Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Mata Keranjang 13


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



Liong Bi memandang ke arah ikan-ikan emas yang berenang berkejaran di dalam kolam. Cang Sun juga memandang ke arah kolam.

   "Mereka itu selalu bergembira dengan teman-teman mereka, tak perduli ada bulan atau tidak, bunga bersemi atau tidak, sedangkan aku..."

   Cang Sun tidak melanjutkan ucapannya, merasa bahwa dia kelepasan bicara.

   "Kongcu sepi sendiri? Aihh, Cang Kongcu, kenapa Kongcu membuat sajak seperti itu bunyinya? Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti Kongcu dapat kesepian? Semua orang, terutama para
gadis di seluruh negeri, akan merasa bangga untuk menjadi teman Kongcu!"

   Ia mendekat, lalu dengan lembut ia duduk di atas bangku, di samping pemuda itu, lalu dengan pandang mata penuh daya pikat, ia berbisik.

   "Setidaknya aku siap sedia menemani dan menghibur Kongcu, setiap saat, dalam suka maupun duka..."

   Cang Sun terbelalak, mukanya semakin merah dan jantungnya berdebar. Dia bangkit dan berseru,

   "Long-Lihiap..."

   Akan tetapi ia menahan diri untuk melanjutkan tegurannya karena dia teringat betapa wanita ini pernah menyelamatkan nyawanya ketika dia diserang penjahat di
telaga tempo hari.

   "Kongcu, sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah kagum sekali kepadamu dan aku siap untuk melindungimu, menghiburmu, menemanimu dan membahagiakanmu selamanya..."

   Suaranya merayu-rayu dan dengan lembut dan hangat jari tangan wanita itu menyentuh lengan Cang Sun. Pemuda itu menjadi salah tingkah. Harus diakui bahwa dia amat tertarik. Wanita ini nampak demikian cantik menggairahkan, demikian gagah, dan demikian menantang. Akan tetapi, hati nuraninya menolak karena dia belum mengenal benar siapa sesungguhnya wanita ini, orang macam apa dan apakah benar tulus semua perasaan yang diucapkannya itu. Maka, dia pun melangkah mundur, tiga langkah. Liong Bi yang sudah bangkit berdiri dan melihat usahanya hampir berhasil, tidak mau melepaskan mangsa yang sudah di depan mulut begitu saja. Ia pun melangkah maju mendekat lagi, suaranya menggetar penuh perasaan,

   "Kongcu..."

   Pada saat itu terdengar suara Cang Hui,

   "Sun-ko, engkau di situkah?"

   Dan muncullah Cang Hui dan Cin Nio. Begitu mendengar suara gadis itu, Liong Bi cepat mundur beberapa langkah sehingga ia berdiri cukup jauh dari pemuda itu ketika dua orang gadis itu muncul dan tiba di situ.

   "Engkau baru apakah, Sun-ko? Eh, kiranya Enci Liong Bi juga berada di sini? Sedang apakah engkau, Enci Liong Bi?"

   Tanya Cang Hui sambil memandang tajam. Dengan sikap tenang Liong Bi menjawab,

   "Saya kebetulan lewat di sini ketika meronda, Siocia. Permisi, sara akan melanjutkan perondaan, menjaga keanaman malam ini."

   "Lebih baik begitu, Enci Liong Bi,"

   Kata Cang Hui, menyembunyikan makna yang tajam dalam ucapan itu walaupun dapat pula dianggap wajar. Liong Bi memberi hormat,

   "Permisi, Siocia, Kongcu...!"

   Ia pun, pergi dari situ. Setelah Liong Bi pergi, Cang Hui menghampiri kakaknya.

   "Koko, mau apa sih enci Liong Bi berada di sini?"

   Cang Sun menghela napas dan dia memandang kepada Cin Nio yang hanya berdiri di situ sambil menundukkan mukanya.

   "Dia hanya kebetulan lewat ketika meronda dan melihat aku berada di sini, ia lalu datang menghampiri aku dan kami bercakap-cakap. Kenapa engkau menanyakan?"

   Cang Sun membalas dan memandang adiknya yang dianggap terlalu mencampuri urusan pribadinya.

   "Tidak apa-apa, Koko, hanya aku merasa heran melihat keberaniannya menemui engkau seorang diri di malam hari begini. Hati-hati, Koko, aku mendengar dari enci Mayang bahwa enci Liong Bi adalah seorang janda. Jangan-jangan engkau akan terpikat olehnya!"

   "Huh, bicaramu sudah menyimpang, Hui-moi!"

   Cang Sun menegur adiknya.

   "Engkau lupa telah mengajak Cin-moi dan kau diamkan saja. Silakan duduk, Cin-moi."

   Cin Nio yang sejak tadi hanya mendengarkan, tersenyum dan mengangguk, lalu maju menghampiri Cang Hui,

   "Terima kasih, Sun-ko,"

   Katanya lirih. Seperti tidak disengaja, Cang Hui menemukan kertas yang ditulisi sajak oleh kakaknya dan membacanya dengan suara berirama dan merdu. Cang Sun tidak melarang, hanya memandang adiknya sambil tersenyum. Adiknya itu selalu manja dan dia amat sayang kepadanya karena hanya seorang itulah saudaranya. Setelah selesai membaca sajak itu, Cang Hui berseru,

   "Aih, indah sekali sajakmu ini, Koko. Hanya sayang, sajak ini memandang ringan, bahkan seolah menganggap aku dan enci Cin ini tidak ada saja. Kau keterlaluan, Koko."

   "Ehh? Apa maksudmu?"

   "Coba saja pikir, dalam sajakmu engkau berkeluh kesah, merasa kesepian tiada teman. Apakah kami berdua ini bukan teman yang baik?"

   "Ihh, anak nakal! Tentu saja, engkau malah adikku dan Cin-moi ini adik misan, lebih dari saudara!"

   "Nah, kalau begitu, kenapa di malam yang indah ini berkeluh kesah dan mengatakan sepi sendiri? Hayo, Koko, kita harus merayakan malam seindah ini bertiga! Atau, engkau lebih senang bercakap-cakap dengan janda itu?"

   "Hushh! Tentu saja aku senang bersamamu dan adik Cin Nio..."

   Kata Cang Sun dengan muka berubah merah.

   "Kalau begitu, tunggu sebentar, aku akan memanggil pelayan untuk menghidangkan anggur dan kueh. Enci Cin, kau temani Sun-ko sebentar!"

   Tanpa menanti jawaban, gadis yang lincah ini sudah berlari meninggalkan mereka berdua. Memang inilah yang ia kehendaki. Ia ingin memberi kesempatan kepada kakaknya dan Cin Nio untuk berdua saja agar mereka dapat leluasa bicara. Selama ini, hampir tidak ada kesempatan bagi mereka berdua untuk bicara empat mata, dan tanpa adanya pertemuan berdua saja, bagaimana mungkin niat orang tuanya menjodohkan mereka dapat terlaksana? Dan ia harus membantu mereka, membantu agar kedua orang yang disayangnya itu mendapatkan kesempatan! Setelah Cang Hui pergi meninggalkan mereka, dua orang muda itu duduk berhadapan dan keduanya berdiam diri.

   Cin Nio yang berwatak pendiam itu tidak berani berkutik. Biasanya, kalau ada Cang Hui, ia masih berani bicara kepada kakak misannya itu, karena bagaimanapun juga mereka telah saling mengenal dan bergaul sejak ia masih kecil. Akan tetapi, setelah kini duduk berdua saja, ia merasa rikuh dan tidak berani berkutik, apalagi memandang pemuda itu. Bahkan bernapas pun hanya lirih dan lembut sekali. Cang Sun juga merasa rikuh sekali. Dia tahu bahwa orang tuanya hendak menjodohkan dia dengan Cin Nio. Gadis ini memang cukup cantik jelita dan halus budi pekertinya. Akan tetapi, sejak dahulu dia menganggap Cin Nio sebagai adik misan, sebagai anggauta keluarga sehingga sukarlah baginya untuk mengubah perasaan sayang seorang kakak terhadap seorang adik ini menjadi cinta asmara seperti cintanya terhadap Kui Hong.

   Dia merasa iba kepada Cin Nio. Para gadis, terutama sekali gadis keluarga bangsawan, selalu hanya dapat tunduk atas kehendak orang tua, harus menerima calon suami yang dijodohkan orang tua! Dan selama ini, kalau dia memperhatikan sikap gadis itu, agaknya Cin Nio mulai menaruh harapan kepadanya! Memang dia tidak merasakan getaran cinta, dalam pandang mata gadis itu, akan tetapi jelas bahwa Cin Nio tertarik dan kagum kepadanya. Dapat dia bayangkan betapa akan sengsara hati Cin Nio kalau sampai jatuh cinta kepadanya dan dia tidak dapat menyambut cinta itu. Dia telah merasakan betapa pahitnya cinta sepihak, seperti dia mencintai Kui Hong dan tidak terbalas oleh gadis itu! Tidak, dia harus membuyarkan harapan Cin Nio, harus membuka mata gadis itu sebelum terlambat, sebelum gadis itu benar-benar jatuh cinta kepadanya! Dan sekarang inilah saatnya yang baik, karena kalau tidak sekarang selagi mereka duduk berdua, kapan lagi?

   "Cin-moi..."

   Katanya lirih. bagaimanapun juga, jantungnya berdebar tegang untuk membuka kenyataan yang pahit bagi gadis itu. Cin Nio mengangkat muka memandang, lalu menunduk kembali ketika melihat betapa kakak misannya itu menatap wajahnya,

   "Ya, Sun-ko? Ada apakah?"

   Jawabnya dengan suara dibuat wajar dan tenang, namun tetap saja suaranya agak gemetar.

   "Cin-moi, kebetulan sekali kita duduk berdua saja. Aku memang ingin sekali bicara denganmu, akan tetapi selalu tidak ada kesempatan."

   "Bicara soal apakah Sun-ko?"

   Gadis itu bertanya, suaranya lebih tenang.

   "Soal kita berdua. Engkau tentu tahu bahwa orang tua kita berniat untuk menjodohkan kita. Bagaimana pendapatmu tentang hal itu, Cin-moi?"

   Biarpun sudah menduga ke arah mana pembicaraan itu, tetap saja wajah itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan ini. Ia tetap menunduk ketika menjawab,

   "Apa yang dapat kukatakan, Sun-ko? Aku hanya dapat mentaati semua keinginan orang tua..."

   Cang Sun menghela napas panjang.

   "Aku tahu, dan begitulah memang nasib para gadis bangsawan. Akan tetapi aku seorang laki-laki, Cin-moi. Aku mempunyai pendirian sendiri dan aku hanya dapat menikah dengan seorang gadis yang saling mencinta dengan aku. Terus terang saja, Cin-moi, aku sayang kepadamu sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Sejak kecil kita sudah bergaul dan sejak kecil engkau kuanggap sebagai adikku. Sukar bagiku untuk mengubah perasaan itu sehingga terasa janggallah kalau kita harus berjodoh. Aku tidak ingin membiarkan engkau dalam keraguan, Cin-moi, oleh karena itu, aku berterus terang bahwa tidak mungkin aku dapat menuruti kehendak orang tua agar aku menikah denganmu. Bukan sekali-kali aku menolak karena engkau kurang baik, Cin-moi, melainkan karena aku tidak dapat menikahi seorang gadis yang kuanggap seperti adik sendiri."

   Cang Sun berhenti bicara. Dadanya terasa lapang bukan main seolah ada batu besar yang selama ini menghimpit perasaannya, kini telah terlontar keluar. Kepala itu semakin menunduk. Tidak, Cin Nio tidak merasa ditolak, tidak merasa dikesampingkan, tidak merasa terhina. Namun, ia merasa kecewa dan bersedih. Harus diakuinya bahwa selama ini,

   Timbul perasaan gembira kalau ia membayangkan betapa ia akan menjadi isteri Cang Sun. Ia kagum kepada kakak misannya itu dan betapa akan mudahnya untuk jatuh cinta kepadanya! Ia tidak merasa sakit hati karena kakak misannya berterus terang. Bahkan diam-diam ia merasa bersukur karena kakak misannya berani berterus terang. Dengan begini kesemuanya jelas sudah, dan ia tidak perlu lagi menggantungkan harapannya terhadap perjodohan itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, runtuhnya harapan itu menusuk perasaannya dan biarpun ia menahan diri sehingga tidak sampai terisak, tetap saja kedua matanya menjadi basah dan cepat ia menyusutnya dengan saputangannya. Akan tetapi, air mata itu keluar lagi dan ia segera bangkit berdiri, membelakangi Cang Sun dan menguatkan hatinya berkata tanpa menoleh,

   "Maafkan aku,... aku kembali... ke kamarku"

   Melihat gadis itu melangkah lunglai, Cang Sun merasa iba sekali.

   "Cin-moi, kau maafkanlah aku..."

   Akan tetapi gadis itu tidak menjawab, lalu berlari kecil meninggalkan taman, kembali ke kamarnya di mana ia membanting diri ke atas pembaringan dah menangis sepuas hatinya. Cang Hui merasa heran ketika kembali ke dalam taman bersama dua orang pelayan yang membawa makanan dan minuman dan tidak melihat Cin Nio di situ, hanya kakaknya duduk melamun seorang diri.

   "Ehh? Ke mana perginya enci Cin?"

   Tanyanya. Cang Sun memandang kepada dua orang pelayan itu dan Cang Hui menyuruh mereka pergi setelah mereka menaruh makanan dan minuman di atas meja.

   "Apakah yang telah terjadi, Koko?"

   Tanyanya setelah mereka duduk berdua saja. Pemuda itu menghela napas panjang.

   "Ia telah kembali ke kamarnya. Aku telah bicara terus terang kepadanya tentang kami, yaitu tentang perjodohan diantara kami yang dikehendaki para orang tua..."

   Cang Hui membelalakkan matanya.

   "Apa yang kaukatakan kepadanya, Koko?"

   "Aku berkata terus terang bahwa aku tidak mungkin dapat menikahinya karena aku sayang kepadanya seperti adik sendiri, bukan mencintanya seperti seorang pria kepada seorang wanita.

   "Ihh, kau kejam, Koko!"

   "Hemm, apakah engkau lebih senang melihat aku berpura-pura, membiarkan ia menanti dan mengharap?"

   Cang Hui termenung. Ia tidak dapat menyalahkan kakaknya. Akan tetapi ia kasihan kepada Cin Nio,

   "Engkau menghancurkan perasaan hatinya, Koko. Aku tahu bahwa ia cinta padamu."

   "Habis, apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin cinta bertepuk tangan sebelah, aku telah merasakan kepahitannya..."

   "Aih, Koko. Kenapa engkau tidak dapat melupakan enci Kui Hong? Ia tidak dapat kau harapkan lagi karena ia mencinta pria lain. Bukankah enci Cin amat baik? Kenapa engkau tidak dapat mencintanya? Apakah cintamu hanya untuk enci Kui Hong seorang saja?"

   "Sampai saat ini aku belum dapat melupakannya dan belum ketemu penggantinya."

   Kata pemuda itu dengan wajah murung.

   "Betapa lemah hatimu, Koko. Engkau harus dapat melihat kenyataan. Enci Kui Hong jelas bukan jodohmu. Mungkin sekarang ia telah menjadi isteri lain orang. Untuk apa kau kenang dan pikirkan terus menerus? Sudah sepatutnya kalau engkau memperhatikan gadis lain. Hati-hati, jangan engkau terpikat oleh enci Liong Bi itu."

   Cang Sun menggeleng kepala, kembali menghela napas panjang.

   "Aku tidak akan tertarik kepadanya. Memang nasibku agaknya, harus selalu kecewa dalam urusan yang satu ini. Ada gadis yang menarik hatiku dan amat kukagumi, akan tetapi ia pun sudah bertunangan dengan orang lain..."

   Cang Hui terlonjak kaget dan membelalakkan matanya memandang wajah kakaknya,

   "Mayang...??"

   Tanyanya terheran-heran. Kakaknya mengangguk dan kembali menarik napas panjang.

   "Akan tetapi ia telah bertunangan dengan Liong Ki, maka aku pun tidak berani memikirkannya."

   "Ahhh...! Ruwet kalau begini...!"

   Kata Cang Hui dan ia pun bertopang dagu, melamun jauh. Ia merasa ikut prihatin dengan keadaan kakaknya. Kenapa yang dicinta kakaknya itu selalu gadis yang telah menjadi milik pria lain? Ia tidak terlalu menyalahkan kakaknya.

   Ia sendiri pun kalau menjadi seorang pria, akan tergila-gila kepada Mayang. Gadis itu memang hebat! Kecantikannya khas dan istimewa, Ilmu kepandaiannya pun tinggi, rambutnya hitam panjang berombak, kulitnya putih seperti susu, dan bentuk tubuhnya! Bukan main! Akan tetapi sayang, gadis itu telah bertunangan dengan Liong Ki, dan harus ia akui bahwa pasangan itu serasi. Liong Ki juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan tampan, memang cocok dan tepat kalau menjadi calon suami seorang dara perkasa sepetti Mayang. Kakak beradik itu duduk termenung seperti patung, lupa kepada anggur dan makanan yang dibawa oleh dua orang pelayan tadi. Akhirnya mereka pun menggigil ketika hawa udara mulai dingin sekali. Mereka lalu meninggalkan taman dan kembali ke kamar masing-masing!

   Mayang termenung di dalam kamarnya. Entah mengapa, ia merasakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan hatinya. Entah itu karena sikap Sim Ki Liong yang dirasakannya berbeda dari biasanya, atau sikap Su Bi Hwa, ataukah pengalamannya yang aneh ketika ia seperti ditarik-tarik oleh kekuasaan aneh untuk memasuki kamar Ki Liong. Pendeknya, ia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, walaupun ia tidak tahu apa yang menyebabkannya. Kembali terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri. Di satu pihak, ia harus mengakui bahwa ia mencinta Sim Ki Liong dan mau memaafkan semua kesesatan yang pernah dilakukan pemuda itu di masa lalu, asalkan dia mau bertobat dan akan mengubah jalan hidupnya, menjadi seorang pendekar. Dan ia percaya bahwa demi cintanya, pemuda itu akan dapat merubah jalan hidupnya, menjadi seorang pemuda yang baik, menebus kesesatannya yang lalu dengan perbuatan-perbuatan yang gagah perkasa.

   Akan tetapi, akhir-akhir ini timbul keraguan dalam hatinya, dan hal itu timbul sejak pertemuan mereka dengan Su Bi Hwa. Ia merasakan suatu ketidakwajaran dalam sikap Bi Hwa, seolah-olah wanita itu menyimpan banyak rahasia. Yang jelas, lirikan mata dan senyum wanita itu terhadap Ki Liong teramat genit. Ia sudah membuang jauh-jauh perasaan cemburu yang tidak beralasan, akan tetapi, kini ia melihat sikap Bi Hwa terhadap Cang Sun yang sama pula genitnya. Dan ada perasaan tidak enak dan tidak suka terhadap wanita cantik yang lihai itu, seolah wanita itu merupakan suatu ancaman tersembunyi baginya. Ia harus menemui Ki Liong dan mengajaknya bicara dengan serius. Akan ditanyakan kepada kekasihnya itu tentang diri Bi Hwa, tentang latar belakang kehidupannya dan tentang riwayatnya.

   Malam ini juga! Ia segera membereskan pakaian dan rambutnya, keluar dari dalam kamar dan karena ia tidak ingin orang lain, terutama Bi Hwa sendiri, melihat ia bicara empat mata dengan Ki Liong. Mayang mempergunakan kepandaiannya untuk bergerak cepat, menyelinap di antara pilar dan berloncatan, menuju ke taman. Dari taman, akan mudah baginya untuk menghampiri kamar Ki Liong tanpa dilihat orang lain. Akan tetapi, ketika ia tiba di luar kamar Ki Liong dan mengetuk daun jendela kamar itu, ia tidak mendapat jawaban. Ia mengintai dari celah-celah jendela dan melihat kamar itu gelap pekat. Tak mungkin Ki Liong sudah tidur karena malam baru saja mulai. Setelah ia yakin bahwa pemuda itu pasti tidak berada di kamarnya, ia lalu mengira bahwa tentu Ki Liong sedang mempunyai tugas atas perintah Cang Tai-jin,

   Maka ia pun memasuki taman dengan maksud untuk menanti sampai pemuda itu kembali ke kamarnya. Tiba-tiba ia menyelinap dan bersembunyi di balik sebatang pohon. Dilihatnya Cang Hui berjalan seorang diri memasuki taman itu. Setelah melihat bahwa orang itu adalah Cang Hui, ia hendak keluar menyapanya, akan tetapi ia menahan diri dan mengintai ketika melihat bahwa gerak-gerik gadis bangsawan itu tidak seperti biasa dan aneh. Gadis itu melangkah seperti orang yang sedang tidur saja, tak pernah menengok ke kanan-kiri dan memandang lurus. Mayang membayangi dari belakang dengan hati-hati. Jantungnya berdebar tegang ketika ia melihat munculnya Ki Liang di sebelah depan, dan pemuda itu langsung menyongsong Cang Hui dengan sikap yang manis budi dan ramah!

   "Selamat malam, nona Cang Hui!"

   Katanya dengan ramah dan sopan. Cang Hui berhenti melangkah ketika melihat munculnya pemuda itu di depannya, dan ia nampak bingung.

   "Liong-ciangkun (perwira Liong)"

   Katanya lirih. Mayang mengintai dengan perasaan heran. Ia melihat betapa Ki Liong menghampiri gadis bangsawan itu sampai dekat dan tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu memegang kedua tangan Cang Hui! Dan gadis itu pun menyerah saja, tidak menjadi marah kedua tangannya dipegang dengan sikap demikian mesra oleh pengawal baru itu.

   "Nona, kenapa malam-malam begini engkau keluar ke taman? Hawanya dingin, dan banyak angin. Aku takut engkau masuk angin, Nona. Engkau begini cantik jelita seperti bidadari sayang kalau sampai jatuh sakit...

   "

   Ucapan itu lembut dan mesra.

   "Aku... aku...

   "

   Cang Hui berkata bingung dan nampaknya tidak tahu apa yang harus dikatakan, akan tetapi tidak marah atau membantah ketika Ki Liong menarik dan merapatkan tubuhnya.

   Melihat ini, Mayang terbelalak dan hatinya panas terbakar. Apa artinya semua ini! Ki Liong bermain gila dengan Cang Hui? Jelas bahwa pemuda itu berusaha merayu, akan tetapi kenapa sikap Cang Hui demikian aneh? Seperti orang dalam mimpi saja. Ia pun teringat akan keadaan dirinya beberapa malam yang lalu, ketika ada perasaan aneh mendorongnya untuk mencari Ki Liong dan ada rasa rindu yang tidak wajar terhadap kekasihnya itu. Teringat akan hal ini, Mayang lalu berdiri menghadap ke arah Cang Hui, menyilangkan kedua lengan depan dada, matanya memandang tajam ke arah gadis bangsawan itu dan ia pun mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh sihir yarg menguasai Cang Hui,

   Jika memang kekuatan sihir mencengkeram gadis itu seperti yang disangkanya. Ia memang mehguasai ilmu ini dari Kim-mo Sian-kiauw, gurunya. Sim Ki Liong atau dengan nama samaran Liong Ki yang tadinya merasa girang sekali bahwa usahanya menaklukkan hati Cang Hui kelihatannya akan berhasil baik berkat bantuan sihir dari Su Bi Hwa atau Liong Bi, menaklukkan hati gadis itu agar jatuh cinta kepadanya dan agar memudahkan cita-citanya, yaitu menjadi mantu Menteri Cang, tiba-tiba merasa betapa terjadi perubahan pada sikap Cang Hui. Kalau tadi gadis itu menyerah saja dalam rangkulannya, kini gadis itu meronta, melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur sampai empat langkah, matanya terbelalak dan nampak bingung sekali.

   "Ehhh...? Apa yang terjadi? Kenapa aku berada di sini? Dan engkau... ciangkun apa yang kau lakukan? Apa pula yang kulakukan...?"

   Cang Hui menggosok-gosok kedua matanya seperti orang yang baru bangun dari tidurnya. Liong Ki segera mengetahui bahwa entah bagaimana, siasatnya gagal dan dia adalah seorang yang cerdik. Dia merayu Cang Hui bukan karena jatuh cinta kepada gadis itu, bukan karena dorongan nafsu, melainkan dengan perhitungan agar dia dapat menjadi suami puteri menteri ini! Maka, dia pun cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, dengan sikap sopan dia pun berkata.

   "Nona, saya hanya ingin melindungimu. Tadi saya melihat Nona seperti orang yang kebingungan, berjalan seorang diri di dalam taman, dalam udara dalam yang dingin dan banyak angin. Kenapakah, Nona?"

   Gadis itu menggeleng kepala, masih nanar ketika ia teringat betapa tadi ia mau saja dirangkul perwira muda yang baru itu!

   "Aku... ah, mimpi buruk, agaknya ciangkun, jangan beritahukan peristiwa ini kepada siapapun juga!"

   Liong Ki memberi hormat lagi, sikapnya sbpar sekali, dan tentu saja amat menarik hati.

   "Baiklah, Nona. Saya bersumpah tidak akan membocorkan peristiwa ini. Saya akan menjaga nama baik Nona, saya akan melindungi Nona, kalau perlu dengan taruhan nyawa..."

   Lega rasa hati Cang Hui, akan tetapi ia juga masih merasa heran, bercampur rasa malu mengingat akan perbuatannya tadi,

   "Terima kasih, ciangkun. Engkau baik sekali."

   Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan taman kembali ke dalam rumah dalam keadaan masih bingung dan nanar. Ia telah berada di dalam taman, seperti dalam mimpi saja. Dan yang amat mengesankan hatinya adalah sikap perwira Liong Ki, demikian baik, demikian lembut dan penuh kasih sayang. Mendatangkan kemesraan akan tetapi sekaligus membangkitkan perasaan marah dan penasaran di dalam hatinya. Ia teringat bahwa perwira muda itu adalah tunangan Mayang yang disayanginya! Kenapa perwira itu bersikap demikian manis kepadanya? Dan kenapa pula ia tadi mandah saja dirangkul? Untuk melindunginya? Kenapa dengan sikap demikian mesra?

   Sementara itu, Mayang harus bergulat dengan nafsu sendiri setelah menyaksikan peristiwa yang aneh di taman itu. Kalau menurutkan nafsu amarah yang membakar hatinya, ingin ia muncul dan menemui Liong Ki pada saat itu juga, menegurnya dan minta ketegasan dalam sikapnya, bahkan mengambil keputusan malam itu juga mengenai hubungan antara mereka. Akan tetapi, ia menahan diri karena apa yang dilihatnya itu belum merupakan bukti akan niat kotor dari kekasihnya itu. Ia harus bersabar dan melihat perkembangannya. Bukan saja untuk menentukan sikap mengenai hubungannya dengan pemuda itu, akan tetapi yang lebih penting lagi, ia harus melindungi keluarga Cang yang demikian baik. Menteri Cang adalah seorang yang bijaksana, dan namanya harum, dikenal dan dihormati oleh semua pendekar.

   Juga puteranya, Cang Sun, seorang pemuda yang sopan dan alim. Apalagi Cang Hui, seorang gadis yang amat disayangnya biarpun mereka baru bergaul beberapa pekan lamanya. Gadis bangsawan itu demikian lincah jenaka, bersih hatinya dan baik budinya. Ia harus melindungi keluarga ini, andaikata ada orang yang akan mengganggu keluarga itu. Biar pengacau itu kekasihnya sendiri sekali pun! Juga masih ada sedikit harapan tergantung di hatinya bahwa apa yang dilihatnya tadi adalah hal yang terjadi bukan karena kesalahan kekasihnya, bahwa memang Liong Ki tidak tahu menahu tentang sikap aneh Cang Hui itu. Ia masih menaruh harapan bahwa Liong Ki yang mencintanya dan dicintanya akan tetap bertaubat dan mengambil jalan yang bersih. Pada keesokan harinya, ketika Mayang seperti biasa menemui Cang Hui dan Cin Nio, ia tidak melihat perubahan pada sikap Cang Hui.

   Akan tetapi ia melihat bahwa selama beberapa hari ini, Cin Nio nampak lesu dan seperti orang yang selalu melamun, seperti orang yang menderita kesedihan namun ditahan-tahan. Ia tidak mau bertanya apa-apa kepada Cang Hui, karena hal itu tentu akan membuat gadis bangsawan itu terkejut dan malu, apalagi karena gadis itu tidak memperlihatkan suatu kelainan, seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya. Sebaiknya, ketika Mayang hendak melanjutkan petunjuknya tentang ilmu silat, Cin Nio kelihatan malas, bahkan kemudian gadis ini berpamit dan mengatakan bahwa kepalanya agak pening dan hari itu ia tidak ikut berlatih silat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Mayang untuk bertanya tentang Cin Nio, dengan harapan agar ia mendengar sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa semalam.

   "Adik Hui, kenapakah adik Cin nampak begitu lesu dan bersedih? Apakah terjadi sesuatu yang membuatnya seperti itu?"

   Mereka duduk mengaso sehabis berlatih dan Cang Hui menyusut keringatnya sambil memandang wajah Mayang. Ia merasa suka dan sayang kepada gadis peranakan Tibet ini, dan teringatlah ia akan percakapan yang ia lakukan dengan kakaknya, di mana kakaknya itu mengaku bahwa dia kagum dan dapat jatuh cinta kepada gadis Tibet ini! Ia sendiri menyayangkan bahwa Mayang telah menjadi tunangan Liong Ki, perwira yang semalam..., terkenang akan peristiwa ini, mendadak saja Cang Hui tersipu dan kedua pipinya berubah merah. Ia sengaja menggosok-gosok mukanya yang terasa panas itu sehingga mukanya menjadi semakin merah segar.

   "Kasihan enci Cin..."

   Akhirnya ia mengeluh, teringat akan nasib Cin Nio yang mengalami patah hati karena cinta sepihak.

   "Kenapa ia? Ataukah... hal itu tidak dapat kau ceritakan kepada orang luar seperti aku? Kalau begitu maafkan pertanyaanku tadi."

   Cang Hui memegahg lengan Mayang dan tersenyum dengan manis.

   "Bagiku, engkau bukan orang luar lagi, Mayang. Engkau sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Maka, engkau boleh saja mendengar tentang urusan itu, asal engkau tidak akan menceritakan kepada orang lain."

   "Tentu saja, Adik Hui. Rahasia keluargamu sama dengan rahasiaku sendiri. Bukankah aku sudah mendapatkan kepercayaan untuk membimbingmu dalam berlatih ilmu silat dan tinggal di istana ini?"

   
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kasihan enci Cin, ia patah hati, Mayang. Ia menjadi korban cinta sepihak. Sudah kuceritakan bahwa ayah dan ibu menghendaki agar kakakku, Cang Sun-koko, berjodoh dengan enci Hui. Nah, beberapa hari yang lalu, dalam suatu kesempatan ketika mereka dapat bicara empat mata, kakakku itu dengan sejujurnya mengatakan kepada enci Cin bahwa dia tidak dapat berjodoh dengan enci Cin karena dia menyayang enci Cin sebagai adik sendiri. Nah, dapat kau bayangkan betapa susah hatinya, padahal enci Cin kelihatannya sudah jatuh cinta setengah mati kepada kakakku itu."

   Mendengar ini, Mayang mengerutkan alisnya dan termenung sejenak.

   "Hemm, kasihan sekali adik Cin Nio. Sungguh mengherankan, mengapa kakakmu tidak dapat mencintanya? Padahal, adik Cin adalah seorang gadis yang amat baik, cantik jelita, pandai dan baik budi..."

   "Pernah kuceritakan kepadamu bahwa kakakku sudah mencinta gadis lain, Mayang."

   "Hemm, kau maksudkan Cia Kui Hong itu? Kenapa masih memikirkannya? Bukankah gadis itu telah menjadi milik orang lain dan tidak membalas cintanya? Apakah selamanya kakakmu akan tetap bertahan dalam cintanya yang sepihak terhadap gadis itu?"

   Mayang merasa penasaran karena kasihan kepada Cin Nio.

   "Kurasa tidak begitu, Mayang. Sebetulnya kakakku itu suka kepada..."

   Cang Hui mengurungkan niatnya yang ingin membuka rahasia hati kakaknya. Tidak, pikirnya, ia tidak boleh mengatakan bahwa kakaknya mencinta Mayang. Bukankah Mayang sudah ada yang punya?

   "Suka kepada siapa, Adik Hui?"

   "Suka kepada gadis yang memiliki, ilmu kepandaian silat tinggi."

   "Hemm, dia sendiri tidak suka belajar ilmu silat."

   "Mungkin karena itulah. Karena dia tidak suka belajar ilmu silat, maka dia ingin melengkapi kekurangan dirinya itu dengan memilih seoraNg gadis lihai menjadi jodohnya. Akan tetapi tentu saja tidak semua wanita lihai disukainya. Peristiwa yang terjadi beberapa malam yang lalu itu...

   "

   Ia berhenti pula, ragu-ragu apakah peristiwa antara kakaknya dengan Liong Bi itu sebaiknya ia ceritakan kepada Mayang atau tidak.

   "Peristiwa apakah, Adik Hui?"

   Cang Hui menarik napas panjang. Sudah terlanjur, pikirnya.

   "Mayang, sebelum kuceritakan, katakan dulu, apakah engkau sayang kepada calon adik iparmu itu?"

   Mayang terbelalak heran.

   "Calon adik ipar yang mana...?"

   "Bukankah Liong Bi itu adik Liong Ki, tunanganmu?"

   Baru Mayang teringat bahwa wanita yang tidak disukanya itu menyamar sebagai adik kekasihnya.

   "Ahhh, ia yang kau maksudkan? Hemm, bagaimana, ya? Sayang sih tidak, bahkan aku... terus terang saja, kurang suka akan sikapnya yang genit. Selain itu, ia pun bukan adik iparku...

   "

   Mayang menghentikan ucapannya, merasa telah kelepasan bicara.

   "Ehh? Bukankah ia adik Liong Ki?"

   Mayang mengangguk, bingung sendiri karena hampir saja ia membuka rahasia mereka berdua.

   "Memang benar, adik Hui, akan tetapi aku... aku bukan tunangan Liong Ki. Kami hanya sahabat yang akrab."

   "Hemm, sahabat akrab yang saling mencinta, bukan?"

   "Sudahlah, Adik Hui, aku tidak suka bicara tentang hal itu. Sebetulnya, apa yang hendak kau ceritakan kepadaku? Peristiwa apa yang terjadi beberapa malam yang lalu itu?"

   Cang Hui lalu menceritakan tentang perbuatan Liong Bi yang memikat dan merayu kakaknya.

   "Kulihat jelas sekali Liong Bi merayu kakakku dengan sikap yang amat genit dan menjemukan. Akan tetapi, kakakku tidak suka kepadanya, walaupun ia pandai silat. Nah, sudah kuceritakan padamu, Mayang. Kalau engkau dekat dengan Liong Bi, katakah bahwa jangan lagi ia melakukan hal yang tidak patut seperti itu."

   Diam-diam Mayang terkejut dan marah mendengar ini. Akan tetapi ia tidak merasa heran.

   Ia tahu bahwa Liong Bi memang genit sekali, akan tetapi tidak disangkanya akan seberani itu, merayu Cang Sun, putera tuan rumah! Sungguh tidak tahu diri, tidak tahu malu. Yang membuat ia merasa heran, bagaimana Liong Ki dapat memiliki seorang sahabat yang seperti itu? Dan teringatlah ia kembali akan peristiwa aneh yang dilihatnya antara Cang Hui dan Liong Ki. Ia tidak ingin membikin Cang Hui malu dengan menanyakan peristiwa itu, akan tetapi ia menjadi semakin curiga. Hatinya merasa tidak enak. Ia harus menyelidiki keadaan Liong Ki clan Liong Bi! Malam itu gelap sekali. Langit tertutup mendung dan tak sebuah pun bintang nampak. Mayang menyelinap di balik pot bunga besar. Biarpun malam gelap, namun istana keluarga Cang dipasangi banyak lampu gantung. Ia melihat bayangan Liong Bi berindap-indap keluar dari kamarnya.

   Selama beberapa malam ini ia memang melakukan pengintaian, mengintai kamar wanita itu. Tidak terjadi sesuatu selama tiga malam dan malam ini ia melihat Liong Bi menyelinap keluar kamar, sikapnya mencurigakan sekali maka ia pun membayangi dari jauh. Kemudian ia ketahui bahwa Liong Bi menuju ke kamar Liong Ki dari belakang! Dengan jantung berdebar Mayang mengintai. Agaknya saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Jerih payahnya selama beberapa malam itu akan membuahkan hasil. Liong Bi mengetuk daun jendela kamar Liong Ki, perlahan. Daun pintu dibuka dari dalam dan wanita itu meloncat masuk seperti seekor kucing. Daun jendela ditutup lagi dan dengan mempergunakan kepandaiannya, Mayang menghampiri kamar itu tanpa menimbulkan suara, lalu ia mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Bi Hwa, kenapa engkau begini lancang masuk ke sini? Bodoh kau, bagaimana kalau ada yang melihatmu?"

   "Hi-hik, siapa yang dapat melihatku? Andaikata ada yang melihat pun, apa salahnya aku memasuki kamar kakakku sendiri? Aku kesepian, Ki Liong, aku penasaran dan kecewa karena gagal memikat Cang-kongcu. Gara-gara adiknya, daging yang sudah berada di bibir, terlepas lagi!."

   "Hemm, bukan hanya engkau yang gagal. Aku pun sudah hampir berhasil menundukkan Cang Hui, tiba-tiba saja terlepas dan gagal "

   "Nah, itulah! Maka aku ke sini untuk menghibur diri, juga menghiburmu agar kita berbesar hati dan dapat berusaha lagi."

   Terdengar wanita itu tertawa-tawa genit. Juga Ki Liong tertawa kecil. Mayang tidak perlu mendengar lebih banyak, juga ia tidak sudi mengintai ke dalam. Ia sudah tahu segalanya! Kiranya Sim Ki Liong bersekongkol dengan Su Bi Hwa! Bukan saja keduanya mempunyai hubungan yang mesum, akan tetapi juga keduanya bersekongkol untuk masing-masing merayu dan menundukkan Cang Sun dan Cang Hui! Peoghambaan diri kedua orang itu kepada keluarga Cang tidak jujur, tidak bersih dan mereka mempunyai rencana yang kotor. Agaknya kedua orang itu ingin mencari kedudukan tinggi melalui cara yang licik, yaitu ingin menjadi mantu Menteri Cang!

   Dan pemuda yang pernah menjatuhkan hatinya itu, pria pertama dalam hidupnya yang menjatuhkan cintanya, yang ia harapkan akan bertaubat, menjadi seorang pendekar dan calon suaminya, agaknya telah kembali ke jalan lama, jalan sesat! Setelah bertemu dengan wanita itu, kekasihnya agaknya telah pulih kembali seperti dahulu, menjadi hamba nafsu yang membuta. Mayang cepat meninggalkan tempat pengintaiannya, kembali ke kamarnya dan tak dapat ditahannya lagi, ia menangis! Ia membenamkan mukanya pada bantal dan air matanya bercucuran. Harus diakuinya bahwa ia mencinta Sim Ki Liong dan mengharapkan pemuda itu menjadi suaminya yang baik. Akan tetapi, kini jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan perasaan cinta yang mendalam itu berubah menjadi kebencian! Kalau cintanya itu diumpamakan sebuah mimpi indah, kini ia terbangun dan melihat kenyataan yang sebaliknya.

   Selama ini, dengan penuh harapan, cintanya dibangun dan ia bentuk menjadi tempat bunga dari kaca yang indah sekali. Akan tetapi, dalam sekejap mata tempat bunga itu hancur berantakan, meninggalkan pecahan-pecahan kaca yang menggores kalbu, mendatangkan luka berdarah yang teramat pedih. Cinta asmara adalah cinta nafsu yang selalu bersyarat dan berpamrih. Cinta seperti ini muncul setelah adanya suatu daya tarik yang menyenangkan, baik itu melalui ketampanan atau kecantikan wajah, kelembutan, keramahan, bahkan dapat melalui kedudukan, kemuliaan, kemewahan, atau kepintaran. Ada sesuatu yang ingin diraih dan dinikmati. Kalau pada suatu waktu terjadi sebaliknya, sesuatu yang tidak menyenangkan lagi, bahkan menyusahkan atau mengecewakan, maka cinta seperti ini mungkin saja akan berubah menjadi kebencian!

   Kita dengan mudah saja bersumpah cinta, sehidup semati, senasib sependeritaan, dan semua itu dapat terjadi selama si dia yang dicinta memenuhi syarat. Sekali saja syarat itu dilanggar, maka cinta berubah menjadi benci, dan kebahagiaan berubah menjadi kesengsaraan. Banyak sudah terjadi peristiwa yang membuktikan betapa fananya cinta itu. Suami isteri yang tadinya bersumpah saling cinta akhirnya bercerai setelah setiap hari cekcok. Sahabat yang tadinya saling mencinta dan saling setia akhirnya saling bermusuhan. Orang tua yang tadinya bersumpah mencinta anaknya, akhirnya menyumpahi anak itu. Semua ini terjadi karena syarat cinta itu dilanggar, pamrih dalam bercinta tidak terpenuhi. Terjadi konflik-konflik yang dapat menjalar dan berkembang menjadi konflik antar bangsa dan antar negara.

   Sumbernya adalah konflik dalam diri pribadi kita masing-masing. Selama hati akal pikiran dikuasai nafsu daya redah, maka si-aku semakin menonjol, semakin berkembang kuat. Si-aku adalah nafsu yang menguasai hati akal pikiran, si aku adalah keinginan-keinginan. Selama si aku merajalela, maka terjadilah bentrokan-bentrokan antar keinginan, antar kepentingan diri masing-masing dan timbullah pertikaian dan permusuhan. Hanya cinta kasih Tuhan sajalah yang maha benar dan maha suci, tidak ada kebalikannya karena tunggal! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membebaskan batin dari cengkeraman nafsu daya rendah dan mengembalikan nafsu-nafsu ke dalam kedudukannya yang semestinya, yaitu menjadi alat pelengkap kehidupan manusia, menjadi abdi, bukan majikan.

   Kalau sudah begitu, hanya kekuasaan Tuhan yang akan menjadi kemudi, bukan lagi nafsu daya rendah, dan barulah apa yang dinamakan cinta kasih tidak akan mendatangkan sengsara! Dalam kesedihannya, Mayang masih menahan diri. Tidak mungkin ia harus mendatangi Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa lalu menegur mereka. Tidak mungkin ia mengamuk karena cemburu. Kalau saja ia tidak ingat akan keluarga Cang, tentu malam itu juga ia meninggalkan tempat itu, meninggalkan Sim Ki Liong begitu saja, memutuskan hubungan lahir batin dan mengambil jalan hidupnya sendiri. Akan tetapi, ia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cang. Ia tidak ingin melihat Cang Hui menjadi korban Sim Ki Liong, atau Cang Sun menjadi korban Su Bi Hwa. Ia harus menentang niat buruk mereka. Mereka itu hendak memikat putera puteri pembesar Cang hanya untuk mendapatkan kedudukan tinggi.

   Dan ia harus mencegah terjadinya hal ini. Sekarang ia mulai menduga bahwa kekuasaan aneh yang membuat ia malam-malam itu rindu kepada Ki Liong, juga yang membuat Cang Hui seolah-olah dalam mimpi dan mau saja dirangkul Ku Liong, adalah kekuasaan tidak wajar, kekuatan sihir! Buktinya, ketika ia mengerahkan kekuatan batinnya, ia tersadar, demikian pula Cang Hui. Mengingat akan hal ini, ia menjadi semakin penasaran dan marah. Liong Ki atau Sim Ki Liong sudah berani mempergunakan sihir, hal ini membuktikan bahwa pemuda itu kembali mengambil jalan sesat. Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang tidak tahu bahwa rahasia mereka sudah diketahui Mayang, malam itu mengadakan pertemuan untuk melepas kerinduan mereka dan juga untuk mengatur siasat. Mereka maklum bahwa siasat mereka memikat Cang Sun dan Cang Hui mengalami kegagalan.

   Mereka akan mengulang lagi akan tetapi harus secara halus dan tidak tergesa-gesa, karena kalau sampai terbongkar rahasia mereka, akan gagallah segalanya, bahkan mereka akan terancam malapetaka. Mereka lalu mengatur siasat lain untuk memperbesar kepercayaan Menteri Cang kepada mereka. Kepercayaan menteri itu yang akan menjadi landasan kuat bagi kedudukan mereka. Mayang berpura-pura tidak tahu saja akan hubungan antara Liong Ki dan Liong Bi. Ia harus mendapatkan bukti yang lebih kuat untuk membongkar niat buruk mereka, kalau memang benar mereka itu berniat buruk seperti yang diduganya. Tanpa bukti yang nyata, tentu saja ia tidak mampu melakukan sesuatu. Apalagi karena sikap kedua orang itu kepadanya amatlah baik, bahkan lebih ramah daripada biasanya. Juga Liong Ki selalu bersikap sopan, tidak lagi memperlihatkan sikap merayu seperti biasanya.

   Tiga hari kemudian, pada suatu malam yang gelap, empat sosok bayangan orang bergerak dengan lincahnya di dalam taman yang luas dari istana Menteri Cang Ku Ceng. esungguhnya amat mengherankan bagaimana sampai ada empat orang asing dapat memasuki taman itu dari luar, padahal penjagaan di situ cukup ketat. Mereka dapat melompati pagar tembok taman dari bagian yang kebetulan tidak terjaga. Juga, kini dengan berindap-indap mereka menghampiri bangunan gedung atau istana keluarga Cang dan berhasil memasuki gedung melalui pintu samping yang ternyata tidak terkunci dalam! Mereka nampaknya sudah hafal akan keadaan di situ, buktinya mereka sambil berindap-indap langsung saja menuju ke kamar induk, kamar Menteri Cang dan isterinya!

   Ketika mereka berindap menuju ke kamar itu, tiba-tiba muncul dua orang penjaga yang melakukan perondaan. Seorang membawa lampu teng, yang ke dua membawa canang yang kadang dipukulnya lirih. Keduanya membawa golok telanjang. Cepat sekali gerakan dua di antara empat sosok bayangan itu. Mereka melompat keluar dan dua orang peronda itu sudah roboh tertotok, canang dan lampu telah berpindah tangan, demikian pula golok mereka sehingga mereka berdua itu roboh tanpa mengeluarkan suara gaduh. Agaknya empat orang itu telah mempelajari keadaan di gedung besar itu. Mereka tanpa ragu-ragu menghampiri kamar besar di mana Cang Taijin dan isterinya tidur. Akan tetapi ketika mereka menghampiri jendela kamar untuk membongkarnya, tiba-tiba muncul dua orang penjaga. Mereka melihat betapa dua orang penjaga yang meronda telah menggeletak tak bergerak.

   "Penjahat...!"

   Bentak mereka dan dua orang ini sudah menerjang dengan golok mereka. Dua di antara empat orang itu menyambut dengan pedang, sedangkan dua orang lagi membongkar jendela. Suara gaduh itu mengejutkan Menteri Cang Ku Ceng yang sudah membuka daun pintu. Isterinya menjerit dan berteriak-teriak memanggil pengawal. Dua orang yang tadi membongkar jendela, ketika melihat Menteri Cang keluar sambil membawa pedang, segera menyerang. Menteri Cang bukanlah seorang ahli pedang. Dia seorang ahli militer, dan biarpun dia tidak pandai sekali berkelahi, namun sebagai seorang menteri yang kadang menjadi seorang panglima, tentu saja dia bukan orang yang lemah. Segera dia menggerakkan pedang melindungi dirinya, sementara itu, isterinya berteriak-teriak minta tolong.

   Dua orang penjahat telah merobohkan dua orang penjaga yang tadi menyerbu dan kini mereka membantu dua orang kawan mereka mengeroyok Menteri Cang! Mereka adalah orang-orang yang pandai memainkan golok mereka, dan pembesar itu segera terdesak hebat dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Akan tetapi, agaknya teriakan-teriakan isteri pembesar itu menarik perhatian dan tiba-tiba muncullah Liong Ki dan Liong Bi! Kedua orang ini dengan pedang di tangan menerjang dan dalam waktu singkat saja, empat orang penjahat itu roboh! Mayang juga datang, akan tetapi ketika ia tiba di situ, agak terlambat karena ia terbiasa tidur melepaskan pakaian dan sepatu sehingga tadi harus mengenakan pakaian dan sepatu lebih dulu, juga menyanggul rambutnya yang dibiarkan terlepas dari ikatan, ia melihat empat orang itu telah roboh.

   "Tangkap mereka hidup-hidup!"

   Ia berseru, akan tetapi seruannya terlambat sudah. Pedang di tangan Liong Ki dan Liong Bi telah menembus jantung mereka, dan empat orang itu tewas seketika. Mayang cepat melompat ke dekat empat orang itu dan memeriksa. Ternyata mereka tidak mungkin dapat ditanya lagi.

   "Aih kenapa kalian membunuh mereka?"

   Ia mencela Liong Ki dan Liong Bi.

   "Mereka, adalah orang-orang jahat, sudah sepatutnya dibunuh!"

   Kata Liong Bi.

   "Benar, aku pun tak dapat menahan kemarahanku tadi. Sekarang baru aku ingat bahwa semestinya mereka itu ditanya dulu sebelum dibunuh."

   Kata Liong Ki.

   "Sudahlah, mereka sudah mati dan kalian sungguh telah menyelamatkan nyawa kami."

   Kata Menteri Cang dengan sikap masih tenang saja dia sudah terbiasa menghadapi ancaman dan bahaya, maka peristiwa yang hampir mencelakainya tadi dihadapi sebagai hal biasa saja. Isterinya juga keluar kamar dan wajah nyonya bangsawan itu agak pucat. Kemudian muncul pula Cang Hui dan Tan Cin Nio dan kedua orang gadis ini pun telah membawa sebatang pedang. Ketika mereka melihat Menteri Cang dan isterinya selamat dan empat orang penjahat terbunuh, legalah hati mereka dan Cang Hui merangkul ibunya. Cang Sun muncul dan pemuda itu segera berkata, dengan sikap sungguh-sungguh kepada ayahnya.

   "Ayah, peristiwa ini membuktikan bahwa pihak yang memusuhi ayah mulai berani mengirim pembunuh untuk menyerang kita. Maka, sudah seyogianya kalau ayah memperketat dan memperkuat penjagaan. Kalau kebetulan kedua kakak-beradik Liong hadir, tentu saja keamanan ayah terjamin. Akan tetapi tidak mungkin mereka menjaga keselamatan ayah siang malam."

   Menteri Cang mengangguk, lalu memerintahkan penjaga untuk menyingkirkan mayat empat orang penjahat dan dua orang penjaga, memerintahkan komandan jaga untuk melapor kepada panglimapasukan keamanan agar diselidiki siapa adanya empat orang penjahat itu. Kemudian, dia menyuruh Cang Hui dan Cin Nio menemani isterinya di dalam kamar, dan dia sendiri mengajak Liong Ki, Liong Bi clan Mayang untuk bercakap-cakap di ruangan dalam. Setelah mereka berempat duduk berhadapan terhalang meja besar,kembali Menteri Cang memuji dua orang pembantunya dan berterima kasih atas pertolongan mereka ketika tadi dia terdesak dan terancam. Liong Ki segera memberi hormat kepada Menteri Cang.

   "Harap paduka tidak berpendapat demikian, Tai-jin. Sudah menjadi tugas kewajiban kami berdua untuk melindungi keluarga Tai-jin dari ancaman bahaya yang datang dari manapun juga. Kami hanya merasa bersyukur bahwa kami tidak sampai terlambat."

   "Tai-jin telah melimpahkan kebaikan kepada kami, sudi menerima kami. Karena itu, kami selalu siap untuk membela Tai-jin, dengan taruhan nyawa sekalipun,"

   Kata pula Liong Ki dengan suara dan wajah sungguh-sungguh. Cang Tai-jin mengangguk-angguk.

   "Bagus, tidak percuma kami menerima kalian sebagai pengawal keluarga."

   Mayang sejak tadi hanya diam saja. Ia pun bersyukur bahwa pembesar bijaksana itu dapat diselamatkan, dan pembelaan Liong Ki dan Liong Bi, sedikit banyak telah mengurangi rasa tidak senangnya kepada mereka. Mereka itu terbukti setia, dan siapa tahu, mungkin mereka berdua merayu putera puteri Menteri Cang bukan dengan niat buruk, melainkan karena jatuh hati! Yang membuat ia tidak puas adalah dibunuhnya empat orang calon pembunuh itu sehingga tidak dapat diselidiki, siapa yang menyuruh mereka itu menyerbu.

   "Sayang kita tidak dapat mengetahui siapa orangnya yang telah menyuruh empat orang pembunuh itu, Tai-jin,"

   Kata Mayang.

   "Kalau mereka tidak dibunuh dan dapat ditangkap hidup-hidup, tentu mereka akan dapat membuat pengakuan dan kita dapat menangkap dalangnya."

   Mendengar ini Liong Ki dan Liong Bi saling lirik lalu Liong Ki berkata,

   "Adik Mayang benar sekali. Kami juga merasa menyesal mengapa kami tidak ingat akan hal itu. Kami terlalu terburu nafsu sehingga lupa dan telah membunuh mereka."

   "Siapa yang tidak marah melihat para penjahat itu nyaris membunuh Tai-jin? Kami terlalu marah pada saat itu,"

   Sambung Liong Bi. Cang Taijin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk.

   "Hal itu sudah terjadi dan tidak ada gunanya disesalkan. Andaikata mereka tertawan hidup-hidup, belum tentu mereka mau mengaku. Musuh kami terlalu banyak, dan kami kira mereka adalah kaki tangan para pemberontak. Mulai sekarang, pasukan pangawal harus dipersiapkan untuk membantu kalian. Akan kupanggil kembali Coa-ciangkun agar dia mengatur pasukan pengawal sehingga tidak ada lagi pengacau yang dapat menyelinap masuk tanpa diketahui."

   Sejak. peristiwa malam itu, Menteri Cang Ku Ceng semakin percaya kepada kakak beradik Liong Ki dan Liong Bi, dan tentu saja kedua orang ini merasa senang. Memang inilah tujuan mereka. Liong Bi yang mengatur siasat itu. Ia menghubungi Pek-lian-kauw, mengatakan bahwa ia dapat memberi jalan kepada beberapa orang Pek-lian-kauw untuk masuk ke dalam rumah gedung Menteri Cang Ku Ceng. Tentu saja pihak Pek-lian-kauw gembira mendengar ini karena mereka tahu bahwa Menteri Cang merupakan seorang di antara dua menteri setia yang pandai dan menjadi tulang punggung kerajaan Beng. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman dan cerdik.

   Merasa bahwa dengan peristiwa itu mereka telah maju beberapa langkah dan kedudukan mereka menjadi semakin kokoh dan baik, mereka tidak mau membuat banyak ulah yang mungkin membahayakan kedudukan mereka. Usaha mereka mendekati Cang Sun dan Cang Hui untuk sementara mereka tunda. Kalau kepercayaan keluarga Cang semakin menebal, tentu akan semakin mudah bagi mereka untuk mencapai sasaran itu. Karena sikap mereka itu, Mayang juga terkecoh. Ia tidak lagi melihat dua orang itu merayu putera-puteri Menteri Cang. Sikap mereka baik dan sopan, dan ramah terhadap dirinya. Dari Cang Hui ia mendengar bahwa kini kedua orang itu sama sekali tidak pernah lagi mengganggu, bersikap sopan dan baik. Akan tetapi sungguh aneh, luka di hati Mayang agaknya tidak dapat sembuh sama sekali.

   Rasa cintanya terhadap Sim Ki Liong sudah membuyar karena ia merasakan benar bahwa ada suatu rahasia yang busuk di antara Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang kini menyamar sebagai kakak-beradik itu. Biarpun kini kedua orang itu bersikap sopan dan baik terhadap Cang Sun dan Cang Hui, namun ia hampir yakin bahwa mereka itu pernah merayu putera dan puteri Cang itu dengan cara yang tidak wajar. Ada kehidupan di perutnya. Perutnya berkeruyuk di luar kehendaknya. Perut itu hidup dan kini memberi isyarat minta diisi. Bukan hanya mendengarkan suara berkeruyuk, akan tetapi juga terasa hampa dan pedih. Lapar! Dalam keadaan seperti itu, yang dibutuhkan hanyalah makanan pengisi perut. Makanan apa saja, asalkan dapat memenuhi tuntutan perut lapar. Bukan lagi tuntutan nafsu selera mulut yang ingin makan enak.

   Hay Hay memasuki hutan yang nampak liar dan gelap itu. Hutan selebat itu tentu dihuni binatang yang dapat dimakan dagingnya, atau mungkin saja tumbuh pohon buah. Pendeknya, daging binatang atau buah apa saja yang dapat dimakan. Dia amat memerlukannya saat itu. Akan tetapi tidak ada pohon buah di tempat itu. Yang ada hanyalah pohon-pohon liar yang besar, mungkin sudah ratusan tahun umurnya. Dia harus mencari binatang hutan yang dagingnya enak dimakan. Kalau ada kelinci atau kijang. Dia tidak mau makan daging kera atau babi hutan, belum pernah dia memakannya dan rasanya tidak tega untuk makan daging kera, dan ia merasa jijik makan daging babi hutan yang nampaknya demikian kotor.

   Sejak kemarin dia melakukan perjalanan di daerah tandus, tidak bertemu dusun dan sudah sehari semalam dia tidak makan. Perutnya yang lapar membuat tubuhnya agak gemetar. Tiba-tiba dia mendengar suara auman yang menggetarkan bumi. Auman harimau! Pernah dia makan daging harimau. Lumayan juga. Seperti daging domba, panas, hanya lebih kasar. Kalau tidak ada pilihan lain, daging harimau pun akan diterima dengan senang oleh perutnya. Daging harimau bakar, dia masih menyimpan bawang kering dan garam! Jakunnya sudah naik turun ketika dia membayangkan daging harimau yang dipanggang kemerahan. Cepat dia menyelinap, menuju ke arah suara auman harimau. Kini, suara itu menjadi semakin riuh dan ternyata bukan suara seekor harimau saja yang mangaum, melainkan ada beberapa ekor harimau dan dua di antaranya menggereng, disusul gerengan harimau lain sehingga menjadi ramai sekali.

   Hay Hay cepat menghampiri tempat itu, dan dia bersembunyi sambil mengintai dengan hati tertarik sekali. Seekor harimau yang berbulu hitam sedang berkelahi melawan dua ekor harimau biasa. Dua ekor harimau yang mengeroyoknya itu bertubuh lebih besar, akan tetapi harimau hitam itu tangkas bukan main. Gerakannya amat cepat, gesit dan dari otot-otot yang kekar melingkari tubuh di bawah kulit itu dapat diketahui bahwa harimau hitam ini selain tangkas juga amat kuat. Hay Hay yang menjadi penonton, kagum bukan main. Harimau hitam jantan itu sungguh perkasa. Di tempat itu terdapat pula dua ekor harimau betina yang masih muda. Mereka pun agaknya menjadi penonton dan sesekali mengeluarkan gerengan. Seperti telah diduga oleh Hay Hay, perkelahian itu tidak berlangsung lama. Segera dua ekor harimau biasa itu melarikan diri dengan luka-luka berdarah.

   Dan kini, harimau hitam menghampiri dua ekor harimau betina, harimau berbulu biasa seperti dua ekor harimau jantan yang tadi melarikan diri. Dua ekor harimau betina ini menggereng dan nampak
(Lanjut ke Jilid 13)
Jodoh Si Mata Keranjang (Seri ke 11 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
tidak senang, akan tetapi ketika harimau hitam mengeluarkan auman dan memperlihatkan gigi bercaling yang runcing tajam, dua ekor harimau betina itu nampak ketakutan dan mereka pun tidak melawan ketika harimau jantan hitam itu membelai-belai dan menumpahkan berahinya. Hay Hay tertegun dan dia pun teringat kepada mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah. Harimau hitam ini agaknya memiliki watak yang mirip mendiang ayahnya itu. Gila betina dan mempergunakan kekerasan untuk merampas harimau betina dari harimau lain, dan memaksakan kehendak dan berahinya! Dia masih terpesona melihat lagak harimau jantan hitam itu.

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 6 Kumbang Penghisap Kembang Eps 19 Pendekar Mata Keranjang Eps 45

Cari Blog Ini