Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 19


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Yang aneh bukan aku tapi engkau, nona. Sudah jelas mengapa aku membakar gubuk itu dan engkau bertanya. Ini namaya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!"

   "Tar-tarrr...!!"

   Cambuk itu meledak berlagak kaget dan ketakutan, memegangi kepalanya.

   "Wah-wah, jangan main-main, nona. Kalau kena kepalaku, berat. Ke mana aku harus mencari pengganrt kepalaku?"

   Mendengar ucapan itu, Mayang tersenyum geli, akan tetapi juga masih jengkel.

   "Nah, jawab yang benar kalau engkau tidak ingin kehilangan kepala! Mengapa engkau membakar gubuk itu tadi?"

   "Ya ampun...! Nona cantik galak amat..."

   Dia sengaja memberi tekanan pada kata "cantik"

   Dan berbisik lirih ketika mengatakan "galak"

   Sehingga tidak terdengar oleh Mayang. Yang terdengar hanya "Nona cantik... amat..."

   "Apa kau bilang?"

   "Tidak, itu lho. Nona amat baik hati suka mengampuni aku. Begini, nona. Tadi aku melihat nona mau dibunuh oleh pendeta raksasa yang menakutkan itu. Aku takut sekali, mau membantu aku tidak berani. Aku hanya bisa merasa mendongkol kepada mereka, maka karena marah aku lalu membakar gubuk mereka. Nah, itulah, nona. Kemudian aku melihat nona dalam kegelapan, maka aku mengajak nona lari ke sini agar jangan sampai tersusul oleh mereka."

   Melihat kalimat terakhir itu, Mayang melirik ke kanan kiri dan belakang. Kalau benar mereka itu dapat mengejar dan menyusul, ia akan celaka! Dan pemuda ini hanya berani dan nekat saja, agaknya tidak memiliki kemampuan apapun.

   "Jangan khawatir, nona. Mereka tidak akan dapat mengejar ke sini, sibuk dengan gubuk mereka yang terbakar."

   Hay Hay tersenyum.

   "Hemmm, engkau membikin aku menjadi malu saja! Gara-gara engkau, aku menjadi kaget melihat kebakaran itu dan aku melarikan diri seperti seorang penakut! Pada hal, kalau tidak kau ganggu, aku tentu sudah merobohkan tiga orang pendeta palsu yang jahat itu!"

   Tentu saja diam-diam Hay Hay merasa geli. Akan tetapi, betapapun senangnya untuk bercakap-cakap lebih lama dan berkenalan dengan gadis manis itu, dia harus melindungi Han Siong. Setelah gubuk itu dibakarnya untuk menyelamatkan gadis itu, tentu kini tiga orang pendeta itu membawa Han Siong pergi dari sana dan dia tidak ingin kehilangan jejak mereka.

   "Kalau begitu maafkan aku, nona. Akan tetapi aku harus cepat pergi dari sini, takut kalau mereka itu pergi jauh. Aku harus terus membayangi mereka."

   Gadis itu mengangkat muka memandang heran,

   "Engkau? Membayangi mereka? Kenapa engkau membayangi mereka? Sungguh berbahaya sekali membayangi mereka. Kalau ketahuan, apa lagi kalau mereka tahu bahwa engkau yang membakar gubuk tadi, tentu engkau akan dibakar hidup-hidup!"

   Hay Hay bergidik dan pura-pura merasa ngeri dan ketakutan.

   "Aih, ampun! Jangan berkata demikian, nona. Bagaimanapun juga, aku harus mengikuti ke mana mereka pergi karena mereka telah menawan... saudara misanku."

   "Ah, jadi pemuda... tampan itu saudara misanmu?"

   "Tidak begitu tampan dia, nona!"

   Kata Hay Hay cepat.

   "Tapi mengapa dia mereka tawan?"

   "Hemm, mungkin karena tampan itulah. Katanya dia hendak dijadikan pelayan. Aku merasa khawatir, maka aku lalu mengikuti mereka dengan diam-diam agar aku tahu ke mana saudaraku itu dibawa. Kalau ternyata dia enak menjadi pelayan, hidup berkecukupan dan senang, akupun akan masuk menjadi pelayan mereka. Aku tidak kalah tampan oleh saudara misanku."

   Mayang merasa geli, akan tetapi juga mendongkol. Ucapan itu membuat ia ingin sekali melihat wajah pemuda ini dengan jelas. Ia tidak percaya pemuda yang angin-anginan dan ketololan ini setampan pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu.

   "Tidak usah kau kejar dan cari. Aku tahu ke mana mereka akan pergi."

   "Eh? Engkau tahu, nona? Apakah nona sahabat dan kenalan mereka?"

   "Hushh! Ngawur saja kau bicara! Kalau aku sahabat mereka, bagaimana tadi aku berkelahi dengan mereka? Akan tetapi aku pernah melihat mereka bertiga. Mereka itu memimpin puluhan orang pendeta Lama dan berkumpul di bukit tak jauh dari sini, yaitu Bukit Bangau. Ketika aku menggiring ternak beberapa hari yang lalu, aku melihat mereka masih berada di sana, dan kurang lebih dua bulan yang lalu, aku melihat mereka bertiga itupun berada di sana. Aku yakin bahwa saudaramu itu pasti diajak ke puncak Bukit Bangau."

   "Kalau begitu, sekarang juga aku hendak mengikuti mereka ke Bukit Bangau."

   Kata Hay Hay.

   "Hemm, kalau begitu engkau hanya akan menjadi seekor katak kecil yang menghampiri mulut bangau untuk dicaplok dan habis sekali telan!"

   Suara gadis itu mengejek.

   "Eh? Kenapa begitu?"

   "Sudah kukatakan bahwa tiga orang pendeta Lama itu mempunyai banyak anak buah di sana, kukira tidak kurang"dari seratus orang dan tempat itu dijaga ketat. Tiga orang pendeta itu demikian lihai dan anak buahnya banyak. Kalau engkau mengikuti mereka mendaki bukit, bukankah hal itu sama dengan bunuh diri dan mati konyol?"

   Hay Hay tersenyum.

   "Aih, nona yang baik. Kenapa engkau mengkhawatirkan benar keadaan diriku?"

   Biarpun cuaca agak gelap, namun jelas nampak betapa gadis itu menjadi marah, tubuhnya meregang dan kedua tangannya dikepal,

   "Siapa perduli akan nasib dan keadaanmu? Biar engkau dibunuh seratus kali aku tidak perduli! Aku hanya kasihan kepada saudara misanmu itu, karena dia tentu akan berduka kalau mendengar engkau mati konyol di sana."

   "Aduh senangnya hati Han Siong!"

   "Siapa itu Han Siong?"

   "Saudaraku yang tampan itulah. Dia tentu senang sekali mendengar betapa engkau amat memperhatikan dia, nona..."

   "Tutup mulutmu atau kutampar kau nanti!"

   Gadis itu membentak galak. Hay Hay cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk.

   "Maafkan aku, nona. Lalu kalau aku tidak boleh mengikuti mereka, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

   "Kita lewatkan malam ini di sini. Besok pagi-pagi aku akan melakukan penyelidikan ke bukit itu dan kalau mungkin aku akan membebaskan saudara misanmu."

   "Apakah tidak berbahaya untukmu, nona?"

   "Tidak. Andaikata aku kewalahan, masih ada Suboku (ibu guru) yang akan menolongku. Aku dapat mendaki Ning-jing-san, ke puncak Awan Kelabu, menghadap Subo dan minta bantuannya. Kalau aku bersama Subo, jangankan baru tiga orang pendeta palsu tadi, biar ditambah sepuluh lagi semacam mereka, aku tidak takut!"

   Sombongnya, pikir Hay Hay. Sombong akan tetapi manis. Galak akan tetapi gagah berani. Seorang gadis hebat. Ingin sekali dia melihat wajah gadis itu dengan jelas. Lalu dia mulai mengumpulkan kayu kering.

   "Untuk apa?"

   Tanya gadis itu sambil duduk di atas sebongkah batu sebesar perut kerbau.

   "Untuk membuat api unggun,"

   Kata Hay Hay.

   "Kalau kita harus melewatkan malam di sini, perlu membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin."

   "Api unggun akan nampak dari jauh."

   "Eh, apakah engkau takut kalau sampai tempat kita diketahui orang?"

   Suara merdu itu mengandung kemarahan.

   "Siapa takut? Kalau engkau tidak takut, bagaimana aku takut? Huh, kalau sampai ada musuh datang, yang mampus lebih dulu adalah engkau, bukan aku! Mengapa mesti takut?"

   Hay Hay tersenyum.

   "Ha-ha-ha, akupun tidak takut, nona, karena aku yakin bahwa, nona tentu tidak akan membiarkan aku disembelih orang. Nona terlampau gagah dan terlampau baik untuk membiarkan aku dibunuh."

   Gadis itu diam saja sehingga Hay Hay tidak tahu bagaimana tanggapannya terhadap kata-katanya itu.

   Akan tetapi, ketika dia mulai menumpuk kayu dan hendak membuat api unggun, gadis itu menghampiri dan duduk di dekat tumpukan kayu, membantunya sehingga dia merasa girang karena hal ini saja membuktikan bahwa gadis itu tidak marah lagi. Kalau Hay Hay menghendaki, sekali gosok dua batang kayu kering dengan pengerahan tenaga sin-kangnya, tentu akan timbul api. Akan tetapi dia tidak ingin memperlihatkan kepandaiannya dan dia menggosok-gosok dua batang kayu dengan tenaga biasa. Melihat sampai beberapa lamanya pemuda itu tidak berhasil membuat api, Mayang menjadi tidak sabar. Disambarnya dua batang kayu itu dari tangan Hay Hay dan diapun menggosok-gosok beberapa kali sampai kayu kering itu terbakar. Tumpukan kayu dibakar dan jadilah api unggun yang cukup besar, terang dan hangat.

   "Aduhhhh...! Ya Tuhanku..., sungguh hebat bukan main...!"

   Gadis itu mengangkat muka memandang. Ia melihat pemuda itu terbelalak memandang kepadanya, matanya terbuka lebar dan mulutnya juga terbuka sehingga nampak tolol seperti orang kehilangan semangat.

   "Ihh! Engkau ini kenapa sih?"

   Tanya Mayang, agak terkejut juga karena tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu nampak demikian kaget.

   "Bukan main...! Sudah kuduga bahwa engkau tentu cantik manis, nona, akan tetapi tidak seperti ini! Cantik jelita seperti bidadari! Sungguh, engkau cantik jelita dan manis bukan main!"

   Mayang meloncat berdiri. Tinggi ramping! Kedua tangannya bertolak pinggang dan agaknya jari jemari kedua tangannya dapat melingkari pinggang yang kecil itu. Mata yang sipit itu mengeluarkan sinar berkilat, mulutnya cemberut dan hidung yang agak besar namun bentuknya indah itu kembang kempis, cupingnya nampak jelas bergerak seperti cuping hidung seekor kuda betina dilanda berahi.

   "Kau..., kau...! Berani engkau mempermainkan dan memperolokku? Engkau hendak kurang ajar kepadaku, ya? Apakah engkau sudah bosan hidup?"

   Hay Hay kelihatan terkejut dan terheran-heran, mengembangkan kedua lengannya dan dia berkata,

   "Ampun dewi...! Apakah dosa hamba? Siapa yang mempermainkan dan memperolokkan siapa? Nona, ketika tadi bertemu denganmu di dalam cuaca yang remang-remang, aku hanya, mengetahui bahwa nona memiliki bentuk tubuh yang ramping dan padat berisi, memiliki suara yang merdu, dan dalam keremangan itu aku melihat garis-garis wajahmu yang manis. Kemudian, setelah kita membuat api unggun dan cahaya api unggun jatuh menerangi wajahmu, baru aku melihat bahwa nona sungguh memiliki kecantikan yang luar biasa, jauh melampaui dugaanku semula. Kalau aku melihat wajah nona begini cantik jelita lalu kukatakan itu dengan terus terang, apakah hal itu merupakan dosa? Bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa nona berwajah buruk, bersuara parau dan berperawakan jelek kalau keadaannya sama sekali berlawanan? Nona memiliki wajah yang cantik jelita dan manis, bentuk tubuh tinggi ramping yang sempurna, dan suara yang merdu seperti suara burung dewata. Nah, salahkah aku? Kalau aku nona anggap bersalah, berdosa dan layak dibunuh, silakan!"

   Hay Hay sengaja memanjangkan lehernya seperti seekor angsa yang siap memberikan lehernya untuk dipenggal!

   Mendengar pidato panjang itu dan melihat sikap Hay Hay, mau tidak mau Mayang tertawa dan iapun duduk kembali, kini mengamati wajah pemuda yang duduk di depannya terhalang api unggun. Harus diakui bahwa pemuda ini memiliki wajah yang tampan, memang tidak kalah oleh saudara misannya itu walaupun ketampanan mereka berbeda. Saudara misannya yang ditawan tiga orang pendeta Lama itu memiliki wajah yang bentuknya bulat, berkulit putih dengan alis hitam tebal, mata sipit. Sedangkan pemuda di depannya ini selain bertubuh tegap dengan dada yang bidang, juga hidungnya mancung, mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar dan bentuk wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing. Mulut dan matanya sungguh memiliki daya tarik yang kuat sekali.

   "Apakah engkau agak miring?"

   Tiba-tiba Mayang bertanya. Hay Hay melongo keheranan.

   "Miring? Apanya yang miring?"

   Tanyanya, tak mengerti. Mayang tidak menjawab melainkan meletakkan jari telunjuk kirinya ke atas dahi sendiri, diletakkan menyerong. Barulah Hay Hay mengerti dan dia cemberut. Kurang ajar! Dia disangka gila!

   "Kau kira aku ini setengah gila, nona? Aih, kira-kira dong kalau menghina orang. Kenapa nona menganggap aku gila?"

   "Habis, bicaramu aneh-aneh. Engkau memuji-mujiku habis-habisan dan anehnya aku tidak jadi marah kepadamu. Biar kuanggap semua omonganmu tadi seperti ocehan seorang gila. Atau engkau seorang laki-laki perayu yang palsu, yang biasa menyanjung dan memuji wanita dengan rayuan maut untuk kau jatuhkan hatinya. Begitukah?"

   Hay Hay menggeleng kepala.

   "Aku hanya seorang laki-laki yang jujur dan tidak mau pura-pura, nona. Kalau aku melihat setangkai bunga yang indah dan harum, aku akan memujinya seperti apa adanya, tidak berpura-pura tak suka. Kalau aku melihat seorang gadis yang cantik seperti nona, aku tidak pura-pura alim, pura-pura tidak mau melihat akan tetapi diam-diam melirik sampai mataku menjadi juling! Aku akan melihat secara langsung dan mengagumi kecantikanmu. Aku akan terus terang memujimu, bukan untuk merayu atau menjilat."

   "Kalau begitu engkau mata keranjang!"

   Seru Mayang. Hay Hay tersenyum dan kembali Mayang tertegun. Pemuda ini dapat tersenyum demikian wajar dan terbuka, seperti senyum kanak-kanak, tidak dibuat-buat.

   "Nona, lebih baik dianggap mata keranjang akan tetapi jujur mengagumi kecantikan seorang wanita dari pada dianggap alim akan tetapi diam-diam mempunyai pikiran yang cabul terhadap seorang wanita!"

   Mayang tertegun. Selama hidupnya, belum pernah ia bertemu dengan seorang pria yang kata-katanya dan sikapnya seperti pemuda ini! Biasanya, seorang pria akan bersikap kurang ajar dan kasar, atau kalaupun nampak sopan santun akan tetapi pandang matanya mengandung nafsu berahi yang cabul. Akan tetapi, pemuda ini sikapnya ugal-ugalan karena terlalu jujur mengakui dan mengagumi kecantikannya tanpa disembunyikan lagi. Belum pernah ja berhadapan dengan seorang pemuda yang memuji-muji kecantikannya akan tetapi tidak membuat ia tersinggung, bahkan merasa bangga dan girang karena pujian itu sewajarnya dan jujur, tidak menyembunyikan pamrih yang cabul terhadap dirinya.

   "Siapa sih engkau ini? Maksudku, siapa namamu dan dari mana engkau datang?"

   "Namaku? Orang memanggil aku Hay Hay, nona dan aku tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Aku seorang pengembara, empat penjuru adalah dinding rumahku. Langit menjadi atap rumahku dan tanah ini menjadi lantai rumahku. Adapun saudaraku itu bernama Pek Han Siong, dia adalah putera ketua Pek-sim-pang di Kong-goan. Aku sedang merantau dan bertemu dengan Han Siong ketika tiba-tiba muncul tiga orang pendeta Lama itu dan mereka menangkap Han Siong. Aku lalu mengikuti mereka sampai malam ini berjumpa denganmu. Kalau boleh aku bertanya, siapakah engkau, nona?"

   "Aku Mayang, tinggal bersama ibuku dan Subo-ku di sebuah puncak di Pegunungan Ning-jing-san. Subo memelihara hewan ternak dan pekerjaanku adalah mengurus hewan ternak. Kadang-kadang aku menerima pekerjaan mengirim dan menggiring ternak yang di perdagangkan orang, dari satu ke lain daerah. Diam-diam Hay Hay kagum. Gadis ini memang hebat. Melakukan pekerjaan yang amat berbahaya. Menggiring ternak yang sampai ratusan banyaknya melintasi daerah-daerah yang sunyi amatlah berbahaya. Tentu karena ia memiliki kepandaian tinggi maka ia berani melakukan tugas berbahaya itu. kaalu hanya perampok-perampok biasa saja akan celakalah mereka bertemu dengan gadis seperti mayang.

   "Engkau tentu seorang gadis tibet, bukan? Dan apakah ayahmu juga tinggal di puncak itu? Engkau tadi hanya menyebut ibumu dan Subo-mu."

   "Ibu seorang wanita tibet, ayahku...seorang pria Han akan tetapi dia sudah pergi meninggalkan ibu, entah ke mana, entah masih hidup ataukah sudah mati."

   Hay hay merasa betapa ada kedukaan terkandung dalam suara gadis itu, maka diapun mencoba untuk menghiburnya.

   "Engkau masih beruntung, Mayang, masih mempunyai seorang ibu. Aku sudah tidak punya ibu sejak aku bayi. Ibuku telah meninggal dunia."

   "Dan ayahmu?"

   Hay Hay merasa dada dan perutnya panas. Kepada siapapun juga dia tidak sudi mengaku bahwa ayah kandungnya adalah Si Kumbang Merah, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita, bahkan dia sendiri adalah akibat dari pemerkosaan yang dilakukan penjahat itu kepada ibu kandungnya!

   "Hemm, seperti juga engkau, ayahku pergi, entah ke mana. Mungkin juga,... dia sudah mati!"

   Keduanya diam sejenak.

   "Hemm, engkau dan saudara misanmu itu, tidak memiliki kepandaian akan tetapi berani melakukan perjalanan di daerah yang rawan ini. sungguh tabah."

   "Tidak ada artinya dibandingkan dengan engkau, Mayang. Engkau seorang wanita, seorang gadis remaja yang amat muda..."

   "Tidak muda sekali, usiaku sudah delapan belas tahun!"

   Hay Hay tersenyum.

   "Ya, seorang gadis dewasa dan engkau berani menentang orang-orang jahat yang lihai. Maukah engkau menceritakan bagaimana engkau sampai dapat bentrok dengan tiga orang pendeta Lama itu?"

   "Sore hari tadi ketika aku makan di kedai makanan di dusun Wang-kan, aku bertemu dengan tiga orang pendeta itu yang sedang makan bersama siapa tadi nama saudara misanmu itu? Han Siong? Ya, mereka makan bersama Han Siong. Lalu seorang di antara tiga orang pendeta itu, yang tinggi bongkok itu, menghampiri mejaku minta sumbangan. Pada saat itu, dia telah menyihirku dan dengan sihirnya dia memerintahkan aku untuk datang ke gubuk itu pada malam hari ini. Maka akupun datanglah!"

   Hay Hay terkejut. Gadis ini dengan enak saja menceritakan bahwa ia disihir orang, dan diapun teringat betapa tadipun tiga orang pendeta itu tidak berhasil menguasai Mayang dengan kekuatan sihir. Diam-diam dia kagum bukan main.

   "Mayang, engkau disihir malah datang berkunjung kepada mereka? Apakah engkau tidak takut disihir? Apakah engkau mampu melawan kekuatan sihir mereka?"

   Mulut itu tersenyum mengejek. Hidungnya bergerak pada ujungnya dan manis sekali!

   "Huh, siapa takut menghadapi permainan kanak-kanak itu?"

   "Engkau pandai bermain sihir?"

   "Siapa sudi menjadi dukun sihir? Akan tetapi Subo telah menggemblengku untuk melawan serangan sihir orang sehingga aku kebal terhadap segala macam permainan kanak-kanak itu! Pula, sebagai seorang penggiring ternak yang banyak jumlahnya, aku harus pandai menguasai ternak dengan kekuatan batin. Aku tidak bisa menyihir orang lain, akan tetapi tak seorangpun akan mampu menguasaiku dengan kekuatan sihirnya."

   "Dan engkau datang ke gubuk itu mau apa?"

   "Mau menghajar mereka, karena tiga orang pendeta itu palsu, mereka bukan orang suci melainkan orang-orang jahat yang mempunyai niat cabul terhadap diriku. Akan tetapi, sebelum aku berhasil menghajar mereka, engkau muncul dan membikin kacau dengan membakar gubuk!"

   Hay Hay tersenyum. Tentu saja dia lebih tahu. Kalau tidak dibakarnya gubuk itu, tentu Mayang telah tertawan!

   "Mayang, tidak salahkah engkau bahwa tiga orang pendeta Lama itu akan membawa saudara misanku ke Bukit Bangau? Menurut pengakuan mereka ketika mereka mengajak saudara misanku dengan paksa, mereka adalah utusan Dalai Lama untuk mencari... eh, pelayan pria."

   "Mereka membohong! Bahkan menurut dugaan Subo, tiga orang itu merupakan pendeta-pendeta Lama yang pernah mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama. Pemberontakan itu telah dihancurkan dan mungkin saja tiga orang itu merupakan sisa dari para pimpinan pemberontakan yang sudah dibasmi itu. Aku akan melaporkan kepada Subo tentang perbuatan mereka terhadap diriku, karena perbuatan itu membuktikan bahwa mereka adalah pendeta-pendeta palsu atau pendeta sesat!"

   Terkejut juga hati Hay Hay mendengar keterangan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu. Mereka bukan utusan Dalai Lama? Kalau begitu, mengapa mereka berkeras hendak membawa Han Siong yang sejak kecil memang dicari oleh para pendeta Lama di Tibet karena Han Siong dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) calon Dalai Lama?

   "Mayang, kalau begitu, kenapa tidak sekarang saja kita menghadap Subomu? Aku ingin sekali mendapatkan keterangan yang jelas tentang mereka! Aku mengkhawatirkan saudara misanku!"

   Gadis itu memandang Hay Hay dan ia merasa heran. Pemuda ini tampan dan perayu, akan tetapi lemah dan tidak pandai silat, juga kadang ketololan. Begitu bertemu, sudah bersikap demikian akrab, menyebut namanya begitu saja tanpa sebutan nona. seolah-olah mereka sudah lama sekali bergaul dan menjadi sahabat. Anehnya, ia tidak merasa tersinggung karena sikap Hay Hay demikian wajar!

   "Hay Hay, engkau tidak mengenal Suboku. Kau kira mudah saja bagi orang luar untuk menghadap Subo? Salah-salah, begitu bertemu, kalau engkau tidak pandai membawa diri, kalau tidak berkenan di hatinya, engkau akan dibunuh begitu saja!"

   "Wah? Begitu jahatkah Subomu, Mayang?"

   "Sama sekali tidak jahat, akan tetapi ia paling benci kepada laki-laki yang lemah, apa lagi kalau penjilat dan perayu seperti engkau. Aku khawatir sekali kalau engkau akan dibunuhnya begitu ia melihatmu."

   Mendengar ini, bukannya jerih, hati Hay Hay menjadi semakin tertarik. Akan tetapi dia bersikap pura-pura ketakutan.

   "Wah, sungguh berbahaya sekali. Aku akan bersikap baik-baik, Mayang. Kalau memang sudah nasibku tewas di tangan Subomu, sudahlah, aku tidak akan merasa penasaran karena ia Subomu!"

   "Kenapa kalau dibunuh Suboku tidak penasaran?"

   Gadis itu tertarik. Hay Hay tersenyum.

   "Aku akan mati dengan mata tertutup atau setengah terbuka karena aku akan selalu mengenangmu dan menghibur diri bahwa yang membunuhku adalah guru dari seorang gadis seperti bidadari yang..."

   
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sudah, jangan mulai merayu lagi!"

   Mayang membentak akan tetapi tidak marah.

   "Jangan khawatir, kalau dia hendak membunuhmu, aku yang akan mintakan ampun bagimu dan biasanya Subo memenuhi permintaanku. Akan tetapi kenapa engkau nekat hendak ikut aku menemui Subo?"

   "Aku amat mengkhawatirkan nasib saudaraku, dan aku ingin minta bantuan Subomu untuk membebaskan dia."

   Kini Hay Hay mulai percaya akan keterangan Mayang bahwa tiga orang pendeta Lama itu tidak pergi ke Lasha dan agaknya memang ada suatu rahasia tersembunyi balik sikap para pendeta itu. Kalau mereka itu benar utusan Dalai Lama, tentu mereka merupakan pendeta-pendeta yang tinggi kedudukannya dan yang berwatak saleh, tidak seperti mereka itu yang telah membunuh Ci Goat, juga mempunyai niat cabul terhadap Mayang. Dia maklum betapa lihainya tiga orang itu, apa lagi kalau dibantu anak buah yang sampai seratus orang banyaknya. Dia perlu bantuan Mayang dan terutama sekali Subonya yang agaknya merupakan seorang sakti yang mengasingkan diri di tempat sunyi ini.

   "Baik, kalau begitu mari kita berangkat. Akan tetapi kuperingatkan engkau, Hay Hay, bahwa jalan pendakian ke rumah kami amat sukar. Apa lagi dilakukan malam-malam begini. Sekali engkau salah langkah dan jatuh, engkau akan menggelinding ke dalam jurang yang amat curam dan tubuhmu akan hancur, nyawamu akan melayang."

   "Aku tidak takut, Mayang. Kalau aku takut berarti aku memandang rendah kepadamu."

   "Eh? Kenapa begitu?"

   "Karena aku yakin engkau tentu akan melindungi aku dan menjadi petunjuk jalah agar aku jangan sampai terguling ke dalam jurang. Kalau aku takut, berarti aku kurang percaya akan kemampuanmu."

   Mayang tersenyum akan tetapi mengerutkan alisnya,

   "Engkau... hemm, engkau bisa berbahaya!"

   Ia tidak menjelaskan apa yang ia maksudkan, dan dengan kakinya ia lalu menginjak-injak api unggun sampai padam. Ia menganggap pemuda ini berbahaya karena pandai sekali bicara, pandai mengambil hati dengan rayuan-rayuannya yang sungguh menyenangkan hati! Berangkatlah mereka menyusup-nyusup di antara pohon-pohon. Mayang berjalan di depan dan Hay Hay di belakangnya. Perjalanan yang sukar karena cuaca remang-remang, akan tetapi agaknya gadis itu sudah mengenal benar daerah itu.

   Ia melangkah tanpa ragu dan Hay Hay mengikuti dari belakangnya. Dia tahu bahwa kalau gadis itu melakukan perjalanan sendirian saja, tentu gerakannya lebih lincah dan gesit. Kini, kalau ia terlalu cepat, Hay Hay berseru agar jangan meninggalkannya sehingga gadis itu melangkah biasa saja, tidak mempergunakan ilmu berlari cepat. Hay Hay memang sengaja tidak mau tergesa-gesa karena diam-diam dia harus mengenal daerah yang dilaluinya. Dia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya di tempat tinggal Mayang, maka yang terpenting dia harus tahu ke mana dia pergi dan mengenal, jalan kalau dia terpaksa harus melarikan diri dari tempat itu. Pula, senang sekali berjalan di belakang gadis itu. Biarpun cuaca remang-remang, namun dia dapat menikmati penglihatan yang amat indah yaitu gerakan tubuh Mayang ketika melenggang di depannya.

   Akhirnya mereka mulai mendaki bukit yang oleh gadis itu dikatakan sebagai tempat tinggal ibunya dan gurunya. Pegunungan Ning-jing-san mempunyai banyak puncak dan mereka tadi memang berada di daerah pegunungan itu. Sebuah di antara puncaknya menjadi tempat tinggal Mayang, ibunya dan Subonya. Puncak itu disebut Puncak Awan Kelabu dan menjadi tempat pertapaan guru Mayang. Di tempat itu mereka mengusahakan ternak dan biarpun hidup di tempat sunyi, mereka tidak kekurangan sesuatu. Setelah mereka mendaki puncak itu, Hay Hay mendapat kenyataan bahwa peringatan gadis itu memang benar. Jalan setapak itu amat sukar, licin dan juga sempit. Ada jalan yang lebarnya hanya setengah meter, di kanan kirinya merupakan jurang yang amat curam. Sekali kaki terpeleset, nyawa taruhannya.

   "Aihh, sungguh mengerikan!"

   Kata Hay Hay berpura-pura.

   "Kalau jalan ke tempat tinggalmu begini sukar, bagaimana engkau bisa menggiring ternak melalui jalan seperti ini?"

   "Untuk menggiring ternak, dapat melalui jalan lain yang lebar. Akan tetapi jauhnya dua kali lipat! Kalau tidak menggiring ternak, lebih cepat lewat jalan ini."

   "Wah, sungguh berbahaya...!"

   Hay Hay sengaja bersikap ketakutan.

   "Kau takut?"

   "Wah, tanpa bantuan, bagaimana aku dapat melalui jalan berbahaya di depan itu, Mayang?"

   "Huh, engkau laki-laki lemah tiada guna!"

   Mayang mengomel akan tetapi ia memegang tangan Hay Hay dan menggandeng melewati jalan yang sempit dan licin itu. Di belakangnya, Hay Hay tersenyum nakal. Lembut dan hangatnya tangan Mayang! Dia pura-pura semakin ketakutan dan menggenggam tangan itu kuat-kuat dan gadis itupun memperkuat pegangannya sehingga dua buah tangan itu saling pegang dengan eratnya! Setelah bagian jalan yang sukar dilewati dan mereka kini berjalan naik melalui jalan berbatu, keduanya masih saling bergandeng tangan! Setelah mereka tiba di puncak, di tempat datar, cuaca sudah mulai terang karena pagi menjelang tiba. Agaknya barulah Mayang teringat bahwa mereka masih saling bergandeng tangan. Ia seperti terkejut dan melepaskan pegangan tangannya.

   "Ihh! Kenapa engkau masih terus menggandeng tanganku?"

   Tanyanya bingung karena baru ia menyadari bahwa sejak melewati jalan yang berbahaya itu, ia sendiri tidak pernah ingat untuk melepaskan pegangan tangan pemuda itu!

   "Tanganmu... begitu halus dan hangatnya..."

   Hay Hay berkata. Gadis itu tiba-tiba membalik, menghadapinya dengan sinar mata mencorong marah. Akan tetapi ketika ia melihat wajah pemuda itu yang memandang kepadanya dengan polos dan jujur, teringat ia bahwa yang dihadapinya adalah seorang pemuda yang terbuka dan bicara seadanya, bukan bermaksud lain, maka iapun tidak jadi menggerakkan tangan untuk menampar.

   "Kau... kau dengan mulutmu... kau tahanlah sedikit kata-katamu yang penuh rayuan itu atau aku dapat lupa diri, menganggap engkau kurang ajar dar menamparmu!"

   Bentaknya, akan tetapi suaranya lirih dan lebih tepat kalau dikatakan setengah berbisik atau mengomel Kiranya gadis itu menahan suaranya agar jangan sampai terdengar oleh Subonya yang amat lihai.

   "Maafkan aku, Mayang. Apa kau ingin aku mengatakan bahwa tanganmu itu kasar dan dingin? Berarti aku berbohong..."

   "Sudahlah! Jangan katakan apa-apa!"

   Kata Mayang kewalahan dan diam-diam jari-jari tangannya yang tadi bergandeng dengan Hay Hay mengelus telapak tangannya sendiri untuk melihat apakah benar telapak tanganya itu halus dan hangat seperti yang dikatakan Hay Hay!

   Dan diam-diam timbul perasaan senang dan bangga dalam hatinya. Bagaimanapun, Mayang hanya seorang wanita dan wanita namanya, mana ada yang tidak merasa senang kalau dipuji, apa lagi kalau yang memujinya itu seorang pemuda tampan dan yang ia tahu bukan sekedar merayu melainkan mengatakan keadaan yang sesungguhnya? Pemuda ini baginya seperti seorang juri atau penilai yang jujur dan adil, yang dapat dipercaya penilaiannya! Dan kalau dinilai bagus, alangkah puas dan senangnya hati! Siapakah yang tinggal di puncak yang disebut Puncak Awan Kelabu itu? Keterangan yang diberikan Mayang kepada Hay Hay, walaupun belum lengkap, namun benar dan gadis itu tidak berbohong.

   Delapan belas tahun yang lalu, ketika Mayang berusia beberapa bulan saja, ibunya membawanya berkeliaran ke Pegunungan Ning-jing-san. Ibunya menggendong Mayang yang berusia tiga bulan itu sambil menangis, tertawa dan mencari-cari seseorang. Mencari ayah Mayang! Ibu muda itu ternyata telah menjadi seperti orang gila. Ia ditinggal pergi pria yang menjadi ayah Mayang, ditinggal begitu saja ketika kandungannya sudah tua tanpa memberitahu dan ia tidak tahu ke mana perginya pria itu! Ayah ibunya menjadi marah dan mengusirnya karena ia mengandung tanpa suami! Pria itu selalu mengunjungi kamarnya di waktu malam dan tak seorangpun mengetahui hubungannya dengan pria itu. Setelah ia mengandung tua, pria itu pergi begitu saja. Dalam keadaan seperti gila ini, ibu mayang, puteri seorang suku bangsa tibet, mendaki puncak itu, dan di situ ia bertemu dengan seorang pertapa wanita.

   Pertapa itu berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas) dan pertapa itu merasa kasihan kepada Mayang dan ibunya. Ia mengobati ibu muda itu sampai sembuh dan semenjak saat itu, Mayang dan ibunya tinggal bersama pertapa itu di puncak. Dan semenjak ibu dan anak itu berada di situ, kehidupan Kim Mo Siankouw juga berubah. Dahulunya, ia hanya bertapa dalam sebuah gubuk tua tanpa memperdulikan keadaan dirinya. Akan tetapi setelah ia harus memelihara ibu dan anak itu, Kim Mo Siankouw mulai berusaha peternakan, di bantu oleh ibu mayang. Beberapa tahun kemudian, peternakan itu menjadi besar dan keadaan mereka menjadi makmur. Bahkan kim Mo Sankouw menyuruh orang-orang di dusun pegunungan itu untuk membangun sebuah rumah yang besar, dan ia bahkan mengambil beberapa orang wanita pembantu untuk mengatur rumah tangganya.

   Sejak kecil, Mayang tinggal di situ dan ternyata bahwa Kim Mo Siankouw bukan sekadar seorang wanita yang mengasingkan diri bertapa di situ, melainkan seorang wanita yang sakti dan memiliki banyak ilmu! Dengan sendirinya, Mayang menjadi anak yang amat disayang oleh Kim Mo Siankouw, bahkan sejak kecil, Mayang telah digembleng oleh pertapa wanita itu, diberi makanan yang mengandung obat sehingga Mayang tumbuh menjadi seorang gadis yang memiliki tubuh yang amat kuat. Juga, semenjak berusia tujuh tahun, Mayang telah diajari ilmu membaca tulis dan juga terutama sekali ilmu silat oleh Kim Mo Siankouw. Akan tetapi, pertapa itu dengan keras melarang Mayang untuk memamerkan kepandaiannya kepada orang lain sehingga tidak ada yang tahu bahwa gadis itu amat lihai.

   Setahu mereka hanya bahwa Mayang seorang gadis penggembala ternak yang cetakan dan pandai sekali, ahli menggiring ratusan ternak dari satu ke tempat lain yang jauh tanpa ada seekorpun yang tercecer, bahkan mampu melindungi mereka dari gangguan binatang buas! Kalau mereka melihat gadis itu meledak-ledakkan pecutnya sambil menggiring ratusan ekor ternak, tidak ada seorangpun yang tahu bahwa cambuk di tangannya itu mampu merobohkan pengeroyokkan banyak orang jahat yang berani mengganggunya! Bukan hanya Mayang yang diberi pelajaran ilmu silat oleh Kim Mo Siankouw, bahkan juga ibu Mayang dilatih ilmu silat agar tubuhnya menjadi kuat. Akan tetapi ibu dan anak ini tak pernah mendengar akan riwayat pertapa itu, seorang wanita yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih nampak anggun bahkan cantik, dengan wajah yang berkulit halus tanpa keriput, bentuk muka yang agung seperti seorang puteri,

   Dengan sepasang mata yang masih jeli dan mencorong, dan mulut yang selalu tersenyum penuh kelembutan, akan tetapi sinar matanya yang mencorong itu kadang-kadang dapat bersinar keras. Ibu dan anak itu mengenalnya sebagai seorang wanita yang lembut hati, ramah dan budiman, akan tetapi juga sebagai seorang wanita yang kalau sudah marah, dengan mudah saja membunuh orang yang dianggap jahat! Ketika Mayang baru berusia sepuluh tahun dan ketika menggembala ternak di padang rumput, ternaknya diganggu oleh sekawanan perampok yang terdiri dari empat belas orang, Kim Mo Siankouw muncul dan dengan lembut ia menegur empat belas orang itu dan mengusir mereka. Akan tetapi empat belas orang itu memandang rendah kepadanya dan bahkan mengeluarkan kata-kata yang kasar dan cabul.

   Dan terjadilah hal yang mengerikan itu. Kim Mo Siankouw menghajar mereka dan ketika mereka melawan dengan menggunakan golok, ia merampas sebatang golok lalu membunuh empat belas orang itu dengan golok. Dalam waktu sebentar saja empat belas orang gerombolan penjahat itu roboh malang melintang dengan kepala terpisah dari tubuh! Dengan sikap amat tenang, Kim Mo Siankouw menyuruh para pelayannya untuk menggali lubang besar dan menguburkan jenazah mereka itu. Peristiwa ini membuat daerah itu menjadi aman. Tak ada seorangpun penjahat berani melakukan kejahatan sehingga para penduduk dusun di daerah itu amat berterima kasih kepada Kim Mo Siankouw. Apa lagi karena pertapa itu amat dermawan, siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan, baik bantuan itu berupa uang, ternak, pengobatan maupun hanya nasihat.

   "Sekali lagi, hati-hatilah engkau, Hay Hay. Kalau berhadapan dengan Subo, jangan sekali-kali engkau pecengisan, jangan main-main dan jangan merayu. Kalau sampai engkau membuat Subo marah dan ia turun tangan membunuhmu, jangan katakan bahwa aku belum memberi peringatan kepadamu."

   Bisik gadis itu dan diam-diam Hay Hay tahu bahwa gadis ini memang bersikap serius dan tidak main-main. Baru sikapnya saja sudah begitu jerih, bicarapun tidak berani keras-keras, tentu takut kalau sampai terdengar oleh Subonya. Dan ketakutan seperti inipun sudah menunjukkan bahwa tentu guru gadis ini memiliki kesaktian yang hebat sehingga mampu mendengarkan percakapan dari tempat jauh.

   Diapun mengangguk dan tidak tega untuk membuat Mayang menjadi semakin ketakutan. Ketika tiba di puncak, Hay Hay melihat bahwa puncak itu ternyata datar, merupakan dataran yang cukup luas dan di tengah-tengah puncak itu terdapat sebuah bangunan yang besar, dengan tembok berwarna putih dan genteng berwarna merah coklat. Daun pintu dan jendela dicat kuning dan rumah itu dihias pohon-pohon di sekelilingnya sehingga nampak teduh dan nyaman. Di sebelah kiri dan belakang rumah terdapat taman bunga yang dipagari kuat, tentu untuk mencegah masuknya hewan ternak yang banyak terdapat di situ. Sebagian besar puncak itu terdiri dari padang rumput yang luas dan subur dan Hay Hay melihat hewan ternak seperti kambing dan lembu, juga kuda bahkan nampak ayam berkeliaran di puncak.

   Hewan ternak itu gemuk-gemuk, dan jauh di ujung puncak terdapat bangunan-bangunan dari bambu sederhana yang merupakan kandang ternak. Beberapa orang gadis sibuk bekerja, ada yang menggembala ternak, ada yang memikul air, ada yang membelah kayu. Mereka semua berhenti bekerja dan mengangkat muka memandang, dan alis mereka berkerut ketika mereka melihat munculnya Mayang bersama seorang pemuda tampan. Agaknya, tamu pria jarang sekali muncul di puncak ini, kecuali mereka yang mempunyai urusan pekerjaan dengan keluarga Siankouw, jual beli ternak, mengirim bahan makanan, kayu, dan lain-lain. Akan tetapi, pemuda yang datang bersama Mayang ini tidak membawa apa-apa dan datangnya bersama gadis. itu, tentu seorang tamu. Akan tetapi, mereka membalas salam Mayang dengan sopan dan sikap hormat.

   "Mari kita terus saja ke rumah."

   Kata Mayang dan mereka menghampiri rumah besar itu. Setelah tiba di ruangan depan, Mayang berkata lirih.

   "Engkau duduklah dulu menanti di ruangan tamu ini, aku akan memberitahu kepada Subo. Sekali lagi, bersikaplah sopan."

   Gadis itu lalu memasuki pintu tembusan ke dalam.

   Hay Hay duduk melamun, lalu memutar tubuh memandang keluar. Pekarangan itur luas dan amat bersih, tidak berdebu karena ditaburi semacam pasir lembut yang warnanya agak gelap sehingga tidak menyilaukan mata kalau matahari bersinar, dan hangat kalau udara dingin. Tempat ini memang indah dan nyaman, pikirnya. Dan penghuninya tentulah orang-orang yang suka akan kebersihan dan keindahan. Guru Mayang itu tentu lihai sekali ilmu silatnya, dan lebih lihai lagi ilmu sihirnya. Sungguh merupakan pribadi yang amat menarik. Kalau wanita sakti itu mau membantunya, tentu dia akan dapat membebaskan Han Siong dan juga berhasil menyelidiki keadaan para pendeta Lama itu, dan dapat membuka rahasia mereka mengapa mereka itu menculik Han Siong!

   Tiga orang pendeta Lama yang lihai itu mengaku sebagai utusan Dalai Lama, akan tetapi dia mendengar dari Mayang bahwa mereka itu adalah pemimpin para pendeta Lama yang pernah dibasmi sebagai pemberontak oleh Dalai Lama! Langkah-langkah kaki yang ringan terdengar di belakangnya ketika dia mulai merasa betapa lamanya Mayang meninggalkannya di situ. Dia sudah mulai khawatir bahwa gadis itu memperoleh kesukaran, bahwa Subo gadis itu tidak mau menemuinya bahkan memarahi Mayang. Maka, ketika mendengar langkah kaki yang ringan lembut, dia cepat bangkit berdiri dan membalik. Dia melihat Mayang akan tetapi gadis itu kini sudah mengenakan pakaian bersih dan nampak segar. Agaknya Mayang telah mandi dulu sebelum keluar lagi. Pantas demikian lamanya, akan tetapi harus diakui bahwa kemunculan gadis ini mendatangkan kesegaran baginya.

   Mayang tetap sederhana, bahkan rambutnya tidak disisir rapi, agak awut-awutan akan tetapi bahkan menjadi semakin manis! Kemanisan yang wajar seorang gadis, bukan kecantikan karena riasan. Dan di samping gadis itu terdapat seorang wanita lain yang sepantasnya menjadi kakak Mayang karena ada persamaan pada wajah mereka. Kalau Mayang bagaikan kuncup mulai mekar, wanita itu adalah bunga yang sudah mekar sepenuhnya. Keduanya sama menariknya! Hay Hay memandang mereka, dari yang satu kepada yang lain. Inikah Subo dari Mayang? Inikah wanita pertapa yang berjuluk Kim Mo Siankouw itu? Seorang wanita yang cantik dan anggun memang, akan tetapi dia tidak melihat alasan mengapa wanita berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas). Rambutnya hitam seperti rambut Mayang, hanya tersisir rapi, tidak awut-awutan seperti rambut gadis itu.

   "Lo-cian-pwe yang mulia, saya Tang Hay datang menghaturkan hormat, mohon Siankouw sudi memaafkan kelancangan saya..."

   Kata Hay Hay dengan penuh hormat seperti penghormatan yang diberikan kepada seorang permaisuri atau raja. Akan tetapi dia terbelalak dan bengong memandang kepada Mayang karena gadis itu tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh, tangan kiri menutup mulut, tangan kanan meraba perut karena merasa geli.

   "Eh, Mayang, kenapakah? Apakah...apakah aku kurang sopan dan kurang hormat?"

   Tanya Hay Hay, benar-benar tidak mengerti mengapa gadis itu tertawa-tawa geli seperti itu. Gadis itu yang tadi tertawa agak membungkuk, mengangkat mukanya memandang dan melihat pemuda itu bengong dan mendengar pertanyaan itu, tawanya meledak kembali, sampai terkekeh-kekeh dan ada air mata keluar dari kedua matanya yang bersinar-sinar. Akhirnya, ketawanya mereda ketika wanita disampingnya menegur halus.

   "Mayang, tidak sepantasnya engkau tertawa seperti itu."

   Mayang memandang Hay Hay, wajahnya masih penuh tawa.

   "Hay Hay, ini bukan Subo, ini adalah ibuku, hi-hi-hik!"

   Gadis itu menahan ketawanya. Kini wajah Hay Hay seketika menjadi merah dan dia mengangkat muka memandang lagi kepada wanita itu, mengamatinya dengan penuh perhatian lalu dia berkata setelah menarik napas panjang.

   "Ah, pantas... sungguh pantas, akan tetapi juga tidak patut sekali..."

   Mendengar ucapan yang tidak karuan maknanya ini, Mayang berbalik menjadi bengong.

   "Apa maksudmu, Hay Hay? Ucapanmu tidak karuan. Kau bilang pantas akan tetapi juga tidak patut! Bagaimana pula itu?"

   "Memang pantas menjadi ibumu, dan pantas engkau demikian cantik manis, Mayang, karena ibumu juga begini cantik jelita. Dan tidak patut menjadi ibumu karena ia masih terlalu muda, patutnya menjadi kakakmu!"

   Mayang tidak merasa heran mendengar pemuda mata keranjang ini memuji kecantikan ibunya, akan tetapi wanita itu terbelalak, mukanya berubah merah sekali.

   "Mayang! Siapakah dia ini? Orang macam apa yang kau bawa berkunjung ini? Apakah dia waras, tidak gila?"

   Mendengar pertanyaan ibunya, sambil menatap wajah Hay Hay, gadis itu kembali tertawa geli.

   "Hati-hati, ibu, jangan-jangan engkau akan jatuh ke dalam rayuan mautnya. Memang Hay Hay ini seorang perayu maut yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita."

   Hay Hay teringat akan
(Lanjut ke Jilid 18)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18
keadaan dirinya berada di tempat orang, tempat berbahaya pula karena penghuninya adalah seorang pertapa wanita sakti. Cepat dia memberi hormat kepada ibu Mayang dengan sikap sopan, lalu berkata,

   "Harap bibi sudi memaafkan saya yang selalu suka terus terang sehingga mungkin terdengar kurang ajar. Bukan maksud saya untuk merayu, melainkan untuk berterus terang. Maafkan, saya Tang Hay dan..."

   "She Tang...?"

   Tiba-tiba wanita itu membelalakkan matanya dan menatap wajah Hay Hay, lalu ia mengeluarkan jerit kecil tertahan.

   "Kau... kau... matamu dan hidungmu itu... ihh, dan engkau she Tang pula... Orang muda, cepat katakan, siapakah ayahmu?"

   Hay Hay terkejut. Dia mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan siapa ayahnya kalau tidak amat perlu, maka diapun menarik napas panjang.

   "Saya tidak tahu siapa ayah saya, bibi, karena ayah telah pergi sejak saya berada dalam kandungan dan mungkin dia sudah mati""

   "Ibu, kenapa ibu kaget mendengar she dari Hay Hay? Dan ibu menyinggung mata dan hidungnya! Ada apakah, ibu...?"

   Mayang kini juga bersikap sungguh-sungguh karena iapun terkejut dan heran melihat sikap ibunya"

   Wanita itu telah dapat menguasai dirinya.

   "Ahhh, tidak apa-apa. Aku hanya merasa seperti pernah melihat pemuda ini. Akan tetapi, Mayang, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan pemuda yang... eh, mata keranjang ini? Mau apa dia kau bawa ke sini? Siankouw bisa marah kalau..."

   "Orang muda kurang ajar ini harus pergi sekarang juga!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari sebelah dalam. Mendengar suara ini, ibu Mayang cepat membungkuk dan merangkap kedua tangan, memberi hormat. Juga Mayang segera menjatuhkan diri berlutut di dekat ibunya, sikapnya amat hormat.

   Hay Hay mengangkat muka memandang. Yang muncul di ambang pintu itu memang mentakjubkan. Seperti bukan manusia ketika tiba-tiba muncul di situ, dengan sikap yang lembut dan anggun sekali. Sukar dapat dipercaya bahwa seorang wanita berusia enam puluh tahun masih seperti itu! Rambutrlya yang bercampur uban itu berwarna keemasan! Kulit mukanya lembut tanpa keriput, matanya mencorong dan bibirnya masih kemerahan dan terhias senyum aneh. Tubuh, wajah dan sikap wanita ini sepantasnya terdapat pada sebuah patung, seperti arca Kwan im Pouwsat saja! Tanpa dibuat-buat, timbul perasaan hormat di dalam hati Hay Hay terhadap wanita ini, maka diapun cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada, dan berkata dengan suara lantang.

   "Mohon maaf sebesarnya dari Siankouw akan kelancagan saya yang telah berani datang menghadap Siankouw tanpa diundang. Saya memberanikan diri datang menghadap Siankouw untuk mohon pertolongan, karena saya mendengar bahwa Siankouw adalah seorang manusia berbudi luhur, seorang pertapa yang mencari penerangan dan tentu akan selalu menjulurkan tangan untuk menolong yang membutuhkan bantuan. Atas pertolongan Siankouw yang sakti dan suci, sebelumnya saya Tang Hay menghaturkan banyak terima kasih dan akan selalu berdoa semoga semua budi kebaikan Siankouw akan tercatat oleh Malaikat dan Tuhan yang akan berkenan membalas semua amal perbuatan Siankouw yang berbudi sehingga kalau dalam kehjdupan yang sekarang saya tidak mampu membalas segala kebaikan Siankouw, semoga dalam kehidupan mendatang saya akan dapat menebusnya dan..."

   "Sudah, cukup... cukup...!"

   Kim Mo Siankouw berkata sambil menahan ketawanya mendengar kata-kata yang berderet-deret tiada putusnya itu.

   "Engkau laki-laki perayu, dengan kata-katamu yang indah, suaramu yang merdu, ucapanmu yang manis, sungguh engkau palsu dan berbahaya sekali bagi kaum wanita. Engkau harus pergi dari sini!"

   Berkata demikian, seperti orang yang merasa jengkel, wanita itu menggerakkan tangannya ke arah kepala Hay Hay. Pemuda ini mendengar angin berdesir dan dia terkejut bukan main. Biarpun kelihatan hanya mengebutkan tangan, namun sesungguhnya gerakan itu merupakan serangan yang amat dahsyat dan berbahaya bukan main! Maka, agar jangan kentara bahwa dia mengelak, pada saat itu diapun menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah wanita berambut merah itu sambil mengangguk-angguk memberi hormat.

   "Siankouw yang sakti, Siankouw yang budiman, Siankouw yang agung, tolonglah saya, tolonglah sahabat saya..."

   Kim Mo Siankouw agak terbelalak dan ia menoleh kepada Mayang.

   "Mayang, dari mana engkau memperoleh pemuda perayu ini dan apa kehendakmu membawa orang semacam ini kepadaku? Hayo jawab yang sejujurnya!"

   Ucapannya halus namun mengandung teguran dan perintah. Sambil berlutut Mayang lalu menjawab,

   "Harap Subo sudi memaafkan teecu (murid). Subo (ibu guru) tentu maklum bahwa teecu tidak akan berani berlancang hati untuk membawa seorang tamu pria datang menghadap Subo. Akan tetapi telah terjadi peristiwa yang cukup hebat, yang teecu anggap cukup penting bagi Subo untuk mengetahuinya. Pertama-tama, agar Subo ketahui bahwa tadi teecu telah bentrok dengan tiga orang pendeta Lama yang memimpin para pendeta Lama di puncak Bukit Bangau."

   Kim Mo Siankouw terkejut walaupun hal ini hanya nampak pada pandang matanya dan kerut alisnya.

   "Hemm, sudah kukatakah bahwa engkau tidak boleh berurusan dengan mereka. Urusan pemberontakan terhadap Dalai Lama bukanlah urusan kita dan kita tidak perlu mencampuri."

   "Maaf, Subo. Bukan niat teecu untuk mencampuri, akan tetapi secara kebetulan saja teecu bertemu dengan mereka bertiga itu di kedai makan dusun Wangkan dalam perjalanan teecu pulang mengantar ternak ke kota Cauw-ti. Mereka makan di sana bersama seorang pemuda. Ketika mereka melihat teecu, seorang di antara mereka menghampiri teecu, pura-pura minta derma, akan tetapi teecu merasakan betapa dia menggunakan kekuatan sihir untuk menguasai pikiran teecu. Malam tadi, teecu datang ke gubuk di luar dusun di mana mereka menanti dan dengan sihir pendeta Lama itu menarik teecu datang. Karena teecu menganggap mereka itu jahat sekali, sebagai pendeta Lama tidak patut melakukan kekejian seperti itu terhadap teecu, maka teecu datang dan ingin menghajar mereka!"

   "Aih, engkau lancang, Mayang. Mereka itu adalah tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang mana di antara mereka itu yang menyihirmu?"

   "Ketika teecu berada dalam rumah makan, yang menyihir teecu adalah pendeta yang mukanya kekanak-kanakan, tubuhnya tinggi bongkok..."

   "Hemm, siapa lagi kalau bukan Pat Hoa Lama si pendeta cabul? Huh, berani dia menghina muridku! Lalu bagaimana? Agaknya tidak mungkin engkau dapat lolos dari tangan mereka bertiga!"

   Setelah berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengerling kepada Hay Hay yang masih menanti dengan hati tegang. Dia merasa betapa wanita itu memang hebat, dan agaknya telah mengenal dan mengetahui keadaan para pendeta Lama yang menculik Han Siong.

   "Mereka bertiga menghadapi teecu dan mencoba untuk menguasai teecu dengan sihir. Akan tetapi... hemmm, mereka tidak tahu bahwa teecu adalah murid Subo. Segala permainan kanak-kanak itu..."

   "Jangan menyombongkan diri!"

   Kim Mo Siankouw memotong dengan suara tegas sehingga mengejutkan Mayang sendiri karena tidak biasanya gurunya menghardiknya. Sementara itu, Hay Hay diam-diam tersenyum melihat sikap Mayang.

   "Setelah sihir mereka itu gagal, lalu seorang di antara mereka yang memegang tongkat menyerang teecu. Teecu melawan dengan cambuk. Kami berdua saling Serang dan teecu sudah mengambil keputusan untuk menghajar mereka bertiga. Akan tetapi tiba-tiba teecu dikejutkan oleh terbakarnya gubuk itu dan teecu lalu pergi meninggalkan mereka. Teecu bertemu dengan Hay Hay ini dan dia menceritakan bahwa pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu adalah seorang sahabatnya yang diculik mereka untuk dijadikan pelayan. Karena teecu menduga bahwa temannya itu dilarikan ke Bukit Bangau, maka Hay Hay minta kepada teecu untuk menghadap Subo dan mohon pertolongan Subo untuk dapat menolong dan membebaskan sahabatnya itu."

   Kim Mo Siankouw menahan senyumnya, memandang kepada muridnya itu dan menggeleng kepalanya.

   "Mayang, kau kira aku tidak tahu siapa tiga orang pendeta Lama itu? Yang menyihirmu adalah Pat Hoa Lama, dan orang yang menyerangmu dengan tongkat itu bukankah bertubuh tinggi besar, dan tongkatnya itu memakai kelenengan? Lalu orang ke tiga itu tinggi kurus, matanya seperti selalu terpejam?"

   "Benar sekali, Subo."

   "Mereka itu adalah tokoh-tokoh di Tibet. Yang menyerangmu bernama Gunga Lama dan yang matanya terpejam itu Janghau Lama. Mereka bertiga itu adalah orang-orang sakti dan menghadapi Gunga Lama seorang saja belum tentu engkau dapat menang. Kalau tidak ada orang membakar itu, agaknya belum tentu engkau akan dapat meloloskan diri dari tangan mereka. Siapa yang membakar gubuk itu?"

   Hay Hay cepat mengacungkan telunjuk kanannya ke atas,

   "Saya, Siankouw! Utung ada saya..."

   Pada saat itu, terdengar ribut-ribut di luar. Mereka segera memandang keluar dan nampaklah lima orang Lama sedang ribut mulut dengan para pelayan wanita yang bekerja dj pekarangan depan. Agaknya para pelayan itu berkeras melarang mereka memasuki pekarangan, dan lima orang pendeta Lama itu berkeras pula akan memasuki pekarangan sehingga terjadi ketegangan. Melihat ini, Mayang melompat bangun, juga ibunya sudah melangkah keluar bersama puterinya. Kim Mo Siankouw sendiri dengan sikap tenang bangkit berdiri akan tetapi ia pun melangkah keluar. Hay Hay yang ditinggal seorang diri dalam keadaan masih berlutut itupun segera bangkit dan keluar.

   "Heiii, apa yang telah terjadi di sini!"

   Bentak Mayang yang bersama ibunya telah berada di pintu pagar di mana lima orang pendeta Lama itu bersitegang dengan para pelayan yang melarang mereka memasuki pekarangan. Lima orang pendeta Lama itu berusia kurang lebih antara empat puluh tahun. Mendengar bentakan ini, mereka mengangkat muka memandang dan melihat Mayang, mereka memandang dengan wajah berseri. Seorang di antara mereka, yang mulutnya lebar, segera melangkah maju.

   "Apakah engkau yang bernama nona Mayang?"

   "Kalau benar aku, mengapa?"

   Tantang Mayang yang sudah marah melihat mereka karena ia menduga bahwa tentu mereka ini anak buah tiga orang pendeta Lama yang mereka bicarakan tadi. Lima orang pendeta itu saling pandang dan merekapun menyeringai kurang ajar. Si mulut besar tertawa.

   "Ha-ha-ha, pantas saja Suhu berpesan agar kita membawanya hidup-hidup dan jangan melukainya. Kiranya memang manis sekali dan sayang kalau sampai terluka."

   Katanya kepada kawan-kawannya, kemudian menghadapi Mayang.

   "Nona Mayang, kami diutus oleh para guru kami untuk mengundang nona ke tempat kami, menghadap tiga orang Suhu kami karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan denganmu."

   "Aku tidak sudi!"

   Mayang membentak.

   "Nona Mayang, kami datang dengan maksud baik dan tidak ingin menggunakan kekerasan, akan tetapi kamipun tidak berani pulang kalau tidak bersamamu. Maka, marilah engkau ikut dengan kami agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan untuk memaksamu."

   Mayang melompat dan membanting kakinya dengan marah.

   "Kalian ini lima ekor anjing gundul berani mengancam aku? Majulah dan aku akan membikin remuk gundul-gundulmu itu!"

   "Mayang, mundur kau!"

   Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tiba-tiba terdengar Kim Mo Siankouw berkata lembut. Mayang terkejut dan ia pun tidak berani membantah, walaupun ia masih ragu-ragu.

   "Mayang, taati Siankouw!"

   Kata pula ibunya yang lebih mengerti mengapa Kim Mo Siankouw menyuruh Mayang mundur. Ia dapat menduga bahwa kalau tiga orang pendeta Lama itu mengirim utusan lima orang ini, tentu mereka sudah memperhitungkan bahwa lima orang pendeta utusan ini akan mampu menandingi bahkan mengalahkan Mayang. Kini Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay dan tersenyum, senyum dingin mengejek.

   "Orang muda, pi-ni (aku) akan mempertimbangkan permintaanmu tadi kalau engkau dapat mewakili kami menghadapi lima orang pendeta Lama ini."

   "Subo, apakah Subo hendak mencelakakan Hay Hay? Dia tidak bisa apa-apa, seorang pemuda yang lemah, bagaimana harus..."

   "Mayang, jangan membantah kehendak Siankouw!"

   Kembali ibu gadis itu menegur dan Mayang tidak melanjutkan kata-katanya, hanya memandang terbelalak kepada Hay Hay, merasa kasihan karena bagaimana pemuda lemah itu akan mampu menandingi lima orang pendeta Lama itu?

   

Asmara Berdarah Eps 22 Pendekar Mata Keranjang Eps 30 Pendekar Mata Keranjang Eps 2

Cari Blog Ini