Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 6


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Ketika majikan rumah penginapan itu tidak melihat benda-benda hiasan itu, dia menjadi marah dan memanggil para pelayan rumah penginapan. Semua pelayan menjadi ribut dan mencari-cari dan akhirnya orang menemukan benda-benda berharga itu didalam kamar Si Kong tersembunyi dibawah kolong tempat tidurnya! Tentu saja majikan itu menjadi marah. Si Kong dipanggil dan ditanyai. Biarpun Si Kong tidak mengaku mencuri dan mengatakan tidak tahu bagaimana benda-benda itu dapat berada di kolong tempat tidurnya, akan tetapi karena bukti sudah menyatakan bahwa barang-barang yang hilang berada di tempat tidurnya, maka majikan itu tidak mendengarkan semua bantahannya dan Si Kong diusir hari itu juga. Upahnya selama beberapa pekan dibayar. Si Kong maklum bahwa dia difitnah. Akan tetapi dia tidak merasa perlu untuk menyelidiki hal itu.

   Memang dia pun tidak ingin bekerja selamanya di tempat itu. setelah dikeluarkan dari pekerjaannya, Si Kong lalu membawa buntalan pakaiannya dan meninggalkan rumah penginapan itu, bahkan meninggalkan kota Sui-yang, tiga hari setelah Bun Can dan Mei Cin meninggalkan kota itu. Gu Mei Cin dan suhengnya, Thio Bun Can, setelah meninggalkan kota Sui-yang langsung saja pulang ke kota Sin-keng yang jaraknya kurang lebih lima puluh li dari kota Sui-yang. Dalam perjalanan itu mereka tidak menemukan halangan sesuatu dan tibalah mereka di kota Sin-keng. Ayah Gu Mei Cin yang bernama Gu Kiat atau dikenal dengan sebutan Gu Kauwsu (Guru Silat Gu) adalah seorang guru silat dikota itu yang terkenal. Muridnya cukup banyak dan putera-putera para pejabat dan hartawan di kota itu banyak yang menjadi muridnya.

   Di antara semua muridnya, yang paling dekat dengan Mei Cin, juga yang menjadi murid tauladan adalah Thio Bun Can. Diam-diam pemuda ini jatuh hati kepada sumoinya dan Gu Kauwsu juga menyetujui niat pemuda ini karena Bun Can memang seorang murid yang baik. Itulah sebabnya ketika Gu Kauwsu mendengar akan malapetaka yang menimpa adiknya, Gu Piauwsu yang dilukai perampok dan barangnya ada yang terampas, dia mengijinkan puterinya pergi bersama Thio Bun Can untuk melakukan penyelidikan. Dia menganggap bahwa kepandaian silat puterinya sudah memadai dan juga Thio Bun Can dapat menjadi pengawal yang dapat dipercaya. Ketika puteri dan muridnya datang, Gu Kauwsu segera menyongsong mereka dengan penuh harapan dan bicara dengan mereka di dalam kamarnya.

   "Bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian? Kuharap ada hasil yang baik."

   Kata Gu Kauwsu.

   "Wah, penyelidikan kami belum menghasilkan sesuatu, bahkan sebaliknya kami hampir mendapat celaka di tangan orang jahat, Ayah."

   Kata Mei Cin.

   "Apa yang terjadi?"

   "Suheng, kau ceritakan kepada Ayah."

   Mei Cin minta suhengnya untuk bercerita. Bun Can lalu menceritakan tentang pertemuan mereka dengan pemuda-pemuda berandalan di rumah makan Hok-lai dan tentang bantuan seorang sakti yang tidak memperlihatkan diri.

   "Apa? Sumpit-sumpit di atas meja beterbangan sendiri menyerang empat orang pemuda yang kurang ajar itu? Seperti sihir saja!"

   Kata Gu Kauwsu.

   "Itulah, suhu. Teecu juga menganggap itu sihir, dan rupanya ada seorang sakti menggunakan sihirnya untuk membantu kami. Setelah orang-orang berandalan itu terusir pergi, kami tinggal di rumah penginapan sampai malam. Barulah pada malam harinya kami berdua berkunjung ke tempat-tempat yang sekiranya didatangi para penjahat untuk mencari keterangan. Kami datangi rumah-rumah judi, akan tetapi usaha kami sia-sia saja. kami tidak mendengar apa-apa yang penting tentang perampokan itu."

   "Akan tetapi pada malam hari itu terjadi hal yang aneh, Ayah. Aku hampir saja celaka dalam peristiwa itu."

   Kata Mei Cin.

   "Apa yang terjadi?"

   Tanya Gu Kauwsu sambil memandang puterinya dengan alis berkerut.

   "Lewat tengah malam selagi aku tidur pulas, tiba-tiba aku dibangunkan oleh sesuatu yang rasanya seperti ada yang menepuk kakiku. Ketika aku sadar dan terbangun, aku melihat ada asap yang memasuki kamarku lewat jendela. Aku menjadi curiga dan cepat aku keluar dari pintu dan melihat bahwa di luar jendelaku terdapat seorang yang berpakaian hitam dan bertopeng hitam pula, sedang meniupkan asap ke kamar itu. Tentu saja aku menjadi marah dan aku menyerangnya. Akan tetapi orang itu tangguh sekali dengan permainan goloknya. Bahkan ketika suheng terbangun dan membantuku, kami berdua tidak mampu mendesaknya, bahkan terancam oleh gerakan goloknya. Mendadak, terjadi pula keanehan. Entah mengapa, penjahat itu berteriak, goloknya terlepas dari tangannya dan dia meloncat dengan cepat sekali melarikan diri."

   "Hemm, agaknya kalian di bantu oleh orang secara diam-diam!"

   Kata Gu Kauwsu.

   "Agaknya memang begitu, Ayah. Karena, setelah kami memeriksa dalam kamarku, aku menemukan sepotong pecahan genteng yang agaknya dipergunakan orang untuk membangunkan aku ketika penjahat itu melepaskan asap ke dalam kamar. Asap itu tentu asap pembius!"

   "Akan tetapi, mengapa engkau yang didatangi penjahat itu?"

   Tanya Gu Kauwsu.

   "Kami berpendapat bahwa ada dua kemungkinan untuk itu, suhu. Pertama, mungkin saja penjahat itu seorang jai-hwa-cat yang mempunyai niat buruk terhadap sumoi. Dan kemungkinan kedua, perbuatannya itu ada hubungannya dengan penyelidikan kami, dan kalau begitu, dia tentu ada hubungannya dengan perampokan yang kami selidiki itu."

   "Maka kami putuskan untuk pulang dan melaporkannya kepadamu, Ayah. Penjahat itu lihai sekali, kalau dia kembali bersama teman-temannya, tentu kami celaka."

   Gu Kauwsu meraba jenggotnya dan mengangguk-angguk.

   "Tidak salah lagi! Penjahat itu tentu ada hubungannya dengan yang merampok pamanmu! Menurut pamanmu, yang mengalahkan dan melukai pamanmu juga seorang yang pandai mempergunakan golok, orangnya tinggi besar dan bermuka hitam seperti yang kalian telah dengar sendiri. Bagaimana bentuk tubuh orang yang bertopeng itu?"

   "Tubuhnya juga tinggi besar, Ayah. Akan tetapi sayang, mukanya tertutup topeng dan penerangan di luar kamar itu hanya kecil dan remang-remang. Aku tidak dapat melihat apakah separuh mukanya bagian atas yang tertutup itu hitam atau tidak."

   "Aku sendiri yang akan pergi melakukan penyelidikan ke Sui-yang!"

   Kata Gu Kauwsu dengan nada suara penuh penasaran. Tiba-tiba dari luar jendela nampak sebuah benda menyambar cepat ke arah muka Gu Kauwsu. Guru silat itu menggerakkan tangannya menangkap dan ternyata benda itu adalah sebuah pisau yang tajam dan runcing, yang menusuk sepotong kertas.

   "Jahanam!"

   Gu Kauwsu cepat melompat keluar dari jendela, diikuti puteri dan muridnya, akan tetapi diluar tidak terdapat siapapun. Pelempar pisau itu tekah pergi jauh. Terpaksa mereka kembali kedalam dan Gu Kauwsu membaca tulisan di atas kertas itu.

   "Kalau hendak mencari perampas barang kiriman, pergilah ke Puncak Bukit Ayam."

   "Jahanam!"

   Kembali Gu Kauwsu memaki.

   "Dia telah menantangku!"

   Mei Cin dan Bun Can juga ikut membaca tulisan pada kertas itu dan mereka berdua juga menjadi marah.

   "Sekarang jelas, Ayah. Pelempar pisau tadi tentu juga penjahat bertopeng itu, dan mungkin dialah yang telah merampas barang kiriman yang dikawal paman. Dia pula yang melukai paman dengan goloknya."

   "Tidak salah lagi. Tentu dia! Dan dia menantangku untuk datang ke Bukit Ayam? Bagus!"

   "Apa yang hendak Ayah lakukan sekarang?"

   Tanya Mei Cin.

   "Apa lagi? Datang ke Bukit Ayam tentu saja. Bukit itu dekat saja dari sini dan sebelum gelap aku sudah akan tiba dipuncaknya."

   "Ayah tidak boleh pergi sendiri. Aku ikut untuk membantu, Ayah."

   "Benar, suhu. Teecu juga ikut untuk membantu. Kalau perlu teecu akan memanggil murid-murid suhu yang lain dan kita beramai datang ke sana."

   Gu Kauwsu menggeleng kepala.

   "Jangan kaitkan para murid lain. Pula, kalau kita banyak orang datang ke sana, penjahat itu tentu tidak akan muncul. Kita bertiga saja kesana, akan tetapi kalian harus mempersiapkan diri baik-baik dan berlaku hati-hati."

   Gu Kauwsu bersama puterinya dan muridnya cepat berkemas, disaksikan oleh isterinya.

   Setelah mempersiapkan diri, membawa senjata pedang masing-masing, Gu Kauwsu tidak lupa membawa sekantung senjata rahasia paku, mereka lalu meninggalkan rumah dan keluar dari kota Sin-keng melalui pintu gapura sebelah selatan. Begitu keluar dari pintu gerbang, sudah nampak bukit yang di maskudkan. Dari jauh bukit itu memang kelihatan seperti kepala seekor ayam, karena itu maka bukit itu di sebut Bukit Ayam. Dengan cepat, mempergunakan ilmu lari cepat, akan tetapi dengan sikap hati-hati, tiga orang ini mendaki Bukit Ayam dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak bukit itu. Matahari telah mulai condong ke barat, namun masih terang. Puncak bukit itu datar dan merupakan padang rumput terbuka, dikelilingi hutan yang berada di lereng bukit. Akan tetapi di situ sunyi saja, tidak nampak bayangan seorang pun. Gu Kauwsu lalu mengerahkan khikangnya dan berteriak. Suaranya bergema di empat penjuru.

   "Heii, perampok laknat. Keluarlah kalau memang engkau laki-laki!"

   Segera terdengar suara tawa bergema di seluruh puncak dan tak lama kemudian nampak bayangan dua orang berlari naik ke pundak, datang dari hutan sebelah kiri.

   Gu Kauwsu memberi isyarat kepada puteri dan muridnya agar waspada. Mei Cin dan Bun Can segera mencabut pedang masing-masing dan berdiri dalam keadaan siap siaga. Karena dua bayangan orang itu menggunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja mereka sudah tiba di depan tiga orang itu. gu Kauwsu dan dua orang itu memandang penuh perhatian. Dua orang itu berdiri sambil tertawa-tawa dengan lagak sombong. Yang seorang adalah laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar, mukanya hitam garang menyeramkan. Orang kedua adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya sedang saja dia memegang sebatang tongkat berkepala naga. Kakek inilah yang tertawa tadi, dan sekarangpun dia masih menyeringai dengan sikap memandang rendah.

   "Apakah kalian berdua yang mengirim surat mengundang kami kepuncak Bukit Ayam ini?"

   Gu Kauwsu bertanya denga suara tegas. Yang muda dan bermuka hitam itu mejawab.

   "Benar, akulah yang mengirim surat itu!"

   "Apakah ini berarti bahwa engkau yang telah merampas barang kiriman yang di kawal oleh Gi Piauwsu dan yang telah melukainya?"

   "Ha-ha, benar aku yang melakukannya!"

   Jawab laki-laki bermuka hitam itu.

   "Sobat, aku melihat engkau bukan seorang perampok biasa, bukan pula kepala gerombolan perampok. Kenapa engkau mengganggu pekerjaan Gu-piauwsu? Aku nasihatkan engkau untuk mengembalikan barang kiriman itu kepadaku atau terpaksa aku harus menggunakan kekerasan."

   Kata Gu Kauwsu dan suaranya bernada mengancam. Si muka hitam itu menoleh kepada kakek bertongkat kepala naga.

   "Suhu, bagaimana pendapat suhu?"

   "Serahkan saja guru silat ini kepadaku dan kau hadapi dua orang muda itu!"

   Kata kakek itu dengan sikap tenang sekali dan dengan sekali lompatan kecil dia sudah menghadapi Gu Kauwsu, lalu berkata.

   "Kalau engkau masih sayang nyawamu, lebih baik engkau tidak mencampuri urusan ini. Barang sudah terampas bagaimana mungkin dikembalikan?"

   Gu Kauwsu menjadi marah.

   "Bun Can, Mei Cin, berhati-hatilah menghadapi si muka hitam itu!"

   Setelah berkata demikian dia mencabut pedangnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya sudah mengambil segenggam paku yang merupakan senjata rahasianya yang ampuh.
(Lanjut ke Jilid 06)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
"Orang tua sesat, engkau membela muridmu yang melakukan perampokan! Katakan siapa namamu, jangan mati tanpa nama!"

   Bentak Gu Kauwsu.

   "Ha-ha-ha, engkau guru silat kampungan, tidak mengenal siapa aku? Aku adalah majikan Pulau Tembaga, di kenal dunia kangouw sebagai Tung-hai Liong-ong!"

   Mendengar nama ini, maya Gu Kauwsu terbelalak dan dia terkejut bukan main. Nama yang disebut kakek itu adalah nama seorang datuk besar disepanjang pantai timur!

   "Tung-hai Liong-ong? Dia adalah seorang datuk besar pantai timur! Tidak mungkin dia begitu rendah untuk membela muridnya yang menjadi perampok!"

   "Ha-ha, kami memungut sumbangan dari mereka yang berharta, bukan merampok. Engkau guru silat kampungan tidak perlu tahu. Nah, pergilah!"

   Tongkat kepala naga itu menyambar dahsyat. Gu Kauwsu yang pernah mendengar akan kelihaian datuk itu cepat melompat ke belakang untuk menghindar. Biarpun dia tahu lawannya amat pandai, untuk membela adiknya dia tidak merasa takut.

   "Makanlah senjata rahasiaku ini!"

   Teriaknya dan tangan kirinya bergerak, belasan batang paku telah menyambar ke arah tubuh kakek itu. Akan tetapi kakek itu hanya mengibaskan tangannya dan paku-paku itu, baik yang terkena kebutan tangan maupun yang mengenai tubuh kakek itu, runtuh kebawah. Agaknya kakek itu kebal dan kulitnya tidak dapat tertembus paku! Dia tidak merasa gentar dan cepat menyerang maju dengan pedangnya. Hebat juga gerakan guru silat itu sehingga Tung-hai Liong-ong tidak berani menyambut pedang itu dengan tangannya, melainkan menggerakkan tongkatnya untuk menangkis.

   "Trang-trang...!"

   Pedang itu hampir terlepas dari tangan Gu Kauwsu. Akan tetapi guru silat itu tidak mundur bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat. Sementara itu, si tinggi besar bermuka hitam menghampiri Bun Can dan Mei Cin. Dia menyeringai sambil memandang kepada Mei Cin.

   "Ha-ha-ha, di Sui-yang engkau terlepas dari tanganku dan sekarang engkau datang menyerahkan diri kepadaku. Bagus sekali, nona!"

   Mendengar ini, tahulah Mei Cin bahwa orang ini yang mendatangi kamarnya di malam hari itu. Ia menjadi marah sekali dan mengelebatkan pedangnya.

   "Jahanam busuk, perampok rendah, bersiaplah untuk mampus di tanganku!"

   Tanpa banyak cakap lagi Mei Cin sudah menerjang dengan pedangnya. Si muka hitam itu bukan lain adalah Ouwyang Kwi. Murid dari Tung-hai Ling-ong. Seperti telah kita ketahui, dia pernah merampas kedudukan ketua Hwa I Kaipang dalam usahanya mengumpulkan uang dan kekuasaan. Akan tetapi usahanya itu gagal dengan munculnya Si Kong bersama gurunya Yok-sian Lo-kai beberapa tahun yang lalu. Setelah melarikan diri bersama suhunya yang sama-sama terluka dalam ketika bertempur dengan Yok-sian Lo-kai, Ouwyang Kwi mempunyai cara lain untuk mengumpulkan banyak uang yang agaknya di dukung oleh gurunya, yaitu dengan menjadi perampok tunggal. Bukan sembarang perampok, melainkan perampok yang hanya bergerak seorang diri akan tetapi hanya merampok barang-barang yang berharga mahal saja.

   Baru-baru ini dia berhasil merampok barang berharga yang di kawal Gu Piauwsu. Dan kebetulan sekali gurunya datang berkunjung, sehingga setelah dia tahu bahwa dia dicari dan diselidiki oleh Gu Kauwsu, dia minta bantuan gurunya untuk menghadapi guru silat yang lihai itu. Begitu Mei Cin menyerang, Ouwyang Kwi juga mencabut goloknya dan menangkis. Mei Cin menyerang lebih dahsyat dan dua orang ini sudah bertanding lagi. Meihat ini, maklum bahwa lawan sumoinya amat lihai, Thio Bun Can segera menerjang maju dan membantu sumoinya. Dengan demikian, terulang pertarungan di malam hari itu, Ouwyang Kwi di keroyok oleh kakak beradik seperguruan itu. Akan tetapi, begitu Ouwyang Kwi memainkan golok besarnya yang berat, kakak beradik itu segera terdesak.

   Bagaimanapun juga, kedua orang muda itu kalah tenaga dan kalah pengalaman bertanding sehingga mereka sibuk menangkis dan melindungi diri saja tanoa mampu membalas serangan Ouwyang Kwi. Sementara itu, pertandingan antara Gu Kauwsu dan Tung-hai Ling-ong juga berjalan tidak seimbang sama sekali. Tingkat ilmu kepandaian datuk itu jauh lebih tinggi daripada tingkat Gu Kauwsu sehingga setelah lewat tiga puluh jurus, Gu Kauwsu sudah terdesak hebat oleh tongkat berkepala naga itu dan dia hanya mampu menangkis sambil mundur. Gu Kauwsu sambil mundur tidak mengkhawatirkan diri sendiri, akan tetapi dia memikirkan keselamatan puterinya. Mau tidak mau perhatiannya terpecah, sebagian untuk memperhatikan keadaan puterinya. Dia menjadi gelisah sekali melihat puteri dan muridnya juga terdesak hebat oleh Ouwyang Kwi.

   "Mei Cin, Bun Can, lari...!"

   Dia berteriak, akan tetapi perhatiannya yang terpecah itu mendatangkan bencana. Tangan kiri Tung-hai Ling-ong menyambar dan tepat tangan itu dengan jari-jari tangan terbuka menghantam dadanya.

   "Dukkk...!"

   Tubuh Gu Kauwsu terjengkang dan robohlah dia untuk tidak bangkit lagi. Dia telah terkena pukulan Tok-ciang dari datuk itu, pukulan yang tidak kalah ampuhnya dengan pukulan tongkatnya. Gu Kauwsu roboh dengan tanda telapak jari tangan hitam di dadanya. Tok-ciang (Tangan Beracun) adalah semacam ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali. Gu Kauwsu tepat terpukul dadanya sehingga jantungnya terguncang oleh hawa beracun dan diapun tewas seketika. Dalam perlawannya dibantu suhengnya terhadap Ouwyang Kwi, Mei Cin juga memperhatikan Ayahnya. Agaknya Ouwyang Kwi tidak terlalu mendesaknya, melainkan lebih mendesak Thio Bun Can. Maka ketika Ayahnya roboh, Mei Cin dapat melihatnya dan iapun menjerit.

   "Ayah...!"

   Tanpa perdulikan lagi suhengnya, Mei Cin melompat ke dekat Ayahnya dan berlutut. Ketika dilihatnya Ayahnya sudah tewas, iapun amat berduka dan marah. Dengan mengangkat pedangnya, ia menyerang Tung-hai Ling-ong.

   "Kau... kau... membunuh Ayahku...!"

   Bentaknya sambil menangis dan menyerang.

   "Suhu, jangan bunuh gadis itu. Aku sayang padanya!"

   Ouwyang Kwi berseru kepada gurunya dan diapun memperhebat serangannya kepada Thio Bun Can. Kasihan pemuda ini. Tadi mengeroyok bersama sumoinya saja dia tidak mampu menang, apalagi sekarang harus menghadapi lawan sendiri. Pedangnya berkali-kali terpental dan pada suatu kesempatan selagi pemuda itu terhuyung karena pertemuan senjata itu, dengan gerakan cepat Ouwyang Kwi mengelebatkan goloknya dan robohlah Thio Bun Can mandi darahnya sendiri. Lehernya nyaris putus oleh babatan golok. Ouwyang Kwi tidak perdulikan lagi kepada korbannya dan dia sudah meloncat untuk melihat keadaan Mei Cin. Alangkah girangnya melihat Mei Cin sudah menggeletak roboh oleh totokan jari tangan gurunya.

   "Mari kita pergi, suhu!"

   Kata Ouwyang Kwi sambil memondong tubuh Mei Cin yang sudah tidak dapat bergerak itu. Mereka lari ke kiri memasuki hutan. Tak lama kemudian, sesosok bayangan orang mendaki bukit itu. orang ini bukan lain adalah Si Kong. Secara kebetulan saja dia lewat di lereng bukit itu dan melihat keadaan bukit itu, hatinya tertarik untuk mendaki puncaknya. Setelah tiba di lereng paling atas, dia mendengar gerakan orang berkelahi di puncak. Si Kong mempercepat larinya dan tibalah dia dipuncak. Akan tetapi di puncak itu telah sepi tidak terdengar apa-apa lagi. Dan hatinya terkejut bukan main melihat dua tubuh menggeletak di tempat itu. cepat dia menghampiri. Pertama dia menghampiri tubuh Gu Kauwsu dan setelah menyentuh nadi dan dadanya, dia menghela napas.

   Orang itu tidak dapat di tolong lagi, pikirnya. Sudah tewas! Dia lalu menghampiri tubuh Thio Bun Can dan melihat pemuda ini masih dapat menggerakkan tangannya. Dan ketika memeriksa, Si Kong terkejut mengenalnya sebagai pemuda yang bermalam di rumah penginapan beberapa malam yang lalu. Pemuda itu bermalam bersama sumoinya! Dan kemana sekarang sumoinya? Dia cepat menotok jalan darah untuk menghentikan darah yang mengalir keluar dari luka di leher. Diapun melihat adanya sebatang pedang lain di situ dan dan mengkhawatirkan kalau-kalau sumoi pemuda itu juga telah menjadi korban pembunuhan. Dia mengguncang pundak pemuda itu dan mengurut tengah keningnya. Pemuda itu kini dapat membuka dan mengedip-ngedipkan matanya yang sudah layu.

   "Dimana sumoimu? Dimana? Tunjukkan!"

   Kata Si Kong. Bun Can dalam keadaan sekarat itu masih dapat mengerti dan dia mengangkat tangannya, menuding ke arah kiri lalu terkulai dan mati. Isarat itu sudah cukup bagi Si Kong. dia segera melompat ke arah kiri dan lari memasuki hutan di lereng itu. Dia harus bergerak cepat selagi hutan itu masih belum gelap. Dengan penuh kewaspadaan dia menyusup-nyusp di hutan itu dan akhirnya usahanya berhasil ketika mendengar isak tangis seorang wanita!

   Dia bergerak cepat sekali ke arah suara itu dan melihat gadis yang dicarinya itu rebah di atas rumput, tidak mampu bergerak dan hanya dapat menangis! Dan didekatnya berlutut seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam. Melihat laki-laki bermuka hitam itu, teringatlah Si Kong akan peristiwa empat tahun yang lalu. Dia segera mengenal Ouwyang Kwi sebagai orang yang telah merampas kedudukan ketua Hwa I Kaipang! Bahkan di waktu itu, dalam usia sekitar lima belas atau enam belas tahun, dia pernah bertanding melawan Ouwyang Kwi ini. Dia tahu betapa jahatnya Ouwyang Kwi dan gurunya yang merupakan datuk timur berjuluk Tung-hai Liong-ong itu, maka diapun tahu bahwa gadis itu tentu terancam bahaya besar. Diapun mengenal gadis yang rebah telentang sambil menangis itu sebagai gadis yang pernah bermalam di rumah penginapan Hok-lai.

   "Nona manis, jangan menangis. Percuma saja engkau menangis dan tida ada gunanya enkau menolak kehendakku. Ditolak atau tidak, tetap engkau akan menjadi milikku! Maka lebih baik engkau menyerah dengan suka rela daripada aku harus menggunakan paksaan."

   Setelah berkata demikian, sambil menyeringai seperti seekor srigala menghampiri korbannya, dia mendekatkan dirinya kepada gadis itu dan tangan kanannya perlahan-lahan meraih ke arah dada.

   "Wuuuutt...! Plakk!"

   Ouwyang Kwi terkejut dan mengaduh. Tangannya terasa nyeri dan ketika dilihatnya, ternyata tangannya lecet berdarah karena di sambar sepotong batu yang runcing. Dia meloncat bangkit berdiri sabil memutar tubuh dan melihat seorang pemuda telah berdiri di hadapannya dengan mata yang mencorong seperti mata seekor naga. Tahulah Ouwyang Kwi bahwa tentu pemuda itu yang tadi menyambitnya dengan batu ke tangannya, maka tentu saja dia menjadi marah bukan main.

   "Keparat, engkaukah yang menyerangku dengan batu tadi?"

   Bentaknya. Si Kong mengerutkan alisnya, diam-diam diapun marah sekali melihat perbuatan Ouwyang Kwi tadi.

   "Ouwyang Kwi, ternyata engkau masih juga belum jera dan selalu melakukan perbuatan jahat dan terkutuk!"

   Ouwyang Kwi terkejut. Pemuda itu telah mengenal namanya!

   "Siapakah engkau yang begitu lancang berani mencampuri urusanku?"

   "Ouwyang Kwi, lupakah engkau kepadaku? Empat lima tahun yang lalu, engkau dan gurumu Tung-hai Liong-ong pernah bertemu dengan aku dan guruku Yok-sian lo-kai di Souw-ciu."

   Ouwyang Kwi terkejut dan sekarang diapun teringat kepada pemuda itu. Lima tahun yang lalu pemuda itu masih merupakan seorang pemuda remaja akan tetapi sudah sedemikian lihainya sehingga dapat menandinginya. Bahkan gurunya, Tung-hai Liong-ong terluka dalam parah sekali oleh Yok-sian Lo-kai dan untuk menyembuhkan luka itu, gurunya harus mengobati dirinya selama tiga tahun! Akan tetapi dia tidak takut. Selama lima tahun ini, dia sudah memperdalam ilmu silatnya dan juga suhunya berada tidak jauh dari tempat itu. Pemuda ini hanya datang seorang diri dan dia dapat mengandalkan gurunya kalau sampai dia kalah dari pemuda itu. Cepat dia mencabut goloknya dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong.

   "Kiranya engkau bocah setan itu dan lagi-lagi engkau telah berani mencampuri urusan pribadiku. Akan tetapi sekali ini jangan harap engkau akan mampu meloloskan diri dari golokku ini!"

   Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Kwi meloncat dan menerjang dengan golok besarnya. Si Kong sudah siap. Dia menjatuhkan buntalan pakaiannya ke atas tanah dan menggunakan pikulan bambunya untuk senjata tongkat.

   "Trang-trangg...!"

   Dua tangkisan itu membuat golok terpental dan hampir terlepas dari tangan Ouwyang Kwi. Hal ini membuat si muka hitam terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa pemuda itu juga sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga dalam hal tenaga sinkang dia kalah jauh!

   "Suhu..., tolong...!"

   Ouwyang Kwi berteriak tanpa malu lagi ketika dia menerjang maju kembali dengan serangan yang lebih dahsyat. Si Kong teringat betapa Ouwyang Kwi telah membunuh dua orang yang mayatnya masih menggeletak di luar hutan di puncak itu, dan teringat bahwa setelah lewat empat lima tahun orang itu tidak berubah menjadi baik bahkan menjadi semakin jahat.

   Maka dia mempercepat gerakan tongkatnya. Gerakan tongkat Si Kong sekarang jauh sekali bedanya kalau dibandingkan gerakannya empat tahun yang lalu. Dia telah di gembleng Kwa Siucai, kemudia bahkan mendapat bimbingan dari Pendekar Sadis Ceng Lo-jin, sehingga dibandingkan empat tahun yang lalu, tingkat kepandaiannya sudah maju jauh sekali. Begitu dia mempercepat gerakan tongkatnya, tongkat itu dapat menyusup di antara gulungan sinar golok, bergetar menotok pergelangan tangan lalu meluncur ke arah tenggorokan Ouwyang Kwi. Ouwyang Kwi berteriak ketika tiba-tiba lengannya menjadi lumpuh dan goloknya terlepas dari pegangan, dan teriakannya terhenti ketika ujung tongkat bambu itu menotok tenggorokannya. Diapun roboh dan tidak mampu bergerak kembali karena totokan pada jalan darah dekat tenggorokannya itu telah menewaskannya!

   "Wuuutt... wirr...!"

   Si Kong mengelak dengan cepat ketika tongkat kepala naga itu menyambar ke arah kepalanya dengan amat kuat dan dahsyatnya.

   "Jahanam, berani engkau membunuh muridku?"

   Teriak Tung-hai Liong-ong ketika melihat muridnya menggeletak dan tewas. Dia terbelalak memandang kepada gadis yang masih telentang, lalu kepada Si Kong yang masih memegang tongkatnya dengan sikap tenang.

   "Siapa engkau?"

   "Tung-hai Liong-ong, engkau dan muridmu Ouwyang Kwi ternyata masih juga belum menghentikan perbuatan jahat kalian. Agaknya engkau belum jera ketika lima tahun yang lalu guruku Yok-sian Lo-kai memukulmu!"

   Tung-hai Liong-ong teringat.

   
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, jadi engkau murid Yok-sian Lo-kai? Bagus, aku memang sedang mencarinya untuk membalas kekalahanku dahulu dan sekarang engkau berani membunuh muridku? Engkau harus mati di tanganku!"

   Kembali Tung-hai Liong-ong menyerang dengan tongkatnya yang berkepala naga.

   Tongkat itu berat sekali dan ketika menyambar, ada hawa pukulan dahsyat sekali menerpa muka Si Kong. Akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak merasa gentar. Tubuhnya dengan amat ringannya sudah mengelak dari serangan beruntun sambung menyambung sampai lima kali itu. Tung-hai Liong-ong merasa penasaran sekali. Lima kali berturut-turut tongkatnya menyambar-nyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya, namun dengan mudahnya pemuda itu mengelak dan pukulannya tidak ada yang mengenai sasaran. Dan sebelum dia melanjutkan serangannya, kini pemuda itu telah membalas dan ujung tongkat bambu itu tergetar menjadi belasan banyaknya yang menyerang ke arah tiga belas jalan darah terpenting di tubuhnya!

   "Haiiiittt...!"

   Tung-hai Liong-ong membentak nyaring sambil memutar tongkatnya, menangkis tongkat bambu yang ujungnya tergetar menjadi banyak itu.

   "Tuk-tuk-tunggg...!"

   Tiga kali tongkat bambu bertemu dengan tongkat kepala naga dan Tung-hai Liong-ong terkejut bukan main karena getaran tongkat bambu itu menjalar melalui tongkatnya dan menggetarkan tangannya yang memegang tongkat itu.

   Sebelum hilang kagetnya, tongkat bambu itu sudah menotok ke arah pergelangan tangannya. Totokan ini datangnya cepat bukan main. Tung-hai Liong-ong menarik tangan kanan yang memegang tongkat dan menggantikan dengan tangan kirinya untuk membebaskan tangan kanannya dari totokan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ujung tongkat itu seperti ular saja sudah merayap naik dan kini menotok pergelangan tangan kirinya! Terpaksa datuk itu melepaskan tangan kirinya, akan tetapi dia menghunjamkan tongkat itu ke arah Si Kong sebelum melepaskannya. Tongkat itu menyambar dahsyat ke arah Si Kong, akan tetapi pemuda itu menggunakan tangan kirinya untuk menangkap tongkat itu lalu dia menancapkan tongkat kepala naga itu ke atas tanah. Lawannya sekarang telah kehilangan senjata ampuhnya.

   "Keparat, kau kira dapat terlepas dari tanganku?"

   Bentak Tung-hai Liong-ong dan kini dia menerjang dengan kedua tangan kosong. Akan tetapi tangannya bahkan lebih berbahaya dari tongkatnya karena kedua tangan itu mengandung ilmu Tok-ciang (Tangan Beracun) yang dapat membuat tubuh lawan menjadi hangus kalau terkena pukulannya. Si Kong melepaskan tongkat bambunya dan menghadapi serangan dengan tangan kosong lawan dengan tangan kosong pula. Lawannya adalah seorang datuk yang kenamaan, maka dia tidak dapat membunuhnya begitu saja.

   Melihat tangan yang berubah menghitam itu menyambar ke arah kepalanya dengan cengkeraman mengerikan, Si Kong mengelak dan ketika tangan kiri kakek itu menghantam ke arah dada, dia menangkis. Tangan kiri lawan itu terpental, akan tetapi dengan cepat telah mencengkeram ke arah pundaknya, Si Kong mengerahkan Thi-ki-i-beng ketika melihat cengkeraman ke arah pundaknya itu. Tangan kiri Tung-hai Liong-ong yang penuh hawa beracun itu bertemu dengan pundak dan kakek itu berteriak kaget. Tenaganya amblas tersedot oleh pundak itu. Akan tetapi hanya sebentar. Karena kaget dia menjadi lengah dan kesempatan itu dipergunakan oleh Si Kong untuk melancarkan pukulan Hok-liong Sin-cang. Pukulan tangan kanan Si kong itu cepat dan mengandung getaran bergelombang, tidak dapat di elakkan lagi oleh kakek itu. Tung-hai Liong-ong coba menangkis dengan tangan kanannya.

   "Desss...!"

   Biarpun dia sudah dapat menangkis pukulan itu, akan tetapi pukulan itu mengandung tenaga yang demikian kuatnya sehingga tubuh kakek itu terpental dan terjengkang ke belakang! Tung-hai Liong-ong terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda itu sehebat itu kepandaiannya. Dia tahu bahwa kini tingkat kepandaian pemuda itu bahkan sudah melewati tinggi kepandaian Yok-sian Lo-kai! Maklum bahwa kalau dilanjutkan dia tidak akan menang, dia bangkit berdiri dan berkata,

   "Lain kali akan kubalas kekalahan ini!"

   Setelah berkata demikian, cepat dia menyambar mayat muridnya, mencabut tongkat naganya dan pergilah dia dengan langkah agak terhuyung. Ternyata kakek itu telah menderita luka dalam tubuhnya. Si Kong menghela napas panjang dan tidak melakukan pengejaran. Dia memberi kesempatan lagi kepada datuk itu untuk mengubah jalan hidupnya, kembali ke jalan benar dan berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau lain kali dia bertemu dengan datuk itu dan melihat bahwa Tung-hai Liong-ong masih saja melakukan kejahatan, maka dia akan membasminya. Kini perhatian Si Kong beralih kepada gadis itu. cepat dia meloncat mendekati dan sekali tangannya bergerak, gadis itu telah dapat bergerak, gadis itu bangkit berdiri memandang kepada Si Kong dengan kedua mata masih basah.

   "Terima kasih atas pertolongan In-kong (tuan penolong),"

   Katanya dengan terharu, membayangkan bahwa kalau tidak ada orang ini, entah bagaimana jadinya dengan dirinya. Akan tetapi ketika memandang wajah Si Kong, Mei Cin teringat dan ia terbelalak.

   "Kau... kau... pelayan itu...!"

   Si Kong membungkuk dan berkata,

   "Nona telah terlepas dari mara bahaya sekarang."

   "Kau... kalau begitu... penolong di rumah makan itu, dan di kamar penginapan itu, tentu engkau pula orangnya!"

   "Sudahlah, nona. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi."

   Mei Cin teringat kepada Ayahnya dan suhengnya dan tiba-tiba ia menangis.

   "Ayah... suheng... mereka telah terbunuh. In-kong, tolonglah aku, jangan kepalang menolongku... bantulah aku mengurus jenazah Ayah dan suhengku yang mati di sana."

   Ia menunjuk ke depan lalu berlari keluar dari hutan itu, mendaki puncak.

   Tadinya Si Kong hendak meninggalkan gadis itu, akan tetapi ketika dia teringat akan dua jenazah itu, diapun merasa kasihan dan segera mengikuti gadis itu mendaki puncak. Setibanya di puncak, Mei Cin menubruk mayat Ayahnya dan menangis tersedu-sedu. Si Kong menghela napas dan duduk di atas batu, membiarkan gadis itu menangis karena dalam kedukaan yang mendalam, hanya tangis itu yang akan mampu meringankan himpitan pada hatinya. Dia teringat akan orang tuanya sendiri yang sudah tiada. Hidup begini banyak penderitaan, pikirnya. Akan tetapi bagaimanapun juga, setiap orang harus mampu memikul derita hidupnya sendiri, dengan hati yang kuat karena memang sudah ditakdirkan hidup mengalami semua itu. Setelah gadis itu agak mereda, dia turun dari atas batu dan menghampiri Mei Cin.

   "Nona, sudah cukup, tidak ada gunanya ditangisi lagi. Sekarang yang lebih penting mengurus jenazah Ayah dan suhengmu. Akan di kemanakan dua jenazah ini?"

   Gadis itupun bangkit berdiri. Mukanya basah air mata dan agak pucat.

   "Saya akan membawa mereka pulang. Kami tinggal di kota Sin-keng di bawah bukit ini."

   Si Kong memandang kepada dua jenazah itu. Bagaimana mengangkut mereka? Dia tentu kuat membawa mereka, memanggul di kedua pundaknya atau menjinjingnya dengan kedua tangannya, akan tetapi hal itu amat tidak pantas dan kasihan kepada dua jenazah itu kalau hanya dipanggul begitu saja.

   "Aku akan mencari bambu, nona. Kau tunggu sebentar di sini."

   Katanya dan diapun berkelebat lenyap dari depan gadis itu, memasuki hutan dan tak lama kemudian dia sudah membawa beberapa batang bambu. Diikatnya bambu-bambu itu menjadi sebuah usungan besar dan dia merebahkan dua jenazah itu berjajar di atas usungan.

   "Kita terpaksa mengusung dua jenazah ini, nona, dan membawanya pulang."

   "Terima kasih, in-kong. Tidak tahu harus bagaimana aku membalas budimu."

   "Sudahlah, jangan bicarakan tentang budi. Mari kita gotong bersama usungan ini."

   Mereka berdua lalu menggotong usungan itu. Mei Cin berjalan di depan sebagai penunjuk jalan sambil memegang ujung kedua bambu usungan sedangkan Si Kong mengangkat di bagian belakang. Akan tetapi diam-diam pemuda ini mengerahkan tenaganya agar usungan itu tidak terasa terlalu berat bagi Mei Cin.

   Demikianlah, bersama dengan turunnya matahari ke barat, Mei Cin yang berjalan sambil menangis perlahan, bersama Si Kong, mengusung dua jenazah itu ke kota Sin-keng. Mereka memasuki kota setelah hari menjadi gelap dan banyak orang terkejut melihat pemuda dan gadis itu mengusung mayat Gu Kauwsu dan Thi Bun Can. Segera berdatangan para murid Gu Kauwsu dan mereka membantu mengusung jenazah itu ke rumah keluarga mereka. Nyonya Gu menyambut dengan jerit tangis memilukan. Para tetangga segera berdatangan melayat dan sebentar saja sudah tersiar berita di seluruh kota bahwa Gu Kauwsu telah tewas terbunuh oleh penjahat. Setelah ratap tangis yang memenuhi rumah mendiang Gu Kauwsu itu agak reda, Mei Cin lalu menceritakan kepada ibunya tentang kematian Ayah dan suhengnya.

   "Kalau saja tidak muncul dewa penolong... ehh, dimana in-kong?"

   Tanyanya sambil mencari-cari dengan pandang matanya di antara para tamu yang datang melayat. Akan tetapi, gadis itu tidak melihat bayangan Si Kong yang diam-diam sudah pergi karena merasa bahwa tugasnya menolong gadis itu telah selesai.

   "In-kong siapa?"

   Tanya ibunya.

   "Pemuda yang tadi bersama aku menggotong jenazah Ayah dan suheng. Dia tadi masih berdiri di sini!"

   Tidak ada seorangpun melihat pemuda itu dan Mei Cin lalu menceritakan semua pengalamannya.

   "Sayang dia telah pergi sehingga tidak sempat aku menghaturkan terima kasih."

   Kata ibu Mei Cin. Semua orang yang berada disitu juga menyayangkan hal itu karena mendengar cerita Mei Cin, para murid guru silat Gu itu juga menjadi kagum sekali. Sedikitpun mereka tidak pernah menyangka bahwa pemuda yang berpakaian sederhana itu ternyata adalah seorang pendekar sakti seperti diceritakan Mei Cin. Mei Cin sendiri juga merasa kehilangan. Dara ini merasa kagum sekali kepada Si Kong. Ia tertarik bahwa pendekar sakti itu sedemikian rendah hati sehingga mau bekerja sebagai pelayan rumah penginapan dan rumah makan. Ia merasa sayang sekali belum berkenalan dengan pemuda itu, bahkan namanyapun tidak diketahuinya.

   Kota Ci-bun merupakan sebuah kota yang ramai. Kota ini tidak begitu jauh dari kota raja. Namun di kota itu terdapat banyak pengemis. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu negara sedang di landa musim kering yang berkepanjangan sehingga semua barang sukar di dapatkan dan mahal harganya, termasuk bahan pangan yang amat dibutuhkan manusia. Banyak rakyat kecil menderita kelaparan sehingga banyak diantara mereka menjadi pengemis. Juga keadaan kekurangan bahan makanan ini banya mendorong orang yang tidak kuat batinnya untuk melakukan kejahatan, seperti mencuri, merampok dan lain-lain. Si Kong melihat benar kesengsaraan rakyat kecil, terutama yang hidup dipedusunan karena dia melakukan perantauan, melalui dusun-dusun dan kota-kota. Dia melihat betapa kehidupan manusia lebih banyak menderita daripada bahagia. Dan dia melihat pula kepalsuan manusia.

   Mereka yang berada di atas yang memiliki kedudukan dan wewenang, seolah tidak perduli akan kesengsaraan rakyat itu. Juga para hartawan rapat-rapat menutup pintu gapura rumah mereka, seolah takut kalau-kalau harta benda mereka akan diambil orang, secara sembunyi atau terang-terangan. Mereka mempergunakan anjing-anjing besar untuk menjaga rumah, dan mengumpulkan banyak tukang pukul untuk melindungi harta mereka. Si Kong melihat semua ini dan batinnya bergolak. Mengapa begitu banyak ketidak-adilan terjadi di dunia ini? Mengapa para pejabat tidak berusaha untuk menolong rakyatnya yang menderita? Kenapa para hartawan segan mengulurkan tangan, mengurangi sedikit harta mereka untuk menolong mereka yang kelaparan? Diapun melihat betapa banyaknya jembel-jembel baru berkeliaran di jalan-jalan besar di kota Ci-bun ketika dia memasuki kota itu sambil memanggul buntalan pakaiannya di ujung tongkat bambu.

   Melihat keadaan mereka, Si Kong merasa terharu, akan tetapi dia juga merasa bersyukur atas kemurahan Tuhan kepadanya. Dibandingkan mereka yang berkeliaran di jalan-jalan itu, nasibnya sendiri terhitung baik! Benarlah kata orang bijaksana jaman dahulu bahwa kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan dalam kehidupan ini, sebaiknya kita menundukkan kepala dan memandang ke bawah. Di sana masih terdapat banyak sekali orang yang keadaannya lebih payah dari pada keadaan kita! Si Kong merasa heran ketika melihat orang berbondong-bondong menuju satu jurusan. Mereka itu adalah para pengemis dan orang-orang miskin yang dapat dia ketahui dari pakaian mereka yang lusuh dan muka mereka yang kurus. Mereka membawa tempat untuk membawa sesuatu, ada yang membawa kertas, kain-kain yang lusuh, panci dan tempat-tempat lain. Melihat ini, Si Kong menjadi tertarik.

   Tentu ada terjadi sesuatu disana yang menarik semua orang itu berkunjung kesana. Ketika tiba di ujung timur kota itu, tahulah dia apa yang menarik semua orang itu pergi ke situ. Ternyata di depan gedung seorang hartawan terdapat beberapa orang pelayan sedang membagi-bagi beras dari karung. Beberapa karung yang masih penuh sudah ditumpuk disitu dan orang-orang yang ingin mendapatkan pembagian beras itu berdiri antri berderet-deret. Mereka terdiri dari bermacam-macam orang. Ada yang pria atau wanita, kakek dan nenek, juga ada anak-anak kecil ikut antri. Si Kong berdiri bengong dan kagum. Kenyataan yang di lihatnya itu membantah bahwa semua hartawan terlalu pelit dan tidak mau menolong mereka yang kelaparan. Buktinya hartawan pemilik gedung itu sedang membagi-bagi beras kepada mereka yang membutuhkannya!

   Karena terharu dan tertarik tanpa disadarinya dia terdesak banyak orang itu sehingga dia melangkah maju dan masuk ke dalam antrian. Dia baru menyadari setelah melihat bahwa di belakangnya telah banyak orang antri. Diapun berdiri dalam antrian untuk mendapatkan beras! Biarlah, katanya kepada diri sendiri. Dia memang ingin melihat orang membagi-bagikan beras itu dan hatinya ikut gembira. Ingin dia melihat siapa hartawan itu dan menyampaikan terima kasihnya. Seorang hartawan yang juga dermawan dan budiman! Mendadak terjadi keributan dan antrian itu menjadi kacau ketika muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam yang melangkah maju paling depan. Tentu saja mereka yang berdiri di depan merasa penasaran dan tidak mengijinkan si tinggi besar menyerobot antrian.

   "Harus antri dibelakang!"

   Kata orang terdepan.

   "Kami juga antri sejak pagi."

   Akan tetapi orang tinggi besar berpakaian serba hitam itu menjadi marah dan dua kali tangannya bergerak memukul. Dua orang terdepan terpelanting roboh oleh pukulan itu. Semua orang menjadi gentar dan si tinggi besar itu tanpa memperdulikan siapapun sudah berdiri paling depan. Akan tetapi dia tidak membawa tempat untuk menerima pemberian beras.

   "Mana tempat menerima beras?"

   Tanya petugas yang membagi-bagi beras, dengan alis berkerut dan pandang mata marah karena diapun melihat betapa si tinggi besar itu memukul dua orang untuk menyerobot antrian.

   "Tempat beras apa? Aku minta sekarung dan akan kupanggul sendiri. Berikan sekarung beras!"

   Kata si tinggi besar dengan suara galak. Tentu saja para petugas yang terdiri dari empat orang itu tidak dapat menyetujui permintaan ini. Sekarung beras! Beras sebanyak itu kalau dibagi-bagi cukup untuk dua puluh orang!

   "Tidak bisa kami memberikan sekarung beras kepada seorang saja. Kami hanya membagi-bagi rata, lima kati untuk setiap orang, tidak kurang dan tidak lebih!"

   "Akan tetapi aku menghendaki sekarung!"

   Kata pula si tinggi besar kukuh.

   "Majikan kalian The Wan-gwe (Hartawan The) mempunyai beras bergudang-gudang. Apa artinya kalau aku hanya minta sekarung?"

   Si tinggi besar itu lalu melangkah maju menghampiri tempat beras dalam karung ditumpuk. Dengan tangan kirinya dia mengangkat sekarung beras yang beratnya seratus kati itu!

   "Heii...! Kembalikan beras itu!"

   Teriak empat orang petugas sambil menghampiri ketika melihat si tinggi besar hendak melangkah pergi. Akan tetapi, empat kali tangan kanan orang itu menampar dan empat orang petugas itu berpelantingan! Setelah merobohkan empat orang petugas itu, sibaju hitam dengan lagak sombong memperlihatkan tenaganya. Dia melempar-lemparkan sekarung beras itu ke atas dan memainkan benda yang cukup berat itu bagaikan sebuah bola saja. Dia lalu menyambut kembali sekarung beras itu dengan tangan kirinya, lalu memandang ke arah semua orang yang sedang antri dan kini menjadi ketakutan itu.

   "Hayo, siapa lagi yang hendak melarang aku mengambil beras itu? Majulah untuk menerima hajaranku!"

   Para pekerja itu sudah melapor ke dalam dan kini mucul Hartawa The dari pintu depan. Dia seorang laki-laki berusia enam puluh tahun dan dari sikapnya yang lemah lembut, wajahnya yang penuh senyum ramah dan pandang matanya yang lembut, dapat diketahui bahwa dia seorang yang baik hati. Melihat lagak si baju hitam itu, dengan lembut dia berkata kepada para pembantunya,

   "Biarkan dia pergi membawa sekarung beras itu."

   Si baju hitam mendengar ucapan itu dan diapun menoleh.

   "Ha-ha kalian dengar sendiri itu? Hartawan The tidak keberatan aku membawa sekarung beras ini, bahkan kalau aku setiap saat membutuhkan tentu akan boleh datang mengambil lagi beberapa karung!"

   Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa si baju hitam itu melangkah pergi dari situ. Si Kong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Orang itu telah bertindak dan bersikap keterlaluan, dan orang seperti itu yang suka memaksakan kehendak sendiri merupakan bahaya bagi umum. Dia melangkah keluar dari antrian dan menghadang si baju hitam.

   "Perlahan dulu, sobat. Engkau lupa bahwa sekarung beras itu disediakan untuk orang banyak, bukan untuk memenuhi keserakahanmu. Hayo cepat kembalikan sekarung beras itu pada tempatnya dan kalau membutuhkan beras, harus berdiri di belakang antrian untuk mendapatkan lima kati beras!"

   Si baju hitam itu membelalakkan matanya, seolah tidak percaya bahwa ada seorang, masih amat muda lagi, berani mengeluarkan ucapan seperti itu kepadanya. Agaknya pemuda itu sudah bosan hidup! Dengan mata melotot dia membentak,

   "Apa? Kau ingin aku mengembalikan beras ini? Nah, sambutlah!"

   Dia lalu melontarkan sekarung beras yang berat itu kepada Si Kong dengan pengerahan tenaga. Sekarung beras itu meluncur ke arah Si Kong, dan seandainya bukan Si Kong yang menerimanya, tentu akan roboh terjengkang tertimpa beras sekarung! Akan tetapi, dengan mudah Si Kong menerima beras itu dan sekali tangannya bergerak, sekarung beras itu telah melayang dan jatuh di atas tumpukan beras, kembali di tempatnya semula.

   "Jahanam keparat kau! Mampuslah!"

   Si baju hitam berteriak sambil menerjang ke arah Si Kong, menubruknya seperti seekor harimau menerkam kambing. Si Kong dengan tenang menggeser kakinya kesamping dan begitu tubuh tinggi besar itu lewat, dia menggerakkan kakinya kedepan dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si baju hitam itu terperosok ke depan dan jatuh menelungkup! Terdengar suara "Ngekk!"

   Ketika dia terbanting. Semua orang yang sedang antri beras tersenyum gembira melihat betapa si baju hitam itu dirobohkan pemuda yang berpakaian sederhana ini. Akan tetapi si baju hitam cepat merangkak bangun dan meloncat berdiri. Hidungnya berdarah dan dia kelihatan marah bukan main.

   "Setan! Berani kau melawanku?"

   Kembali dia menyerang dan sekali ini dia tidak menyerang secara sembarangan saja, melainkan menggunakan ilmu silat. Tangan kanannya melayang ke arah kepala Si Kong, tangan kirinya menyusul menusuk ke arah perut pemuda itu dengan jari-jari tangan terbuka.

   "Duk-duk!"

   Kedua tangan itu tertangkis oleh Si Kong. Akan tetapi si baju hitam itu memang tidak tahu diri. Biarpun tangkisan tangan pemuda itu membuat kedua lengannya terasa panas dan nyeri sekali, dia tidak menjadi jera dan kini kaki kanannya menendang dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Kaki itu menyambar ke arah perut Si Kong dan merupakan serangan yang amat berbahaya. Namun dengan tenang Si Kong menanti sampai kaki itu dekat dengan perutnya, kemudian tiba-tiba saja dia menarik dirinya ke belakang sambil melangkahkan kaki. Ketika kaki kanan si baju hitam itu menyambar lewat, secepat kilat Si Kong menggunakan tangan kiri menangkap tumit kaki itu dan mendorongnya ke atas lalu kedepan. Tubuh si baju hitam itu terlempar dan kembali terbanting, akan tetapi sekali ini dia terbanting telentang.

   "Ngekkk...!"

   Si baju hitam meringis kesakitan. Tulang belakangnya seperti patah-patah rasanya ketika pinggulnya terbanting ke atas tanah. Sekali ini para penonton tertawa dengan hati senang. Si Kong menghampiri si baju hitam yang sudah bangkit duduk dengan muka meringis.

   "Masih belum jera dan hendak melanjutkan perkelahian? Silakan bangkit berdiri, aku sudah siap!"

   Si baju hitam yang masih merasa nyeri bagian belakang tubuhnya itu bengkit berdiri, memandang dengan mata melotot kepada Si Kong lalu berkata,

   "Kau tunggu saja pembalasanku!"

   Setelah berkata demikian diapun pergi dengan terhuyung-huyung sambil kedua tangannya menekan pinggulnya. Hartawan The yang menyaksikan semua itu, menghampiri Si Kong dan berkata,

   "Orang muda, terima kasih atas bantuanmu mengusir orang jahat itu. Akan tetapi, bagaimana kalau dia kembali dengan kawan-kawannya?"

   "Harap Lo-ya (tuan besar) tidak khawatir. Kalau diperbolehkan, saya ingin membantu Lo-ya dalam pembagian beras kepada rakyat kecil yang miskin ini."

   "Engkau hendak bekerja membantu kami? Tentu saja boleh dan kebetulan sekali. Kami angkat engkau menjadi pengawas dan pengatur pembagian beras yang kami lakukan setiap hari, dari pagi sampai sore."

   "Terima kasih banyak, Lo-ya."

   "Siapakah namamu, anak muda?"

   "Nama saya Si Kong, Lo-ya."

   Hartawan itu berkata kepada empat orang pembantunya yang tadi dirobohkan si baju hitam,

   "Mulai sekarang, Si Kong ini menjadi pengawas dan pengatur pekerjaan kalian."

   Empat orang petugas itu menyambut dengan gembira karena mereka merasa ada yang melindungi kalau-kalau si perusuh tadi kembali membawa teman-temannya. Hartawan The lalu masuk ke dalam rumah kembali dan Si Kong segera mengatur antrian itu agar jangan menjadi kacau.

   Empat orang petugas itu senang karena biarpun di angkat menjadi pengawas dan pengatur, ternyata Si Kong juga membantu mereka membagi beras, bahkan mengangkat beras dalam karung yang belum dibuka. Sementara itu, Hartawan The memasuki rumahnya dan merasa bersukur bahwa peristiwa kerusuhan telah berlalu, akan tetapi diapun merasa khawatir kalau-kalau para perusuh datang lagi. Dia kembali keruangan tamu di mana tadi dia bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun. Bersama isterinya, dia tadi bercakap-cakap disitu ketika dia dilapori oleh pembantunya akan keributan yang terjadi diluar. Gadis itu bernama Tan Kiok Nio, datang dari kota Sia-lin. Ibu gadis itu adalah adik Hartawan The Kun. Begitu datang di sambut Hartawan The dan isterinya, Kiok Nio menangis sedih dalam rangkulan isteri The-wan-gwe.

   Dengan heran dan khawatir, Hartawan The Kun dan isterinya bertanya mengapa gadis itu menangis. Setelah tangisnya reda, Kiok Nio lalu menceritakan malapetaka yang menimpa keluarganya. Ayah Kiok Nio bernama Tan Tiong Bu, seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia kang-ouw. Keluarga Tan ini tinggal di kota Sia-lin, sebelah selatan kota raja. Tan-Taihiap, sebutan Tan Tiong Bu memiliki sebuah rumah besar dan diapun memiliki sawah ladang yang luas sehingga kehidupan keluarganya cukup mampu biarpun tak dapat dibilang kaya raya. Di waktu mudanya, Tan Tiong Bu pernah menjadi murid di biara Siauw-lim-pai, kemudian pernah pula menjadi murid Bu-tong-pai. Dia terus memperdalam ilmu-ilmunya sehingga akhirnya dia dapat menggabungkan semua ilmu itu dan merangkai ilmu pedang yang hebat. Ilmu pedang ini hanya dinamakan ilmu pedang keluarga Tan.

   Diwaktu mudanya dia malang melintang di dunia kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh sesat dan sebagai pendekar dia selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Setelah dia menikah dengan seorang gadis yang menjadi adik Hartawan The, dan mempunyai seorang anak perempuan, Tiong Bu mengurangi petualangannya. Akan tetapi namanya tersohor dan dia disegani orang-orang kang-ouw. Kemudian muncul berita angin bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangan Tan-Taihiap ini. Pedang itu semenjak lama telah menjadi perebutan di antara orang-orang kang-ouw dan sudah terjadi banyak perkelahian dan pembunuhan untuk memperebutkannya. Akhir-akhir ini tersiar berita yang mengejutkan, yaitu matinya beberapa tokoh kang-ouw yang diketahui mencoba untuk mendapatkan Pek-lui-kiam. Mereka itu mati dalam keadaan mengerikan, dengan kepala putus terlepas dari lehernya.

   Padahal yang tewas itu adalah orang-orang terkenal di dunia persilatan, baik dari golongan bersih maupun dari golongan sesat. Maka peristiwa itu amat menggemparkan dunia persilatan. Banyak orang menduga bahwa Tan Tiong Bu yang menjadi pelaku pembunuhan itu karena ada berita bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangannya. Tan Tiong Bu sendiri tidak mengacuhkan berita itu. Dia tidak merasa membunuh. Adapun tentang pedang Pek-lui-kiam memang berada padanya, sebagai pemilik yang sah. Pada suatu hari, hawa udara amat panasnya. Musim kering yang berkepanjangan mendatangkan hawa yang panas. Terlalu lama bumi di panggang sinar matahari, tidak pernah mendapat siraman air hujan. Karena merasa panas, Tan Tiong Bu dan isterinya duduk di beranda depan yang terbuka agar mendapatkan angin. Puteri mereka sedang tidak berada di rumah.

   Gadis itu memang sudah biasa pergi keluar rumah dan orang tuanya tidak merasa khawatir. Sebagai anak tunggal, biarpun ia seorang wanita, akan tetapi ia telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari Ayahnya, bahkan telah mahir memainkan ilmu pedang keluarga Tan. Karena itu kepergian Kiok Nio dari rumah tidak pernah di khawatirkan orang tuanya. Tiba-tiba dari pintu pagar diluar masuklah seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Tan Tiong Bu mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian kepada orang yang kini melangkah tenang memasuki halaman depan itu. Dia seorang yang menggelung rambutnya ke atas dan mengikat rambut itu dengan pita merah! Dan pakaiannya seperti pakaian pertapa atau pendeta, dengan jubah longgar berlengan lebar. Akan tetapi yang terasa aneh, jubah itu berwarna merah!

   Dipunggungnya tergantung sebatang pedang dan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang gagangnya terbuat daripada baja. Melihat pakaian serba merah itu Tan Tiong Bu terkejut. Biarpun belum pernah bertemu, akan tetapi dia sudah mendengar akan adanya seorang datuk di barat yang berjuluk Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Menurut keterangan yang diperolehnya, Ang I Sianjin adalah seorang datuk yang berilmu tinggi, akan tetapi menggunakan ilmunya di jalan yang sesat dan suka memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Tentu saja mengingat keadaan kakek itu, Tan Tiong Bu merasa tidak senang kedatangan datuk sesat itu. Akan tetapi sebagai tuan rumah, mau tidak mau dia harus menyambut kedatangan tamu. Maka Tan Tiong Bu bangkit berdiri dan menyambut ke depan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata,

   

Jodoh Si Mata Keranjang Eps 22 Pendekar Mata Keranjang Eps 44 Kumbang Penghisap Kembang Eps 12

Cari Blog Ini