Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 7


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Selamat datang sobat. Engkau siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung?"

   Kakek tinggi kurus itu tersenyum, senyumnya mengandung ejekan. Dia tertawa terkekeh
sebelum menjawab,

   "Heh-heh-heh! Apakah aku berhadapan dengan pendekar besar Tan Tiong Bu?"

   "Benar sekali. Dan kalau tidak salah, yang datang berkunjung ini adalah Ang I Sianjin, benarkah?"

   "Heh-he-he-heh! Ternyata matamu tajam sekali. Sudah lama aku mendengar akan kehebatan ilmu silat keluarga Tan."

   "Lalu apa maksud kunjungan ini, Sianjin?"

   "Aku ingin bertanding denganmu!"

   "Aih, Sianjin. Mengapa kita harus bertanding kalau diantara kita tidak ada urusan apapun?"

   "Hemm, jadi engkau tidak berani menerima tantanganku?"

   "Tidak ada alasan bagiku untuk bertanding denganmu, Sianjin. Mari silakan duduk dan kita membicarakan hal lain saja sebagai sahabat. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga."

   "Heh-he-he-heh! Bagus sekali kalau begitu. Engkau mau menerimaku sebagai sahabat, tentu tidak keberatan kalau memberi pinjam Pek-lui"kiam kepadaku!"

   Tan Tiong Bu terkejut sekali. Memang ada berita angin bahwa para tokoh dunia persilatan menginginkan pedang pusakanya, yaitu Pek-lui-kiam. Karena ada beritu itu, dia menyembunyikan pedang pusaka itu di dalam kamarnya dan tidak pernah membawanya keluar rumah. Sekarang, sudah terjadi hal yang dikhawatirkan, yaitu para tokoh kang-ouw tentu akan mendatanginya dan berusaha merebut Pek-lui-kiam.

   "Tidak ada pedang Pek-lui-kiam padaku."

   Kata Tan Tiong Bu tegas.

   "Hemm, kalau begitu engkau tidak ingin menjadi sahabtku? Cabutlah pedangmu, hari ini aku ingin sekali mencoba kepandaian keluarga Tan. Pilih salah satu. Serahkan Pek-lui-kiam padaku dan aku pergi, atau engkau harus melawan pedangku!"

   Tan Tiong Bu adalah seorang pendekar besar. Tentu saja ditantang dan didesak seperti itu, dia menjadi marah. Kalau dia berbohong mengatakan bahwa Pek-lui-kiam tidak ada padanya, hal itu dilakukan untuk menghindarkan perkelahian dan permusuhan, bukan karena takut. Dia menoleh kepada isterinya,

   "Ambilkan pedangku yang tergantung di dinding kamar itu."

   Isterinya pergi ke dalam tanpa mengucapkan sesuatu karena wanita ini sudah maklum bahwa suaminya adalah seorang pendekar besar dan sewaktu-waktu seorang pendekar tentu akan ditantang orang untuk bertanding. Akan tetapi, wanita itu merasa jantungnya berdebar karena tegang dan gelisah. Setelah isterinya kembali membawa pedangnya, dia lalu menghadapi Ang I Sianjin dan berkata dengan lantang,

   "Ang I Sianjin, diantara kita tidak ada permusuhan. Karena engkau memaksa dan menantang, terpaksa aku melayanimu!"

   Dia mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, dan menyerahkan sarung kepada isterinya. Ang I Sianjin tadinya memandang dengan wajah berseri ketika isteri Tan Tiong Bu menyerahkan pedang kepada suaminya. Dia mengira bahwa pendekar itu akan mempergunakan Pek-lui-kiam. Akan tetapi ketika pedang itu di cabut, dia merasa kecewa. Pedang di tangan lawannya itu memang pedang baik, akan tetapi sama sekali bukan Pek-lui-kiam.

   "Engkau tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam, jangan katakan aku kejam kalau aku akan membunuhmu dan merampas Pek-lui-kiam!"

   Kata Ang I Sianjin sambil mencabut pula peangnya dengan tangan kanan. Setelah berseru lantang diapun mulai dengan serangannya yang dhasyat.

   "Tranggg...!"

   Tan Tiong Bu menangkis dan dia merasakan getaran hebat dan hawa panas menyerang seluruh lengannya. Tahulah dia bahwa lawannya itu lihai bukan main. Karena itu dia segera mainkan ilmu pedang keluarga Tan yang telah terkenal di dunia persilatan itu. Ang I Sianjin terkejut dan kagum ketika hampir saja perutnya terkena tusukan lawan. Dia meloncat kebelakang dan karena diapun tahu bahwa lawannya merupakan lawan yang lihai, dia lalu memutar pedangnya dan juga mainkan kipasnya dengan tangan kiri.

   Ternyata permainan pedang dan kipas itu serasi sekali, dapat saling bantu dan saling menutupi lowongan kalau sedang menyerang. Kini Tan Tiong Bu yang terkejut. Biasanya, kalau lawan menyerang tentu akan membuka pertahanan untuk balas diserang. Akan tetapi setelah lawanya mainkan kipas dan pedang, ketika lawan menyerang sama sekali tidak ada bagia tubuh yang terbuka pertahanannya. Kalau pedang yang menyerang, kipas yang bertahan, sebaliknya kalau kipas baja itu dipakai menyerang, pedang yang bertahan. Dengan demikian, Tan Tiong Bu tidak diberi kesempatan sedikitpun untuk membalas serangan lawan. Setelah pertandingan yang seru berlangsung lima puluh jurus, pundak kiri Tan Tiong Bu terkena tusukan gagang kipas baja sehingga dia terhuyung dan pundaknya berdarah. Melihat lawannya terhuyung, Ang I Sianjin tertawa dan menubruk ke depan dengan pedangnya.

   "Tranggg"!"

   Pedangnya tertangkis dari samping dan ternyata yang menangkis pedang itu adalah isteri Tan Tiong Bu. Untuk menyelamatkan suaminya, nyonya itu dengan nekat menggunakan pedang yang tadinya di bawa pula dari dalam untuk menangkis. Padahal, dalam ilmu silat pengetahuannya masih rendah. Ang I Sianjin marah dan kipasnya bergerak ke arah nyonya itu. Ujung kipas itu dengan tepat menusuk leher dan sambil mengeluh isteri Tan Tiong Bu roboh terpelanting. Melihat ini, Tan Tiong Bu terkejut dan marah sekali.

   Dia meloncat ke depan dan menyerang lawan sekuat tenaga tanpa memperdulikan pundak kirinya yang terasa nyeri. Akan tetapi karena hatinya gelisah mengingat keadaan isterinya, permainan pedangnya pun kurang tetap dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Sianjin untuk menghunjamkan serangan pedang dan kipasnya. Tan Tiong Bu beruaha membela diri, akan tetapi dia kalah cepat, ketika pedangnya terpental karena bertemu kipas, tahu-tahu pedang Ang I Sianjin telah menembus dadanya. Darah muncrat dan tubuh Tan Tiong Bu berguling. Akan tetapi pendekar ini masih dapat mengarahkan kejatuhan tubuhnya dekat isterinya. Dia masih dapat memeriksa keadaan isterinya dan ketika melihat bahwa isterinya telah tewas, dia menudingkan telunjuknya yang berlepotan darah isterinya kepada Ang I Sianjin dan berkata,

   "Kau"

   Iblis... terkutuk...!"

   Tubuh Tan Tiong Bu terkulai dan diapun menghembuskan napas terakhir. Ang I Sianjin tidak memperdulikan lagi suami isteri yang sudah mati itu. Dia meloncat ke dalam rumah dan mulai melakukan penggeledahan untuk mencari Pek-lui-kiam. Ketika bertemu dua orang pembantu rumah tangga itu, seorang pria dan seorang wanita, tanpa berkata apapun tangannya bergerak dan kedua orang pembantu itu tewas dengan kepala retak! Ang I Sianjin menggeledah kamar Tan Tiong Bu dan akhirnya dia dapat menemukan pedang pusaka itu yang tersimpan di dalam almari pakaian pendekar itu. Dia mencabut pedang itu. sinar kilat menyilaukan mata ketika pedang dicabut. Kakek itu tertawa-tawa gembira.

   "Heh-he-he-heh! Inilah Pek-lui-kiam! Kini terjatuh ketanganku! Aku akan menjadi jagoan tanpa tanding dengan pedang ini, heh-heh-heh!"

   Dia menyarungkan kembali pedang itu, menyelipkannya diikat pinggangnya kemudian dia berlari keluar dengan cepat sekali. Ketika seorang tetangga datang untuk suatu keperluan ke rumah keluarga Tan, dia terkejut sekali melihat Tan Tiong Bu dan isterinya menggeletak di halaman dekat beranda dalam keadaan tak bernyawa lagi dan tubuhnya mandi darah.

   Tetangga ini keluar sambil berteriak-teriak minta tolong. Para tetangga lain datang berlarian dan mereka semua merasa terkejut dan ngeri. Apalagi ketika mereka menemukan mayat dua orang pembantu rumah tangga keluarga Tan. Para tetangga lalu merawat empat jenazah itu. Menjelang sore, Tan Kiok Nio pulang ke rumahnya. Gadis itu terkejut dan heran melihat banyaknya orang dirumahnya. Ia berlari cepat memasuki halaman rumahnya dan tertegun melihat empat buah peti mati berjajar di beranda. Wajahnya menjadi pucat, jantungnya berdebar-debar dan iapun meloncat menghampiri peti mati. Ketika melihat peti mati yang masih belum di tutup itu dan menjenguk ke dalamnya, gadis itu menjerit-jerit. Ia lari dari satu peti ke peti yang lain.

   "Ayah...! Ibu...! Kalian kenapa... kenapa...?"

   Gadis itu lunglai dan roboh pingsan. Para wanita tetangga yang berada di situ ikut menangis dan beramai-ramai mereka mengangkat gadis yang pingsan itu ke kamarnya. Setelah sadar dari pingsannya, Kiok Nio bangkit dan cepat berlari keluar. Bukan, bukan mimpi! Di beranda itu terdapat empat buah peti mati berisi mayat-mayat Ayahnya, ibunya, dan dua orang pembantunya. Iapun menubruk peti ibunya dan menangis tersedu-sedu sambil memanggili ibunya, kemudian menubruk peti Ayahnya dan sambil menangis, memanggili nama Ayahnya. Para tetangga membiarkan gadis itu melampiaskan dukanya melalui air mata. Setelah tangisnya mereda, barulah para wanita tetangga menghiburnya.

   "Mereka sudah meninggal dunia, walau ditangisi juga tidak ada gunanya, nona. Sekarang sebaiknya kita mengurus jenaza-jenazah itu."

   Kiok Nio dapat menekan perasaan dukanya, lalu bertanya,

   "Apa yang telah terjadi? Mengapa Ayah ibu mati? Siapa yang membunuhnya?"

   "Tidak ada yang tahu, nona. Hanya kebetulan saja seorang tetangga ketika lewat melihat seorang kakek berjubah merah, tinggi kurus dan mukanya pucat keluar dari halaman rumah ini. Tetangga itu mempunyai urusan dengan Ayahmu maka dia masuk ke halaman dan melihat Ayah ibumu sudah menggeletak di halaman dalam keadaan tidak bernyawa. Kami semua memasuki rumahmu dan melihat dua orang pembantumu juga sudah tewas pula."

   "Kakek tinggi kurus berjubah merah? Siapa dia?"

   Kiok Nio bangkit berdiri dan mengepal kedua tinjunya.

   "Siapa dia?"

   "Nona, sayalah yang melihat kakek itu, akan tetapi saya tidak mengenalnya. Akan tetapi dia mudah di kenal. Jubahnya itu yang aneh, mirip jubah pendeta akan tetapi berwarna merah dan rambutnya yang di gelung ke atas juga diikat pita merah."

   Kata tetangga yang melihat kakek itu dan yang pertama kali menemukan mayat Tan Tiong Bu dan isterinya.

   "Siapapun adanya orang itu, pasti akan kucari dan kubalas dendam ini!"

   Kiok Nio lalu berlari keluar dengan gerakan cepat dan ia mencari-cari kakek itu diseluruh pelosok kota. Para tetangga tidak berani melarangnya dan hanya menunggu peti-peti mati itu. Akhirnya Kiok Nio pulang dengan wajah lesu. Ia tidak berhasil menemukan musuh besarnya. Setelah jenazah Ayah ibunya dimakamkan, Kiok Nio tidak betah tinggal seorang diri di dalam rumah itu dan sebulan kemudian, ia pergi meninggalkan rumahnya dan pergi ke kota Ci-bun untuk mengunjungi pamannya, yaitu Hartawan The Kun. Di depan paman dan bibinya ia menangis menceritakan tentang kematian Ayah ibunya. Tentu saja The Kun menjadi terkejut bukan main.

   "Kau tinggallah bersama kami disini, Kiok Nio. Engkau sudah yatim-piatu, anggaplah kami sebagai orang tua sendiri. Kebetulan kami juga tidak mempunyai anak."

   Karena paman dan bibinya amat ramah dan Kiok Nio tahu bahwa pamannya itu adalah seorang hartawan yang budiman dan dermawan, maka ia suka tinggal disitu. Demikianlah riwayat gadis cantik manis yang tinggal di rumah Hartawan The Kun dan mari kita kembali keluar gedung untuk melihat apa yang terjadi di tempat pembagian beras itu. si Kong bekerja dengan rajin sehingga menyenangkan empat orang lainnya. Akan tetapi, seperti yang dikhawatirkan semua orang, mendadak datang lima orang yang kesemuanya berpakaian hitam dan kelihatan sikap mereka yang kasar dan tubuh mereka yang kokoh kuat. Di antara lima orang itu terdapat si baju hitam yang tadi hendak merampas beras sekarung dan dapat di usir oleh Si Kong.

   "Di mana pemuda jahanam yang tadi berani memukul aku?"

   Teriak si baju hitam itu. Sebelum Si Kong melangkah maju, terdengar bentakan halus.

   "Bangsat pengacau, kalian datang untuk mencari penyakit!"

   Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata Kiok Nio sudah berdiri disitu. Gadis ini tadi mendengar cerita pamannya tentang si baju hitam yang memaksa hendak mengambil sekarung beras akan tetapi pengacau itu dapat diusir seorang pemuda yang kini diterimanya sebagai pembantu bekerja membagi-bagi beras. Gadis itu merasa menyesal mengapa ia tadi tidak ikut keluar sehingga dapat menghajar sendiri pengacau itu. Kini, mendengar ribut-ribut di luar ia cepat meloncat keluar dan melihat lima orang itu, ia lalu membentak mereka. Si baju hitam dan empat orang kawannya mendengar bentakan itu lalu menoleh. Kiranya yang membentak mereka adalah seorang gadis cantik. Meliha Kiok Nio, si baju hitam lau maju menghampiri, diikuti emoat orang temannya.

   "Nona manis,"

   Kata si baju hitam sambil menudingkan telunjuknya.

   "Jangan engkau mencampuri urusan kami, atau aku akan menangkapmu untuk kujadikan isteriku!"

   Empat orang kawannya juga menyeringai menjemukan.

   "Jahanam busuk, kalau engkau dan teman-temanmu ini datang untuk mengacau, aku sendiri yang akan memberi hajaran kepada kalian!"

   Pada saat itu, dari dalam rumah muncul Hartawan The Kun. Melihat keponakannya berhadapan dengan lima orang laki-laki yang menyeramkan, diapun cepat berkata,

   "Kiok Nio, jangan berkelahi!"

   Lalu kepada si baju hitam dia berkata.

   "Kalau kalian menginginkan beras ambillah akan tetapi harap jangan bikin kacau disini."

   Si Kong sejak tadi terheran-heran melihat seorang gadis cantik berani menantang lima orang berandal itu. Melihat pedang di punggung gadis itu, dia tahu bahwa gadis itu tentu seorang yang pandai ilmu silat. Ketika Hartawan The Kun muncul dan menegur gadis yang di panggil Kiok Nio itu, Si Kong mengira bahwa gadis itu puteri Hartawan The. Dia lalu menghampiri dan berkata kepada si baju hitam.

   "Sobat, engkau berani datang lagi membawa teman-temanmu. Majulah, aku tidak takut kepada kalian."

   "Tidak!"

   Gadis itu berkata cepat.

   "Aku yang akan menghajar lima orang ini kalau mereka tidak cepat pergi dari sini. Paman The, jangan khawatir, aku dapat menandingi mereka. Hayo, anjing baju hitam, aku tantang kalian. Kalau kalian tidak berani, cepat kalian pergi dari sini dan jangan menganggu ketenteraman."

   Si baju hitam tentu saja menjadi marah mendengar dirinya disebut anjing hitam oleh seorang gadis. Itu merupakan penghinaan besar, apalagi diucapkan di depan banyak orang yang sedang antri beras.

   "Gadis kurang ajar, berani engkau menghina kami!"

   Dan setelah bekata demikian, dia menerjang maju dengan gerakan cepat sambil mengembangkan kedua lengannya seolah hendak menerkam Kiok Nio.

   Akan tetapi dengan gesitnya Kiok Nio mengelak kesamping sehingga terkaman itu luput. Empat orang kawan si baju hitam melihat kawannya sudah mulai bergerak, tidak tinggal diam. Mereka semua ingin sekali dapat membekuk dan memeluk gadis cantik itu, maka tanpa diperintah lagi mereka sudah mengepung Kiok Nio dengan sikap yang kasar menakutkan. Melihat dia dikepung lima orang laki-laki tinggi besar itu, Kiok Nio sama sekali tidak gentar. Akan tetapi ia tidak mau beradu tangan dan lengan dengan mereka, maka sekali tangan kanannya bergerak ke punggung, ia telah mencabut sebatang pedang dan melintangkan pedang itu di depan dada! Melihat ini si baju hitam dan kawan-kawannya juga mencabut senjata mereka berupa golok yang besar dan tajam.

   "Kawan-kawan, hati-hati jangan lukai nona manis ini. Sayang kalau kulitnya yang halus itu ada yang lecet, ha-ha-ha!"

   Kawan-kawannya juga tertawa mendengar ucapan ini. Ucapan si baju hitam itu membuat Kiok Nio menjadi marah sekali.

   "Lihat serangan!"

   Bentaknya dan pedangnya udah berkelebat ke depan menyerang si baju hitam. Orang ini terkejut bukan main. Serangan sedemikian cepatnya sehingga hampir saja dia terkena tusukan pada dadanya. Dia menggerakkan goloknya menangkis sambil melompat mundur dan kini empat orang kawannya maju dengan golok mereka, menyerang Kiok Nio dari empat jurusan. Akan tetapi Kiok Nio memutar pedangnya dan terdengar suara nyaring berdenting empat kali. Selanjutnya gadis itu memainkan ilmu pedang keluarga Tan dan lima orang lawannya menjadi terkejut dan mata mereka silau. Pedang di tangan Kiok Nio berubah menjadi segulungan sinar yang terang dan menyambar-nyambar ke arah tubuh mereka! Lima orang itu kini hanya mampu membela diri dengan tangkisa-tangkisan dan berlompatan ke sana sini untuk menghindarkan sinar pedang yang makin lama semakin cepat itu.

   Si Kong yang tadinya merasa khawatir dan siap-siap membantu atau menolong kalau gadis itu terancam bahaya, kini sebaliknya menjadi kagum bukan main. Gadis itu memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan tahulah dia bahwa gadis itu tidak akan kalah dikeroyok lima orang itu. Dugaan Si Kong memang tepat. Setelah lewat belasan jurus, pedang di tangan Kiok Nio telah mengurung lima orang itu dan orang yang pertama roboh terpelanting adalah si baju hitam. Pedang Kiok Nio melukai pangkal lengan kanannya sehingga dia terpaksa melepaskan goloknya dan roboh, memegangi lengan
(Lanjut ke Jilid 07)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
kanan yang terluka itu sambil mengaduh-aduh. Pedang itu berkelebatan terus dan berturut-turut empat orang pengeroyok yang lain juga roboh. Ada yang terluka pundaknya, ada yang robek pahanya dan orang ke lima roboh oleh tendangan kaki Kiok Nio yang tepat mengenai perut, membuat orang itu perutnya mulas!

   Tepuk sorak terdengar ketika mereka yang antri beras itu melihat lima orang itu dapat dirobohkan oleh gadis itu. si Kong juga ikut bertepuk tangan memuji dengan hati lega karena selain gadis itu dapat menang, akan tetapi terutama sekali gadis itu tidak membunuh orang. Dengan ilmu pedang seperti itu, kalau gadis itu hendak membunuh para pengeroyoknya, hal itu dapat dilakukan dengan mudah. Akan tetapi gadis itu hanya membuat mereka luka ringan saja. hal inilah yangmengagumkan hati Si Kong. Setelah hari menjadi sore dan pekerjaan membagi-bagi beras itu selesai The-wan-gwe memanggil Si Kong. Si Kong segera memasuki ruangan depan dan disitu telah duduk The Kun, isterinya dan Tan Kiok Nio. Si Kong memberi hormat kepada mereka.

   "Inilah pemuda yang bernama Si Kong itu yang telah mengusir pengacau."

   The Kun memperkenalkan kepada isteri dan keponakannya. Kemudia berkata kepada Si Kong.

   "Si Kong, ini adalah isteriku dan itu adalah keponakanku bernama Tan Kiok Nio."

   Kembali Si Kong memberi hormat.

   "Duduklah, Si Kong. Kami memanggilmu untuk diajak berunding."

   Si Kong mengambil tempat duduk.

   "Urusan apakah yang hendak dirundingkan, Lo-ya?"

   "Sebelumnya kami ingin mengtehui engkau berasal dari mana, dan siapa gurumu?"

   "Saya dulu ketika masih kecil tinggal di Ki-ceng, akan tetapi sejak saya berusia sepuluh tahun saya berkelana seorang diri karena orang tua saya sudah meninggal dunia. Saya selalu merantau dan dalam perantauan itu saya belajar silat dari beberapa orang guru. Ketika tadi saya melihat di kota ini ada seorang dermawan membagi-bagi beras, hati saya tertarik dan beruntung saya dapat membantu Lo-ya."

   "Dan kami berterima kasih sekali kepadamu, Si Kong. Keponakanku ini kebetulan datang sehingga ia dapat mengusir lima orang pengacau tadi."

   "Siocia memiliki ilmu yang sangat tinggi, sungguh mengagumkan sekali."

   Kata Si kong dengan sejujurnya karena dia memang melihat betapa hebatnya ilmu pedang gadis itu.

   "Keponakanku ini adalah puteri seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia persilatan, bernama Tan Tiong Bu, tentu saja ia memiliki ilmu yang tinggi warisan dari Ayahnya."

   "Ah, paman harap jangan memuji terlalu tinggi. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang sakti, bahkan mendiang Ayah juga dikalahkan dan di bunuh orang yang tentu lebih pandai."

   Kata Kiok Nio merendah. Hartawan The menghela napas panjang.

   "Betapa banyaknya orang jahat di dunia ini. Seperti para pengacau tadi, mereka adalah orang-orang yang amat jahat. Entah mengapa mereka memusuhi aku. Si Kong, engkau sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, mungkin engkau mengenal mereka itu siapa dan dari perkumpulan apa?"

   Si Kong menggeleng kepalanya.

   "Maaf, Lo-ya. Saya baru saja hari ini memasuki kota Ci-bun. Saya sama sekali tidak mengenal mereka."

   Kiok Nio yang ikut mencurahkan perhatian kepada percakapan itu berkata,

   "Mereka berpakaian serba hitam semua, tentu mereka itu anggauta sebuah perkumpulan. Dan melihat pakaian dan penampilan mereka, mereka itu tentu anggauta-anggauta perkumpulan perampok atau perkumpulan pengemis yang sesat."

   Hartawan The menepuk pahanya.

   "Perkumpulan pengemis? Ah, sekarang aku teringat! Di Ci-bun ini memang terdapat sebuah perkumpulan pengemis berbaju hitam, yaitu Hek I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Apakah mereka itu dari perkumpulan itu? Akan tetapi biasanya para anggauta perkumpulan itu tidak pernah ada yang membikin kacau, apalagi berbuat jahat. Kalau melihat pakaian mereka, memang besar sekali kemungkinan mereka itu orang-orang Hek I Kaipang."

   "Hemm, dimanakah sarang perkumpulan itu, Lo-ya?"

   "Bagaimana kami bisa mengetahui tempat tinggal mereka? Akan tetapi biasanya ada saja pengemis baju hitam yang berkeliaran di kota ini. Kalau engkau bertanya kepada mereka, tentu mereka akan dapat memberi keterangan."

   "Kalau begitu, besok pagi saya mohon pamit, Lo-ya."

   Kiok Nio memandang penuh perhatian. Pemuda itu menurut cerita pamannya telah mengalahkan si baju hitam. Akan tetapi hal itu belum menjadi jaminan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi yang akan mampu menghadapi pengeroyokan anggauta Hek I Kaipang!

   "Apa maksudmu hendak mencari sarang Hek I kaipang!"

   Tanyanya dengan hati tertarik.

   "Saya hendak bicara dengan ketuanya, melaporkan perbuatan anak buahnya yang jahat dan minta kepadanya agar selanjutnya jangan mengganggu usaha kemanusiaan Lo-ya yang membagi-bagi beras."

   "Engkau berani?"

   "Kenapa tidak, siocia. Saya kesana dengan maksud baik. Saya tidak ingin bermusuhan dengan siapa juga."

   "Kalau ketuanya tidak mendengar omonganmu dan engkau dikeroyok, bagaimana?"

   "Saya kira tidak demikian, siocia. Akan tetapi kalau terjadi seperti yang nona katakan itu, yah, bagaimana nanti sajalah!"

   Kiok Nio mendapatkan ingatan mengenai urusannya sendiri.

   "Si Kong, engkau adalah seorang yang suka berkelana tentu pengetahuanmu tentang dunia kang-ouw lebih luas daripada aku. Oleh karena itu, aku minta pertolongan kepadamu, entah engkau mau menyanggupi atau tidak."

   "Katakanlah, siocia. Kalau memang aku dapat melakukannya, tentu akan kusanggupi."

   "Begini, aku mempunyai musuh besar, yaitu orang yang telah membunuh Ayah ibuku. Akan tetapi aku belum pernah melihat orangnya, tidak tahu namanya. Hanya ada keterangan bahwa pembunuh itu mengenakan pakaian serba merah usianya enam puluh tahun kurang lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat. Nah, kalau engkau dapat mengetahui siapa orang itu, siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya, aku minta agar engkau suka memberi kabar padaku disini. Maukah engkau membantuku, Si Kong?"

   Si Kong mengangguk dan menjawab dengan sungguh-sungguh.

   "Akan saya buka lebar-lebar mata dan telinga saya untuk mencari tahu tentang kakek itu, nona. Mudah-mudahan saja ada yang tahu siapa kakek dengan gambaran seperti yang nona ceritakan tadi."

   "Ada satu keterangan tambahan, Si Kong. Orang itu telah merampas sebatang pedang milik Ayah. Pedang itu disebut Pek-lui-kiam, pedang yang mengeluarkan sinar kilat."

   "Keterangan itu penting sekali, nona. Kalau tidak dapat dikenal orangnya, mungkin dapat dikenal pedangnya. Saya akan berusaha mencarinya, nona."

   "Terima kasih, engkau baik sekali, Si Kong. Dan untuk bekal perjalananmu, terimalah benda-benda ini dan juallah."

   Gadis itu menyerahkan sapasang gelang emasnya. Si Kong menolak dengan halus.

   "Nona, apa yang saya lakukan adalah suatu kewajiban bagi saya, dan saya tidak membutuhkan imbalan."

   "Tidak, Si Kong. Simpanlah ini. Kalau engkau sampai kehabisan bekal di perjalanan, dapat kau pergunakan gelang-gelang ini. Kalau engkau tidak mau menerimanya, aku akan selalu merasa gelisah dan menyesal, dan tidak mempunyai harapan akan dapat menemukan musuh besarku. Terimalah! Ini bukan imbalan jasa, melainkan untuk biaya perjalanan."

   "Kiok Nio benar, Si Kong. Terimalah sepasang gelang itu agar hatinya tenteram."

   Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Hartawan The Kun. Karena di desak oleh mereka, akhirnya Si Kong mau juga menerima sepasang gelang emas bertabur permata itu. Malam itu dia bermalam di dalam sebuah kamar tamu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah berpamit lalu pergi meninggalkan rumah The Kun dan berjalan keliling kota. Tak lama kemudian, bertemulah dia dengan yang dicari-carinya.

   Dua orang pengemis yang mengenakan pakaian berwarna hitam sedang mengemis di depan sebuah pasar. Dua orang pengemis ini sama sekali tidak kelihatan menyeramkan seperti lima orang perusuh yang kemarin mengacau di depan rumah Hartawan The. Si Kong memperhatikan mereka berdua. Pakaian mereka memang serba hitam seperti pakaian para pengacau kemarin akan tetapi mereka mengemis seperti pengemis biasa, bukan menggunakan kekerasan dan menerima apa dan berapa saja pemberian orang. Si Kong sengaja lewat di depan mereka, akan tetapi mereka itu sama sekali tidak mengenalnya dan hanya menodongkan tangan minta sumbangan. Si Kong mengambil empat keping uang dan memberi mereka masing-masing dua keping. Melihat ada orang memberi mereka masing-masing dua keping, dua orang pengemis itu membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih.

   "Sekarang aku minta tolong kepada kalian."

   Kata Si Kong.

   "Dimanakah tempat tinggal ketua Hek I Kaipang?"

   Mendengar ini, mata dua orang pengemis itu menatap wajah Si Kong penuh perhatian dan setelah bertemu pandang, baru Si Kong menduga bahwa dua orang pengemis yang kelihatan lemah ini tentu memiliki ilmu silat yang lumayan.

   "Kongcu, ada keperluan apakah kongcu menanyakan Hek I Kaipang?"

   "Aku hanya ingin bertemu dengan pangcu kalian. Kalau pembicaraan kami cocok, aku ingin menyumbang."

   Kata Si Kong. Mata yang tadinya mencorong penuh selidik itu menjadi lembut kembali dan seorang di antara dua orang pengemis itu tersenyum.

   "Kalau kongcu keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur, dalam jarak kurang lebih lima mil, kongcu akan melihat sebuah bangunan kuil yang sudah tidak dipergunakan lagi. Disanalah tempat tinggal kami."

   "Terima kasih,"

   Kata Si Kong dengan gembira.

   "Sekarang juga aku akan pergi kesana."

   Dia lalu melangkah cepat ke pintu gerbang timur dan keluar dari pintu gerbang itu. Ternyata sebelah timur kota itu merupakan persawahan yang tidak ada bangunan rumahnya, tidak ada orang kecuali mereka yang bekerja di sawah ladang. Dia berjalan menuju ke timur, melalui jalan yang tanahnya pecah-pecah karena musim kering panjang. Dari jauh kelihatan sebuah hutan di depan, dan sungguh menyenangkan melihat kehijauan hutan itu setelah hati merasa sedih melihat tanah yang kekeringan.

   Karena jalan itu sepi orang, Si Kong lalu mempergunakan ilmu Liok-te Hui-teng sehingga tubuhnya seolah melayang atau terbang saja saking cepatnya dia berlari. Tak lama kemudian dia memasuki hutan itu dan di dalam hutan terdapat sebuah kuil kuno yang besar namun sudah tidak berfungsi menjadi kuil tempat bersembahyang lagi. Ketika Si Kong tiba di depan kuil, di pekarangan kuil itu dia melihat beberapa orang berpakaian hitam sedang bekerja. Ada yang menyapu halaman, ada yang memelihara tanaman bunga, adapula yang membersihkan pintu dan jendela-jendela. Kiranya kuil yang tua dan sudah tidak digunakan lagi itu kini terpelihara oleh anak buah Hek I Kaipang. Kuil itu nampak tua akan tetapi bersih. Si Kong memasuki halaman itu dan segera ada tiga orang pengemis berpakaian hitam menghadangnya.

   "Kongcu, disini bukan tempat umum, melainkan tempat tinggal kami. Ada keperluan apa kongcu masuk ke sini?"

   Tanya seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus. Pengemis ini masih memegang sapu bergagang panjang. Adapun dua orang temannya yang tadi bekerja memelihara pohon bunga, berdiri dengan sikap waspada sambil membawa golok yang tadi mereka pergunakan untuk membabat tumbuh-tumbuhan yang liar. Si Kong segera menjawab dengan tulus,

   "Kedatanganku ini untuk bertemu dengan ketua Hek I Kaipang."

   Tiga orang itu kelihatan terkejut lalu memandang dengan sinar mata penuh kecurigaan.

   "Orang muda, ada keperluan apa engkau hendak bertemu dengan pangcu (ketua) kami?"

   "Kalian tidak perlu tahu. Bawa saja aku menghadap pangcu kalian dan aku akan bicara dengannya."

   "Hemm, tidak mudah untuk bertemu dengan pangcu kami, orang muda. Ada syaratnya untuk di anggap patut bertemu dengan beliau."

   Kata pula pengemis jangkung kurus itu.

   "Ada syaratnya? Dan apakah syarat itu?"

   Tanya Si Kong penasaran. Masa hendak bertemu dengan ketua pengemis saja ada syaratnya? Betapa angkuhnya para pengemis ini.

   "Syaratnya ada dua. Pertama, harus diberitahukan dulu kepada kami apa keperluanmu dan mencari kami akan melapor kepada pangcu apakah beliau mau bertemu dengan engkau atau tidak."

   "Dan syarat ke dua?"

   "Syarat kedua berlaku untuk mereka yang tidak memenuhi syarat pertama, yaitu kalau hendak masuk kuil, harus melangkahi tubuh kami bertiga!"

   Ini sebuah tantangan! Biarpun sikap mereka tidak sekasar dan sesombong si baju hitam dan empat orang kawannya yang mengacau di depan rumah Hartawan The, tiga orang ini jelas memandang rendah orang lain dan menantangnya. Hatinya makin merasa tidak suka kepada Hek I Kaipang.

   "Bagus, aku menghendaki syarat ke dua!"

   Kata Si Kong. Si tinggi kurus melintangkan sapunya yang bergagang panjang sedangkan dua orang temannya memegang golok. Mereka kelihatan tegang dan sudah bersiap-siap untuk mengeroyok.

   "Majulah kalau engkau berani melawan kami bertiga, kami sudah siap!"

   Kata si tinggi kurus.

   Si Kong lalu menerjang maju, menampar ke arah pengemis kurus itu. Si pengemis kurus menggerakkan gagang sapunya, memainkan sapu itu seperti orang bersilat pakai tongkat, menangkis tamparan Si kong sambil mengerahkan tenaga.

   "Krakk!"

   Tongkat sapu itu patah menjadi dua potong! Dua orang pengemis lain sudah membantu dengan menyerang Si Kong, menggunakan golok mereka, dari kanan kiri. Namun dengan amat mudahnya Si Kong mengelak ke belakang dan ketika kedua batang golok itu menyambar luput, Si Kong sudah menggerakkan jari tangannya menotok dan kedua orang itu roboh tanpa dapat bangkit kembali karena tubuh mereka sudah tertotok lemas.

   Si tinggi kurus marah sekali dan dia menggunakan tongkatnya yang sudah patah menjadi dua potong itu untuk menyerang Si Kong. Akan tetapi, Si Kong menangkis dua potong tongkat itu dengan kedua tangannya dan kembali tongkat itu patah! Sebelum pengemis itu mampu menyerang lagi, Si Kong sudah menotoknya pula dan si tinggi kurus itu juga roboh tak dapat bangkit kembali. Masih ada dua orang pengemis yang bekerja di halaman itu. Melihat tiga orangnya di robohkan pemuda itu, mereka menjadi marah. Seorang dari mereka berlari masuk ke dalam kuil, sedangkan orang kedua berlari menghampiri Si Kong dan menyerang, menggunakan tongkatnya. Si Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia menangkap tongkat itu dan menotok roboh pengemis keempat.

   "Nah, aku telah memenuhi syarat ke dua, dapat melangkahi tubuh kalian. Tentu sekarang aku diperkenankan masuk."

   Setelah berkata demikian dia melangkahi tubuh mereka. Pada saat itu, dari dalam kuil muncul dua orang. Yang seorang adalah adalah seorang kakek berpakaian serba hitam yang usianya sudah ada enam puluh tahun, namun tubuhnya masih nampak sehat dan kokoh. Muka pengemis ini bundar, dengan sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa dia memliki tenaga sinkang yang kuat.

   "Siapa berani membikin ribut disini?"

   Bentaknya dan dia memandang kepada Si Kong, lalu kepada tubuh empat orang pengemis yang menggeletak diatas tanah tanpa dapat bergerak. Adapun orang kedua adalah seorang gadis yang cantik dan gagah sekali, dengan sebatang pedang terselip di punggung. Pengemis tua itu lalu meloncat kedepan tubuh empat orang pengemis tertotok itu. Tongkatnya bergerak cepat menotok mereka berempat dan seketika empat orang itu mampu bergerak kembali. Mereka bangkit dan berdiri, muka mereka merah karena telah di kalahkan oleh pemuda itu.

   "Orang muda, siapakah engkau? Engkau berani datang dan menyerang empat orang anggauta kami, merobohkan mereka dengan totokan. Apa maksud perbuatanmu ini dan apa kehendakmu?"

   Si Kong mengamati orang tua itu. Tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Sebatang tongkat hitam setinggi pundak berada di tangannya. Tentu orang ini memiliki ilmu tongkat yang lihai, pikirnya.

   "Engkau ketua Hek I Kaipang?"

   Tanya Si Kong, suaranya tegas.

   "Benar, akulah Hek I Kaipangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam)."

   "Aku bernama Si Kong dan aku datang untuk menegurmu. Sebagai ketua Kaipang, engkau harus mendidik anggautamu dengan baik-baik. Mengemis makanan dan uang memang perbuatan tak tahu malu dan menjadi tanda kemalasan. Akan tetapi mengemis dengan cara merampok merupakan kejahatan yang tak dapat diampuni lagi!"

   "Pemuda sombong! Engkau datang mengacau di sini, sebaliknya engkau menuduh orang lain yang bukan-bukan. Engkaulah yang sombong dan jahat!"

   "Hemm, dengarkan dulu omonganku..."

   "Tidak perlu banyak bicara. Engkau kalahkan dulu tongkatku ini, baru kita bicara. Engkau telah merobohkan empat orang anggauta kami, itu sudah lebih dari cukup. Merobohkan anggauta kami di tempat kami sendiri merupakan penghinaan bagi ketuanya. Nah, bersiaplah engkau!"

   Kakek itu memutar-mutar tongkatnya dan terasa ada angin yang kuat menyambar. Diam-diam Si Kong kagum akan tetapi juga membangkitkan nafsunya untuk mencoba dan menandingi kakek ahli ilmu tongkat itu. Melihat tempat itu dikepung banyak pengemis baju hitam dan banyak di antara mereka yang memegang tongkat, Si Kong lalu meloncat ke samping dan sebelum pemilik tongkat itu tahu apa yang terjadi, tongkat bambunya sudah berpindah ke tangan Si Kong.

   "Pangcu, aku datang untuk bicara, akan tetapi aku disambut dengan tongkat. Jangan dikira bahwa aku takut menghadapi tongkatmu. Mari kita bermain tongkat sebentar. Hendak kulihat sampai dimana kelihaian tongkatmu!"

   Si Kong melintangkan tongkat bambunya di depan dada. Sebaliknya, ketua Hek I Kaipang itu menjadi semakin penasaran. Pemuda itu berani menyambut tantangannya dengan bersenjatakan sebatang tongkat bambu! Padahal, tongkat di tangannya adalah sebatang tongkat yang terbuat dari pada baja pilihan sehingga tongkatnya itu berani menyambut senjata pusaka yang bagaimanapun ampuhnya.

   Sementara itu, gadis cantik gagah yang keluar bersama ketua Hek I Kaipang itu hanya menontong dengan sikap tenang sekali. Gadis ini bukan gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Ia adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Siong yang diwaktu kecilnya dijuluki Sin-tong (Anak Sakti) karena bertulang dan berbakat baik sekali. Pek Han Siong ini menguasai banyak macam ilmu silat, diantaranya ilmu silat Pek-sim-pang (Tongkat Hati Murni), Kwan Im Kiamsut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) yang dapat dimainkan dengan tangan kosong pula, disebut Kwan Im Sin-kun dan masih banyak lagi. Dan lebih dari pada itu, diapun menguasai ilmu sihir! Adapun isterinya juga bukan orang sembarangan. Ibu gadis itu bernama Siangkoan Bi Lian yang pernah mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewa Berhati Besi).

   Diantara ilmu-ilmu silat yang dikuasainya, terdapat ilmu Kim-ke Sin-kun (Ilmu Silat Ayam Emas) dan juga Kwan Im Sin-kun. Gadis itu adalah puteri mereka, anak tunggal yang bernama Pek Bwe Hwa, berusia delapan belas tahun. Wajahnya berbentuk bulat telur seperti wajah ibunya, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dagunya yang runcing itu membayangkan kekerasan hati, tubuhnya ramping padat dan rambutnya digelung sederhana di atas kepala, diikat dengan pita merah. Pedang yang berada di punggungnya itu adalah pedang pusaka Kwan Im-kiam (Pedang Dewi Kwan Im) yang diterimanya dari Ayahnya. Sebagai puteri tunggal sepasang pendekar sakti itu, tidak mengherankan kalau Bwe Hwa mewarisi ilmu-ilmu dari Ayah ibunya. Bahkan ia pernah di beri petunjuk dan dilatih oleh Ayahnya dalam ilmu sihir!

   Bwe Hwa sedang berkunjung kepada Ketua Hek I Kaipang dalam usahanya ikut mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam yang menghebokan dunia kang-ouw itu. Pek Han Siong dan isterinya yang mendengar tentang pedang pusaka yang kabarnya dipakai berebutan oleh para tokoh dan datuk persilatan, sengaja menyuruh puteri mereka untuk ikut pula berlumba menemukan dan merampas pedang itu. Mereka yakin bahwa puteri mereka pasti mampu melindungi diri sendiri dengan semua ilmunya. Mereka menghendaki agar puteri mereka memperoleh pengalaman di dunia kang-ouw, seperti mereka dulu ketika masih muda. Kini Pek Han Siong sudah berusia lima puluh satu tahun dan isterinya empat puluh sembilan tahun. Mereka juga memberitahu nama dari para tokoh sesat dan juga tokoh-tokoh yang bersih. Demikianlah sedikit keterangan mengenai Pek Bwe Hwa dan kedua orang tuanya yang kini bertempat tinggal di kota Tung-ciu, disebalh timur kota raja.

   Ketika itu Pek Bwe Hwa sedang menjadi tamu ketua Hek I Kaipang karena dari orang tuanya dara ini mendapat tahu bahwa ketua Hek I Kaipang merupakan kenalan Ayahnya dan boleh dipercaya. Bwe Hwa berkunjung untuk mencari keterangan perihal Pek-lui-kiam kepada ketua itu. Dan selagi mereka bercakap-cakap di dalam, datang anggauta Hek I Kaipang yang melaporkan tentang kedatangan Si Kong yang bertanding dengan para anggauta perkumpulan itu di halaman depan. Hek I Kaipangcu menjadi marah mendengar laporan itu dan diapun bergegas keluar sambil membawa tongkatnya. Bwe Hwa tertarik dan ikut keluar. Akan tetapi gadis ini tidak mau mencampuri urusan Souw Kian atau Souw-pangcu (Ketua Souw) ketua Hek I Kaipang itu. Ia mendengar dari Ayahnya bahwa Souw Pangcu adalah seorang yang memiliki ilmu tongkat yang lihai, maka iapun tidak perlu membantu. Akan tetapi melihat Si Kong, hatinya menjadi tertarik.

   Pemuda itu tidak kelihatan seperti seorang penjahat dan begitu pemberani sehingga berani menyambut tantangan Souw Pangcu yang bersenjatakan tongkat baja itu hanya dengan senjata tongkat bambu. Hati gadis ini menjadi kagum dan tertarik sekali. Akan tetapi ia melangkah maju mendekat agar dapat mencegah kalau sekiranya Souw Pangcu terancam bahaya maut. Souw Pangcu adalah seorang gagah. Melihat pemuda itu hanya bersenjatakan sebatang tongkat bambu, diapun enggan menggunakan tongkat bajanya. Yang dilawannya adalah seorang yang masih muda belia, kalaupun dia menang dalam pertandingan itu, kemenangannya tidak adil dan dia merasa malu. Maka, diapun menggapai seorang anggauta perkumpulannya yang memegang tongkat bambu. Anggauta itu mendekat dan Souw Pangcu menukar tongkat bajanya dengan tongkat bambu.

   "Nah, sekarang senjata kita berimbang. Bersiaplah dan seranglah aku, orang muda."

   "Aku hanya tamu dan engkau tuan rumah, pangcu. Silakan maju lebih dulu, aku sudah siap!"

   "Bagus, lihat seranganku!"

   Bentak ketua itu dan mulailah dia memutar tongkat dan segera tongkatnya itu berubah seperti payung putih yang menerjang ke arah Si Kong. Di dalam hatinya sudah timbul keraguan apakah ketua perkumpulan ini seorang jahat karena sikapnya yang demikian gagah. Jelas bahwa ketua ini tidak ingin menang sendiri. Maka diapun menyambut dan dalam hatinya dia mengambil keputusan untuk tidak membunuh atau melukai berat lawannya. Asal dapat mengalahkan saja sudah cukup. Apalagi maksud kunjungannya bukan untuk berkelahi, melainkan untuk membujuk ketua ini agar suka melarang para anggautanya melakukan kejahatan.

   "Trak-tuk-tuk"!"

   Tiga kali tongkat berbenturan dan Souw Pangcu menjadi kaget setengah mati. Pertemuan tongkat yang terakhir itu membuatnya terhuyung ke belakang! Ini tidak mungkin, pikirnya. Dia tadi merasa betapa kedua tangannya tergetar ketika menangkis pukulan pertama dan kedua, akan tetapi pada pertemuan tongkat yang ketiga kalinya dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk membikin hancur tongkat lawan. Akan tetapi akibatnya, bukan tongkat lawan yang hancur, melainkan tubuhnya yang terdorong kebelakang sampai dia terhuyung-huyung. Akan tetapi hal ini membuat Souw Kian menjadi penasaran sekali. Kembali dia menerjang dengan teriakan nyaring, memainkan ilmu silat Hek-liong-tung-hwat (Ilmu Tongkat Naga Hitam). Tongkatnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk.

   Akan tetapi, semua serangannya dapat dihindarkan oleh Si Kong dengan elakan maupun tangkisan dan setiap kali pemuda itu membalas, sang ketua menjadi repot menyelamatkan diri. Bwe Hwa melihat ini semua dan ia semakin kagum saja. Ilmu tongkat pemuda itu aneh sekali dan perubahannya tak dapat disangka lawan. Setelah lewat tiga puluh jurus, Si Kong lalu menyerang dengan hebatnya, mengurung tubuh lawan dari segala jurusan dengan tongkatnya yang bergerak amat cepatnya. Souw Kian terkejut dan main mundur terus, akan tetapi tongkat lawan yang tadi menyerang tubuh bagian atas, tiba-tiba meluncur ke bawah dan sekali congkel, tongkat itu masuk di antara kedua kaki Souw Kian dan begitu tongkat di tarik kesamping, tak dapat dihindarkan lagi tubuh Souw Kian terjatuh menelungkup karena kedua kakinya terangkat ke atas! Dia jatuh menelungkup seolah-olah orang minta ampun.

   "Bangkitlah, pangcu, tidak perlu memberi penghormatan secara berlebihan!"

   Kata Si Kong yang hendak melucu. Akan tetapi ucapannya ini membuat Bwe Hwa memandang kepadanya dengan mata mencorong. Iapun meloncat kedepan dan sekali tarik pundak Souw Kian, ketua itu tertarik ke atas dan dapat berdiri.

   "Mengasolah, Souw Pangcu. Biar aku yang menghadapi pengacau ini!"

   Souw Kian terpaksa harus mengakui kekalahannya.

   Dia mengundurkan diri dengan muka merah dan berulang-ulang menghela napas panjang. Akan tetapi dia kini mengharapkan gadis tamunya itu akan mampu menghajar pemuda itu. Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki ilmu silat yang amat tinggi, mempelajarinya dari kedua orang tuanya yang menjadi pendekar sakti. Diapun kini menonton dari pinggiran. Bwe Hwa menghadapi Si Kong dengan senyum dingin dan matanya mencorong. Gadis ini menganggap Si Kong sebagai seorang pengacau. Ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong dan berkata dengan suaranya yang lembut akan tetapi penuh wibawa. Karena menganggap pemuda itu sudah membuat malu kepada Souw Pangcu, iapun hendak membalas membikin malu pemuda pengacau itu.

   "Si Kong engkau merangkaklah!"

   Di dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang seolah hendak memaksa Si Kong berlutut dan merangkak. Si Kong terkejut bukan main ketika merasa jantungnya tergetar dan ada dorongan dari hatinya sendiri untuk menjatuhkan diri dan berlutut.

   Akan tetapi dia teringat akan peringatan Ceng Lo-jin bahwa di dunia kang-ouw, terdapat orang-orang yang memiliki keahlian sihir. Kalau menghadapi lawan seperti ini dan ada dorongan hebat dari batinnya untuk menurut apa yang di katakan oleh lawan seperti itu, dia harus cepat mengerahkan sinkangnya yang akan dapat menolak pengaruh sihir. Maka, begitu batinnya mendorongnya untuk berlutut dan merangkak, dia mengerahkan sinkangnya untuk melawan dorongan ini. Kini berbalik Pwk Bwe Hwa yang terbelalak heran. Pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya! Maklumlah ia bahwa pemuda itu telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga mampu menahan kekuatan sihirnya. Melihat kenyataan ini, ia menghentikan kekuatan sihirnya dan mencabut pedang dari punggungnya.

   "Singg"!"

   Ketika pedang itu dicabut nampak sinar berkilauan dan gadis itu sudah melintangkan pedang di depan dadanya.

   "Pengacau sombong, lihat pedangku!"

   Bentaknya dan Pek Bwe Hwa segera menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar terang yang panjang dan tiba-tiba sinar itu mencuat ke arah Si Kong.

   "Tranggg...!"

   Pedang di tangan Bwe Hwa tergetar hebat di gadis itu bertambah heran dan juga terkejut. Pemuda yang memegang tongkat bambu ini memiliki tenaga sinkang yang bukan main kuatnya. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi. Ia menggunakan pedang Kwan-im-kian untuk memainkan Kwan im Kiam-sut yang amat lihai. Si Kong terkejut bukan main. Ilmu pedang gadis itu memang hebat sekali dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Timbul kekaguman dalam hatinya. Gadis itu masih muda, paling banyak delapan belas tahun usianya, akan tetapi sudah memiliki ilmu pedang yang demikian dahsyatnya.

   Karena maklum bahwa ilmu pedang gadis itu berbahaya bukan main, Si Kong lalu mainkan Ta-kaw Sin-tung dan mengerahkan khikangnya sehingga gerakannya cepat bukan main, lebih cepat daripada gerakan Bwe Hwa! Kedua orang muda itu bertanding dengan seru, saling serang dan saling desak. Akan tetapi tentu saja Si Kong tidak mempunyai niat untuk melukai atau membunuh lawannya. Dia ingin mengalahkan tanpa melukai, kalau dapat merampas pedang yang hebat itu. Akan tetapi justeru ini membuat dia sukar sekali untuk mendapatkan kemenangan. Merampas pedang itu amatklah sulit dan pertandingan antara mereka sudah berlangsung lebih dari lima puluh jurus, masih belum ada yang kalah. Mulailiah Si Kong merasa khawatir. Agaknya tidak mungkin baginya untuk dapat merampas pedang gadis itu. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat merobohkan lawan dengan melukainya, akan tetapi karena dia tidak menghendaki hal ini terjadi, dia mengalami kesulitan sendiri.

   Tiba-tiba teringatlah dia akan ilmu Thi-ki-i-beng. Hanya ilmu ini saja yang memungkinkan dia mengalahkan lawan tanpa melukainya. Ketika pedang itu menyambar lagi ke arah lehernya Si Kong menangkis dan menggunakan tenaga sinkangnya untuk membuat pedang itu menempel pada tongkatnya dan tidak dapat ditarik kembali. Bwe Hwa terkejut dan mengerahkan sinkangnya untuk menarik kembali pedangnya yang sudah melekat pada tongkat. Akan tetapi pada saat itu sesuai dengan rencananya, Si kong sudah mengerahkan Thi-ki-i-beng sehingga ketika gadis itu mengerahkan sinkang, tenaga gadis itu tersedot melalui pedang dan tongkat. Bwe Hwa terkejut bukan main! Dari Ayah ibunya dia mendengar bahwa di dunia kang-ouw terdapat sebuah ilmu yang luar biasa, yang dinamakan Thi-ki-i-beng.

   Akan tetapi yang menguasai ilmu itu di dunia persilatan mungkin hanya seorang, yaitu Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah di lautan selatan. Karena tidak ingin tenaga sinkangnya disedot sehingga ia kehabisan tenaga, terpaksa Bwe Hwa melepaskan pedangnya dan meloncat jauh ke belakang! Biarpun andaikata ia tidak melepaskan pedang, tetap saja ia tidak akan terancam bahaya karena Si Kong segera menyimpan kembali tenaga Thi-ki-i-beng. Diapun tidak ingin menyedot habis tenaga sinkang gadis itu dan hanya ingin membuatnya terkejut sehingga dia dapat merampas pedang itu. Si Kong mengambil pedang yang menempel pada tongkatnya, lalu menghampiri Bwe Hwa danmenyodorkan pedang itu kepada pemiliknya. Wajah Bwe Hwa menjadi merah, akan tetapi ia merasa penasaran sekali da bertanya,

   "Engkau menggunakan Thi-ki-i-beng! Dari mana engkau dapat menguasai ilmu itu? Apa hubunganmu dengan kakek Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah?"

   Ia menerima pedangnya. Si Kong makin kagum. Gadis ini masih muda, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan agaknya memiliki pengetahuan luas sehingga dapat mengenal Thi-ki-i-beng dan gurunya, Ceng Thian Sin.

   "Penglihatanmu tajam sekali, nona. Kakek Ceng Thian Sin adalah guruku."

   "Tidak mungkin!"

   Gadis itu membentak.

   "Kakek Ceng Thian Sin adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal. Sejak muda ia menentang kejahatan dan menghukum para penjahat. Bagaimana sekarang muridnya menjadi penjahat?"

   "Nona!"

   Kata Si Kong penasaran.

   "Aku bukan penjahat!"

   "Hemm, kau datang ke sini dan mengacaukan kehidupan para pengemis yang tenteram, engkau mengandalkan ilmumu untuk membikin rusuh, apakah itu tidak jahat namanya?"

   Diam-diam Si Kong terkejut. Jelas bahwa gadis itu bukan orang jahat, akan tetapi mengapa ia berada di sarang Hek I Kaipang yang jahat?

   "Nona, aku datang kesini bahkan untuk menentang kejahatan. Aku ingin menegur ketua Hek I Kaipang yang membiarkan anak buahnya melakukan kejahatan!"

   "Souw-pangcu biarpun menjadi ketua para pengemis adalah seorang gagah perkasa yang selalu membela keadilan dan kebenaran. Bagaimana engkau dapat menuduhnya memiliki anak buah yang jahat? Itu hanya fitnah belaka!"

   Souw Kian kini maju menghadapi Si Kong.

   "Agaknya terjadi kesalah-pahaman di antara kita, Si-Taihiap. Kalau Si-Taihiap hendak menegakkan kebenaran dengan menentang kejahatan, maka jelaslah bahwa disini terjadi kesalah-pahaman. Aku berani menanggung jawab bahwa di antara anggauta kami tidak ada yang menjadi penjahat."

   Si Kong menjadi ragu-ragu mendengar ucapan ketua Hek I Kaipang itu.

   "Akupun bukan bertindak secara ngawur, pangcu. Aku sendiri yang menghadapi para penjahat itu. mereka berpakaian hitam-hitam seperti anggautamu."

   "Hemm, mungkin ada yang sengaja berusaha merusak nama baik Hek I Kaipang. Tolong Taihiap ceritakan apa yang terjadi. Akan tetapi rasanya tidak enak bicara sambil berdiri di halaman ini. Marilah, Taihiap, kita bicara di dalam. Mari, Lihiap."

   Si Kong yang kini menyadari bahwa memang ada kesalah-pahaman, mengikuti ke dalam, Bwe Hwa juga masuk ke dalam dan ternyata di dalam kuil yang tua dan tidak dipergunakan lagi itu amat bersih terawat. Dindingnya di kapur putih dan lantainya juga bersih sekali. Diruangan tengah terdapat meja dan beberapa buah bangku kayu.

   "Silakan duduk, Taihiap dan Lihiap (pendekar wanita)."

   Setelah mereka bertiga duduk menghadapi meja, Souw Kian berkata,

   "Nah, silakan menceritakan semua yang telah terjadi sehingga Taihiap menuduh kami."

   Si Kong menjadi semakin ragu. Lima orang pengacau berpakaian hitam itu baru lagaknya saja sudah dapat diketahui bahwa mereka bukan orang baik-baik. Akan tetapi sikap ketua Hek I Kaipang ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia orang jahat. Dia menghela napas beberapa kali lalu bercerita.

   "Mula-mula terjadi di depan rumah Hartawan The pada hari kemarin. Ketika The-wan-gwe sedang membagi-bagi beras kepada mereka yang membutuhkan sehingga orang-orang itu berdiri dengan antri, tiba-tiba muncul seorang berbaju hitam yang pakaiannya serba hitam pula. Dia tidak mau antri seperti yang lain, menyerobot ke depan, bahkan dia minta sekarung beras. Ketika para petugas menolaknya, dia memukul empat orang petugas itu."

   "Hemm, jahat sekali orang itu. The-wan-gwe terkenal sebagai seorang dermawan yang budiman. Kalau aku berada di sana, tentu orang itu sudah kuhajar!"

   Kata Souw Kian marah.

   "Pendapatku sama dengan pendapat Souw-pangcu. Aku melihat kejadian itu lalu turun tangan dan menghajarnya. Dia melarikan diri akan tetapi tidak lama kemudian dia muncul lagi dengan empat orang kawannya yang semua juga berpakaian serba hitam. Untung di sana ada keponakan The-wan-gwe, seorang gadis yang pandai ilmu pedang dan gadis itu berhasil mengusir lima orang itu. Nah, karena lima orang itu berpakaian hitam-hitam, maka aku menduga bahwa mereka tentu anak buah Hek I Kaipang dan aku segera datang kesini untuk menegur Souw-pangcu. Akan tetapi malah aku yang dituduh membikin kacau!"

   "Mengerti aku sekarang. Tentu ada orang-orang yang sengaja hendak memburukkan nama kami. Akan tetapi percayalah, Taihiap, bahwa lima orang itu bukan anak buah kami, dan kami akan mengerahkan seluruh anggauta kami untuk melakukan penyelidikan dan menangkap lima orang itu."

   Si Kong mengangguk.

   "Setelah melihat keadaan Hek I Kaipang disini, dan sikap pangcu, akupun mulai percaya bahwa lima orang itu bukan anggauta Hek I Kaipang, melainkan orang-orang lain yang sengaja menyamar. Maafkanlah kesalahanku, pangcu."

   Si Kong bangkit berdiri dan memberi hormat kepada ketua itu. Souw Kian cepat berdiri dan membalas penghormatan itu.

   "Tidak perlu minta maaf, Taihiap. Kalau aku yang melihat peristiwa itu tentu akupun bertindak seperti yang Taihiap lakukan. Silakan duduk lagi, Taihiap. Kami merasa beruntung sekali dapat berkenalan dengan Si-Taihiap."

   Akan tetapi Si Kong tidak ingin duduk kembali. Urusannya telah selesai dengan Hek I Kaipang, maka dia tidak mau terlalu lama di situ.

   "Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan, pangcu. Karena itu aku tidak dapat terlalu lama berada di sini."

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 48 Kumbang Penghisap Kembang Eps 33 Kumbang Penghisap Kembang Eps 17

Cari Blog Ini