Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 14


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Kenapa engkau menyerah begitu saja, Lan-moi?"

   "Aku ingin berhadapan sendiri dengan pemimpin mereka dan tepat seperti yang kuduga, akhirnya dia muncul dan barulah aku membebaskan diri untuk menghantam mereka."

   "Sebetulnya dari manakah datangnya gerombolan itu? Apakah mereka itu para anggauta dari perkumpulan sesat yang lebih besar?"

   "Ah, kurasa tidak, Kong-ko. Mereka itu hanya gerombolan perampok biasa yang menemukan terowongan bawah tanah itu untuk menakut-nakuti penghuni dusun-dusun yang masih bodoh. Dengan cara demikian mereka dapat mengumpulkan perhiasan dan juga gadis-gadis gunung dengan mudah, bahkan tanpa kekerasan. Mereka adalah manusia-manusia kejam yang sudah sepatutnya dibasmi dari permukaan bumi. Mereka tadi merasa enak dibebaskan begitu saja."

   Kalimat terakhir ini diucapkan Hui Lan dengan nada menegur.

   "Gerombolan seperti itu biasanya hanya mengekor saja perbuatan pemimpin mereka. Kepala penjahat telah terbunuh oleh orang-orang dusun, dan anak buah penjahat itu pun sudah mendapat hajaran keras. Kukira mereka akan menyadari kejahatan mereka dan akan mengubah cara hidup mereka."

   Hui Lan tidak membantah lagi. Watak pemuda itu seperti watak Ayahnya, mudah memaafkan dan tidak suka sembarangan membunuh orang. Tidak seperti watak ibunya yang keras dan bertindak tegas terhadap para penjahat sehingga setiap mirud Cin-ling-pai juga memiliki watak seperti itu. Keras tidak mengenal ampun terhadap orang-orang jahat. Wataknya sendiri berada di tengah-tengah antara watak Ayahnya yang pengampun dan watak Ayahnya yang pengampun dan watak ibunya yang tidak mengenal ampun.

   "Kalau boleh aku mengetahui, sebenarnya engkau hendak pergi kemana, Lan-moi?"

   Tanya Si Kong mengalihkan pembicaraan.

   "Aku hendak pergi ke Kwi-liong-san,"

   Kata Hui Lan berterus terang. Si Kong memandang dengan wajah berseri.

   "Pek-lui-kiam...?"

   Hui Lan juga tercengang.

   "Eh, engkau juga mengetahui?"

   "Siapa yang tidak tahu tentang pedang pusaka itu, Lan-moi. Aku bahkan dimintai tolong oleh puteri pendekar Tan Tiong Bu untuk membantunya mencari pembunuh Ayahnya."

   "Hemm, kau maksudkan Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san?"

   Si Kong mengangguk.

   "Agaknya engkau tahu lebih banyak tentang Ang I Sianjin, Lan-moi."

   "Tahu lebih banyak juga tidak. Aku hanya mendengar bahwa pendekar Tan Tiong Bu terbunuh oleh seorang kakek berjubah merah dan menurut dugaan orang pembunuh dan pencuri pedang itu adalah Ang I Sianjin."

   "Engkau hendak merampas Pek-lui-kian, Lan-moi?"

   "Kalau memang benar Ang I Sianjin pencurinya, tentu aku akan mencoba untuk merampasnya. Nama Kwi-jiauw-pang sudah tersohor di empat penjuru sebagai perkumpulan sesat yang kejam. Kalau dibiarkan Ang I Sianjin memiliki Pek-lui-kiam, tentu dia akan menjadi lebih kejam dan sewenang-wenang. Akan tetapi kalau pedang itu berada di tangan pendekar budiman, akupun tidak akan mengganggunya. Dan engkau sendiri hendak kemana, Kong-ko?"

   "Sama dengan engkau, Lan-moi. Sudah kukatakan tadi bahwa aku hendak membantu puteri mendiang Tan Tiong Bu untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Kalau berhasil tentu akan kuserahkan kepadanya yang berhak sebagai pewaris pedang milik Ayahnya."

   "Tidak perlukah untuk menyelidiki dulu dari mana Tan Tiong Bu mendapatkan pedang itu? Aku mendengar bahwa pembuat pedang Pek-lui-kiam adalah seorang sakti berjuluk Pek-sim Lo-sian (Dewa Tua Berhati Putih). Karena itu patut diselidiki bagaimana pedang pusaka itu dapat jatuh ke tangan pendekar Tan Tiong Bu."

   Si Kong tertegun dan mengangguk-angguk.

   "Kalau demikian persoalannya, memang engkau benar. Tadinya aku mengira bahwa pedang pusaka memang milik yang sah dari mendiang pendekar Tan Tiong Bu. Kalau begitu, apakah engkau berkeberatan melakukan perjalanan ke Kwi-liong-san bersama aku, Lan-moi?"

   Hui Lan menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik. Dia belum mengenal benar pemuda ini, akan tetapi dia adalah murid kakek-buyutnya yang setia dan berbakti. Ia akan melihat bagaimana sikap Si Kong selanjutnya kalau mereka melakukan perjalanan bersama. Kalau sikapnya tidak menyenangkan, mudah saja menghentikan perjalanan bersama itu untuk berpisah dan mengambil jalan sendiri. Sebaliknya kalau sikapnya sopan dan menyenangkan, apa salahnya melakukan perjalanan? Sebagai murid kakek-buyutnya, Si Kong dapat dikatakan sebagai "orang sendiri". Hui Lan tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Tentu saja aku tidak keberatan. Bukankah tujuan kita sama? Bahkan kita dapat bekerja sama dalam penyelidikan kita terhadap Ang I Sianjin."

   Si Kong merasa girang sekali. Mereka lalu melakukan perjalanan bersama dan di sepanjang jalan, Si Kong termenung. Dia teringat kepada Siangkoan Cu Yin! Gadis puteri datuk Lam Tok itu membujuknya untuk melakukan perjalanan bersama, akan tetapi dia menolaknya dan kini dia malah ingin melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain! Akan tetapi, Hui Lan tidak dapat disamakan dengan Cu Yin.

   Gadis ini puteri sepasang pendekar yang kenamaan dan sikapnya gagah dan lembut. Sedangkan Cu Yin sama sekali berbeda. Gadis yang suka menyamar sebagai pria itu nakal, suka mengganggu orang, dan terutama sekali membuat dia tidak suka melakukan perjalanan bersama adalah pengakuan Cu Yin bahwa gadis itu mencintainya! Andaikan Cu Yin masih menyamar sebagai pria, dia akan senang sekali melakukan perjalanan dengannya. Akan tetapi melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang mencintainya, padahal dia sendiri belum pernah mencinta gadis manapun juga, tentu akan sangat mengganggu kedamaian hatinya. Belum jauh Si Kong melakukan perjalanan bersama Hui Lan pada hari itu, senja telah datang dan matahari sudah tidak nampak, hanya sinarnya yang lemah masih memungkinkan mereka melakukan perjalanan.

   "Wah kita akan kemalaman di jalan kalau tidak dapat menemukan sebuah dusun, Kong-ko."

   "Biar kuselidiki apakah ada dusun disekitar tempat ini,"

   Kata Si Kong dan dia lalu melompat ke pohon besar lalu memanjat ke atas. Dari atas pohon itu dia memandang ke empat penjuru. Akan tetapi, yang nampak hanya warna hijau gelap dari puncak-puncak pohon. Di empat penjuru yang ada hanya hutan, tidak nampak adanya rumah orang! Diapun melompat turun kembali.

   "Sama sekali tidak nampak ada rumah orang disekitar sini, Lan-moi. Agaknya kita akan kemalaman di tengah hutan. Akan tetapi di bagian selatan nampak ada lapangan rumput yang terbuka, agaknya disana kita dapat melewatkan malam lebih menyenangkan daripada di dalam hutan."

   Hui Lan mengangguk.

   "Kalau begitu kita pergi ke selatan, ke lapangan rumput itu, Kong-ko."

   Mereka lalu melakukan perjalanan cepat ke selatan karena sebentar lagi bumi akan diselimuti kegelapan dan melakukan perjalanan tidak mungkin lagi. Tak lama kemudian, tibalah mereka di sebuah lapangan rumput yang terbuka, tepat pada saat malam tiba dan marga satwa mulai memperdengarkan suara puja puji terhadap Yang Maha Kuasa.

   "Tempat ini cukup menyenangkan,"

   Kata Hui Lan dan hati Si Kong menjadi lega. Tadinya dia khawatir kalau Hui Lan merasa kecewa dan tidak senang karena mereka terpaksa harus melewatkan malam di situ.

   "Memang lebih enak daripada di tengah hutan. Rumputnya bersih, seperti permadani hijau digelar luas. Aku akan membuat api unggun, Lan-moi."

   Si Kong lalu cepat pergi ke hutan di sebelah, mengumpulkan ranting kering. Biarpun cuaca sudah mulai gelap, dapat juga dia memperoleh ranting dan daun kering yang banyak. Dia lalu membuat api unggun dan setelah api unggun bernyala besar, mereka berdua merasa gembira sekali. Suasana menjadi demikian indah di tempat itu.

   Asap api unggun mengusir nyamuk, dan panasnya api unggun mengusir kedinginan hawa udara yang tentu akan sangat mengganggu mereka yang melewatkan malam di tempat terbuka seperti itu. Masih untung bagi mereka bahwa malam itu tidak ada angin besar. Mungkin karena di sekeliling tempat itu tumbuh pohon-pohon besar yang merupakan dinding hijau yang menahan tiupan angin sehingga di lapangan itu angin hanya bertiup semilir saja. Kalau mereka berdongak memandang ke atas, nampak pemandangan yang luar biasa indahnya. Bersama tenggelamnya matahari, bermunculan bintang-bintang di langit. Tidak ada awan menghalangi sehingga bintang-bintang berlatar belakang langit hitam itu seperti ratna mutu manikam di taburkan di atas beledu hitam. Bintang-bintang gemerlapan, ada yang berkedap-kedip seperti mata bidadari memberi isarat yang mesra kepada mereka! Suasana sungguh romantis sekali.

   Kini tempat itu penuh dengan suara marga satwa yang beraneka ragam, akan tetapi suara itu sama sekali tidak mendatangkan kebisingan. Sebaliknya malah, suara itu mengandung irama yang mendatangkan suasana hening penuh rahasia. Mereka duduk di atas rumput menghadapi api unggun. Mereka dapat saling pandang melalui atas lidah api yang menjilat-jilat, dan muka mereka nampak aneh sekali, berwarna merah dan bergoyang-goyang karena lidah api itu menari-nari dan cahayanya menerangi wajah mereka. Tiba-tiba Si Kong menyadari keadaan ketika dia merasa perutnya bergerak. Lapar! Baru dia teringat bahwa sejak siang tadi mereka belum makan dan rasa lapar mulai menggerogoti perutnya. Hatinya menjadi bingung dan menyesal mengapa tidak membawa bekal makanan di malam itu. Tempat minumnya juga hanya terisi air saja!

   "Lan-moi, menyesal sekali aku tidak membawa bekal apa-apa. Engkau tentu sudah lapar seperti juga aku."

   Hui Lan memandang kepadanya dari balik api unggun dan gadis itu tersenyum, lalu meraih buntalan pakaiannya yang diletakkan didekatnya.

   "Jangan khawatir, Kong-ko. aku masih ada bekal roti dan daging kering. Akan tetapi air minumku sudah habis."

   "Ah, aku masih mempunyai air minum, Lan-moi!"

   Kata Si Kong dengan gembira. Mereka membuka buntalan masing-masing. Hui Lan mengeluarkan bungkusan roti dan daging asin, sedangkan Si Kong mengeluarkan tempat air minumnya. Setelah bungkusan di buka, ternyata persediaan roti dan daging asin masih cukup banyak untuk mereka berdua.

   "Cuaca begini indah, hawa udara begini hangat, perut begini lapar, roti kering dan daging asin merupakan hidangan yang lezat!"

   Kata Si Kong dan merekapun mulai makan. Hui Lan juga merasa heran kepada dirinya sendiri. Biasanya, makan roti dan daging asin amat membosankan. Terpaksa ia harus membawa bekal makanan seperti itu karena hanya roti kering dan daging asin dapat bertahan berhari-hari. Makanan seperti membuat ia merasa bosan kalau terpaksa harus memakannya karena ia tiba di tempat yang jauh dari dusun atau kota. Akan tetapi malam ini, makanan roti kering dan ikan asin terasa lezat bukan main! Makan roti kering dan daging asin mendatangkan haus. Si Kong lalu memberikan tempat airnya kepada Hui Lan.

   "Aku tidak mempunyai cawan atau cangkir, minum saja dari mulut guci air itu,"

   Katanya kepada Hui Lan.

   "Aku mempunyai sebuah cawan,"

   Kata Hui Lan mengeluarkan cawan perak itu dari buntalannya. Ia menuangkan air dari guci itu ke dalam cawan, lalu meminumnya. Bahkan air biasa itu terasa segar dan melegakan!

   "Boleh aku meminjam cawan itu, Lan-moi?"

   "Tentu saja,"

   Hui Lan menyerahkan cawan yang sudah kosong itu dan Si Kong menuangkan air ke dalam cawan lalu meminumnya. Hui Lan memandang dengan kedua pipinya berubah kemerahan. Akan tetapi hal ini tidak nampak oleh Si Kong karena sinar api unggun memang membuat wajah itu sudah kemerahan. Hui Lan merasa sungkan karena Si Kong menggunakan cawan yang bekas diminumnya itu. Akan tetapi karena Si Kong bersikap biasa saja, maka rasa sungkan itu perlahan-lahan lenyap kembali.

   "Kong-ko, sekarang ceritakanlah pengalamanmu sampai engkau menjadi murid kakek buyut Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah."

   Kata Hui Lan setelah selesai makan dan minum.

   "Malam baru saja tiba, masih terlalu sore untuk tidur, maka aku akan senang sekali mendengar riwayatmu sejak engkau kecil."

   Si Kong menarik napas panjang.

   "Pengalamanku sejak kecil penuh dengan duka, tidak menarik untuk diceritakan, Lan-moi."

   "Ah, justeru pengalaman yang penuh duka itu yang menarik dan selalu menjadi kenangan, sedangkan pengalaman yang penuh suka mudah dilupakan. Ceritakanlah, Kong-ko, aku suka mendengarkan."

   Hening sejenak ketika Si Kong mengumpulkan ingatannya, mengenang kembali semua pengalamannya sejak kecil yang pantas untuk diceritakan kepada gadis itu.

   "Aku dilahirkan di dusun Ki-ceng. Orang tuaku adalah petani yang amat miskin. Musim kering yang berkepanjangan membuat keadaan kami lebih payah lagi. Apalagi yang harus kami makan? Dan Ayahku terpaksa menyerahkan enciku kepada Hartawan Lui untuk menyambung nyawa kami sekeluarga. Enciku menjadi selir hartawan itu, akan tetapi ia seperti dipenjara, tidak pernah dapat menjenguk atau menolong kami sekeluarga. Karena kelaparan hampir melumpuhkan kami, kakakku Si Leng nekat memanjat pagar tembok rumah Hartawan Lui untuk mencari engci Kiok Hwa agar enciku dapat membantu. Akan tetapi dia ketahuan tukang-tukang pukul hartawan itu dan dia dipukuli sampai mati."

   Si Kong berhenti sebentar untuk mengambil napas panjang. Kenangan akan semua itu mendatangkan perasaan duka di dalam hatinya.

   "Menyedihkan sekali, Kong-ko. Ketika hal itu terjadi, berapakah usiamu?"

   "Aku baru berusia sepuluh tahun, hanya dapat membantu Ayah di sawah, akan tetapi dengan adanya musim kering seperti itu, apa yang dapat dilakukan para petani miskin?"

   "Aku dapat mengerti, Kong-ko, lalu bagaimana kelanjutan ceritamu?"

   "Agaknya Tuhan belum menghentikan cobaan yang menimpa diriku. Dusun kami dilanda wabah penyakit yang amat ganas. Sore sakit, pagi mati dan pagi sakit sore mati. Keluarga kami yang tinggal Ayah ibu dan aku seorang, tidak luput dari amukan wabah penyakit itu. Ayah dan ibu terkena dan mereka meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan."

   "Ahhh...!"

   Tanpa disadarinya kedua mata Hui Lan menjadi basah ketika ia memandang kepada Si Kong penuh rasa haru dan iba. Si Kong menarik napas panjang beberapa kali untuk menekan perasaan dukanya, kemudian dia melanjutkan ceritanya dan suaranya sudah terdengar tenang.

   "Kami mengubur jenazah Ayah dan ibu. Ketika semua orang pulang aku tinggal sendiri di dekat makam. Habis sudah semuanya, tidak ada yang tertinggal lagi. Ayah ibu dan saudaraku telah meninggal. Yang ada hanya enci Kiok Hwa, akan tetapi ia terkurung di rumah gedung sehingga kematian Ayah ibu pun tidak terdengar olehnya. Sawah dan rumah sudah di jual untuk biaya pemakaman Ayah dan ibu. Karena sedih dan kelaparan, ditambah di timpa hujan lebat malam itu, tidak terasa olehku aku roboh pingsan di makam Ayah dan ibu."

   "Ah, kasihan kau... Kong-ko... !"

   Kini dari kedua mata Hui Lan jatuh menetes dua butir air mata di atas pipinya.

   "Agaknya Tuhan menaruh kasihan kepadaku. Pada keesokan paginya guruku yang pertama menemukan aku menggeletak pingsan di makam itu. Guruku yang pertama itu adalah Yok-sian Lo-kai. Setelah menolongku, suhu lalu menolong para penduduk dusun yang dilanda wabah penyakit, dan memberi tahu bagaimana cara mengobati orang-orang yang terkena wabah. Bukan itu saja, suhu lalu mengunjungi para hartawan, merobohkan semua tukang pukulnya dan menasihati para hartawan sambil mengancam agar para hartawan tidak bersikap pelit dan masa bodoh terhadap kemiskinan para petani dan suka membantu mereka agar tidak sampai kelaparan."

   "Aku sudah mendengar dari Ayah ibuku tentang Yok-sian Lo-kai yang sakti dan budiman itu,"

   Kata Hui Lan sambil mengusap pipinya yang basah.

   "Semenjak itu engkau menjadi murid Yok-sian Lo-kai?"

   "Benar, aku dilatih ilmu silat dan suhu juga mengajarkan cara pengobatan sambil merantau sampai lima tahun lamanya. Dalam perantauan itu, kami berdua bertemu dengan Tung-hai Liong-ong."

   "Hemm, majikan Pulau Tembaga yang terkenal sebagai datuk sesat itu?"

   "Benar, suhu bentrok dengan Tung-hai Liong-ong ketika suhu membela Hek I Kaipang, dan mereka bertanding. Tung-hai Liong-ong dapat dikalahkan dan terusir pergi, akan tetapi suhu sendiri menderit luka parah yang beracun. Suhu ingin menyendiri dan beliau meninggalkan aku agar hidup seorang diri. ketika itu usiaku sudah lima belas tahun. Walaupun aku sedih dan kecewa ditinggalkan suhu, akan tetapi aku tidak putus harapan dan melanjutkan hidupku dengan bekerja sebagai kuli atau buruh kasar. Biarpun aku dapat membaca dan menulis berkat ajaran Yok-sian Lo-kai, akan tetapi aku tidak mempunyai pengalaman. Dengan uang hasil kerjaku, aku membeli pakaian, tidak lagi berpakaian pengemis seperti ketika aku ikut suhu Yok-sian Lo-kai."

   "Ceritamu menarik sekali, Kong-ko. Lanjutkanlah."

   "Apakah engkau tidak lelah dan mengaso?"

   "Malam belum larut dan aku tidak mengantuk. Teruskan ceritamu, Kong-ko. pengalamanmu menarik sekali!"

   Si Kong tersenyum. Tentu saja dia hanya dapat menceritakan hal-hal yang penting saja.

   "Pada suatu hari, secara kebetulan aku bertemu dengan guruku yang kedua."

   "Siapakah dia, Kong-ko?"

   "Dia adalah seorang sastrawan she Kwa, suka disebut Kwa Siucai (Sastrawan Kwa) atau juga di sebut Penyair Gila."

   "Ah, aku pernah mendengar tentang Penyair Gila itu dari Ayah. Kata Ayah, biarpun disebut Penyair Gila, sebetulnya dia sama sekali tidak gila dan dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali."

   "Kepandaian manusia itu terbatas, Lan-moi. Bagaimana bisa tinggi sekali? Malam hari itu aku, mengikuti Kwa Siucai merantau. Suhuku yang kedua ini berbeda dengan suhuku yang pertama. Kalau Lok-sian Lo-kai lebih suka mengemis daripada mencuri, sebaliknya Kwa Siucai lebih suka mencuri harta para hartawan yang terkenal pelit, lalu membagikan hasil curiannya itu dan menyimpan sebagian kecil untuk biaya hidup kami. Aku belajar ilmu kepadanya selama dua tahun dan tiba-tiba saja guruku yang kedua inipun meninggalkan aku karena ingin mengundurkan diri dan menjadi pertapa."

   "Wah, dalam usia tujuh belas tahun engkau telah menjadi murid dua orang guru yang sakti. Nasibmu baik sekali, Kong-ko. apalagi setelah itu engkau diambil murid kong-couw (kakek buyut). Bagaimana ceritanya sampai engkau dapat menjadi murid kong-couw, Kong-ko?"

   "Peristiwa itu terjadi di Bukit Iblis. Karena aku mengintai pertandingan antara tokoh-tokoh sesat, aku ketahuan oleh pemenang pertandingan itu, yaitu Twa Ok dan Ji Ok."

   "Ah, dua orang datuk besar golongan sesat dari Barat itu? Ayah pernah menceritakan tentang mereka."

   "Benar, mereka adalah dua orang datuk besar yang kejam sekali. Mereka lalu berlumba untuk membunuhku! Melawan seorang saja dari mereka aku tidak akan menang, apalagi mereka maju berbareng untuk membunuhku. Pada saat yang amat gawat itu muncullah suhuku yang ketiga, yaitu Ceng Lo-jin. Beliau menandingi dua orang datuk itu, mengalahkan mereka sehingga mereka melarikan diri. semenjak saat itu, aku diambil murid dan diajak ke Pulau Teratai Merah dan selama tiga tahun aku diajar ilmu-ilmu yang amat sulit oleh suhu."

   "Dan dua orang datuk itu bersama Bu-tek Ngo-sian datang ke Pulau Teratai Merah untuk menantang Kong-couw?"

   Tanya Hui Lan. Si Kong menarik napas panjang.

   "Benar, dan aku merasa menyesal sekali bawha suhu walaupun dapat mengusir mereka, telah mempergunakan terlampau banyak tenaga sehingga terluka dalam pula. Aku merasa menyesal mengapa suhu melarangku untuk membantunya ketika dikeroyok tujuh orang yang lihai."

   "Tidak perlu disesalkan lagi, Kong-ko. Mungkin kong-couw merasa malu kalau harus minta bantuan muridnya, dan kenyataannya dia memang dapat mengusir tujuh orang musuhnya. Ah, kalau saja aku dapat bertemu dengan Toa Ok, dan Ji Ok dan kelima Bu-tek Ngo-sian, tentu akan kutantang dan kuhadapi mereka!"

   "Kuharap engkau menyadari benar bahwa balas membalas dan dendam mendendam adalah ulah napsu yang amat membahayakan diri sendiri, Lan-moi. Kalau kelak aku berhadapan sebagai musuh tujuh orang itu, maka tentu bukan karena hendak membalas dendam, melainkan karena mereka melakukan perbuatan jahat yang harus kutentang. Tentu hal ini sudah engkau ketahui dari Ayah ibumu."

   Hui Lan mengangguk.

   "Memang, Ayah selalu mengatakan demikian, akan tetapi kalau aku ingat betapa Kong-couw yang usianya sudah amat tua itu mereka keroyok, hatiku menjadi panas sekali."

   "Hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin, Lan-moi, karena segala tindakan kita diatur oleh pikiran dalam kepala kita. Nah, aku sudah menceritakan semua, sekarang harap engkau mengaso. Sudah kutaburi dengan rumput kering di sana, dapat kau pakai untuk tidur."

   "Dan engkau sendiri?"

   "Biarlah aku yang menjaga agar api unggun tidak sampai padam."

   "Aih, bagaimana aku dapat tidur kalau begitu? Akui tidur nyenyak dan engkau berjaga seorang diri di sini? Biarlah engkau saja yang mengaso dan tidur, aku yang menjaga api unggun."

   "Engkau menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak mungkin, Lan-moi! Semua orang akan mentertawakan aku kalau mendengar bahwa aku menyuruh seorang gadis berjaga malam sedangkan aku sendiri tidur mendengkur! Sudah sepantasnya kalau aku sebagai laki-laki mengalah. Tidurlah dan aku dengan senang hati akan menjaga api unggun ini agar tidak padam."

   "Baiklah, Kong-ko. Akan tetapi kau harus berjanji akan membangunkan aku setelah lewat tengah malam agar aku dapat menggantikan engkau berjaga."

   "Baik, Lan-moi."

   Hui Lan meratakan daun kering yang menutupi rumput basah, kemudian membaringkan tubuhnya membelakangi Si Kong dan api unggun. Karena ia memang sudah lelah sekali, maka sebentar saja ia sudah tidur. Si Kong mengetahui bahwa gadis itu telah tidur pulas. Pernapasan gadis itu panjang dan lembut, tanda bahwa ia sudah tidur. Kini dengan leluasa Si Kong dapat memandangi gadis itu. Wajahnya tidak nampak karena ia membelakangi api unggun, akan tetapi ia dapat melihat kulit tengkuk yang putih mulus itu, dan melihat bentuk tubuh yang ramping dan padat itu. Alangkah cantiknya ia, sukar mendapatkan gadis secantik Hui Lan, demikian dia mendengar bisikan di telinganya.

   "Lihat betapa montok pinggulnya, dan betapa halus mulus kulit lehernya. Pinggangnya demikian ramping, jari-jari tangannya demikian mungil,"

   Bisikan itu melanjutkan.

   "Akan tetapi sungguh tidak sopan memandangi tubuh seorang gadis yang sedang tidur!"

   Suara lain dari hatinya mencela suara yang datang dari kepala itu."

   "Hah, apanya yang tidak sopan? Sudah jamak laki-laki memperhatikan dan mengagumi perempuan, dan di sini tidak ada siapa-siapa lagi, tidak ada yang melihatnya. Mungkin ia pun tertarik kepadamu. Sinar matanya begitu lembut kalau memandangmu, dan bibirnya... ahhh, bukankah bibir itu menantangmu untuk kau cium"?"

   Suara kepala membujuk.

   "Keparat! Kau sungguh tidak tahu malu! Dimana kesopananmu? Dimana kegagahanmu? Usirlah keinginan yang bukan-bukan dari pikiranmu!"

   Suara hatinya membentak. Pikirannya mentertawakannya.

   "Jangan pura-pura alim! Sejak tadi engkau sudah ingin mencumbunya. Kalian hanya berdua saja di tempat yang sunyi ini. Hanya kalian berdua! Dan lupakah engkau betapa mancung hidung itu, betapa bibir itu merah segar dan selalu mengharapkan cumbuan darimu?"

   Bisikan itu sayu-sayu saja dan seolah terdengar dibelakang kepalanya.

   "Iblis!"

   Tiba-tiba dia memutar tubuhnya.

   "Desss...!"

   Batang pohon yang berada dibelakangnya itu terkena pukulannya dan runtuhlah semua daun kering dan setengah kering.

   "Pergi kau, iblis!"

   Si Kong merasa betapa kepalanya berdenyut dan panas. Dia harus dapat menentang dan mengusir bisikan iblis, napsunya sendiri itu. Dia termenung dan teringat akan wejangan dari guru-gurunya.

   "Napsu itu sifatnya seperti api,"

   
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikian kata Si Penyair Gila.

   "Kalau dapat dikendalikan dia akan menjadi pembantu yang bermanfaat sekali bagi kehidupan, bahkan tanpa api orang akan hidup tidak normal. Akan tetapi sekali engkau membiarkan dia merajalela dia akan membakar seluruh hutan dengan lahapnya!"

   Si Kong mengerti bahwa yang berbisik tadi adalah nafsu yang memenuhi pikirannya dengan bayangan-bayangan yang menyenangkan sedangkan yang membantah dan mengingatkannya adalah jiwanya yang murni. Dia teringat akan ujar-ujar dari Nabi Khong-cu dalam kitab Tiong Yong dan diapun berbisik lirih mengulang ujar-ujar itu.

   Hi Nouw Ai Lok Ci Bi Hoat,
Wi Ci Tiong.
Hwat Ji Kai Tiong Ciat,
Wi Ci Ho.
Tiong Ya Cia,
Thian He Ci Tai Pun Ya.
Ho Ya Cia,
Thian He Ci Tat To Ya.

   "Sebelum timbul rasa senang, marah, duka dan suka, maka hati, akal pikiran berada dalam Keadaan Seimbang. Apabila dapat mengendalikan bermacam perasaan itu, hati, akal pikiran berada Keadaan Selaras. Keadaan Seimbang itu adalah Pokok Terbesar dari dunia. Sedangkan Keadaan Selaras adalah Jalan Utama dari dunia."

   Si Kong termenung dan mencoba untuk menguraikan ujar-ujar itu. Perasaan susah, senang, marah, benci dan sebagainya adalah ulah nafsu. Kalau seseorang belum dikuasai nafsu-nafsu ini, maka dia adalah seorang yang berimbang atau lurus, tidak miring. Akan tetapi begitu nafsu menguasainya dan perasaan-perasaan itu memasukinya, maka pertimbangannya menjadi miring. Manusia menjadi jahat kalau sudah dikuasai nafsu. Akan tetapi kalau dia dapat mengendalikannya, maka diapun akan tetap menjadi majikan dari nafsunya dan keadaannya menjadi selaras. Nafsu telah berada dalam diri manusia sejak dia lahir di dunia. Nafsu inilah yang membuat manusia dapat hidup di dunia. Nafsu inilah yang membuat manusia hidup seperti sekarang ini, memperoleh kemajuan, ada gairah hidup dan semangat.

   Nafsu menjadi peserta manusia yang teramat penting sehingga manusia dapat hidup di dunia dengan bahagia. Nafsu menjadi hamba yang amat baik. Akan tetapi jangan sekali-kali membiarkan nafsu merajalela. Kalau begitu halnya, nafsu memperbudak kita, membelenggu kita dan membuat kita menuruti segala kehendaknya. Nafsu akan menjadi majikan dan kalau dia menjadi majikan, dia menjadi majikan yang menyeret kita ke dalam kehancuran. Si Kong menghela napas panjang. Samar-samar dia masih dapat mendengar suara yang membujuknya tadi pergi sambil menyumpah-nyumpah. Untung jiwanya kuat, pikirnya. Kalau tidak, tentu dia akan menjadi budak nafsu dan menuruti semua bujukannya.

   Dia merasa ngeri! Kalau tadi dia membiarkan diri dicengkeram nafsu dan melakukan semua perbuatan keji terhadap Hui Lan, alangkah ngerinya itu, alangkah besar penyesalannya dan hebat akibatnya. Dia bergidik. Dia tadi sudah berada di mulut jurang. Dia harus berhati-hati. Inilah yang dikatakan para arif bijaksana bahwa musuh yang paling besar adalah nafsu-nafsunya sendiri yang berada di dalam diri. Dikatakan pula bahwa mengalahkan musuh adalah gagah, akan tetapi mengalahkan nafsunya sendiri adalah bijaksana! Si Kong teringat akan sajak yang amat disuka oleh Kwa Siucai, yang diambil dari Kitab To-tek-keng. Dengan lirih diapun bersenandung, seperti yang dilakukan oleh gurunya yang kedua, Si Penyair Gila.

   "Kata-kata yang jujur tidak bagus,
kata-kata yang bagus tidak jujur.
Si cerdik tidak membual,
si pembual tidak cerdik.
Orang yang tahu tidak sombong,
(Lanjut ke Jilid 14)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
orang yang sombong tidak tahu.
Orang suci tidak menyimpan,
dia menyumbang sehabis-habisnya,
akan tetapi makin menjadi kaya,
dia memberi sehabis-habisnya.
Jalan yang ditempuh Langit
menguntungkan, tidak merugikan.
Jalan yang ditempuh orang suci
memberi, tidak merebut."

   Malam semakin larut. Suasana hening sekali walaupun dalam keheningan itu penuh dengan suara-suara margasatwa, kadang-kadang diseling suara api membakar kayu kering, berkerotokan. Si Kong yang mengamati diri sendiri merasakan betapa bujukan seperti tadi tidak ada lagi, sedikitpun tidak ada bekasnya. Hal ini terjadi karena pikirannya sibuk dengan ujar-ujar tadi. Jadi jelaslah bahwa pikiran, ingatan, yang menjadi penggoda manusia. Segala perbuatan diawali dengan pemikiran yang bergelimang nafsu sehingga lahirlah perbuatan-perbuatan yang hanya mementingkan diri mencari kesenangan sendiri saja. Demi mencapai kesenangan yang dikehendaki, orang tidak segan melakukan segala macam kejahatan yang merugikan orang lain. Si Kong menghela napas dan menengadah.

   "Ya Tuhan, berilah kekuatan pada hamba untuk mengekang dan mengendalikan nafsu,"

   Dia berbisik lalu menyibukkan diri dengan menambah kayu bakar pada api unggun.

   Tanpa dirasakannya, malam telah larut dan hawa udara makin dingin menyusup tulang. Bahkan api unggun tidak cukup kuat untuk menghangatkan udara. Dia melihat betapa Hui Lan tidur miring dengan kedua kaki terlipat. Kasihan, pikir Si Kong, ia kedinginan. Dia lalu membuka buntalannya dan mengeluarkan sehelai kain lebar yang biasa dipakainya untuk melindungi tubuhnya dari serangan hawa dingin. Dengan perlahan-lahan dan hati-hati agar jangan membangunkan gadis yang sedang tidur nyenyak itu dia menyelimuti Hui Lan. Kemudian dia duduk kembali dekat api unggun. Kini dia duduk bersila dan memejamkan matanya. Mata dan tubuhnya perlu beristirahat, akan tetapi kepekaannya tetap menjaga. Sedikit suara saja akan terdengar olehnya dan akan membuatnya terjaga.

   Juga kalau api unggun mengecil, akan terasa olehnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Si Kong sudah bangun. Suara burung-burung yang berkicau riang gembira membangunkannya. Setelah menambah kayu bakar pada api unggun untuk menghangatkan hawa udara yang masih dingin sekali, dia lalu mencari sumber air di hutan terdekat. Akhirnya dia menemukan sumber air yang memancur dari celah-celah batu. Bukan main girang rasa hatinya. Cepat dia membersihkan tubuhnya dan dengan wajah dan rambut masih basah dan meneteskan air, dia kembali ke padang rumput. Ternyata Hui Lan sudah bangun. Bajunya agak kusut dan rambutnya awut-awutan, sebagian gelung rambutnya terlepas. Si Kong memandang dan terpesona. Dalam keadaan bangun tidur seperti itu, Hui Lan nampak lebih menarik!

   "Ah, engkau sudah bangun, Lan-moi?"

   "Kong-ko, ini kepunyaanmukah?"

   Ia mengambil selimut yang sudah dilipatnya dengan baik. Si Kong hanya mengangguk dan menerima selimut itu ketika gadis itu menyodorkannya.

   "Kong-ko engkau tidak membangunkan aku, bahkan menyelimutiku. Aku enak-enak tidur semalam suntuk dan kau berjaga sampai pagi! Sungguh engkau membuat aku merasa malu. Kenapa engkau tidak menggugahku untuk menggantikanmu berjaga?"

   "Aku tidak tega menggugahmu, Lan-moi. Dan pula, akupun sudah beristirahat. Bahkan aku telah membersihkan badan di sumber air di hutan itu."

   Dia menunjuk ke kanan.

   "Disana ada pohon yang tertinggi. Nah, disamping pohon itu terdapat batu-batu besar dan sumber air itu memancur keluar dari celah-celah batu besar."

   "Ah, baik sekali! Biar aku membersihkan badan dan berganti pakaian."

   Hui Lan lalu mengambil satu setel pakaian dan berlari kecil menuju ke hutan yang ditunjuk oleh Si Kong. Si Kong memandang dan tersenyum. Alangkah indahnya pagi ini. Kicau burung menggantikan suara marga satwa yang sudah tidak berbunyi lagi. Kicau burung yang amat meriah dan terdengar merdu sekali. Jarang Si Kong merasakan pagi secerah dan seindah ini. Ada rasa bahagia menyelinap di dalam hatinya. Begini bahagia dan nikmatnya hidup, dia termenung dan bangkit berdiri, menghirup napas yang panjang dan dalam sampai terasa hawa murni memasuki bawah pusar. Dia merasa tubuhnya demikian segarnya sehingga tanpa disadari dia telah berlatih silat!

   Dia mainkan delapan jurus Hok-liong-sin-ciang, mula-mula dengan lambat sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya, kemudian makin lama semakin cepat dan diapun mengubah ilmu silatnya, kini mainkan Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) dan tubuhnya sudah tidak kelihatan jelas lagi saking cepatnya dia bergerak. Hanya nampak bayangannya saja berkelebatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar. Setelah jurus terakhir dia mainkan dan kini tubuhnya tidak bergerak lagi dalam posisi kedua lengan rapat di tubuh dan kedua kaki sejajar tegak, jurus penutupan yang disebut jurus "Burung Walet Beristirahat"

   Tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara orang memuji dan bertepuk tangan. Si Kong seperti baru sadar dari mimpi. Ketika dia membalikkan tubuhnya, dia melihat Hui Lan sudah berdiri di depannya dan gadis ini bertepuk tangan memuji.

   "Bagus sekali ilmu silatmu tadi, Kong-ko. Begitu cepatnya gerakanmu!"

   Si Kong merasa terpesona. Hui Lan sudah mengenakan pakaian pengganti, rambutnya masih agak basah dan dibiarkan terjurai agar cepat kering, wajahnya yang tanpa bedak atau gincu itu nampak segar berseri, putih kemerahan. Dengan rambut terurai seperti itu, di bawah sinar matahari yang cerah, ia kelihatan seperti seorang Dewi dari Langit! Akan tetapi dia segera dapat menguasai dirinya, dan sambil tersenyum berkata merendah.

   "Ah, Lan-moi, betapa cepatpun gerakanku, masih tidak mampu menandingimu."

   "Pujianku tidak kosong belaka, Kong-ko. Ilmu silat tangan kosong yang kau latih tadi sungguh hebat gerakannya. Demikian cepatnya. Ilmu silat apakah itu, Kong-ko? Apakah engkau mempelajarinya dari kong-couw? Aku tahu bahwa kong-couw memiliki banyak ilmu silat yang luar biasa."

   "Bukan dari suhu Ceng Lo-jin, Lan-moi. Ilmu silat itu disebut Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) dan aku mempelajarinya dari Si Penyair Gila."

   "Ah, pantas aku belum pernah melihatnya. Engkau beruntung mendapatkan banyak guru yang sakti, Kong-ko. Aku percaya bahwa dari kong-couw engkau tentu telah mempelajari ilmu-ilmu yang langka dan lihai. Engkau tentu telah mempelajari ilmu simpanan kong-couw!"

   Dalam suara itu terkandung nada iri.

   "Aku hanya mempelajari dua macam ilmu dari suhu Ceng Lo-jin,"

   Kata Si Kong terus terang.

   "Ilmu apa sajakah yang kau pelajari dari Pulau Teratai Merah? Aku ingin sekali mengetahui, Kong-ko."

   "Hanya dua macam, yaitu Hok-liong Sin-ciang dan Thi-ki-i-beng."

   "Wah, dua macam ilmu yang paling sulit di dunia, kata nenekku. Bahkan nenek sendiri sebagai anak kakek buyut tidak diberi pelajaran Thi-ki-i-beng!"

   Seru Hui Lan dengan kagum sekali.

   "Dan kata ibuku, ilmu silat Hok-liong Sin-ciang merupakan ilmu yang sulit dipelajari."

   "Memang sesungguhnya begitu, Lan-moi. Ilmu silat itu hanya terdiri dari delapan jurus, akan tetapi untuk menguasai ilmu itu dengan baik, aku harus berlatih tekun selama dua tahun! Dan ternyata setiap jurus ilmu itu dapat dikembangkan menjadi puluhan macam gerakan, tergantung dari bakat dan naluri si murid."

   Hui Lan menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Wah, begitu sulit? Dan yang tadi kau mainkan kau peroleh dari Si Penyair Gila. Ilmu apa saja yang kau pelajari darinya, Kong-ko? atau, ini merupakan rahasia pribadi yang tidak boleh diketahui orang lain?"

   Si Kong tersenyum.

   "Terhadap orang lain memang aku harus merahasiakan, akan tetapi engkau bukan orang lain, malah cucu buyut suhu Ceng Lo-jin, maka aku berterus terang saja padamu. Dari Suhu Kwa Siucai itu aku mempelajari Yan-cu Hui-kun, ilmu silat yang tadi kumainkan dan ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng (Lari Terbang Diatas Bumi)."

   "Pantas ilmu meringankan tubuh yang kau kuasai demikian hebat. Dan dari Yok-sian Lo-kai, engkau mempelajari apa sajakah?"

   "Dari suhu Yok-sian Lo-kai aku mempelajari ilmu tongkat Taw-kauw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing), ilmu pengobatan dan juga ilmu mengemis."

   "Ilmu mengemis?"

   Tanya Hui Lan terbelalak heran dan geli.

   "Ya, ilmu mengemis. Mengemispun ada ilmunya, Lan-moi. Ada orang mengemis secara kasar dan menakut-nakuti. Adapula yang mengemis dengan cara berpura-pura buta, lumpuh dan sebagainya. Mengemis seperti itu tidak baik, membuat orang yang dimintai sumbangan menjadi kecewa atau marah. Ilmu mengemis adalah cara mengemis yang wajar, dilakukan karena terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan sehingga yang dimintai sumbangan merasa iba hati dan menolong sepenuh hati dan rela. Inilah yang kumaksudkan dengan ilmu mengemis."

   Hui Lan menggeleng-geleng kepalanya dan memandang kepada pemuda itu dengan kagum.

   "Wah, banyak sekali pengalaman hidup yang kau peroleh, disamping ilmu-ilmu yang tinggi. Sekarang aku hendak menguji ilmu-ilmu tadi, Kong-ko. engkau tidak berkeberatan memberi sedikit petunjuk kepadaku, bukan?"

   "Wah, aku mengaku kalah saja, Lan-moi. Aku tidak berani melawanmu."

   "Ini bukan pertandingan kalah atau menang, Kong-ko. Hanya untuk menguji ilmu masing-masing. Kalau engkau menolak kuanggap engkau memandang rendah kepadaku dan aku akan merasa kecewa dan marah kepadamu. Nah, pergunakanlah tongkatmu itu, aku ingin mencoba ilmu tongkatmu."

   "Kita tidak bertanding mengapa harus menggunakan senjata? Kalau engkau memaksa, marilah kita latihan sebentar dengan tangan kosong saja."

   "Hemm, bertangan kosong dan menggunakan senjata, apa bedanya? Kalau sudah menguasai ilmu dengan baik, senjata dapat ditahan sebelum mengenai tubuh lawan. Akan tetapi karena engkau menghendaki latihan dengan tangan kosong, baiklah. Marilah kita berlatih ilmu silat tangan kosong. Engkau pergunakanlah Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga) yang hebat itu, agar mataku terbuka dan pengetahuanku bertambah."

   "Baik, Lan-moi,"

   Kata Si Kong sambil berdiri tegak di depan gadis itu.

   "Awas, Kong-ko, aku mulai menyerangmu!"

   Gadis itu berseru dan tubuhnya sudah meloncat ke depan dan mengirim serangan yang cepat sekali dan pukulannya mendatangkan angin menderu! Si Kong terkejut dan kagum, maklum bahwa gadis itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, maka diapun tidak berani memandang rendah. Dia benar-benar bersilat dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang, mengelak dan mencari kesempatan untuk balas menyerang. Akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu berputar dan kedudukannya sudah beralih ke sebelah kiri Si Kong sambil menyerang lagi dengan pukulan tangan miring! Si Kong terpaksa menangkis dengan lengan kirinya.

   "Dukk!"

   Dua buah lengan bertemu dan Si Kong merasa betapa lengannya tergetar sedangkan Hui Lan juga terpaksa melangkah ke belakang karena tubuhnya terdorong hebat. Keduanya maklum bahwa tenaga sin-kang lawan amat kuat. Sebelum Si Kong dapat menemukan lowongan, kembali tubuh Hui Lan berkelebat ke kanan kiri, bahkan memutari dirinya, membuat Si Kong kagum sekali. Ternyata gadis ini menggunakan ilmu silat Ciu-sian Cap-pek-ciang (Silat Dewa Mabok Delapan belas Jurus) dan iapun menggunakan langkah ajaib Jiauw-pou Poan-san. Langkah kedua kakinya ini aneh sekali, akan tetapi amat membingungkan bagi lawan karena langkah-langkah yang berubah-ubah itu membuat tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri membingungkan.

   Si Kong merasa kagum bukan main dan diam-diam dia harus mengakui bahwa kalau dia tidak mahir ilmu Hok-liong Sin-ciang, tentu dia akan kalah. Biarpun ilmu tangan kosong Yan-cu Hui-kun yang amat cepat itupun akan sulit menghadapi ilmu silat gadis ini. Namun Hok-liong Sin-ciang adalah dasar ilmu-ilmu silat tinggi. Dengan tegap Si Kong mengatur langkahnya dan memainkan kedua lengannya sedemikian rupa sehingga Hui Lan tidak melihat lowongan untuk menyerang, seolah tubuh pemuda itu telah dilindungi oleh perisai baja yang menghalangi setiap pukulan lawan. Karena langkah-langkah gadis itu luar biasa dan membingungkan, Si Kong juga tidak tahu bagaimana mengalahkan gadis itu. Padahal, mereka sudah saling serang selama lima puluh jurus lebih. Daun-daun yang berdekatan terlepas dari tangkainya dan berguguran terkena hawa pukulan mereka.

   "Hemm, kalau aku mengalah, Lan-moi tentu akan mengetahuinya dan menganggap aku meremehkannya. Akan tetapi untuk mengalahkannya tanpa melukai, sungguh amat sukar,"

   Demikian pikir Si Kong dan tiba-tiba dia teringat akan ilmunya Thi-ki-i-beng. Hanya ilmu itulah yang kiranya akan dapat membantunya mengalahkan Hui Lan tanpa melukainya. Ketika sebuah pukulan Hui Lan menyambar ke arah lehernya, dia membuat gerakan miring dan sengaja membiarkan pundak terkena pukulan tangan miring itu.

   "Plakk!"

   Pukulan itu mengenai pundak dan tiba-tiba saja Hui Lan berseru kaget. Tangan kirinya yang memukul melekat pada pundak pemuda itu dan ia merasa betapa tenaga sin-kangnya menerobos keluar! Hui Lan mengerahkan tenaganya untuk melepaskan tangannya, namun makin kuat ia mengerahkan tenaga sin-kangnya, makin kuat pula pundak itu menyedot sin-kangnya. Tiba-tiba Si Kong melepaskan ilmunya dan berbareng mendorong tubuh gadis itu terlontar ke belakang. Hui Lan membuat gerakan jungkir balik empat kali yang indah sekali dan ia turun ke atas tanah dengan tegak.

   "Hebat bukan main caramu pok-sai (jungkir balik) itu, Lan-moi. Ternyata ginkangmu juga sudah mencapai tingkat tinggi."

   "Kong-ko, yang tadi itu, Thi-ki-i-beng?"

   Tanyanya kagum.

   "Benar, Lan-moi. Karena aku bingung bagaimana untuk dapat mengalahkanmu, maka aku terpaksa menggunakan Thi-ki-i-beng. Maafkan aku, Lan-moi."

   "Kenapa mesti minta maaf? Aku girang engkau menggunakan Thi-ki-i-beng sehingga aku mengenal kehebatannya. Padahal, kalau engkau tidak ragu dan banyak mengalah, dengan Hok-liong Sin-ciang itupun aku pasti kalah. Sekarang, agar aku merasa puas, pergunakan tongkatmu, Kong-ko. Aku akan menggunakan sepasang Hok-mo Siang-kiam!"

   Setelah berkata demikian, Hui Lan mencabut sepasang pedangnya dan dua sinar gemilang ketika sepasang pedang itu telah berada di kedua tangannya. Si Kong tidak dapat menolak lagi. Gadis itu bersikap jujur dan terus terang, dapat menerima kekalahannya dengan wajar. Dia mengambil tongkat bambunya dan melintangkan tongkat bambunya di depan dada.

   "Kong-ko,"

   Kata Hui Lan dengan nada suara ragu.

   "Engkau perlu mengetahui bahwa sepasang pedangku ini adalah Hok-mo Siang-kiam yang amat tajam dan kuat, mudah membuat patah pedang atau golok lawan. Sedangkan engkau hanya bersenjata tongkat bambu, ini tidak seimbang sama sekali. sekali bentur tongkatmu tentu akan patah."

   Si Kong tersenyum.

   "Jangan khawatir dan ragu, Lan-moi. Suhu Yok-sian Lo-kai tidak pernah menggunakan senjata lain kecuali tongkat bambu. Akan tetapi belum pernah tongkat bambunya dipatahkan senjata lawan. Aku akan berusaha agar tongkat bambuku ini tidak sampai patah oleh sepasang pedangmu."

   "Baik, Kong-ko. Awas seranganku!"

   Hui Lan mulai menggerakkan sepasang pedangnya. Demikian cepat gerakan pedang gadis ini sehingga bentuk pedang lenyap berubah menjadi dua gulung sinar kebiruan seperti sepasang naga bermain-main diangkasa.

   Ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam ini dahulu menjadi andalan Toan Kim Hong atau Lam Sin (Sakti dari Selatan) yang menjadi isteri kakek Ceng Thian Sin. Ilmu ini diwariskan kepada Ceng Sui Cin yang kemudian mewariskannya pula kepada anaknya, Cia Kui Hong yang kemudian menyerahkan pula kepada Tang Hui Lan. Nenek Toan Kim Hong yang memiliki sepasang pedang lalu mempersatukan ilmu-ilmu pedang yang dikenalnya, dirangkai dan diambil bagian terpenting dan terlihai sehingga ia memiliki ilmu pedang rangkaian sendiri yang diberi nama sama dengan pedangnya, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka jadilah ilmu pedang pasangan yang amat dahsyat seperti yang dimainkan Hui Lan sekarang ketika ia menyerang Si Kong. Si Kong terkejut dan mengelak dengan cepat. Dia kagum sekali ketika Hui Lan menyerangnya secara bertubi-tubi dengan kedua pedangnya.

   "Ilmu pedang yang hebat!"

   Dia berseru dan dia sudah memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung. Tubuhnya melesat ke sana-sini menyelinap diantara gulungan sinar pedang yang kebiruan itu. Biarpun ilmu tongkat ini hebat dan menjadi rajanya semua ilmu tongkat, akan tetapi kalau bukan Si Kong yang memainkannya, belum tentu akan dapat menandingi kehebatan Hok-mo Siang-kiam. Akan tetapi di tangan Si Kong, tongkat itu menjadi aneh sekali dan begitu diputar mengeluarkan angin dahsyat. Hebatnya, tongkat bambu itu berkali-kali membentur sepasang pedang dan sama sekali tidak menjadi patah atau putus! Dan terbentuklah gulungan sinar kuning kehijauan dari tongkat itu mengimbangi gulungan sinar sepasang pedang.

   Hampir seratus jurus berlalu tanpa ada yang nampak kalah atau menang. Ketika Si Kong kelihatan agak mengendur, Hui Lan menggunting dengan sepasang pedangnya ke arah pinggang Si Kong. serangan ini hebat sekali dan agaknya sekali ini Si Kong tidak akan dapat menghindarkan dirinya lagi. Akan tetapi, dengan ilmu Liok-te Hui-teng, tubuhnya melesat ke atas sehingga guntingan sepasang pedang itu luput dan pada saat itu Hui Lan merasa betapa rambut dikepalanya dijamah sesuatu dan seketika tali pengikat rambutnya yang belum digelung itu lepas dan rambutnya menjadi awut-awutan dan berkibar-kibar. Hui Lan cepat meloncat ke belakang. Ia melihat Si Kong sudah turun pula dan di ujung tongkatnya terdapat pita yang tadi mengikat rambutnya. Gadis itu memandang kagum. Tentu saja kalau pita rambutnya dapat diambil oleh tongkat Si Kong, berarti ia kalah. Mengambil pita rambut itu dapat saja diubah menjadi pukulan atau totokan pada kepalanya!

   "Ilmu tongkatmu juga hebat sekali, Kong-ko!"

   Kata Hui Lan kagum dan ia mengambil pita rambutnya dari ujung tongkat yang disodorkan Si Kong.

   "Ilmu pedangmu juga amat hebat. Terus terang saja belum pernah aku bertanding melawan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi darimu. Ilmu pedangmu membuat aku kewalahan dan kehabisan akal untuk mencari kemenangan. Baru setelah melihat pita rambutmu berkibar, aku mendapat akal dan ternyata berhasil menggunakan tongkat untuk mengambilnya,"

   Kata Si Kong sejujurnya.

   "Benarkah kata-katamu itu, Kong-ko?"

   Tanya Hui Lan yang kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri karena dikalahkan Si Kong.

   "Untuk apa aku berbohong? Apa yang kuucapkan keluar dari dalam hatiku, bukan untuk menyenangkanmu, Lan-moi."

   Hui Lan membereskan dan mengikat kembali rambutnya dengan pita.

   "Aku percaya padamu, Kong-ko dan ucapanmu itu melegakan hatiku. Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Kong-ko. Mudah-mudahan di depan ada dusun dan kedai makanan agar kita dapat sarapan."

   "Mari, Lan-moi. Akupun sudah siap."

   Pemuda dan gadis perkasa ini sama sekali tidak mengira bahwa tak jauh dari situ, dibelakang semak-semak, ada dua pasang mata mengamati dan dua pasang telinga mendengarkan percakapan mereka. Kenyataan bahwa disitu terdapat dua orang yang mengintai tanpa diketahui Hui Lan maupun Si Kong sudah menunjukkan bahwa dua orang itu berkepandaian tinggi. Mereka dapat membuat gerakan mereka tidak mengeluarkan suara.

   Ketika Si Kong dan Hui Lan pergi meninggalkan tempat itu, dua orang yang tadi mengintai itupun pergi dengan cepatnya. Bahkan mereka berlari cepat mendahului Si Kong dan Hui Lan yang sama sekali tidak tahu bahwa mereka diamati orang. Setelah matahari naik tinggi, Si Kong dan Hui Lan tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Mereka segera mencari penjual makanan dan mendapatkan sebuah kedai makanan dan minuman yang merupakan satu-satunya kedai makanan di dusun itu. Matahari telah naik tinggi dan kedai itu telah sepi tamu. Si Kong dan Hui Lan memasuki kedai, disambut oleh penjaga kedai yang hanya ada seorang saja tiu, seorang yang berusia empat puluh tahun lebih. Penjaga kedai itu bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang menderita suatu penyakit.

   "Selamat siang, tuan muda dan nona. Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak makan dan minum? Ji-wi memesan apakah?"

   "Jual makanan apa saja engkau?"

   Tanya Hui Lan.

   "Ada bakpau, roti gandum dan juga nona dapat memesan bakmi kuah."

   "Aku memesan bakmi kuah dan air teh hangat,"

   Kata Hui Lan.

   "Aku juga memesan yang sama,"

   Kata Si Kong.

   "Baik, harap ji-wi tunggu sebentar. Silakan duduk, saya akan mempersiapkan pesanan ji-wi."

   Penjaga kedai itu lalu masuk ke dalam, terus kedapur yang letaknya diruangan belakang. Di dapur itu duduk seorang pemuda dan seorang gadis, sedangkan di atas sebuah bangku panjang duduk seorang wanita dan seorang anak berusia sepuluh tahun, keduanya terikat pada bangku. Penjaga kedai memandang kepada pemuda dan gadis itu dengan muka ketakutan, lalu memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat itu.

   "Mereka memesan apa?"

   Tanya gadis cantik itu.

   "Me... memesan... Bakmi kuah dan air teh,"

   Jawab penjaga kedai dengan suara gemetar ketakutan.

   "Bagus, cepat buatkan bakmi kuah itu,"

   Kata pula si gadis itu. Si penjaga kedai cepat memasakkan bakmi kuah itu dan tak lama kemudian bakmi kuah telah matang. Gadis itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku pinggangnya, membuka bungkusan dan mengambil sedikit bubuk putih yang lalu dimasukkan ke dalam dua mangkuk bakmi kuah. Bakmi itu diaduk-aduk dengan sumpit lalu gadis itu berbisik,

   "Cepat hidangkan kepada mereka. Hati-hati kau, jangan sampai kedua orang itu curiga!"

   "Kalau engkau tidak memenuhi perintah, ingat, isteri dan anakmu akan kubunuh!"

   
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pemuda itu pun menghardik lirih. Penjaga kedai itu mengangguk-angguk, tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat dibangku dengan hati cemas, kemudian dia membawa dua mangkuk mi kuah dan sepocai air teh dan dua cangkir kosong. Setelah tiba di luar, dia menenangkan hatinya yang berdebar-debar. Ditaruhnya dua mangkuk mi kuah itu bersama poci teh dan dua cangkirnya ke atas meja di depan Si Kong dan Hui Lan. Sambil menahan agar suaranya tidak gemetar, dia berkata,

   "Silakan makan dan minum, kongcu dan siocia."

   Hui Lan memandang tajam wajah penjaga kedai itu.

   "Kenapa wajahmu demikian pucat dan suaramu gematar, paman? Apakah engkau sakit?"

   Penjaga kedai itu terkejut dan was-was, dia membungkuk dan menjawab,

   "Dalam beberapa hari ini memang badan saya masuk angin dan sakit-sakit, nona. Akan tetapi sudah saya belikan obat."

   Dia lalu kembali ke depan untuk menyambut kalau ada tamu memasuki kedainya. Akan tetapi matanya terus melihat ke arah pemuda dan gadis yang mulai makan mi kuahnya. Hatinya merasa gelisah sekali. Dia tidak tahu benda apa yang dimasukkan ke dalam mi kuah tadi, akan tetapi dia menduga bahwa perbuatan itu tentu tidak bermaksud baik. Pemuda dan gadis cantik yang berpakaian mewah itu telah menyandera isteri dan anaknya.

   Orang-orang seperti itu, betapapun taman dan cantiknya, tentu bukan orang baik-baik. Hatinya terasa lega bukan main melihat Si Kong dan Hui Lan menghabiskan bakmi mereka dan minum beberapa cangkir air teh. Tergopoh dia maju menghampiri ketika Si Kong minta agar guci tempat airnya diisi penuh dengan air jernih. Setelah mengisi guci itu dengan air jernih dan mengembalikannya kepada Si Kong, penjaga kedai itu dengan wajah gembira melihat dua orang tamunya tidak apa-apa, lalu memperhitungkan harga makanan dan minuman. Hui Lan membayar lalu ia dan Si Kong keluar dari kedai itu untuk melanjutkan perjalanan mereka. Sedikitpun mereka tidak menyangka buruk. Sementara itu, pemuda yang mengintai ke depan bersama gadis cantik itu mengerutkan alisnya.

   "Yin-moi, bagaimana sih kau ini? Racun bubuk putihmu sama sekali tidak mendatangkan hasil. Lihat mereka pergi dengan tenang!"

   Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau ia tersenyum. Seorang gadis cantik, rambutnya dihias emas permata, lengannya memakai gelang kemala, mengenakan anting-anting indah dan pakaiannya juga mewah. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin yang sudah kita kenal. Dahulu ia merantau dengan menyamar sebagai seorang pemuda pengemis yang usianya remaja dan memakai nama Siangkaon Ji. Seperti kita ketahui, gadis ini bertemu dengan Tio Gin Ciong putera Datuk Timur yang berjuluk Tung Giam-ong. Mereka menjadi sahabat dan melakukan perjalanan bersama menuju ke Kwi-liong-san untuk ikut merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam. Tanpa disengaja, kedua orang muda yang menunggang dua ekor kuda itu melihat Hui Lan dan Si Kong. Cu Yin yang merasa masih sakit hati kepada Si Kong yang menolak cintanya, bahkan tidak mau melakukan perjalanan bersamanya, tentu saja marah sekali melihat pemuda itu kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain.

   "Kita ambil jalan lain mendahului mereka ke dusun itu!"

   Kata Cu Yin yang segera membalapkan kudanya diikuti oleh Gin Ciong.

   "Tahan dulu, Yin-moi! Mereka itu siapa dan kenapa kita harus mendahului mereka?"

   "Diamlah dulu, Ciong-ko. Nanti saja kuceritakan. Sekarang, cepat balapkan kuda memasuki dusun di depan itu, mendahului mereka!"

   Mendengar bentakan ini, Gin Ciong hanya menggerakkan pundak dan membalapkan kudanya. Mereka mengikat kuda mereka di luar dusun, lalu memasuki dusun itu. Mereka mencari-cari dan melihat kedai makanan dan minuman di tepi jalan.

   "Sini Ciong-ko. Mereka tentu akan makan minum di sini. Mari, kita menyelinap dari belakang!"

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 14 Kumbang Penghisap Kembang Eps 12 Kumbang Penghisap Kembang Eps 4

Cari Blog Ini