Ceritasilat Novel Online

Rase Terbang Pegunungan Salju 2


Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Bagian 2




   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya dari Chin Yung

   
Biarpun di musim panas, bukit itu tampaknya hampir tak dapat dipanjat, apa lagi di musim dingin itu, sedang salju beku seluruh bagian bukit tersebut.

   Siapa berani coba mendaki, pasti akan terpeleset dan jatuh dengan badan hancur.

   Sementara itu angin pegunungan masih juga meniup dengan menerbitkan bunyi-bunyian gemerisik di antara daun-daun dan tangkai-tangkai pohon.

   Mereka menggigil, kesatu karena dinginnya dan kedua karena merasa seram.

   Biarpun mereka semua sudah kenyang berkelana dan sudah pula mengalami aneka ragam bahaya besar, tetapi suasana ili bawah puncak gunung itu tak dapat tidak menerbitkan rasa seram di hati mereka.

   Sedang mereka berdiri bengong, si hweeshio sudah mengeluarkan sebuah bumbung untuk melepaskan panah api (serupa mercon areng yang waktu itu lazim dipergunakan sebagai pertandaan di Tiongkok).

   Sesaat kemudian, setelah dinyalakan, panah api itu meluncur ke atas dan mengeluarkan asap kehijau-hijauan yang lama setelah itu baru buyar.

   Rombongan orang yang mengikutinya menjadi heran melihat panah api itu dapat naik begitu tinggi dan mengeluarkan asap yang tidak segera menjadi buyar tertiup angin yang saat itu agak santar juga./ Mereka semua mendongak untuk melihat panah api itu mempunyai makna apa.

   Tak lama kemudian mereka melihat di puncak, jauh di atas, telah muncul suatu titik hitam, yang segera sudah meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa.

   Setelah titik hitam itu mencapai tengah lereng, semua orang itu lantas melihat, bahwa titik itu sebenarnya adalah sebuah keranjang bambu yang diikatkan pada ujung seutas tambang bambu yang kuat.

   Mengertilah mereka sudah bahwa keranjang itu telah diturunkan untuk menyambut tamu.

   Setelah keranjang tersebut turun sampai di depan mereka, hweeshio itu berkata.

   "Keranjang ini dapat memuat tiga orang, maka silakan dua tamu wanita ini naik dahulu serta seorang tamu laki- laki."

   Tanpa ragu-ragu Tian Ceng Bun maju dan The Sam Nio dipayangnya masuk ke dalam keranjang. Sambil melakukan ini ia menimbang-nimbang siapa yang akan dimintanya menyertai mereka naik lebih dulu. Pikirnya.

   "Jika aku tidak mengajak Hun Ki atau Cu An turut naik, tentu Hun Ki akan mencari gara-gara lagi dan mereka akan bertempur. Jika Cu An yang kupinta naik bersama-sama, susiok tentu akan merasa kurang senang."

   Maka akhirnya ia memutuskan untuk mengajak Co Hun Ki saja.

   "suheng, mari ikut naik lebih dulu,"

   Katanya.

   Co Hun Ki tidak pernah menduga, bahwa sumoaynya akan minta ia menyertai mereka Sesaat ia seakan-akan kesima, tetapi segera mukanya sudah berubah menjadi berseri-seri dan dengan bangga serta agak mengejek ia memandang Cu An, saingannya Dengan langkah lebar ia menghampiri keranjang tersebut dan masuk ke dalamnya.

   Ia duduk di samping Tian Ceng Bun, segera setelah itu ia menggoyangkan tambang pengerek alat pengangkutan istimewa ini.

   Sesaat kemudian sudah terasa, bahwa keranjang itu sudah mulai dikerek ke atas, menuju ke puncak.

   Ketiga orang itu segera sudah mendapat suatu perasaan tidak enak.

   Setiap goncangan dirasakan mereka sebagai juga saban saat mereka akan jatuh.

   Hati mereka dirasakan ngeri dan telapak kaki mereka berasa kesemutan dan agak geli.

   Ketika mereka sudah mencapai tinggi setengah lereng, Tian Ceng Bun coba melongok ke bawah dan ia menjadi tercengang sekali.

   Ternyata orang-orang yang masih ketinggalan di bawah itu tinggal kelihatan seakan-akan boneka- boneka yang belum satu kaki tingginya.

   Dipandang dari jauh puncak itu kelihatannya tidak terlalu tinggi, tetapi pada saat itu ia mengerti bahwa sebenar-benarnya bukit itu tinggi sekali, bahkan mungkin sampai ribuan kaki.

   Karena melongok barusan, Tian Ceng Bun merasakan sebagai juga ia akan jatuh setiap saat dan kepalanya menjadi pusing.

   Maka setelah itu ia tidak berani melongok lagi dan berduduk diam saja di dalam keranjang.

   Akhirnya tibalah mereka di atas puncak.

   Co Hun Ki mendahului keluar dari keranjang itu kemudian ia membantu Ceng Bun memayang The Sam Nio.

   Ketika kemudian mereka memandang ke sekeliling mereka, tahulah mereka bagaimana keranjang itu telah dikerek tadi.

   Ternyata di dekat mereka itu terdapat sebuah roda kerekan yang sangat besar dan sepuluh laki-laki tegap kekar melayani alat tersebut.

   Sementara itu keranjang tersebut sudah diturunkan pula.

   Dengan cara ini tak lama kemudian semua orang-orang itu berikut si hweeshio sudah tiba di atas puncak.

   Sedang tadi, ketika Co Hun Ki bertiga tiba di situ, dua laki-laki berbaju kelabu yang agaknya menjadi pemimpin sepuluh pekerja itu, bersikap acuh tak acuh, kini setibanya hweeshio tua itu mereka segera maju sambil menjura dalam-dalam.

   "Maaf, meski belum mendapat ijin tuan rumah, loolap telah lancang mengundang beberapa tamu lain kemari, harap supaya diteruskan kepadanya,"

   Kata si hweeshio./ "Semua sahabat Po Si Taysu tentu akan disambut dengan gembira oleh majikan kami,"

   Jawab salah seorang dari dua penyambut itu, yang setengah tua dan berleher panjang, sambil membongkok memberi hormat lagi.

   Semua orang yang telah turut naik itu, baru mengerti, bahwa sebutan si hweeshio adalah Po Si Taysu.

   Setelah mengucapkan kata-katanya barusan, laki-laki berleher panjang itu segera memberi hormat juga kepada sekalian tamu itu.

   "Berhubung dengan suatu hal yang penting, majikan kami harus pergi mendadak dan tak dapat menyambut sendiri Tuan-Tuan tamu sekalian, maka atas namanya aku kini mohon agar Tuan- Tuan suka memaafkannya"

   Sambil membalas pemberian hormat itu semua orang menjadi agak heran.

   Penyambut ini hanya mengenakan sepotong baju tipis, meskipun tinggal di puncak bersalju yang terpencil dan sangat dinginnya Agaknya ia tidak merasa kedinginan, maka tahulah mereka, bahwa orang itu tentu mempunyai Iweekang yang sangat tinggi.

   Melihat kenyataan ini mereka jadi mengerti bahwa tuan rumah yang menjadi majikan orang itu, tentu memiliki kepandaian yang sudah sangat sukar diukur lagi.

   "Majikanmu tidak di rumah? Dalam saat begini ia masih juga keluar?'"

   Tanya Po Si dengan nada heran dan kecewa.

   "Sudah sejak tujuh hari majikan pergi ke Leng Ko Tha."

   "Leng Ko Tha?"

   Tanya Po Si pula.

   "Untuk apa?"

   Pegawai itu kelihatan agak ragu-ragu, ia tidak lantas menjawab dan melirik ke arah Whi Su Tiong dan kawan-kawannya.

   "Katakan saja, jangan kuatir,"

   Kata Po Si.

   "Yah, menurut majikan, musuh yang akan datang itu terlalu lihay, mungkin sekali ia sendiri tak akan bisa menandinginya, maka ia ingin sekali mohon bantuan 'Kim Bian Hud',"

   Terdengar penjelasan pegawai itu. Mendengar nama 'Kim Bian Hud' di sebut, orang-orang Thian Liong Bun.

   "To Si Hu Cu"

   Dan Him Goan Hian serta kawan-kawan terperanjat semua.

   Mereka mengetahui, bahwa 'Kim Bian Hud' (Buddha Bermuka Emas) itu adalah seorang "Bulim Cianpwee" (Angkatan Tua dari Kalangan Jago- jago Silat) dan juga bahwa kalangan Kang Ouw seling menyebutkan ia sebagai "Ta Pian Thian Hee Bu Tek Ciu" (Menjelayah Seluruh Dunia Tanpa Menemukan Tandingan) selama dua puluh tahun terakhir itu.

   Karena julukan yang kedengarannya temberang ini, entah berapa banyak lawan tangguh yang telah sengaja datang untuk mencoba-coba kepandaiannya Tetapi kepandaiannya memang sudah sempurna benar-benar.

   Sampai pada saat itu, tidak perduli dari partai atau golongan apa saja, belum ada yang terluput daripada kekalahan jika berani coba-coba menguji kepandaiannya.

   Sudah sepuluh tahun 'Kim Bian Hud' hidup menyendiri dengan sembunyi dan selama itu tidak pernah terdengar berita-berita tentang dirinya, bahkan ada yang mengatakan, bahwa ia telah meninggal, tetapi benar tidaknya berita itu tak ada yang dapat memastikannya.

   Maka tidak mengherankan, jika orang-orang itu menyangsikan ucapan si pelayan.

   Di samping sangsi, mereka juga terkejut bukan main dan nyali mereka menjadi ciut seketika itu juga Semua orang mengetahui bahwa 'Kim Bian Hud sudah terlalu tangguh untuk dilawan, selain itu mereka pun sudah tahu, bahwa ia itu sangat membenci kejahatan, meskipun yang kecil juga Siapa saja yang melakukan sesuatu yang tidak pantas, asal berita tentang perbuatannya sampai di telinga 'Kim Bian Hud', yang berbuat itu tidak akan terhindar dari bencana.

   Masih terbilang beruntung, jika penyeleweng itu hanya dipatahkan sebelah tangannya atau kakinya./ Justeru semua orang yang mengikut Po Si naik ke puncak itu, sedikit maupun banyak, telah berbuat dosa.

   Karena semua itu, mereka menganggap 'Kim Bian Hud' sebagai malaikat elmaut saja dan hati mereka berdebar-debar keras.

   Sebaliknya, Po Si bersenyum demi mendengar cerita pelayan itu.

   "Majikanmu berhati-hatinya agak berlebih-lebihan saja. Berapa lihaynya "Soat San Hui Ho" (Rase Terbang di Gunung Salju) itu, sehingga ia menganggap perlu minta bantuan seorang jago yang tiada bandingannya?"

   "Memang sebenarnya, dengan adanya Taysu membantu kami, kami sudah pasti berada di fihak yang lebih unggul, tetapi mengingat betapa lihaynya dan cerdiknya si Rase Terbang itu, menurut majikan tiada jeleknya, jika kita tambah seorang pembantu lagi,"

   Jawab si pegawai.

   Setelah ini ia menghantarkan tamu-tamu itu ke sebuah gedung yang besar dan di kiri-kanannya terdapat paviljun terdiri dari lima kamar berderet-deret.

   Genteng maupun seluruh halaman rumah itu, tertutup salju, memberikan pemandangan yang khas.

   Mereka semua dibawanya ke sebuah ruangan duduk yang luas (thia), yang dihiasi sepasang tui lian (syair berpasangan) ukiran di atas papan.

   Arti tui lian itu lebih-kurang sebagai berikut, Bila menghadapi bahaya maut, berjuang dengan pedang yang panjangnya tiga kaki.

   Ribuan tahil emas didatangkan dengan hanya sekali membentak.

   Nada maupun gaya tulisan syair itu dengan jelas sekali membawakan sifat-sifat gagah seorang pendekar.

   Di muka syair tersebut, dengan huruf-huruf yang lebih kecil, telah diukirkan juga kata- kata.

   "Untuk mengabadikan Sat Kauw Jin Heng". Di belakang kata terakhir syair tersebut terdapat huruf-huruf.

   "Corat-coret Ta Pian Thian Hee Bu Tek Ciu 'Kim Bian Hud'"

   Di waktu mabuk.

   Semua huruf-huruf itu diukirkan dengan tandas dan agak kasar, terang sekali dikerjakan dengan sebilah pedang atau golok.

   Seluruh rombongan tamu-tamu itu sangat tercengang membaca sepasang syair itu.

   Mereka tak mengerti, mengapa tuan rumah itu disebut "Sat Kauw Jin Heng" (Saudara yang Berbudi, si Jagal Anjing) dan mengapa 'Kim Bian Hud' berani berlaku begitu kurang ajar.

   Dengan masih tetap diliputi keheranan tamu-tamu itu kemudian disilakan duduk dan minum teh dengan dilayani kedua pegawai tadi.

   Agaknya Po Si Taysu kurang senang terhadap tulisan 'Kim Bian Hud' itu dan sesaat kemudian ia berkata.

   "Tui Lian itu memang sesuai dengan kedudukan majikanmu, tetapi dengan embel-embel tambahan gelarnya itu, 'Kim Bian Hud' agaknya terlalu temberang dan hendak menonjolkan diri di atas tuan rumah."

   "Taysu keliru, majikanku sangat menghormati dan mengagumi 'Kim Bian Hud' dan ia justeru merasa sayang, bahwa karena sempitnya papan itu, tak dapat ditambahkan lagi empat huruf.

   "Sedari dulu sehingga sekarang"

   Di atas gelar 'Kim Bian Hud' itu."

   Mendengar penjelasan pegawai berleher panjang ini, agaknya Po Si Taysu bahkan semakin penasaran dan dengan nada mengejek ia berkata.

   "Jadi kalau lengkap seharusnya, 'Sedari dulu sehingga sekarang menjelayah seluruh dunia tanpa menemukan tandingan'. Di negeri sang Buddha (India) kebetulan terdapat seorang iblis dari agama liar yang menyebutkan dirinya, 'Di atas langit maupun di bumi, akulah rajanya'. Ia dan 'Kim Bian Hud' benar-benar merupakan pasangan yang setimpal."

   Ucapan Po Si yang mengandung sindiran ini sangat menggelikan Co Hun Ki yang lantas saja tertawa terbahak-bahak. Melihat kelakuannya, ini, kawan si leher panjang menjadi kurang senang. Dengan mata melotot ia memandang Co Hun Ki.

   "Harap tuan tamu ini suka berlaku lebih sopan sedikit!"

   Katanya dengan suara gusar. 'Apa?"

   Tanya Hun Ki yang menjadi bingung karena teguran itu./ "Mungkin tuan sendiri yang akan rugi, jika 'Kim Bian Hud mengetahui, bahwa tuan telah mentertawakan dirinya,"

   Kata kawan si leher panjang lagi. Kata-kata ini bukannya membikin Hun Ki takut dan mundur teratur, sebaliknya ia bahkan menjadi semakin kepala batu.

   "Ilmu silat belum pernah ada batasnya, di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih pandai lagi. Meski bagaimana 'Kim Bian Hud' juga hanya seorang manusia yang jadinya dan darah dan daging, maka biarpun ia masih sepuluh kali lebih pandai lagi, tak dapat ia disebut tiada tandingannya,"

   Bantahnya Si pegawai masih tetap pada pendiriannya, katanya.

   "Mungkin aku yang rendah dan berpengetahuan sempit memang keliru, tetapi jika majikanku mengatakan demikian tentunya sudah tidak salah lagi."

   Walaupun kata-katanya selalu merendah dan menghormat, tetapi dari sikapnya sudah ternyata bahwa ia tidak menghormati Hun Ki. Tentu saja pemuda yang aseran ini menjadi mendongkol dan di dalam hatinya ia berkata.

   "Jelek-jelek aku juga seorang Ketua partai yang kenamaan, tak mungkin aku manda dikurangajari seorang hamba yang rendah."

   Dalam penasarannya ia berkata pula.

   "Kalau begitu, di dunia ini, kecuali 'Kim Bian Hud', majikanmu sudah tiada tandingannya juga."

   "Mana berani kami mengatakan demikian,"

   Jawab si pegawai sambil menepuk sandaran kursi Hun Ki dengan perlahan.

   Meski tepukan itu perlahan, Hun Ki merasakan kursinya tergoncang dan seketika itu tubuhnya terpental ke atas.

   Pada saat itu Hun Ki justeru sedang memegang secangkir air teh, karena terpentalnya cangkir itu jadi terlepas.

   Agaknya cangkir itu akan segera jatuh hancur di lantai, tetapi dengan gerakan secepat kilat, pegawai itu masih keburu menangkapnya disaat cangkir tersebut hampir menyentuh lantai.

   Berbareng dengan gerakannya ini, mulutnya mengeluarkan kata-kata.

   "Harap tuan tamu berhati-hati."

   Karena malu dan gusarnya, muka Hun Ki segera berubah menjadi merah padam dan tanpa memperdulikan sindiran pegawai itu ia berpaling ke jurusan lain, sedang si pegawai dengan tenang meletakkan cangkir itu di atas meja.

   Po Si Taysu bersikap seakan-akan ia tidak melihat apa yang telah terjadi di depan matanya itu.

   Ia melanjutkan percakapannya dengan si leher panjang dan bertanya.

   "Kecuali tiga saudara seperguruannya, 'Kim Bian Hud' dan loolap, majikanmu minta bantuan siapa lagi?"

   "Sebelum berangkat, majikan telah berpesan, bahwa Hian Bengcu dari Ceng Cong Pay, Leng Ceng Ki Su dari Kun Lun San dan Chio lookunsu dari Hoo Lam Thay Kek Bun akan datang dalam berapa hari ini dan kami di sini harus menyambut mereka dengan baik. Sekarang ternyata bahwa Taysu telah datang paling dahulu, yang menandakan betapa besar setia-kawan Taysu. Majikan pasti akan sangat berterima-kasih karenanya"

   Po Si agak kecewa mendengar penjelasan si leher panjang ini.

   Tadinya ia mengira, bahwa dengan kedatangannya, segala urusan betapa sulit juga akan dapat diselesaikan.

   Sama sekali ia tidak menduga, bahwa tuan rumah akan mengundang juga sekian banyak tokoh-tokoh kenamaan, yang meskipun tidak semuanya telah bertemu dengan ia nama-namanya telah dikenalnya semua.

   Agaknya tuan rumah itu kurang percaya akan kesanggupannya, ditambah pula dengan kenyataan, bahwa kedatangannya tidak disambut sendiri oleh si tuan rumah atau salah seorang saudara seperguruannya.

   Karena tidak ada yang ditinggalkan untuk menyambut, maka di dalam hatinya ia mengatakan, bahwa, jika tahu akan begini jadinya, ia lebih baik tidak datang saja.

   Jauh-jauh ia sudah memerlukan datang untuk membantu, tidak tahunya ia kini harus mengalami perlakuan yang kurang hormat ini.

   '"Kim Bian Hud' bersahabat rapat dengan majikanmu.

   Untuk mengundangnya, sudah cukup jika ia pergi sendiri saja, mengapa Ma dan Li dua saudara seperguruannya harus ikut juga?"

   Tanyanya lebih lanjut./ "Bukan begitu, Taysu, kedua Tuan Ma dan Li itu justeru pergi ke Pakkhia untuk menyambut Hoan Pangcu dari Hin Han Kay Pang."

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hoan Pangcu juga diundang?"

   Tanya Po Si yang menjadi agak terkejut, mendengar disebutkannya nama itu.

   "Sebenarnya, berapa banyak kawan-kawan si Rase Terbang yang akan datang menyateroni?"

   "Kabarnya ia hanya seorang diri, tidak berkawan."

   Tanya-jawab itu telah menarik perhatian Whi Su Tiong, In Kiat, To Pek Swee dan yang lain-lain.

   Pengalaman mereka sudah cukup banyak.

   Mengingat, bagaimana tuan rumah itu mengumpulkan begitu banyak tokoh-tokoh ternama, sedang si Rase Terbang hanya seorang diri saja, mereka jadi beranggapan, bahwa tuan rumah itu sengaja hendak mengadakan keramaian, atau mungkin juga mempunyai maksud lain lagi.

   Betapa lihay juga lawan itu, umpama Hian Bengcu dan Leng Ceng Ki Su berdua masih belum dapat menandinginya, jika mendapat bantuan tenaga seorang lagi saja, tentu sudah akan cukup untuk menjatuhkan lawan itu.

   Mengapa tuan rumah itu sampai harus mengundang 'Kim Bian Hud' dan Hoan Pangcu? Bukankah itu agak terlalu berlebih-lebihan saja? Berbeda dengan mereka semua, Lauw Goan Ho menjadi terkejut, ketika mendengar disebutkannya nama Hoan Pangcu.

   Kay Pang (Partai Pengemis) selalu memusuhi pemerintah Boan dan sebulan sebelumnya Kaisar Kian Liong telah memerintahkan delapan belas jago-jago utama dari keraton menangkap pemimpin pengemis itu.

   Akhirnya dengan suatu tipu muslihat yang licin, Hoan Pangcu itu telah dapat ditangkap dan dijebeluskan ke dalam penjara.

   Lauw Goan Ho adalah salah seorang dari delapan belas jago keraton itu.

   Karena peristiwa itu sangat dirahasiakan, maka orang luar hampir tiada yang mengetahuinya Pikir Lauw Goan Ho.

   "Mengapa orang she Li dan orang she Ma itu tidak langsung menuju ke markas Partai Pengemis di Taytong, di propinsi Shoasay? Mereka justeru pergi ke Pakkhia (Peking). Mungkinkah mereka sudah mengetahui ditangkapnya? Tetapi, jika sudah tahu, mengapa mereka masih mau mengundangnya lagi untuk turut membantu menghadapi si Rase Terbang?"

   Sementara berpikir begitu, mukanya lantas saja turut berubah. Po Si Taysu melihat perubahan mukanya itu dan lantas menegurnya, 'Apakah Lauw Tayjin mengenal orang itu?"

   "Tidak, boanseng (yang muda) hanya pernah mendengar nama Hoan Pangcu yang terkenal sebagai jago terkemuka di daerah utara dan pernah memukul mati seekor harimau dengan tangannya"

   Agaknya Po Si Taysu kurang percaya kepada keterangan berpura-pura itu, tetapi ia hanya bersenyum sedikit dan selanjutnya tidak mengguberis lagi orang she Lauw itu, sebaliknya ia berpaling kepada si pegawai berleher panjang dan menanya lagi.

   "Bagaimanakah si Rase Terbang itu dan apakah sebenarnya yang menjadi sebab permusuhannya dengan majikanmu?"

   "Hamba tidak tahu. Majikan tidak pernah menceritakannya dan hamba tidak berani menanya."

   Sementara itu pelayan-pelayan sebawahan si leher panjang telah menyediakan makanan dan arak.

   Meski tempat itu berada di puncak gunung yang begitu sukar dicapai, tetapi ternyata mereka dapat menyediakan makanan yang enak dan arak yang baik untuk para tamu itu, yang sama sekali tidak menduga akan dapat menikmati hidangan sedemikian.

   "Karena merasa berterima kasih kepada Tuan-Tuan yang sudah memerlukan datang berkunjung, maka nyonya telah menyuruh kami mempersilakan Tuan-Tuan minum berapa cawan lebih banyak,"

   Ujar si leher panjang Walaupun berada di sekitar meja perjamuan, tetapi Co Hun Ki dan To Cu An masih saja saling memandang dengan mata membelalak dan Ciu Hun Jang maupun Him Goan Hian juga masih saling memandang sambil menggosok-gosok kepalan.

   To Pek Swee yang duduk berhadapan dengan The Sam Nio pun ingin sekali melabrak nyonya itu dan sebaliknya si nyonya pun memandangnya dengan mata melotot./ Dari antara tamu-tamu itu hanya Po Si Taysu yang terus berbicara dan tertawa-tawa, sambil terus pula makan minum sepuas-puasnya.

   Agaknya ia tidak pantang makan daging, meskipun ia seorang hweeshio.

   Tak lama kemudian datanglah seorang pelayan yang menyuguhkan manthauw (semacam bakpauw tetapi tidak ada isinya) yang masih panas.

   Karena memang sudah merasa lapar sedari tadinya, maka semua tamu-tamu itu menyambutnya dengan gembira.

   Ketika mereka mengulurkan tangan hendak mengambil makanan itu, mendadak terdengar bunyi seakan-akan peluit bercampur dengan bunyi mendesis dan segera terlihat sebatang panah api membubung tinggi di angkasa.

   Di antara asapnya yang tertinggal di belakangnya, sama-sama dapat dilihat sesuatu yang seakan-akan melukiskan seekor rase terbang.

   "Soat San Hui Ho!"

   Teriak Po Si Taysu sambil melonjak bangun demi melihat lukisan di antara asap tadi. Mendengar teriakan ini yang lain-lain semua menjadi pucat. Dalam pada itu si leher panjang segera menghampiri hweeshio itu dan sambil memberi hormat ia berkata.

   "Majikan belum pulang, sebaliknya musuh sudah datang, maka terpaksa harus Taysu yang memegang pimpinan di sini, harap Taysu jangan menolak."

   "Jangan takut, ada aku di sini, biarlah ia naik kemari,"

   Jawab Po Si tanpa berpikir. Agaknya si leher panjang masih ragu-ragu. Sesaat kemudian, sambil menjura lagi, ia berkata.

   "Ada sesuatu yang hamba tak berani mengutarakannya kepada Taysu."

   Dengan suara lantang Po Si menjawab.

   "Katakan saja!"

   "Karena curamnya lereng puncak ini, si Rase tak akan mampu naik kemari. Maka harap Taysu suka turun ke bawah dan memberitahukan kepadanya, bahwa majikan belum pulang."

   "Kerek saja ia naik kemari. Hiar aku yang menghadapinya."

   "Justeru yang hamba kuatirkan adalah jika ia naik kemari, sehingga nyonya majikan akan menjadi terkejut karenanya. Jika sampai kejadian demikian hamba tak ada muka lagi untuk berjumpa dengan majikan."

   Sikap ragu-ragu si pegawai ini tentu saja membangkitkan kemendongkolan Po Si. Ia mendapat kesan bahwa kesanggupannya disangsikan orang dan perasaannya jadi tersinggung.

   "Kau kuatir, jika aku akan tak sanggup melayani si Rase Terbang?"

   Tanyanya "Mana hamba berani."

   Sambil mengucapkan kata-kata ini si leher panjang memberi hormat sekali lagi "Nah, maka biarkan dia datang kemari."

   Karena terpaksa, maka si leher panjang menurut, tetapi secara diam-diam ia memberi kisikan kepada kawannya.

   Mungkin ia berpesan agar dilakukan sesuatu untuk melindungi nyonya majikan mereka.

   Melihat kelakuan orang itu, Po Si bersenyum dingin tetapi ia tinggal diam saja Sesaat kemudian ia memerintahkan agar meja perjamuan tersebut disingkirkan dan para tamu itu diaturnya duduk di sepanjang dinding ruangan tersebut.

   Tak lama kemudian sebelum mereka selesai minum terdengar teriakan seseorang melaporkan.

   "Tamu sudah datang!"

   Dan berbareng dengan itu, kedua belah daun pintu depan segera terpentang.

   Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, berhenti minum dan memandang keluar, segera juga mereka jadi kecewa, karena yang masuk hanya dua anak tanggung yang berjalan berjajar.

   Kedua kacung itu sama tingginya, usia mereka lebih-kurang dua belas atau tiga belas tahun.

   Kedua-duanya mengenakan pakaian dari kulit tiauw yang putih.

   Dua kuncir kecil yang diikat dengan pita merah berdiri tegak di atas kepala mereka dan di punggung masing-masing terdapat sebatang pedang./ Dua-dua, mereka beroman sangat cakap dan alis maupun mata mereka seakan-akan lukisan saja.

   Selain segala itu, wajah mereka seakan-akan pinang dibelah dua saja, sedikitpun tiada perbedaannya.

   Hanya, jika yang di sebelah kanan menggendong pedangnya agak ke kanan sedikit, sebaliknya yang di sebelah kiri membawa pedangnya pada pundak kirinya, sedang tangannya menggenggam sebuah kotak.

   Pemandangan agak ganjil ini yang benar-benar di luar dugaan mereka semua, tak dapat tidak membangkitkan keheranan mereka.

   Ketika dua anak itu sudah datang cukup dekat, mereka melihat, bahwa di ujung kuncir masing-masing terdapat sebutir mutiara yang kecil tetapi putih- bersih dan berkeredep.

   Him Goan Hian adalah seorang PiauwThauw (Pemimpin) suatu piauw kiok ternama sedang To Pek Swee adalah orang yang telah kenyang makan asam garam dalam kalangan rimba hijau (perampok).

   Maka tak mengherankan, jika mereka lebih mengenal benda mustika daripada kawan-kawan mereka.

   Segera mereka mengetahui, bahwa dua butir mutiara di ujung kuncir dua kacung itu adalah barang yang sangat langkah dan hati mereka serentak tergoncang.

   "Dua butir mutiara itu saja sudah tak terkira harganya, ditambah pula dengan baju kulit tiauw mereka yang putih seluruhnya tanpa ada sedikit juga cacadnya, sungguh-sungguh bukan pakaian yang umum. Bahkan anak-anak orang kaya atau anak-anak orang berpangkat sekalipun belum tentu dapat berpakaian seperti mereka,"

   Pikir orang ini.

   Dalam pada itu, dua anak itu sudah segera menghampiri Po Si Taysu yang duduk di tengah dan memberi hormat kepadanya.

   Setelah selesai melakukan peradatan ini, si anak yang di sebelah kiri segera mengangsurkan kotaknya.

   Si leher panjang menggantikan tuan rumah menyambut kotak tersebut, untuk segera dibawa menghadap kepada Po Si.

   Setelah dibuka, ternyata kotak itu tidak berisi apa-apa lagi kecuali secarik surat yang artinya lebih-kurang sedemikian.

   "Boanseng, Ouw Hui yang akan menerima pengajaran sesuatu, menetapkan agar pertandingan di puncak yang bersalju ini diadakan tepat tengah hari ini. Tulisan surat itu sungguh bagus dan dari gayanya dapat dilihat, bahwa penulisnya sudah terlatih sekali menggunakan gaya lio (salah satu model tulisan Tionghoa). 'Ah, ternyata julukannya 'HUI HO"

   Adalah hanya kebalikan namanya "OUW HUI"

   Saja, (jika dieja dalam bahasa Kuo Yu),"

   Pikir Po Si setelah membaca tulisan itu. Kepada kedua kacung itu ia bertanya, 'Apakah majikanmu sudah datang?"

   "Majikan muda pasti akan datang tepat pada waktu yang dijanjikan, hanya karena kuatir, jika majikan rumah ini akan menunggu-nunggu terlalu lama, maka kami telah diperintahkan membawa kabar kemari,"

   Jawab si kacung yang di sebelah kanan dengan suaranya yang masih kekanak- kanakan. 'Apakah kamu saudara kembar?"

   Tanya Po Si pula. Agaknya ia tertarik pada kedua anak itu.

   "Benar,"

   Kata kacung itu dan ia segera memberi hormat pula untuk kemudian berbalik, berdua dengan saudaranya hendak meninggalkan ruangan itu. Tetapi sebelum mereka melangkah keluar, si leher panjang telah coba menahan mereka.

   "Saudara-saudara kecil, silahkan makan dulu berapa potong kuwe, kemudian baru berangkat,"

   Katanya dengan maksud baik.

   "Banyak-banyak terima kasih, toako, sebelum mendapat perkenan majikan, kami tak berani tinggal lama-lama di sini,"

   Jawab si bocah pula. Tian Ceng Bun juga sangat ketarik kepada dua bocah itu, ia meraup segenggaman buah- buahan dan mengangsurkannya kepada mereka.

   "Makanlah sedikit buah-buahan segar ini,"

   Katanya./ Sekali ini mereka tidak menolak, bocah yang di sebelah kiri menyambuti pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih dengan tertawa.

   Sebaliknya kejadian ini telah membangkitkan rasa kurang senang Co Hun Ki.

   Ia memang suka cemburu dan adatnya memang pemarah.

   Sikap mengasih yang diperlihatkan Tian Ceng Bun tadi, walaupun terhadap dua anak kecil, telah menyebabkan ia naik darah.

   Segera ia mencari gara- gara.

   Katanya.

   "Hm, anak sekecil itu menggendong-gendong pedang. Apakah kamu mengerti kiam sut (Ilmu silat dengan pedang)?"

   Mendengar kata-katanya yang mengejek, kedua kacung itu menjadi heran. Dengan sikap bingung mereka memandang Co Hun Ki. Kemudian dengan berbareng mereka menjawab.

   "Kami tidak bisa."

   "Kalau tidak bisa, mengapa berlagak membawa-bawa pedang! Tinggalkan pedangmu!"

   Bentak Co Hun Ki.

   Tanpa menunggu jawaban pula ia mengulurkan tangannya dan membetot dua pedang itu dari punggung bocah-bocah itu.

   Tindakan Hun Ki ini sangat cepat dan sama sekali tidak diduga.

   Maka sebelum dua anak itu mengetahui apa yang sedang tenadi, mata semua orang di sekitar situ telah disilaukan dua kelebatan sinar yang keluar dari pedang kedua bocah itu.

   Dua batang pedang itu telah berada di tangan Tio Hun Ki.

   Karena hasil yang sangat mudah ini.

   Hun Ki menjadi kegirangan dan tertawa-tawa.

   Berbareng dengan tertawanya ia mengoceh.

   "Haha. kamu hanya.."

   Tetapi sebelum ia dapat mengucapkan lebih daripada tiga kata ini, kedua anak itu telah melompat ke depannya dan segera mencekek leher Hun Ki, yang selalu berada di sebelah kiri menggunakan tangan kirinya, sedang saudaranya menggunakan tangan kanannya.

   Co Hun Ki sudah berdaya sedapat-dapatnya untuk meloloskan diri, tetapi sebelum ia menyadari apa yang akan diperbuat kedua bocah itu, kedua kakinya telah terangkat naik, disapu dari kiri-kanan oleh dua bocah itu dengan berbareng.

   Tubuhnya yang besar-berat segera terpelanting di lantai dengan menerbitkan bunyi yang nyaring juga.

   Gerakan Hun Ki merebut pedang itu sudah sangat cepat, tetapi robohnya dibanting ini terlebih cepat pula.

   Semua yang berada di situ jadi melongo dan sebelum keheranan mereka hilang, dua bocah itu sudah menubruk lagi untuk merebut kembali pedang mereka.

   Hun Ki tentu saja tak mau menyerah mentah-mentah.

   Tadi ia dapat dirobohkan dengan mudah saja, karena ia sama sekali belum bersiap-sedia.

   Tetapi setelah terpelanting ia segera menekankan tangannya pada lantai dan dengan cara itu ia meloncat bangun.

   Kedua tangannya yang masih belum mau melepaskan dua bilah pedang itu diacungkannya tegak ke atas agar dua anak itu tidak merebut kembali senjata-senjata itu.

   Sangkanya ia akan dapat mengingusi anak-anak itu dengan cara ini.

   Tetapi sesaat kemudian ternyata, bahwa ia kembali salah menghitung.

   Sekali lagi, entah bagaimana, kedua kacung itu lelah dapat mencekek lehernya ilan setelah tubuhnya ditarik serta kjkinya disapu dari kiri-kanan, sekali lagi ia terpelanting, bahkan sekali ini lebih keras daripada vang pertama.

   Ketika ia pertama kali dirobohkan, masih boleh dianggap, bahwa robohnya hanya karena belum bersiap-sedia, tetapi setelah dirobohkan untuk kedua kalinya, bahkan secara lebih cepat dan keras, tak dapat disangkal pula bahwa robohnya benar-benar karena serangan anak-anak itu yang sangat aneh dan cepat bagaikan kilat.

   Meski bagaimana, Co Hun Ki adalah Pemimpin Thian Liong Bun, di samping itu usianya masih muda dan tenaganya sedang kuat-kuatnya.

   Jika ia berdiri tegak dua-dua bocah itu tak akan lebih tinggi dadanya.

   Bahwa ia telah dirobohkan mereka sehingga dua kali berturut-turut, adalah suatu peristiwa yang sangat memalukan baginya, apa lagi terjadinya justeru di muka orang banyak.

   Mengingat segala ini, ia menjadi gusar dan memang sesuai dengan adatnya, napsu- membunuhnya segera berkobar.

   Sedang badannya masih menempel pada lantai, ia sudah menggerakkan pedang yang di tangan kirinya miring ke bawah sedang tangan kanannya/ mengayunkan pedang ke arah bocah-bocah itu.

   Nyata sekali, bahwa maksudnya adalah membunuh kedua anak itu yang sebenarnya tidak berdosa.

   Melihat serangannya ini, Tian Ceng Bun terperanjat sekali.

   Ia ini tahu bahwa dalam kalapnya, Co Hun Ki telah menggunakan salah satu serangan yang terlihay dari ilmu pedang Thian Liong Bun.

   Kiranya serangan "Ji Long Than Shoa" (Ji Long Memikul Gunung) ini sudah pasti tak akan dapat dihindarkan kedua anak itu.

   Karena menyangka demikian maka, terdorong rasa kasihan kepada anak-anak itu, ia berteriak.

   "suheng, janganlah berlaku kejam!"

   Ketika terdengar teriakan Tian Ceng Bun, Co Hun Ki sudah tak dapat menarik kembali serangannya.

   Meskipun biasanya ia suka menurut kata sumoaynya, tetapi sekali ini ia hanya dapat membelokkan arah serangannya, apalagi karena ia juga bermaksud memberikan sedikit tanda di dada kedua anak itu.

   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi di luar dugaan semua orang, bocah yang berada di sebelah kiri itu sudah menyelusup ke bawah ketiak kanannya dan kacung yang berada di sebelah kanan menyerobot ke sebelah kirinya.

   Setelah serangannya ini gagal, Co Hun Ki berniat mengulangi serangannya, tetapi apa mau dikata, sebelum ia sempat menarik kembali pedangnya, dua sosok bayangan mendadak telah berkelebat di sampingnya.

   Agaknya dua bocah itu sudah menyerangnya lagi.

   Terpaksa dan dengan terburu-buru Co Hun Ki melontarkan dua batang pedang itu dan kedua tangannya, di dorongnya di depan untuk menolak dua anak itu sambil membentak.

   "Pergi!"

   Dua kali ia telah diselomoti anak-anak itu, maka kali ini ia tidak mau mengambil risiko lagi.

   Dorongannya ini telah dilakukannya dengan mengerahkan Seantero tenaganya.

   Jika dua anak itu terkena, sedikitnya mereka akan terluka.

   Ternyata perhitungan Co Hun Ki meleset lagi.

   Mendadak, entah dengan cara apa dua bocah itu lenyap dari depannya.

   Sesaat kemudian di belakangnya terdengar tertawa cekikikan.

   Buru-buru Hun Ki berbalik tetapi hanya untuk ...

   melihat, bagaimana dua anak itu secepat kilat menyelusup lagi di bawah kedua ketiaknya.

   Sebelum Hun Ki sempat melakukan sesuatu, tengkuknya sudah kena diketok dua kali, masing-masing anak itu sekali.

   Kemudian dua-dua anak itu merangkul lehernya.

   Ia mengenal bahaya sekarang.

   Sebisa-bisanya ia berusaha menyelamatkan diri.

   Ia coba mengelakkan bahaya dengan melengakkan badannya ke belakang agar anak-anak itu terpental dilontarkan tenaga gerakannya itu.

   Lagi-lagi ia kecele.

   Baru saja ia mulai bergerak atau dua anak itu sudah segera melepaskan rangkulan pada lehernya.

   Ia jadi sangat terperanjat, karena ia tahu, bahwa bahaya yang dihadapinya menjadi semakin besar.

   Sedapat mungkin ia menahan badannya yang sudah digerakkan ke belakang itu.

   Pada saat itu, dua-dua kacung itu telah menggerakkan kaki mereka lagi untuk menyapu kaki Hun Ki, yang segera jadi terangkat naik ke depan.

   Sambil berteriak-teriak mencaci dua anak itu, Co Hun Ki roboh untuk ketiga kalinya.

   Kali ini lebih keras pula dibandingkan dengan yang terdulu, karena memang bagian tubuh atasnya sedang digentakkannya sendiri ke belakang sedang kakinya di saat itu juga disepak ke depan oleh dua bocah itu.

   Demikian keras jatuhnya kali ini, sehingga tulang-tulangnya seakan-akan terlepas berantakan rasanya.

   Seketika itu ia berdaya untuk bangun kembali, tetapi ia sudah tak punya tenaga lagi, dengan merintih kesakitan ia terlentang kembali di atas lantai.

   Melihat keadaan suhengnya yang demikian menyedihkan itu, Ciu Hun Jang buru-buru menghampirinya dan memayangnya bangun, hingga Co Hun Ki tidak usah terlentang lama-lama di lantai, menjadi tontonan yang sangat memalukan Thian Liong Bun.

   Kesempatan ini telah digunakan kedua bocah itu untuk memungut pedang mereka.

   Peristiwa ini ternyata belum akan berakhir sampai di situ saja, dalam malu dan gusarnya Hun Ki menjadi nekat.

   Dengan wajah muram-menyeramkan, dengan mata merah-melotot, ia mencabut/ pedangnya sendiri dan tanpa mengucapkan "ba"

   Atau "bu,"

   Dengan tipu silat "Pek Hong Koan Jit", ia menikam bocah yang di sebelah kiri.

   Pada saat itu Ciu Hun Jang juga menghunus pedangnya.

   Ia telah melihat, bagaimana berulang- ulang suhengnya telah dipermainkan kedua bocah itu, sehingga tubuhnya penuh tanda-tanda matang biru.

   Ia sudah mengerti bahwa dua bocah itu, meski masih kanak-kanak, memang sangat lihay dan sukar dilawan.

   Apalagi seperti tadi mereka berdua mengerubuti Hun Ki seorang.

   Maka jika ia kini turut maju untuk membantu suhengnya melayani mereka, rasanya ia tidak melanggar aturan.

   Segera, setelah menghunus pedangnya, Hun Jang menyerang bocah yang kanan.

   Melihat datangnya lawan baru ini, si bocah yang kiri mengisyaratkan sesuatu kepada saudaranya dan dengan bersama-sama mereka menangkis serangan dua orang lawan mereka.

   Setelah menghalau serangan-serangan lawan itu, mereka melompat mundur berapa tindak dan berteriaklah si bocah sebelah kiri.

   "Taysu, kami hanya diperintah menyampaikan surat oleh majikan kami, apakah dosa kami terhadap dua Tuan itu, sehingga mereka mendesak kami dengan semau-maunya saja?"

   "Mereka hanya ingin meng-uji-uji kepandaian kamu berdua, sama sekali tiada maksud jahat mereka. Coba-coba kamu menemani mereka berlatih,"

   Kata Po Si dengan bersenyum.

   "Kalau begitu, silakan Tuan-Tuan memberi petunjuk,"

   Kata si bocah sebelah kiri.

   Sesaat kemudian mereka sudah bertempur dengan serunya.

   Semua pegawai dalam rumah itu telah datang semua.

   Mereka telah mendengar, bahwa dua bocah pembawa surat itu telah bergeberak dengan salah seorang tamu dan mereka jadi kepingin tahu.

   Beramai-ramai mereka telah datang ke ruangan tamu dan berkerumun di bawah cim che untuk menonton keramaian itu.

   Si bocah yang sebelah kiri memegang pedangnya di tangan kiri, sedang saudaranya memegang pedangnya ditangan kanan.Mereka menyerang atau mengelakkan serangan lawan dengan berbareng dengan gerakan-gerakan seakan-akan mereka adalah dua raga yang sejiwa saja.

   Serangan mereka selalu berantai dan datangnya bertubi-tubi, agaknya seperti juga mereka telah berlatih menggunakan pedang sedari masih bayi.

   Kerja sama antara mereka sedemikian rapinya, sehingga kelihatannya mereka itu adalah "dwi-tunggal"

   Yang tak dapat dipisahkan- satu dari yang lain.

   Sebaliknya dua suheng-tee murid Thian Liong Bun itu juga melayani mereka dengan penuh semangat.

   Benar-benar seruh mereka bertempur.

   Setelah sekian lama masih juga belum berhasil, Co Hun Ki maupun Ciu Hun Jang menjadi gemas dan menyerang dengan lebih ganas pula.

   Sebentar saja mereka bertempur beberapa puluh jurus, tetapi Hun Ki dan Hun Jang masih belum juga bisa menarik keuntungan.

   Whi Su Tiong tidak sabar.

   Di samping itu ia pun menjadi kuatir.

   Ia melihat, bahwa ilmu dua anak itu adalah ilmu pedang Tat Mo kiam hoat pelajaran Siauw Lim Pay yang tiada keanehannya.

   Hanya dua anak itu yang memainkannya secara aneh sekali.

   Jika yang satu menyerang yang lain menjaganya.

   Dengan demikian yang menyerang itu tidak usah kuatir akan dibokong, sedang saudaranya yang menjaga tidak perlu buru-buru menyerang.

   Karena itu perhatian mereka jadi tidak usah dibagi-bagi dan sesuatu gerakan mereka jadi sangat leluasa.

   Whi Su Tiong menaksir, bahwa ia masih dapat merebut senjata kedua anak itu.

   Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa dua sutitnya sudah tidak berdaya, sehingga mungkin sekali tidak lama lagi, nama partai Thian Liong Kun akan runtuh.

   Dua soal itu telah mendorongnya untuk segera bertindak.

   Sambil membentak, ia memerintahkan kepada Hun Ki dan Hun Jang supaya lekas mundur dan ia sendiri yang akan melayani dua anak itu.

   Dua orang muda itu, yang memang sedang kewalahan, tentu saja menjadi sangat girang, mendengar teriakan susiok mereka dan sambil mengiakan, mereka sudah akan melompat mundur.

   Tetapi maksud mereka ini tak dapat dilaksanakan, karena tepat pada saat itu, dua lawan kecil itu sudah datang menyerang pula, bahkan dengan gerakan-gerakan yang lebih cepat dari/ sebelumnya.

   Bertubi-tubi datangnya serangan-serangan anak-anak itu, silih-berganti mereka menyerang, deras bagaikan hujan lebat.

   Dengan sendirinya Hun Ki dan Hun Jang harus mengangkat senjata pula untuk membela diri.

   Dengan demikian mereka jadi terlibat lagi dalam pertempuran yang tidak menguntungkan mereka.

   Makin lama, keadaan kedua murid Thian Liong Bun ini menjadi semakin mengenaskan.

   Terengah-engah mereka dipaksa bertempur terus oleh serangan-serangan dua bocah itu, yang tiada sudah-sudahnya Tian Ceng Bun juga turut menjadi kuatir melihat keadaan kedua suhengnya.

   Pikirnya.

   "Biarlah, aku yang akan membebaskan kedua suheng agar kemudian Whi susiok yang melayani dua anak itu. Whi susiok lebih berpengalaman dan tidak seceroboh Co suheng Kurasa ia tentu akan berhasil."

   Ia segera mencabut pedangnya dan maju ke dalam kalangan pertempuran sambil berseru.

   "Jiwi suheng, silakan mundur."

   Ia tiba di antara mereka, tepat pada saat Hun Ki sedang didesak dengan hebat sekali oleh kacung yang serba kiri itu.

   Tanpa berpikir panjang-panjang ia mengangkat pedangnya dan menangkis serangan si anak.

   Tak pernah diduganya, bahwa serangan bocah itu dapat berubah arah dengan sangat cepatnya.

   Serangan terhadap Hun Ki tadi, setelah ditangkis olehnya, justeru jadi berbalik mengarah pundak kirinya.

   Mau tak mau ia harus menangkis pula dan sesaat kemudian sudah ternyata, bahwa bukannya ia berhasil membebaskan dua suhengnya, bahkan dia sendiri jadi terlihat dalam pertempuran itu tanpa mampu menyingkir lagi.

   Setelah lewat berapa waktu lagi, Hun Ki jadi semakin penasaran.

   Ia tak mengerti, mengapa mereka sebagai murid-murid Thian Liong Bun yang sangat kenamaan, bertiga masih tidak mampu menundukkan dua anak kecil.

   Ia menganggap soal ini sebagai hal yang akan menghapus pamor Thian Liong Bun, jika sampai tersiar di luar.

   Dengan adanya anggapan ini, darahnya semakin mendidih dalam tidak berdayanya.

   Sementara itu si bocah yang serba kanan melihat saudaranya harus melayani dua orang lawan dan keadaannya sudah tidak seleluasa tadi.

   Serentak ia membelokkan senjatanya dan menyerang Hun Ki.

   Tepat pada saat Hun Ki berputar untuk menghadapi anak ini si bocah yang serba kiri sudah meloncat ke arah Ciu Hun Jang dan menyerangnya tanpa membuang-buang waktu.

   Gerakan mereka yang sangat lincah dan sedap dipandang itu sudah mendatangkan pujian orang banyak disertai tepuk tangan riuh.

   Dua anak itu kini sudah bertukar siasat dan menghadapi tiga lawan itu dengan bersatu.

   Sesaat kemudian sudah kelihatan, bahwa mereka sudah berada di atas angin lagi.

   Agaknya In Kiat juga sudah mengerti, bahwa soal ini saban saat dapat menjadi sebab kehancuran nama partainya, maka ia segera menganjurkan kepada Whi Su Tiong supaya segera maju sendiri.

   Whi Su Tiong pun sepaham dengan In Kiat.

   Ia mengangguk dan setelah meringkaskan pakaiannya ia segera lompat ke dalam gelanggang pergumulan itu.

   "Biarlah aku melayani mereka bermain-main!"

   Serunya dengan maksud supaya tiga-tiga keponakan-murid itu akan segera mengundurkan diri. Pertama-tama ia menyerang jalan darah "Ki Kut Hiat"

   Si anak serba kanan dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya berusaha merebut pedang anak itu.

   Para penonton yang menyaksikan betapa cepat gerakan Whi Su Tiong itu, jadi berkuatir untuk keselamatan anak itu Akan tetapi sesaat kemudian ternyata, bahwa kekuatiran mereka tidak berdasar sama sekali.

   Dengan mengeluarkan sinar berkilau-kilau, pedang si bocah, sekonyong- konyong sudah berada di dekat punggung Whi Su Tiong.

   Inilah suatu kejadian yang sama sekali tidak diduganya.

   Bocah yang serba kiri ini terang-terang sedang melayani Hun lang dengan asyik sekali, maka ia tidak menyangka, jika bocah itu akan dapat berbalik menyerang dirinya dengan sangat tiba-tiba sedemikian.

   Ia baru sadar setelah mendengar teriakan Ceng Bun.

   "Awas, susiok, awas!"/ Untung bagi Whi Su liong, bahwa peringatan ini datang tidak terlambat, sehingga ia masih sempat menyingkir dari bahaya. Tetapi tidak urung leher bajunya masih terbeset robek dengan mengeluarkan bunyi memberebet.

   "Harap Tuan suka berhati-hati,"

   Kata si bocah serba kiri sebagai memberi nasehat.

   Agaknya ia telah sengaja tidak mau melukakan orang tua itu.

   Pengalaman ini tentu saja menyebabkan wajah Su Tiong menjadi merah seketika dan selanjutnya ia berlaku lebih tenang serta lebih berwaspada.

   Berdasarkan pengalamannya yang luas ia melayani lawan kecil itu dengan tenang dan hati-hati.

   Tak berani ia sembarang menyerang lagi.

   Dengan "Toa Kim Na Ciu" (ilmu menangkap dengan tangan kosong) ia menantikan kesempatan untuk merampas pedang si bocah.

   Kepandaian Whi Su Tiong tidak sama dengan anggauta-anggauta Thian Liong Bun yang lain.

   Ilmu silatnya dengan tangan kosong sudah dilatih puluhan tahun dan sangat dimalui orang.

   Maka benar-benar sukar dipercaya, jika, meski ditambah tenaganya seorang lagi, mereka berempat masih belum dapat mengatasi dua anak kecil.

   Kesempatan yang dinanti-nantikannya tidak kunjung tiba.

   Karena melihat kenyataan ini, In Kiat jadi mulai menimbang-nimbang untuk turun tangan juga.

   Pikirnya.

   "Cabang selatan dan cabang utara berasal satu juga, maka selalu harus saling bantu- membantu dalam menghadapi kesulitan. Runtuhnya pamor cabang utara berarti juga runtuhnya nama cabang selatan, maka biarpun kelak dikatakan orang bahwa kita merebut kemenangan dengan mengandalkan jumlah yang lebih besar, mau tak mau, aku harus membantu mereka mempertahankan pamor Thian Liong Bun sebagai keseluruhan."

   Segera juga ia sudah maju, menyerang si bocah sebelah kiri dengan tipu serangan "Hui Seng Kiong Gwat" (Bintang Sapu Menerjang Bulan) yang ditujukan ke arah dada si anak.

   Demi pedang In Kiat berkelebat mengancam saudaranya, si bocah yang sebelah kanan berseru.

   "Aha, bagus, bagus, kau juga turuti"

   Bersama dengan seruannya ia segera berbalik menyerang pergelangan tangan In Kiat dengan pedangnya. Serangan bocah itu membuat In Kiat berpikir.

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Cara kerja sama dua bocah ini benar-benar sempurna dan tak ada bandingannya."

   Untuk mengelakkan tusukan anak itu, In Kiat menurunkan tangannya sedikit, tetapi karena gerakannya ini, serangannya terhadap si bocah di sebelah kiri juga menjadi gagal.

   Ruangan tamu itu, kini sudah menjadi gelanggang pertempuran yang seru antara dua batang pedang melawan empat batang pedang dan sepasang tangan kosong yang menerbitkan angin menderu-deru.

   Sudah sekian puluh jurus mereka bertempur, tetapi keadaan tetap tidak berubah, keseimbangan kekuatan antara kedua belah fihak masih tetap sebagai semula.

   Agaknya tangan To Cu An menjadi gatal juga, lebih-lebih ketika melihat, bahwa muka Tian Ceng Bun sudah berwarna merah dan penuh keringat yang berulang-ulang sudah harus disusutnya.

   Nyata sekali, bahwa ia sudah sangat lelah.

   Tak dapat To Cu An menahan sabar lagi.

   "Ceng moay, mengasolah dulu, biar aku yang menggantikan kau!"

   Serunya sambil menerjunkan diri ke dalam medan pertempuran. Turut sertanya ini membangkitkan amarah Co Hun Ki, yang meski berada dalam bahaya, tak dapat menyingkirkan rasa cemburunya. Dengan mata melotot ia ini membentak.

   "Tak usah kau bermuka-muka!"

   Pada saat itu juga ia mengangkat pedangnya, untuk menangkis serangan bocah yang di sebelah kanan, tetapi berbareng dengan itu pula, tinjunya melayang ke arah hidung To Cu An.

   Melihat sikap saingannya yang sangat dogol ini, To Cu An jadi tertawa geli dan ia menyingkir ke samping untuk kemudian memutar ke belakang bocah yang serba kiri.

   Meski sudah terluka, tetapi berkat ilmu goloknya yang bagus, ia dapat juga bertempur dengan tidak kurang tangkasnya./ Tetapi, sebaliknya, ilmu pedang kedua bocah itu juga luar biasa sekali, semakin banyak musuh yang datang mengeroyok, semakin hebat pula daya tempur mereka, seakan-akan mereka mempunyai tenaga simpanan yang tak kunjung habis dan keluarnya sedikit demi sedikit mengimbangi tambahan tenaga fihak lawan.

   Keadaan To Cu An, setelah menerjunkan diri dalam pertempuran itu, sangat tidak menggirangkan.

   Di samping harus menahan serangan dahsyat dari kedua lawan kecil itu, ia masih harus pula memperhatikan Co Hun Ki yang saban-saban mendadak menyerang, bila saja ada kesempatan.

   Demi untuk menjaga keselamatan puteranya, To Pek Swee bertindak maju, mendekati kalangan pertempuran.

   Cambuk bajanya disiapkan untuk turun tangan setiap saat.

   Sesaat kemudian, di antara hujan senjata itu, Co Hun Ki menyerang To Cu An lagi.

   To Pek Swee yang memang sudah berjaga-jaga, tentu saja terus turun tangan.

   Cambuknya sudah segera melayang, menangkis serangan Hun Ki kepada puteranya itu dan sesaat kemudian ia melancarkan serangan pembalasan terhadap Co Hun Ki.

   Para penonton yang tidak mengerti persoalan mereka, menjadi bingung.

   Mereka tak mengerti mengapa yang sedang bertempur telah menyerang orang yang datang membantu nhaknya untuk kemudian berbalik diserang oleh seorang lain lagi, yang maju paling akhir ini.

   Tak dapat mereka membedakan siapa di dalam pertempuran gaduh itu akan menyerang siapa atau siapa berkawan dengan siapa.

   Tetapi di antara para penonton itu terdapat seorang yang perhatiannya bukan dipusatkan pada pertunjukan gaduh itu.

   Orang itu adalah Him Goan Hian yang matanya selalu masih mengincar kotak besi yang diperebutkan di lembah tadi.

   Ia telah melihat jelas bagaimana, ketika akan menyeburkan diri ke dalam pertarungan itu, Whi Su Tiong telah menyesapkan kotak tersebut ke dalam bajunya.

   Melihat keadaan pertempuran yang sudah menjadi kacau itu, ia segera memperoleh suatu akal licik.

   Menurut perhitungannya ia akan dapat mengail di air keruh, menarik keuntungan daripada kekacauan pertempuran itu.

   Rencananya adalah untuk segera turut serta dalam pertempuran itu dan mencari kesempatan untuk merebut kotak besi yang diincarnya sekalian membalas dendam kepada ayah dan anak she To itu.

   Sambil meloncat maju ia berteriak kepada suhengnya.

   "Lauw suheng, mari kita mengambil bagian dalam keramaian ini!"

   Sedari kecil Lauw Goan Ho sudah bergaul dengan suteenya ini, maka maksud tersembunyi dalam teriakan suteenya, segera dimengertinya.

   Tanpa menunggu sampai dianjurkan untuk kedua kalinya, ia segera mengangkat senjata dan menyerbu ke tengah pergumulan itu.

   Dua orang suheng dan sutee ini sedikit demi sedikit berkisar ke dekat Whi Su Tiong.

   Berbeda dengan lawan-lawannya yang masing-masing mengandung maksud licik sendiri- sendiri, dua bocah itu berhati tulus dan tak bersyakwasangka sama sekali.

   Sangka mereka, dua orang itu memang ingin turut mengerubuti mereka.

   Maka demi melihat dua orang itu masuk, mereka mendahului menyerang dengan serentak.

   Di antara orang-orang Thian Liong Bun, Tian Ceng Bun berotak paling cerdas, ia melihat bahwa Lauw Goan Ho dan Him Goan Hian terus menerus mengincar susioknya, meskipun mereka sedang sibuk sekali melayani serangan dua bocah itu.

   Seketika itu juga ia sudah dapat menebak tujuan mereka.

   Tanpa ayal lagi ia memperingatkan susioknya.

   "Whi susiok, awas kotak besimu!"

   Dalam pada itu Whi Su Tiong memang sedang was-was.

   Seantero kepandaiannya sudah dikeluarkannya semua, tetapi ia tetap tidak berhasil.

   Dua bocali itu tetap tidak dapat ditundukkan Pada saat itu mendadak in mendengar teriakan Tian Ceng Bun.

   Hatinya jadi semakin tidak tenteram dan ia berpikir.

   "Hari ini, kami sembilan orang tak dapat mengalahkan dua orang anak kecil. Terang kita sudah kehilangan muka. Jika harus pula kehilangan kotak besi ini, benar-benar kita bernasib malang."/ Dalam sedetik ia berpikir demikian itu, ia telah berlaku lengah dan sesaat kemudian ia merasakan datangnya sambaran angin tajam. Ternyata pada saat itu, setelah menghalau pedang Co Hun Ki dan Ciu Hun jang berdua, si bocah yang selalu berada di sebelah kiri itu, telah membelokkan pedangnya untuk memmbacok ke arah mukanya. Karena mendongkol dan penasaran ditambah lagi hatinya sudah si makin gelisah, maka ia akhirnya menjadi kalap dan hati kejamnya sudah segera menguasai alam pikirannya lagi! Sambil mengegos, ia menghunus pedangnya dan di dalam hatinya ia berkata, 'Apa boleh buat, sudah ketelanjur harus kehilangan muka!"

   Di antara sembilan orang itu, kepandaian Su Tiong adalah yang tertinggi setelah ia mencabut senjatanya, maka segera terdengar bunyi nyaring karena beradunya beberapa senjata dan senjata-senjata To Si Hu Cu, Lauw Goan Ho dan Him Goan Hian sudah dibenturnya terpental semua.

   Dalam saat yang sama, In Kiat mundur ke belakang sedikit sambil menjaga diri rapat- rapat.

   Dengan mundurnya yang lain-lain, maka Whi Su Tiong jadi dapat bergerak dengan leluasa dan semangatnya terbangun seketika.

   Dengan suatu gerakan yang sangat tangkas ia segera menyerang kepala si bocah yang di sebelah kanan.

   Serangan ini datangnya sangat cepat lagi mendadak dan justeru pada saat itu si bocah sedang menahan gaitan Lauw Goan Ho, sehingga agaknya tak mungkin ia akan dapat membalikkan pedangnya untuk menangkis serangan Whi Su Tiong.

   Ternyata si bocah juga menginsyafi hal ini dan ia segera menurunkan tubuhnya sedikit untuk mengelit serangan dari samping itu.

   Agaknya gerakannya itu agak terlambat, meskipun ia tidak sampai terlukakan tetapi mutiara yang menghiasi kuncirnya telah terbelah menjadi dua.

   Seketika itu muka dua bocah kembar itu telah berubah, dan bocah yang di sebelah kanan itu berteriak.

   "Koko!"

   Hampir-hampir ia menangis.

   Tian Ceng Bun tak dapat menyetujui perbuatan susioknya ini.

   Menurut anggapannya, tiada gunanya susiok itu menghina seorang anak kecil sebagai bocah itu.

   Tetapi sebelum ia dapat berpikir lebih lanjut, mendadak kelihatan sepasang sinar putih menyilaukan telah menyambar pergi-datang disertai dengan bunyi-bunyi nyaring karena beradunya beberapa senjata.

   Ternyata senjata-senjata Him Goan Hian dan Lauw Goan Ho sudah kutung ditabas kedua bocah itu, yang kini melancarkan serangan-serangan secepat kilat dari kiri- kanan.

   Kedua orang itu tak kepalang kagetnya dan segera meloncat mundur.

   Pada saat itu semua orang itu melihat, bahwa masing-masing bocah itu sudah bertambah memegang sebilah belati yang mengeluarkan sinar berkeredep menyilaukan.

   "Selesaikan perhitunganmu dengan ia!"

   Teriak bocah yang serba kiri itu kepada adiknya.

   Sementara itu ia tidak menghentikan gerakannya dan segera sudah terdengar lagi berapa bunyi nyaring karena patahnya senjata.

   Dua bilah belati (atau lebih tepat dua bilah pedang pendek) kedua bocah itu, ternyata adalah senjata-senjata mestika yang dapat memotong aneka macam logam sebagai juga memotong tanah liat.

   Dalam gerakan mundurnya Co Hun Ki telah bergerak agak lambat dan iga kirinya masih tergores pedang pendek anak yang serba kiri itu.

   Juga ikat pinggangnya turut terpotong dan sarung pedangnya jatuh di lantai dengan menerbitkan bunyi nyaring.

   Di sebelah sana, si bocah yang serba kiri sedang menerjang Whi Su Tiong dengan pedang panjangnya di tangan kanan dan pedang pendeknya di tangan kiri.

   Dengan menggunakan dua macam senjata, serangan-serangan masing-masing tangan itu juga berbeda dan ditambah lagi dengan kegusarannya, dapat dimengerti jika anak itu telah membuat Whi Su Tiong sibuk sekali.

   Dengan hati terkejut lagi gusar Whi Su Tiong mendapat kenyataan, bahwa, dengan pengalamannya yang luas, ia masih tidak dapat mengenali ilmu silat si anak.

   Selain itu ia pun tidak berani mengadu pedangnya dengan pedang pendek lawannya, maka ia terus-menerus terdesak mundur.

   Sebaliknya anak itu sudah tidak memperhatikan lagi musuh-musuh lain dan segala daya/ upayanya dipusatkan kepada keinginannya merobohkan Whi Su Tiong semata-mata.

   Kakaknya si bocah yang serba kiri menjaga dari belakang, mereka melayani musuh-musuh mereka dengan saling menempel punggung.

   Sesaat kemudian, juga cambuk baja To Pek Swee sudah tertabas kutung sebagian.

   Segera musuh-musuh itu sudah tidak berani datang lagi terlalu dekat kepada mereka, beberapa orang itu hanya berani berputar-putar di sekeliling kalangan pertempuran sambil kadang-kadang menyerang dari jauh saja.

   Yang paling cemas hatinya adalah In Kiat, Hun Ki, Hun lang dan Ceng Bun berempat.

   Tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menolong Whi Su Tiong, mereka harus menyaksikan, bagaimana tokoh Thian Liong Hun itu terdesak sedemikian ruipa, sehingga benar-benar mati kutunya.

   Pada saat itu ia sudah tak dapat mundur lagi, punggungnya sudah menempel di tembok, sedang kawan-kawan separtainya tak dapat menembusi rintangan si kacung yang kiri.

   Diam-diam Po Si Taysu juga sangat terheran-heran melihat permainan pedang dua anak itu.

   Di awal pertempuran, ketika hanya melayani Hun Ki seorang, kepandaian dua anak itu kelihatan biasa saja, tidak ada keistimewaannya.

   Tetapi saban kali fihak musuh mendapat tambahan tenaga seorang, daya tempur kedua bocah itu pun bertambah sesuai dengan jumlah musuh mereka.

   Pada saat itu dengan ditambah sebilah pedang pendek di masing-masing tangan mereka, keadaan sudah segera berubah secara menyolok sekali.

   Agaknya sembilan orang dewasa itu sudah tidak dapat mengimbangi lagi ketangkasan mereka.

   Pada suatu saat, secara tiba-tiba si bocah yang kiri memperhebat serangannya dan demi pedangnya berkelebat dengan gerakan-gerakan secepat kilat, segera senjata-senjata Lauw Goan Ho dan To Cu An sudah menjadi semakin pendek, terpapas kutung sebagian lagi.

   Antara delapan orang yang sedang dihadapi anak yang kiri itu, hanya Tian Ceng Bun yang masih memegang senjata utuh.

   Terang sekali, bahwa bocah-bocah itu tidak mau membuat ia malu, karena mereka berterima kasih kepadanya untuk kebaikannya tadi.

   Sebaliknya keadaan Whi Su Tiong sudah semakin menyedihkan.

   Dengan punggung menempel pada dinding dan dengan susah-payah ia coba bertahan sekuat tenaganya.

   Pada suatu saat ketika pedang lawannya datang mengancam lagi ia menangkis dengan gerak tipu "Hoay Tiong Pau Goat" (Memeluk Sang Bulan di Dalam Pangkuan).

   Dengan gerakan ini ia mencoba menyampok dan menekan pedang lawan ke bawah, sesuai dengan ajaran ilmu silat pada umumnya, yakni bila serangan musuh datang dari atas tangkisan juga harus dilakukan dengan gerakan dari atas ke bawah untuk menindih senjata lawan.

   Tetapi pada saat itu, di luar sangkaannya, mendadak ia merasakan seakan-akan pedangnya bertambah berat berpuluh-puluh kali.

   Ternyata justeru pedangnya yang seketika itu telah tertindih senjata si anak.

   Walaupun keadaan ini seharusnya sangat mengejutkan, tetapi Whi Su Tiong telah menjadi gembira karenanya.

   Ia beranggapan, bahwa betapa bagus juga ilmu pedang si bocah, tak nanti anak sekecil itu akan dapat menandinginya dalam hal adu tenaga.

   Serentak ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menggempur tenaga lawan kecil itu.

   Lagi-lagi perhitungannya meleset, berbeda dengan sangkaannya, si bocah mendadak saja menarik kembali pedangnya dan menabas dengan pedang pendeknya.

   Sesaat itu Whi Su Tiong merasakan pedangnya mendadak menjadi enteng dan ternyata senjata itu hanya tinggal sepotong.

   Pada saat itu ia benar-benar terkejut dan tanpaberpikir panjang ia segera menimpukkan sisa senjatanya itu ke muka musuhnya.

   Dengan mudah saja anak itu dapat mengelakkan timpukannya, bahkan secepat kilat, si anak sudah melancarkan serangan lagi dengan pedang panjangnya dari kiri-kanan, sehingga Whi Su Tiong jadi terkurung rapat di antara sinar pedang yang tiada hentinya menyambar-nyambar dari segala penjuru.

   Whi Su Tiong menjadi ketakutan setengah mati, mukanya pucat-lesi dan keringatnya berketel-ketel turun membasahi badannya.

   Melihat keadaan Whi Su Tiong yang sungguh berbahaya itu, serentak In Kiat, Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang menghamburkan senjata-senjata rahasia.

   Tetapi si bocah yang kiri, yang melindungi adiknya, meloncat secepat angin dan dengan menggerakkan tangannya berapa kali, ia sudah menangkap semua bor beracun, senjata rahasia istimewa Thian Liong Bun, yang sangat/ dibanggakan orang-orang partai tersebut.

   Ternyata di bawah pegangan pedang pendeknya terdapat sebuah jaring kecil untuk menampung senjata rahasia yang datang menyerang.

   Meskipun sudah tidak bersenjata lagi tetapi Whi Su Tiong masih cukup tangkas dan untuk sementara ia masih dapat mengelit serangan-serangan yang datangnya bertubi-tubi dan deras laksana hujan itu.

   Tetapi untuk melakukan serangan pembalasan ia sudah tak mampu lagi.

   Pula, mengetahui betapa tajamnya senjata lawan kecil itu, ia jadi tidak berani berlaku semberono.

   Di antara angin senjatanya yang menderu-deru terdengar si bocah berteriak.

   "Gantikan mutiaraku'. Gantikan mutiaraku!"

   Dapat dimengerti bahwa Whi Su Tiong seratus, bahkan seribu kali lebih suka menggantikan mutiara bocah itu.

   Tetapi apa mau dikata, mutiara ia tak punya lagi pula ia sudah telanjur kehilangan muka karena kekalahannya ini Pada saat itu Po Si Taysu mengerti, bahwa jika pertempuran itu tidak dihentikan, tidak lama lagi akan tiba saatnya Whi Su Tiong akan jatuh sebagai kurban belati si anak.

   Di luar kemauannya, hweeshio tua itu menjadi bingung juga.

   Whi Su Tiong adalah tamu yang telah diundangnya naik ke atas gunung itu, maka tak dapat ia membiarkannya dihina seorang budak musuh.

   Dinilai dari ilmu silat yang sampai saat itu diperlihatkan kedua bocah itu, ia mengetahui, bahwa ia sendiri masih dapat mengatasi keadaan.

   Tetapi sebaliknya, ia telah menyaksikan, bagaimana dua anak itu setiap kali kekuatan lawan mereka bertambah, juga turut bertambah tenaga sesuai dengan kebutuhan.

   Maka ia menjadi ragu-ragu dan tak berani segera turun tangan.

   Ia kuatir, jika ia akan tak mampu menandingi anak-anak itu, yang batas-batas kepandaiannya tak dapat ditaksir.

   Andaikata ia maju dan menderita kekalahan, di mana ia harus menempatkan mukanya? Sementara Po Si memikirkan persoalan itu, tanpa dapat mengambil keputusan, keadaan Whi Su Tiong sudah jadi semakin payah.

   Bajunya sudah robat-rabit, mukanya penuh darah dan keringat, dada dan lengannya sudah penuh dengan luka-luka bekas tergores senjata si anak.

   Dalam putus asanya, sudah berapa kali Whi Su Tiong hampir meratap mohon diampuni, tetapi selalu ia masih mengingat kedudukannya sebagai tokoh terutama dalam partainya dan terus menahan penderitaannya.

   Sebaliknya si bocah pun tiada hentinya berteriak minta mutiaranya diganti.

   Agaknya si leher panjang sudah tak dapat membiarkan keadaan itu berlangsung terus.

   Katanya kepada Po Si.

   "Taysu, lebih baik kau segera turun tangan untuk membereskan dua bocah itu."

   Po Si masih tetap ragu-ragu dan hanya menjawab dengan berapa kata yang tidak tegas.

   Pada saat yang sangat genting itu, mendadak terdengar suatu bunyi mendesir yang nyaring dari angkasa di sebelah luar.

   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ternyata bunyi itu diterbitkan sesuatu benda yang melayang di angkasa dengan mengeluarkan sinar api berwarna biru.

   Wajah si leher panjang segera kelihatan gembira, ia tahu, bahwa panah api itu adalah tanda kedatangan seorang tamu lagi yang diundang majikannya.

   Sesaat sebelumnya ia sudah menjadi sangat jengkel, karena melihat bagaimana si hweeshio salah seorang undangan majikannya agaknya ketakutan menghadapi dua anak kecil itu, berbeda dengan ucapannya sendiri yang semula sangat terkebur itu.

   Tanpa ayal, si leher panjang berlari-lari menghampiri alat kerekan itu untuk memimpin kawannya mengerek naik dan menyambut tamu itu.

   Si leher panjang ini adalah pengurus rumah- tangga di rumah itu dan ia bertanggung-jawab atas keselamatan rumah-tangga majikannya selama si majikan pergi.

   Ia she Ie, asalnya juga seorang tokoh yang ternama juga dalam kalangan Kang Ouw dan ia juga cerdik serta tangkas.

   Sementara itu keranjang yang memuat para tamu sudah dikerek sampai di lamping gunung, dalam tidak sabarnya untuk mengetahui siapa yang datang, maka Ie koankee melongok ke bawah.

   Ketika itu yang dilihatnya adalah sesusun benda hitam yang agaknya bukan berbentuk manusia.

   Sesaat kemudian, setelah keranjang itu dikerek lebih dekat ia melihat, bahwa benda-/ benda itu adalah berapa buah koper, berapa pot kembang dan suatu benda yang mirip dengan hiolo.

   Selain itu masih terdapat pula beberapa macam benda yang semuanya membangkitkan keheranan Ie koankee.

   Di dalam hatinya timbul pertanyaan, apakah sekian banyak barang itu dibawa si tamu sebagai sumbangan untuk majikannya? Setelah keranjang itu tiba di puncak, ia buru-buru membongkar isinya dan segera menyuruh sebawahannya menurunkannya kembali keranjang itu ke bawah.

   Kali ini yang berada dalam keranjang adalah tiga orang wanita, dua orang berusia kira-kira empat puluh tahun dengan muka serta dandanan seperti pelayan, yang seorang lagi adalah seorang gadis yang berusia lebih-kurang enam belas tahun.

   Ia ini berwajah bulat dan pada kedua pipinya terdapat sujen, dandanannya seperti seorang dayang.

   Begitu lekas ia melangkah keluar dari keranjang tersebut ia memandang Ie koankee sejenak ia lalu segera berkata.

   "Kau adalah Ie toako, bukan? Aku sudah mendengar, bahwa lehermu panjang."

   Kata-katanya ini disertai dengan suara tertawa riang yang enak kedengarannya.

   Biasanya Ie koankee paling mangkel, jika orang menyebutkan cacadnya ini, tetapi menghadapi ketawa manis si dayang, ia tak dapat berbuat lain daripada bersenyum juga, sambil mengangguk mengiakan.

   "Namaku Khim Ji. Yang itu adalah Ciu Nai Ma (Babu Susu she Ciu) yang telah membesarkan siocia dengan air susunya. Yang satu lagi adalah encim Han dan siocia paling suka makan sayur masakannya. Siocia sendiri masih berada di bawah, maka lekas kau menurunkan kembali keranjang ini untuk menyambutnya."

   Demikian tanpa kikuk-kikuk si dayang menyerocos terus.

   Pada saat itu Ie koankee sebenarnya ingin menanyakan, siapakah nona yang datang itu, tetapi ia tak mendapat ketika sama sekali, karena Khim Ji terus mengoceh sambil menurunkan barang- barang bawaannya yang makin mengherankan si leher panjang.

   Yang dikeluarkan dari keranjang tersebut adalah, sangkar burung, kucing, burung kakatua, berapa pot kembang lagi dan aneka ragam barang tetek-bengek yang aneh-aneh.

   Agaknya Khim Ji sibuk sekali menurunkan barang- barang itu, tetapi selama itu juga mulutnya tidak pernah menganggur.

   "Aih, puncak ini benar-benar tinggi, di sini juga tidak ada rumput maupun bunganya, rasa- rasanya nona tidak akan betah tinggal di sini. Ie toako, kau terus tinggal di sini, apakah kau tidak merasa jemu?"

   Terdengar pula dari mulutnya yang bawel. Sebenarnya Ie koankee sudah sangat mendongkol melihat tingkah laku si bawel, pikirnya.

   "Sedang majikan sibuk sekali bersiap-siap untuk menghadapi musuh tangguh, mengapa mendadak sontak datang sanak yang membawa orang bawel seperti dia ini."

   Berbeda dengan yang dipikirnya, mulutnya justeru menanyakan.

   "She apakah nonamu? Apakah ia masih terhitung sanak majikanku?"

   Sambil tertawa, Khim Ji menjawabnya.

   "Coba kau tebak. Sekali melihat aku terus tahu siapa kau ini, sebaliknya, she nonaku saja kau tidak tahu. Tadi, jika bukannya aku terus menyebutkan namaku, kutanggung kau juga tidak tahu. Eh ... eeh jangan lari, awas nona nanti marah."

   Kata-katanya yang terakhir ini membuat Ia koankee menganga kebingungan Tetapi sesaat kemudian ia mengetahui bahwa kata-kata Khim Ji itu ditujukan kepada si kucing kecil yang barusan hendak lari, tetapi telah dapat dipegang dan diangkat si bawel.

   Melihat betapa repotnya dayang itu mengeluarkan barang-barang dari dalam keranjang, Ie koankee hendak membantunya.

   Tetapi, ternyata ia telah berbuat salah lagi.

   "Hai, jangan dikacaukan. Di dalam peti itu terdapat buku-buku bacaan siocia, jika kau mengangkatnya terbalik begitu, buku-buku itu tentu akan berantakan ... eeh, eh ... jangan, jangan ... bunga lanhoa itu tak boleh disentuh seorang laki. Menurut siocia, bunga lanhoa itu paling suci dan jika kesentuh orang laki, malamnya akan segera menjadi layu,"

   Le koankee tertegun dan buru-buru meletakkan kembali pot kembang itu.

   Baru saja ia berbuat demikian, atau kembali ia harus mengalami kekagetan tak terkira.

   Mendadak ia mendengar orang bersajak di sampingnya.

   Buru-buru ia menoleh, tetapi yang dilihatnya adalah kakatua, yang masih terus mengucapkan sajak tersebut./ Dalam jengkelnya tetapi berbareng geli, ia memerintahkan orang-orangnya menurunkan keranjang untuk mengerek si siocia naik.

   Lagi-lagi ia agaknya telah keliru, sekali ini adalah si Babu Susu yang mengatakan, bahwa ia harus mengambil mantel dari koper itu dulu, untuk mengganjal tempat duduk dalam keranjang tersebut, yang dikatakannya sangat keras dan tak enak untuk duduk.

   Ie koankee tak dapat bersabar lagi, melihat, bagaimana si Babu Susu itu mengambil kunci, membuka koper dan kemudian berunding dulu dengan rekannya untuk menetapkan mantel apa yang harus digunakan untuk keperluan itu, yang terbuat dari bulu rase atau yang terbuat dari bulu tiauw.

   Pikiran Ie koankee tak dapat melupakan pertempuran di ruangan tamu itu.

   Ia ingin segera mengetahui, bagaimana kesudahannya dengan Whi Su Tiong, maka sambil meninggalkan pesan sesuatu kepada salah seorang bawahannya, ia berlari-lari kembali ke ruangan tamu tersebut.

   Begitu melangkah masuk ia mendapat kenyataan, bahwa selama itu tidak terjadi perubahan dalam pertempuran itu.

   Whi Su Tiong masih tetap terempas-empis terdesak mepet pada dinding, hanya keadaannya sudah semakin payah.

   Bajunya sudah semakin compang-camping, sepatu kirinya sudah terlepas dan kuncirnya sudah tertabas, sehingga rambutnya berserakan di lantai.

   In Kiat, Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang, yang telah dapat meminjam senjata dari para pegawai rumah itu, berusaha sekuat-kuatnya untuk mendobrak rintangan si bocah yang kiri untuk menolong Whi Su Tiong, tetapi sampai sedemikian jauh mereka tetap tidak berhasil, bahkan lambat laun, karena desakan si bocah, mereka jadi terpisah semakin jauh dari Whi Su Tiong.

   Di fihak lain, Lauw Goan Ho sudah berulang-kali hendak mempergunakan kesempatan itu untuk merebut kotak besi itu.

   Tetapi si bocah yang kiri itu selalu dapat menghalang-halanginya mendekati Whi Su Tiong.

   Semakin keras ia menerjang, semakin keras pula ia terdampar kembali oleh ancaman senjata si anak, hampir-hampir ia sendiri kena dilukakan.

   Karena pengalaman ini, akhirnya ia terpaksa mengurungkan niatnya dan mundur, keluar dari kalangan pertempuran.

   Melihat segala itu, Ie koankee jadi berpikir.

   "Ketika berangkat, majikan telah menyerahkan segala-gala kepadaku, jika sekarang tamu-tamu itu harus mengalami malu besar ini, muka majikan juga seakan-akan mendapat tamparan. Biarpun harus binasa, aku tak dapat mengantapkan orang she Whi itu dihina terus-menerus."

   Setelah mengambil ketetapan ini, ia segera menuju ke kamarnya untuk mengambil goloknya "Ci Kim Pat Kwa To". Dengan membekal senjatanya ia kembali ke ruangan tamu dan segera berteriak.

   "Saudara-saudara kecil, jika kamu tidak mau berhenti dengan segera, janganlah mengatakan, bahwa kami, fihak Soat Hong San Chung, berlaku kurang sopan!"

   Dua bocah kecil itu tidak menghiraukan seruannya, mereka meneruskan serangan-serangan mereka, tetapi si bocah yang kanan menjawab.

   "Majikan muda kami hanya menyuruh kami membawa surat, bukannya untuk berkelahi. Maka, asal dia mengganti mutiaraku, aku akan segera mengampuninya!"

   Sambil mengucapkan kata-kata ini ia melangkah maju dan segera berhasil melukakan pundak Whi Su Tiong sekali lagi.

   Ie koankee sudah akan membuka suara lagi, ketika mendadak terdengar suara wanita yang merdu, sudah mendahuluinya.

   'Ah, jangan berkelahi, jangan berkelahi.

   Aku paling tidak suka melihat orang mengangkat senjata dan menggerakkan kaki-tangan untuk saling menghantam."

   Terpesona oleh nada suara yang empuk berirama itu, semua orang menengok ke belakang.

   Seorang gadis yang mengenakan baju kuning berdiri di ambang pintu.

   Putih bersih laksana salju yang baru turun warna kulitnya, matanya yang jernih menatap wajah semua hadirin di situ dan mulutnya senantiasa bersenyum menggiurkan.

   Kecantikan gadis jelita ini bukannya terlalu luar biasa, tetapi murni dan bersinar suci, mempesona dan menarik, laksana batu permata yang tiada cacadnya.

   Mereka yang berada dalam ruangan itu adalah orang-orang Kang Ouw yang sudah menjelayah ke mana-mana dan kenyang mengalami rupa-rupa kejadian.

   Tetapi berhadapan dengan gadis jelita itu, mereka merasa seakan-akan memasuki dunia lain.

   Tanpa kecuali, mereka jatuh di bawah/ pengaruh matanya yang suci dan agung itu dan merasa diri sendiri rendah serta kotor.

   Yang paling usil mulut pun tak berani berlaku kurang ajar terhadapnya.

   Berbeda dengan yang lain-lain, dua anak itu tidak menghiraukan kedatangan si nona.

   Karena usia mereka yang masih terlalu muda, maka pikiran mereka pun masih sangat sederhana.

   Menggunakan kesempatan, ketika semua orang itu masih ternganga, dua bocah itu telah bergerak secepat kilat dan berturut-turut senjata-senjata orang-orang itu yang masih utuh sudah terbabat kutung semua.

   "Sudahlah, sudahlah, saudara kecil, jangan membikin onar lagi. Lihat, bagaimana kau telah melukakan orang itu. Iiih, benar mengerikan,"

   Kata nona itu sambil bertindak maju untuk memisahkan.

   "Dia belum mau mengganti mutiaraku!"

   Jawab bocah yang kanan itu setengah menangis.

   "Mutiara apa?"

   Si bocah mengacungkan pedangnya ke dada Su Tiong dan segera berjongkok untuk memungut belahan mutiaranya yang berada di dekatnya.

   "Lihatlah, ia yang merusakkan dan aku menuntut supaya ia menggantinya,"

   Kata si bocah.

   Saking menyesalnya, hampir-hampir ia menangis.

   Gadis itu mendekatinya untuk memeriksa pecahan mutiara itu.

   'Ah, memang bagus sekali mutiara ini, aku pun tak dapat menggantinya ...

   tetapi, tunggulah sebentar.

   Khim Ji, ambillah sepasang kuda batu giok itu dan berikan kepada dua saudara kecil ini."

   Si dayang tidak segera menurut, agaknya ia merasa sayang untuk memberikan dua barang bagus itu dengan cuma-cuma.

   Ia sudah akan membantah, tetapi sebelum ia dapat mengatakan apa-apa, si gadis yang agaknya sudah dapat menebak pikirannya bersenyum dan berkata.

   "Dasar kau terlalu pelit. Coba lihat dua saudara kecil ini yang begini tampan. Bukankah sesuai benar, jika sepasang kuda-kudaan itu dipakai mereka?"

   Dua anak itu menjadi bingung dan mereka saling memandang.

   Ketika itu Khim Ji tak berani membantah pula dan segera membuka koper yang dimaksudkan dan mengambil dua barang berharga itu, yang berada dalam sebuah kantong sutera.

   Setelah dikeluarkan, si gadis segera menggantungkan kuda-kudaan itu pada pinggang dua anak itu.

   Ternyata mulut setiap kuda- kudaan diikat dengan benang sutera, sehingga dapat digantungkan, sebagai yang dilakukan si nona barusan.

   Si bocah yang kiri menyambut pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih.

   Tetapi agaknya ia masih ragu-ragu.

   Ia melihat betapa bagusnya kuda-kudaan itu yang terbuat dari batu giok putih yang diukir dengan seksama dan indah.

   Walaupun tak tahu berapa harganya, tetapi ia mengerti, bahwa barang itu sangat berharga dan karena itu ia justeru menjadi sangsi.

   Lagi pula ia tidak mengetahui asal-usul gadis itu.

   Ketika itu si bocah yang kanan sudah memungut juga belahan mutiaranya yang satu lagi.

   Sambil memperlihatkan kepingan mutiara itu kepada si gadis, ia menerangkan.

   "Mutiaraku ini adalah mutiara mestika yang dapat mengeluarkan sinar di waktu malam. Mutiara kakakku adalah pasangannya. Maka sekalipun sekarang sudah ada kuda giok ini, keadaan kami masih ganjil juga."

   Setelah dua anak itu berdiri berendeng, si nona melihat persamaan antara mereka yang sangat menyolok dan mengerti, bahwa mereka adalah saudara kembar.

   Ia tahu, bahwa rusaknya mutiara itu tidak begitu berarti, tetapi kepincangan dalam keadaan mereka itu, akibat perbuatan si orang yang di saat itu sudah bermandikan darah, telah membikin mereka kalap.

   Ia mengambil kuda- kudaan itu dari tangan si anak dan mengusulkan agar dua belahan mutiara itu dimasukkan ke dalam mata kuda-kudaan "Bukankah menjadi bagus sekali?"

   Tanyanya kemudian. Si bocah yang kiri menjadi girang sekali. Segera ia juga mencabut mutiaranya dari kuncirnya dan membelah permata itu dengan pedang pendeknya./ 'Adik, sekarang kuda-kudaan maupun mutiara kita sudah serupa lagi,"

   Katanya dengan suara riang. Si bocah yang kanan juga menjadi gembira dan segera menghaturkan terima kasih kepada si gadis. Kemudian ia juga menjura kepada Whi Su Tiong sambil berkata.

   "Sekarang kau, orang tua, jangan marah."

   Whi Su Tiong mendongkol sekali, ia ingin mengetuk kepala anak itu, tetapi keberaniannya sudah lenyap, sampai pun memaki ia sudah tak berani.

   Dengan terpaksa ia harus mandah dihina, sedang badannya berlumuran darah Sesaat kemudian, dengan bergandengan tangan, dua bocah itu sudah akan bertindak pergi, akan tetapi sebelum meninggalkan tempat itu, si bocah yang kiri menoleh kepada nona itu dan bertanya.

   "Bolehkah kami mengetahui nama nona agar kami dapat melaporkannya kepada majikan kami dan juga, kami sangat berterima kasih atas budi nona."

   "Siapakah majikanmu?"

   Si nona berbalik menanya.

   "Majikan kami she Ouw,"

   Jawab si bocah. Seketika itu juga, wajah si gadis berubah. 'Ah, jadi kamu adalah pesuruh-pesuruh Soat San Hui Ho,"

   Tanyanya.

   "Benar."

   "Aku she Biauw dan jika majikanmu menanyakan, katakanlah bahwa pemberi dua kuda giok itu adalah puteri Ta Pian Thian Hee Bu Tek Ciu 'Kim Kian Hud', Biauw Jin Hong."

   Mendengar ucapan si gadis yang terakhir, semua orang terkejut bukan main.

   Mereka hanya mengenal 'Kim Bian Hud' sebagai jago yang tak terkalahkan, tetapi tak ada yang menduga, bahwa ia punya seorang puteri yang lemah-lembut serta cantik-agung sebagai gadis itu.

   Berdasarkan sikap dan tindak-tanduknya, semula semua hadirin mengira, bahwa ia itu puteri seorang pembesar tinggi yang berasal dari keluarga terpelajar, tak pernah mereka menyangka, bahwa gadis itu adalah puteri si-orang pendekar dari kalangan Kang Ouw yang sangat disegani orang.

   Ketika mendengar keterangannya, dua bocah itu jadi saling memandang dan bersama-sama meletakkan kuda-kudaan pemberian si nona ke atas meja.

   Kemudian, tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka berlalu dengan berendeng.

   Melihat kelakuan dua anak itu, si gadis tertawa, tetapi ia pun tidak mengatakan suatu apa.

   Yang pada saat itu paling girang adalah Khim Ji, ia segera sudah menyimpan lagi sepasang kuda giok itu.

   "Siocia, dua bocah itu benar tidak mengenal adat. Hadiah yang begini bagus mereka kembalikan, jika aku yang diberi____"

   Tetapi sebelum Khim Ji dapat menyelesaikan kata-katanya, Biauw siocia sudah memotong pembicaraannya.

   "Sudahlah, jangan banyak bicara lagi. Apakah kau tak kuatir dikatakan terlalu pelit?"

   Sementara itu, demi mendengar siapa nona yang baru datang itu, Po Si segera tampil ke muka dan dengan nyaring ia bertanya.

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, tak tahunya nona adalah puteri Biauw Tayhiap. Apakah ayahmu baik?"

   "Bukankah gelar Taysu terdiri dari dua huruf, Po di atas dan Si di bawah? Ayah telah memesan untuk menyampaikan salam kepada Taysu."

   "Terima kasih, tak pernah kusangka, bahwa Biauw Tayhiap juga mengenal namaku yang rendah."

   Po Si tertawa, agaknya ia puas sekali. Kemudian ia menanya pula.

   "Bolehkah aku mengetahui nama nona yang mulia?"/ "Boanpwee bernama Yok Lan. Silakan kalian duduk saja, aku harus segera masuk ke belakang untuk menemui pehbo dulu."

   Sebagai penutup kata-katanya ia memberi hormat kepada sekalian hadirin, yang segera juga membalas penghormatannya.

   "Nona ini benar-benar boleh dipuji. Sebagai puteri seorang pendekar yang tiada tandingannya, sedikit pun ia tidak jumawa atau berlagak,"

   Pikir mereka semua.

   Biauw Yok Lan bahkan tidak segera meninggalkan mereka, la masih menunggu lagi sampai semua orang itu sudah duduk, baru ia bertindak masuk.

   Sesaat kemudian, di sebelah luar, sudah terlihat pula kedatangan delapan orang pelayan laki- laki dan perempuan.

   Dandanan mereka semua juga bagus-bagus.

   Mereka menggotong macam- macam koper, kasur bantal, sangkar burung, pot kembang dan lain-lain lagi.

   Agaknya mereka telah sengaja dibawa untuk melayani si nona.

   Melihat barang bawaan yang sangat banyak serta berharga itu, To Pek Swee dan To Cu An ayah dan anak jadi saling memandang.

   Mereka memang mencari sesuap nasi dengan melakukan pekerjaan membegal dan mereka bersyukur, bahwa mereka bukan berjumpa dengan rombongan itu di tengah jalan, sehingga tak dapat tidak mereka tentu akan berusaha merampasnya.

   Andaikata sampai kejadian begitu, mencari bencana sendiri? Sementara itu Whi Su Tiong sedang membersihkan darah yang berlepotan di mukanya dan di seluruh tubuhnya.

   Untungnya si kacung tadi tidak mempunyai niatan untuk mencelakainya.

   Semua luka-lukanya hanya luka yang enteng.

   Tian Ceng Bun segera menghampirinya dan membubuhkan obat pada luka-lukanya.

   Karena tidak ada pembalut yang lebih baik, maka Whi Su Tiong lalu merobek bajunya untuk digunakan sebagai gantinya.

   Pada saat itu, secara tiba-tiba, terdengar bunyi bergedubrak yang nyaring.

   Seakan-akan sudah berjanji, semua orang meloncat ke arah itu, karena yang jatuh itu adalah peti besi yang tadi disembunyikan di dalam baju Whi Su Tiong.

   Tetapi Whi Su Tiong, yang memang berdiri paling dekat dari peti itu, sudah segera berjongkok untuk memungutnya kembali.

   Sambil melakukan itu, ia mengayunkan sebelah tangannya yang lain untuk menghalau para penyerbu.

   Pada detik tangannya sudah menyentuh tutup kotak itu, tiba- tiba pundaknya terasa ditubruk suatu tenaga yang sangat kuat dan tanpa dapat dicegah pula ia terhujung dan jatuh di atas lantai.

   Seketika itu juga ia melompat bangun, hanya untuk mendapat kenyataan, bahwa kotak tersebut sudah berada di tangan Po Si Taysu.

   Karena tak seorang di antara mereka yang tidak gentar terhadap kegagahan si hweeshio, maka mereka semua mundur kembali dan hanya mengawasi gerakannya tanpa mengucapkan si patah kata.

   Setelah lewat sekian lama, baru Co Hun Ki memecahkan kesunyian.

   "Taysu, kotak itu adalah pusaka Thian Liong Bun, maka kumohon kau suka mengembalikannya,"

   Katanya. Jawab Po Si hanyalah tertawa yang nyaring dan bernada agak mengejek.

   "Kau menganggap barang ini sebagai pusaka partaimu. Baiklah, jika memang benar demikian, tentu kau tahu apa yang terdapat di dalamnya, bukan? Sekarang, coba katakan apakah isinya? Jika kau dapat menebaknya dengan jitu, kata-katamu boleh dianggap benar dan kau boleh mengambilnya sebagai hakmu yang sah,"

   Katanya dengan nyaring.

   Pada penutup kata-katanya ia mengangsurkan kotak itu ke depan, ke arah Co Hun Ki.

   Seluruh muka Hun Ki menjadi merah, sepatah pun ia tak dapat menjawab, tangannya yang tadi sudah diangsurkan untuk menyambut, segera ingin ditariknya kembali, tetapi karena malu, ia membatalkan niatnya dan menurunkannya dengan perlahan-perlahan./ Hun Ki memang tidak tahu apa yang berada di dalam peti itu.

   Pengetahuannya hanya terbatas pada ujar gurunya yang mengatakan bahwa barang itu adalah milik partainya dan tak boleh diperlihatkan kepada sembarangorang.

   Selama hidupnya, gurunya selalu menyimpan dan menjaga barang itu dengan teliti.

   Belum pernah ia melihat kotak itu dibuka dan belum sekali gurunya menceriterakan apa dan dari mana asal-usul kotak itu.

   Bukan saja Hun Ki, bahkan In Kiat dan Whi Su Tiong yang tergolong tokoh-tokoh tertua dalam lingkungan Thian Liong Bun, hanya dapat saling memandang dengan terlongong-longong.

   Sedang mereka membungkam dalam seribu bahasa, mendadak Ciu Hun Jang menyeletuk.

   "Tentu saja kita mengetahui isinya, yaitu golok mustika!"

   Dalam lingkungan Thian Liong Bun kepandaian Ciu Hun Jang hanya termasuk golongan kedua.

   Gurunya juga tidak terlalu menyayang padanya, sedang otaknya juga tidak seberapa cerdas.

   Oleh karena itu, tak heran jika Whi Su Tiong dan rekan-rekan separtainya semua terkejut.

   "Kau tahu apa? Lebih baik kau diam saja!"

   Bentak mereka di dalam hati. Sungguh mereka tidak menyangka, bahwa justeru mereka yang keliru. Sesaat kemudian Po Si sudah membenarkan kata-kata Hun Jang.

   "Benar, memang isinya bukan lain daripada golok mustika. Tetapi tahukah kau siapa pemiliknya yang sah dan bagaimana barang itu bisa terjatuh ke dalam tangan Thian Liong Bun?"

   Keheranan Whi Su Tiong dan rekan-rekannya tak dapat dilukiskan, terkaan Hun Jang yang jitu itu benar-benar di luar dugaan mereka.

   Maka menghadapi pertanyaan Po Si yang terakhir ini, dengan penuh pengharapan mereka menantikan jawaban Hun Jang.

   Tetapi sekali ini, Hun Jang sendiri melongo tanpa dapat menjawab sepatah saja.

   "Barang itu adalah pusaka Thian Liong Bun, sudah berapa turunan menjadi peraturan partai kami, bahwa siapa yang mendapatkan golok itu akan diangkat menjadi Ciang Bun Jin,"

   Akhirnya tercetus juga dari mulutnya secara dipaksakan.' "Salah, salah besar! Memang sudah kuduga, bahwa kau tak akan dapat menerkanya,"

   Kata Po Si sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Sebaliknya, kau sendiri tahu apa?"

   Tanya Hun Jang dengan penasaran.

   "Lima puluh tahun yang lalu, aku mendengar cerita ini dari chungcu tempat ini. Justeru gara- gara ini, ia harus berselisih dengan Soat San Hui Ho. Jika bukan karena kalian sedikit maupun banyak masih ada sangkut-pautnya dengan soal ini, guna apa loolap mengajak kalian naik kemari,"

   Demikian Po Si mulai menerangkan.

   Demi mendengar kata-katanya, tanpa kecuali, semua hadirin jadi sangat terkejut.

   Menurut anggapan mereka, hari itu mereka telah terjebak semua dalam perangkap si hweeshio yang ingin mengangkangi pusaka itu, dan setelah berada di situ, agaknya sukar untuk mereka dapat berlalu dalam keadaan hidup.

   Seakan-akan sudah dijanjikan lebih dahulu, dengan serentak mereka menghunus senjata dan bertindak maju, mengurung Po Si di tengah-tengah.

   Juga mereka, yang sebagai Whi Su Tiong, sudah kehilangan senjata karena dikuningi dua bocah tadi, memungut sisa atau lebih benar reruntuk senjata mereka untuk turut mengepung.

   Po Si tak menjadi gentar karenanya.

   Sambil bersenyum ia berjalan mengelilingi garis kepungan itu, laksana seorang jenderal yang sedang memeriksa barisan.

   "Kalian hendak mengeroyok loolap?"

   Tanyanya dengan lantang.

   Walaupun mereka semua mendengar pertanyaannya yang diucapkan dengan nyaring, tetapi seorang jua tiada yang berani menjawab atau segera membuka serangan Mereka hanya memandangnya dengan beringas./ Sekian lama keadaan ini berlangsung tanpa terjadi perubahan.

   Tiba-tiba terdengar Lauw Goan Ho berteriak.

   "Marilah kita maju beramai-ramai. Bunuh saja hweeshio ini, mustahil kita tidak dapat merobohkannya. Urusan kita sendiri boleh diselesaikan kemudian!"

   Memang sedari tadi semua orang itu sudah mengandung niatan demikian, maka demi mendengar anjuran Lauw Goan Ho barusan, dengan serentak mereka sudah hendak maju menyerang.

   Tetapi sebelum mereka dapat melakukan sesuatu, di angkasa sebelah luar telah terdengar suatu letusan yang dahsyat.

   Dalam kekagetan mereka, orang-orang itu jadi saling memandang dengan diliputi kebingungan.

   Berselang berapa saat dari luar sudah kelihatan seorang berlari-lari mendatangi.

   Orang itu ternyata adalah Ie koankee.

   "Celaka, tuan-tuan!"

   Jauh-jauh sudah terdengar seruannya. Semua mata sekarang ditujukan kepadanya. Wajah Ie koankee tampak muram dan sikapnya gugup.

   "Apakah Soat San Hui Ho sudah datang?"

   Tanya Hun Ki sebagai yang pertama-tama membuka suara.

   "Bukan! Tetapi tambang dan roda pengerek untuk naik-turun gunung ini telah dihancurkan orang!"

   "Hah!"

   Seru mereka dengan berbareng. Wajah mereka pucat seketika.

   "Tak mungkin!"

   "Apakah di sini tidak ada tambang lain?"

   "Mustahil tiada cara lain untuk naik-turun!"

   Seruan-seruan itu terdengar bercampur-aduk. Tak dapat dikenali apa yang diucapkan siapa.

   "Celakanya, justeru di atas puncak ini hanya terdapat seutas tambang itu saja, dan karena lengah sebentar, alat-alat itu sudah dihancurkan dua bocah tadi!"

   Ie koankee menerangkan.

   "Mengapa sampai dapat dihancurkan?"

   Tanya Po Si dan wajahnya sudah menjadi pucat juga.

   "Setelah menurunkan dua bocah itu, kawan-kawanku semua masuk untuk mengaso. Sesaat kemudian terdengar letusan tadi. Ketika aku memburu untuk melihat apa yang terjadi, kulihat bahwa alat-alat pengerek itu sudah hancur. Tentunya, dua bocah itu telah memasang bahan peledak di bawah roda itu dengan diberi sumbu panjang yang sampai di bawah, di mana kemudian mereka menyalakannya."

   Demikian Ie koankee melanjutkan ceritanya dengan ditambah tafsirnya sendiri tentang bagaimana dua-dua tambang dan roda itu diledakkan.

   Pada saat itu tidak ada seorang yang tidak merasa cemas.

   Dengan tergesa-gesa mereka memburu ke depan untuk melihat sendiri.

   Benar saja alat-alat pengerek itu sudah hancur berarakan dan tak berguna lagi.

   Satu-satunya keuntungan adalah bahwa pada saat terjadinya ledakan itu, tidak ada orang di dekatnya, jika ada, tak usah disangsikan lagi betapa akan akibatnya.

   "Taysu, dapatkan kau menerka maksud si Rase Terbang dengan perbuatannya ini?"

   Tanya In Kiat, wajahnya mencerminkan penasarannya.

   "Mudah saja. Ia menghendaki, supaya kita semua mati kelaparan di atas puncak ini,"

   Jawab Po Si.

   "Mengapa ia menghendaki kematian kita semua, sedang kita tidak bermusuh dengan ia."

   "Memang dengan kita, ia tidak mempunyai ganjalan apa-apa. Tetapi permusuhannya dengan tuan-rumah kita sedalam lautan. Lagipula kotak besi itu berada di tanganmu, hal ini sama saja artinya dengan menerbitkan permusuhan."/ Karena penjelasan Po Si yang terakhir ini, mereka jadi semakin cemas. Mereka menggigil dan dalam putus-asa, mereka bungkam dengan wajah muram. Ungan tindakan lesu, mereka mengikuti Po Si kembali keruangan tamu. Sementara itu Biauw Yok Lan juga sudah keluar. Agaknya ia lelah dikejutkan letusan tadi dan kini ia ingin tahu apa sebenarnya telah terjadi. Setelah mendapat penjelasan, ia bertanya.

   "Taysu, apakah dengan muslihat ini si Rase Terbang memang sengaja hendak membikin kita mati kelaparan di sini?"

   "Hal ini tak usah diragukan pula, maka paling baik sekarang kita bekerja sama untuk mencari lalan turun dari gunung ini."

   Kemudian kepada yang lain-lain ia menambahkan.

   "Permusuhan piibadi baik dikesampingkan dulu, demi untuk keselamatan kil.i bersama."

   "Kurasakan kita tidak usah terlalu kuatir. Dalam sedikit hari lagi ayahku akan datang dan pasti sekali ia akan dapat menolong kita pergi dari sini,"

   Kata Yok Lan dengan penuh keyakinan.

   Karena kata-kata dan sikap Yok Lan ini, semua orang itu menjadi terhibur juga.

   Memang benar, dengan adanya gadis itu di situ, tak mungkin 'Kim Bian Hud' berpeluk tangan saja.

   Hampir bersama mereka menarik napas lega.

   Sungguh berbeda dengan mereka, Po Si justeru menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap tidak percaya.

   "Meskipun dalam hal ilmu silat, Biauw Tayhiap tiada tandingannya, tetapi kusangsikan apakah ia dapat mendaki lamping gunung yang sangat curam ini,"

   Pendapatnya.

   "Jika orang lain dapat naik ke sini, bahkan mendirikan perkampungan ini, mengapa ayahku tak dapat mencapai puncak ini?"

   Yok Lan membantahnya.

   "Dimusim panas, memang tidak terlalu sukar untuk mendaki sampai di sini. Tetapi sekarang, dalam musim dingin, salju yang menutupi seluruh lereng, membuatnya terlalu licin untuk dipanjat. Jika harus menunggu sampai tibanya musim panas dan salju-salju itu lumer, sedikitnya kita harus menunggu tiga bulan lagi. koankee, berapa banyakkah persediaan bahan makanan di sini?"

   "Justeru kami sedang mengirim orang untuk membeli persediaan baru, dan mungkin sekali besok ia akan sudah tiba kembali. Persediaan yang masih ada kurang-lebih hanya cukup untuk dua puluh hari, tetapi karena kedatangan kalian maka seharinya kita membutuhkan lebih banyak lagi, sehingga kutaksir persediaan itu hanya akan cukup untuk sepuluh hari lagi."

   Sedikit sinar terang yang tadi dilihat orang-orang itu, sudah dihapuskan seanteronya oleh kata- kata Po Si dan Ie koankee barusan.

   Sekarang mereka benar-benar putus-asa dan di dalam hati, mereka mencaci si Rase Terbang, yang menurut anggapan mereka luar biasa kejamnya.

   "Jika akhirnya kita harus mati juga, setidaknya kita harus mengetahui persoalan yang menyebabkan kejadian ini,"

   Kata Yok Lan.

   "Taysu, sebenarnya karena apa kita jadi dianggap musuh oleh si Rase Terbang? Berapa tinggikah kepandaiannya sehingga tuan rumah kita begitu ketakutan kepadanya? Lagipula apakah hubungannya dengan kotak besi itu?"

   Pertanyaan gadis ini sama juga dengan pencetusan isi hati semua hadirin.

   Tanpa kecuali, mereka semua ingin mengetahui soal itu sejelas-jelasnya.

   Walaupun tadi mereka bertempur mati- matian berebut kotak itu, sampai ada yang tewas karenanya, tetapi di antara mereka itu, tidak ada yang mengetahui pusaka atau mustika apa dan apa kegunaannya, hingga harus diperebutkan nekat-nekatan begitu.

   Mereka hanya tahu, bahwa isinya benda mustika, lain tidak.

   "Baiklah. Setelah kita seakan-akan terjepit di sini, buru-buru juga tiada gunanya. Mari kita membicarakannya dengan jelas dan berterus terang dan sesudah itu kita harus bersatu-padu. Mungkin kita masih dapat mencari jalan keluar. Sebaliknya, jika kita masih saja ingin saling membunuh, tak usah disangsikan lagi, bahwa dengan demikian kita akan celaka semua dan agaknya inilah yang diinginkan si Rase Terbang,"

   Kata Po Si.

   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Orang-orang itu menyetujui pendapatnya dan segera duduk mengelilinginya.

   Pada saat itu, hawa di atas gunung sudah jadi semakin dingin dan Ie koankee menyuruh sebawahannya/ menyalakan api.

   Dengan tenang semua orang itu kini duduk menantikan Po Si mulai dengan ceritanya.

   Si hweeshio, sebaliknya, tidak segera mulai.

   Lebih dulu ia mengangkat cangkirnya dan minum dengan perlahan-lahan.

   "Benar harum teh ini,"

   Pujinya dan sesaat kemudian ia mulai.

   "Kisah ini agak terlalu panjang jika harus diceritakan seluruhnya. Apakah kalian ingin melihat dulu golok mestika yang disimpan di dalam kotak ini?"

   Semua orang menyetujui usulnya.

   "Saudara, kau adalah Ciang Bun Jin Thian Liong Bun cabang utara, silakan membukanya untuk diperlihatkan kepada yang lain,"

   Kata Po Si sambil menyodorkan kotak itu kepada Hun Ki.

   Hun Ki menerimanya, tetapi mendadak ia ingat, bagaimana tadi, ketika To Cu An membuka tutup kotak, telah menyambar anak-anak panah dari dalamnya, untuk melukakan musuh.

   Seketika itu ia tak berani membukanya, kuatir jika di dalam kotak itu dipasang alat-alat dan senjata rahasia yang dapat mencelakakannya, tetapi ia hanya bersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata.

   Jika orang memperhatikan kotak itu, ia akan mendapat kenyataan, bahwa peti itu sudah tua dan berkarat.

   Saking tuanya, dinding-dindingnya juga sudah legok di sini dan menonjol di bagian sana.

   Teranglah, bahwa barang itu, barang kuno yang sedikitnya sudah berusia ratusan tahun, tetapi selain itu tidak ada tanda-tanda lain yang istimewa.

   Tampaknya hanya seperti kotak biasa saja.

   Lewat beberapa saat, Hun Ki mengambil keputusan untuk membuka juga tutup peti besi itu.

   Pikirnya.

   "Jika aku tak berani membukanya, aku tentu akan ditertawakan si bangsat kecil To Cu An."

   Sambil menggertak gigi dan menahan napas, ia segera memegang tutup peti itu.

   Ia mengerahkan tenaganya, tetapi walaupun ia sudah berusaha sekuat-kuatnya, tutup peti tersebut tak bergeming sedikit jua.

   Ia menghentikan usahanya untuk memeriksa, mengapa barang itu tidak dapat dibuka.

   Untuk keheranannya, ia tak mendapatkan lubang kunci atau alat lain.

   Ia menjadi penasaran, dengan kedua-dua tangannya dan sambil mengeluarkan Seantero tenaganya ia menarik lagi, tetapi lagi- lagi segala daya-upayanya hanya sia-sia belaka.

   Melihat, bagaimana suhengnya sudah mengerahkan seluruh tenaganya tanpa memperoleh hasil, Ceng Bun segera mengerti, bahwa kotak tersebut tentu mempunyai suatu alat rahasia.

   Jika orang hendak membukanya secara paksa, bukan saja ia tak akan berhasil, bahkan mungkin sekali ia akan mendapat celaka karenanya.

   Oleh karena itu, ia segera menoleh kepada Hun Jang dan mengusulkan supaya ia saja yang coba membukanya.

   Hun Jang tak pernah menduga, bahwa ia akan diminta melakukan itu, ia menjadi ragu-ragu dan menjawab.

   "A ... aku tidak bisa."

   Walaupun ia sudah terang-terang menolak, tetapi Tian Ceng Bun tetap mengambil kotak itu dan menyodorkannya kepadanya.

   

   first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 11:54:29
oleh Saiful Bahri Situbondo


Legenda Kematian -- Gu Long Lencana Pembunuh Naga -- Khu Lung Dendam Asmara -- Okt

Cari Blog Ini