Jodoh Si Mata Keranjang 22
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
"Bagaimana, Kongcu? Kuharap engkau suka memberi keputusan sekarang."
"Tapi ia... eh, mereka... belum kembali, mereka masih berada dalam tangan penculik..."
"Kongcu, aku percaya sepenuhnya kepada kakakku Tang Hay dan kepada enci Kui Hong. Mereka berdua pasti akan berhasil menyelamatkan adik Hui dan adik Cin. Aku menghendaki agar sebelum adik Cin pulang, engkau sudah dapat mengambil keputusan sekarang agar nanti kalau ia pulang, Kongcu langsung melamarnya. Kalau begitu, barulah aku akan menerima pinanganmu dengan sepenuh hatiku."
Cang Sun kini menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang.
"Selama hidupku belum pernah aku mendengar hal yang seaneh ini, Mayang. Engkau seorang gadis yang luar biasa aneh akan tetapi juga baik budi. Baiklah, Mayang, kalau itu yang kau kehendaki. Aku akan menikah dengan engkau dan Cin-moi. Akan kuminta kepada ayah ibuku agar aku menikah dengan kalian dalam waktu yang sama."
"Dan begitu adik Cin pulang, engkau akan langsung melamarnya agar hatiku tenteram dan ia tidak melakukan hal yang bukan-bukan?"
"Aku akan langsung rnelamarnya, akan tetapi dengan satu syarat"
"Eh? Engkau mengajukan syarat pula. Apa syaratmu Kongcu?"
"Engkau harus menemaniku, atau setidaknya engkau harus hadir dan menjadi saksi ketika aku melamarnya."
Berkata demikian, Cang Sun kembali memegang kedua tangan Mayang.
"Baik, aku akan menghadirinya..."
Kata Mayang dan ia pun tidak melanjutkan kata-katanya karena dengan penuh kebahagiaan Cang Sun sudah mendekapnya. Kedatangan kereta yang membawa Cang Hui, Cin Nio, kui Hong dan Hay Hay disambut penuh kegembiraan. Mayang segera lari menyambut kakaknya dan dengan sikap manja ia merangkul Hay Hay.
"Hay-koko, aku meyakinkan Cang-kongcu bahwa engkau dan enci Hong sudah pasti akan mampu menyelamatkan adik Hui dan adik Cin."
"Kau anak Bengal! Bagaimana engkau sampai tertipu dan diperalat manusia-manusia macam Ki Liong dan Tok-ciang Bi Moli?"
Tegur Hay Hay kepada adiknya. Mayang menoleh dan tidak menjawab karena ia melihat Cin Nio yang turun dari kereta bersama Cang Hui kini lari ke dalam. Ia melepaskan rangkulannya dari leher Hay Hay, menoleh ke arah Cang Sun dan memberi isyarat dengan pandang matanya, lalu ia berlari mengejar Cin Nio. Ketika Mayang memasuki kamar, ia mendapatkan Cin Nio rebah menelungkup di pembaringannya dan menangis tersedu-sedu.
"Adik Cin...!"
Mayang menghampiri, duduk di tepi pembaringan. Cin Nio mengangkat muka menoleh dan melihat Mayang, ia lalu bangkit duduk dan merangkul Mayang sambil menangis terisak-isak.
"Mayang... ah, Mayang... aku... aku tidak mungkin dapat hidup terus..."
"Hush, adik Cin. Ceritakan dulu apa yang terjadi. Tadi aku belum sempat mendengar dari Hay-koko atau enci Kui Hong. Engkau dan adik Hui di selamatkan mereka, bukan? Lalu bagaimana dengan mereka, dengan kedua orang iblis busuk itu?"
"Mereka takut kepada kakakmu dan Cia-Lihiap, mereka menggunakan kami berdua sebagai sandera dan akhirnya mereka menukar nyawa mereka dengan kami berdua. Kakakmu dan Cia-Lihiap terpaksa melepaskan mereka dan sebagai gantinya, kami berdua pun dibebaskan. Mereka telah berhasil lolos Mayang, kalau aku tidak mampu melihat musuh besar itu binasa, bagaimana mungkin aku dapat hidup terus? Cin Nio menangis lagi."
"Adik Cin, ingatlah baik-baik. Tidak ada orang lain yang mengetahui peristiwa itu kecuali engkau dan aku. Karena tidak ada yang tahu, maka namamu tidak akan tercemar. Engkau tidak boleh putus asa. Percayalah, aku akan minta kepada kakakku, juga kepada enci Hong yang menjadi calon kakak iparku untuk mencari jahanam itu dan membunuhnya. Aku sendiri akan membunuhnya untuk membalaskan sakit hatimu."
"Tapi, Mayang, bagaimana aku dapat berlahan untuk hidup terus setelah aku ternoda? Akhirnya akan ada yang tahu dan aku tidak akan sanggup menahan derita karena malu!"
Mayang maklum apa yang dimaksudkan Cin Nio.
"Adik Cin, engkau hanya mau menikah dengan pria yang kau cinta bukan? Dan engkau mencinta Cang Kongcu, bukan?"
Mendengar ucapan ini, Cin Nio menjerit, akan tetapi jerit itu tidak keluar dari kamar karena ia mendekap mulutnya sendiri. Ia sesenggukan dan memandang wajah Mayang dengan mata merah dan muka basah air mata.
"Mayang, kenapa engkau berkata demikian? Ucapanmu seperti pedang beracun menembus jantungku. Mayang, kau kira aku ini orang macam apa? Aku menganggapmu seperti saudaraku sendiri. Kanda Cang Sun hanya mencinta nona Cia Kui Hong, kemudian engkau muncul dan karena cintanya terhadap Cia-Lihiap tidak terbalas, dia jatuh cinta kepadamu, Dia tidak cinta kepadaku, Mayang. Dan pula, bagaimana aku dapat mengharapkan berjodoh dengan dia setelah keadaanku seperti sekarang ini? Dahulu pun sebelum malapetaka menimpa diriku, dia tidak cinta padaku, apalagi sekarang..."
Sebelum Mayang menjawab, terdengar ketukan pada pintu, dan daun pintu didorong dari luar, kemudian nampak Cang Sun memasuk! kamar itu. Melihat siapa yang datang, Cin Nio terbelalak dan cepat ia bangkit duduk sambil mengusap air matanya.
"Sun-ko..."
Katanya heran dan juga kaget melibat munculnya pemuda itu yang tak disangka-sangkanya.
"Cin-moi, siapa bilang aku tidak cinta padamu? Cin-moi, biarlah aku membuktikan tidak benarnya pendapatmu itu dengan meminangmu sekarang juga, Cin-moi, maukah engkau menjadi isteriku?"
Tentu saja Cin Nio terbelalak, mukanya tiba-tiba menjadi merah, lalu pucat, dan merah kembali. Sampai lama ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada Cang Sun seperti orang melihat setan di tengah hari.
"Cin-moi, bagaimana jawabanmu? Maukah engkau menjadi isteriku?"
Cang Sun mengulang dan kini dia melihat betapa Cin Nio menitikkan air mata. Hatinya merasa terharu bukan main. Mayang memang benar sekali dan keputusannya yang aneh itu memang tepat, mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan kehidupan adik misannya ini.
"Sun-ko... jangan... jangan bergurau..."
Akhirnya Cin Nio berkata, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil.
"Bergurau? Cin-moi, pandanglah aku. Apakah aku biasa bergurau dalam urusan yang begini penting? Mari, mari kita menghadap ayah dan ibu agar kita semua dapat membicaraka urusan perjodohan kita."
Cang Sun melangkah maju hendak memegang kedua tangan gadis itu.
"Tidaaaak...! Jangan sentuh diriku, Sun-ko...! Tidak, aku... aku tidak bisa... aku tidak mungkin menjadi isterimu...!"
Ia menjerit dan melempar tubuhnya kembali ke pembaringan, memeluk bantal dan menangis, tersedu-sedu. Cang Sun saling pandang dengan Mayang. Cang Sun menggerakkan kedua pundak menunjukkan bahwa dia tidak berdaya membujuk, sedangkan Mayang mengangguk lalu ia menghampiri pembaringan dan menyentuh pundak yang terguncang menangis itu dengan lembut.
"Adik Cin, hentikan tangismu dan jangan berduka. Bukankah pinangan Cang Kongcu sepatutnya kau sambut dengan perasaan bahagia, bukan dengan tangis duka?"
Mendengar ucapan Mayang, Cin Nio bangkit duduk dan memandang kepada gadis tibet itu. Sambil terisak-isak ia berkata.
"Mayang, bagaimana engkau dapat berkata demikian? Mayang, bagaimana engkau tega berkata demikian.? Bagaimana mungkin aku"
Aku..."
Ia pun menangis lagi dan kini menubruk dan merangkul Mayang. Mayang mendekap Cin Nio dan mengelus rambutnya sambil berkedip kepada Cang Sun. Pemuda itu menghampiri dan setelah dekat dia pun berkata.
"Cin-moi, hentikan tangismu itu. Aku sudah tahu apa yang menimpa dirimu dan menurut pendapatku, engkau tidak bersalah, Cin Moi."
Isak itu terhenti. Dengan muka pucat, Cin Nio yang kini mengangkat mukanya itu memandang kepada Cang Sun melalui genangan air matanya.
"Apa...? Engkau sudah tahu bahwa aku..., aku... dan engkau tadi masih...?"
Cang Sun mengangguk.
"Benar, aku sudah tahu akan malapetaka yang menimpa dirimu, akan tetapi karena engkau tidak bersalah, akupun tidak akan mengingat hal itu lagi dan aku tadi meminangmu untuk menjadi isteriku. Bagaimana jawabanmu?"
Sepasang mata itu masih terbelalak, memandang kepada Cang Sun kemudian kepada Mayang, penuh keheranan dan tidak percaya.
"Sun-ko, engkau tahu bahwa aku telah ternoda akan tetapi engkau tetap hendak meminangku, padahal engkau... dan Mayang... kalian saling mencinta, bukan...? Apa artinya ini?"
Mayang memegang kedua tangan Cin Nio dan mereka saling pandang.
"Adik Cin, dengar baik-baik. Peristiwa yang menimpa dirimu itu hanya di ketahui kita bertiga dan Cang Kongcu tidak menyalahkanmu. Dia mencintamu, adik Cin, juga mencintaku, dan kita berdua mencintanya, bukan? Nah, sekarang dia hendak memperisteri kita berdua. Maukah engkau menjadi maduku, adik Cin Sin?"
Sejenak Cin Nio memandang nanar, akan tetapi segera pengertiannya menembus semua kekagetan dan keheranannya. Ia pun mengerti bahwa semua ini adalah usaha Mayang! Ia sendiri memang mencinta Cang Sun, maka kalau Cang Sun mau melupakan semua peristiwa itu, tidak menyalahkannya dan mencintanya, tentu saja dengan sepenuh hati ia mau menerima pinangan itu.
"Mayang...!"
Ia menjerit lemah dan terkulai dalam rangkulan Mayang. Pingsan!
Cang Hui sedang sibuk menceritakan pengalamannya yang menegangkan kepada ibunya, didengarkan pula oleh para pelayan dan kesempatan ini dipergunakan Hay Hay untuk mengajak Kui Hong bicara. Kui Hong juga ingin bicara banyak dengan pemuda itu, maka ialah yang mengajak Hay Hay memasuki taman di sebelah kiri istana keluarga Cang. Ia memang sudah hafal akan keadaan di tempat itu. Mereka duduk di bangku dekat kolam ikan, terlindung oleh semak-semak dan bunga-bunga yang indah.
"Hong-moi, ketahui bahwa aku membawa tugas yang teramat penting untuk pemerintah, dan ada sesuatu yang harus segera kusampaikan kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Karena Menteri Cang sedang tidak berada di rumah, maka harus cepat menghadap Menteri Yang Ting Hoo. Akan tetapi sebelum aku pergi kesana, aku ingin mendengar dulu apa yang hendak kau bicarakan denganku. Aku merasa seperti bermimpi ketika melihatmu, Hong-moi."
Kui Hong menatap pria yang dicintanya itu. Agak kurus, dan pandang matanya agak sayu walaupun sikapnya masih gembira seperti biasa, pikirnya. Hatinya terharu karena ia maklum bahwa kalau perpisahan di antara rnereka rnembuat ia pernah jatuh sakit, tentu bagi pemuda ini lebih menderita lagi. Pemuda ini telah ditolak oleh ayah ibunya!
"Hay-ko, ada dua buah pertanyaan saja yang ingin kutanyakan kepadamu dan sejujurnya kuharap engkau suka menjawab dan setulus hatimu."
Hay Hay juga menatap wajah gadis itu, tak pernah berkedip dan penuh kasih sayang. Setelah kini berhadapan, baru dia menyadari benar-benar bahwa selama ini dia amat mencinta Kui Hong dan betapa selama ini dia merindukan Kui Hong, akan tetapi perasaan itu dia tutup-tutupi dengan wataknya yang gembira.
"Hong-moi, engkau tentu tahu bahwa terhadapmu, aku selalu akan bersikap jujur dan tulus. Tanyakanlah, dan aku akan rnenjawab sesuai dengan suara hatiku."
"Pertanyaanku yang pertama, apakah engkau suka memaafkan ayah ibuku yang pernah menyakiti hatimu dengan penolakan mereka terhadap dirimu dahulu tu?"
Suara gadis itu terdengar gemetar, tanda bahwa hatinya dicengkeram penyesalan. Mendengar pertanyaan ini, Hay Hay terbelalak, lalu mulut dan matanya tertawa Kui Hong melihat bahwa tawa itu bukan dibuat-buat, melainkan wajar sehingga ia merasa lega. Bukan tawa yang mengandung ejekan, tidak sinis.
"Ha-ha-ha. pertanyaanmu ini sungguh aneh sekali, Hong-moi. Kenapa harus kumaafkan? Ayah ibumu adalah orang-orang bijaksana yang hanya mengatakan hal hal yang benar. Tidak ada yang perlu dimaafkan karena pendapat mereka memang tepat. Engkau adalah puteri keluarga ketua Cin-ling-pai yang namanya terkenal bersih dan gagah perkasa di dunia kang-ouw, sedangkan aku adalah putera seorang jai-hwa-cat yang tersohor jahat. Mereka benar dan aku sendiri pun kalau menjadi, mereka akan berpendapat dan bersikap yang sama."
Kui Hong memandang wajah pria itu dengan penuh selidik. Bukan ucapan ejekan atau sindiran, melainkan sejujurnya.
"Bagaimanapun juga, penolakan mereka itu telah memisahkan kita dan tentu telah menghancurkan hatimu atau mungkin bagimu perpisahan denganku itu tidak berarti apa-apa?"
"Hong-moi...! Kenapa engkau berkata demikian? Hampir mati aku karena duka, nyaris gila karena merana. Akan tetapi aku menyadari keadaan diriku dan aku dapat menerima keadaan, rnenerima kenyataan, betapa pahit pun."
"Nah, itulah yang kutanyakan kepadamu. Ayah ibuku telah menyebabkan engkau menderita, oleh karena itu aku bertanya apakah engkau suka memaafkan mereka? Jawablah, Hay-ko, jawablah agar hatiku lega, apakah engkau mau memaafkan ayah dan ibu atas penolakan mereka terhadap dirimu dahulu itu?"
Dalam suara gadis itu terkandung himbauan dan permohonan yang membuat suara itu menggetar sehingga hati Hay Hay tidak tega untuk menolak permintaannya. Dengan kesungguhan hati dia pun mengangguk.
"Tentu saja, Hong-moi. Kalau memang dikehendaki, aku selalu siap sedia untuk memberi maaf sampai seribu kali kepada ayah ibumu."
Kui Hong menghela napas panjang dan hatinya terasa lega dan senang bukan main.
"Aihh, Hay-ko, jawabanmu tadi telah menyingkirkan beban berat yang selama ini menghimpit perasaan hatiku. Percayalah, Hay-ko, ketika engkau pergi meninggalkan aku, penderitaan batin yang kurasakan tidak kalah berat dibandingkan dengan penderitaanmu. Biarpun sudah kucoba untuk melupakannya dengan bekerja untuk Cin-ling-pai, tetap saja aku merana, hampir gila, bahkan hampir mati karena sakit."
"Hong-moi...!"
Hay Hay memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh penyesalan.
"Kalau begitu, aku telah berdosa kepadamu. Kau maafkanlah aku, Hong-moi."
Kui Hong tersenyum,
"Yang patut minta maaf adalah kami sekeluarga, Hay-ko, bukan engkau. Akan tetapi sudahlah, tentang maaf-maaf ini aku percaya bahwa engkau suka memaaf kan kami dengan setulus hatimu. Sekarang ada pertanyaanku yang ke dua kuharapkan pertanyaan ini terutama sekali harus kau jawab dengan sejujurnya."
"Tanyalah, Hong-moi, jangan membikin aku tegang menantinya. Tentu saja aku selalu bersikap jujur kepadamu."
"Nah, jawablah, Hay-koko. Apakah engkau masih cinta padaku?"
Mendengar pertanyaan ini, kembali kedua mata Hay Hay terbelalak, kemudian alisnya berkerut dan matanya memandang dengan penuh penasaran.
"Ya Tuhan, Masih perlukah engkau bertanya seperti ini, Hong-moi? Masih belum percayakah engkau bahwa aku mencintamu sampai aku mati kelak? Hong-moi, apa kau kira cintaku kepadamu dapat berubah-ubah seperti awan di langit? Apa pun yang terjadi, aku tetap cinta padamu, Hong-moi, dahulu, sekarang, kelak dan selamanya. Perlukah aku bersumpah? Dan mengapa pula engkau menanyakan hal itu?"
Ucapan pemuda itu terdengar bagaikan musik yang amat merdu dalam telinga Kui Hong, membuatnya tersenyum manis dan kedua pipinya menjadi kemerahan,
"Aku menanyakan hal itu bukan karena meragukanmu, Hay-ko, melainkan agar aku merasa yakin karena aku... aku... selalu cinta padamu dan... aku mengharapkan untuk menjadi isterimu, yaitu... kalau engkau sudi melamarku..."
"Hong-moi...! Tidak mimpikah ini? Dan bagaimana nanti ayah ibumu?"
"Mereka telah menyetujui, Hay-ko, mereka telah menyadari kesalahan mereka, dan mereka akan menerirna dengan hati tulus kalau engkau datang meminangku."
"Hong-moi... ya Tuhan, Hong-moi...!"
Hay Hay bersorak, menerjang ke depan, menangkap pinggang gadis itu dan melontarkannya ke atas! Seperti sebuah boneka saja tubuh Kui Hong terlempar ke udara dan ketika turun, Hay Hay menyambut dengan kedua lengan, merangkul, mendekap dan keduanya tenggelam dalam pelukan mesra yang membuat mereka sukar bernafas. Setelah waktu yang entah berapa lamanya lewat, terdengar bisikan Kui Hong dari dalam dekapan Hay Hay.
"Hay-ko, tugasmu..."
Hay Hay melepaskan pelukannya, memegang kedua pipi Kui Hong seperti mengamati sebuah benda mustika yang amat berharga, lalu menciumnya dengan lembut seperti takut kalau-kalau mustika itu akan rusak oleh ciumannya, dan dia pun tertawa.
"Engkau benar, aku hampir lupa. Mari, Hong-moi, mari kita pergi menemui Menteri Yang. Urusan ini penting sekali dan nanti di perjalanan akan kuceritakan semua padamu."
Mereka bergandeng tangan meninggalkan taman dan memasuki istana untuk berpamit. Dan di ruangan tengah, mereka mendapatkah keadaan yang membahagiakan. Dengan wajah berseri-seri, Cang Hui dan ibunya memberi tahu kepada mereka bahwa Cang Sun telah bertunangan dengan Mayang dan Cin Nio. Sekaligus bertunangan dengan dua orang gadis itu. Hay Hay terbelalak ketika ibu Cang Sun berkata kepadannya.
"Tang-Taihiap, karena engkau adalah kakak Mayang, maka sebelum ayah Cang Sun pulang, biarlah aku mewakili keluargaku mengajukan pinangan kepadamu sebagai wali dari Mayang. Kami melamar Mayang untuk dijodohkan dengan putera kami, Cang Sun."
Hay Hay cepat memberi hormat untuk membalas nyonya bangsawan itu dan dia berkata dengan gugup,
"Eh... maaf Cang-hujin (Nyonya Cang), saya... eh, saya tidak tahu bagaimana... heii, Mayang, bagaimana ini?"
Hay Hay tentu saja menjadi kikuk dan bingung ketika tiba-tiba saja dia menjadi wali dan menerima pinangan orang atas diri Mayang. Mayang menghampiri kakaknya dan merangkul pundak Hay Hay dengan sikap manja.
"Koko, apakah engkau mau mengatakan bahwa engkau tidak setuju kalau aku menjadi isteri kanda Cang Sun?"
Ditodong dengan pertanyaan seperti itu, Hay Hay ingin menjewer telinga adiknya.
"Hushh, jangan sembarangan bicara. Tentu saja aku setuju sepenuhnya. Akan tetapi, bagaimana aku dapat memutuskan? Seharushya engkau bertanya kepada ibumu, bukan kepadaku."
"Hay-ko, ibuku jauh dan waliku yang terdekat hanya engkau. Nah, engkaulah yang harus menjawab. Apakah engkau setuju dengan pinangan keluarga Cang atas diriku?"
Hay Hay mendekatkan mukanya kepada muka adikya dan berbisik,
"Kenapa bertunangan sekaligus dengan dua orang gadis?"
Mayang terseyum manis.
"Itu sudah menjadi keinginan kami bertiga engkau tidak perlu mencampuri, Hay-koko. Sekarang katakan saja bahwa engkau setuju dan menerima pinangan itu, habis perkara!"
Hay Hay mengangguk-angguk, lalu menghampiri nyonya Cang dan berkata dengan dengan sikap hormat.
"Saya sebagai wali adik saya Mayang merasa setuju dan menerima dengan baik pinangan keluarga Cang."
Tentu saja nyonya Cang, Cang Sun dan Cang Hui menjadi gernbira sekali.
"Tang-Taihiap,"
Kini Cang Sun yang bicara dengan sikapnya yang lembut dan tenang.
"Tentu saja kami akan mengirim utusan kepada ibu Mayang untuk mengajukan pinangan resmi, akan tetapi sementara ini, persetujuan Taihiap amat menggembirakan hati kami."
"Peristiwa menggembirakan ini patut dirayakan. Mari kita semua pergi ke dalam untuk merayakan pertunangan ini."
Kata Nyoya Cang. Hay Hay cepat memberi hormat.
"Harap memaafkan kami. Terus terang saja, saya mempunyai urusan yang teramat penting yang harus saya sampaikan kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Karena sekarang Menteri Cang kebetulan tidak berada di rumah, terpaksa saya akan menghadap Menteri Yang untuk menyampaikan sesuatu yang teramat penting bagi keamanan negara. Nanti setelah semua urusan selesai, baru saya akan kembali ke sini ikut bergembira."
"Saya pun akan ikut dan membantu Hay-koko."
Kata Kui Hong dengan wajah berseri. Mayang segera memegang tangan Kui Hong, lalu menoleh kepada kakaknya,
"Hay-ko aku adikmu sudah bertunangan dan akan menikah. akan tetapi engkau yang menjadi kakakku, kapan engkau akan menikah dengan enci Hong?"
Hay Hay dan Kui Hong saling pandang dan mereka tersenyum, dan Kui Hong yang mewakiii HayHay, merangkul Mayang dan berkata,
"Engkau tunggulah saja, Mayang, tidak lama lagi kami pun akan menikah."
Karena mempunyai tugas yang penting sekali, Hay Hay dan Kui Hong Ialu meninggalkan keluarga yang berbahagia itu untuk menghadap Menteri Yang Ting Hoo. Dalam perjalanan ini dia mengomel,
"Enak benar Cang Kongcu, sekaligus mendapatkan jodoh dua orang gadis cantik."
Tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya. Ketika Hay Hay juga berhenti dan menengok, dia berhadapan dengan gadis yang mukanya kemerahan, Matanya berapi dan kedua tangannya bertolak pinggang.
"Apa kau bilang tadi, Hay-ko? Jadi kau anggap Cang Kongcu senang dan enak, ya? Sekaligus mendapatkan jodoh dua orang gadis cantik? Engkau rnerasa iri? Boleh kau cari seorang gadis lain lagi dan aku akan menghadapi kalian dengan pedang!"
Hay Hay terbelalak. Dia tahu bahwa sekali Kui Hong cemburu dan marah, mengira dia iri hati terhadap Cang Sun dan ingin pula mengawini dua orang gadis seperti pemuda bangsawan itu. Dan baru sekarang dia melihat Kui Hong, calon isterinya itu, berdiri bertolak pinggang dan marah seperti itu. Tiba-tiba dia pun membayangkan Cang Sun berdiri menghadapi dua orang isteri di kanan kiri, dua orang isteri yang berdiri bertolak pinggang dan marah-marah kepadanya, apalagi Mayang adiknya yang galak itu. Membayangkan ini, Hay Hay tertawa bergelak.
"Hemm, engkau malah mentertawaiku?"
Kui Hong membentak dan membanting-banting kaki kanannya. Hay Hay semakin gembira. Gerakan membanting kaki kanan ini sungguh ciri khas dari Kui Hong kalau sedang marah. Karena dia tahu benar bahwa kekasihnya sudah marah, dia lalu menghentikan tawanya.
"Aku menertawakan Cang Sun, bukan mentertawakan engkau, Hong-moi. Kini aku teringat bahwa keadaannya sama sekali tidak senang, karena kalau kedua orang isterinya itu marah-marah dalam saat yang bersamaan, aduh, celaka tiga belaslah dia!"
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hay Hay tertawa lagi.
"Apalagi Mayang galaknya tidak alang kepalang, aku tertawa membayangkan bagaimana dia akan melindungi dirinya dari dua ekor harimau betina yang marah-marah."
Mau tidak mau Kui Hong tersenyum juga mendengar ucapan kekasihnya.
"Sudahlah, tidak perlu kita membicarakan orang lain. Biarpun Cang Sun seorang pemuda bangsawan, aku mengenal dia sebagai seorang pemuda yang baik tidak mata keranjang seperti engkau. Dan betapapun anehnya Mayang, kalau ia sampai bersedia dimadu dengan Cin Nio, jelas ada apa-apanya di balik semua itu yang hanya diketahui mereka bertiga. Bukan urusan, kita. Nah, sekarang ceritakan tugas penting apakah yang kau laksanakan, dan apa perlunya kita menghadap Menteri Yang."
Hay Hay lalu menceritakan dengan singkat namun jelas tentang mendiang Yu Siu-cai, sasterawan tua yang menulis laporan yang amat penting tentang keadaan di kota Cang-cow, tentang persekutuan yang dilakukan orang-orang Portugis dengan para pejabat tinggi di kota Cang-cow, juga dengan para bajak laut jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw, betapa orang-orang Portugis di sana telah membuat benteng yang diperkuat meriam, betapa pejabat yang bersekongkol dengan orang Portugis itu telah menculik dan membunuh banyak pejabat yang setia kepada pemerintah.
"Aih, begitu hebatkah?"
Kui Hong sangat kaget mendengar ini.
"Bahkan kepala daerah dan wakilnya di Cang-cow sudah tunduk kepada orang-orang Portugis,"
Kata Hay Hay.
"Di sepanjang perjalanan, banyak orang kang-ouw yang menghadangku dan mencoba merampas gulungan kertas laporan dari Yu Siucai. Itu saja membuktikan bahwa persekutuan itu telah meluas dan agaknya banyak orang Kang-ouw terlibat."
"Ah, kalau begitu, kita harus cepat menghadap Menteri Yang. Urusan ini teramat penting dan tidak boleh ditunda lebih lama lagi."
Kata Kui Hong dan mereka lalu bergegas pergi ke istana Menteri Yang Ting Hoo, menteri yang merupakan orang ke dua setelah Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal sebagai menteri yang setia, jujur, pandai dan mereka berdualah yang berdiri di belakang kaisar, mengatur pemerintahan sehingga Kerajaan Beng pada waktu itu menjadi semakin berkembang. Menteri Yang Ting Hoo menerima mereka dengan ramah karena pejabat tinggi ini sudah lama mengenal nama mereka sebagai pendekar-pendekar yang berjasa terhadap negara.
Hay Hay dan Kui Hong dipersilakan duduk diruang tamu dan ketika menteri yang tinggi kurus berjenggot panjang, bermata sipit dan wajahnya membayangkan keramahan dan kesabaran itu muncul, mereka berdua cepat memberi hormat. Menteri Yang Ting Hoo berusia kurang lebih lima puluh empat tahun, lebih muda dibandingkan Menteri Cang Ku Ceng dan biarpun matanya sipit, namun sepasang mata itu memiliki sinar kilat yang membayangkan kecerdikannya. Setelah memasuki ruangan tamu dan membalas penghormatan dua orang tamunya, pembesar itu lalu memberi isyarat kepada para penjaga untuk meninggalkan ruangan itu. Melihat dua orang tamunya kelihatan heran melihat dia menyuruh semua pengawal pergi, pembesar itu tersenyum dan mengelus jenggotnya.
"Kami telah mengenal baik nama besar ji-wi yang gagah perkasa. Kalau ji-wi saat ini berkunjung dan minta bertemu dengan kami, jelas bahwa ji-wi tentu membawa berita yang teramat penting. Oleh karena itu, sebaiknya kalau tidak ada orang lain yang mendengar agar lebih leluasa ji-wi menyampaikannya kepada kami."
Hay Hay dan Kui Hong saling pandang. Betapa cerdik dan bijaksananya pembesar ini dapat dilihat dari sikapnya itu.
"Tepat sekali dugaan paduka, Tai-jin."
Kata Hay Hay sambil mengeluarkan gulungan kertas bernoda darah itu.
"Saya ingin menghaturkan surat laporan yang amat penting ini."
Melihat gulungan kertas itu, Menteri Yang berseru,
"Aih, jadi benarkah berita yang kami dapat bahwa ada surat laporan rahasia yang ditulis oleh seorang siucai tua dari Cang-cow yang diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw? Inikah surat itu?"
Kembali Hay Hay dan Kui Hong kagum. Kiranya pembesar bijaksana ini telah mendengar pula tentang surat laporan itu!
"Benar sekali, Tai-jin. Penulis laporan adalah mendiang Yu Siucai dan kebetulan dia serahkan kepada saya sebelum dia meninggalkan dunia, dan ketika saya membawanya ke kota raja untuk menyerahkannya kepada paduka atau kepada Cang-taijin seperti dipesan oleh Yu Siucai, banyak orang hendak merampasnya."
"Menteri Cang sedang bertugas ke luar kota raja, jadi ji-wi (anda berdua) membawanya kepada, kami?"
"Menurut pesan mendiang Yu Siucai, laporan ini harus saya berikan kepada Menteri Cang atau kepada paduka."
Menteri itu menerima gulungan surat laporan, lalu membacanya. Alisnya berkerut dan dia memegang surat yang sudah dia buka gulungannya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kini dikepal.
"Ah, keparat. Memang mereka selalu mengadakan kekacauan, orang-orang biadab Portugis itu! Sekarang juga kami akan mengirim pasukan besar untuk menghajar mereka dan membasmi para pemberontak di Cang-cow!"
Katanya dan dia pun memberi isyarat memanggil para pengawal. Maka sebentar saja mereka bermunculan dari segala penjuru sehingga Hay Hay dan Kui Hong maklum bahwa setiap saat, pembesar itu terlindung ketat walaupun nampaknya seorang diri saja. Yang-taijin segera memerintahkan kepala penjaga untuk memanggil para perwira pasukan pengawal untuk pergi mengundang panglima pasukan keamanan. Melihat kesibukan itu, Hay Hay dan Kui Hong menawarkan tenaga untuk membantu. Menteri Yang mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya.
"Taihiap dan Lihiap, urusannya sekarang adalah urusah ketentaraan. Kami akan mengirim pasukan untuk menghancurkan pemberontak. Kalau ji-wi ingin membantu, ji-wi dapat menjadi penyelidik ke Cang-cow, kemudian kalau ada hal penting yang perlu diketahui panglima pasukan, ji-wi dapat menghubungi dia. Jasa jiwi akan kami catat, menambah jasa-jasa jiwi yang pernah ji-wi berikan kepada pemerintah ketika ji-wi membantu Menteri Cang."
Mereka menyatakan kesanggupan mereka, kemudian meninggalkan istana itu dan mereka kembali ke istana keluarga Menteri Cang karena sebelum meninggalkan kota raja mereka ingin pamit dulu dari keluarga yang mereka kenal baik itu. Ketika mendengar keterangan Hay Hay bahwa dia bersama Kui Hong hendak pergi ke Cang-cow membantu pemerintah membasmi para pemberontak, Mayang segera menyatakan hendak ikut pergi.
"Hay-koko, aku harus ikut denganmu untuk membantu pemerintah membasmi para pemberontak!"
Mendengar ini, Cang Sun mengerutkan alisnya.
"Mayang, untuk membasmi pemberontak, sudah ada pasukan besar yang akan melakukannya. ini bukan merupakan tugasmu, dan kalau engkau pergi, engkau hanya akan membuat kami di rumah merasa khawatir."
Cin Nio juga memegang tangan Mayang.
"Kalau engkau pergi, aku pun harus ikut pergi bersama, Mayang."
"Ih, kalau kita berdua pergi, kasihan... tunangan kita, adik Cin!"
Semua orang tertawa mendengar ucapan Mayang tanpa sungkan-sungkan itu.
"Mayang, jangan seperti anak kecil. Engkau tidak boleh pergi. Mulai sekarang, engkau harus mentaati semua perintah Cang Kongcu. Tentang pemberontak itu, memang akan ditanggulangi Menteri Yang dan akan dikirim pasukan besar. Aku dan Hong-moi juga hanya akan membantu melakukan penyelidikan saja."
"Tapi, aku merasa benci sekali kepada Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa. Kalau aku belum dapat membunuh dua jahanam itu, selama hidupku, aku akan merasa penasaran terus Hay-ko."
"Kalau begitu, biarlah aku mewakilimu untuk mencari dan membasmi dua orang itu. Mereka memang merupakan dua orang yang berbahaya kalau dibiarkan hidup terus."
"Aku pun merasa berkewajiban melenyapkan Sim Ki Liong karena dia hanya akan mengotori nama baik kakekku di pulau Teratai Merah."
Sambung Kui-Hong. Mayang memandang kepada Cin Nio yang berbalik juga memandangnya. Pertukaran pandang antara dua orang wanita itu sudah cukup bagi mereka. Mayang bertekad hendak membunuh Sim Ki Liong, terutama sekali untuk membalaskan dendam hati Cin Nio yang pernah diperkosa laki-laki jahat itu. Cang Sun yang merupakan orang ke tiga yang tahu akan peristiwa itu, segera berkata dengan suara tenang berwibawa.
"Mayang, engkau sudah mendapat janji kakakmu dan Cia-Lihiap. Aku yakin bahwa mereka berdua akan dapat menghukum dua orang manusia iblis itu. Engkau dan Cin-moi tidak perlu pergi sendiri. Kalian harus berada di sini, menanti sampai ayah pulang agar urusan perjodohan kita dapat dibicarakan."
Karena maklum bahwa Cang Sun dan Cia Nio tidak meghendaki ia pergi, maka! Mayang juga tidak memaksakan kehendaknya. setelah ia menjadi tunangan Cang Sun, gadis ini terpaksa harus mengendalikan diri, karena ia tidak lagi bebas seperti dahulu. la merasa terikat, akan tetapi betapa manisnya dan menyenangkan ikatan itu baginya! Ia merasa diperhatikan, dipermanjakan, diperdulikan! Pada hari itu juga berangkatlah Hay Hay dan Kui Hong meninggalkan kota raja, menuju ke kota Cang-cow. Cang Sun memberi mereka dua ekor kuda yang baik, dan mereka melakukan perjalanan cepat melalui pintu gerbang sebelah selatan dari kota raja. Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan berhari-hari, mereka tiba di sebuah hutan di bukit kecil di sebelah barat kota Cang-cow, dan teringatlah Hay Hay kepada Sarah yang cantik manis.
Tentu saja dia tidak pernah bercerita kepada Kui Hong tentang Sarah. Namun, dia tidak akan pernah dapat melupakan gadis Portugis berambut kuning emas bermata biru yang indah itu. Kini tentu Sarah sudah tidak lagi berada di Cang-cow dan dia merasa senang mengingat akan hal itu. Dia bersyukur karena kini Sarah tentu telah berlayar meninggalkan negeri ini bersama Asron, pemuda kekasihnya dan mereka berdua tentu akan terhindar dari bahaya maut kalau pasukan pemerintah menyerbu Cang-cow. Kui Hong mengajak Hay Hay beristirahat di bukit itu. Mereka sendiri tidak begitu lelah, akan tetapi kuda tunggangan mereka sudah tampak letih. Mereka perlu dibiarkan mengaso dan makan rumput hijau tebal yang terdapat di bukit itu.
Keduanya membiarkan kuda mereka terlepas makan rumput, dan mereka sendiri duduk berhadapan di atas rumput tebal. Kui Hong bertanya tentang Cang-cow dan Hay Hay menceritakan apa yang dia ketahui. Antara lain dia bercerita bahwa kota itu menjadi pusat orang-orang Portugis yang memiliki pasukan kuat karena mereka semua mempunyai senjata api. Tiba-tiba, mereka berdua bangkit berdiri dan bersikap waspada. Pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap gerakan orang. Tempat itu memang dikelililingi pohon-pohon dan semak belukar. Kecurigaan mereka memang terbukti. Jarum-jarum lembut menyambar dari kiri ke arah mereka! Dengan mudah pasangan pendekar yang tangguh ini memukul runtuh semua jarum dengan kibasan tangan mereka yang mendatangkan angin kuat.
"Kiranya siluman beracun dari Pek-lian-kauw yang datang! Pengecut curang, keluarlah kalau memang engkau ingin mampus!"
Bentak Kui Hong yang mengenal senjata rahasia itu.
Nampak bayangan berkelebat dan benar saja, Tok-ciang Bi-mo-li Su Bi Hwa telah berada di situ, tersenyum simpul dengan sikap genit memandang kepada Hay Hay. Baik Hay Hay maupun Kui Hong maklum sepenuhnya bahwa wanita siluman ini tidak akan berani banyak berlagak di depan meteka kalau saja ia tidak mengandalkan orang lain, maka keduanya bersikap waspada. Kalau tidak mempunyai andalan, mustahil Tok-ciang Bi-mo-li berani muncul memperlihatkan diri kepada mereka. Hal ini sama saja dengan seekor ular mendekati pemukul. Dugaan mereka memang tepat karena dari kanan kiri nampak bayangan beberapa orang berkelebat dan ternyata seorang, seperti mereka berdua telah menyangka sebelumnya, adalah Sim Ki Liong! Melihat pemuda bekas murid kakeknya ini, Kui Hong tersenyum mengejek dan mendengus.
"Huh, kiranya si anjing keparat, pengkhianat murtad pengecut busuk Sim Ki Liong masih berani mengantar nyawa. Sekali ini, aku akan mencabut nyawamu!"
Sementara itu Hay Hay juga mengenal Hek Tok Siansu, kakek berbahaya yang amat lihai dan yang pernah dia kalahkan walaupun dengan susah payah. Dia pun tersennyum dan menggerakkan kedua tangan ke depan dada.
"Kiranya Hek Tok Siansu yang kembali menghadang kami. Apakah engkau hendak melanjutkan pertandingan tempo hari, Sian-su?"
Dalam pertanyaan ini terkandung ejekan yang membuat wajah di gundul itu menjadi semakin hitam kehijauan dan senyuman yang selalu membayang di bibir, senyum mengejek, kini berubah menjadi senyum masam dan hambar. Akan tetapi sekali ini dia tidak banyak cakap, melainkan memberi isyarat kepada Sim Ki Liong dan pemuda ini tanpa banyak bicara lagi sudah menerjang maju dan biarpun dia belum menguasai dengan sempurna, dia sudah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang, yaitu ilmu silat yang paling hebat dan menjadi andalan dari gurunya, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin! Ilmu ini memang hebat bukan main, dan hanya mempunyai delapan jurus. Namun, dibutuhkan orang yang telah memiliki tenaga sakti yang mencapai tingkat tinggi sekali saja yang dapat memainkannya.
Kalau Pendekar Sadis yang memainkanya, tentu saja akan jarang ada orang mampu menandinginya. Bahkan dalam hal permainan ilmu-ilmu tertinggi dari pulau Teratai Merah, Sim Ki Liong masih kalah setingkat dibandingkan Cia Kui Hong. Semenjak Sim Ki Liong minggat dari pulau Teratai Merah dan mencuri pedang pusaka, Pendekar Sadis dan isterinya menurunkan ilmu-ilmu andalan mereka kepada Kui Hong agar gadis itu dapat mengatasi kepandaian Ki Liong. Betapapun juga, karena ilmu Hok-liong Sin-ciang memang hebat, Hay Hay tidak berani memandang ringan, apalagi pada saat itu Hek Tok Siasu juga sudah bergerak menyerangnya. Hay Hay dikeroyok dua oleh Ki Liong dan Hek Tok Siansu sehingga mau tidak mau dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepadaiannya untuk menandingi mereka.
Sementara itu, Kui Hong sudah menerjang dan menyerang Tok-ciang Bi mo-li Su Bi Hwa dan karena Kui Hong amat marah kepada iblis betina itu yang pernah nyaris menghancurkan Cin-ling-pai, bahkan pernah melawan ayah-bundanya dan kakeknya, maka begitu menyerang ia telah mempergunakan jurus ampuh dari Thai-kek Sin-kun dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang. Hebat, bukan main serangan Kui Hong, dan dalam sekali serangan itu saja Su Bi Hwa terhuyung ke belakang dan tentu ia akan celaka kalau saja pada saat itu tidak ada dua orang tosu Pek-lian-kauw yang amat tangguh karena mereka adalah dua orang tosu Pek-lian-kauw tingkat dua. Kui Hong merasa terkejut juga ketika meyambut serangan dua orang tosu Pek-lian-kauw karena serangan mereka sungguh tidak boleh dipandang ringan sama sekali! Tingkat kepandaian dua orang tosu ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Su Bi Hwa.
Memang, tidak mengherankan kalau dua orang tosu Pek-lian-kauw ini lihai karena mereka adalah Gin Hwa Cu dan Lian Hwa Cu, dua orang tosu yang merupakan saudara-saudara seperguruan dari mendiang Pek-lian Sam-kwi. Tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit lebih rendah
(Lanjut ke Jilid 21 - Tamat)
Jodoh Si Mata Keranjang (Seri ke 11 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21 (Tamat)
dibandingkan Kui Hong, maka setelah kini mereka maju berdua, ditambah lagi dengan bantuan Su Bi Hwa, tentu saja Kui Hong menjadi kewalahan. Kalau Kui Hong terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, sama pula keadaan Hay Hay. Pemuda perkasa ini mendapatkan lawa tangguh dalam diri Hek Tok Siansu, dan kini karena Hek Tok Siansu dibantu Sim Ki Liong, dia menjadi terdesak. Memang semua ini telah diatur oleh Sim Ki Liong dan Su Bl Hwa. Dua orang yang cerdik dan licik ini sudah memperhitungkan bahwa dengan pengeroyokan seperti itu,
Mereka akan dapat mengalahkan Hay Hay dan Kui Hong. Kalau Hay Hay dalam ilmu langkah ajaibnya Jiauw-pou Poan-san masih dapat menghindarkan hujan serangan dari dua orang pengeroyoknya yang tangguh, keadaan Kui Hong lebih, gawat. Gadis ini juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun karena tiga orang pengeroyoknya semua memiliki ilmu kepandaian tinggi, sejak semula ia sudah repot dan setelah lewat tiga puluhan jurus saja, ia harus memutar sepasang pedangnya untuk melindungi diri tanpa dapat membalas serangan lawan sama sekali. Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang dimainkannya itulah yang sampai sekian lamanya dapat menyelamatkannya sehingga tiga batang pedang lawan belum mampu menembus benteng sinar sepasang pedangnya.
Biarpun demikian, Kui Hong maklum benar bahwa kalau hal seperti itu berkelanjutan, akhirnya ia akan terancam bahaya. Tidak mungkin berkelahi hanya mengandalkan pertahanan saja, tanpa dapat membalas serangan lawan. Untung bagi Kui Hong bahwa ketika ia digembleng. kakek dan neneknya ia telah menguasai ilmu meringankan tubuh yang amat hebat. Gin-kang (ilmu meringankan tubuh) nenek Toan Kim Hong memang amat luar biasa, bahkan lebih hebat dibanding gin-kang suaminya, Si Pendekar sadis. Karena itu, biarpun ia terdesak dan tidak mampu membalas serangan tiga orang pengeroyoknya, sebegitu jauhnya Kui Hong belum pernah terkena senjata lawan. Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Kui Hong dan Hay Hay, tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita yang nyaring,
"Adik Kui Hong, jangan khawatir, kami datang membantu!"
"Enci Bi Lian!"
Kui Hong girang bukan main melihat munculnya Bi Lian, apalagi gadis itu datang bersama Pek Han Siong! Suami isteri yang terpaksa saling berpisah selagi merayakan hari pernikahan itu kini menerjang dua orang tosu Pek-lian-kauw yang mengeroyok Kui Hong sehingga Kui Hong berhadapan sendiri satu lawan satu dengan Su Bi Hwa. Wanita Pek-lian-kauw ini terbelalak ketakutan ketika muncul dua orang tangguh yang begitu menerjang membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw terdorong, kebelakang.
Ia sendiri harus menghadapi Cia Kui Hong yang amat marah dan benci kepadanya karena ia pernah mengacaukan Cin-ling-pai! Ia tahu bahwa ketua Cin-ling-pai itu tidak akan mau mengampuninya, dan untuk melarikan diri pun agaknya sia-sia saja. Ia tahu benar betapa ketua Cin-ling-pai ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat dan ke mana pun ia lari, tentu akan dapat dikejar dan disusulnya dengan mudah. Oleh karena itu, ia pun menggigit bibirnya dan dengan nekat ia lalu memutar pedangnya menyerang mati-matian mengeluarkan seruruh kepandaiannya. Jarum-jarum beracunnya sudah sejak tadi habis karena ketika ia mengeroyok tadi, ia masih melepaskan jarumnya terus-menerus sampai habis, namun gerakan Kui Hong memang luar biasa cepatnya sehingga semua serangan jarumnya tidak berhasil mengenai tubuh gadis itu.
"Su Bi Hwa, dosamu sudah bertumpuk! Bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut dan mempertanggungjawabkan semua dosamu!"
Seru Kui Hong dania pun memainkan sepasang pedangnya dengan cepat, mendesak Su Bi Hwa yang memang sudah jerih sekali itu. Karena maklum bahwa kalau sampai iblis betina itu mampu lolos lagi tentu hanya akan mendatangkan malapetaka bagi orang lain, maka. Kui Hong tidak memberi kesempatan lagi dan dengan ilmu Pedang Penakluk Iblis, sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar bagaikan dua ekor naga sedang memperebutkan mustika. Dan mustika itu adalah tubuh Su Bi Hwa! Wanita yang sudah ketakutan ini berusaha sedapat mungkin untuk melindungi tubuhnya dengan, putaran pedangnya, namun terdengar Kui Hong membentak nyaring,
Sinar kedua pedangnya berkelebat dan Su Bi Hwa yang terdesak hebat itu meloncat tinggi ke atas untuk menghindar. Namun, tubuh Kui Hong juga melompat tinggi dan ia menggerakkan sepasang pedangnya menyerang di udara. Su Bi Hwa berusaha menangkis, namun hanya sebatang pedang yang dapat ditangkisnya, sedangkan pedang di tangan kiri Kui Hong sudah membabat ke arah lehernya. Tanpa dapat menjerit lagi Su Bi Hwa terbanting roboh ke atas tanah dengan mandi darah yang bercucuran keluar dari lehernya yang hampir putus. Ia tewas seketika. Kini Kui Hong melihat ke arah Hay Hay, Han Siong dan Bi Lian. Baik Han Siong maupun Bi Lian mampu mendesak dua orang tosu Pek-lian-kauw akan tetapi Hay Hay masih nampak terdesak oleh pengeroyokan Sim Ki Liong dan Hek Tok Siansu.
"Sim Ki Liong, bersiaplah untuk mampus!"
Kui Hong membentak dan dengan sepasang pedangnya, ia pun menerjang bekas murid pulau Teratai Merah itu. Ki Liong menyambut dengan nekat walaupun dia maklum bahwa kini keadaannya sudah berbalik sama sekali. Ketika tadi dia melihat munculnya Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian, wajahnya berubah pucat dan dia merasa jerih sekali.
Akan tetapi karena kedua orang itu bertanding melawan dua orang tosu Pek-lian-kauw, dan Su Bi Hwa mati-matian melawan Kui Hong, dia pun berusaha untuk lebih dulu merobohkan Hay Hay bersama Hek Tok Siansu. Kalau Hay Hay sudah roboh, dengan batuan Hek Tok Siansu pan dua orang tosu Pek-lia-kauw, kiranya dia dan kawan-kawannya tidak perlu takut lagi. Akan tetapi, teryata amat sukar untuk merobohkan Hay Hay dan sebaliknya, Su Bi Hwa malah roboh lebih dahulu. Dan kini Kui Hong menyerangnya, maka tidak ada jalan lain baginya keculi melawan mati-matian dengan nekat. Kini terjadilah perkelahian satu lawan satu yang amat hebat. Sungguh merupakan pertandingan tingkat tinggi yang pasti akan ditonton oleh semua tokoh kangouw sekiranya mereka mengetahuinya.
Sayang pertandingan yang demikian hebatnya tidak ada yang menyaksikan, terjadi di tempat yang sunyi, hanya disaksikan pohon-pohon dan batu-batu, dan sinar matahari. Pertandingan antara Siangkoan Bi Lian dan Lian Hwa Cu terjadi amat serunya karena tingkat kepandaian mereka seimbang. Biarpun Bi Lian sudah mengeluarkan ilmunya yang paling. hebat, yaitu Kim-ke-kiamsut (Ilmu Pedang Ayam Emas) yang indah dan cepat, namun lawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang banyak pengalamannya. Sebagai saudara seperguruan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Setan Pek-lian) Lian Hwa Cu memiliki kepandaian tinggi dan dia memiliki ilmu pedang yang berbahaya karena dia memiliki ilmu andalan seperti halnya mendiang Kim Hwa Cu, suhengnya yang merupakan seorang di antara Pek-lian Sam-kwi.
Ilmu itu dalam penggunaan tenaga sakti yang membuat lengannya dapat mulur sampai hampir dua kali lengan biasa! Inilah yang sangat berbahaya dan ketika dia menggunakan ilmu itu, untuk pertama kali, Bi Lian terkejut dan hampir saja pundaknya terkena bacokan pedang lawan. Tentu saja ia tidak mengira sama sekali bahwa pedang yang tadinya menyerangnya dan sudah dapat ia elakkan itu, tiba-tiba meluncur terus membacok lehernya! Ia tidak pernah menduga bahwa tangan yang memegang pedang itu dapat menjadi panjang seperti itu. Akan tetapi setelah ia mengetahui, ia kemudian dia dapat mengatasi keanehan ilmu itu dengan kecepatan gerakannya, bahkan beberapa kali, ketika, lengan itu mulur, Bi Lian menyerang ke arah lengan untuk membuntunginya! Dengan demikian, dari keadaan menguntungkan bagi Lian Hwa Cu, lengan panjangnya itu sebaliknya malah merugikan.
Setelah ilmu yang diandalkan itu kini bahkan membahayakan dirinya sehingga dia tidak berani lagi mempergunakannya, mulailah Lian Hwa Cu terdesak oleh permainan pedang Siangkoan Bi Lian yang amat dahsyat. Beberapa kali Lian Hwa Cu yang pandai menggunakan sihir seperti para tosu Pek-lian-kauw pada umumnya, mencoba untuk menggunakan kekuatan sihirnya mempengaruhi Bi Lian. Namun setiap kali dia mengerahkan sihir untuk merobohkan lawan, sihirnya itu tidak hanya gagal tidak mampu menguasai Bi Lian, bahkan kekuatan sihirnya membalik dan menyerang dirinya sendiri. Setelah mencoba empat lima kali yang akibatnya bahkan hampir mencelakai dirinya, akhirnya dia tidak berani lagi mencobanya, mengira bahwa lawannya itu seorang yang kebal terhadap serangan sihir.
Tentu saja tidak demikian halnya. Biarpun ia lihai sekali, namun Bi Lian tidak kebal terhadap sihir, juga tidak pandai menggunakan ilmu sihir. Akan tetapi, semua serangan sihir Lian Hwa Cu ditolak oleh Pek Han Siong yang sengaja melawan Gin Hwa Cu, tosu Pek-lian-kauw yang matanya juling namun lihai bukan main, selalu mengawasi dan mendekati isterinya untuk melindunginya dari penyerangan sihir lawan. Han Siong maklum bahwa orang-orang Pek-lian-kauw pandai sihir, maka biarpun dia tidak mengkhawatirkan isterinya kalau bertanding silat, namun dia tahu bahwa kalau lawan isterinya menggunakan sihir, isterinya akan terancam bahaya. Gin Hwa Cu sendiri begitu tadi diserang Han Siong, dia mencoba kekuatan sihirnya kepada pendatang baru yang masih muda itu. Dan mengira bahwa dengan kekuatan sihirnya, dia akan dapat membuat pemuda itu tidak berdaya tanpa susah payah.
"Orang muda, pandang mataku!"
Bentaknya dan dengan pedang di tangan kanan, dia mengangkat kedua tangannya menatap sepasang mata Han Siong. Pemuda ini mengangkat muka memandang dan dia melihat betapa sepasang mata lawannya itu memang tajam berpengaruh, akan tetapi juling sehingga nampak lucu. Biarpun Han Siong seorang pemuda pendiam, tenang dan halus, jarang berkelakar, namun melihat sepasang mata itu, dia pun merasa geli juga. Sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh sihir Gin Hwa Cu, dia pun berkata, bukan main-main, melainkan sejujurnya.
"Sudah kupandang, matamu juling!"
Gin Hwa Cu terkejut, terheran dan marah bukan main. Pemuda itu tidak terpengaruh oleh perintahnya, tidak menjatuhkan diri berlutut, sebaliknya malah mengatakan matanya juling. Tidak mungkin ini, pikirnya. Dia mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya, menggerakkan kedua tangan ke atas dan ke bawah, kemudian seperti ditimpakan ke arah Han Siong dan suaranya terdengar semakin galak.
"Kukatakan berlututlah! Haiiiittttt... phuahhh!"
Air ludah muncrat dari mulutnya yang dimoncongkan. Akan tetapi Han Siong tetap berdiri tegak, sama sekali tidak berlutut, hanya senyum-senyum dan bersikap tenang.
"Sudah selesaikah engkau bermain sulap, dukun lepus?"
Dia bertanya.
Wajah Gin Hwa Cu berubah pucat, lalu merah karena malu. Tahulah dia sekarang bahwa dengan sihirnya, dia tidak mampu mempengaruhi lawan muda itu. Maka dia pun memutar pedangnya dan sambil mengeluarkan betakan nyaring, dia pun menerjang maju. Han Siong mempergunakan Kwan-im-kiam dan setelah menyerang dengan pedangnya, tosu Pek-lian-kauw itu dengan kaget mendapat kenyataan bahwa dalam hal ilmu pedang, ternyata pemuda itu lebih lihai lagi! Dia telah menyerang bertubi-tubi, dengan marah dan setiap serangannya merupakan serangan maut, namun tak sebuah pun di antara hujan serangannya mengenai sasaran, bahkan beberapa kali pedangnya yang ditangkis lawan membalik dan hampir menyembelih lehernya sendiri!
Namun karena dia tidak melihat jalan keluar, dan kawan-kawannya juga masih sibuk bertanding sehingga dia tidak dapat mengharapkan bantuan, Gin Hwa Cu tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan mati-matian. Masih untung baginya bahwa perhatian lawannya agaknya terpecah untuk melindungi gadis cantik yang bertanding melawari sutenya, yaitu Lian Hwa Cu, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan. Pertandingan yang paling sengit dan mati-matian adalah antara Cia Kui Hong dan Sim Ki Liong. Akan tetapi yang paling dahsyat adalah pertandingan antara Hay Hay melawan Hek Tok Siansu. Sebetulnya, kakek ini meninggalkan barat dan kembali ke timur bersama Ban Tok Siansu untuk mencari ketenangan dan menghabiskan sisa hidup mereka di kampung halaman.
Akan tetapi ternyata bukan ketenangan yang mereka peroleh. Begitu berkunjung ke kuil Siauw-lim-si untuk menemui penolong dan, guru mereka, yaitu Ceng Hok Hwesio di pegunungan Heng-tuan-san, mereka sudah dibuat marah karena penderitaan penolong mereka itu, bahkan Ceng Hok Hwesio meninggal dunia dalam penderitaan, di rangkulan mereka. Karena menganggap bahwa yang menjadi biang keladi penderitaan Ceng Hok Hwesio adalah Siongkoan Ci Kang dan isterinya, maka mereka berdua berusaha untuk membalaskan kematian Ceng Hok Hwesio. Akan tetapi, bukan suami isteri itu yang dapat mereka bunuh, sebaliknya Ban Tok Siansu tewas di tangan Siangkoan Ci Kang, pendekar yang tangan kirinya buntung itu! Hek Tok Siansu tinggal seorang diri dengan hati penuh dendam, kepada keluarga Siangkoan Ci Kang,
Juga kepada Tang Hay karena pemuda itu dianggap sebagai pembunuh tiga orang pendeta Lama dari Tibet yang menjadi saudara seperguruannya. Kini, Hek Tok Siansu sudah berhadapan dengan Tang Hay, satu lawan satu, maka kakek ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk membunuh pemuda yang dia tahu amat lihai itu. Begitu pemuda itu harus ia hadapi sendiri karena Sim Ki Liong terpaksa meninggalkannya karena pemuda itu diserang oleh gadis yang amat lihai pula, dia segera berkemak-kemik membaca mantram, mengerahkan ilmu sihir yang dipelajarinya dari para pendeta Lama di Tibet. Kemudian, dia menyambar segenggam tanah, dikepalnya genggaman, ditiupnya tiga kali kemudian sambil memandang kepada Hay Hay dia berseru dengan suara yang menggetar penuh wibawa.
"Orang muda, lihat naga hitamku akan menelanmu!"
Dia melontarkan segenggam tanah ke atas dan...nampaklah seekor naga hitam yang mengerikan melayang di udara dengan moncong terbuka lebar seolah hendak menggigit dan menelan Hay Hay. Kui Hong yang sedang bertanding melawan Ki Liong dan sudah mendesak pemuda itu, sempat terkejut bukan main melihat seekor naga hitam menyambar dan hendak menerkam ke arah Hay Hay.
"Hay-ko, awas...!"
Teriaknya dan karena perhatiannya terpecah, hampir saja pedang di tangan Ki Liong menusuk dadanya.
Gadis ini terpaksa melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan tusukan pedang lawan dan ketika Ki Liong mengejar dengan serangan bertubi-tubi, ia pun bergulingan sambil menangkis. Ki Liong melihat kesempatan baik untuk membunuh gadis yang penah membuatnya tergila-gila akan tetapi yang juga merupakan penyebab utama penyelewengannya ke dalam kesesatan. Melihat gadis itu bergulingan, dia menyerang terus, tidak memberi kesempatan kepada Kui Hong untuk bangkit. Biarpun dia tahu bahwa tingkat kepandaian gadis itu lebih tinggi darinya, akan tetapi kini Kui Hong telah rebah di tanah dan tidak sempat bangkit, maka dia terus mendesaknya dengan bacokan bertubi-tubi, membuat Kui Hong bergulingan ke sana-sini sambil menangkis untuk menghindarkan diri dari maut.
Sementara itu, melihat ada naga hitam hendak menerkamnya dari udara seperti yang dilihat Kui Hong, Hay Hay tenang saja, berdiri tegak, bahkan kedua tangannya menolak pinggang dan mulutnya tersenyum, seolah seorang dewasa melihat lagak seorang anak-anak. Dan dia sempat melirik ke arah Kui Hong dan biarpun dia melihat Kui Hong bergulingan dan didesak dengan serangan bertubi oleh Ki Liong, Hay Hay tidak merasa khawatir. Dengan ilmunya yang tinggi, dia dapat melihat bahwa Kui Hong bergulingan bukan karena terdesak, melainkan bergulingan untuk memancing lawan menjadi lengah. Maka dia pun memperhatikan kembali lawannya sendiri dan melihat kakek itu mengangkat kedua tangan ke atas, seolah-olah hendak mengemudikan naga hitam itu dan mulutnya tetap perkemak-kemik membaca mantram.
Kumbang Penghisap Kembang Eps 20 Kumbang Penghisap Kembang Eps 30 Kumbang Penghisap Kembang Eps 31