Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Mata Keranjang 4


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Ki Liong, kami belum dapat menerima keterangan itu begitu saja. Kami belum tahu apakah benar engkau telah bertaubat, dan apakah benar Kui Hong telah memaafkanmu. Kami baru akan percaya dan mempertimbangkan apakah kami dapat mengampunimu kalau engkau dapat membawa bukti dari Kui Hong. Sukur kalau Kui Hong dapat datang sendiri memberi keterangan kepada kami. Kalau tidak, sedikitnya harus ada surat tulisan cucu kami itu. Nah, kami sudah cukup lama bicara. Pergilah kalian berdua sebelum kami mengubah keputusan kami!"

   Mayang hendak membantah, akan tetapi Ki Liong memegang tangannya dan menarik gadis itu untuk berlutut. Mayang terpaksa berlutut pula di samping Ki Liong.

   "Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kecintaan suhu dan subo yang sudah mengampuni kami. Karena sudah jelas perintah suhu, teecu mohon diri untuk melaksanakan perintah itu. Teecu akan mencari nona Cia Kui Hong dan mendapatkan bukti darinya."

   Kakek dan nenek itu hanya membuat gerakan seperti mengibaskan tangan dan tubuh kedua orang muda itu seperti disambar angin yang amat kuat, membuat mereka terguling-guling sampai jauh. Ketika mereka berdua akhirnya dapat bangkit, dua orang kakek dan nenek itu telah lenyap dari situ!

   "Aih, betapa kejamnya...!"

   Mayang berseru lirih, akan tetapi Ki Liong sudah menyambar lengan gadis itu dan ditariknya, diajak lari meninggalkan hutan itu menuruni bukit menuju ke pantai di mana dia menyimpan perahunya tadi.

   "Ssttt, diamlah, Mayang dan jangan bicara lagi. Masih untung kita dapat meninggalkan pulau ini dalam keadaan hidup dan sehat. Suhu dan subo telah mengampuniku, memberi kesempatan kepadaku. Kita patut bersukur."

   "Hemm, ke mana kita akan pergi sekarang?"

   Tanya Mayang. Ki Liong memanggul perahunya.

   "Persiapkan cambukmu untuk menghalau ikan-ikan hiu itu. Kita berlayar lagi, menuju ke darat, kemudian kita mencari nona Cia Kui Hong."

   Mayang mengikuti pemuda itu melangkah dari batu ke batu sambil bersungut-sungut.

   "Kita Harus bersusah payah lagi mencari enci Kui Hong! Padahal dari sini kita dapat langsung ke barat menemui ibuku dan suboku untuk membicarakan urusan kita."

   "Kita lewati tempat berbahaya ini dulu, nanti kita bicara lagi tentang itu, Mayang."

   Seperti ketika mendarat, mereka melalui bagian yang lebih dalam di mana ikan-ikan hiu hilir mudik, siap menyambar kaki mereka di antara batu-batu karang. Kini, karena hatinya mendongkol, Mayang mengamuk dengan cambuknya. Ia menyerang sepenuh tenaga sehingga sirip hiu yang terkena cambuknya pun patah dan lecet-lecet. Karena ada ikan yang berdarah terkena cambuknya itu, terjadilah perkelahian antara mereka sendiri. Hiu yang terluka menjadi sasaran serangan ikan-ikan ganas itu dan air laut di sekitar batu-batu itu pun menjadi merah! Mayang bergidik sendiri karena merasa ngeri ketika mereka sudah menurunkan perahu dan mulai mendayung perahu ke tengah. Setelah Ki Liong memasang layar kecil dan perahu meluncur cepat, barulah mereka dapat duduk santai dan bercakap-cakap.

   "Mayang, sebelum kita menemukan nona Kui Hong dan mendapat bukti darinya, hatiku belum merasa tenteram. Bagaimana hatiku dapat tenteram sebelum aku diterima kembali oleh suhu dan subo, setidaknya aku tidak akan dimusuhi? Tentang urusan kita dengan ibumu dan subomu, perlu apa kau khawatirkan? Bukankah kita memang sudah menjadi calon jodoh masing-masing? Kita saling mencinta dan itu sudah lebih dari cukup, Mayang. Kita dapat segera menjadi suami isteri, kalau engkau menghendaki. Kita dapat minta seorang pendeta di kuil untuk menikahkan kita."

   Mayang cemberut.

   "Tidak! Sampai mati pun aku tidak sudi menikah sebelum mendapat restu dari ibu dan subo! Aku adalah puteri ibu, dan aku adalah murid subo. Sebagai anak dan murid aku harus berbakti kepada ibu dan subo. Tanpa restu mereka, bagaimana aku dapat menjadi isteri orang? Ayahku yang sudah tewas itu boleh menjadi jai-hwa-cat (penjahat cabul), akan tetapi aku tidak sudi menjadi seorang wanita yang melanggar tata susila! Kita harus menikah dengan restu ibu dan suboku, baru aku suka menjadi isterimu, Liong-ko."

   "Akan tetapi kita saling mencinta, Mayang! Tidak ada halangan apa pun lagi yang..."

   "Liong-ko! Kita ini manusia, bukan binatang. Kita mengenal hukum, peraturan, kebiasaan umum, tata susila. Dan perjodohan belum kuat benar kalau hanya didasari cinta semata! Kita pun tidak tahu apa cinta itu, apakah abadi atau tidak. Harus disertai pula ikatan hukum dan peraturan, terutama tidak meninggalkan kebaktian terhadap orang tua kita. Dan engkau sendiri, bagaimana, Liong-ko? Engkau tidak pernah menceritakan tentang orang tuamu."

   "Ayah ibuku telah tiada, Mayang."

   "Ah, kasihan engkau, Liong-ko. Baiklah, kita mencari enci Kui Hong lebih dulu. Setelah itu, baru kita pergi ke Ning-ling-san."

   Mereka melanjutkan pelayaran dan gadis itu melihat betapa kini terjadi perubahan dalam sikap Ki Liong. Pemuda itu nampak banyak melamun dan seperti orang yang berduka. Ia hanya menduga bahwa tentu pemuda itu teringat akan orang tuanya, dan juga menyesali semua kesesatannya yang lalu. Maka ia pun mendiamkannya saja.

   "Ciok Gun...!"

   Gouw Kian Sun berseru dengan mata terbelalak. Pada saat itu, hatinya diliputi kekagetan, keheranan dan juga kekhawatiran, walaupun ada juga perasaan girang melihat munculnya murid kepercayaan itu.

   Ciok Gun bukan saja merupakan murid Cin-ling-pai di bawah pimpinannya sendiri, akan tetapi juga telah ia tarik sebagai pembantu utamanya dalam mengurus Cin-ling-pai selama dia mewakili ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kui Hong yang sedang pergi merantau. Tentu saja dia terkejut karena murid inilah yang pertama kali menghilang bersama dua orang murid Cin-ling-pai lainnya ketika pergi berburu. Dan sebelum mereka dapat ditemukan, kakek Cia Kong Liang dan cucu yang masih kecil, yaitu Cia Kui Bu, telah menghilang pula. Bahkan peristiwa aneh itu disusul dengan lenyapnya Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin ketika suami isteri itu berturut-turut pergi mencari putera dan ayah mereka. Dia telah mengerahkan anak buah Cin-ling-pai untuk mencari jejak mereka yang hilang secara aneh, namun belum juga berhasil dan malam ini, selagi dia berada di kamarnya, daum jendela kamarnya diketuk orang perlahan-lahan dari luar .

   "Siapa...?"

   Gouw Kian Sun bertanya dari dalam. Semenjak peristiwa lenyapnya tokoh-tokoh penting Cin-ling-pai, dia selalu merasa curiga dan khawatir. Tentu saja ketukan di jendela itu membuat dia curiga. Kalau ada murid Cin-ling-pai yang perlu bicara dengan dia, tentu akan mengetuk daun pintu, bukan jendela! Dan di tengah malam pula!

   "Teecu datang, suhu, harap dibukai jendela!"

   Hampir Kian Sun tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia lalu membuka jendela kamarnya dan sesosok bayangan melompat masuk ke dalam kamarnya. Tentu saja dia terkejut, heran, khawatir dan juga girang ketika melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Ciok Gun, murid yang dicari-cari selama ini.

   "Ciok Gun, engkau? Apa... apa yang terjadi?"

   Tanyanya gagap dan bingung. Ciok Gun memberi isyarat kepada suhunya agar tidak membuat gaduh dan dia pun bicara dengan suara lirih.

   "Suhu, harap jangan berisik. Teecu tahu di mana adanya su-kong Cia Kong Liang, supek Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin, dan juga adik Cia Kui Bu. Akan tetapi jangan membuat ribut. Marilah, Suhu, teecu antarkan suhu melihat mereka."

   Dapat dibayangkan betapa kaget dan girangnya rasa hati Kian Sun mendengar berita yang menggembirakan ini. Akan tetapi dia juga merasa heran dan bingung mengapa pembantu yang sangat dipercayanya ini bersikap demikian aneh dan penuh rahasia. Akan tetapi kegembiraannya untuk segera melihat gurunya dan suhengnya, dia pun mengangguk dan keduanya lalu berloncatan keluar dari jendela kamar itu, menutupkan daun jendela dari luar,

   Kemudian Gouw Kian Sun mengikuti muridnya menyusup keluar dari perkampungan Cin-ling-pai. Malam telah larut, bahkan lewat tengah malam, maka para penjaga dan peronda hanya berkumpul di gerdu penjagaan dan membuat api unggun melawan hawa dingin. Dengan mudah guru dan murid yang merupakan orang pertama dan kedua di Cin-ling-pai pada waktu itu, keluar dari perkampungan dan Gouw Kian Sun terus mengikuti muridnya yang berlari-lari menuju ke sebuah bukit. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Sun ketika muridnya membawa dia ke depan sebuah bangunan besar yang tersembunyi di tengah hutan di lereng bukit itu. Setahu dia, di situ tidak ada bangunannya! Dia hendak bertanya, akan tetapi Ciok Gun sudah membisikinya.

   "Hati-hati, suhu, jangan mengeluarkan suara. lkuti saja teecu..."

   Biarpun hatinya merasa tidak enak melihat sikap muridnya, yang kini penuh rahasia itu, dia pun mengikuti saja ketika Ciok Gun mengajaknya memasuki bangunan itu dengan menyelinap melalui sebuah pintu kecil di dalam kebun atau pekarangan samping. Tak lama kemudian, muridnya sudah mengajaknya mengintai dari lubang dan dia melihat betapa gurunya, Cia Kong Liang, sedang tidur nyenyak bersama cucu gurunya, yaitu Cia Kui Bu. Jelas bahwa keduanya sehat dan sedang tidur nyenyak di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dengan pintu berjendela dan beruji baja itu. Dan di sebelah sana, dia melihat pula suhengnya, Cia Hui Song, juga tidur pulas di dalam sebuah kamar tahanan lain, sedang di kamar ke tiga dia tnelihat Ceng Sui Cin juga tertidur pulas. Setelah memandang semua itu dengan mata terbelalak, Kian Sun menoleh dan memandang kepada muridnya.

   "Ciok Gun, apa artinya semua ini? Mengapa mereka di sini dan apa yang telah teriadi?"

   Saking khawatirnya, dia bicara agak keras. Ciok Gun memberi isyarat agar gurunya suka mengikutinya meninggalkan tempat itu dan menuju ke ruangan lain di dalam rumah itu.

   "Mari kita temui orang yang menawan mereka, Suhu."

   Kata Ciok Gun yang berjalan cepat memasuki sebuah ruangan lain di bagian depan. Ruangan ini luas dan terang dan ketika Kian Sun melangkah masuk mengikuti muridnya, dia melihat seorang wanita cantik dan tiga orang pria setengah tua berpakaian pendeta sedarig duduk di situ, agaknya memang sedang menanti kehadirannya. Dan suatu hal yang aneh terjadi, Ciok Gun muridnya yang setia dan paling dipercaya itu tanpa ragu-ragu melangkah dan berdiri di belakang empat orang itu dan sikapnya seperti menanti perintah!

   "Selamat datang dan selamat malam, Gouw Pang-cu (Ketua Gouw)! Maafkan kelambatan kami menyambut wakil ketua Cin-ling-pai yang terhormat. Silakan duduk, Gouw Pangcu!"

   Gouw Kian Sun memandang heran dan gugup, akan tetapi melihat sikap mereka ramah, dia pun terpaksa menyambut dengan hormat dan dia duduk di atas kursi yang sudah disediakan menghadapi mereka berempat. Sejenak dia memperhatikan mereka. Wanita itu usianya masih muda, tidak akan
(Lanjut ke Jilid 04)
Jodoh Si Mata Keranjang (Seri ke 11 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04
lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik manis, matanya bersinar-sinar, lincah gembira, senyumnya selalu menghias mulut, bentuk tubuhnya padat dan indah. Tiga orang pria berpakaian pendeta itu seperti tosu (pendeta agama To), usia mereka antara lima puluh sampai enam puluh tahun, sikap mereka angkuh dan dingin, dan mereka diam saja, agaknya memang gadis itu yang menjadi juru pembicara.

   "Maafkan saya kalau saya terpaksa mengaku bahwa saya tidak mengenal kalian. Siapakah kalian dan apakah artinya semua ini?"

   Kata Gouw Kian Sun sambil memandang tajam. Wanita itu yang bukan lain adalah Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, tersenyum. Manis sekali ketika mulutnya tersenyum, seperti sekuntum bunga merekah dan nampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih.

   "Kami tidak akan merahasiakan diri kami, Pancu. Namaku Su Bi Hwa dan golongan kita mengenalku sebagai Tok-ciang Bi Mo-Ii."

   Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Dia belum pemah mendengar nama dan julukan ini, akan tetapi mengingat akan arti julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Bertangan Racun) itu saja sudah, diduga bahwa gadis ini adalah seorang wanita golongan sesat yang lihai. Akan tetapi Kian Sun adalah seorang tokoh Cin-ling-pai yang sudah berpengalaman, maka dia mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata.

   "Ah, kiranya Tok-ciang Bi Moli yang terkenal. Sudah lama mendengar nama besar itu dan mengaguminya."

   "Dan mereka ini adalah guru-guruku, bemama Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu dan Kim Hwa Cu, terkenal dengan julukan mereka Pek-lian Sam-kwi."

   Kini Gouw Kian Sun benar-benar terkejut. Kiranya dia berhadapan dengan orang-orang Pek-lian-kauw!

   "Hemm, seingatku, Cin-ling-pai tidak pemah berurusan dengan pihak Pek-lian-kauw. Sekarang kalian datang ke wilayah kami, sesungguhnya ada keperluan apakah?"

   "Hi-hik, ternyata Gouw Pangcu adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berpengalaman. Sungguh mengherankan kalau seorang gagah seperti pangcu ini sampai sekarang belum juga menikah."

   Kian Sun mengerutkan alisnya. Agaknya orang-orang Pek-lian-kauw ini telah menyelidiki keadaan Cin-ling-pai sehingga tahu akan keadaannya pula. Sungguh banyak yang aneh dia temui di sini. Para tokoh Cin-ling-pai, bahkan suhengnya Cia Hui Song dan isterinya, keduanya memilki ilmu kepandaian tinggi, berada dalam kamar-kamar tahanan itu. Muridnya, Ciok Gun bersikap demikian anehnya, tentu muridnya itu yang menceritakan semua tentang Cin-ling-pai. Kian Sun menjadi marah sekali kepada muridnya itu. Ciok Gun yang digemblengnya menjadi seorang pendekar yang gagah itu kini mengkhianati Cin-ling-pai? Rasanya tidak masuk akal.

   "Ciok Gun, ke sini engkau dan ceritakan padaku apa artinya semua ini!"

   Bentaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi yang dibentaknya itu sedikit pun tidak memperlihatkan tanggapan, bergerak pun tidak, berkedip pun tidak, hanya menunduk dan tetap berdiri di belakang empat orang Pek-lian-kauw itu.

   "Moli, katakan saja terus terang, apa yang kalian kehendaki dariku?"

   Akhirnya dia membentak marah melihat muridnya sama sekali tidak menjawabnya.

   "Hi-hik, Ciok Gun, ini hanya akan bicara atau bertindak kalau mendengar perintahku! Gouw Kian Sun, dengarlah keinginan kami. Kami datang ini untuk mengulurkan tangan kepadamu dan menawarkan kerja sama dengan Cin-ling-pai."

   Kin Sun bangkit berdiri, wajahnya berubah merah,

   "Cin-ling-pai bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Tidak mungkin! Lebih baik aku mati daripada harus bekerja sama dengan Pek-lian-kauw yang sesat!"

   Bi Hwa tertawa.

   "Hi-hik, sudah kuduga engkau akan menjawab demikian, Gouw Kian Sun. Akan tetapi kami tidak menghendaki engkau mati. Engkau perlu hidup untuk bekerja sama dengan kami dan engkau harus mentaati kami."

   "Tidak sudi!"

   "Hi-hi-hik, bagaimana engkau bisa bilang tidak sudi? Engkau tidak mempunyai pilihan kecuali hanya dua, yaitu pertama, engkau taat kepada kami, suka bekerja sama dan semuanya akan selamat. Dan engkau pilih yang ke dua, yaitu kalau engkau menolak, berarti engkau membunuh kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, juga anak mereka Cia Kui Bu. Engkau membunuh mereka melalui penolakanmu terhadap uluran tangan kami. Nah, kau pilih yang mana?"

   "Aku pilih mati!"

   Gouw Kian Sun membentak dan dia pun sudah menerjang ke arah wanita cantik itu. Karena dia dapat menduga betapa lihainya empat orang itu, maka begitu menyerang Bi Hwa, dia sudah mempergunakan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dalam hantamannya.

   "Brakkkk!"

   Kursi yang tadi diduduki Bi Hwa hancur berkeping-keping, akan tetapi wanita itu sendiri tidak terkena pukulan karena dengan gesitnya ia sudah meloncat meninggalkan kursinya ketika hantaman itu tiba. Kim Hwa Cu, tosu termuda di antara Pek-lian Sam-kwi, yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, sekali bergerak sudah meloncat ke depan Kian Sun. Dia tersenyum mengejek dan mengelus jenggotnya.

   "Gouw Kian Sun, kami peringatkan agar engkau sebaiknya menyerah saja agar semua tokoh Cin-ling-pai selamat. Kami hanya ingin mempergunakan nama Cin-ling-pai saja, untuk mencapai maksud tujuan kami."

   "Tosu Pek-lian-kauw keparat!"

   Kian Sun membentak saking marahnya dan dengan nekat dia pun sudah menyerang tosu itu dengan pukulan tangannya, kini dia mengerahkan tenaga dan mainkan ilmu Thian-te sin-ciang yang amat kuat.

   "He-he, ini Thian-te sin-ciang lumayan juga!"

   Kim Hwa Cu tertawa mengejek dan dia pun dengan berani menyambut pukulan kedua itangan wakil ketua Cin-ling-pai yang didorongkan ke arah dadanya itu dengan keduactangan pula.

   "Desss...!"

   Dua pasang tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, Kian Sun terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan Kim Hwa Cu juga mundur dua langkah.

   Dari pertemuan tenaga ini saja dapat diketahui bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Kim Hwa Cu masih menang sedikit. Tentu saja Kian Sun menjadi terkejut bukan main karena baru menghadapi seorang tosu saja, dia sudah kalah tenaga. Dan tadi pun serangannya terhadap gadis cantik itu gagal, tanda bahwa gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat pula. Tahulah dia bahwa dia tidak akan menang melawan empat orang itu. Namun dia adalah wakil ketua Cin-ling-pai dan karena pada waktu itu ketua Cin-ling-pai tidak ada, maka yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadapCin-ling-pai adalah dia. Bagaimana mungkin dia akan menyerah kepada perkumpulan sesat macam Pek-lian-kauw dan suka diajak bekerja sama?

   Hal itu tentu akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan dia yakin bahwa ketuanya, Cia Kui Hong, pasti tidak akan, setuju. Maka, dia pun menjadi nekat dan tanpa memperdulikan kehebatan lawan, dia sudah menubruk maju lagi. Kini, Siok Hwa Cu yang maju menangkisnya dan tiba-tiba saja terdengar bentakan suara nyaring seperti suara wanita dari arah belakangnya. Kian Sun membalik, mengira bahwa gadis tadi yang menyerangnya. Akan tetapi ternyata yang berteriak seperti wanita tadi adalah tosu paling tua, yaitu Lan Hwa Cu. Kian Sun berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja kakinya terkena sapuan dan dia pun terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, ujung sebatang pedang sudah menempel di lehernya! Pedang itu dipegang oleh Bi Hwa yang memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek.

   "Hi-hik, bagaimana engkau akan mampu melawan kami, Gouw Kian Sun? Sedangkan gurumu dan suhengmu, juga puteri Pendekar Sadis, telah dapat kami tawan. Apalagi kamu!"

   "Bunuh saja aku!"

   Bentak Kian Sun.

   "Manusia tolol. Apa gunanya kami membunuhmu? Tidak ada untungnya bagi kami, juga tidak ada manfaatnya bagi dirimu. Kalau engkau mati, engkau tidak dapat menyelamatkan nyawa para tokoh Cin-ling-pai itu. sebaliknya kalau engkau hidup, mereka pun akan tetap hidup."

   Kian mengerutkan alisnya yang tebal.

   "Maksudmu?"

   "Gouw Kian Sun, kalau engkau menolak tawaran kami untuk bekerja sama, maka mereka yang kini menjadi tawanan kami akan kami bunuh! Dan engkaulah yang membuat mereka terpaksa harus kami bunuh itu! Sebaliknya, kalau engkau menyambut uluran tangan kami untuk, bekerja sama, mereka akan selamat dan akan kami perlakukan seperti sekarang ini, menjadi tamu-tamu kami yang terhormat dan kami takkan mengganggu selembar rambut pun dari mereka. Bagaimana?"

   Bi Hwa menarik pedangnya dan meloncat ke belakang.

   "Sekarang duduklah, dan mari kita bicara dengan kepala dingin."

   Kian Sun bangkit berdiri akan tetapi tidak mau duduk. Dia tahu bahwa melawan pun tidak ada gunanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi mengingat akan nasib empat orang yang berada di dalam tahanan itu, dia harus memikirkan keadaan mereka.

   "Engkau membual, Mo-li! Tidak mungkin kalian akan mampu membunuh mereka!"

   Katanya mencoba, karena bagaimanapun juga,dia tidak percaya kalau gurunya, suhengnya dan isteri suhengnya itu kalah oleh empat orang Pek-lian-kauw ini.

   "Hi-hik, untuk apa kami membual? Buktinya, mereka kini menjadi tawanan kami, bukan? Dan apa sukarnya membunuh mereka? Di setiap kamar tahanan itu terdapat pipa-pipa penyalur asap pembius. Kalau kami meniupkan asap pembius dari luar, mereka semua akan pingsan terbius dan tidak ada ilmu silat yang akan mampu menolak serangan asap pembius! Nah, engkau ingin melihat mereka mati konyolkarena kebodohan dan kekerasan kepalamu?"

   Kian Sun menjadi lemas. Dia bukan seorang yang bodoh atau ceroboh. Dia tahu bahwa dia berada di tangan orang-orang yang amat licik. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Dibunuh pada saat itu pun dia tidak akan menyesal kalau pengorbanan itu demi nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi bagaimana mungkin dia membiarkan mereka ini membunuh gurunya, suhengnya, isteri suhengnya dan putera suhengnya? Tiba-tiba dia teringat kepada Ciok Gun. Muridnya itu biasanya setia sekali, juga berjiwa pendekar. Ingin dia dapat menarik Ciok Gun agar dapat membantunya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang curang ini. Tiba-tiba dia menoleh ke arah Ciok Gun yang masih berdiri mematung di belakang empat orang itu.

   "Ciok Gun, di mana Teng Sin dan Koo Ham?"

   Teriaknya untuk memancing perhatian muridnya itu. Akan tetapi, seperti juga tadi, Ciok Gun diam saja, tidak menjawab, juga tidak menoleh, melainkan berdiri dengan muka ditundukkan seperti patung!

   "Hi-hi-hik, biar engkau berteriak sampai suaramu habis, dia tidak akan sudi mendengarnya, Gouw Kian Sun. Hanya aku seorang yang akan ditaatinya. Engkau belum percaya? Nah, engkau lihatlah baik-baik."

   Wanita itu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Ciok Gun dan mengusap leher pemuda itu dengan tangan kirinya, gerakannya mesra sekali seperti orang membelai, dan ia pun berkata dengan suara yang lembut merayu.

   "Ciok Gun, kekasihku yang tampan, Gouw Kian Sun itu tidak mau tunduk kepadaku. Kau hajarlah dia!"

   Kini Ciok Gun mengangkat mukanya dan menoleh ke arah gurunya, dan sinar matanya penuh kemarahan, alisnya berkerut dan tiba-tiba dia melompat ke arah Kian Sun dan langsung saja menyerang dengan tamparan tangan kiri ke arah muka, gurunya sendlri! Tentu saja Kian Sun terkejut bukan main. Dia bangkit berdiri dan mengangkat lengan menangkis tamparan itu sambil mengerahkan tenaganya untuk membuat muridnya itu terdorong jatuh.

   "Dukk...!"

   Dua buah lengan bertemu keras dengan sekali dan hampir saja Kian Sun mengeluarkan teriakan saking kagetnya. Muridnya itu sama sekali tidak terdorong jatuh, dan dia merasa betapa kekuatan pada lengan tangan muridnya itu besar sekali, tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Ciok Gun sudah membuat gerakan hendak menyerang lagi dan Kian Sun juga sudah siap melawan muridnya sendiri, akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lembut Bi Hwa,

   "Ciok Gun, sudah cukup. Engkau mundurlah dan berdiri di tempat semula, siap menanti perintahku!"

   Dan Ciok Gun tidak memperdulikan lagi kepada Kian Sun, melainkan melangkah ke belakang tempat duduk empat orang itu. Bi Hwa sudah duduk pula di sebuah kursi yang baru karena kursi yang pertama kali didudukinya telah hancur oleh pukulan Kian Sun tadi.

   "Ciok Gun! Kau... kau...!"

   Kian Sun menjatuhkan dirinya di atas kursi, seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia tahu bahwa keadaan muridnya itu tidak wajar dan teringatlah dia bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak ahli sihir dan ahli racun. Tentu Ciok Gun telah dibius dan diberi racun yang membuat dia seperti patung atau mayat hidup yang hanya mentaati perintah dari orang yang menguasainya.,

   "Sudahlah, Gouw Pangcu. Engkau telah menyaksikan kelihaian kami. Tidak ada gunanya engkau melawan. Kalau engkau hendak menyelamatkan Cin-ling-pai dan seluruh tokohnya, engkau harus mau bekerja sama dengan kami dan harus memenuhi semua permintaan kami. Teng Sin dan Koo Ham, dua orang murid Cin-ling-pai itu, tidak ada gunanya dan telah kami bunuh. Dan seluruh nyawa semua anggauta Cin-ling-pai berada di tanganmu. Kalau engkau menolak, bukan hanya engkau dan para tawanan kami itu yang akan kami bunuh, juga seluruh murid Cin-ling-pai akan kami basmi, tiada seorang pun yang akan selamat!"

   "Kalian iblis-iblis keji! Demi keselamatan suhu dan keluarga suheng, baik aku menurut dan menyerah. Akan tetapi ingat, aku tidak sudi membantu kalian melakukan perbuatan jahat. Ingat, daripada kami orang-orang Cin-ling-pai dipaksa melakukan perbuatan jahat, lebih baik kami mati semua!"

   "Aiiih, Gouw Pangcu. Kami adalah orang baik-baik, mana mungkin menyuruh engkau berbuat jahat? Jangan khawatir, kami tidak akan minta engkau melakukan kejahatan."

   "Cepat katakan, apa yang harus kulakukan untuk kalian?"

   "Sederhana saja, Pangcu. Pertama, engkau cepat umumkan dan kirim undangan kepada para ketua semua perkumpulan dan partai persilatan besar untuk menghadiri pemikahanmu pada tanggal satu bulan depan."

   Gouw Kian Sun terbelalak, memandang kepada gadis cantik itu dengan ragu. Gilakah gadis ini, pikirnya. Tanggal satu kurang beberapa hari lagi dan akan diadakan pesta pemikahannya?

   "Moli! Apa pula artinya semua ini? Siapa yang akan menikah? Aku kurang mengerti."

   "Engkau yang akan menikah, Pangcu."

   Kini Kian Sun benar-benar kaget sehingga dia menjadi bengong tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.

   "Menikah dengan aku, Pangcu!"

   Kata pula Bi Hwa, sambil terkekeh genit.

   "Aahhh...?? Aku... menikah dengan... dengan kau? Apa artinya ini? Kita... kita tidak... eh, maksudku aku tidak...

   "

   "Hi-hik, jangan bingung, Pangcu. Kau lihat bukankah aku seorang gadis muda yang cantik molek? Tidak banggakah engkau menjadi suamiku? Hemm, ribuan orang pria di dunia ini merindukanku, bermimpi untuk menjadi kekasihku, apalagi suamiku. Dan engkau kelihatan begitu bingung? Hi-hik!"

   "Bukan begitu, akan tetapi aku... kita... bagaimana mungkin kita dapat menjadi suami isteri?"

   Kini berubah sikap Bi Hwa, tidak lagi tersenyum manis seperti tadi. Senyumnya berubah dingin dan mengejek.

   "Gouw Kian Sun, engkau masih ingin membangkang? Perintah yang begini menyenangkan hendak kau tolak? Ini bukan perintah melakukan kejahatan! Aku ingin menjadi isterimu, atau lebih tepat lagi aku ingin menjadi nyonya ketua Cin-ling-pai! Dan untuk perayaan pesta pemikahan, aku minta engkau mengundang ketua-ketua partai persilatan besar di empat penjuru. Jangan banyak membantah lagi kalau ingin aku tidak menjadi naik darah dan membunuh seorang di antara tawananku!"

   Diingatkan tentang tawanan itu, wajah Kian Sun seketika berubah pucat. Dia maklum bahwa dia sama sekali tidak berdaya. Kalau saja keselamatan nyawa keluarga Cia tidak terancam, tentu dia tidak sudi menyerah dan akan melawan sampai mati! Kini dia merasa tidak berdaya sama sekali. Hatinya memberontak untuk mentaati perintah iblis betina ini, akan tetapi dia tidak dapat membangkang, demi keselamatan keluarga Cia yang dihormatinya.

   "Baiklah, aku bersedia melakukan apa yang kau minta."

   Akhirnya dia berkata sambil menarik napas panjang. Bi Hwa tersenyum manis lagi, bahkan mendekatkan tubuhnya pada Kian Sun dan pandang matanya genit.

   "Kalau engkau sudah menjadi suamiku dan bersikap baik dan penurut, aku akan benar-benar melayanimu sebagai isteri dan engkau akan berbahagia sekali."

   
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kian Sun diam saja, walaupun hatinya merasa marah bukan main. Sampai berusia empat puluh dua, dia masih membujang, belum menikah karena dia belum menemukan seorang gadis yang dianggapnya baik.

   Bagaimana mungkin sekarang dia merendahkan diri sedemikian rupa dengan menjadi suami seorang wanita iblis macam Tok-ciang Bi Moli ini? Para tokoh kang-ouw partai persilatan merasa heran juga ketika menerima undangan Cin-ling-pai yang hendak merayakan pernikahan wakil ketuanya. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai kini diketuai oleh seorang gadis, akan tetapi yang kini menikah bukanlah gadis itu, melinkan wakil ketua yang bemama Gouw Kian Sun. Nama Gouw Kian Sun tidak dikenal oleh para tokoh kang-ouw, tidak seperti nama Cia Kui Hong, gadis yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi karena memandang nama besar Cin-ling-pai, walaupun undangan itu amat tiba-tiba dan waktunya mendesak, hampir semua perkumpulan mengirim wakil atau utusan, ada pula ketua yang datang sendiri.

   Biarpun bukan ketua pusat dari perkumpulan-perkumpulan besar yang hadir, melainkan hanya ketua-ketua cabang dan utusan-utusan pusat, namun lengkap jugalah para undangan datang berkunjung. Bahkan karena terdapat undangan yang jauh, maka dua hari sebelum hari perayaan, sudah banyak rombongan utusan perkumpulan silat yahg temama berdatangan. Di antara mereka terdapat wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Sesuai dengan perintah Bi Hwa, Gouw Kian Sun yang tidak berdaya itu telah menyuruh para murid Cin-ling-pai membangun pondok-pondok darurat untuk para tamu. Pondok-pondok darurat itu tersebar di sekitar perkampungan Cin-ling-pai di dekat puncak Cin-ling-san yang luas itu.

   Para tamu yang berdatangan itu menjadi semakin herah ketika mereka hanya disambut oleh wakil ketua Cin-ling-pai atau calon pengantin pria yang ditemani oleh Giok Gun dan beberapa orang miurid Cin-ling-pai. Tidak nampak keluarga Cia yang merupakaan keluarga pimpinan Cin-ling-pai turun-temurun itu. Menurut keterangan Gouw Kian Sun atas pertanyaan para tamu, ketua Cin-ling-pai sedang merantau, pendekar Cia Hui Song dan isterinya sedang berkunjung ke pulau Teratai Merah, dan kakek Cia Kong Liang juga tidak berada di Cin-ling-pai. Akan tetapi karena mereka itu menghormati nama besar Cin-ling-pai, biarpun merasa heran dan juga kecewa, rombongan dari berbagai partai persilatan itu menempati pondok masing-masing dan sebelum hari perayaan tiba, mereka menikmati pemandangan alam yang indah dan hawa udara yang jemih sejuk dari pegunungan Cin-ling-pai.

   Rombongan Bu-tong-pai terdiri dari tujuh orang, dipinpim oleh Tiong Gi Cin-jin, tokoh tingkat dua dari Bu-tong-pai yang usianya sudah enam puluh dua tahun. Enam orang yang lain adalah murid-muridnya yang berusia dari dua puluh lima sampai empat puluh tahun dan para murid itu merupakan murid-murid yang pandai dari Bu-tong-pai dan terkenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah. Rombongan Bu-tong-pai ini mendapatkan sebuah pondok besar di sebelah barat, di antara pohon-pohon cemara. Seperti juga para tamu dari berbagai perkumpulan silat, rombongan Bu-tong-pai ini datang lebih awal dua hari, sehingga selama dua hari dua malam mereka akan tinggal di situ sampai hari perayaan tiba.

   Tidak jauh dari pondok tempat tinggal para utusan Bu-tong-pai ini terdapat pondok lain yang juga cukup besar. Kedua pondok itu hanya dipisahkan oleh sebuah kebun besar di mana selain pohon-pohon buah juga terdapat taman bunga yang indah. Pondok ke dua ini hanya ditempati empat orang utusan dari Go-bi-pai, tiga orang murid pria yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun, dan seorang murid wanita yang masih gadis, berusia delapan belas tahun. Tiga orang pria itu merupakan murid-murid kelas dua dari Go-bi-pai, sedangkan gadis itu adalah puteri seorang di antara mereka yang menjadi memimpin rombongan. Ayah gadis itu bemama Poa Cin An, berusia lima puluh tahun dan sebagai seorang tokoh kelas dua di Go-bi-pai, tentu saja ilmu silatnya lihai, terutama permainan siang-kiam (sepasang pedang) dari ilmu pedang Go-bi-kiam-sut.

   Puterinya bemama Poa Liu In, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah manis dan bersikap lembut. Di sebelah timur, juga hanya terpisah kebun besar, terdapat pondok untuk para utusan dari Siauw-lim-pai yang terdiri dari dua orang hwesio tingkat dua, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, dua orang hwesio kurang lebih enam puluh tahun yang bersikap lembut dan ramah. Di sekitar pondok darurat itu, tinggal pula utusan dari Kun-lun-pai yang berjumlah empat orang. Tiga orang murid kelas dua dan paman guru mereka, seorang tosu yang bemama Yang Tek Tosu berusia lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kering. Masih banyak lagi para utusan perkumpulan lain yang tinggal di pondok-pondok darurat, akan tetapi yang merupakan tamu kehormatan di antaranya adalah utusan dari empat perkumpulan besar itu.

   Pada keesokan harinya setelah mereka datang, pagi-pagi sekali, masih remang-remang dan hawa dingin sekali, di belakang pondok yang dijadikan tempat bermalam para utusan Go-bi-pai, nampak seorang gadis sedang berlatih silat. Gadis itu adalah Poa Liu In, puteri Poa Cin An yang memimpin rombongan Go-bi-pai. Mula-mula ia berlatih silat tangan kosong. Gerakannya cepat dan pukulannya mantap. Memang ia seorang gadis yang berbakat dan sejak kecil digembleng oleh ayahnya yang menjadi tokoh tingkat dua Go-bi-pai, bahkan kini mengepalai cabang Go-bi-pai yang berada di Lembah Sungai Han, masih merupakan bagian kaki Cin-ling-pai. Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan gadis itu selain cepat dan mantap, juga amat indah.

   Apalagi dimainkan oleh seorang gadis manis yang memiliki bentuk tubuh seindah tubuh Liu In, mana nampak seperti seorang dewi sedang menari saja. Liu In berlatih sungguh-sungguh sehingga dari kepala yang rambutnya hitam panjang itu mengepul uap. Hawa udara sangat dingin sedang tubuhnya menjadi panas karena latihan itu maka kepalanya mengepulkan uap putih, menambah keindahan latihan silat tangan kosong yang seperti tarian itu. Setelah selesai, ia pun mencabut pedangnya, pedang pasangan dan mulailah ia melanjutkan latihannya dengan latihan ilmu pedang Gobi Kiam-sut. Ia mainkan sepasang pedangnya dengan cepat, makin lama semakin cepat sehingga lenyaplah bentuk kedua pedang itu. Yang nampak hanya gulungan dua sinar seperti dua ekor naga bermain-main di antara tubuh yang padat dan langsing itu.

   Juga dalam latihan ilmu pedang ini, Liu In bermain sungguh-sungguh, mengerahkan semua tenaga dan memusatkan perhatiannya sehingga kini lebih banyak lagi uap putih mengepul ke atas dari kepalanya. Ketika akhirnya ia menghentikan latihan pedangnya, nampak kini muka dan lehernya basah oleh keringat, dan dadanya yang membusung itu naik turun, nafasnya agak memburu. Liu In lalu meletakkan pedangnya di atas tanah. Ia sendiri lalu memilih tanah yang kering, lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan mengatur pemafasan. Sungguh nyaman sekali rasanya, sehabis berlatih, badannya panas dan jantungnya berdebar, kini duduk melakukan latihan pemapasan seperti itu. Setelah napasnya normal kembali dan kelelahannya menghilang, ia pun melanjutkannya dengan siulian. Pada saat ia mengosongkan pikirannya itulah, tiba-tiba terdengar bisikan suara yang mengandung wibawa amat kuatnya.

   "Poa Liu In, betapa nyamannya rasa tubuhmu dan hawa udara sejuk membuatmu mengantuk. Engkau mengantuk dan tertidur..."

   Liu In terkejut dan ia mencoba untuk melawan perintah itu yang dianggapnya tidak wajar. Tidak mungkin ayahnya memerintahkan seperti itu. Ia hendak menoleh dan menolak akan tetapi sungguh aneh. Kepalanya seperti penuh dengan suara itu yang memaksanya untuk tidur, yang menekankan bahwa ia mengantuk, dan ia tidak mampu menoleh, bahkan tidak mampu bergerak, dan akhirnya ia pun menyerah. Ia tertidur dalam keadaan masih bersila! Karena tidurnya adalah tidur tidak wajar, maka ia pun sama sekali tidak terjaga ketika ada bayangan berkelebat di belakangnya. Dengan gerakan yang amat cepat bayangan itu menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu yang terkulai pingsan,

   Kemudian bayangan itu mengangkat dan memondong tubuh yang sudah terkulai lemas itu dan membawanya pergi dari situ. Bayangan yang memondong tubuh Liu In yang pingsan itu menyelinap masuk ke dalam sebuah pondok darurat yang belum dipakai tamu dan yang berdiri agak terpencil di dekat hutan sebelah barat. Tak seorang pun melihat bayangan itu memondong Liu In ke dalam pondok. Dan tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi di dalam pondok itu. Hari masih terlalu pagi dan udara terlampau dingin sehingga orang segan untuk keluar dari pondok. Matahari telah mulai mengeluarkan sinarnya yang lembut namun sudah, mendatangkan kehangatan ketika Liu In mengeluarkan keluhan lirih dan menggerakkan tubuhnya, membuka kedua matanya. Pada saat itu ia mendengar suara yang masuk dari luar tempat itu.

   "Gadis Go-bi-pai yang sombong, memamerkan kepandaianmu yang tidak seberapa itu di Cin-ling-pai? Ha-ha! Kalau engkau mau tahu siapa aku, ingat saja orang she Lui murid Cin-ling-pai!"

   Liu In terkejut bukan main dan meloncat turun dari atas dipan, hanya untuk menahan jeritnya dan matanya terbelalak mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya telanjang bulat! Pakaiannya berada di atas dipan itu. Ia menyambarnya dan cepat mengenakan kembali pakaiannya, wajahnya pucat karena ia kini sadar benar apa yang telah terjadi menimpa dirinya. Ia telah diperkosa orang selagi pingsan atau tidur! Akan tetapi ia segera ingat bahwa tadi ia berlatih silat dan duduk bersila. Kini tahu-tahu telah berada di dalam sebuah pondok. Tentu ia telah ditotok dan pingsan!

   Setelah mengenakan kembali pakaiannya secepatnya, ia meloncat keluar mendorong daun pintu pondok itu dan ia berdiri tertegun. Ia melihat beberapa orang pria muda murid-murid Cin-ling-pai hilir mudik, dan melihat rombongan para tamu sedang berjalan-jalan, menikmati cahaya matahari pagi yang hangat. Ia tentu saja tidak berani ribut-ribut. Bagaimana ia berani membuat ribut kepada para murid Cin-ling-pai itu? Tentu berarti ia kan melumuri dirinya dengan aib, mengaku bahwa ia baru saja diperkosa orang! Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan ingin ia menjerit, ingin ia menangis, akan tetapi melihat semakin banyak otang berjalan-jalan, ia pun menahan perasaannya.

   "Liu In...!"

   Tiba-tiba terdengar suara ayahnya menegur. Ia menoleh dan melihat ayahnya bersama dua orang susioknya. Mereka agaknya bukan hanya berjalan-jalan biasa, melainkan sedang mencarinya karena ayahnya membawa pula siang-kiamnya yang tadi ia pergunakan untuk berlatih silat. Melihat puterinya berdiri dengan tubuh kelihatan lunglai dan wajahnya pucat sekali, tentu saja Poa Cin An terkejut bukan main dan merasa amat khawatir.

   "Liu In, ke mana saja engkau tadi? Apa yang terjadi?"

   Poa Cin An dan dua orang sutenya cepat menghampiri Liu In. Begitu ayahnya berada di depannya, Liu In tidak dapat menahan kehancuran hatinya lagi.

   "Ayah...!"

   Ia menubruk ayahnya dan menangis di dada ayahnya.

   "Ehhh? Apa yang terjadi? Ada apakah, Liu In?"

   Tanya Poa Cin An. Melihat betapa semua orang kini memandang ke arah mereka dengan pandang mata heran dan hanya tidak berani bertanya karena rombongan Go-bi-pai tentu saja disegani orang, dua orang sute dari Poa Cin An lalu memberi isarat kepada suheng mereka.

   "Mari kita pulang ke pondok dan bicara di sana."

   Biarpun ia sedang menangis, mendengar ucapan itu, Liu In mengangguk lemah dan mereka pun berjalan menuju ke pondok mereka. Liu In menahan rasa nyeri di tubuh dan hatinya. Setelah mereka tiba di pondok mereka, Liu In tak dapat lagi menahah kesedihannya. Ia lari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Air matanya membanjir bagaikah air bah mengalir keluar dari bendungan yang pecah. Poa Cin An mengerutkan alisnya, memberi isarat kepada dua orang sutenya agar tinggal di luar dan dia sendiri lalu memasuki kamar puterinya, menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Dia melihat puterinya menangis terisak-isak sambil menyembunyikan mukanya di bantal, menelungkup dan tubuhnya terguncang-guncang. Dia duduk di tepi pembaringan, menyentuh pundak puterinya.

   "Liu In, ke mana perginya sifatmu yang gagah sebagai pendekar? Kenapa engkau menjadi cengeng dan menangis seperti anak kecil? Apakah yang terjadi? Katakan padaku, ceritakan kepada ayahmu."

   Liu In melanjutkan tangisnya sampai akhirnya dapat menguasai hatinya, ia bangkit duduk, akan tetapi kedua tangannya masih menutup mukanya dan dengan suara hampir tidak terdengar ia berkata,

   "Ayah... aku... aku... diperkosa orang..."

   Bagaikan dipatuk ular, Poa Cin An yang biasanya tenang itu melompat dari tepi pembaringan, berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berubah merah sekali.

   "Apa? Siapa? Hayo ceritakan, apa yang terjadi!"

   Kini suaranya penuh dengan api yang berkobar karena harga diri dan kehormatannya tertusuk. Dengan kedua tangan masih menutupi mukanya, Liu In menceritakan pengalamannya, betapa tadi pagi-pagi sekali ia berlatih silat, kemudian ketika ia sedang melakukan latihan siu-lian (samadhi), ia tertidur dan ketika ia terbangun atau siuman kembali, ia mendapatkan dirinya berada di dalam pondok kosong dan telah diperkosa orang.

   "Siapa? Siapa dia? Cepat katakan!"

   "Ayah, aku tidak tahu. Ketika hal itu terjadi, aku dalam keadaan pingsan, sama sekali tidak sadar. Ketika aku siuman, aku sendirian saja di pondok itu dan aku mendengar suara orang laki-laki mengaku bahwa dia yang melakukan perbuatan itu adalah seorang murid Cin-ling-pai yang she (bermarga) Lui..."

   "Keparat jahanam! Noda ini harus dicuci dengan darah!"

   Poa Cin An berteriak dan dia meloncat keluar dari dalam kamar pondok itu. Dua orang sutenya terkejut dan menyambutnya dengan kaget dan heran.

   "Suheng, ada apakah?"

   "Keparat Cin-ling-pai...!"

   Poa Cin An terengah-engah dan matanya mencorong penuh kemarahan, amat mengejutkan dua orang adik seperguruannya. Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di dalam kamar Liu In dan disusul rintihan gadis itu,

   "...ayaahhh..."

   Tiga orang tokoh Go-bi-pai itu lari memasuki kamar dan... Poa Cin An berteriak parau dan menubruk tubuh puterinya yang sudah menggeletak di atas lantai dengan kedua pedangnya menembus dada dan perut! Darah membanjiri lantai di mana gadis itu rebah miring.

   "Liu In...!"

   Poa Cin An hanya dapat merangkul puterinya, maklum bahwa dengan dada dan perut ditembusi kedua pedang itu, mustahil untuk dapat menyelamatkan nyawa anaknya. Liu In masih dapat memandang ayahnya dan bibirnya bergerak-gerak, terdengar suaranya lemah dan lirih,

   "...aku malu... ayah... balaskan..."

   Dan lehernya terkulai, nyawanya melayang.

   "Liu In...!"

   Ayah itu menubruk lagi jenazah puterinya. Poa Cin An seorang tokoh Go-bi-pai, seorang pendekar yang keras hati, namun sekali ini dia menangis seperti anak kecil! Anaknya hanya tunggal dan kini tewas sedemikian menyedihkan di depan matanya. Diperkosa orang kemudian membunuh diri!

   "Cin-ling-pai keparat! Tenaglah, anakku, aku akan membalaskan dendam setinggi langit ini!"

   Teriaknya dan dia pun meloncat bangun, menyambar sepasang pedangnya yang tadi dia lempar di atas meja ketika dia melihat keadaan puterinya. Akan tetapi, dua orang sutenya cepat menangkap lengannya.

   "Suheng, tahan dulu...!"

   Poa Cin An rnemandang kedua orang sutenya dengan mata merah dan mendelik, kedua pipinya masih basah.

   "Apa? Kalian hendak menghalangiku? Sepatutnya kalian membantuku!"

   "Tentu saja kami akan membantumu, Suheng. Andaikata Suheng tidak menuntut balas pun, kami berdua akan mempertaruhkan nyawa untuk membalas penghinaan ini! Bukan hanya puterimu yang dihina, bukan hanya Suheng, melainkan Go-bi-pai! Akan tetapi, kita harus tenang, Suheng. Apakah Suheng ingin agar seluruh dunia tahu akan aib yang menimpa diri puterimu? Tidak kasihankah Suheng kepada puterimu, setidaknya, kepada namanya?"

   Poa Cin An tercengang, lalu menunduk, lalu mengguguk. Sejenak dia tidak mampu bicara, lalu mengangguk-angguk dan menenangkan hatinya dengan tarikan napas panjang.

   "Kalian benar, Sute. Maafkan aku...! Hampir aku tidak dapat menguasai hati dan menyiarkan noda yang mencemarkan nama baik anakku. Aih, Liu In, sungguh malang nasibmu, anakku. Akan tetapi jangan khawatir, ayahmu akan menuntut balas. Jahanam itu akan kubuhuh, kepalanya akan kupakai bersembahyang di depan jenazahmu atau makammu! Jangan khawatir, anakku..."

   Setelah dia mengangkat jenazah puterinya dan membaringkannya di atas dipan, mencabut sepasang pedang itu dan menyelimuti jenazah, mereka bertiga lalu keluar dari pondok dan dengan langkah lebar dan muka tegang mereka menuju ke bangunan pusat Cin-ling-pai. Di pintu gerbang depan mereka disambut oleh beberapa orang murid Cin-ling-pai yang sedang bertugas jaga. Para murid Cin-ling-pai ini memandang heran melihat sikap tiga orang tamu yang mereka kenal dan mereka hormati sebagai tiga orang di antara para tamu kehormatan, wakil-wakil dari Go-bi-pai. Akan tetapi mereka menyambut dengan ramah.

   "Selamat pagi, Sam-wi Lo-cian-pwe (Tiga orang tua gagah). Ada keperluan apakah sam-wi datang berkunjung pagi ini?"

   "Laporkan kepada Gouw-pangcu (Ketua Gouw) bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengan dia. Cepat!"

   Bentak Poa Cin An dengan sikap bengis dan marah sehingga mengejutkan tujuh orang murid Cin-ling-pai itu. Pemimpin para murid yang bertugas jaga itu memberi hormat dan tetap menjawab dengan sikap sopan dan ramah.

   "Lo-cian-pwe, saat ini Gouw pancu sedang sibuk menerima kunjungan para wakil Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai. Mereka baru saja masuk dan diterima oleh pangcu di ruangan tamu."

   "Kalau para utusan Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai dapat diterima, mengapa kami dari Go-bi-pai tidak? Antarkan kami bertemu dengan dia, atau kami akan masuk sendiri!"

   Kata pula Poa Cin An.

   "Sabarlah, Lo-cian-pwe. Kami bukan menolak atau menghalangi, hanya kalau sam-wi masuk sekarang, pangcu kami akan menjadi sibuk sekali dan sebaiknya kalau sam-wi menanti sebentar..."

   "Tidak, kami harus masuk sekarang dan bertemu sekarang juga!"

   Para murid itu terkejut. Tadi pun mereka sudah dikejutkan oleh sikap para pimpinan Kun-lun-pai yang juga nampak marah, disusul utusan Bu-tong-pai yang juga nampak marah, dari sekarang orang-orang Go-bi-pai ini benar-benar marah sekali. Apa yang telah terjadi? Mereka tidak berani membantah lagi dan mengantarkan tiga orang ini menuju ke ruangan tamu yang amat besar itu. Ketika memasuki ruangan itu, tiga orang tokoh Go-bi-pai itu melihat bahwa Tiong Gi Cin-jin pemimpin rombongan Bu-tong-pai bersama enam orang murid Bu-tong-pai telah duduk berjajar di situ, demikian pula Yang Tek Tosu bersama tiga orang murid keponakannya, dua di antaranya nampak luka-luka dan dibalut di bagian leher dan dahi.

   Juga tiga orang tokoh Go-pi-pai itu melihat betapa wajah mereka semua itu nampak tegang dan marah sehingga mudah diduga bahwa pasti telah terjadi hal-hal yang hebat, seperti yang juga mereka alami. Kiranya wakil ketua Cin-ling-pai, yaitu Gouw Kian Sun, belum keluar, menyambut dan para tamu itu baru dipersilakan menanti di ruangan tamu. Hal ini agak mengherankan karena wakil ketua itu tentu sibuk sekali karena dia adalah calon pengantin. Karena mereka sendiri pun sedang tegang dan marah, maka mereka hanya mengangguk saia kepada dua rombongan terdahulu, kemudian mereka duduk pula di sebelah kiri, menanti munculnya GouW Kian Suh. Akhirnya, orang yang dinahti-nanti, itu pun muhcul dengan sikap tenang dan wajah yang tidak membayangkan kesalahan. Sebagai calon pengantin, pakaiannya baru dan dia nampak gagah.

   Dia ditemani oleh Ciok Gun, murid Cin-ling-pai yahg pandai dan setia, dan yang menjadi, pembantu utama wakil ketua Gouw Kian Sun. Pria jangkung ini pun nampak tenang saja ketika memasuki ruangan itu. Melihat para tamu bangkit berdiri dengan sikap marah, Gouw Pangcu memandang heran, akan tetapi dengan ramah dia pun menghampiri kursinya, memberi hormat dan mempersilakan para tamunya duduk kembali. Poa Cin An sudah ingin sekali meneriakkan rasa penasarannya kepada pimpinan Cin-ling-pai itu, akan tettapi bagaimanapun juga, dia adalah seorang wakil perkumpulan besar yang mengenal aturan, maka sebagai rombongan yang datang terakhir, dia harus bersabar dan mengalah, membiarkan dua rombongan tamu yang datang terlebih dahulu bicara dengan tuan rumah.

   "Selamat pagi para Lo-cian-pwe yang terhormat!"

   Gouw Kian Sun dengan ramah. Walaupun dia sendiri menghadapi urusan Cin-ling-pai yang amat rumit dan membuat dia selalu gelisah, namun di depan para tamu kehormatan ini dia dapat memperlihatkan sikap ramah.

   "Kami harap cu-wi (anda sekalian) dapat beristirahat dengan senang di pondok-pondok yang kami sediakan dan maafkan kalau ada kekurangan..."

   "Kami datang bukan untuk bicara tentang itu!"

   Tiba-tiba Yang Tek Tosu pemimpin utusan Bu-tong-pai berkata dengan wajah keruh. Gouw Kian Sun terkejut dan diam-diam dia menjadi semakin gelisah, tidak dapat menduga atau membayangkan apa yang telah terjadi, akan tetapi diam-diam dia melirik ke arah Ciok Gun, murid yang dia tahu kini telah menjadi mayat hidup dan menjadi kaki tangan dari orang-orang Pek-lian-kauw di luar kesadarannya itu. Kalau terjadi sesuatu Ciok Gun ini mengetahuinya, pikirnya. Akan tetapi wajah Ciok Gun tetap dingin dan dia duduk membungkam mulut dan matanya pun memandang kosong saja! Selagi dia hendak bertanya kepada tosu Bu-tong-pai itu, tiba-tiba terdengar suara dari luar ruangan.

   ""Omitohud...! Siapa kira Cin-ling-pai menjadi begini?"

   Dan muncullah Thian Hok Hwesio, dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang juga menjadi tamu itu. Ketika mereka masuk dan melihat betapa rombongan dari tiga perguruan besar sudah berkumpul di situ pula, Thian Hok Hwesio yang tadi bicara menoleh kepada sutenya dan dia pun mengelus jenggotnya yang panjang.

   "Omitohud..., kiranya semua orang telah berkumpul di sini?"

   Kian Sun segera bangkit berdiri, diikuti oleh Ciok Gun dan Kian Sun memberi hormat kepada dua orang hwesio itu.

   "Ji-wi Lo-suhu (Dua orang pendeta tua), selamat pagi dan kebetulan sekali ji-wi datang karena agaknya ada yang perlu dibicarakan yang kami belum mengetahui. Silakan ji-wi duduk."

   Dua orang hwesio itu membalas penghormatan Gouw Pangcu dan mereka pun duduk. Agaknya Gouw Pangcu merasa lega dengan hadirnya dua orang hwesio Siauw-lim-pai ini yang dia tahu pasti akan bertindak adil dan tidak suka menggunakan kekerasan. Agaknya Yang Tek Tosu yang tadi sudah mulai bicara karena rombongannya yang datang lebih dahulu, kemudian bicaranya terhenti dengan munculnya dua orang hwesio itu, kini tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Dia bangkit berdiri dengan muka merah dan tubuhnya yang jangkung kurus itu agaknya nampak semakin jangkung.

   "Gouw Pangcu, kami datang bukan untuk beramah-tamah atau berbasa-basi. Lihat saja keadaan dua orang murid keponakan pinto (aku) ini dan kiranya tidak perlu lagi Pangcu berpura-pura!"

   Gouw Kian Sun memandang ke arah dua orang murid Kun-lun-pai yang luka-luka di leher dan dahi itu dan dia kembali memandang kepada Yang Tek Tosu yang masih berdiri.

   "Saya melihat bahwa mereka itu menderita luka-luka di leher dan dahi. Akan tetapi, sungguh mati saya tidak tahu mengapa begitu, to-tiang (bapak pendeta). Apakah yang telah terjadi?"

   Yang Tek Tosu menahan kemarahannya dan kini dia berjalan mondar-mandir, gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata semua yang hadir, kecuali Ciok Gun yang nampaknya tenang-tenang saja, tidak terkejut dan gelisah seperti Kian Sun.

   "Mungkin saja Gouw Pangcu tidak mengetahui apa yang terjadi. Kami sendiri hampir tidak percaya kalau saja kedua orang murid keponakan ini tidak mengalami sendiri. Sejak dahulu Cin-ling-pai terkenal sebagai perguruan besar yang memiliki murid-murid pendekar. Akan tetapi siapa tahu sekarang mempunyai murid-murid yang nyeleweng, jahat dan curang!"

   Kian Sun bangkit berdiri. Mukanya menjadi merah. Dia seorang tokoh Cin-ling-pai yang amat setia dan juga dia sedikit pun tidak mengira bahwa ada murid Cin-ling-pai yang akan berani berbuat jahat. Bahkan dia pun sudah mendapat janji dari Tok-ciang Bi Moli yang menguasai dirinya bahwa wanita itu dan sekutunya tidak akan melakukan hal-hal yang merusak nama baik Cin-ling-pai. Maka, mendengar tuduhan Yang Tek Tosu, tentu saja dia menjadi terkejut dan juga marah.

   "Harap Totiang tidak menuduh yang tidak ada buktinya. Penyelewengan dan kejahatan apakah yang telah dilakukan murid kami? Tunjukkan buktinya dan siapa orangnya, pasti kami akan mengambil tindakan dan memberi hukuman kalau memang benar!"

   Katanya dengan suara lantang.

   "Gouw-pangcu! Setelah melihat keadaan dua orang murid keponakanku, masih minta bukti lagi?"

   Dia menoleh kepada dua orang yang menderita luka-luka itu dan memberi perintah.

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 24 Pendekar Mata Keranjang Eps 22 Pendekar Mata Keranjang Eps 19

Cari Blog Ini