Pendekar Bodoh 31
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 31
"Sie Ban Leng, manusia tak berbudi! Kau pandai memutar lidah dan kau tidak mau melihat mukamu sendiri! Seorang yang telah mengkhianati kakaknya yang telah membuat kakaknya sekeluarga habis binasa, masih mau bicara tentang budi? Tak tahu malu!!"
Ang I Niocu teringat akan cerita Cin Hai tentang kejahatan Sie Ban Leng yang telah menjadi biang keladi kebinasaan seluruh keluarga pemuda itu, maka hatinya menjadi panas dan kalau mungkin pada saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie Ban Leng. Sie Ban Leng merasa terkejut sekali hingga wajahnya menjadi pucat.
"Bangsat wanita, jangan kau bicara yang bukan-bukan!"
Katanya sambil mengayunkan senjatanya yang hebat, yaitu sebuah rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan menyambar kepala Ang I Niocu.
"Akan kubalaskan sakit hati mendiang Sie Gwat Leng, kakakmu itu!"
Teriak Ang I Niocu sambil mengelak dan menyerang dengan hebat. Pedang Liong-Cu-Kiam yang tajam luar biasa itu menyambar dan beradu dengan rebab di tangan Sie Ban Leng. Terdengar suara keras dan ternyata beberapa helai tali senar rebab yang terbuat daripada kawat baja itu putus. Sie Ban Leng merasa terkejut dan marah sekali, maka ia lalu menyerang kalang-kabut. Sementara itu, Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hanya berdiri memandang dengan bengong, akan tetapi ketika Kam Hong Sin memberi aba-aba supaya mereka membantu, mereka terpaksa mengeluarkan senjata dan mengeroyok Ang I Niocu! Juga Kam Hong Sin berseru sambil menerjang.
"Ang I Niocu, lepaskan Pedang Liong-Cu-Kiam itu!"
Akan tetapi, jangankan baru dikeroyok empat, biarpun ia dikepung oleh ratusan orang, Ang I Niocu takkan merasa gentar sungguhpun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu bukan main hebatnya hingga sebentar saja ia telah terkurung dan terdesak hebat! Ia mainkan ilmu Pedangnya Ngo-Lian-Hoan Kiam-Hwat yang cepat dan tubuhnya lenyap terbungkus sinar Pedang Liong-Cu-Kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata lawan yang datang bagaikan air hujan itu! Ia hanya dapat bertahan dan melindungi diri saja, tanpa dapat membalas sedikitpun juga. Sementara itu, Cin Hai yang ditinggal seorang diri di lubang kecil pada langit-langit gua, setelah membiasakan matanya di tempat gelap dan mendapat sedikit penerangan dari api unggun yang dibuat oleh Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke dalam lubang yang ternyata merupakan jalan terowongan kecil itu. Jalan itu besarnya hanya tiba pas saja dengan tubuhnya, maka ia merangkak maju lagi sambil meraba-raba.
Tiba-tiba ia melihat dua benda yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata Harimau atau binatang buas lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan Pedangnya di tangan, karena jalan mundur tak dapat ditempuhnya cepat-cepat. Dalam tempat yang merupakan lubang sempit itu, tak mungkin membalikkan tubuh dan jalan keluar baginya hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang bersinar itu ternyata mata binatang buas, ular besar umpamanya, maka terpaksa harus menghadapinya dalam keadaan merangkak! Berbahaya sekali keadaan demikian melawan seekor binatang buas, apalagi kalau binatang itu berbisa! Akan tetapi, yang aneh sekali, dua benda seperti mata yang mencorong itu, tidak bergerak-gerak dari tempatnya sungguhpun sinarnya yang mencorong itu tertimpa cahaya api unggun nampak berkeredepan bagaikan mata binatang hidup.
Apakah gerangan benda itu? Cin Hai untuk beberapa lama mendekam tanpa bergerak, takut kalau-kalau binatang itu terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian ia menduga bahwa boleh jadi binatang itu telah mati dengan mata terbuka, karena kalau binatang itu masih hidup, mengapa sama sekali tak pernah bergerak? Namun ia masih ragu-ragu karena memang ada binatang yang sanggup berdiam lama sekali tanpa bergerak bagaikan mati, seperti halnya seekor ular. Setelah lama menanti, timbul pula keberaniannya dan dengan hati-hati sekali ia bergerak maju lagi dengan Pedang siap disodorkan ke depan! Setelah maju kurang lebih lima kaki jauhnya, ia telah berada dekat sekali dengan dua buah benda yang mencorong itu, lalu benda itu disentuhnya dengan ujung Pedangnya.
"Ting!"
Ujung Pedangnya berbunyi dan benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda-benda itu adalah dua potong batu yang ketika dipegangnya hanya sebesar telur burung! Akan tetapi batu itu bercahaya dan ketika ia pandang penuh perhatian ternyata olehnya bahwa batu-batu itu bercahaya indah sekali. Hatinya berdebar keras. Inilah sebagian daripada Harta Pusaka itu. Ia maju terus, dan makin banyak batu-batu bercahaya seperti itu,
Bahkan kini ia melihat banyak potongan emas dan perak. Yang hebat adalah batu-batu permata itu, karena bertumpuk amat banyaknya di suatu tempat, membuat terowongan kecil itu buntu, tertutup oleh benda-benda berharga itu. Cin Hai merasa girang sekali. Tak salah lagi, inilah Harta Pusaka yang dicari-cari. Ia membawa dua buah batu permata yang terbesar, tak kurang dari sebutir telur ayam besarnya, lalu ia merayap keluar lagi. Ketika ia tiba di mulut terowongan, ia tidak melihat Ang I Niocu dan lalu melompat turun. Ia mengeluarkan dua buah batu itu dari sakunya dan hampir saja ia berseru keras saking kagumnya. Dua buah batu itu adalah mutiara-mutiara yang besar dan cahayanya amat indah. Dua butir mutiara besar ini saja sudah tak ternilai harganya, apalagi yang bertumpuk di terowongan itu!
Cin Hai cepat memutar patung batu itu sekuat tenaga ke tempat asal hingga lubang di langit-langit itu tertutup kembali, kemudian setelah menyimpan dua butir mutiara itu, ia lalu berlari keluar mencari Ang I Niocu. Di luar sunyi saja, maka ia lalu melompat ke atas gua dan berdiri di tempat tinggi. Maka terlihatlah olehnya betapa di tempat yang agak jauh dari situ, Ang I Niocu sedang dikeroyok oleh empat orang dan berada dalam keadaan terdesak sekali. Dengan marah dan cemas Cin Hai lalu melompat turun dan berlari cepat ke tempat itu. Kalau saja ia tidak merasa kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak demikian tergesa-gesa, tentu ia akan melihat bayangan seorang Pendeta Mongol berkelebat dan mengintai ketika ia keluar dari gua itu! Ketika tiba di tempat pertempuran, Cin Hai berseru,
"Niocu, jangan kuatir, aku membantumu!"
Dan Pedang Liong-Cu-Kiam di tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong Sin merasa bukan main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang memiliki ilmu Pedang sehebat itu.
"Hai-ji, mereka hendak merampas Pedang kita!"
Teriak Ang I Niocu dengan girang melihat datangnya pemuda itu. Ketika Cin Hai melihat Sie Ban Leng, ia merasa gemas sekali lalu membentak,
"Ah, inikah macamnya orang yang telah mengkhianati Ayahku?"
Pedangnya menyerang hebat dan dengan suara keras, rebab itu terbelah dua! Sie Ban Leng terkejut sekali, bukan hanya karena rusaknya senjatanya, akan tetapi juga karena kata-kata Cin Hai.
"Siapakah kau?"
Bentaknya.
"Kau masih ingat kepada Sie Gwat Leng? Nah, dialah Ayahku!"
Pucatlah wajah Sie Ban Leng mendengar ucapan ini hingga tubuhnya menggigil. Pada pandangan matanya, wajah Cin Hai tiba-tiba berubah menjadi wajah kakaknya yang dulu telah dikhianatinya itu! Dan sebelum ia sempat mengeluarkan kata-kata, Pedang Liong-Cu-Kiam di tangan Cin Hai telah menyambar cepat dan robohlah Sie Ban Leng dengan dada kiri tertembus Pedang dan tewas pada saat itu juga! Melihat betapa dengan beberapa gebrakan saja pemuda itu telah berhasil menjatuhkan Sie Ban Leng, bukan main kagetnya hati Kam Hong Sin.
Ia bersuit keras sekali dan memutar Pedangnya dengan hebat untuk menahan serbuan Ang I Niocu dan Cin Hai. Maka datanglah berturut-turut beberapa orang Perwira Kerajaan yang berkepandaian tinggi sehingga kini yang mengeroyok kedua orang muda itu tak kurang dari sepuluh orang! Akan tetapi, Ang I Niocu dan Cin Hai mainkan Pedang dengan seenaknya saja, karena mereka ini hanya membela diri saja dan tidak berniat menjatuhkan para Perwira itu. Terutama sekali mereka tidak tega melukai Ceng Tek Hosiang yang bertempur sambil tersenyum dan Ceng To Tosu yang mewek dengan sedihnya itu. Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan riuh dan muncullah serombongan orang Mongol yang dikepalai oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!
"Pendekar Bodoh, hayo kau serahkan tutup cawan itu kepada kami!"
Teriak Thai Kek Losu sambil menerjang dan menyerang Cin Hai. Melihat datangnya rombongan yang terdiri dari belasan orang Pendeta Mongol jubah merah itu, Cin Hai lalu memberi tanda kepada Ang I Niocu untuk melarikan diri. Sedangkan para Perwira Kerajaan ketika melihat Pendeta-Pendeta Mongol ini pun segera menyerangnya, sehingga terjadilah pertempuran antara Perwira-Perwira Kerajaan dengan Pendeta-Pendeta Mongol.
Sebenarnya hal ini tidak dikehendaki oleh Kam Hong Sin maupun oleh Thai Kek Losu, akan tetapi Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu yang mendahului menyerang para Pendeta Mongol itu, karena diam-diam mereka berdua ini suka kepada Cin Hai dan Ang I Niocu hingga ketika para orang Mongol datang menyerang, mereka berdua lalu membantu Cin Hai dan menyerang para Pendeta Mongol itu! Memang diantara kedua golongan ini telah ada rasa benci membenci hingga mudah saja membakar api diantara mereka. Serangan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu cukup membuat yang lain-lain lalu menyerbu dan saling gempur dengan sengitnya! Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai telah melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat pertempuran itu.
"Niocu, Harta Pusaka itu benar-benar berada di terowongan kecil itu!"
Kata Cin Hai kepada Ang I Niocu dan secara singkat ia menuturkan betapa banyaknya harta itu bertumpuk di dalam terowongan kecil. Ia memperlihatkan bukti dua butir mutiara itu kepada Ang I Niocu yang memandangnya dengan kagum.
"Kalau kau suka, ambillah, Niocu,"
Kata Cin Hai sambil memberikan dua butir mutiara besar itu. Ang I Niocu menerimanya, akan tetapi lalu ia kembalikan sebutir sambil berkata,
"Simpanlah yang sebutir ini untuk diberikan kepada Lin Lin kelak."
"Sekarang bagaimana baiknya, Niocu? Fihak Kaisar dan Mongol juga menghendaki harta benda itu, bahkan fihak Turki juga tidak mau ketinggalan. Bagaimana kita harus mengambil harta itu tanpa mereka ketahui dan kalau sudah kita ambil, lalu untuk apa?"
Setelah mendengar banyaknya harta yang terdapat di situ, Ang I Niocu sendiri pun menjadi bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana.
"Lebih baik kita membuat laporan kepada Susiok-Couw saja, Hai-ji. Kau bawalah sepasang Pedang Liong-Cu-Kiam ini dan berikan kepada Susiok-Couw, sekalian kau ceritakan tentang Harta Pusaka itu dan tentang keadaan di sini."
"Kenapa hanya aku yang harus menceritakan? Bukankah kita pergi ke sana berdua?"
Tanya Cin Hai.
"Tidak, kau pergilah sendiri. Aku harus tinggal di sini mengamat-amati gua itu, jangan sampai didapatkan oleh lain orang. Kalau kita berdua pergi dan harta itu diambil orang lain, kita takkan dapat berbuat sesuatu."
Cin Hai mengangguk-angguk, dan bertanya lagi,
"Kalau kedua Pedang kubawa, habis kau bagaimana, Niocu? Kau perlu memiliki Pedang yang cukup baik untuk menghadapi bahaya. Tempat ini penuh dengan orang-orang pandai dan jahat."
Ang I Niocu tersenyum, lalu menyerahkan Pedang Liong-Cu-Kiam kepada Cin Hai, kemudian mencabut Pedang Cian-Hong-Kiam pemberian Lie Kong
"Pedang ini cukup baik dan kuat. kau lihatlah!"
Ang I Niocu mengayun Pedangnya membacok sebuah batu karang hitam di pinggir jalan dan batu terbelah dengan mudah. Cin Hai mengangguk-angguk dan memuji.
"Po-kiam (Pedang Pusaka) yang bagus!"
Kemudian ia lalu berangkat menuju ke tempat Pertapaan Suhunya, yaitu di Gua Tengkorak di mana dulu ia mempelajari ilmu silat dari Bu Pun Su. Sedangkan Ang I Niocu tinggal di Lan-Couw untuk menjaga dan mengamat-amati gua rahasia di mana tersimpan Harta Pusaka yang besar itu. Cin Hai melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke Timur. Jarang ia berhenti kalau tidak hendak makan dan beristirahat, karena ia hendak cepat-cepat tiba di tempat itu, seakan-akan ada besi sembrani yang menariknya, yaitu Lin Lin.
Pemuda itu baru saja berpisah beberapa lama, sudah merasa rindu sekali dan kini ia tergesa-gesa bukan lain ialah karena ingin bertemu dengan kekasihnya itu. Pada suatu hari ia tiba di sebuah dusun dan tertariklah hatinya melihat betapa penduduk dusun itu seakan-akan sedang mengadakan semacam pesta keramaian. Tadinya ia hendak lewat terus saja, akan tetapi ketika melihat beberapa orang dusun memikul sebuah orang-orangan dari kertas yang besar dan rupanya seperti Hai Kong Hosiang, ia menjadi terheran sekali dan menunda perjalanannya. Ia menduga bahwa persamaan wajah orang-orangan itu dengan Hai Kong Hosiang tentulah merupakan hal yang kebetulan saja, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia bertanya gambar siapakah yang mereka gotong itu, ia mendapat jawaban,
"Gambar si keparat Hai Kong."
Cin Hai tertarik sekali dan ingin melihat apakah yang hendak dilakukan oleh orang-orang kampung itu dan mengapa mereka menggotong gambar Hai Kong Hosiang yang mereka maki-maki keparat. Rombongan itu menuju ke sebuah rumah kecil yang sudah penuh orang dan di depan pintu rumah itu terdapat sebuah meja sembahyang. Setelah orang-orangan itu digotong ke situ, semua orang berdiri dan memaki-maki,
"Hai Kong keparat! Hai Kong Hwesio bangsat!"
Dan lain-lain makian lagi menyatakan kemarahan mereka. Kemudian beramai-ramai semua orang mengeroyok orang-orangan itu dan menghujani pukulan dengan senjata tajam sehingga orang-orangan dari kertas itu robek-robek dan hancur, kemudian sisa-sisanya dibakar dibawah sorak-sorai yang riuh! Cin Hai makin terheran-heran dan menonton saja. Kemudian orang-orang dusun itu lalu bersembahyang dan semuanya berlutut di depan meja sembahyang itu dengan muka berduka, bahkan ada pula beberapa orang wanita yang menangis! Cin Hai tak dapat menahan keheranannya lagi, maka ia lalu bertanya kepada seorang laki-laki tua yang berada di belakang dan juga ikut bertutut,
"Lopek, mengapa kalian demikian membenci Hai Kong Hosiang dan meja sembahyang siapa ini?"
Kakek itu memandang kepada Cin Hai dengan tajam dan setelah mengetahui bahwa pemuda itu adalah orang dari luar dusun, ia lalu menjawab,
"Siangkong, ketahuilah. Dulu di dusun kami ini datang seorang Hwesio jahat bernama Hai Kong Hosiang yang mengganggu kami, bahkan hampir membunuh seorang anak kecil di dusun ini. Kemudian datanglah dua orang Pendekar wanita yang membela kami dan bertempur melawan Hai Kong Hosiang si keparat itu, akan tetapi dua orang Pendekar wanita itu tewas dalam tangan Si Bangsat Gundul. Oleh karena kami berterima kasih sekali kepada kedua orang Pendekar wanita yang telah mengorbankan nyawa demi pertolongannya kepada kami maka sekarang kami mengadakan peringatan untuk menghormati jasanya itu."
Cin Hai merasa tertarik sekali mendengar ini.
"Lopek, siapakah namanya dua orang Pendekar wanita yang gagah dan mulia itu?"
"Entahlah, kami juga tidak tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui hal itu. Akan tetapi senjata kedua Pendekar itu masih kami simpan dan sekarang pun kami memuja senjata-senjata mereka itu yang ditaruh di atas meja sembahyang."
Karena tertarik, Cin Hai lalu menghampiri meja itu, diikuti oleh pandang mata semua orang kampung yang merasa heran dan curiga. Cin Hai mendekati meja dan memandang. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat sebuah Hudtim (kebutan Pertapa) warna merah dan sebatang Pedang. Ia melangkah maju untuk memandang lebih teliti lagi dan menjadi pucat ketika ia mengenal senjata-senjata itu. Kebutan itu adalah senjata Biauw Suthai dan Pedang itu adalah Pedang Pek I Toanio, Guru dan suci dari Lin Lin! Lemaslah tubuh Cin Hai dan kedua kakinya gemetar. Ia segera berlutut dan ikut bersembahyang bersama semua orang kampung yang kini lenyap kecurigaan mereka melihat pemuda itupun memberi hormat! Selesai bersembahyang, Cin Hai lalu minta keterangan penjelasan dari Kakek tadi dan setelah ia mendengar cerita tentang dua orang Pendekar wanita itu,
Bahwa yang seorang adalah seorang Pendeta wanita tua dan yang kedua adalah seorang wanita berpakaian putih yang cantik, ia tidak ragu-ragu lagi. Biauw Suthai dan Pek I Toanio telah tewas dalam tangan Si jahat Hai Kong! Kalau saja ia tidak melihat bahwa Hai Kong Hosiang sudah menggelinding ke dalam jurang, tentu ia makin merasa dendam dan sakit hati kepada Hwesio jahat itu! Cin Hai tak pernah bermimpi bahwa Hai Kong Hosiang yang disangkanya telah mati itu sebetulnya masih hidup dan sebentar lagi akan bertemu dengannya! Ia lalu melanjutkan perjalanannya dan berpikir-pikir bagaimana ia harus menyampaikan berita sedih ini kepada Lin Lin. Ia maklum bahwa Lin Lin pasti akan berduka sekali mendengar tentang matinya gurunya dan Sucinya yang amat dikasihinya itu.
Pada keesokan harinya, ia telah tiba dekat Gua Tengkorak, hanya tinggal perjalanan beberapa belas li saja. Ketika ia masuk ke dalam sebuah hutan, tiba-tiba ia melihat serombongan orang berjalan cepat dari depan. Melihat gerakan mereka yang cepat, Cin Hai menjadi heran dan segera ia bersembunyi di balik sebatang pohon besar dan mengintai. Ketika rombongan itu telah datang dekat, tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya dan menggosok-gosok mata itu seakan-akan ia tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Tak salah lagi, yang berjalan di depan adalah Hai Kong Hosiang! Bentuk badan dan pakaian Hwesio itu masih sama dengan dulu, hanya bedanya sekarang matanya tinggal sebelah, yang kanan tertutup dan buta, sedangkan yang kiri terdapat cacat bekas terobek dan menjadi lebih lebar dari biasa!
Muka Hwesio itu kelihatan buruk dan menyeramkan sekali. Dan yang lebih mengherankan hati Cin Hai adalah ketika ia melihat Bu Pun Su berjalan di tengah-tengah rombongan itu. Anehnya, gurunya ini nampak sedih dan putus asa, berjalan sambil menundukkan kepala, sebagai seorang tawanan! Aneh sekali! Siapakah orangnya yang dapat menawan dan menundukkan Suhunya? Tak mungkin Hai Kong Hosiang! Cin Hai memandang rombongan itu dan selain Hai Kong Hosiang, ia melihat pula Balaki, Perwira Mongol yang dulu pernah dikalahkannya itu, seorang Perwira Mongol lain, seorang Pendeta Mongol jubah merah, dan seorang wanita tua berbaju putih bercelana hitam dan tak bersepatu!
Wanita ini nampak aneh karena walaupun nampak tua, Akan tetapi rambutnya masih hitam dan biarpun pakaiannya amat sederhana bahkan ia tidak bersepatu, akan tetapi sabuk yang mengikat pinggangnya terbuat dari pada sutera merah yang panjang dan indah, sabuk yang biasa dipakai oleh nona-nona muda! Pada jidat wanita tua itu nampak garis palang hitam, tepat di tengah-tengah alis agak di atas. Nenek aneh ini berjalan di sebelah kiri Bu Pun Su. Cin Hai menjadi bengong dan terheran-heran. Mungkinkah orang-orang ini dapat mengalahkan dan menawan Suhunya yang demikian sakti? Hampir ia tidak percaya, akan tetapi pemandangan yang oleh kedua matanya bukanlah terlihat di alam mimpi! Dari perasaan heran Cin Hai menjadi marah sekali terhadap rombongan itu. Ia mencabut sepasang Pedang Liong-Cu-Kiam, memegangnya erat-erat di tangan kanan kiri, lalu melompat keluar sambil berseru,
"Hai Kong keparat! Kau berani menghina Suhuku?"
Bentaknya dan kemudian ia menerjang mereka. Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan Cin Hai yang memegang sepasang Pedang yang bercahaya dan menggerakkannya secara hebat sekali! Balaki dan Pendeta Mongol berjubah merah menyambut serangannya dengan senjata mereka, akan tetapi sekali bentrokan saja senjata kedua orang itu terpental jauh, terlepas dari pegangan! Cin Hai hendak menyerang Hai Kong dan nenek tua itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar Suhunya berseru keras,
"Cin Hai, tahan Pedangmu!!"
Suara ini menyiram api yang membakar di dada Cin Hai dan ia berdiri memandang kepada Suhunya dengan heran dan cemas.
"Suhu..."
Katanya menahan napas.
"Mereka ini... mau apakah?"
"Jangan sembarangan turun tangan!"
Kata pula Bu Pun Su dengan suaranya yang amat berpengaruh.
"Kau pergilah saja ke Gua Tengkorak dan kau tolong Lin Lin."
"Lin Lin... kenapa dia, Suhu...?"
Tanya Cin Hai dengan wajah pucat. Dan aneh sekali, Bu Pun Su menarik napas panjang dengan wajah berduka. Baru kali ini Cin Hai melihat Suhunya berduka!
"Pergilah dan kau akan mendapat penjelasan dari Lin Lin."
Cin Hai mendengar suara ketawa bergelak dan ia cepat berpaling memandang kepada Hai Kong Hosiang yang masih tertawa sehingga menimbulkan rasa bencinya. Ingin ia menggerakkan Pedangnya menusuk dada Hwesio yang jahat itu.
"Akan tetapi, Suhu..."
Ia mencoba membantah.
"Diam! Dan jangan banyak cakap lagi. Pergilah!"
Seru Bu Pun Su marah. Dengan kepala tunduk dan beberapa kali menengok, Cin Hai lalu bertindak pergi.
"Ha-ha-ha! Pendekar Bodoh, kau benar-benar tolol dan bodoh. Bu Pun Su lebih pintar dari padamu! Nyawa Lin Lin kekasihmu itu berada di dalam tanganku dan tergantung kepada Suhumu apakah ia menghendaki kekasihmu itu hidup atau mati. Awas, jangan kau berani main-main dengan kami kalau menghendaki Suhumu dan kekasihmu itu dapat hidup! Ha-ha-ha!"
Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak sehingga menggema di dalam hutan itu. Suara tertawanya saja membuktikan bahwa kini ilmu Lweekang Hwesio itu telah naik berlipat ganda hingga diam-diam Cin Hai merasa tertegun.
Akan tetapi, kepandaian itu masih jauh daripada cukup mengalahkan Suhunya! Ia tidak berani membantah perintah Suhunya. Apalagi mendengar ancaman Hai Kong Hosiang tadi, membuat ia merasa gelisah dan cemas memikirkan nasib Lin Lin. Maka ia segera berlari cepat menuju ke Gua Tengkorak diikuti oleh gema suara tertawa Hai Kong Hosiang. Cin Hai berlari cepat, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa gelisah sekali. Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas, awaslah kalian! Ketika tiba di depan Gua Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia tidak mendengar sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya berdebar cemas dan hampir saja ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal mengerikan yang terjadi pada diri kekasihnya.
Setelah menetapkan hatinya, ia lalu melompat masuk ke dalam ruang besar di mana tengkorak-tengkorak raksasa masih berdiri dengan megahnya. Bertahun-tahun ia tinggal di tempat ini mempelajari ilmu silat, maka pemandangan ini tidak menimbulkan keseraman di hatinya lagi. Ia segera memandang dengan kedua matanya mencari-cari, dan karena tidak melihat Lin Lin di ruang itu, ia lalu berlari masuk ke dalam kamar tempat menaruh Hiolouw (Tempat Hio). Dan di situ ia melihat Lin Lin rebah telentang, pucat tak bergerak bagaikan mayat. Cin Hai berdiri terpaku di atas lantai, tak kuasa bergerak, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening. Hampir saja ia jatuh pingsan kalau ia tidak menekan perasaannya dan menguatkan hatinya.
"Lin Lin..."
Akhirnya ia dapat berseru dan menggerakkan kakinya, menubruk maju dan memeriksa keadaan kekasihnya. Ternyata bahwa Lin Lin hanya pingsan saja dan pernapasannya masih berjalan, sungguhpun amat lemah. Tidak ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik hijau yang terdapat pada lehernya, dan ketika Cin Hai meraba bintik itu, terasa panas menyerang jari tangannya. Ia merasa terkejut sekali dan dapat menduga bahwa kekasihnya tentu terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat. Bukan main marahnya. Mengapa Suhunya mendiamkannya saja, bahkan menyerah menjadi tawanan musuh? Cin Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia tidak mau menerimanya begitu saja.
Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa mereka memberi obat pemunah bagi kekasihnya, atau kalau mereka tak sanggup menyembuhkan Lin Lin, ia hendak mengamuk dan membunuh mereka semua dengan taruhan jiwa. Biarpun andaikata Suhunya akan melawan, ia akan nekat dan tidak menurut perintah Suhunya. Cintanya kepada Lin Lin jauh lebih besar daripada ketaatannya kepada gurunya. Kecemasan telah menggelapkan jalan pikiran Cin Hai dan sambil memondong tubuh Lin Lin yang lemas tak berdaya dan yang meramkan kedua matanya itu, Cin Hai mempergunakan ilmu berlari cepat, melompati jurang dan mengejar secepatnya. Akan tetapi, ketika ia tiba di sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin bergerak-gerak. Ketika ia memandang, ternyata kekasihnya telah membuka matanya. Cin Hai berhenti berlari dan mendekap kepala Lin Lin sambil berbisik,
"Lin-moi... Lin-moi... kau kenapakah...?"
Untuk sejenak Lin Lin tidak menjawab, hanya memandang kepada wajah Cin Hai seakan-akan baru sadar dari mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan ia menangis terisak-isak di dada pemuda itu. Cin Hai mendiamkannya saja dan setelah tangis Lin Lin mereda, ia lalu menurunkan tubuh kekasihnya itu, didudukkan di atas rumput dan ia sendiri duduk di sebelahnya. Ia merasa heran melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih seperti biasa kembali, hanya wajahnya masih nampak pucat. Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan wajah kuatir,
"Lin-moi, kau kenapakah?"
"Hai-ko, sukur sekali kau keburu datang. Telah terjadi malapetaka hebat menimpa Suhu dan diriku."
Cin Hai mengangguk.
"Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya, ketika aku hendak menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka rela menjadi tawanan mereka!"
"Kau tidak tahu, Hai-ko. Suhu sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk menolong jiwaku."
Terkejutlah Cin Hai mendengar ini dan teringatlah ia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang mengejek ketika ia hendak pergi meninggalkan mereka.
"Apa... apa maksudmu, Moi-moi...?"
Lin Lin menarik napas panjang lalu bercerita seperti berikut. Semenjak ikut pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu Pedangnya di bawah pimpinan Kakek jembel yang sakti itu. Mereka berdua lebih dulu singgah di dalam hutan dan membawa serta burung Merak Sakti dan Bangau Sakti, hingga kini di Gua Tengkorak itu terdapat tiga burung sakti, yaitu Sin-Kong-Ciak si Merak Sakti, Sin-Kim-Tiauw si Rajawali Emas dan Ang-Siang-Kiam si Bangau Sakti.
Gadis ini melatih diri dengan giat sekali dan sebentar saja ia telah mencapai kemajuan yang luar biasa sehingga kalau ia mainkan Pedang Han-Le-Kiam dengan ilmu Pedang yang diciptakan oleh Cin Hai untuknya maka gerakannya menjadi luar biasa hebatnya! Bu Pun Su telah memperbaiki gerakan-gerakannya itu dengan gerakan yang sesuai dan tepat, disesuaikan dengan Pedang yang pendek itu. Pada suatu pagi, selagi Lin Lin berlatih seorang diri di luar gua karena gadis yang rajin ini setiap hari bangun pagi-pagi sekali dan berlatih seorang diri, datanglah rombongan Hai Kong Hosiang itu. Seperti juga Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa Pendeta jahat itu masih hidup. Ia melihat empat orang lain datang bersama Hai Kong Hosiang, yaitu dua orang Perwira Mongol, seorang Pendeta Sakya Buddha dan seorang nenek tua yang aneh.
"Hai Kong si Jahat! Kau belum mampus?"
Teriak Lin Lin dengan terheran-heran. Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini hingga sebelah matanya yang kiri itu melotot dan mengeluarkan air mata!
"Kwee Lin, anak jahat! Kau dan Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan tetapi, Sang Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan tetapi sebetulnya kau lah yang jahat. Buktinya, biarpun aku telah menggelundung ke dalam jurang, akan tetapi ternyata Sang Buddha masih melindungiku dan cabang-cabang pohon menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh ke dalam jurang! Sekarang aku telah datang kembali dan aku harus mencokel sebelah matamu sebelum kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku. Ha-ha-ha!"
"Gundul keparat, jangan sombong!"
Lin Lin dengan garang memaki. Lin Lin sekarang bukanlah Lin Lin dulu, karena sekarang ia telah memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan dulu. Setelah membentak, ia segera menyerang dengan Pedang Han-Le-Kiam di tangannya. Hai Kong memandang rendah dan menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, maksudnya hendak dengan satu dua jurus saja menggulingkan gadis itu, akan tetapi kesombongannya ini hampir saja membuat nyawanya melayang! Ketika Lin Lin menyerang dengan gerakan limu Pedang Han-Le-Kiam yang diberi nama Ang-I To-Hwa atau Ang I Niocu Memetik Kembang, Pedang pendeknya membacok ke arah jidat yang licin dari Hwesio itu dengan cepat sekali.
Hai Kong Hosiang tersenyum sindir dan membentak keras lalu mempergunakan tangan kiri menyambar dari samping ke arah pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas Pedang dan tangan kanan mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri Lin Lin untuk mencokel keluar mata itu. Tidak tahunya, Lin Lin tidak melanjutkan serangannya dan secepat kilat ujung Han-Le-Kiam telah dibalikkan dan dari gerakan membacok jidat berubah menjadi tusukan ke bawah mengancam tenggorokan Hwesio itu dengan gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Sedangkan menghadapi tusukan jari tangan Hai Kong ke arah matanya, Lin Lin mengelak sambil merendahkan tubuh dan tangan kirinya tidak mau tinggal diam akan tetapi membarengi gerakan Pedangnya mengirim pukulan ke arah dada kiri Hai Kong Hosiang dengan ilmu Pukulan Pek-In Hoat-Sut yang dilakukan dengan sepenuh tenaga!
Bukan main terkejutnya hati Hai Kong Hosiang melihat perubahan yang tak pernah disangka-sangkanya ini. Kalau saja ia tidak memandang rendah dan berlaku hati-hati tentu takkan mudah dibikin terkejut oleh serangan ini, sungguhpun serangan Lin Lin ini benar-benar merupakan gerakan silat yang tinggi tingkatnya. Akan tetapi karena tadinya memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya dapat mengelak dari serangan Pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan jalan miringkan tubuh ke kiri. Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-In Hoat-Sut itu, ia tidak keburu berkelit lagi hanya dapat memutar dada dan menerima pukulan itu yang kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada kanannya!
Hai Kong Hosiang berseru kaget lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan yang panas sehingga telah mengerahkan Lweekangnya ke arah dada kanan, kalau tidak pasti akan pecahlah dadanya! Tubuhnya terpental ke belakang, dan biarpun ia masih dapat mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh, namun dada kanannya masih terasa panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah menjadi biru! Ia mengeluarkan keringat dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada kiri, pasti jantungnya akan terluka! Ia merasa bergidik memikirkan bagaimana gadis ini sekarang telah memiliki ilmu kepandaian sehebat itu, sedangkan Lin Lin yang melihat betapa pukulan dari Ilmu Pek-In Hoat-Sut yang ampuh itu tidak merobohkan Hai Kong Hosiang,
Juga menjadi terkejut dan maklum bahwa ilmu kepandaian Hwesio ini telah mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur lagi! Ia menjadi nekat dan maju lagi menyerang dengan keras, sedangkan Hai Kong Hosiang yang merasa marah lalu mencabut senjatanya yang masih seperti dulu, yaitu tongkat dari tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang berwarna hijau dan mengerikan sekali. Sambil membentak marah Hai Kong Hosiang menyambut terjangan Lin Lin dan bertempurlah mereka dengan seru. Pendeta Sakya Buddha kawan Hai Kong Hosiang yang melihat betapa gagah gadis itu sehingga dapat mempertahankan diri dari serangan Hai Kong Hosiang dengan baiknya, menjadi habis sabar dan maju mengeroyok sambil mainkan Pedangnya yang juga lihai. Pada saat Lin Lin bertempur dikeroyok dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam gua,
"Siancai... siancai""
Dan muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang dan perlahan.
"Aha, Hai Kong... kau kah yang kembali datang mengacau? Mundurlah dan jangan bermuka tebal mengeroyok seorang gadis muda!"
Sambil berkata, Bu Pun Su membuat gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai Kong Hosiang dan Pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang dan kawannya karena dorongan ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat mereka terhuyung mundur. Lin Lin juga menahan Pedangnya dan berdiri sambil memandang Suhunya, karena pada saat itu terjadi hal yang aneh. Bu Pun Su setelah mendorong Hai Kong dan Pendeta Sakya Buddha tadi kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada nenek yang tak bersepatu itu, dan berseru perlahan,
"Wi Wi... kau datang juga...?"
Nenek itu tersenyum menyindir, lalu berkata dengan suaranya yang terdengar merdu dan halus bagaikan suara seorang nyonya bangsawan terpelajar,
"Lu Kwan Cu, dimanakah ada perceraian yang kekal?"
"Wi Wi, tak kusangka bahwa kau masih hidup..."
"Kau sendiri masih betah tinggal di dunia, mengapa aku tidak?"
Melihat sikap Bu Pun Su yang agaknya takut-takut terhadap nenek itu dan mendengar percakapan mereka yang aneh ini, Lin Lin berdiri bengong dan seluruh perhatiannya tertuju kepada Suhunya dan nenek itu, hingga ia tidak menduga datangnya bencana dari fihak Hai Kong Hosiang. Ketika melihat gadis yang gagah itu berdiri bengong, Pendeta Sakya Buddha lalu mengayun tangannya dan belasan batang jarum hitam menyambar ke arah dada dan leher gadis itu. Lin Lin telah mempunyai perasaan dan pendengaran yang amat halus dan tajam, maka kedatangan belasan batang jarum yang menyambar ke arahnya itu biarpun tidak dilihatnya, dapat ditangkap oleh telinganya, maka ia menjadi terkejut sekali.
Tak ada lain jalan baginya selain menggulingkan tubuh ke atas tanah dan dengan demikian sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan ia dapat menghindarkan diri. Akan tetapi ia tidak menduga bahwa ketika itu, Hai Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat ularnya yang ketika ditekannya lalu memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah tubuh Lin Lin yang masih bergulingan! Lin Lin mencoba berkelit, akan tetapi datangnya jarum-jarum yang lihai dan cepat itu sukar sekali dikelit atau ditangkis, maka biarpun gerakan Lin Lin cukup cepat, sebatang jarum hijau masih berhasil mengenai leher! Lin Lin sudah mengerahkan Lweekangnya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras hingga jarum halus itu tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat dan mencabut jarum itu, lalu dengan marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang,
Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa pening dan menjerit keras terus roboh tak berdaya. Tubuhnya terasa panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali. Ia masih melihat betapa Bu Pun Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau Kakek itu tidak sedang terheran-heran dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang karena perjumpaannya dengan nenek itu, pasti ia dapat menggunakan kepandaiannya untuk menolong Lin Lin. Akan tetapi, keadaan Kakek jembel itu tadi seperti seorang yang kena hikmat dan tidak ingat apa-apa bahkan ketika Lin Lin diserang oleh Hai Kong dan Pendeta baju merah, ia tidak tahu atau mendengar sama sekali. Setelah Lin Lin menjerit dan roboh, barulah ia sadar dan cepat memandang.
"Hai Kong, pengecut berbatin rendah!"
Ia berteriak marah dan menggerakkan kedua tangannya. Kalau dua tangan Bu Pun Su itu jadi diangkat dan digerakkan ke arah Hai Kong Hosiang, entah nasib apakah yang akan dialami Pendeta gundul itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nenek itu dengan halus akan tetapi nyaring.
"Lu Kwan Cu, jangan bergerak!"
Bu Pun Su memandang dan melangkah mundur dengan muka pucat. Nenek itu memegang sebatang tusuk konde terbuat daripada perak yang berbentuk Naga indah sekali dan bermata intan, diangkatnya tusuk konde itu tinggi-tinggi sambil matanya memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam. Lemaslah tubuh Kakek itu dan ia menurunkan kembali kedua tangannya.
"Wi Wi, kau hendak mempergunakan itu untuk membela kejahatan?"
Bisiknya.
"Kwan Cu, apakah kau yang sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?"
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bu Pun Su menggelengkan kepala.
"Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biarpun tubuhku akan hancur lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?"
"Kehendakku yang harus kau turut ialah, kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama mereka berada di sampingku!"
Bu Pun Su menarik napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Baik, baik, aku takkan mengganggu mereka selama mereka berada di sampingmu!"
Ia berjanji. Nenek itu tersenyum dan menyimpan kembali tusuk kondenya yang demikian berpengaruh terhadap Bu Pun Su itu. Sedangkan Kakek jembel itu dengan muka penuh kecemasan lalu menghampiri Lin Lin yang masih rebah miring dan memandang semua peristiwa itu dengan mata terbelalak heran. Bu Pun Su memeriksa luka di leher Lin Lin dan ketika ia meraba luka bintik warna hijau itu, ia menjadi terkejut sekali.
"Hai Kong, kau kejam sekali!"
Katanya sambil memandang kepada Hwesio gundul yang berdiri sambil tersenyum penuh kepuasan.
"Bu Pun Su, jembel tua! Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?"
Tanya Hai Kong Hosiang dengan senyum sindir.
"Kau telah menggunakan racun Ular Hijau yang hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya hatimu!"
Kata Bu Pun Su.
"Ha-ha-ha. Matamu masih cukup awas!"
Hai Kong Hosiang menyindir.
"Tahukah kau cara bekerjanya racun itu? Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi pasti. Dan tidak ada obat di dunia yang dapat menyembuhkan orang yang terkena racun itu. Gadis ini hanya akan hidup selama seratus hari lagi. Keadaannya akan biasa saja, tidak merasa sakit apa-apa asalkan ia jangan merasa kuatir. Kalau ia merasa kuatir, racun itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang jantungnya hingga ia akan jatuh pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak berbahaya, dan pendeknya, ia akan hidup sampai seratus hari lagi. Ha, ha, ha!"
"Hai Kong, demi Ketuhanan dan Perikemanusiaan, jangan kau sekejam itu. Aku tahu bahwa untuk racun ini ada semacam obat di Mongolia dan kau yang bermain-main dengan racun ini tentu mempunyai pula obat penyembuhnya. Berikanlah obat itu untuk menolong nyawa muridku ini!"
"Ha, ha, ha! Enak saja kau bicara, pengemis tua!"
Hai Kong menjadi berani karena ia maklum bahwa Kakek jembel itu berada di dalam kekuasaannya.
"Aku tidak begitu bodoh untuk membawa-bawa obat itu bersamaku. Obat itu berada di suatu tempat yang aman!"
"Hai Kong, aku minta kepadamu, serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan takkan lama lagi hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia ini masih muda, dan masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Berikan obat itu dan aku berjanji hendak melakukan apa saja yang kau pinta, asal bukan kejahatan yang harus kulakukan!"
Kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung permohonan. Melihat dan mendengar semua ini, Lin Lin segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya serangan racun di tubuhnya sudah banyak mengurang.
"Suhu, Teecu tidak takut mati. Biarlah Teecu diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi perkenankan Teecu mengadu jiwa dengan Pendeta rendah budi itu!"
Bu Pun Su menggelengkan kepalanya.
"Jangan, muridku. Bukan saatnya, jangan menggunakan kekerasan..."
Kemudian ia memandang kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu.
"Wi Wi, sekarang apakah kehendakmu lagi?"
(Lanjut ke Jilid 29)
Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
"Kau harus ikut dengan kami dan membantu kami mendapatkan Harta Pusaka terpendam di gua Tun-Huang."
"Hanya itukah?"
"Ya, hanya itu dan setelah berhasil mendapatkan harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi ketahuilah bahwa pihak Turki dan juga Kaisar mencari-cari pula harta itu dan kau harus melindungi kami melawan dan mengundurkan mereka!"
"Aku menurut, Wi Wi, akan tetapi hanya dengan satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat itu, aku takkan menurut, biarpun dengan berbuat demikian berarti aku melanggar sumpah! Marilah kita masuk ke dalam guaku dan di sana kita bicarakan hal ini lebih mendalam pula."
Sambil menuntun tangan Lin Lin, Bu Pun Su mendahului rombongan itu memasuki Gua Tengkorak.
"Lin Lin kau beristirahatlah di dalam kamar Hiolouw itu dan bersamadhilah dengan tenang, membersihkan pernapasanmu agar racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras jalannya,"
Katanya kepada Lin Lin dan tidak mempedulikan suara ketawa Hai Kong Hosiang yang mengejeknya. Lin Lin melontarkan pandang mata membenci ke arah Pendeta gundul itu, lalu ia mentaati perintah Suhunya dan masuk ke dalam kamar Hiolouw lalu bersila dan mengatur napas.
Akan tetapi, ia memasang telinganya dan mendengarkan semua percakapan mereka. Akhirnya diputuskan oleh Bu Pun Su, Hai Kong Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su harus membantu mereka mendapatkan Harta Pusaka itu, kemudian kalau Harta Pusaka itu telah terjatuh ke dalam tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan memberi obat penyembuh racun yang menguasai Lin Lin. Mendengar percakapan itu, Lin Lin merasa terhina sekali dan ia merasa penasaran mengapa Bu Pun Su menjadi demikian lemah dan tidak berdaya terhadap nenek itu? Apakah nenek itu lebih lihai daripada Bu Pun Su? Andaikata lebih juga, mungkinkah Suhunya bersikap demikian pengecut dan takluk tanpa mengadakan perlawanan terlebih dulu? Ia menjadi gelisah dan duduknya tidak bisa diam. Tiba-tiba terdengar Bu Pun Su berkata,
"Lin Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan penasaran."
Kemudian, Kakek yang lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio.
"Wi Wi, jangan kau membuat aku dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau tidak mau menceritakan riwayat kita berdua hingga terdengar muridku dengan jelas, jangan harap kau akan dapat membawaku ke Barat untuk mencari Harta Pusaka itu."
"Apa?"
Nenek itu berseru heran.
"Kau tidak takut rahasia kita itu kubongkar?"
"Apakah yang kutakuti lagi? Nama buruk? Biarlah, aku sudah tak bernama lagi,"
Jawab Bu Pun Su.
"Tidak akan merasa malukah kau?"
"Di mana letaknya malu? Perbuatan yang telah dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah puluhan tahun kita menyimpan rahasia itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum kita mati."
"Tapi... tapi mengapa kau masih tunduk kepadaku kalau kau tidak takut rahasia itu terbongkar?"
Nenek itu suaranya mengandung gelora penuh keheranan dan kejutan. Bu Pun Su tersenyum.
"Itulah rahasiaku sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya dengan jelas sebelum kita berangkat."
Dengan suara gemetar, berceritalah nenek yang aneh itu. Dulu ketika muda dan masih berusia dua puluh lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu, muda, tampan, dan gagah.
Ilmu kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia menjagoi di seluruh daerah dan merupakan Pendekar yang ditakuti para penjahat. Karena Kakeknya, Perdana Menteri Lu Pin, menderita karena Pemberontakan An Lu Shan, maka Lu Kwan Cu membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya sebagai pembalasan dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu Shan yang bernama An Kai Seng dan yang sudah menjadi orang Han semenjak kawin dengan seorang gadis Han yang cantik. An Kai Seng sendiri biarpun berkepandaian tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan Cu yang mencari-carinya, hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya, yaitu yang bernama Wi Wi, seorang gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Akhirnya Lu Kwan Cu berhasil menjumpai mereka dan biarpun dikeroyok oleh banyak kawan-kawan An Kai Seng namun tak seorang pun dapat menghadapinya. An Kai Seng menjadi gelisah dan takut sekali dan tiba-tiba muncullah isterinya, yaitu Wi Wi Toanio yang cantik. Melihat suaminya berada dalam bahaya, Wi Wi Toanio lalu mempergunakan kecantikannya untuk menggoda hati Lu Kwan Cu dan sengaja memancingnya dan menantangnya untuk mengadu jiwa di dalam sebuah hutan antara Pendekar itu dan Ang Kai Seng suami isteri. Tantangan ini tentu saja diterima oleh Lu Kwan Cu dengan baik, dan ketika Pendekar muda ini pergi ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan, ia hanya menjumpai Wi Wi seorang diri. Wi Wi mempergunakan segala kecantikannya untuk memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan Cu dengan cara yang tak patut dituturkan di sini.
Lu Kwan Cu adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hubungan dengan wanita dan darah mudanya menggelora ketika ia menghadapi Wi Wi yang cantik dan pandai menggairahkan hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan bagaikan tak sadar ia menuruti kehendak wanita itu bagaikan seekor ikan bodoh yang tidak tahu akan bahaya umpan pancing! Semenjak saat itu, ia jatuh bertekuk lutut di depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila. Seringkali mereka mengadakan pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali tak sadar bahwa ia telah melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar kesusilaan dengan isteri orang lain, bahkan isteri musuh besarnya yang tadinya akan dibunuhnya! Semenjak saat itu, jangankan bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi diturutinya belaka.
Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika ia memberi sebatang tusuk konde kepada wanita itu pada saat ia mengucapkan sumpahnya bahwa selama hidupnya, ia akan menurut segala perkataan wanita yang juga bersumpah "Mencintanya"
Itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi. Lu Kwan Cu benar-benar mabok asmara dan tergila-gila. Ia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi Wi benar-benar mencintainya dengan setulus hati. Akhirnya, ketika pada suatu hari ia mengadakan pertemuan dengan Wi Wi di hutan, ia mendengar gerakan orang. Cepat ia melompat dan menangkap orang itu yang ternyata bukan lain ialah Ang Kai Seng sendiri yang mengintai. Ia hendak memukulnya, akan tetapi tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan tusuk konde itu dan minta ia melepaskan suaminya! Bukan main terkejut dan herannya hati Lu Kwan Cu melihat hal ini.
Ternyatalah kini bahwa tak terduga-duga sekali, An Kai Seng telah mengetahui akan perhubungan itu, dan bahkan dengan berani sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde pemberiannya di depan suaminya untuk menolong suami itu. Terbukalah matanya bahwa agaknya An Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama isterinya, yaitu mempergunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk menjebaknya! Dalam takutnya, An Kai Seng beserta isterinya telah menjalankan siasat keji dan rendah itu untuk menyelamatkan jiwa mereka. Hancurlah hati Lu Kwan Cu melihat kenyataan ini, akan tetapi ia adalah seorang gagah yang menetapi janji. Oleh karena ia sudah berjanji kepada Wi Wi terpaksa ia lalu meninggalkan tempat itu. Semenjak itu, ia lalu menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya itu.
Ia takut kalau-kalau Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai kekuasaan besar itu untuk memerasnya dan memaksanya membantu wanita itu melakukan hal-hal yang jahat! Maka ia melarikan diri dan merantau jauh meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih nama menjadi Bu Pun Su dan bertapa di pulau kosong, yaitu Pulau Kim-San-To! Ia menyangka bahwa wanita itu tentu telah mati. Tidak tahunya, setelah menjadi tua, tiba-tiba saja wanita iblis itu muncul lagi membuat gara-gara hingga terpaksa ia memegang teguh sumpah dan janjinya dulu dan membiarkan Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut. Setelah Wi Wi Toanio menceritakan semua ini yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong Hosiang dan kawan-kawanya, akan tetapi juga oleh Lin Lin, terdengar Bu Pun Su menarik napas panjang dan berkata,
"Tepat sekali ujar-ujar Nabi Khong Cu yang berbunyi, Pok-Hian-Houw-In, Bok-Hian-Houw-Bi, Koh-Kuncu-Sin-Ki-Tok-Ha! (Tidak ada yang lebih jelas dari pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada yang paling lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal yang tersembunyi). Ujar-ujar ini jelas memperingatkan manusia akan bahayanya musuh yang bersembunyi di dalam hati dan pikiran sendiri. Segala hal yang diperbuat oleh lahir, selalu datangnya dari dalam, bagaikan munculnya tunas yang mekar terdorong oleh suatu tenaga yang keluar dari dalam cabang! Hm, usia muda memang penuh bahaya!"
Setelah berkata demikian, Bu Pun Su lalu berkata kepada Lin Lin,
"Muridku, kau telah mendengar hal itu semua, dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat melanggar sumpah sendiri. Kau tenanglah dan tunggu saja di sini dengan baik-baik bersama tiga burung kita, tunggulah sampai aku kembali membawa obat penawar lukamu!"
Setelah berkata demikian, pergilah mereka meninggalkan Gua Tengkorak meninggalkan Lin Lin seorang diri di kamar Hiolouw itu. Dan di dalam hatinya, ia merasa berkuatir sekali, bukan kuatir terhadap diri sendiri, karena Lin Lin berhati tabah dan tidak takut mati, akan tetapi ia menguatirkan keadaan Suhunya. Ia lupa bahwa ia tidak boleh mempunyai perasaan kuatir, maka begitu penasaran itu mendesak jantungnya, ia menjerit keras lalu jatuh pingsan! Dan kemudian datanglah Cin Hai menemukannya dalam keadaan masih pingsan! Cin Hai mendengarkan penuturan itu dengan amat tertarik, gelisah dan terharu. Jarang terdapat orang seperti Suhunya. Gagah perkasa, memegang teguh sumpahnya, sungguhpun sumpah terhadap seorang jahat, akan tetapi rela mengorbankan dirinya demi keselamatan muridnya!
"Kalau demikian halnya, kau harus menenangkan hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah waktu yang cukup banyak bagi kita untuk berusaha mencari obat bagimu. Biarpun aku percaya penuh kepada Suhu bahwa ia tentu akan berhasil membawa obat penyembuh itu, akan tetapi, terlebih baik pula kalau kita tidak tinggal diam dan marilah kita pergi ke Kan-Su untuk menyusul mereka. Jangan kau kuatir, Adikku, aku telah berada di sampingmu dan demi Tuhan Yang Maha Agung, kau pasti akan tertolong."
Pada saat itu, di udara nampak tiga titik hitam yang melayang turun dan tak lama kemudian, tiga burung yang menjadi kawan Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas, dan Bangau Sakti, menyambar turun dan berdiri dekat mereka sambil mengeluarkan suara riuh rendah, seakan-akan menegur mereka mengapa meninggalkan begitu saja.
"Marilah kalian ikut kami pergi ke Barat,"
Kata Lin Lin. Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan bersama Lin Lin menuju ke Barat, diikuti oleh tiga burung sakti yang terbang tinggi di atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin, Cin Hai diam-diam merasa berduka dan gelisah sedangkan Lin Lin yang mengetahui keadaan kekasihnya itu, menghiburnya dengan berlaku riang gembira dan jenaka hingga Cin Hai merasa terhibur juga. Melihat sikap Lin Lin, seakan-akan ia tidak menderita sakit apa-apa dan memang betul ucapan Hai Kong Hosiang bahwa racun Ular Hijau itu amat halus kerjanya hingga orang yang terkena seakan-akan tidak merasa apa-apa padahal orang itu makin hari makin mendekati maut! Dalam usahanya menghibur Cin Hai, Lin Lin bahkan mempergiat latihan Pedangnya.
Cin Hai bukanlah seorang pemuda yang berhati lemah dan bersemangat kecil, maka ia pun segera dapat melupakan kekuatirannya dan sikap Lin Lin yang gembira ini banyak menolongnya, bahkan ia lalu sadar bahwa seharusnya dialah yang seharusnya memperlihatkan sikap gembira agar kekasihnya itu tidak memikirkan keadaan dirinya dan tidak timbul kekuatiran, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin Lin itu. Maka dengan gembira ia pun lalu membantu dan memberi petunjuk-petunjuk hingga ilmu Pedang Lin Lin kini menjadi makin maju saja. Cin Hai tidak mau menceritakan kepada Lin Lin tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek Toanio karena ia maklum bahwa hal ini membahayakan kesehatannya. Bahkan ia sengaja mengambil jalan memutar dan tidak melalui dusun di mana kedua Pendekar wanita itu tewas.
Kita mengikuti keadaan Ang I Niocu yang ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang pergi memberi laporan kepada Bu Pun Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya Cin Hai sambil menjaga gua rahasia tempat Harta Pusaka itu, juga sambil menunggu datangnya rombongan Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng yang juga menuju ke Kan-Su mengambil jalan lain. Pada suatu hari, karena merasa kesal tidak ada kawan dan tidak ada sesuatu yang dikerjakan, Ang I Niocu keluar dan pergi berjalan-jalan di sekeliling ibu Kota Lan-Couw yang ramai. Daerah Kan-Su adalah daerah Barat daratan Tiongkok dan di situ banyak terdapat suku-suku bangsa, bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ. Oleh karena ini, maka banyak sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil, yaitu jalan-jalan penuh orang-orang yang mengenakan pakaian bermacam ragam dan warna.
Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang berwajah manis dengan pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han. Akan tetapi, ketika Ang I Niocu berjalan-jalan dengan pakaiannya yang serba merah, langkahnya yang gagah, tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik jelita itu, Ia merupakan pemandangan yang amat mencolok mata dan yang jarang terlihat oleh orang-orang di situ. Oleh karenanya hampir semua mata memandang Dara Baju Merah itu dengan penuh kekaguman. Akan tetapi Ang I Niocu sudah biasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini, maka ia tidak mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka itu hanyalah patung-patung batu yang memandangnya tanpa berkedip. Ketika lewat depan sebuah toko yang menjual barang-barang kuno, Ang I Niocu teringat akan cawan tertutup yang menjadi penunjuk jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan rahasia gua rahasia itu.
Dara Baju Merah Eps 20 Pendekar Sakti Eps 31 Pendekar Sakti Eps 12