Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 33


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 33



"Kalau begitu, sekarang tiba saatnya ayah membuktikan bahwa ayah adalah seorang yang dapat menghargai jasa kami, dan juga seorang ayah yang baik. Kami berdua mohon agar ayah suka mengijinkan kami memperisteri dua orang gadis yang kami cintai itu, ayah. Aku ingin memperisteri Cia Kui Hong, dan adik Tang Gun ini ingin memperisteri Siangkoan Bi Lian."

   "Benar sekali apa yang dikatakan oleh koko Cun Sek, ayah. Sudah sejak dulu aku mencinta Sumoi Siangkoan Bi Lian, dan sekaranglah saatnya ayah memperkenankan aku memperisteri Sumoi. Kuharap ayah tidak berkeberatan, sehingga tidak sia-sia sejak dahulu aku merindukan ayah kemudian bahkan membantu ayah dengan setia."

   Sepasang mata itu mencorong seperti berapi, akan tetapi hanya sebentar saja, kemudian Ang-hong-cu tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang rapi.

   "Ha-ha-ha-ha! Ini namanya tidak punya anak susah, punya anak juga susah. Dengan adanya kalian sebagai anak-anakku, kalian rewel dan membikin pusing saja! Sebelum ada orang yang mengaku anakku, setiap ada gadis terjatuh ke dalam tanganku, kumiliki sendiri tanpa ada yang mengganggu. Sekarang, aku menawan dua orang gadis pilihan, dan kalian ribut hendak merenggut mereka dari tanganku. Kalau kuturuti permintaan kalian, habis untuk aku sendiri apa?"

   Dua orang muda itu saling pandang dengan alis berkerut, akan tetapi tidak berani membantah.

   "Sekarang begini saja. Karena di sini hanya ada dua orang gadis, maka biar yang seorang kuberikan kepada kalian, yang lain untukku. Nah, kalian boleh bertanding mengadu kepandaian. Siapa yang menang, boleh memilih seorang di antara dua orang gadis itu. Yang kalah tidak usah banyak rewel lagi, dan gadis ke dua untuk aku. Nah, mulailah!"

   Kembali dua orang muda itu saling pandang dengan alis berkerut, akan tetapi kini sinar mata mereka saling bertentangan. Tang Cun Sek lalu tersenyum menghadapi adik tirinya.

   "Gun-te (adik Gun), engkau adalah adikku, maka sepatutnya kalau engkau mengalah sekali ini. Biar aku dulu yang menikah, kelak aku akan membantumu mencarikan seorang isteri."

   "Tidak bisa begitu, twako!"

   Bantah Tang Gun dengan alis berkerut.

   "Aku mencinta Sumoi Siangkoan Bi Lian, maka aku akan mempertahankannya dengan taruhan nyawa. Engkau sajalah yang mengalah terhadap adikmu ini, toa-ko, dan aku takkan pernah melupakan budimu ini."

   "Mengalah dan melepaskan Cia Kui Hong? Tidak mungkin, Gun-te!"

   "Akupun tidak mungkin dapat mengalah!"

   "Hemm, mengapa kalian berdua begitu cerewet seperti perempuan-perempuan tua yang bawel? Hayo cepat mulai, atau kalau aku kehabisan sabar, dua-duanya akan kumiliki sendiri!"

   Mendengar ucapan ayah mereka itu, Tang Cun Sek dan Tang Gun sudah meloncat ke bawah pohon. Tang Gun sudah mencabut pedang Kwan-im-kiam, sedangkan Tang Cun Sek mencabut sepasang Hok-mo Siang-kiam, yaitu pedang-pedang yang mereka rampas dari Bi Lian dan Kui Hong.

   "Tidak boleh memakai senjata. Serahkan dulu pedang-pedang itu kepadaku!"

   Seru Ang-hong-cu.

   "Maksudku hanya untuk mengadu kepandaian, bukan mengadu nyawa!"

   Dua orang pemuda itu tidak berani membantah dan mereka melemparkan senjata itu kepada Ang-hong-cu yang menyambutnya dengan cekatan.

   Dia tidak menghendaki kematian dua orang puteranya itu, karena dia masih membutuhkan bantuan mereka. Namun, tentu saja di dalam hatinya, dia tidak rela menyerahkan dua orang gadis tawanan itu kepada mereka. Dua orang gadis itu amat lihai dan terlalu berbahaya. Harus dia sendiri yang menundukkan mereka atau kalau mereka berkeras, membunuh mereka. Dia tahu dengan pasti bahwa mereka itu tidak akan mau secara suka rela menjadi isteri kedua orang puteranya ini, dan kalau dipergunakan paksaan, tentu mereka makin tidak suka membantunya. Dia yang akan "menangani"

   Mereka. Kini Tang Cun Sek dan Tang Gun sudah saling berhadapan seperti dua orang jagoan yang hendak mengadu ilmu. Karena maklum bahwa kakak tirinya itu lihai sekali, Tang Gun tidak mau membuang waktu lagi.

   "Lihat serangan!"

   Bentaknya dan diapun sudah menggerakkan tubuhnya, menyerang dengan pukulan yang disertai loncatan seperti seekor ayam menerjang lawan.

   Karena maklum akan kelihaian lawan, maka begitu menyerang, Tang Gun sudah mempergunakan Ilmu Kim-ke Sin-kun yang dipelajarinya dari Suhu dan Subonya! Melihat serangan yang dahsyat ini, Tang Cun Sek terkejut bukan main. Diapun cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik sehingga terhindar dari serangan adik tirinya, kemudian membalas dengan memainkan ilmu silat andalan dari Cin-ling-pai, yaitu Thai-kek Sin-kun dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang! Tang Gun yang tidak berani menyambut, mengelak dengan loncatan ke samping, membalik dan menyerang lagi. Gerakannya lihcah seperti seekor ayam jantan berkelahi, berloncatan ke sana-sini untuk mengelak, kedua lengannya seperti sayap ayam yang menyambar dari kanan-kiri, kakinya menendang-nendang dan gerakannya sukar diduga.

   Terjadilah pertandingan yang amat menarik. Sebetulnya, ilmu silat yang dipelajari Tang Gun dari Suhu dan Subonya, yaitu Kim-ke Sin-kun, merupakan ilmu silat tinggi yang sukar dikalahkan. Namun sayang, belum lama Tang Gun mempelajarinya sehingga dia belum dapat menguasai benar ilmu itu. Andaikata dia sudah menguasai sepenuhnya, akan sukarlah bagi Tang Cun Sek untuk dapat mengalahkannya. Di lain pihak, Tang Cun Sek adalah murid Cin-ling-pai yang tadinya amat dikasihi kakek Cia Kong Liang dan kakek itu sendiri yang menggemblengnya sehingga dia menguasai ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai dengan baik sekali. Maka, tentu saja tingkat kepandaian dan tenaganya masih menang setingkat dibandingkan Tang Gun dan setelah lewat tiga puluh jurus, nampaklah betapa Tang Gun mulai terdesak hebat dan pemuda ini hanya mampu mengelak atau menangkis saja, tidak diberi kesempatan lagi untuk membalas.

   "Hyaaattt!"

   Sebuah tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang dari Tang Cun Sek menyentuh pundak Tang Gun. Biarpun yang terkena tamparan hanya pundak, namun rasa nyerinya sampai menembus ke jantung. Tang Gun terpelanting dan sebelum dia dapat bangkit kembali, Tang Cun Sek sudah menyusulkan serangan totokan dan Tang Gun roboh lemas tak sadarkan diri lagi.

   "Bagus, coba Kau lawan aku!"

   Tiba-tiba saja Ang-hong-cu Tang Bun An sudah menyerang Cun Sek dengan hebatnya. Cun Sek sama sekali tidak menyangka bahwa ayanya akan menyerangnya, maka saking kaget dan herannya, dia tidak sempat lagi menghindarkan dirinya dan dua buah totokan mengenai pundak dan dadanya. Dia mengeluh dan roboh tak sadar diri lagi, dalam keadaan tertotok. Ang-hong-cu tertawa.

   "Ha-ha-ha, anak-anak nakal kalian! Ayah mana yang tidak ingin menyenangkan anaknya? Akan tetapi kalian juga harus menjadi anak-anak yang berbakti. Jangan khawatir, anak-anakku. Aku akan memberikan dua orang gadis itu kepada kalian, akan tetapi aku adalah Si Kumbang Merah penghisap kembang. Aku harus menghisap madu mereka dulu, baru akan kuserahkan mereka kepada kalian, ha-ha-ha!"

   Sambil tertawa-tawa, Si Kumbang Merah mencengkeram punggung baju kedua orang pemuda yang pingsan itu mengangkat mereka seperti orang menjinjing dua ekor ayam saja dan menurunkan tubuh mereka di dalam pondok, di atas lantai.

   Kemudian dia menutupkan daun pintu pondok dan keluar lagi. Si Kumbang Merah ini memang suka akan segala yang indah-indah. Bukan hanya wanita cantik, akan tetapi dia suka pula akan kembang-kembang yang indah dan harum. Di sekeliling pondok di puncak bukit itupun penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna. Dia duduk di tengah-tengah taman yang dibuatnya sendiri itu sambil melamun dan menikmati keindahan alam. Waktu itu, musim semi telah lewat dan musim bunga membuat semua tanaman di situ berbunga. Bunga-bunga ini menarik kumbang dan kupu-kupu yang beterbangan di sekitar tempat itu, hinggap dari satu ke lain bunga untuk menghisap madunya.

   Ang-hong-cu Tang BunAn dengan sangat asyik memandang kupu-kupu yang bermain-main di antara bunga-bunga itu. Ketika ada seekor kumbang merah terbang dengan cepat, mendahului kupu-kupu yang banyak itu hinggap di kembang-kembang yang masih penuh madunya, dia memandang dengan hati tertarik. Pandang matanya membayangkan kegembiraan dan kebanggaan. Melihat kumbang merah menghisap madu kembang-kembang itu, diapun teringat akan semua pengalaman hidupnya. Sejak muda, diapun telah menghisap madu gados-gadis muda yang cantik, tak terhitung banyaknya. Si Kumbang Merah ini sama sekali tidak tahu betapa pada saat dia melamun itu, dua orang yang ditakutinya sedang melakukan pengejaran lewat terowongan rahasia!

   Akhirnya, Hay Hay dan Han Siong tiba di ujung lorong rahasia di bawah tanah itu dan mereka merasa kagum melihat bahwa terowongan itu menembus ke sebuah lereng bukit yang dikepung jurang. Jalan satu-satunya menuju bukit itu hanyalah melalui terowongan rahasia tadi! Maka, merekapun tidak merasa ragu lagi. Sudah pasti Si Kumbang Merah yang mereka kejar itu berada di bukit ini. Merekapun lalu mendaki bukit itu dengan cepat namun hati-hati sekali karena maklum betapa licik dan berbahayanya lawan yang mereka kejar. Ketika tiba di puncak, mereka melihat sebuah pondok. Nampaknya sunyi saja di sekitar tempat itu. Pondok itu seperti tidak ada penghuninya dan di sekeliling pondok terdapat taman bunga yang amat indah karena pada waktu itu, hampir semua tanaman berbunga. Dari tempat mereka mengintai saja sudah nampak banyak kupu-kupu beterbangan di antara bunga-bunga.

   "Sebaiknya kita berpencar agar tidak terjebak keduanya. Engkau menuju pondok lewat depan dan aku lewat belakang, Han Siong. Akan tetapi berhati-hatilah. Orang itu penuh tipu muslihat."

   Han Siong mengangguk dan mereka lalu berpencar. Hay Hay menyelinap di antara pohon-pohon, mengambil jalan memutar menuju ke arah belakang pondok, sedangkan Han Siong berindap-indap menghampiri pondok dari arah depan.

   Jantung dalam dada Hay Hay berdebar tegang ketika dia melihat Ang-hong-cu Tang Bun An duduk seorang diri di belakang pondok, di dalam taman bunga, dikelilingi bunga-bunga beraneka ragam dan warna! Orang yang dicari-carinya berada di tengah taman itu, seorang diri! Dia tidak ragu lagi walaupun kini orang itu tidak berjenggot dan berkumis. Wajahnya bersih dan tampan, namun itulah wajah Han Lojin! Seorang pria yang usianya kurang lebih lima puluh lima tahun, tampan dan gagah, dengan sinar mata penuh semangat, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan hidungnya mancung. Dia yakin bahwa itulah wajah Ang-hong-cu yang sebenarnya! Wajah Han Lojin merupakan satu diantara wajah penyamarannya saja, walaupun wajah Han Lojin tidak berubah, hanya ditambah kumis dan jenggot. Membayangkan nasib para gadis yang telah menjadi korban orang ini, terutama sekali Pek Eng dan Cia Ling,

   Hay Hay menjadi marah dan dia sudah hampir melompat keluar ketika dia menahan diri karena melihat pria itu tertawa-tawa seorang diri seperti orang yang miring otaknya. Ang-hong-cu bangkit berdiri sambil tertawa, lalu dia memetik setangkai mawar merah yang baru mekar dan semerbak mengharum. Diciumnya mawar itu dan dia nampaknya menikmati keharuman mawar itu, mencium dengan mata terpejam. Kemudian, dia membuka mata, memandang bunga mawar yang tadi diciuminya itu, dan jari-jari tangannya memereteli kelopak bunga itu satu demi satu, menaburkannya di atas tanah, lalu membuang tangkainya. Dipetiknya bunga lain, diciuminya seperti tadi, penuh kasih sayang dan kemesraan seolah-olah hendak dihisap habis keharuman bunga itu, namun tak lama kemudian kembali jari-jari tangannya memereteli sampai habis. Hay Hay yang mengintai, memandang dengan mata terbelalak dan dia menahan napas seperti terpesona.

   Dia melihat bunga-bunga itu seperti gadis-gadis yang menjadi korban Si Kumbang Merah, dihisap keharumannya lalu dirusak, dicampakkan begitu saja setelah keharumannya dihisap! Setelah menghabiskan belasan batang kembang, Si Kumbang Merah lalu menangkap seekor kupu-kupu bersayap kuning kebiruan, indah sekali. Diamatinya kupu-kupu itu, wajahnya berseri, pandang matanya mengagumi keindahan sayap kupu-kupu, kemudian, jari tangan yang kejam itu memereteli sayap kupu-kupu. Kupu-kupu itu meronta-ronta sampai akhirnya semua sayapnya patah-patah dan habis dan tinggal tubuhnya menggeliat-geliat dan meronta-ronta di atas tanah. Si Kumbang Merah memandang ke arah kupu-kupu itu, ke arah kelopak bunga yang bertebaran di depan kakinya dan diapun tertawa-tawa.

   "Manusia berwatak iblis!"

   Si Kumbang Merah terkejut mendengar seruan ini dan dia cepat membalikkan tubuhnya. Matanya terbelalak penuh keheranan ketika dia melihat bahwa yang menegurnya itu adalah Hay Hay!

   "Kau...??!"

   Serunya kaget karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa puteranya yang paling disegani ini dapat menyusulnya di situ.

   "Ang-hong-cu, engkau manusia iblis! Engkau memperlakukan para gadis yang tidak berdosa seperti kembang-kembang itu, seperti kupu-kupu itu. Engkau memperkosa, mempermainkan wanita sesuka hatimu, kemudian engkau campakkan mereka dengan kejam! Engkau tidak patut hidup dipermukaan bumi ini, dan engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang busuk!"

   "Hemmm, orang muda. Lupakah engkau bahwa engkau she Tang, bahwa engkau adalah putera Ang-hong-cu, puteraku? Engkau, seorang pendekar gagah perkasa dan budiman, apakah engkau hendak menjadi seorang yang durhaka, pengkhianat, membuat dosa menentang ayah kandung sendiri? Seorang pendekar harus berbakti kepada ayahnya!"

   "Ang-hong-cu, engkau seorang penjahat besar, tidak perlu lagi memberi wejangan dan berkhotbah. Seorang gagah membela kebenaran dan keadilan, dan dalam membela kebenaran dan keadilan, hubungan keluarga tidak masuk hitungan! Biar ayah sendiri, kalau jahat dan melanggar kebenaran dan keadilan, harus kutentang!"

   "Ha-ha-ha, Hay Hay anakku yang ganteng dan gagah! Coba katakan, kesalahan apa yang telah kulakukan? Kebenaran dan keadilan yang bagaimana yang telah kulanggar? Jangan melemparkan fitnah kepada ayah kandung sendiri!"

   "Hemm, Ang-hong-cu. Sejak kapan engkau mengaku-aku anak kepadaku? Ibuku sendiri kau perkosa, kau permainkan dan kemudian kau campakkan begitu saja sampai ia membunuh diri. Dan masih banyak sekali wanita-wanita yang kau rusak hidupnya, gadis-gadis tidak berdosa, bahkan pendekar-pendekar wanita! Engkau manusia berwa tak iblis!"

   "Ha-ha-ha, kau maksudkan wanita-wanita itu? Hay Hay, engkau anak kecil tahu apa! Wanita itu seperti bunga, indah dan harum, sudah sepatutnya dikagumi dan dinikmati, dan seorang laki-laki, seperti engkau, sungguh tolol kalau sampai terjatuh oleh rayuan wanita dan bertekuk lutut kepadanya. Akhirnya engkau sendiri yang akan menderita, yang akan dikhianati cintamu, ditinggal menyeleweng dengan pria lain!"

   "Tidak semua wanita seperti itu!"

   "Tidak semua wanita? Ha-ha-ha, engkau memang masih hijau. Karena pengalaman maka aku tahu benar akan hal itu. Dari pada disakiti hati oleh wanita, dari pada dipermainkan oleh wanita, lebih baik aku yang mempermainkan mereka."

   "Engkau memang jahat dan keji!"

   "Dan engkau sungguh mengecewakan hatiku. Engkau gagah perkasa dan tampan, engkau pandai menundukkan hati wanita, akan tetapi engkau lemah, engkau munafik, engkau pura-pura alim!"

   "Cukup! Aku tidak mau banyak bicara lagi denganmu!"

   Hay Hay membentak dengan hati panas dan sebal.

   "Hay Hay, habis engkau mau apa?"

   "Aku akan menangkapmu! Ang-hong-cu, menyerahlah. Engkau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu!"

   "Menyerah? Kepada anakku sendiri? Ha-ha-ha, anak baik, jangan dikira bahwa ayahmu ini selemah itu! Kalau aku tidak mau menyerah, habis engkau mau apa?"

   "Terpaksa aku menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!"

   "Anak durhaka, engkau perlu dihajar. Majulah!"

   Tentu saja ini hanya merupakan gertakan yang membual karena sebenarnya di sudut hatinya, Ang-hong-cu Tang Bun An merasa jerih terhadap Hay Hay. Dahulu pernah dia menjadi pecundang, dikalahkan anaknya sendiri itu. Karena maklum akan kehebatan Hay Hay, maka Si Kumbang Merah telah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu rantai baja dengan kedua ujung dipasangi sebuah pisau dan sebuah kaitan. Diputarnya rantai itu dan terdengarlah suara mendesing-desing dan nampak gulungan sjnar putih gemerlapan. Hay Hay juga melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang dapat digulung dan dipakai sebagai sabuk itu. Begitu pedang itu digerakkan, nampak sinar emas bergulung-gulung.

   "Trangg! Cringgg...!!"

   Ketika beruntun pisau dan kaitan itu menyambar dahsyat, Hay Hay menyambut dengan tangkisan pedang Hong-cu-kiam sambil mengerahkan tenaga dengan maksud untuk membabat putus senjata lawan dengan pedang pusaka dari Cin-ling-pai itu. Pisau dan kaitan membalik, akan tetapi tidak sampai rusak. Hal ini menunjukkan bahwa senjata di tangan Si Kumbang Merah itupun terbuat dari baja yang kuat. Mereka segera bertanding dengan seru. Keduanya bertanding dengan hati-hati dan mengeluarkan semua simpanan ilmu mereka karena maklum bahwa lawan tidak boleh dipandang ringan, harus dihadapi dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.

   Kita tinggalkan dulu ayah dan anak yang sedang bertanding dengan hebatnya itu, dan mari kita menengok keadaan di dalam pondok. Karena tenggelam ke dalam lamunan ketika berada di taman tadi, Ang-hong-cu Tang Bun An lupa keadaan dua orang puteranya yang telah ditotok dan ditinggalkan di dalam pondok tadi. Selain lengah, juga dia memandang ringan mereka, mengira bahwa kedua orang pemuda itu sudah diberi pelajaran dan tentu tidak akan berani bertingkah. Mula-mula Cun Sek yang terbebas dari totokan. Dia dapat bergerak dan mengomel panjang pendek.

   "Ayah jahat, tega dia menipu anak-anaknya sendiri...!"

   Omelnya dan dia lalu membebaskan totokan pada diri Tang Gun. Tang Gun yang dapat bergerak, segera hendak menyerangnya.

   "Jangan salah paham, Gun-te! Kita telah ditipu oleh tua bangka itu. Kalau kita maju bersama, dia tentu merasa berat, maka dia mengadu kita. Setelah engkau roboh, dia menotokku!"

   "Eh? Kenapa begitu?"

   "Hemm, tak salah lagi. Dia hendak menguasai sendiri dua orang gadis kita."

   Tang Gun mengepal tinju.

   "Hemm, aku sudah melupakan apa yang telah dia lakukan kepada ibuku. Aku hendak menganggap dia ayahku yang sejati dan aku mau berbakti kepadanya. Tidak tahunya dia... dia..."

   "Sama dengan aku, Gun-te. Dia orang yang amat jahat dan curang, bahkan tega mencurangi anak-anaknya sendiri. Mari kita lihat apakah dua orang gadis kita masih ada."

   Mereka berdua memasuki dua kamar itu dan legalah hati mereka ketika mereka melihat bahwa Kui Hong dan Bi Lian masih rebah terlentang di atas pembaringan dalam keadaan tertotok. Mereka menambahkan lagi totokan agar dua orang gadis itu tidak dapat bergerak dalam waktu yang cukup lama.

   "Kalau begitu, mari kita cari dia dan kita keroyok dia!"

   Seru Tang Gun dengan marah.

   "Nanti dulu, Gun-te..."

   Cun Sek menggosok-gosok dagunya sambil memandang kepada tubuh Bi Lian.

   "Memang belum tentu kalau kita kalah melawan dia akan tetapi seandainya kita kalah tentu usaha kita sia-sia belaka. Dua orang gadis kita tentu akan dirampasnya. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita memiliki dulu kekasih kita masing-masing, setelah itu baru kita pergi mencarinya. Kalau begitu, andaikata kita kalah sekalipun, dua orang gadis itu sudah menjadi milik kita!"

   "Ah, benar sekali... engkau benar, toa-ko!"

   Kata Tang Gun dan diapun segera lari ke dalam kamar sebelah dimana menggeletak tubuh Siangkoan Bi Lian dalam keadaan yang sama dengan Kui Hong, yaitu tak mampu bergerak dan lemas tertotok. Dua orang gadis yang tak mampu bergerak itu, tubuh mereka lemas tertotok, hanya dapat memandang dengan mata mendelik penuh kemarahan saja ketika dua orang pemuda itu menghampiri mereka di atas pembaringan masing-masing. Tang Gun memasuki kamar di mana Bi Lian rebah terlentang dan menutupkan daun pintu kamar itu. Dengan napas memburu dan wajah merah dia duduk di tepi pembaringan Bi Lian. Gadis itu memandang kepadanya dengan mata mendelik penuh kebencian.

   "Sumoi, kenapa engkau memandangku seperti itu? Aih, Sumoi, semua ini kulakukan demi cintaku kepadamu. Aku sayang padamu, Sumoi, aku cinta padamu..."

   Bi Lian membuang muka. Beberapa kali ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya, namun sia-sia saja. Totokan pertama saja belum lenyap pengaruhnya dan tadi Tang Gun sudah menotoknya lagi. Ia membenci orang yang pernah diterima ayah ibunya menjadi suhengnya ini. Kalau saja ia mampu bergerak, tentu dibunuhnya orang ini, dipenggalnya kepalanya, ditembusinya jantungnya dengan pedang.

   "Sumoi, engkau akan menjadi korban Si Kumbang Merah. Karena itu, untuk menyelamatkanmu, demi cintaku kepadamu, terpaksa aku akan menggaulimu. Terpaksa, Sumoi, agar engkau lebih dulu menjadi milikku dan Si Kumbang Merah tidak akan menjamahmu lagi dan engkau... menjadi isteriku, Bi Lian."

   Bi lian bukan hanya tertotok yang membuat ia tidak mampu bergerak, bahkan ia tidak mampu bersuara. Dapat dibayangankan betapa sakit rasa hatinya ketika Tang Gun mulai merangkulnya, menindihnya, memeluk dan menciumi mukanya, pipinya, hidung dan bibirnya tanpa ia mampu mengelak,

   Dan perasaan hatinya seperti disayat-sayat ketika ia melihat dan merasa betapa tangan pemuda itu mulai menggerayangi tubuhnya dan membuka matanya dan air mata mulai menitik keluar dari pelupuk matanya, tanpa dapat ditahannya. Siangkoan Bi Lian adalah seorang gadis yang berhati tabah, pemberani, bahkan galak dan keras sehingga ia pernah mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) di dunia kang-ouw. Bahkan menangispun seperti pantangan baginya. Jarang sekali ia menangis. Akan tetapi sekali ini, menghadapi ancaman yang baginya lebih mengerikan dari pada maut, ia tidak dapat menahan air matanya. Ia akan diperkosa orang, akan diperhina orang tanpa mampu mengelak, tanpa mampu membela diri, bahkan tidak mampu bersuara untuk memaki!

   "Jangan menangis, isteriku. Aku sayang padamu, aku tidak akan menyakitimu, sayang..."

   Kata Tang Gun ketika melihat air mata mengalir keluar dari kedua mata itu dan dengan nafsu semakin menggelora, diapun mengecup pipi yang basah air mata itu. Makin deras air mata mengalir dari kedua mata Bi Lian.

   "Kubunuh kau, kubunuh kau...!!!"

   Kalimat ini berulang-ulang diucapkan di dalam hati. Ia tidak berani membuka mata dan akan menerima aib yang akan menimpa dirinya itu untuk mempertebal rasa dendam dan bencinya.

   "Brakkkk!"

   Pada saat terakhir yang amat gawat bagi kehormatan Siangkoan Bi Lian itu, tiba-tiba pintu kamar itu jebol ditendang orang dari luar. Sesosok bayangan menyambar ke arah Tang Gun yang siap menanggalkan pakaian dari tubuhnya sendiri. Tang Gun terkejut, mencoba untuk mengelak sambil menangkis. Namun, masih saja tendangan kaki orang itu menyerempet pahanya dan diapun meloncat dari atas pembaringan sambil mencabut pedang Kwan-im-kiam!

   "Sumoi...!"

   Han Siong memanggil lirih melihat Sumoinya menggeletak terlentang dalam keadaan sudah telanjang bulat sama sekali. Cepat dia menggerakkan tangannya menotok jalan darah di pundak dan tengkuk gadis itu.

   "Cepat berpakaian, Sumoi!"

   Bi Lian dapat bergerak. Biarpun kaki tangannya masih terasa kaku, ia cepat meraih pakaiannya dan mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tang Gun marah bukan main. Diumpamakan daging sudah di depan mulut, kini tergelincir lepas.

   "Keparat busuk!"

   Bentaknya dan diapun menyerang dengan pedang Kwa-im-kiam. Akan tetapi, Han Siong sudah mengerahkan kekuatan sihirnya dan kini dia menuding ke arah pedang di tangan Tang Gun sambil membentak dengan suara nyaring penuh wibawa.

   "Engkau memegang ular itu untuk apa?"

   Tang Gun tertegun.

   "Ular...?"

   Dan otomatis dia memandang ke arah pedang di tangan kanannya dan matanya terbelalak lebar, mukanya pucat seketika.

   "Ular...!!"

   Teriaknya dan dia melemparkan pedang itu ke atas lantai dengan jijik karena yang dilihatnya bukan lagi pedang, melainkan seekor ular yang dipegang tangan kanannya. Timbul perasaan takut di hatinya dan diapun hendak melarikan diri melalui pintu yang dijebol itu. Akan tetapi, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sumoinya, Siangkoan Bi Lian, telah berdiri di ambang pintu menghadangnya!

   "Suheng, serahkan keparat ini kepadaku. Tolonglah Cia Kui Hong, ia berada di kamar sebelah!"

   Kata Siangkoan Bi Lian. Mendengar ini, Han Siong meloncat keluar dari dalam kamar itu.

   "Jahanam busuk, sekarang kita membuat perhitungan sampai tuntas!"

   Kata Bi Lian dengan sikap tenang, namun sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan mukanya merah karena ia sudah marah sekali. Tang Gun merasa jerih sekali.

   "Sumoi... aku telah khilaf... maafkanlah aku, Sumoi dan biarkan aku pergi. Aku menyesal...

   "

   "Jahanam busuk! Engkau telah membohongi dan menipu orang tuaku sehingga engkau berhasil mencuri ilmu silat kami! Kemudian, aku yang menjadi Sumoimu sudah bersusah-payah hendak membantumu mencari musuhmu. Kiranya engkau adalah anak Ang-hong-cu dan bersekongkol dengan ayahmu untuk menawanku secara curang dan pengecut! Semua ini ditambah lagi dengan perbuatanmu yang terkutuk tadi. Engkau hendak memperkosa aku! Dan sekarang engkau minta maaf? Hemmm, orang she Tang! Biar membunuhmu sampai seratus kali, hutangmu masih belum lunas!"

   Tang Gun merasa takut sekali. Ketika Sumoinya itu menjadi tawanan, diapun tidak lagi menyembunyikan kenyataan dirinya bahwa dia bernama Tang Gun dan putera Ang-hong-cu, maka sekarang Bi Lian sudah mengetahui semua rahasianya. Bagaikan seekor anjing tersudut, matanya melirik ke sana-sini mencari lubang untuk melarikan diri. Dan pandang matanya melihat pedang Kwan-im-kiam yang tadi dibuangnya karena pedang itu berubah menjadi ular. Kini pedang itu menggeletak di sana, tidak lagi berbentuk ular, melainkan sebatang pedang biasa! Tahulah dia bahwa tadi dia berada di bawah pengaruh sihir! Kini, melihat Kwan-im-kiam menggeletak di sana, matanya berkilat dan tiba-tiba dia membuat gerakan ke kiri, menubruk ke arah pedang itu.

   "Deessss...!!"

   Tubuhnya terpelanting oleh sebuah tendangan yang datang dari kiri dan mengenai lambungnya. Tang Gun cepat meloncat bangun lagi dan ternyata pedang Kwan-im-kiam telah berada di tangan Bi Lian. Gadis itu tersenyum mengejek.

   "Pedang ini terlalu bersih untuk dijamah tanganmu yang kotor"

   Katanya dan menyimpan kembali pedang itu kedalam sarung pedang yang sudah diambilnya dari atas meja, lalu memasang pedang itu di punggungnya. Dengan menyimpan pedang pusaka miliknya itu, berarti ia memandang rendah Tang Gun yang cukup dihadapi dengan tangan kosong saja. Tang Gun tidak melihat jalan lain kecuali membela diri. Cintanya terhadap Bi Lian lenyap bagaikan asap tipis tertiup angin, dan kini yang ada hanyalah kebencian dan keinginan untuk membunuh gadis itu atau setidaknya untuk dapat menghindarkan diri dari ancamannya.

   Cinta nafsu memang tidak tahan uji. Cinta nafsu bukanlah cinta, melainkan rangsangan gairah nafsu belaka. Sekali nafsu itu terpuaskan, maka cintanyapun akan luntur, dan kalau nafsu itu tidak tercapai, maka cintanya berubah kebencian. Dia menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang dikuasai gadis itu. Setidaknya dia akan dapat menandingi Siangkoan Bi Lian, apa lagi karena gadis itupun tidak mempergunakan pedangnya. Tang Gun menggerak-gerakkan kedua lengannya menghimpun tenaga dalam, kemudian sambil mengeluarkan bentakan nyaring diapun menyerang dengan pukulan dahsyat. Melihat betapa suhengnya atau lebih tepat bekas suheng itu memainkan ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu ciptaan ayah ibunya, hati Bi Lian menjadi semakin penasaran dan marah.

   Dimainkannya ilmu ini mengingatkannya bahwa pemuda di depannya telah menipu ayah ibunya sehingga mereka berkenan menerima Tang Gun sebagai murid dan mengajarkan ilmu itu kepadanya. Maka, Bi Lian juga memainkan ilmu silat itu dan merekapun bertanding dengan seru dan mati-matian. Karena gerakan mereka sama, maka nampaknya mereka seperti latihan saja. Namun sesungguhnya, mereka saling serang dengan dahsyat, dengan jurus-jurus maut. Tentu saja Bi Lian menang matang latihannya, di samping tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi. Akan tetapi Tang Gun dapat mempertahankan dengan kenekatannya. Sementara itu, ketika mendengar ucapan Bi Lian tadi, Han Siong cepat meloncat keluar kamar itu. Dia percaya sepenuhnya bahwa Sumoinya itu pasti akan mampu mengalahkan lawannya.

   Kini dia harus menolong Cia Kui Hong lebih dulu yang berada di kamar sebelah. Seperti juga tadi, kini dia menendang roboh daun pintu kamar sebelah dan benar saja, di situ terjadi hal yang hampir sama. Tang Cun Sek sedang menggeluti Cia Kui Hong. Akan tetapi agaknya Tang Cun Sek tidaklah tergesa-gesa seperti Tang Gun. Dia mencoba untuk merayu dan menundukkan hati Kui Hong. Agaknya Cun Sek ingin gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela, maka dia tidak tergesa-gesa hendak memperkosanya. Berbeda dengan Bi Lian yang tadi sudah hampir diperkosa, kini Kui Hong masih berpakaian lengkap. Cun Sek hanya membelai dan merayunya, memeluk dan menciuminya tanpa Kui Hong dapat mengelak atau melawan. Gadis inipun lemas tertotok dan tidak mampu menggerakkan kaki tangan, tidak mampu berteriak.

   "Brakkkkk...!!"

   Ketika daun pintu jebol, barulah Cun Sek terkejut. Agaknya, dibakar nafsu berahinya, dia tadi tidak begitu memperhatikan kegaduhan yang terjadi di kamar sebelah. Baru setelah daun pintu kamar itu jebol, dia terkejut dan meloncat turun dari pembaringarn, membalik sambil mencabut sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, pedang pasangan yang dirampasnya dari Cia Kui Hong.

   "Keparat!"

   Bentak Han Siong dan diapun sudah menerjang dengan pedang Gin-hwa-kiam. Sinar perak berkilat menyilaukan mata, Cun Sek terkejut bukan main ketika mengenal siapa orangnya yang datang merobohkan daun pintu. Tentu saja dia mengenal Pek Han Siong, bahkan dia pernah kalah oleh pemuda ini. Karena maklum betapa lihainya lawan ini, diapun menggerakkan sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

   "Tranggg...!!"

   Sepasang pedang di tangan Cun Sek terpental dan hampir terlepas dari pegangan. Dia terkejut bukan main karena dia sempat terhuyung ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Han Siong untuk meloncat ke dekat pembaringan. Tangan kirinya membuat totokan dua kali pada tubuh Kui Hong dan gadis inipun terbebas dari totokan. Cun Sek yang ketakutan meloncat ke pintu, akan tetapi Han Siong sudah mendahuluinya dan menghadang di pintu sambil membentak,

   "Engkau hendak lari ke mana?"

   Cun Sek terkejut dan semakin jerih, akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, diapun menjadi nekat dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Namun, serangannya dapat ditangkis dengan mudahnya oleh Han Siong. Sementara itu, Kui Hong menggerak-gerakkan kaki tangannya untuk mengusir kekakuan dan kepegalan, kemudian ia meloncat ke depan.

   
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Saudara Pek Han Siong, serahkan jahanam ini kepadaku! Aku yang akan membereskannya!"

   Pek Han Siong maklum akan perasaan Cia Kui Hong, maka setelah mendesak lawan sehingga Cun Sek meloncat ke belakang, dia lalu menyerahkan pedangnya kepada gadis itu.
(Lanjut ke Jilid 31 - Tamat)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 31 (Tamat)
"Nona Cia Kui Hong, pakailah pedang ini. Pedang ini rampasan dari Sim Ki Liong, kuserahkan padamu untuk dikembalikan ke Pulau Teratai Merah!"

   "Gin-hwa-kiam...!"

   Kui Hong berseru girang ketika menerima pedang itu dari tangan Han Siong. Setelah menyerahkan pedang itu kepada Kui Hong yang dia percaya akan mampu mengalahkan Cun Sek, Han Siong lalu meloncat keluar untuk melihat keadaan Bi Lian. Bagaimanapun juga, dia mengkhawatirkan keselamatan Sumoinya atau gadis yang dicintainya itu.

   "Trang... Cring... tranggg!!"

   Bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata ketika berulang kali kedua senjata itu bertemu di udara. Hay Hay mengerahkan tenaga saktinya, akan tetapi lawannya, Si Kumbang Merah, ayah kandungnya sendiri, ternyata memiliki tenaga yang dahsyat pula.

   Pertandingan antara mereka merupakan pertandingan bisu, tidak ada yang menyaksikan, akan tetapi pertandingan itu merupakan pertandingan antara mati dan hidup bagi Ang-hong-cu Tang Bun An. Si Kumbang Merah ini maklum bahwa Hay Hay atau Tang Hay, puteranya yang amat dikagumi, juga amat disegani, tidak mungkin akan suka melepaskannya. Dan dia tidak mau ditangkap. Ditangkap berarti penghinaan besar sebelum kematian, mungkin hukum buang atau hukum seumur hidup, atau juga mati dikeroyok para pendekar yang sakit hati kepadanya. Tidak, dia harus dapat membunuh Hay Hay kalau dia ingin bebas, maka, pertandingan itu merupakan persoalan mati hidup baginya dan dia mengeluarkan semua ilmu simpanannya, juga mengerahkan seluruh tenaganya. Hanya satu yang dia khawatirkan yaitu kalau pemuda itu mempergunakan sihirnya.

   Dia sendiri memiliki kekuatan untuk menolak pengaruh sihir, akan tetapi kalau kekuatan sihir pemuda itu terlalu kuat, dia akan terpengaruh dan ini berarti dia akan celaka. Namun, sedikitpun tidak terpikir oleh Hay Hay untuk mempergunakan ilmu sihirnya. Tidak, dia harus menunjukkan kepada orang ini, ayah kandungnya, bahwa dia seorang pendekar gagah sejati. Dia akan menggunakan ilmu silat untuk menangkap orang tua itu. Yang membuat Hay Hay mengalami kesulitan adalah karena dia tidak mau membunuh lawan, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Kalau saja dia berkelahi dengan tekad membunuh, kiranya tidak akan demikian sukarnya seperti sekarang. Dia membatasi serangannya agar kalau sampai mengenai sasaran, tidak sampai membunuh lawan dan hal ini tentu saja mengurangi daya serangnya, mengurangi kehebatan serangan itu.

   "Trang-tranggg..., haiiiiittt...!"

   Setelah dua kali pisau di ujung rantai itu bertemu pedang di tangan Hay Hay, tiba-tiba Si Kumbang Merah membuat gerakan berputar dan kini ujung lain dari rantai itu menyambar ganas. Ujung lain ini merupakan kaitan. Karena sambaran itu amat cepat sampai mengeluarkan suara berdesing, Hay Hay kembali menggerakkan pedangnya menangkis.

   "Cringgg...!"

   Dan ujung rantai yang berbentuk kaitan itu kini melibat pedang dan kaitannya mengkait pedang. Pada saat Hay Hay menarik untuk melepaskan pedangnya dari libatan rantai, tiba-tiba pisau itu menyambar lagi ke arah lehernya! Serangan susulan ini hanya dapat terjadi karena Hay Hay tidak bermaksud membunuh lawannya. Kalau dia menghendaki, dapat saja dia mengerahkan tenaga mujijat yang dia latih dari Song Lojin, tenaga sin-kang yang diperkuat tenaga sihir sehingga rantai itu akan putus dan pedangnya dapat meluncur menusuk dada lawan.

   Akan tetapi karena dia tidak ingin membunuh lawan, maka dia mengerahkan tenaga untuk menarik lepas pedangnya dan hal ini membuat lawan memperoleh peluang untuk menyerangkan pisau di ujung rantai. Dalam keadaan terdesak itu, Hay Hay merendahkan tubuhnya mengelak. Kembali gerakan inipun merupakan mengalah, hanya menghindarkan diri. Kalau dia mau, dengan kekuatan tangannya yang dahsyat, dia dapat menyambar dan menangkap rantai di balik pisau itu dan melontarbalikkan pisau ke arah penyerangnya. Karena sikap mengalah ini, keadaannya makin terdesak dan selagi dia mengelak dengan merendahkan tubuhnya, Si Kumbang Merah yang banyak pengalaman, memiliki banyak tipu muslihat dalam ilmu silatnya, telah mengirim tendangan secara tiba-tiba.

   "Desss...!"

   Tubuh Hay Hay terlempar dan dia bergulingan untuk menghindarkan diri dari sambaran pisau dan kaitan berganti-ganti karena lawannya sudah mengejarnya dan menghujankan serangannya. Biarpun dia tidak terluka, namun dadanya yang tertendang terasa nyeri.

   Dia berhasil menghindarkan desakan senjata lawan dan meloncat berdiri. Namun Si Kumbang Merah tidak memberi kesempatan dia mengatur kedudukannya, terus melakukan serangan dengan gencar. Hanya dengan menggunakan langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-san saja Hay Hay mampu menghindarkan diri dari semua sambaran senjata itu. Pertandingan antara ayah dan anak ini sungguh hebat. Ang-hong-cu Tang Bun An sudah mengeluarkan seluruh simpanan kepandaiannya untuk merobohkan puteranya, namun semua serangannya sia-sia belaka dan karena usianya, juga karena dia seorang yang sejak muda menghamburkan tenaga melalui keroyalannya dengan wanita, maka mulailah dia terengah-engah, tubuhnya penuh keringat dan tenaganya mulai berkurang. Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan kecil,

   "Tar-tar-tarrr...!"

   Dan sebatang cambuk dengan ganasnya menyambar-nyambar di atas kepala Si Kumbang Merah, membuat dia terkejut dan cepat memutar rantainya ke atas kepala sambil meloncat ke belakang.

   "Mayang...!"

   Kata Hay Hay yang juga menghentikan serangannya. Dia merasa girang melihat adiknya selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu menyerang Ang-hong-cu.

   "Jangan mencampuri, biarkan aku sendiri menghadapinya! Ini urusan antara aku dan dia!"

   Mayang mengerutkan alisnya, bertolak pinggang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengamangkan cambuknya ke arah Ang-hong-cu, matanya mencorong marah memandang kepada orang yang menjadi ayah kandungnya itu.

   "Tidak, koko. Ini juga urusanku! Aku harus membunuh iblis ini! Dia pernah mempermainkan ibuku, menyia-nyiakan ibuku. Kemudian, biarpun dia tahu bahwa aku ini anaknya, dia masih tega menjebakku, menawanku, bahkan dia menawan enci Kui Hong dan enci Bi Lian dengan niat yang jahat sekali. Aku harus membunuhnya!"

   Ia menerjang lagi dan cambuknya sudah meledak-ledak menyerang Ang-hong-cu Tang Bun An yang cepat menggerakkan sepasang senjata di kedua ujung rantai untuk membela diri, dan balas menyerang. Sim Ki Liong yang datang bersama Mayang, segera menerjang maju pula untuk membantu Mayang.

   "Sim Ki Liong, kau pengkhianat!"

   Bentak Ang-hong-cu dengan marah. Akan tetapi Sim Ki Liong diam saja dan terus menyerang dengan pedangnya. Melihat ini, Hay Hay merasa tidak enak sekali.

   "Ki Liong, mundurlah. Ini urusan antara ayah dan anak, orang luar tidak boleh mencampuri!"

   Dia meloncat ke dalam pertempuran dan mendengar ini, Sim Ki Liong meloncat keluar lapangan dan hanya menjadi penonton.

   Dia masih merasa tidak enak terhadap Hay Hay karena bagaimanapun juga, tadinya dia adalah musuh pemuda itu. Baru sekarang dia benar-benar menyadari betapa dia telah melakukan penyelewengan besar sejak dia melarikan diri dari Pulau Teratai Merah. Hay Hay meloncat ke depan, akan tetapi bukan untuk mengeroyok Si Kumbang Merah. Dia merasa malu untuk mengeroyok, maka dia membiarkan saja Mayang menyerang ayah mereka itu, sedangkan dia hanya bergerak melindungi Mayang dari serangan Ang-hong-cu. Tentu saja Ang-hong-cu menjadi repot bukan main. Bagaimanapun juga, Mayang memiliki kepandaian yang sudah tinggi dan serangan dengan cambuknya itu ganas bukan main. Sedangkan semua serangan balasan dari Ang-hong-cu kalau tidak dapat dielakkan atau ditangkis gadis itu, tentu ditangkis oleh Hay Hay yang selalu melindungi Mayang!

   "Tarrr...!"

   Cambuk itu meledak keras ketika ujungnya menyambar ke arah kepala Ang-hong-cu. Orang tua ini cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya ke samping dan sambil mengelak, kaitan di ujung rantainya menyambar dari bawah ke arah perut gadis itu. Mayang tidak mau mengandalkan bantuan kakaknya saja. Ia meloncat ke kiri untuk menghindarkan serangan lawan sambil menggerakkan lagi cambuknya.

   "Tarrr...!"

   Kini ujung cambuk menotok ke arah jalan darah di pundak lawan.

   "Prattt!"

   Ang-hong-cu menangkis dengan rantainya, kemudian tiba-tiba dia bergulingan ke kiri. Mayang agak bingung melihat gerakan bergulingan ini, akan tetapi karena lawan menjauh, disangkanya Ang-hong-cu hendak melarikan diri maka iapun mengejar dengan loncatan.

   "Singgg...!"

   Kini pisau di ujung rantai menyambar dari bawah ke arah lutut Mayang. Gadis itu terkejut dan meloncat ke atas, akan tetapi kaitan baja itu mengejarnya, menyambar ke arah perut.

   "Tranggg!"

   Kaitan itu terpental oleh tangkisan Hay Hay yang melihat datangnya bahaya mengancam adiknya.

   "Jahanam!"

   Mayang memaki dan cambuknya menyambar dahsyat sampai tiga kali beruntun.

   "Tar-tar-tarrr...!"

   Ang-hong-cu kembali bergulingan mengelak dan menjauh, akan tetapi tetap saja ujung cambuk itu menyambar ke arah punggung.

   "Brettt...!"

   Robeklah punggung baju itu dan kulit punggungnya sempat dipatuk ujung cambuk sehingga terluka dan berdarah!

   Ang-hong-cu mengeluarkan teriakan nyaring dan kini rantainya menyambar-nyambar sedemikian dahsyatnya sehingga Mayang terpaksa harus berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dan hanya karena ada gulungan sinar pedang Hong-cu-kiam sajalah maka gelombang serangan rantai itu dapat dibendung, bahkan selanjutnya, serangan cambuk dari Mayang kembali membuat Ang-hong-cu kelabakan. Makin payahlah keadaan Si Kumbang Merah ini karena serangan-serangan Mayang cukup berbahaya sedangkan dia tidak mampu membalas karena gadis itu dilindungi pedang di tangan Hay Hay. Napasnya semakin memburu pakaiannya sudah basah oleh keringat dan bau cendana makin semerbak keluar dari tubuhnya.

   Sementara itu, ketika Pek Han Siong meninggalkan Cia Kui Hong untuk menghadapi Tang Cun Sek dan cepat pergi melihat keadaan Siangkoan Bi Lian, pertandingan antara Bi Lian dan Tang Gun sudah berpindah keluar kamar, Tang Gun membela diri mati-matian, bahkan tidak lagi bertangan kosong karena ketika didesak, dia menyambar benda apa saja untuk dijadikan senjata. Kursi, bangku, pot bunga dan apa saja. Namun, semua senjata sementara itu dapat dipukul atau ditendang hancur oleh Bi Lian yang sudah marah sekali. Tang Gun berusaha lari dan meloncat ke luar kamar, akan tetapi cepat sekali Bi Lian sudah mengejarnya dan kini Tang Gun mati-matian membela diri karena didesak terus oleh Bi Lian.

   Ketika Han Siong muncul, pemuda inipun hanya berdiri di pinggir dan menjadi penonton. Dia tentu saja tidak mau mengeroyok, apa lagi melihat betapa Bi Lian sama sekali tidak membutuhkan bantuan. Sepasang mata Tang Gun melotot karena marah dan juga rasa takut, mulutnya kering berbusa dan pipi kanannya bengkak membiru karena tadi terkena tamparan tangan kiri Bi Lian. Juga gerakan kakinya kurang tangkas karena paha kirinya juga pernah tercium ujung sepatu Bi Lian sehingga kain celana di paha berikut kulit dan dagingnya terobek dan berdarah.

   "Hyaaaattt...!"

   Bi Lian menyerang lagi, serangan pancingan dengan sebuah jurus dari Kim-ke Sin-kun yang sudah dikenal baik oleh Tang Gun.

   Melihat ini, tahulah Tang Gun bagaimana dia harus menghadapi serangan yang dilakukan dengan tendangan terbang itu. Tubuh Bi Lian meluncur dari atas bagaikan seekor ayam yang menerjang lawan. Serangan ini hampir tidak mungkin untuk ditangkis. Menangkisnya berarti membahayakan diri sendiri, maka Tang Gun mengambil jalan yang paling aman. Dia tidak menyambut serangan, melainkan melempar tubuh ke belakang untuk mengelak, lalu berguling dan meloncat. Dia tidak tahu bahwa gerakannya ini sudah diperhitungkan oleh Bi Lian dan gadis inipun bergulingan di atas tanah mengejar. Begitu Tang Gun meloncat bangun, tiba-tiba gadis itupun meloncat dan menyerang dari bawah sambil mengeluarkan suara melengking. Tang Gun terkejut, tidak mengenal serangan ini dan karenanya dia menjadi bingung.

   Apa lagi ketika gadis itu mengeluarkan suara gerengan melengking, tiba-tiba jantungnya seperti diremas, kedua kakinya menggigil dan ketika kedua tangan gadis itu dari bawah memukul dengan jari tangan terbuka, mengenai perut dan dadanya, diapun terjengkang dan roboh terlentang dalam keadaan tewas seketika! Memang Bi Lian tidak lagi menggunakan ilmu dari orang tuanya, melainkan menggunakan ilmu pukulan yang dibarengi ho-kang atau teriakan yang menggetarkan jantung lawan yang pernah dipelajarinya dari seorang di antara dua gurunya yang menjadi datuk-datuk sesat, yaitu Tung Hek Kwi (Iblis Hitam Timur)! Iapun meloncat berdiri dan seperti patung memandang kepada tubuh Tang Gun yang sudah tak bernyawa lagi. Ia membayangkan betapa tadi Tang Gun menggelutinya, bahkan menelanjanginya dan iapun meludah ke arah mayat itu.

   "Sumoi...!"

   Pek Han Siong memanggil. Bi Lian memutar tubuhnya. Melihat Han Siong, bayangannya berlanjut. Betapa Han Siong melihat keadaannya yang telanjang bulat, betapa pendekar itu membebaskan totokannya, kemudian memenuhi permintaannya untuk tidak ikut menyerang Tang Gun.

   "Suheng...!"

   Dan teringat akan bahaya yang tadi mengancam dirinya, Bi Lian menggigil.

   "Kenapa, Sumoi...?"

   Han Siong melompat dan berdiri mendekatmya.

   "Engkau kenapa?"

   Bi Lian menggeleng kepalanya.

   "Tidak apa-apa, suheng... hanya aku teringat tadi... kalau engkau tidak cepat datang menolongku... ahhhh... si keparat itu...

   "

   "Sudahlah, Sumoi. Jangan dipikirkan lagi. Mari kita melihat keadaan nona Cia Kui Hong. Lihat, ia masih berkelahi melawan Tang Cun Sek. Mereka bahkan berkelahi di luar rumah."

   Keduanya lalu berloncatan menuju ke pekarangan pondok itu di mana Kui Hong masih bertanding melawan Tang Cun Sek. Memang Tang Cun Sek jauh lebih lihai dibandingkan Tang Gun, maka dibandingkan Siangkoan Bi Lian, Cia Kui Hong menghadapi lawan yang lebih tangguh dan tidak begitu mudah ditundukkan.

   Tang Cun Sek maklum bahwa nyawanya berada dalam ancaman maut. Ketika Pek Han Siong membebaskan totokan Kui Hong dan membuat gadis itu dapat bergerak lagi, kemudian Han Siong menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada gadis itu, tentu saja dia merasa khawatir bukan main. Dia tahu betapa lihainya Pek Han Siong, juga Cia Kui Hong. Menghadapi Pek Han Siong seorang saja dia pasti kalah, dan juga dia pernah kalah ketika bertanding melawan Kui Hong memperebutkan kedudukan ketua Cin-ling-pai. Kalau sekarang dua orang itu mengeroyoknya tentu dia akan roboh dalam waktu singkat. Akan tetapi, Han Siong meninggalkan mereka dan hal ini membuat dia melihat harapan untuk dapat meloloskan diri. Dia lalu meloncat keluar dari dalam kamar.

   "Jahanam busuk, engkau hendak lari ke mana?"

   Kui Hong mengejar. Ketika tiba di luar pondok, Cun Sek baru teringat akan keterangan Ang-hong-cu bahwa bukit itu tidak mempunyai jalan keluar kecuali melalui terowongan bawah tanah tadi! Dia menjadi bingung dan saat itu, Kui Hong sudah menyusulnya dan langsung menyerangnya.

   Sinar perak bergulung-gulung menyambar ke arahnya. Cun Sek terpaksa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melawan Kui Hong. Seperti juga pertandingan antara Siangkoan Bi Lian melawan Tang Gun tadi, kini pertandingan antara Cun Sek dan Kui Hong juga merupakan pertandingan antar saudara seperguruan. Seperti kita ketahui, Cun Sek telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai, sedangkan Kui Hong adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bahkan kini menjadi ketuanya! Akan tetapi Kui Hong memiliki satu kelebihan dari Cun Sek. Selain ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai yang sudah dikuasainya lebih matang dari pada Cun Sek, juga ia telah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah. Inilah kelebihan itu, yang membuat Kui Hong lebih unggul dibandingkan Cun Sek.

   Dan Kui Hong juga memanfaatkan kelebihannya ini. Biarpun Cun Sek dapat membela diri dengan baik dan rapat, namun lambat laun dia terdesak hebat oleh Kui Hong. Kini Gin-hwa-kiam berada di tangannya maka iapun memainkan ilmu pedang tunggal Gin-hwa-kiamsut yang dipelajari dari kakeknya, sambil kadang-kadang mencari lowongan untuk memasukkan pukulan ampuh Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) dengan tangan kirinya. Ketika Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian tiba di situ, Kui Hong sedang mendesak Cun Sek dengan hebatnya. Melihat ini, Bi Lian dan Han Siong tidak mau membantu dan hanya menonton. Diam-diam mereka kagum karena gerakan Kui Hong amat dahsyatnya. Jelas bahwa gadis ini memperoleh kemajuan pesat dan semakin hebat saja kepandaiannya sehingga pantaslah kalau ia menjadi ketua Cin-ling-pai.

   Kui Hong tahu akan kemunculan Han Siong dan Bi Lian, maka iapun dapat menduga bahwa Bi Lian telah berhasil "membereskan"

   Tang Gun. Ia merasa penasaran karena ia sendiri belum dapat merobohkan Tang Cun Sek. Maka, ia mengeluarkan seruan melengking nyaring dan pedang Gin-hwa-kiam diputar dengan cepat dah mengandung tenaga yang amat kuat menempel dua batang pedang lawan. Cun Sek terkejut sekali karena kedua pedangnya ikut terputar dan untuk menyelamatkan dirinya, dia menarik sepasang pedang itu dan meloncat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong, ia menancapkan pedangnya di atas tanah, melompat ke depan dengan tubuh hampir bertiarap setengah berjongkok dan kedua tangannya didorongkan ke depan dengan suara melengking.

   "Hyaaaaattt...!!"

   Tenaga dahsyat menyambar keluar. Itulah sebuah di antara jurus ilmu silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga) yang hanya delapan jurus namun yang amat hebat dan dahsyat. Ilmu ini dipelajarinya dari kakeknya dan merupakan ilmu ciptaan Bu-beng Hud-couw yang menjadi guru kakeknya, Pendekar Sadis.

   "Desssss...!!"

   Biarpun dia berusaha untuk membabat dengan pedangnya, namun sepasang lengan gadis itu menerobos dan hawa pukulannya membuat sepasang pedangnya terpental, kemudian dada di bagian bawah Cun Sek dihantam oleh pukulan sakti itu. Dia mengeluarkan suara parau dan terjengkang, sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam terlempar ke atas dan diapun tewas seketika. Kui Hong meloncat dan dengan kedua tangannya ia menyambut sepasang pedang miliknya itu, kemudian mencabut pula Gin-hwa-kiam dari atas tanah. Dengan tenang ia lalu menghampiri Han Siong dan Bi Lian.

   "Engkau sudah bereskan jahanam itu?"

   Tanyanya kepada Bi Lian dan gadis ini mengangguk. Kui Hong lalu memandang kepada Pek Han Siong.

   "Saudara Pek Han Siong, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu tadi, dan ini kukembalikan Gin-hwa-kiam yang kau pinjamkan kepadaku tadi."

   Han Siong memberi hormat dan menolak dengan halus.

   "Ah, nona Cia Kui Hong, kenapa berterima kasih. Di antara kita tidak ada pelepasan budi, yang ada ialah saling bantu. Tidak usah sungkan, dan tentang Gin-hwa-kiam ini, pusaka ini adalah milik Pulau Teratai Merah, maka sudah sepatutnya berada di tanganmu. Aku hanya pinjam dari saudara Tang Hay... ah, di mana Hay Hay? Kenapa dia tidak nampak...??"

   "Kau maksudkan, dia datang bersamamu?"

   Tanya Kui Hong, tertarik.

   "Memang kami datang berdua, mengejar Ang-hong-cu. Dia mengambil jalan belakang, aku dari depan dan... ah, dengar. Itu suara cambuk! Seperti cambuk yang biasa dipergunakan Mayang. Mari!"

   Han Siong lalu berlari ke arah belakang pondok dan dari jauh saja sudah nampak adanya pertempuran di puncak belakang pondok itu. Mereka bertiga lari menghampiri. Ternyata Mayang sedang berkelahi dengan seorang pria setengah tua yang wajahnya mirip Han Lojin akan tetapi tanpa jenggot dan kumis.

   "Hemm, agaknya inilah wajah yang aseli dari Ang-hong-cu!"

   Kata Han Siong. Mereka melihat betapa Mayang mendesak dan menghujankan serangan cambuknya kepada Ang-hong-cu yang tidak dapat membalas karena gadis itu dilindungi oleh Hay Hay. Pakaiannya sudah cabik-cabik, dan mukanya sudah penuh guratan merah terkena ujung cambuk. Namun Ang-hon-cu masih melawan sekuat tenaga.

   "Jahanam, engkau kiranya masih di sini?"

   Tiba-tiba Kui Hong membentak dan sekali loncat, ia telah berada di depan Sim Ki Liong yang nampak tenang saja bahkan menundukkan mukanya, sama sekali tidak ada gerakan atau sikap melawan. Melihat ini, Kui Hong menahan tangannya yang sudah gatal untuk menyerang pemuda yang dibencinya ini. Pemuda yang melarikan diri dari Pulau Teratai Merah, melarikan Gin-hwa-kiam, bahkan bersekutu dengan orang jahat dan ikut pula menangkapnya.

   "Sim Ki Liong, hayo cepat pergunakan senjatamu. Kita selesaikan semua perhitungan antara kita di sini. Aku mewakili kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah untuk menghukummu, juga aku bertindak atas diri sendiri untuk membasmi kejahatanmu."

   "Nona, aku Sim Ki Liong memang telah melakukan dosa besar terhadap Suhu dan Subo di Pulau Teratai Merah. Juga aku telah tersesat dan menyeleweng sehingga bergaul dengan orang jahat. Kalau engkau hendak mewakili Suhu dan Subo menghukumku, silakan, nona. Aku siap menerima hukuman mati sekalipun, aku tidak akan melawan, aku menerima kesalahanku."

   Kui Hong tertegun. Tidak percaya. Ia tahu bahwa Sim Ki Liong lihai, dan belum tentu ia akan dapat mengalahkan bekas murid kakek dan neneknya ini dengan mudah. Bagaimana kini pemuda itu menyerah begitu saja, rela dihukum mati sekalipun, tanpa melawan?

   "Sim Ki Liong!"

   Bentaknya dengan gemas.

   "Cabut senjatamu! Aku tidak sudi menyerang orang yang tidak melawan. Jangan menjadi pengecut engkau!"

   Tiba-tiba Ki Liong menjatuhkan diri berutut, tidak menghadap Kui Hong, melainkan ke arah selatan, lalu terdengar suaranya penuh kedukaan dan penyesalan,

   "Suhu dan Subo telah mendidik teecu, telah mencurahkan kasih sayang dan melimpahkan ilmu-ilmu, akan tetapi teecu telah membalasnya dengan pengkhianatan. Teecu merasa bersalah, dan kalau Suhu dan Subo mengutus nona Cia Kui Hong untuk menghukum teecu, maka teecu menerimanya dengan rela. Mohon Suhu dan Subo memberi ampun agar arwah teecu tidak terlalu tersiksa."

   

Asmara Berdarah Eps 22 Asmara Berdarah Eps 30 Asmara Berdarah Eps 31

Cari Blog Ini