Adipati dengan pemahaman bahwa bagi seorang warok sejati, ia tidak mau diperintah atau dibawahi oleh warok lainnya.

Harga dirinya akan bangkit bila diungkit-ungkit soal bawahan atasan oleh sesama warok itu.

Oleh karena itu, atas pemahaman ini Kanjeng Adipati cukup mengerti perangai para warok itu yang tidak bisa diatur oleh sesama warok, maka dalam koordinasi warok-warok di daerah itu langsung diasuh oleh Patih Brojosento, sedangkan usulan pengangkatan seorang warok menjadi kepala pengamanan daerah serta pengawasan operasionalnya biasanya ditugaskan kepada senopati-senopatinya.

Selain itu, tugas bagi para senopati juga dipersiapkan untuk memberikan tenaga perbantuan apabila misalnya di suatu daerah terjadi kerawanan yang memerlukan bantuan kekuatan tambahan. Meskipun Kanjeng Adipati telah bekerja dengan baik dan telah mempertimbangkan segala sesuatunya dari berbagai seginya, terutama dalam hal soal pengaturan pengamanan daerah Ponorogo ini, namun di beberapa daerah, masih juga selalu terdengar berita mengenai terjadinya kekacawan-kekacawan yang tidak ayal juga sering melibatkan adanya bentrokan antar para warok di daerah bersangkutan.

BERSAMBUNG


******






Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata

Cari Blog Ini