Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Mata Keranjang 2


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Bi Hwa tertawa.

   "Ha-ha-heh-heh, justeru kami ingin melihat engkau mengeluarkan semua kepandaianmu untuk melawanku, Cia Kong Liang!"

   "Keparat!"

   Kakek itu sudah lama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi untuk menjaga kesehatan, hampir setiap hari dia masih berlatih. Dia sudah dapat menjadi seorang yang penyabar sekali. Andaikata tidak untuk membebaskan cucunya, tentu dia akan mengalah dan akan pergi menelan semua penghinaan orang. Akan tetapi sekali ini tidak mungkin dia tinggal diam. Cucunya di sekap di dalam pondok itu! Diapun menggerakkan kaki hendak memasuki pintu pondok. Su Bi Hwa menghalang dan kakek itu menggerakkan tangan mendorong wanita ituke samping. Karena ia menduga bahwa wanita itu tentu lihai, dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ketika mendorong.

   "Plakk!"

   Gadis itu menangkis sambil mengerahkan tenaga pula dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang masing-masing tiga langkah. Gadis itu tersenyum, tidak terkejut karena ia sudah tahu sebelumnya bahwa kakek ini memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka tentu saja amat tangguh. Sebaliknya, Cia Kong Liang terkejut bukan main. Gadis yang usianya paling banyak dua puluh lima tahun itu sanggup menangkis dorongannya dan membuat dia terdorong mundur tiga langkah!

   "Bagus, kiranya engkau penjahat yang mengandalkan kepandaianmu! Nah, terpaksa aku akan menyerangmu untuk menolong cucuku!"

   Setelah berkata demikian Cia Kong Liang mulai menyerang dan memainkan ilmu silat Im-yang Sin-kun sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Tangannya yang kiri menyambar dengan tamparan ke arah pelipis kepala, tangan kanan memukul ke arah perut.

   "Haiiiiitttt...!"

   Bi Hwa cepat meloncat ke kiri sambil menangkis pukulan itu dan membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula di tangkis oleh Cia Kong Liang. Kakek itu kini melihat jelas betapa lihainya lawannya walaupun seorang wanita yang masih muda. Maka dia lalu memainkan Im-yang Sin-kun dengan sebaiknya untuk mendesak Bi Hwa. Sampai lima jurus Bi Hwa terdesak oleh ilmu yang tangguh itu, dan ia mengandalkan kegesitan gerakan tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan-loncatan.

   "Lihat, suhu. Bukankah ini yang dinamakan Im-yang Sin-kun?"

   Sambil meloncat untuk menghindarkan tonjokan ke arah dada, Bi Hwa berseru.

   "Benar, Bi Hwa, itulah Im-yang Sin-kun, dimainkan cukup baik, sayang sudah kekurangan tenaga,"

   Kata Kim Hwa Cu. Mendengar ini, Cia Kong Liang terkejut. Kalau gadis ini hanya murid, maka guru-gurunya itu tentu lebih lihai lagi. Dan agaknya mereka telah mengenal Im-yang Sin-kun! Orang-orang macam apakah mereka ini? Dia cepat mengubah gerakan kaki tangannya dan dia memainkan Thian-te Sin-ciang yang telah dikuasainya dengan baik

   "Wah, Thian-te Sin-ciang agaknya!"

   Kembali Bi Hwa berseru dan sambil mengelak terus. Ia bukannya mengalah, melainkan benar-benar terdesak oleh ilmu silat Cin-ling-pai yang memang amat hebat itu. Andaikata Cia Kong Liang tidak setua itu, masih memiliki tenaga kuat dan gerakan cepat, tentu Bi Hwa takkan mampu menandinginya. Kini, tenaga kakek itu sudah banyak berkurang, dan gerakannya pun tidak secepat dulu lagi maka biarpun Bi Hwa terdesak, tetap saja wanita itu mampu menghindarkan diri dengan gerakan cepat dan lincah. Karena mainkan Thian-te Sin-ciang membutuhkan pengerahan banyak tenaga, maka setelah beberapa jurus tidak berhasil, Cia Kong Liang mengubah lagi gerakannya. Kini dia memainkan San-in Kun-hwat.

   "Hemm, ini San-in Kun-hwat dimainkan oleh seorang ahli!"

   Siok Hwa memuji. Mereka diam-diam mengagumi ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Memang dalam tugas mereka, seperti telah direncanakan oleh gagasan Bi Hwa yang cerdik, selain menguasai Cin-ling-pai dan ilmu-ilmunya,

   Mereka ingin sekali mendapatkan dua buah pusaka Cin-ling-pai. Yang pertama adalah pedang pusaka berupa pedang yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) milik pendekar sakti Cia Keng Hong. Adapun yang kedua adalah pusaka berupa ilmu yang pernah membuat seluruh tokoh dunia persilatan gempar. Ilmu itu disebut ilmu Thi-khi-i-beng (Mencuri Tenaga Pindahkan Semangat), semacam ilmu tanaga dalam yang mujijat karena pemilik ilmu ini dapat menyedot habis tenaga sin-kang lawan, betapapun kuat tenaga sin-kang lawan itu! Karena itulah, maka setelah kini berhadapan dengan kakek yang merupakan tokoh tertua dari Cin-ling-pai, mereka ingin menguras ilmu kakek itu agar diperlihatkan kepada mereka.

   Melihat betapa semua ilmu tangan kosong yang dikuasainya tidak dapat merobohkan lawan, hanya mampu mendesak saja, diam-diam Cia Kong Liang terkejut dan bingung sekali. Dia merasa menyesal mengapa dia tidak membawa pedang. Dia bingung bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan bingung dan gelisah memikirkan nasib cucunya. Ketika perkelahian membawa mereka ke bawah sebatang pohon, tiba-tiba Cia Kong Liang meloncat ke atas dan ketika dan ketika dia turun kembali, tangannya telah mematahkan sebatang dahan sebesar lengannya. Dahan itu panjang, lalu dia patahkan menjadi dua bagian dan begitu dia memutar dua batang kayu itu, terdengar angin menyambar-nyambar dan nampak dua gelombang gulungan sinar hijau! Melihat ini, Bi Hwa cepat meloncat menjauhi dan berkata kepada tiga orang gurunya,

   "Suhu, ini tentu Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Cepat suhu hadapi aku sudah lelah dan tongkatnya itu berbahaya sekali!"

   Kini Kim Hwa Cu yang meloncat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. Dia menggerakkan sepasang pedang itu dan nampaklah gulungan sinar terang seperti dua gulungan api.

   "Tahan...!"

   Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru nyaring dan dia meloncat ke belakang, menahan dua tongkat dahan pohon itu, matanya mencorong penuh kemarahan. Kim Hwa Cu menahan pedangnya dan berdiri menghadapinya dengan senyum simpul.

   "Cia Kong Liang, lebih baik engkau menyerah dengan baik. Kami hanya ingin bertanya kepadamu dan mengharapkan engkau suka menjawab dengan terus terang."

   "Hemm, melihat pakaianmu, agaknya engkau ini seorang pendeta, seorang tosu. Kalau benar demikian, apa artinya semua ini, to-tiang? Kalau kalian datang ke Cin-ling-pai untuk minta keterangan sesuatu kepadaku, kenapa kalian menguasai Ciok Gun, dan menangkap cucuku?"

   Kim Hwa Cu tertawa dan menyilangkan sepasang pedangnya.

   "Orang tua, urusan kami tdaikperlu engkau mengetahui. Kalau engkau dapat memenuhi dua permintaan kami, kami berjanji untuk membebaskan Ciok Gun dan cucumu, dan kami tidak akan mengganggumu."

   Biarpun dia marah sekali dan tidak percaya kepada omongan orang itu, namun karena maklum bahwa dia menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh, Cia Kong Liang menahan kemarahannya,
(Lanjut ke Jilid 02)

   Jodoh Si Mata Keranjang (Seri ke 11 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02
"Katakan, apa permintaanmu itu?"

   "Hanya ada dua macam milik yang berharga di Cin-ling-pai. Pertama adalah Pedang Kayu Harum, dan kedua adalah ilmu Thi-khi-i-beng. Nah, kami minta pedang pusaka itu dan rahasia ilmu Thi-ki-i-beng!"

   Jawab Kim Hwa Cu. Wajah kakek itu sampai menjadi pucar saking kaget dan marahnya.

   "Yang kau sebut adalah benda pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai, aku lebih baik mati daripada membuka rahasia perkumpulan kami!"

   Tiba-tiba Bi Hwa mendengus marah.

   "Huh, orang-orang Cin-ling-pai memang keras kepala. Sam Suhu, tidak perlu banyak cakap lagi dengan dia, tangkap dia. Akan tetapi jangan bunuh!"

   Katanya dengan nada suara mengkal. Kim Hwa Cu tertawa.

   "Ha-ha-ha, engkau telah mendengar permintaan murid kami? Cia Kong Liang, majulah dan perlihatkan kepadaku sampai dimana kehebatan ilmu Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!"

   Kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan diapun sudah menggerakkan dua batang kayu dahan dan memainkan ilmu tongkat Siang-liong-pang dengan sekuat tenaga. Biarpun tenaganya sudah berkurang karena usia tua dan perkelahian tadi membuatnya merasa lelah sekali, akan tetapi kemarahan yang hebat membuat kakek ini seperti bertambah tenaga dan semangatnya. Sepasang dahan pohon itu bergerak bagaikan sepasang naga bermain di angkasa, dan setiap sambarannya sungguh amat berbahaya bagi lawan. Akan tetapi yang dilawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sakti. Sepasang pedang di tangan Kim Hwa Cu itu dapat membendung gelombang serangan sepasang tongkat. Bahkan Kim Hwa Cu tidak membalas dengan serangan maut, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja karena dia ingin memperhatikan permainan ilmu tongkat itu.

   "Bagus! Memang hebat Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!"

   Beberapa kali dia memuji.

   "Sudahlah, Sam Suhu. Robohkan dia dan jangan main-main lagi. Pancing agar dia mengeluarkan Thi-khi-i-beng!"

   Terdengar Bi Hwa berseru dan Kim Hwa Cu teringat akan kewajibannya. Dua kali pedang pasangan di tangannya bergerak, terdengar suara keras dan sepasang tongkat dahan pohon yang masih basah itu terbabat buntung! Sambil tertawa dia menyimpan sepasang pedangnya dan menyerang Cia Kong Liang dengan tangan kosong. Tokoh tua Cin-ling-pai itu terkejut. Dia membuang sisa dahan di tangannya dengan penuh kenekatan. Akan tetapi, tadipun ketika melawan Bi Hwa dia sudah tidak mampu menandinginya, apalagi kini guru gadis itu yang maju. Dari pertemuan tenagapun dia maklum bahwa dia kalah kuat, dan kini nafasnya mulai terengah-engah.

   "Dukk!"

   Pundak kiri Cia Kong Liang kena ditampar oleh Kim Hwa Cu dan kakek itu pun terhuyung ke belakang, pundaknya terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia tidak mengelauarkan keluhan, lalu menyerang lagi dengan nekat bagaikan singa terluka. Mereka saling pukul dan tangkis sampai belasan jurus, akan tetapi makin lama kakek Cin-ling-pai itu semakin terdesak.

   "Plakk!"

   Kembali Cia Kong Liang terkena pukulan tamparan pada punggungnya, cukup keras sehingga dia terpelanting! Akan tetapi dia bangkit kembali. Sebuah tendangan membuat dia terjengkang kembali sebelum bangkit berdiri. Akan tetapi tanpa mengeluh kakek itu mengusap darah dari bibirnya dan pandang matanya mencorong penuh kemarahan. Tiba-tiba dua buah tangan yang halus namun kuat sekali mencengkeram kedua pundaknya dari belakang. Bukan main nyeri rasa kedua pundak itu, membuat kedua lengannya lumpuh dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung. Akan tetapi kakek itu tetap bertahan, tidak pernah mengeluh sampai akhirnya rasa nyeri membuat dia roboh terkulai dan pingsan. Su Bi Hwa menyumpah-nyumpah.

   "Sialan! Sampai detik terakhir dia tidak mengeluarkan ilmu Tihi-khi-i-beng!"

   "Hemm, aku yakin bahwa dia tidak menguasai ilmu itu,"

   Kata Lan Hwa Cu sambil memandang tubuh kakek yang tidak bergerak itu.

   "Kalau dia mampu menguasainya, tentu saja sudah sejak tadi dia mempergunakannya untuk membela diri. Tidak ada seorang pun ahli silat membiarkan diri terancam maut tanpa mempergunakan ilmu simpanannya yang paling ampuh. Jelas bahwa dia tidak menguasai Thi-khi-i-beng."

   "Kalau begitu, kita harus tawan dia dan cucunya. Rencana ke dua kita lanjutkan. Melalui Cin-ling-pai yang kita kuasai melalui sandera ini dan bantuan Ciok Gun yang kita jadikan mayat hidup, kita adu domba kekuatan para pendekar!"

   Ketika kakek Cia Kong Liang siuman dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya rebah di atas lantai bertilamkan tikar tebal. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya, namun tidak dapat. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa tiga orang kakek seperti pendeta itu duduk bersila di sudut ruangan yang luas itu dan yang membuat dia mengerutkan alisnya adalah ketika dia melihat cucunya terbelenggu kaki tangannya dan menggeletak miring di atas lantai. Ada pula Cik Gun berdiri seperti patung dan wanita cantik itu duduk di atas bangku dan tangannya memegang sebatang cambuk hitam. Dia tahu bahwa dia tertotok dan tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya, maka ia pun tidak berusaha untuk meronta.

   "Ah, kiranya engkau sudah siuman, kakek Cia?"

   Bi Hwa. menghampiri sambil membawa bangku yang didudukinya tadi dan ia pun duduk di atas bangku dekat dengan Cia Kong Liang dan memandang kepadanya dengan mata bersinar marah.

   "Iblis betina jahat!"

   Cia Kong Liang memaki.

   "

   Aku sudah kalah, kalau kalian hendak membunuhku, bunuhlah. Akan tetapi cucuku itu tidak mempunyai kesalahan apa pun. Dia masih kecil dan tidak tahu urusan. Bebaskan dia!"

   "Kakek Cia Kong Liang, tidak ada gunanya lagi engkau bersikap angkuh dan berkepala besar. Engkau sudah kami tawan, cucumu juga kami tawan, dan lihat, Ciok Gun telah men jadi pembantu kami yang setia. Maka, kuharap engkau suka menyerahkan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada kami. Kami berjanji akan membebaskan kalian bertiga kalau kami sudah menerima dua pusaka Cin-ling-pai itu."

   "Aku Cia Kong Liang bukan orang yang takut mati! Kau boleh siksa, kau boleh bunuh aku, jangan harap kalian akan dapat memaksaku bicara tentang pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai!"

   Kata Cia Kong Liang dan dia membuang muka, tidak sudi lagi memandang wajah wanita itu.

   "Hemm, kita sama lihat saja, kakek berkepala batu!"

   Teriak Bi Hwa, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mau memandang kepadanya, bahkan memejamkan kedua matanya, seolah hendak menyatakan bahwa dia tidak lagi sudi bicara dengannya.

   "Tarr-tarrr...!"

   Terdengar suara cambuk meledak-ledak di susul jerit kesakitan dari mulut anak kecil.

   Cia Kong Liang terkejut dan menoleh. Matanya terbelalak ketika melihat betapa cucunya, dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya, dicambuki oleh wanita itu. Ujung cambuk panjang yang kecil itu melecut baju anak itu robek dan segera nampak darah membasahi baju Kui Bu. Terkena lecutan dua kali saja, kulit tubuh Kui Bu sudah pecah-pecah dan darah mengalir. Anak itu menjerit-jerit kesakitan dan menangis.

   "Tahan...!!"

   Teriak Cia Kong Liang. Bi Hwa menoleh kepadanya dan tersenyum penuh kemenangan, lalu menghampiri dan duduk kembali di atas bangku yang tadi. Sedangkan tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang menjadi gurunya, masih duduk bersila seperti orang-orang yang acuh saja, padahal diam-diam mereka memperhatikan. Mereka merasa yakin bahwa murid mereka yang cerdik itu akan dapat memaksa tokoh Cin-ling-pai itu membuat pengakuan.

   "Hemm, agaknya engkau mulai dapat melihat kenyataan, kakek Cia. Pedang Kayu Harum itu hanya sebuah benda, Thi-khi-i-beng hanya sebuah ilmu. Tidak pantas ditukar dengan nyawa cucumu, bukan? Nah, kami siap mendengarkan keteranganmu!"

   Mata Cia Kong Liang masih memandang cucunya yang merintih-rintih.

   "Rawat dia dulu, baru aku mau bicara, dan berjanjilah bahwa kalian tidak akan megganggunya lagi,"

   Katanya lirih. Dengan senyumnya yang genit, Su Bi Hwa berkata kepada Ciok Gun yang berdiri tak bergerak seperti arca itu.

   "Ciok Gun, kau rawat dan obati luka cambukan anak itu, ganti pakaiannya dan beri dia makan dan minum. Bawa keluar dari ruangan ini!"

   Sambil menghadap ke arah wanita itu, Ciok Gun memberi hormat dengan membungkuk dan berkata, suaranya datar dan kosong.

   "Baik Su Siocia!"

   Dan dia lalu menghampiri Kui Bu dan memondong anak yang masih merintih itu, membawanya keluar.

   Diam-diam Cia Kong Liang cemas sekali melihat keadaan Ciok Gun. Sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa murid Cin-ling-pai itu bersikap tidak wajar dan ada suatu kekuatan aneh yang mencengkeram dan menguasainya. Dia menarik napas panjang. Cin-ling-pai dalam bahaya, pikirnya. Akan tetapi kalau mengingat bahwa puteranya, Cia Hui Song, dan mantunya, Ceng Sui Cin, berada di Cin-ling-pai, hatinya menjadi tenang. Puteranya dan mantunya yang memiliki kepandaian tinggi tentu tidak akan tinggal diam, tentu mereka akan mencari putera mereka dan menemukannya di sini. Empat orang jahat ini tentu akan dapat dibasmi oleh Cin-ling-pai di bawah pimpinan putera dan mantunya.

   "Aku mau bicara, akan tetapi ada dua syarat,"

   Katanya.

   "Kalau kalian tidak memenuhi syarat itu, aku tidak mau bicara."

   Bi Hwa tersenyum mengejek. Ia tahu bahwa ucapan itu hanya gertakan kosong belaka. Kalau ia menyiksa Cia Kui Bu di depan mata kakek itu, apa pun yang ia minta tentu akan dipenuhi olehnya!

   "Hemmm, apakah dua syarat itu?"

   Tanyanya untuk mempermudah pengakuan Cia Kong Liang.

   "Pertama, engkau harus berjanji untuk membebaskan Cia Kui Bu."

   "Baik, aku berjanji akan membebaskan cucumu itu kalau kami sudah memperoleh Siang-bhok-Kiam dan Thi-khi-i-beng!"

   "Dan ke dua, sebelum aku memberi keterangan, kalian harus memperkenalkan diri dan menerangkan mengapa kalian memusuhi Cin-ling-pai!"

   Bi Hwa tertawa dan memandang ke arah tiga orang suhunya. Matanya yang genit itu berkijap-kijap bermain mata dengan mereka, kemudian ia pun menjawab.

   "Sudah sepatutnya engkau mengenal siapa kami. Lihat, tiga orang itu adalah guru-guruku, yang pertama Lam Hwa Cu, ke dua Siok Hwa Cu, dan ke tiga Kim Hwa Cu."

   "Aku tidak mengenal nama-nama itu..."

   Kata Cia Kong Liang sambil mengingat-ingat.

   "Mereka bertiga di dunia kang-ouw dikenal sebagai Pek-lian Sam-kwi."

   "Ahhh...! Kiranya orang-orang Pek-lian-kauw!"

   Cia Kong Liang terkejut bukan main dan kini mengertilah dia mengapa mereka mengganggu Cin-ling-pai. Pek-lian-kauw akan mengganggu siapa saja tanpa pandang bulu, demi kepentingan perkumpulan sesat itu.

   "Bagus kalau engkau sudah tahu. Dan aku sendiri seorang anggauta Pek-lian-kauw pula, murid mereka, namaku Su Bi Hwa dan lebih dikenal dengan julukan Tok-ciang Bi Mo-li."

   "Hemmm..."

   Cia Kong Liang maklum bahwa Cin-ling-pai benar-benar berada di dalam bahaya. Akan tetapi dia dibuat tidak berdaya dengan ditawannya cucunya. Pula, kalau dia memberi keterangan tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada mereka pun tidak akan merugikan Cin-ling-pai, dan terutama sekali untuk menyelamatkan cucunya.

   "Nah, sekarang katakan di mana adanya Siang-bhok-kiam?"

   Tanya Bi Hwa dan kini tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu pun membuka mata yang tadi mereka pejamkan. Mereka memandang ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh harap.

   "Aku tidak tahu..."

   Cia Kong Liang menggeleng kepalanya. Bi Hwa melompat berdiri dari bangkunya dan mukanya berubah merah sekali, matanya mendelik dan kedua tangannya terkepal.

   "Tua bangka busuk! Engkau menipuku dan melanggar janji? Apa kau melihat cucumu itu kusembelih perlahan-lahan di depan matamu, kemudian daging dan darahnya akan kumasak dan kuahnya akan kupaksa masuk ke dalam perutmu?"

   Cia Kong Liang bergidik. Dia sudah cukup mengenal kekejaman orang-orang Pek-lian-kauw dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya gertakan belaka. Kalau perlu, wanita itu tentu akan dapat melaksanakan ancamannya itu dengan darah dingin!

   "Anak perempuan calon penghuni neraka! Aku bukanlah seorang yang suka menipu, tak pernah pula melanggar janji! Kalau kukatakan bahwa aku tidak tahu di mana Siang-bhok-kiam berada, hal itu bukanlah bohong! Aku memang benar tidak tahu, bahkan aku belum pernah melihat pedang pusaka nenek moyangku itu!"

   "Bohong! Tidak mungkin! Engkau adalah keturunan keluarga Cia, pimpinan Cin-ling-pai. Betapa mungkin engkau tidak tahu tentang Siang-bhok-kiam? Hayo ceritakan semuanya dengan jelas. Awas kalau engkau membohong, aku tidak mau mengancam untuk ke dua kalinya!"

   Cia Kong Liang menarik napas panjang.

   "Pedang pusaka Siang-bhok-kiam milik nenek moyang keluarga Cia memang benar tidak ada lagi. Bahkan mendiang ayahku, Cia Bun Houw, tidak tahu di mana pusaka itu kini berada. Pernah kutanyakan dahulu kepada ayahku, dan dia hanya mengatakan bahwa yang terakhir kalinya, pedang itu berada di tangan kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang dahulu. Kemudian, mendiang ayah tidak pernah tahu lagi di mana pedang pusaka itu disimpan. Pernah ayah mengatakan bahwa kakek Cia Keng Hong sengaja menyembunyikah pedang itu dan melarang pusaka itu untuk dijadikan senjata. Pusaka itu hanya dikenal namanya saja sebagai benda pusaka Cin-ling-pai. Aku sendiri melihat pun belum, apalagi memilikinya."

   Su Bi Hwa mengerutkan alisnya.

   "Karena Cia Keng Hong itu ketua Cin-ling-pai, tentu pedang pusaka itu disembunyikan di perkampungan Cin-ling-pai! Tidakkah begitu?"

   "Mungkin saja, akan tetapi sejak mendiang ayahku berada di Cin-ling-pai, sampai aku menjadi ketua kemudian dilanjutkan puteraku dan sekarang dipegang oleh cucuku, keluarga kami belum pernah mencarinya.",

   "Kenapa?"

   "Mengingat pesan ayah dahulu bahwa kakek tidak menghendaki pedang pusaka itu muncul sebagai senjata. Hanya namanya saja yang kami ingat sebagai pusaka Cin-ling-pai, dan nama itu diabadikan dalam bentuk ilmu pedang Siang-bhok-kiamsut."

   Su Bi Hwa mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada tiga orang gurunya dan ia berkata lirih,

   "Kita bisa mencarinya nanti..."

   Tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu mengangguk.

   "Sekarang tentang ilmu Thi-khi-i-beng. Hayo ceritakan yang sebenarnya tentang ilmu itu. Kami ingin memilikinya!"

   Kata pula Bi Hwa dengan suara galak karena kekecewaannya mendengar tentang Siang-bhok-kiam tadi.

   "Seperti juga pedang pusaha Siang-bhok-kiam, ilmu Thi-khi-i-beng sudah lama menghilang dari keluarga kami, bahkan dari Cin-ling-pai. Aku sendiri tidak menguasai ilmu itu."

   "Aku tahu!"

   Bentak Bi Hwa galak.

   "Kalau engkau menguasai ilmu itu, tentu tidak mudah tertawan oleh kami! Yang kutanyakan adalah kitabnya, kitab pelajaran ilmu Thi-khi-i-beng itu! Di mana kitab itu?"

   Cia Kong Liang memandang wajah wanita muda itu. Di dalam hatinya, diam-diam dia merasa senang. Yang dicari orang-orang jahat ini tidak ada, dan tidak mungkin dapat mereka miliki.

   "Ketahuilah, Moli (Iblis Betina), Thi-khi-i-beng tidak pernah ada kitab pelajarannya."

   Katanya dengan suara hampir ramah karena hatinya merasa senang.

   "Bohong! Semua ilmu yang hebat tentu ada kitabnya!"

   Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sudah kukatakan aku tidak pernah berbohong. Semua ilmu silat dari Cin-ling-pai tidak ada kitabnya. Kami sudah melihat pengalaman perkumpulan silat yang lain. Selalu kitab mereka diperebutkan orang, dicuri atau dirampas. Karena itu, sejak pendiri Cin-ling-pai pertama, kami tidak pernah mencatat ilmu-ilmu kami dalam kitab. Kami mengajarkan ilmu-ilmu kami secara langsung, dari guru ke murid."

   "Dan Thi-khi-i-beng?"

   "Tidak ada lagi orang Cin-ling-pai yang menguasainya. Ilmu itu bukan ilmu sembarangan yang dapat dipelajari oleh sembarang orang!"

   Ucapan ini mengandung kebanggaan.

   "Hemm, jadi engkau tidak mempelajarinya karena engkau tidak berbakat?"

   Bi Hwa mengejek.

   "Pertama, karena bakatku tidak cukup, kedua karena tidak ada yang mengajarkannya kepadaku. Bahkan ayahku sendiri pun tidak menguasai ilmu Thi-khi-i-beng itu. Hanya kakek yang menguasainya."

   Bi Hwa saling pendang dengan tiga orang gurunya. Mereka benar-benar merasa kecewa bukan main. Siang-bhok-kiam lenyap. Thi-khi-i-beng juga lenyap!

   "Jadi di dunia ini tidak ada lagi orang yang menguasai Thi-khi-i-beng dan kitabnya pun tidak ada?"

   Tiba-tiba Cia Kong Liang merasa jantungnya berdebar. Mengapa tidak? Bukan sekedar membuka rahasia, akan tetapi kalau dia boleh mengharapkan pertolongan bagi Cin-ling-pai, maka yang diharapkan adalah dari pulau Teratai Merah!

   "Kurasa di dunia ini hanya seorang saja yang kini masih menguasainya, yaitu besanku, Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah."

   "Pendekar Sadis...??"

   Empat orang itu serempak berseru kaget. Cia Kong Liang tersenyum senang!

   "Benar, hanya dialah yang menguasai ilmu itu. Nah, sekarang aku telah membuka semua rahasia tentang Siang-bhok-kiam dan Thi-khi-i-beng, aku harap engkau suka segera membebaskan cucuku Cia Kui Bu."

   "Heh-heh, jangan harap! Dia dan engkau masih akan menjadi tawanan kami, sebagai sandera!"

   Kata Bi Hwa.

   "Kau... kau... melanggar janji! Engkau jahat, curang, pengecut hina...!"

   "Plakkk!"

   Tangan Bi Hwa bergerak dan kakek itu terkulai pingsan.

   "Suhu bertiga telah mendengar sendiri. Kita harus mengganti siasat."

   Kata Bi Hwa dan kembali ia dan tiga orang gurunya berunding, mengatur siasat selanjutnya setelah langkah pertama itu mengecewakan hati mereka.

   Suami isteri itu berdiri di pekarangan depan rumah induk perkampungan Cin-ling-pai. Alis mereka berkerut ketika mereka memandang ke luar dalam cuaca yang sudah redup karena senja telah tiba. Pria itu adalah Cia Hui Song, berusia empat puluh empat tahun, tubuhnya tegap dan wajahnya yang tampan itu selalu cerah, sepasang matanya mencorong dan lincah sedang mulutnya selalu mengandung senyum. Dia putera Cia Kong Liang, bekas ketua Cin-ling-pai yang sudah mengundurkan diri walau usianya belum tua benar karena dia lebih suka bebas merantau bersama isterinya. Wanita itu isterinya, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembila tahun. Dalam usia menjelang tua itu, ia masih nampak manis, matanya tajam bersinar-sinar. Dalam hal ilmu silat, ia tidak kalah jauh oleh suaminya karena wanita ini adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah.

   Selain keturunan orang-orang pandai, juga suami isteri ini dahulu pernah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh sakti. Cia Hui Song pernah menjadi murid mendiang Siangkiang Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. sedangkan Ceng Sui Cin, di samping mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga pernah digembleng oleh mendiang Wum Yi Lojin, juga seorang di antara Delapan Dewa. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya mereka. Baru kemarin suami isteri ini kembali ke Cin-ling-pai bersama putera mereka, Cia Kui Bu yang berusia lima tahun. Selama berbulan-bulan mereka tinggal di pulau Teratai Merah. Dan sore hari itu, mereka berada di pekarangan itu dengan hati agak khawatir. Putera mereka, Cia Kui Bu, sejak pagi pergi berjalan-jalan dengan kakeknya, yaitu kakek Cia Kong Liang dan sampai matahari hampir tenggelam, kakek dan cucu itu belum juga pulang.

   "Sungguh aneh, ke manakah ayah mengajak Kui Bu pergi? Kalau hanya jalan-jalan, kenapa sampai sehari dan belum juga pulang?"

   Untuk ke sekian kalinya Cia Hui Song mengomel.

   "Apakah malam tadi beliau tidak memesan sesuatu kepadamu?"

   Tanya isterinya.

   "Tidak, hanya mengatakan bahwa dia ingin berjalan-jalan pagi hari ini dengan Kui Bu. Apakah pagi tadi engkau bertemu dengan ayah?"

   "Pagi-pagi sekali Kui Bu sudah bangun dan setelah mandi dia berpamit untuk mengunjungi kakeknya karena sudah berjanji akan berjalan-jalan pagi tadi. Aku hanya mendengar suara ketawanya bersama kong-kongnya di pekarangan ini ketika mereka berangkat pagi tadi."

   Dari bangunan tempat tinggal Gouw Kian Sun, di sebelah kiri bangunan induk itu, muncul Kian Sun bersama seorang wanita. Agaknya mereka berdua memang bermaksud mengunjungi bangunan induk. Ketika melihat Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin berdiri di pekarangan, Gouw Kian Sun segera menghampiri mereka dan memberi hormat. Wanita itu pun memberi hormat dan ternyata ia seorang wanita yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun dan wajahnya nampak gelisah, bahkan ia seperti baru menangis. Hui Song dan isterinya mengenalnya sebagai isteri Koo Ham, yang tinggal di bagian belakang.

   "Kebetulan sekali, suheng dan toa-so berada di sini. Kami memang ingin menghadap ji-wi (kalian berdua)."

   Kata Kian Sun setelah rnemberi hormat.

   "Hemm, ada urusan apakah, sute?"

   Tanya Hui Song sambil memandang kepada wanita itu karena dia menduga bahwa tentu urusan itu mengenai wanita ini. Kalau tidak begitu, tidak mungkin isteri Koo Ham datang bersama Kian Sun, dan suaminya tidak nampak bersama mereka.

   "Suheng, isteri Koo Ham ini amat mengkhawatirkan suaminya, juga saya sendiri merasa heran mengapa dia, Ciok Gun dan Teng Sin belum juga pulang sejak kemarin pagi."

   "Hemm, ke manakah mereka bertiga pergi?"

   "Mereka bertiga pergi berburu. Biasanya kalau rnereka pergi berburu, tidak pernah bermalam. Kalau pun terpaksa bermalam, maka pada keesokan paginya pasti pulang. Akan tetapi sampai sekarang mereka belum juga pulang. Hal ini memang aneh dan isteri Koo Ham ini merasa gelisah sekali karena malam tadi ia bermimpi buruk."

   Hui Song dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum. Agaknya isteri Koo Ham ini percaya akan mimpi yang biasanya hanya merupakan bunga dari tidur saja.

   "Engkau mimpi apakah?"

   Ceng Sui Cin bertanya kepada wanita itu.

   "Saya... saya melihat suami saya mandi dengan... darah...

   "

   Biarpun mereka bukan orang yang percaya tahyul dan mimpi, namun suami isteri pendekar ini saling pandang dan merasa ngeri.

   "Kian Sun sute, apakah engkau tadi melihat ayah?"

   Tiba-tiba Hui Song bertanya.

   "Tidak, suheng. Bukankah pagi tadi suhu pergi berjalari-jalan dengan puteramu? Apakah belum pulang?"

   Hui Song menahan kegelisahan hatinya agar jangan nampak pada wajahnya. Dia memandang isterinya.

   "Aku akan pergi mencari mereka! Juga sekalian mencari Ciok Gun dan dua orang sutenya."

   Sui Cin mengangguk. la percaya bahwa seperti juga tiga orang murid Cin-ling-pai itu yang tentu mampu melindungi diri sendiri, lebih-lebih ayah mertuanya tentu akan menjaga anaknya dengan baik dan selama ini, di Cin-ling-san tidak pernah terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Keadaan di tempat itu selalu aman dan tenteram. Setelah suaminya pergi, ia lalu menghibur isteri Koo Ham dan menyuruhnya pulang dan menanti suaminya di rumah. Setelah keluar dari perkampungan Cin-ling-pai, Hui Song lalu mempergunakan kepandaiannya berlari cepat mencari-cari ayahnya dan anaknya. Dia lari mendaki sebuah puncak bukit terdekat, berteriak memanggil nama puteranya dengan pengerahan khi-kang agar suaranya terdengar sampai jauh.

   Setelah menanti jawaban yang tak kunjung ada, dia menuruni bukit dan lari mendaki bukit lain. Pendekat ini tidak tahu bahwa sejak tadi ada beberapa pasang mata mengikuti gerak-geriknya, dan beberapa pasang telinga mendengarkan teriakannya yang melengking nyaring ketika ia memanggil puteranya itu. Dan pemilik mata dan telinga ini saling pandang dengan kaget dan penuh kagum, juga agak gentar. Mereka adalah Pek-lian Sam-kwi dan murid mereka, Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang mengintai dari puncak bukit tempat mereka bersembunyi. Selagi Hui Song hendak mendaki bukit berikutnya, tiba-tiba ada bayangan orang muncul dari dalam hutan di lereng bukit itu dan orang ini berlari turun memapakinya.

   "Suhu...!"

   Orang itu bukan lain adalah Ciok Gun yang cepat membungkuk dengan sikap hormat kepada Cia Hui Song.

   "Ciok Gun, engkau? Ke mana saja engkau dan mana pula dua orang sutemu? Dan apakah engkau melihat ayah dan puteraku?"

   "Suhu, panjang ceritanya. Akan tetapi, marilah suhu ikut saya. Teecu (murid) mengetahui di mana adanya su-kong (kakek guru) dan sute Kui Bu. Mari...!"

   Dan Ciok Gun lalu membalikkan tubuhnya berlari mendaki bukit itu. Tentu saja Hui Song segera mengikutinya. Senja telah mendatang dan akan semakin sukar mencari ayah dan puteranya kalau malam tiba. Dia merasa gembira mendengar bahwa Ciok Gun mengetahui di mana adanya mereka, akan tetapi juga timbul keheranan dan kekhawatiran melihat sikap murid Cin-ling-pai yang tidak wajar ini. Seperti juga yang dialami kakek Cia Kong Liang, Hui Song merasa terkejut dan heran ketika dia diajak Ciok Gun menuju ke sebuah pondok yang berada dihutan dekat puncak bukit itu. Seingatnya, tidak pernah ada pondok di situ!

   "Pondok siapakah ini?"

   Tanyanya ketika Ciok Gun berhenti. Akan tetapi Ciok Gun memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut.

   "Ssttt... teecu melihat ayah dan putera suhu di sebuah ruangan. Mari...!"

   Bisiknya dan dia pun menyelinap masuk ke dalam rumah itu melalui sebuah pintu samping kecil yang terbuka. Hui Song juga menyelinap masuk dengan sikap hati-hati. Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, dia telah dapat "merasakan"

   Adanya sesuatu yang tidak beres, maka dia pun siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang mengancam dirinya. Mereka tiba di ruangan belakang dan Ciok Gun memheri isyarat kepada Hui Song untuk mendekat. Hui Song ikut mengintai dari jendela. Kamar di dalam itu diberi penerangan lampu gantung sehingga cukup terang. Dan begitu dia mengintai ke dalam, dia terkejut dan juga girang. Ayahnya dan puteranya berada dalam kamar itu. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah karena keduanya terbelenggu kaki tangannya.

   "Ayah! Kui Bu...!"

   Dia berseru dan sekali tubuhnya bergerak, terdengar suara keras dan daun jendela itu telah jebol dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan yang luas itu. Akan tetapi, dari kanan kiri berkelebat bayangan orang dan kini di depannya menghedap empat orang. Tiga orang laki-laki berjubah pendeta yang usianya antara lima puluh sampai enam puluh tahun dan seorang wanita muda berusia dua puluh lima tahun yang cantik dan pesolek, bersikap genit dengan senyum dan pandang matanya. Hui Song juga melihat betapa Ciok Gun juga sudah memasuki ruangan itu, bahkan mendekati ayahnya dan puteranya. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya, murid Cin-ling-pai itu sama sekali tidak bersikap melindungi atau ingin menolong mereka. Bahkan dia duduk di atas bangku di sudut dengan tenang dan dingin, seperti sebuah patung saja!

   "Selamat datang, pendekar besar Cia Hui Song!"

   Kata wamta itu sambil tersenyum manis dengan gaya yang memikat.

   "Kiranya tidak bohong berita yang kudengar bahwa pendekar Cia Hui Song adalah seorang pria yang gagah dan ganteng!"

   Hui Song mengerutkan alisnya. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang amat jahat dan cabul. Ketika dia melirik ke arah ayahnya, dia melihat betapa orang tua itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu bersuara, hanya matanya saja yang memandang kepadanya dengan nampak khawatir. Juga puteranya rebah miring dalam keadaan terbelenggu dan tidak bersuara. Tentu saja dia merasa gelisah sekali melihat keadaan mereka.

   "Siapakah kalian?"

   Suaranya terdengar tegas, juga mengandung getaran kuat karena dia sedang marah.

   "Apakah kalian yang menawan ayahku dan puteraku?"

   Bi Hwa tersenyum.

   "Mereka menjadi tamu kami, seperti juga engkau, Cia Hui Song. Kami ingin bicara denganmu, maka kami mengutus Ciok Gun untuk mengundangmu ke sini."

   "Ciok Gun...? Dia... dia... hemm, bebaskan dulu ayahku dan puteraku!"

   "Nanti setelah kita bicara, pendekar yang tampan!"

   "Keparat akan kubebaskan sendiri mereka!"

   Dan Hui Song bergerak ke depan untuk menghampiri ayahnya dan puteranya. Melihat ini, Su Bi Hwa yang memang ingin menguji kepandaian orang yang paling terkenal di Cin-ling-pai itu, maju menghalang.

   "Minggir kau, perempuan iblis!"

   Bentak Hui Song dan dia pun mendorong ke arah Bi Hwa. Wanita itu sengaja menyambut dengan tangannya,sambil mengerahkan tenaganya.

   "Dukkk...! Aihhh...!"

   Bi Hwa terdorong dan terjengkang sampai terguling-guling. Akan tetapi ketika Hui Song yang diam-diam terkejut juga merasakan betapa kuatnya tenaga wanita itu hendak maju, tiga orang tosu itu sudah berdiri di depannya menghadang. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi pengeroyokan mereka sebelum dapat membebaskan ayahnya dan puteranya. Tempat itu cukup luas untuk berkelahi keroyokan. Yang membuat dia khawatir hanyalah keadaan ayahnya dan puteranya.

   "Ciok Gun, bebaskan sukongmu dan sutemu!"

   Bentaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi sekali ini, Ciok Gun tetap duduk diam seperti patung, tidak bergerak sama sekali seolah mendengar perintah itu.

   "Hemm, kalian iblis-iblis jahat. Berani kalian mengacau Cin-ling-pai!"

   Bentaknya dan dia pun menyerang orang terdekat, yaitu Siok Hwa Cu yang bertubuh gendut pendek dan bermuka hitam. Dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, tangan kanahnya menampar ke arah kepala lawan yang pendek gendut itu. Siok Hwa Cu mengerahkan tenaganya dan mengangkat kedua lengannya menangkis.

   "Dukkk...!!"

   Hui Song merasa betapa tubuhnya tergetar oleh tangkisan itu. Akan tetapi Siok Hwa Cu terhuyung dan dia pun cepat menjatuhkan dirinya dan bergulingan. Melihat ini, Kim Hwa Cu sudah menyerang dari samping, menghantam ke arah lambung Hui Song. Pendekar ini mengelak dengan loncatan ke belakang dan pada saat itu, Lan Hwa Cu yang tinggi besar sudah mengirim pukulan pula ke arah kepalanya. Maka diapun menangkis sambil mengerahkah tenaga sepenuhnya.

   "Dukkk!"

   Kembali dia tergetar hebat walaupun lawannya juga terpental kebelakang. Diam-diam Hui Song terkejut. Kiranya empat orang lawan ini memiliki kepandaian yang tinggi dan dalam hal tenaga sin-kang, tidak kalah jauh olehnya! Melawan mereka satu per satu, dia sama sekali tidak gentar dan pasti akan menang. Akan tetapi kalau mereka maju bersama, berat juga baginya. Padahal dia harus menyelamatkan ayahnya dan puteranya. Yang lebih kaget adalah tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu. Biarpun mereka sudah menduga bahwa Cia Hui Song tentu lihai sekali, lebih lihai daripada ayahnya yang sudah tua, namun tak mereka sangka pria itu akan mampu membuat mereka terpental. Hal ini adalah karena mereka bertiga ini, sudah terbiasa memandang diri sendiri terlalu tinggi.

   "Hyaaatttt...!"

   Hui Song mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya menyambar-nyambar dengan kuatnya. Tiga orang tosu mengepung ketat, namun mereka tidak berani terlalu mendesak dekat karena kedua tangan pendekar itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Hui Song mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa perkelahian itu akan menentukan tertolong atau tidaknya ayah dan puteranya. Tiba-tiba terdengar suara wanita itu.

   "Tahan, hentikan perkelahian. Suhu semua mundur!"

   Karena yakin akan kecerdikan Bi Hwa, tiga orang tosu itu berlompatan mundur. Juga Hui Song menahan gerakannya karena khawatir terjebak. Dia melihat tiga orang tosu itu berdiri di dekat wanita itu, menghalangi dia menghampiri ayahnya dan puteranya. Sedangkan wanita itu sudah menodongkan pedangnya ke atas leher Cia Kong Liang dan Cia Kui Bu yang rebah berdampingan!

   "Cia Hui Song, lihat baik-baik. Kalau engkau masih hendak menggunakan kekerasan, terpaksa aku akan menggorok leher ayahmu dan puteramu!"

   Sebelumnya, Bi Hwa yang cerdik telah memulihkan gerak leher kedua orang kakek dan cucu itu sehingga kini keduanya dapat mengeluarkan suara.

   "Ayah...! Ayah...!!"

   Kui Bu memanggil dan menangis sesenggukan. Anak itu amat menderita, sakit-sakit tubuhnya karena dicambuki dan juga ketakutan. Akan tetapi ayahnya membentak nyaring.

   "Hui Song, serang mereka! Bunuh mereka yang amat jahat itu! Cin-ling-pai berada dalam bahaya. Bunuh mereka, jangan pedulikan aku!"

   "Ayah..., Kui Bu dalam bahaya..."

   Hui Song menjadi lemas karena dia tahu bahwa ancaman seorang yang kejam seperti wanita itu bukan hanya gertak kosong belaka. Wanita itu tentu akan tega menggorok leher Kui Bu dan ayahnya seperti yang diancamkannya tadi.

   "Lawan mereka! Kalau engkau menyerah pun percuma, akhirnya mereka akan membunuhmu, membunuh aku dan Kui Bu juga. Lawan dan bunuh mereka, Hui Son!"

   Kembali Cia Kong Liang berteriak-teriak.

   "Dukk!"

   Kim Hwa Cu menotok dan kakek itu pun terkulai pingsan. Melihat ini, Hui Song marah sekali, akan tetapi dia tidak berani bergerak karena leher puteranya masih ditodong pedang wanita itu.

   "Bagairnana, Cia Hui Song, engkau mau berdamai dan menyerah ataukah kubunuh dulu ayahmu dan puteramu, kemudian kami keroyok engkau?"

   Bi Hwa bertanya dan nada suaranya penuh kemenangan. Lemas seluruh tubuh Hui Song. Mungkin hatinya masih dapat tega melihat ayahnya yang sudah tua terbunuh, karena ayahnya akan tewas sebagai orang gagah. Akan tetapi bagaimana miungkin dia tega melihat puteranya yang baru berusia lima tahun itu disembelih di depannya?

   "Katakan dulu, apa kehendakmu kalau aku tidak melawan."

   Katanya, suaranya masih berwibawa, namun sudah tidak lantang dan tegas lagi seperti tadi.

   "Kami hanya akan menjadikan engkau sebagai tawanan... eh, maksudku tamu kami seperti ayahmu dan puteramu. Kami tidak akan membunuh kalian asal, engkau mentaati permintaan-permintaan kami."

   "Hemm, harus dilihat dulu apa permintaan itu. Dan sebetulnya siapakah kalian dan apa maksud kalian melakukan semua ini?"

   "Cia Hui Song, engkau tawanan kami, tidak perlu banyak menuntut. Kami tidak membunuh ayahmu dan anakmu, dan engkau menjadi tawanan kami. Nah, engkau berjanji tidak akan melawan? Kami pun berjanji tidak akan membunuh kalian bertiga."

   Hui Song memandang ayahnya yang masih pingsan, kepada anaknya yang masih menangis lirih, lalu kepada tiga orang pendeta itu.

   "Aku mau berjanji, akan tetapi kalian berempat harus mengucapkan janji kalian untuk tidak mengganggu ayahku dan puteraku. Kalau hanya engkau saja yang berjanji, nona, terus terang aku tidak percaya."

   "Baik, kami berjanji. Suhu, berjanjilah kalian!"

   Kata Bi Hwa. Dengan heran Hui Song melihat betapa tiga orang tosu yang disebut suhu oleh gadis itu demikian taat. Mereka mengangguk dan serentak mereka berkata sambil memandang kepadanya.

   "Cia Hui Song, kami berjanji tidak akan membunuh ayahmu dan puteramu kalau engkau menyerah dan tidak melawan."

   Hui Song tidak habis mengerti bagaimana tiga orang guru begitu taat kepada muridnya, padahal murid itu seorang wanita muda dan melihat kekuatan mereka, dia tahu bahwa murid itu tidak lebih kuat daripada mereka bertiga? Akan tetapi dia tidak perduli. Dia tidak tahu bahwa karena kecerdikannya, Tok-Ciang Bi Moli Su Bi Hwa oleh pimpinan Pek-lian-kauw diangkat menjadi pimpinan dari rombongan pelaksana tugas itu sehingga di dalam tugas itu, tiga orang gurunya adalah orang-orang bawahannya atau pembantu-pembantunya. Di samping itu, memang biasanya mereka itu kalah pengaruh oleh Bi Hwa, apalagi Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu yang menganggap gadis itu sebagai kekasih mereka.

   "Aku pun berjanji tidak akan rnelawan dan akan memenuhi permintaan kalian, asalkan permintaan itu tidak berlawanan dengan hatiku dan tidak melakukan kejahatan!"

   "Tentu saja!"

   Kata Bi Hwa.

   "Ciok Gun, bawa kakek dan cucunya itu ke kamar tahanan hijau!"

   "Baik, Su Siocia!"

   Kata Ciok Gun dan bagaikan patung yang baru saja dapat bergerak, dia bangkit, menghampiri kakek Cia Kong Liang dan memanggulnya, kemudian mengempit tubuh Kui Bu yang masih menangis itu dibawa keluar dari situ.

   "Ayah...!"

   "Kui Bu, diamlah dan jangan cengeng! Kau jaga kong-kong baik-baik."

   Kata Hui Song menabahkan hatinya yang rasanya seperti diremas-remas.

   "Awas kalian berempat. Kalau sampai ayahku atau anakku diganggu, aku bersumpah akan membunuh kalian!"

   
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanya setelah Ciok Gun membawa kedua orang itu pergi.

   "Hi-hik, kami tidak akan begitu bodoh Cia-Taihiap (pendekar besar Cia)!"

   Kata Bi Hwa sambil tersenyum manis. Kini ia menyebut Taihiap kepada Hui Song, sebutan yang amat menyakitkan hati pendekar itu karena pada saat itu dia sama sekali tidak merasa sebagai seorang pendekar, apalagi pendekar yang besar. Dia merasa dirinya seperti seorang pengecut yang sudi menyerah begitu saja kepada orang-orang jahat! Akan tetapi, apa daya? Puteranya dalam bahaya. Kalau dia tidak menyerah, tentu iblis-iblis itu membunuh anaknya dan ayahnya.

   "Kami tidak bermaksud membunuh siapa-siapa, bahkan kami tidak ingin memusuhi Cin-ling-pai. Sekarang, engkau menjadi tamu kami, dan marilah kami antarkan engkau ke kamarmu."

   Kata pula wanita itu dengan sikap genit sekali. Tanpa bicara apa-apa lagi Hui Song mengikuti Bi Hwa yang berjalan di depannya, sedangkan tiga orang tosu itu berjalan di belakangnya. Kalau dia mau, sekali serang dia tentu akan dapat membunuh wanita yang berada di depannya itu, dan dia pun akan mampu melawan mati-matian kalau dikeroyok tiga orang tosu di belakangnya.

   Akan tetapi, perbuatannya itu andaikata dapat membunuh mereka berempat, tetap saja anaknya dan ayahnya terancam bahaya maut. Dia tidak tahu berapa banyak anak buah mereka, dan di sana ada pula Ciok Gun yang agaknya telah berada dalam cengkeraman kekuasaan mereka. Maka dia pun menahan gejolak hatinya dan mengikuti dengan patuh ketika dia dibawa memasuki sebuah pintu rahasia yang membuka sebuah lorong bawah tanah! Orang-orang ini ternyata telah membuat persiapan, pikirnya. Mereka bahkan telah membuat lorong rahasia di bawah pondok itu. Lorong itu cukup panjang, ada seratus meter panjangnya. Dia lalu disuruh di masuk ke dalam sebuah kamar bawah tanah. Dari kamar itu, yang mempunyai jendela beruji besi yang kokoh kuat, dia dapat melihat betapa kurang lebih lima pu1uh meter dari situ, anaknya dan ayahnya rebah di atas pembaringan, di sebuah kamar lain.

   "Nah, ini kamarnya, Cia-Taihiap, lengkap dengan tempat mandi dan kakus. Dan yang lebih baik lagi, lihat di sana itu. Engkau dapat melihat keadaan ayahmu dan anakmu, maka tenangkan hatimu dan jangan sekali-kali mencoba untuk memberontak kalau engkau tidak ingin ayah dan anakmu tewas."

   Setelah berkata demikian, wanita itu bersama tiga orang tosu meninggalkan kamar tahanan dan menutupkan pintunya yang juga terbuat dari besi.

   "Nanti dulu!"

   Tiba-tiba Hui Song berkata melalui jeruji besi di atas daun pintu.

   "Siapakah kalian sesungguhnya dan apa yang kalian kehendaki dari Cin-ling-pai?"

   Wanita muda itu tersenyum.

   "Namaku Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, dan mereka ini adalah guru-guruku bernama Kim Hwa Cu, Siok Hwa Cu, dan Lan Hwa Cu..."

   Hui Song memandang terbelalak. Tosu-tosu yang memakai nama bunga itu mengingatkan dia akan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw.

   "Kiranya kalian bertiga adalah Pek-lian Sam-kwi?"

   Tiga orang tosu itu diam saja, akan tetapi Bi Hwa yang tertawa.

   "Hi-hik, engkau cerdik, Taihiap. Engkau gagah, ganteng dan cerdik. Dugaanmu benar. Aih, kalau saja engkau tidak begitu berbahaya, tentu aku akan suka sekali menemanimu dalam kamarmu ini, hi-hik!"

   Hui Song tidak menjawab dan tidak mau bicara lagi, membalikkan tubuhnya dari pintu. Dia mendengar mereka pergi sambil tertawa-tawa, dan tak lama kemudian dia me1ihat belasan orang di luar pintu kamar-kamar tahanan bawah tanah itu. Hemm, kiranya mereka mempunyai belasan orang anak buah, pikirnya. Dan mungkin masih ada lebih banyak lagi yang berada di luar. Dugaan Hui Song memang benar. Ada tiga puluh orang-anak buah Pek-lian-kauw yang dipersiapkan empat orang itu. Mereka telah merencanakan semua dengan baik sekali.

   Mereka melarang semua anggauta Pek-lian-kauw untuk bergerak atau memperlihatkan diri dan mereka sendiri yang turun tangan menjebak para pimpinan Cin-ling-pai, melalui Ciok Gun yang sudah berada dalam cengkeraman mereka. Ciok Gun telah dibius dan dishir sehingga dia kehilangan semangat, kehilangan kemauan sendiri dan patuh sekali kepada Bi Hwa, seperti mayat hidup saja. Apa pun yang diperintahkan Bi Hwa akan dia lakukan dengan patuh dan dengan taruhan nyawa. Biarpun dia masih mengenal tokoh-tokoh Cin-ling-pai, namun pengenalannya itu seperti hafalan saja, ditekankan oleh Bi Hwa. Segala sikapnya diatur oleh Bi Hwa karena sebetulnya Ciok Gun sudah tidak ingat apa-apa lagi kecuali taat kepada wanita muda yang dianggapnya amat baik, amat menyenangkan dan amat mencintanya itu!

   Akan tetapi, belasan orang penjaga di luar itu bersikap acuh dan seolah-olah tidak memperdulikan dia atau ayah dan anaknya yang berada di kamar seberang. Bahkan yang berada di depan kamar tahanan mereka hanya lima orang saja, dan yang menjaga di depan kamar tahanannya lebih banyak. Kamar tahanan itu kokoh kuat, dindingnya tak mungkin ditembus karena berada di bawah tanah, jendela dan pintunya juga kokoh dan kuat daripada besi. Dan andaikata dia mampu menjebol pintu atau jendela dan membunuh para penjaga, tidak berarti bahwa dia sudah bebas. Di masih berada di lorong bawah tanah yang jalan satu-satunya hanya melalui pintu rahasia dalam pondok itu. Dan di atas masih ada empat orang musuh yang lihai itu. Tidak, dia tidak akan menggunakan kekerasan sebelum merasa yakin akan dapat membebaskan ayahnya dan puteranya.

   "Hui Song...!"

   Pendekar itu menengok. Ayahnya telah siuman, bahkan telah berdiri di depan jendela beruju menghadap ke arah kamarnya. Ayahnya tidak terbelenggu lagi dari agaknya dalam keadaan sehat saja.

   "Ayah...!"

   Kui Bu juga berdiri di atas bangku sehingga dapat menjenguk keluar jeruji jendela dan memandang kepadanya, juga anaknya tidak menangis lagi dan nampaknya sehat saja. Hatinya merasa lega.

   "Ayah dan Kui Bu, kalian baik-baik saja, bukan?"

   Tanyanya dengan suara lega.

   "Hui Song, lihat apa akibatnya. Engkau menyerah dan ditawan! Sekarang siapa yang akan membasmi mereka?"

   "Ayah, yang penting kita masih hidup dan sehat. Kalau sudah mati tidak akan dapat berbuat sesuatu."

   Jawab Hui Song dan jawaban ini agaknya menyadarkan kakek itu bahwa puteranya terpaksa menyerah untuk menyelamatkan dia dan cucunya dari maut. Biarpun hatinya merasa penasaran, ketika teringat akan cucunya yang masih kecil, dia pun dapat memaklumi sikap puteranya.

   "Engkau benar. Kita harus menjaga kesehatan, dan kekuatan, tidak boleh putus asa."

   Dan dia pun merangkul cucunya.

   "Jangan khawatir, Kui Bu berada di sini bersamaku."

   "Ayah, aku akan menjaga kakek!"

   Kata Kui Bu, kini suaranya mengandung ketabahan. Agaknya karena melihat ayahnya berada di situ dan tadi ditegur agar tidak cengeng dan agar dia menjaga kakeknya, semangat anak itu timbul dan memang pada dasarnya Kui Bu bukan seorang anak yang lemah atau cengeng. Demikianlah, dengan sabar dan tenang Hui Song, ayahnya, dan anaknya tidak membuat ulah di dalam kamar tahanan mereka, diam-diam tentu saja mereka mempersiapkan diri dan menanti terbukanya kesempatan untuk membebaskan diri. Kalau ada penjaga menyodorkan hidangan dan minuman melalui jeruji besi di atas pintu, mereka menerimanya dan makan tanpa banyak ribut lagi.

   "Ayah...!"

   Suara itu melengking nyaring menembus kesunyian malam.

   "Kui Buuuu...!!"

   Kembali suara yang sama melengking nyaring menuruni bukit, seolah suara itu datang dari bulan tiga perempat yang memberi penerangan yang cukup. Namun, seperti juga tadi, tidak ada suara jawaban terdengar.

   "Song-ko (kanda Song)...!!"

   Kembali suara itu melengking dan sia-sia, karena tidak ada jawaban. Bahkan suara jengkerik dan belalang malam yang tadinya meramaikan malam, segera terhenti sejenak karena terkejut oleh suara melengking itu. Beberapa saat kemudian, barulah kerik jengkerik dan belalang terdengar lagi. Ceng Sui Cin menuruni bukit itu. Hatinya cemas bukan main. Yang aneh-aneh terjadi di Cin-ling-pai sejak pulangnya ke situ dari pulau Teratai Merah kemarin. Mula-mula, Ciok Gun, Teng Sin dari Koo Ham, tiga orang murid Cin-ling-pai yang pergi berburu, sampai dua hari semalam belum pulang.

   Kemudian, sejak pagi tadi Kui Bu dan kakeknya pergi berjalan-jalan juga sampai malam ini belum pulang. Dan yang terakhir, sore tadi suaminya pergi mencari mereka dan sampai kini, menjelang tengah malam, suaminya pun belum kembali! Maka, setelah memesan agar Gouw Kian Sun, sute dari suaminya menyuruh anak buah membuat penjagaan yang lebih ketat, ia sendiri lalu keluar dari perkampungan Cin-ling-pai untuk mencari mereka. Sudah sejak tadi ia mencari-cari, memanggil-manggil ayah mertuanya, suaminya, dan anaknya, namun tidak ada yang menjawab. Padahal, ketika berteriak memanggil, ia sudah mengerahkan khi-kang sehingga suaranya tentu akan terdengar sampai jauh. Setidaknya, suaminya tentu mendengarnya dan kalau begitu, kenapa suaminya tidak menjawab?

   Hati wanita perkasa ini mulai merasa gelisah. Untung bulan cukup terang dan di angkasa tidak ada mendung sehingga ia dapat mempergunakan ilmunya berlari cepat yang amat hebat untuk berlari-lari mencari. Ilmu ginkang (meringankan tubuh) nyonya ini memang hebat. Ia memiliki ilmu Bu-eng-hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang membuat ia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga bayangannya saja berkelebat dan sukar ditangkap pandangan mata! Hatinya menjadi semakin gelisah setelah tiga bukit didaki dan dituruni belum juga ia berhasil menemukan orang-orang yang dicarinya. Ketika ia mendaki sebuah bukit, tiba di luar hutan, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul empat orang yang menghadang di tengah jalan. Tiga orang tosu dan seorang wanita muda yang cantik.

   "Selamat malam, pendekar wanita Ceng Sui Cin!"

   Gadis itu menyalaminya dengan senyum simpul. Sui Cin terkejut dan merasa heran. Ia memandang penuh perhatian akan tetapi merasa tidak pernah mengenal mereka. Dan mereka telah mengetahui namanya! Jantungnya berdebar tegang karena ada firasat yang tidak enak terasa di hatinya. Seperti ada bisikan bahwa kemunculan empat orang asing ini tentu ada hubungannya dengan lenyapnya mertuanya, anaknya, suaminya dan tiga orang murid Cin-ling-pai itu.

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 17 Kumbang Penghisap Kembang Eps 12 Kumbang Penghisap Kembang Eps 16

Cari Blog Ini