Pendekar Kelana 8
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"Tunggu dulu, sobat."
Kata Bwe Hwa.
"Ayah ibuku mempunyai hubungan yang dekat dan akrab sekali dengan keluarga Cin-ling-pai. Karena engkau murid Ceng-Locianpwe dan memiliki ilmu Cin-ling-pai, maka berarti engkau adalah orang sendiri. Bagaimana keadaan Ceng-Locianpwe di Pulau Teratai Merah? Tentu beliau kini sudah tua sekali."
Di tanya tentang keadaan gurunya, wajah Si Kong menjadi muram seperti diselimuti awan. Setelah menghela napas panjang Si Kong menjawab,
"Suhu telah wafat beberapa bulan yang lalu."
"Ahhh! Kalau begitu, tentu Ayah dan ibuku pergi ke sana untuk melayat. Sudah lama aku meninggalkan rumah."
Melihat sikap gadis itu kini ramah padanya, Si Kong merasa senang.
"Kurasa Ayah ibumu tidak datang melayat karena kematian suhu terjadi secara mendadak dan kami tinggal di pulau terpencil. Akan tetapi pada saat suhu wafat, bibi Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama suami dan puterinya datang sehingga mereka dapat bicara dengan suhu sebelum meninggal dan ikut pula mengurus jenazah suhu."
Mendengar ini, wajah Bwe Hwa menjadi berseri.
"Ah, engkau bahkan telah bertemu dengan mereka? Baru sekali, dua tahun yang lalu, aku bertemu dengan keluarga itu. Bagaiamana sekarang keadaan adik Hui Lan? Tentu ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali. Ayahnya, paman Tang Hay adalah sahabat Ayahku."
"Adik Hui Lan baik-baik saja. Mengenai kepandaiannya, aku tidak tahu, akan tetapi aku percaya bahwa ia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sudahlah, nona, aku harus melanjutkan perantauanku."
"Nona? Engkau menyebut nona? Kong-ko (kakak Kong), kita adalah orang-orang sendiri, tidak perlu bersikap seperti orang asing. Bolehkah aku mengetahui nama orang tuamu dan dimana mereka tinggal?"
Menghadapi gadis yang lincah dan pandai bicara ini, Si Kong merasa terdesak dan terpaksa diapun menjawab.
"Ayah ibuku telah meninggal dunia. Aku yatim piatu dan sebatangkara, tempat tinggalkupun di mana saja, tidak tetap. Nah, sudah cukup, Hwa-moi, aku harus pergi sekarang."
Dia mengangkat kedua tangan depan dada lalu melangkah keluar. Bwe Hwa merasa kecewa. Sebetulnya ia ingin bicar lebih banyak dengan pemuda itu, menceritakan riwayat perjalanan mereka masing-masing. Hatinya tertarik sekali kepada Si Kong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Akan tetapi sebagai seorang gadis, tentu saja ia merasa tidak enak kalau harus mencegah pemuda itu agar jangan begitu cepat pergi meninggalkannya. Karena ia merasa kecewa dan hatinya merasa sepi setelah pemuda itu pergi, Bwe Hwa mengalihkan perhatiannya dengan bercakap-cakap dan minta bantuan Souw-pangcu dalam usahanya mencari pedang pusaka Pek-lui-kiam.
"Seperti yang ku katakan tadi sebelum Kong-ko itu datang, pangcu. Apakah engkau mengetahui dimana adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam?"
Souw Kian menghela napas panjang.
"Dunia kang-ouw menjadi ramai dengan munculnya berita bahwa pedang pusaka Pek-lui-kiam menjadi rebutan dan semua orang mencarinya. Pedang itu kabarnya menjadi milik Tan-Taihiap atau Tan Tiong Bu yang tinggal di kota Sia-lin. Akan tetapi, beberapa pekan yang lalu, kabarnya Tang Tiong Bu dan isterinya terbunuh. Tidak ada orang tahu siapa pembunuhnya, akan tetapi di duga keras bahwa orang itu membunuh untuk merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam itu."
"Dapatkah engkau menduga siapa kiranya yang melakukan pembunuhan dan merampas Pek-lui-kiam?"
Bwe Hwa mendesak. Ketua Hek I Kaipang itu menggeleng kepalanya.
"Aku sudah menyuruh anak buahku menyelidik ke Sia-lin. Akan tetapi di sana pun tidak ada yang tahu. Hanya menurut kabar, pada saat kematian Tan Tiong Bu, ada orang melihat seorang kakek berpakaian serba merah keluar dari pekarangan rumah itu. Nah, kalau engkau hendak ikut mencari Pek-lui-kiam, engkau harus mencari kakek yang berpakaian serba merah dan mukanya pucat itu."
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Betapa akan sukarnya mencari seorang kakek berpakaian merah dan pucat mukanya diantara rakyat yang tak terhitung jumlahnya itu.
"Pangcu, engkau jauh lebih berpengalaman dari pada aku di dunia kang-ouw. Tentu engkau dapat menduga siapa adanya kakek berpakaian merah bermuka pucat itu. Barangkali ada tokoh atau datuk sesat yang seperti itu."
"Banyak sekali datuk sesat empat penjuru, nona. Akan tetapi belum pernah aku mendengar tentang seorang datuk yang berpakaian serba merah. Akan tetapi... nanti dulu! Aku pernah mendengar akan munculnya seorang tokoh baru yang datang dari barat. Tidak ada yang tahu siapa namanya dan orang hanya menyebutnya Ang I Sianjin (Manusia Dewa Jubah Merah), dan tempat tinggalnyapun tidak ada yang mengetahui. Mungkin dia yang melakukannya, akan tetapi sepanjang pendengaranku, tokoh itu tidak pernah melakukan kejahatan."
"Terima kasih, pangcu. Setidaknya itu merupkan landasan bagiku untuk mencarinya. Mencari pedang yang tidak di ketahui dimana adanya amatlah sukar, bahkan tidak mungkin. Akan tetapi mencari orang yang sudah diketaui namanya, agaknya lebih mudah. Nah, selamat tinggal, pangcu. Engkau telah menyambut kedatanganku dengan baik sekali. Akan kuceritakan kebaikanmu ini kepada Ayah dan ibuku kalau aku pulang nanti."
"Ah, nona, kedatanganmu ke sini saja sudah merupakan penghormatan besar bagi kami, dan kamilah yang berterima kasih bahwa seorang pendekar wanita sudi berkunjung ke rumah jelek dan kotor ini. Sampaikan salam hormatku kepada orang tuamu."
Bwe Hwa lalu meninggalkan kuil itu, memasuki lagi kota Ci-bun dengan hati mengharapkan pertemuan dengan Si Kong di dalam kota itu. Akan tetapi setelah tiga hari ia tinggal di Ci-bun dan tidak pernah melihat bayangan pemuda itu, hatinya terasa hampa dan kehilangan. Ia lalu meninggalkan Ci-bun untuk melanjutkan perantauannya.
Dengan jantung berdebar karena tegang dan terharu, Si Kong memasuki dusun Ki-ceng. Begitu memasuki dusun itu, semua kenangan masa kecilnya terbayang kembali. Sungai kecil yang kalau musim kering tiba menjadi kering itu kini di penuhi air yang mengalir jernih. Dahulu, sering kali dia mandi di sungai ini atau mengail ikan. Hatinya menjadi sedih ketika melihat betapa dusun itu masih dipenuhi gubuk-gubuk reyot yang menjadi tempat tinggal petani miskin. Dia tahu benar bagaimana penderitaan mereka karena ketika dia masih kecil, Ayahnya juga menjadi buruh tani, demikian pula ibunya. Namun penghasilan mereka berdua masih belum cukup untuk dapat memberi makan anak-anak mereka sampai kenyang.
Jembatan kayu itu masih berdiri, dan terdapat tambahan kayu di sana sini untuk mengganti yang lapuk. Dan beberapa rumah gedung milik para hartawan masih berdiri megah, dikelilingi pagar tembok yang tinggi. Di pintu gerbang rumah-rumah gedung ini Si Kong melihat beberapa orang laki-laki yang bertubuh kekar. Dia masih ingat. Mereka itu adalah tukang-tukang pukul para hartawan itu, ditugaskan untuk mengancam, memukul atau membunuh buruh tani yang tidak dapat mengembalikan hutang mereka kepada sang hartawan. Si Kong lewat di depan rumah gubuk yang dahulu menjadi tempat tinggal orang tuanya dan dalam hatinya timbul keharuan dan kesedihan yang mengiris hati.
Terbayanglah semua peristiwa dahulu, kematian Ayah ibunya. Akan tetapi dia merasa kehilangan karena rumah yang lama sudah tidak ada lagi. Hanya pohon di depan rumah itu masih berdiri seperti dahulu. Rumahnya telah berganti dengan rumah yang bagus. Dia dapat menduga. Tentu rumah dan tanahnya telah di sita tuan tanah untuk pengganti hutang Ayahnya dan tuan tanah itu mendirikan rumah di situ, entah untuk siapa. Mungkin untuk pegawai yang di percaya. Dia melanjutkan perjalanannya, melupakan semua itu dan kini dia pergi menuju ke rumah Hartawan Lui. Setelah tiba di depan rumah itu, teringatlah dia akan segalanya. Kakaknya perempuan Si Kiok Hwa, sejak berusia enam belas tahun, telah dijual oleh Ayahnya kepada Hartawan Lui untuk dijadikan selir.
Kakaknya Si Leng, dalam usia empat belas tahun telah memasuki rumah itu lewat pagar tembok di belakang, dengan maksud mencari encinya dan minta bantuan encinya karena keluarga Ayahnya kehabisan beras dan diancam kelapan. Akan tetapi kakaknya itu ketahuan oleh tukang pukul dan dipukuli, disiksa sampai mati! Tentu saja dengan tuduhan mencuri. Tiba-tiba kerinduannya terhadap kakak perempuanitu demikian mendesak hatinya. Ingin sekali dia melihat keadaan encinya. Kalau encinya dalam sehat dan hidup berbahagia, diapun akan merasa senang. Si Kong lalu menghampiri pintu pekarangan gedung besar itu. disitu terdapat lima orang penjaga yang tubuhnya tinggi besar dan kekar, bahkan mereka semua membawa golok di pinggang. Menyeramkan sekali. Belum juga Si Kong datang dekat dia sudah menegur.
"Heii! Mau apa engkau mendekati pintu ini? Mau mengemis, atau mau mencuri?"
Hati Si Kong menjadi panas, akan tetapi dia menahan dirinya, bersabar karena demi kebaikan encinya, dia tidak boleh membikin ribut di tempat itu. Si Kong melangkah maju menghampiri lima orang yang berdiri bertolak pinggang dengan sombongnya itu dan berkata,
"Maaf, aku tidak ingin mengemis atau mencuri. Aku hanya ingin bertemu dengan kakakku perempuan yang tinggal di dalam gedung ini."
Para tukang pukul itu mengerutkan alis dan saling pandang, lalu dia yang berkumis lebat itu melangkah maju mendekati Si Kong sambil bertanya.
"Encimu tinggal disini?"
Katanya tidak percaya.
"siapakah encimu itu? Jangan main-main kau!"
"Aku berkata benar. Enciku bernama Si Kiok Hwa, sudah sepuluh tahun tinggal disini menjadi selir Lui-wan-gwe."
"Si Kiok Hwa? Ha-ha-ha, engkau mimpi! Sudah bertahun-tahun aku menjadi pekerja disini dan tidak pernah mendengar nama Si Kiok Hwa. Pergilah dan jangan membikin aku marah. Tidak ada Si Kiok Hwa di tempat ini."
"Kalau begitu, biarkan aku bicara dengan Lui-wan-gwe. Dia tentu tahu tentang enciku Si Kiok Hwa itu."
"Mau bertemu Lui-wan-gwe? Aha, enak saja kau bicara! Orang macam engkau ini mana ada harganya untuk bertemu dengan Lui-wan-gwe? Tidak boleh, dan pergilah, atau aku akan menghajarmu!"
Kini Si Kong tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Jahanam-jahanam busuk. Kalian ini seperti anjing-anjing yang menggonggong keras akan tetapi sebetulnya kepalamu kosong!"
"Keparat!"
Si kumis tebal sudah maju menghantam ke dada Si Kong. Si Kong miringkan tubuhnya dan ketika lengan yang besar itu lewat, dia menangkap lengan itu, diputar ke belakang tubuh si kumis tebal dan sekali tarik ke atas, lengan itu menjadi lumpuh karena sambungan lengan terlepas dari pundaknya.
Nyerinya bukan kepalang dan si kumis itu melolong-lolong kesakitan. Empat orang kawannya segera mencabut golok masing-masing dan mengeroyok Si Kong dari empat penjuru. Akan tetapi Si Kong tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Dengan gerakan yang demikian cepatnya sehingga tidak dapat diikuti pandang mata mereka berempat, tahu-tahu golok di tangan mereka terlepas dan berjatuhan di atas tanah, disusul tubuh mereka yang terpental oleh tendangan kaki maupun tamparan tangan Si Kong. Masih untung bagi mereka bahwa Si Kong tidak mau membunuh orang, maka mereka itu hanya mengalami tulang patah dan muka membengkak saja. Si Kong tidak mempedulikan mereka lagi dan dengan langkah lebar dia memasuki pekarangan itu, terus menuju ke pintu depan. Lima orang penjaga lain sudah menghadangnya dengan golok di tangan.
"Heii, berhenti kau! Tidak boleh memasuki rumah ini!"
Bentak seorang diantara mereka.
"Kalian yang minggir dan memberi jalan kepadaku kalau tidak ingin kuhajar!"
Lima orang penjaga itu melihat betapa lima orang rekan mereka yang berjaga diluar masih merangkak-rangkak dengan susah payah. Akan tetapi mereka tidak percaya kalau pemuda ini telah merobohkan rekan-rekan mereka itu, dan dengan teriakan marah mereka berlima sudah menerjang dan mengeroyok Si Kong. Kembali Si Kong berkelebatan dan sebentar saja lima orang itupun roboh malang melintang dan golok mereka beterbangan terlepas dari tangan mereka. Mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak dapat berbuat sesuatu ketika Si Kong memasuki rumah besar itu. Sesampainya diruangan depan, beberapa orang pelayan wanita menyambutnya dengan heran dan seorang diantara mereka bertanya,
"Engkau siapakah dan ada keperluan apa memasuki rumah ini?"
"Aku hendak bertemu dan bicara dengan Hartawan Lui. Cepat beritahu mana dia. Aku akan menemuinya!"
Para pelayan itu sudah melihat dari dalam betapa para penjaga dibuat roboh berpelantingan oleh pemuda ini. Mereka tidak berani menolak, akan tetapi juga tidak berani membawa pemuda itu menhadap majikan mereka yang sudah tua.
"Silakan tunggu diruangan depan, kami akan segera memberitahu majikan kami."
Si Kong mengangguk dan berkata,
"Cepat laporkan dan minta dia keluar menemuiku, sekarang juga."
Tiga orang wanita pelayan itu bergegas pergi ke sebalah dalam dan Si Jong tetap berdiri di tempat itu, memandangi perabot rumah yang serba indah. Di dinding terdapat banyak lukisan indah dengan sajak pasangan yang muluk-muluk, mengajarkan manusia melakukan segala macam kebaikan.
Akan tetapi, ujar-ujar yang suci itu digantung disitu hanya sebagai hiasan saja, tidak ada sebuahpun yang dilaksanakan oleh si hartawan! Terdengar langkah-langkah kaki dari dalam. Si Kong melihat kedalam dan muncullah seorang kakek tua renta yang usianya tentu sedikitnya sudah delapan puluh tahun. Jalannya saja dipapah oleh dua orang gadis cantik dan disampingnya berjalan seorang laki-laki tinggi kurus dan laki-laki ini memandang kepada Si Kong dengan mata mencorong. Sebatang pedang tergantung dipunggung orang itu. Tentu dia seorang ahli silat, mungkin merupakan pengawal pribadi Lui Wan-gwe! Melihat kakek itu yang dipapah duduk di atas sebuah kursi, Si Kong lalu menghadapinya dan memberi hormat. Bagaimanapun juga kakek ini adalah kakak iparnya.
"Apakah engkau yang bernama Hartawan Lui?"
Kakek itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah orang tinggi kurus yang sudah melangkah menghadapi Si Kong.
"Kalau benar beliau ini Lui Wan-gwe, engkau mau apakah?"
"Aku hendak bertanya tentang enciku yang bernama Si Kiok Hwa. sepuluh tahun yang lalu enciku diambil selir oleh Lui Wan-gwe. Aku ingin bertemu dengan enciku itu."
"Si Kiok Hwa tidak berada di sini lagi. Nah, pergilah, orang muda dan jangan mengganggu majikan kami."
"Aku tidak mau pergi sebelum mendengar tentang enciku!"
"Hemm, nampaknya engkau patut dihajar, berani engkau kurang ajar terhadap Lui wan-gwe?"
Orang tinggi kurus yang usianya sekitar empat puluh tahun itu mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.
"Aku tetap tidak mau pergi sebelum mendengar keterangan yang jelas tentang diri enci Si Kiok Hwa!"
Kata Si Kong dengan suara tegas.
"Engkau sudah bosan hidup!"
Bentak kepala pengawal itu dan dia sudah menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi dengan mudahnya Si Kong mengelak. Ilmu pedang orang ini boleh juga. Setelah pedangnya dapat dielakkan Si Kong, dia menyusulkan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh Si Kong. Namun, betapapun cepat gerakan pedangnya, gerakan Si Kong jauh lebih cepat lagi. Setelah mengelak sampai sepuluh kali, tiba-tiba Si Kong menyambar pedang yang ditusukkan ke dadanya itu dan menjepit pedang itu dengan jari-jari tangannya. Si tinggi kurus terkejut dan berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Si Kong sudah menggerakkan kaki menendang.
"Bukk"!"
Orang tinggi kurus itu terpental kebelakang dan memegangi dadanya yang rasanya remuk sehingga dia terengah-engah, tidak mampu berdiri hanya bangkit duduk sambil menekan-nekan dadanya yang tertendang. Si Kong menggerakkan tangan yang merampas pedang dan senjata itu meluncur seperti anak panah dan menancap di dinding sampai setengahnya lebih. Gagangnya bergoyang-goyang saking besarnya tenaga yang melemparkannya tadi. Si Kong menghampiri kakek tua itu yang kelihatan gemetaran.
"Tidak perlu takut, Lui Wan-gwe. Aku datang kesini hanya ingin bertemu dengan enci Kiok Hwa! Akan tetapi para tukang pukulmu yang menghalangi, terpaksa aku merobohkan mereka. Nah, sekarang katakan dimana adanya enci Kiok Hwa?"
Kakek itu menggeleng kepalanya.
"Entah dimana. Sudah lima tahun yang lalu ia meninggalkan rumah ini, dan menikah dengan seorang yang bernama Lo Sam, aku tidak tahu lagi""
Melihat kakek itu suaranya sudah gemetaran, Si Kong tidak mau mendesaknya.
"Kalau engkau tidak tahu, siapa yang tahu dimana adanya Lo Sam itu sekarang?"
Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan dengan suara mengandung ancaman.
"Karena tadinya enciku berada disini, maka yang bertanggung jawab adalah engkau, Lui Wan-gwe. Kalau aku tidak mendapat keterangan yang jelas, akan kugeledah seluruh isi rumah ini!"
"Tunggu...!"
Lui Wan-gwe mengangkat tangan.
"Terus terang saja, aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ada seorang bujang tua yang mengetahui kemana Lo Sam membawa Kiok Hwa."
Dia lalu memberi isyarat kepada seorang gadis cantik yang tadi memapahnya.
"Panggilkan Ji Kwi kesini."
Tak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang wanita tua yang usianya sudah enam puluh tahun. Wanita ini menghadap dengan takut-takut.
"Lo-ya memangggil saya?"
Katanya sambil berlutut di depan Hartawan Lui.
"Benar. Aku ingin engkau menceritakan tentang diri Kiok Hwa kepada adiknya ini!"
Hartawan Lui menunjuk ke arah Si Kong dan Si Kong menghampiri bujang tua itu dan berkata dengan suara halus.
"Bibi, ceritakanlah tentang enci Kiok Hwa, ceritakan semuanya jangan menyembunyikan sesuatu."
"Lima tahun yang lalu encimu keluar dari rumah ini untuk menikah dengan Lo Sam."
Kata bujang tua itu.
"Dimana adanya Lo Sam itu?"
"Dahulu rumahnya di gang keempat dari jalan raya selatan, kalau mereka belum pindah tentu engkau akan dapat menemukan mereka disana."
Si Kong mengangguk-angguk.
"Akan kucari di sana. Kalau aku tidak dapat menemukan enciku, engkau harus bertanggung jawab, Lui Wan-gwe!"
Setelah berkata demikian, Si Kong melompat dan keluar dari rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, Lui Wan-gwe yang sudah tua renta itu lalu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakannya tidak becus menjaga keselamatannya.
"Cepat undang Gin-to-kwi (Iblis Golok Perak) Bouw Kam kesini!"
Perintahnya. Gin-to-kwi Bouw Kam adalah seorang tokoh besar di antara jagoan-jagoan yang menjadi tukang-tukang pukul para hartawan di dusun itu. Dia bersedia melakukan segala macam perintah para hartawan itu dengan imbalan uang. Kalau perlu dia bersedia membunuh demi mendapatkan upah. Sementara itu Si Kong tidak membuang waktu lagi segera pergi kejalan raya selatan dan memasuki gang empat. Ketika dia mencari keterangan dari orang-orang yang tinggal di gang itu di mana rumah Lo Sam, dengan mudah dia mendapatkan keterangan itu. Dia lalu menuju kerumah Lo Sam, menyelinap dan memasuki rumah itu dari pintu belakang. Tiba-tiba dia mendengar suara wanita batuk-batuk dan di susul suara seorang pria yang terdengar marah-marah.
"Engkau perempuan tiada guna! Kenapa tidak cepat mampus saja agar aku terlepas dari beban!"
Suara wanita itu menjawab,
(Lanjut ke Jilid 08)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
"Huk-huk-ugh... Lo Sam, dimana perasaanmu...? Ketika aku masih sehat... kau memaksaku untuk melacurkan diri... dan uangnya semua engkau pergunakan untuk berjudi dan bersenang-senang... tapi, sekarang setelah aku jatuh sakit, engkau tidak mau merawatku bahkan setiap hari memaki-maki..."
Berdebar rasa jantung Si Kong. Dia tidak lagi mengenal suara wanita itu, akan tetapi timbul dugaannya bahwa itu adalah suara Si Kiok Hwa, encinya! Maka cepat dia mendorong pintu kamar itu terbuka dan dia melihat seorang wanita kurus kering sedang rebah telentang di atas pembaringan dan seorang laki-laki tinggi besar sedang berdiri dekat pembaringan sambil bertolak pingggang.
"Engkau yang bernama Lo Sam?"
Tanya Si Kong sambil memandang laki-laki itu. Laki-laki itu terkejut melihat tiba-tiba ada seorang pemuda membuka pintu dan memasuki kamarnya. Dia menjadi marah sekali dan tanpa berkata-kata lagi, dia sudah menerjang dan memukul Si Kong dengan cepat dan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Si Kong menangkap tangan itu dan mencengkeramnya. Pria itu mengaduh-aduh karena merasakan kepalan tangannya seperti dijepit cengkeraman besi.
"Aduh, aduh... sakit... ampunkan saya..."
"Katakan dulu, benarkah engkau yang bernama Lo Sam?"
Kata Si Kong tanpa melepaskan cengkeramannya.
"Benar, aku Lo Sam""
Si Kong menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lo Sam sehingga orang itu tidak mampu bergerak lagi, berdiri dengan posisi menyerang dan memukul, seolah dia telah menjadi sebuah patung. Si Kong menghampiri pembaringan itu. Dia tidak mengenal wanita yang kurus kering itu. Dahulu, sepuluh tahun yang lalu, encinya adalah seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang cantik manis, sedangkan yang menggeletak di situ adalah seorang wanita yang kelihatan tua dan kurus kering rambutnya awut-awutan dan tubuhnya kurus sekali.
"Apakah engkau Si Kiok Hwa?"
Tanyanya ragu. Wanita itu memandang Si Kong dan berkata lemah.
"Benar, aku Si Kiok Hwa... dan engkau siapa, orang muda?"
"Enci Kiok Hwa! Aku Si Kong, adikmu!"
"Si Kong...? Ya Tuhan, terima kasih atas pertemuan ini..."
Si Kong duduk ditepi pembaringan dan memegang tangan encinya. Terkejutlah dia ketika memeriksa nadi tangan encinya. Detik jantungnya begitu lemah dan tidak tetap, napasnya terengah-engah dan tahulah dia bahwa encinya menderita tekanan batin yang luar biasa sehingga kini tubuhnya tidak kuat bertahan dan jatuh sakit yang berat sekali. Baru memeriksa nadi, mulut dan pernapasan encinya saja tahulah Si Kong bahwa encinya sukar diselamatkan. Encinya itu seolah telah berada diambang kematian.
"Enci kenapa engkau sampai menderita seperti ini? Bukankah dahulu engkau menjadi selir Lui Wan-gwe?"
Dengan suara terputus-putus dan terengah-engah, wanita itu lalu menceritakan pengalamannya yang pahit. Ternyata ia hanya menjadi permainan Lui Wan-gwe saja. Setelah Lima tahun, kakek yang kaya raya itu bosan dengannya, lalu menyerahkan kepada Lo Sam untuk menjadi istrinya. Mula-mula ia memang merasa bahagia karena Lo Sam menjadi suaminya. Akan tetapi Lo Sam ini seorang penjudi dan suka hidup royal. Ketika dia masih menerima sumbangan dari Lui Wan-gwe, memang hidup mereka tidak kekurangan. Akan tetapi tiga tahun kemudian Liu Wan-gwe menghentikan bantuannya dan mulailah penderitaan menimpa diri Kiok Hwa. Mula-mula semua perhiasannya dijual oleh Lo Sam untuk berjudi, lalu perabot rumah tannga. Akhirnya, ketika tidak ada lagi yang harus di jual untuk mendapatkan uang, Lo Sam lalu menjual isterinya!
"Dia memaksa untuk menjadi pelacur... betapa hancur hatiku... akan tetapi dia memaksa dan kalau tidak mau dia menyiksaku. Aku terpaksa... menjadi pelacur... dan uang penghasilanku semua di ambil oleh Lo Sam. Selama hampir tiga tahun aku menjadi pelacur dan akhirnya, sebulan yang lalu aku jatuh sakit dan tidak dapat bekerja... sebagai pelacur... akan tetapi dia... dia..."
Wanita itu menuding kepada Lo Sam yang masih berdiri seperti patung.
"Dia tidak mau merawatku... bahkan memujikan agar aku lekas mati..."
Kiok Hwa menangis, akan tetapi tidak ada air mata yang keluar. Agaknya air matanya sudah habis terkuras selama ini. Si Kong menjadi marah bukan main. Dia meninggalkan encinya dan menghampiri Lo Sam, sekali totok Lo Sam dapat bergerak lagi. Tadi dalam keadaan tertotok, Lo Sam mendengar semua cerita isterinya dan dia menjadi takut setengah mati ketika mengetahui bahwa pemuda yang lihai itu adalah adik isterinya! Maka begitu bebas dari totokan, dia segera lari untuk meninggalkan pemuda itu. Akan tetapi sekali menggerakkan kaki, Si Kong telah dapat mengejarnya dan menjambak rambutnya, menyeretnya kembali ke dalam kamar. Ketika jambakan rambut dilepaskan, Lo Sam segera menjatuhkan diri berlutut di depan Si Kong.
"Ampunkan saya... ah, ampunkan saya..."
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keparat busuk!"
Si Kong memakinya dan dua kali tangannya bergerak, terdengar suara "karak-krak"
Dua kali dan kedua tangan Lo Sam sudah dipatahkan tulangnya di atas siku. Lo Sam mengaduh-aduh dan kedua lengannya tergantung tak berdaya karena tulangnya sudah patah.
"Si Kong...!"
Terdengar Kiok Hwa berkat lirih.
"Jangan Si Kong... dia mempunyai banyak teman, engkau akan dikeroyoknya..."
"Jangan khawatir, enci. Kalau dia memanggil teman-temannya, aku akan menghajar mereka semua! Lo Sam, berdirilah saja disitu, awas, kalau engkau melarikan diri, aku tidak akan mengampunimu lagi!"
"Ba... baik... Taihiap...!"
Kata Lo Sam tergagap saking takutnya.
"Si Kong..."
Wanita itu mengeluh panjang dan Si Kong segera menghampirinya dan duduk di tepi pembaringan.
"Ada apa enci?"
"Aku... aku..."
Si Kong segera menotok beberapa jalan darah untuk memulihkan kekuatan encinya yang sudah terengah-engah itu.
"Si Kong... kalau aku mati... kuburkanlah aku... di dekat makam... Ayah dan ibu..."
"Enci...!"
Si Kong merangkulnya sambil menangis. Tidak dapat dia menahan kesedihannya melihat keadaan encinya, satu-satunya keluarganya yang masih hidup, kini berada di ambang kematian tanpa dia dapat menolongnya. Dia hanya dapat menolong agar encinya tidak terlalu menderita kenyerian, akan tetapi tidak dapat mengobatinya sampai sembuh. Keadaan encinya sudah parah sekali. Paru-parunya juga sudah terluka digerogoti penyakit.
"Enci tenangkanlah hatimu dan mengasolah. Aku akan membalaskan sakit hatimu kepada semua orang yang telah membuatmu sengsara seperti ini. Aku pergi sebentar, enci."
Dia lalu membantu encinya menelan sebutir pil yang dibuatnya sendiri dari akar-akaran dan khasiat pil ini adalah untuk menguatkan badan dan melancarkan jalan darah. Setelah itu, dia merebahkan lagi encinya, menyelimutinya dan encinya dapat tidur dengan tenang.
"Hayo ikut aku!"
Katanya kepada Lo Sam sambil menyeret tangan orang yang usianya sudah empat puluh tahun itu.
"Ke... ke mana..., Taihiap?"
"Tidak perlu bertanya, ikut saja!"
Kata Si Kong dan menyeretnya keluar dari rumah itu. Orang-orang yang tinggal di gang itu terheran-heran melihat Lo Sam didorong-dorong oleh seorang pemuda untuk melangkah maju dan kedua lengan Lo Sam tergantung lemas. Akan tetapi tidak ada orang mau bertanya. Mereka sudah mengenal Lo Sam itu orang macam apa. Penjudi, pemabok dan pembuat kerusuhan, apalagi kalau bersama teman-temannya. Setelah tiba di jalan besar, Si Kong mendorong pundaknya.
"Kita pergi ke rumah Lui-wangwe!"
Lo Sam menjadi pucat, akan tetapi tidak berani membantah. Sebelum tiba di rumah hartawan Lui, tiba-tiba ada empat orang pemuda yang berpapasan dengan mereka.
"He, Lo Sam. Engkau mengapa?"
Tanya mereka. Timbul kembali semangat Lo Sam ketika melihat bahwa mereka itu adalah kawan-kawannya.
"Kawan-kawan, tolonglah aku. Aku dipaksa oleh pemuda ini!"
Teriaknya. Empat orang itu cepat maju dan mengepung Si Kong. Mereka berempat mencabut senjata yang tadinya terselip dipinggang, yaitu pisau belati yang panjang dan tajam berkilauan. Mereka menyerang dengan ganasnya, menusukkan pisau-pisau itu ke arah Si Kong. Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba lenyap dari kepungan mereka dan ternyata Si Kong memang meninggalkan mereka untuk mengejar Lo sam yang berusaha melarikan diri. Lo Sam yang melihat empat orang kawannya sudah mengepung Si Kong, menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan orang di depannya, ketika dia melihat, alangkah kagetnya melihat Si Kong sudah menghadang di depannya!
Si Kong lalu menggerakkan jari tangannya menotok Lo Sam, membuat Lo Sam kembali tidak dapat bergerak seperti patung. Setelah itu barulah Si Kong menghadapi empat orang pemuda berandalan itu. Empat orang itu mengejar dan kembali mengepung, lalu mereka menyerang dengan tusukan belati mereka. Si Kong menggerakkan kaki tangan dan empat orang itu berpelantingan. Dalam waktu singkat Si Kong telah menampar dua menendang dua orang lagi sehingga mereka terpelanting roboh dan menyeringai kesakitan, tidak dapat segera bangkit lagi. Si Kong tidak memperdulikan mereka, lalu menghampiri Lo sam, membebaskan totokannya kemudian menyeret lengan yang sudah lumpuh itu sehingga terpaksa Lo sam melangkah dengan muka pucat dan mulut menyeringai kesakitan.
Setelah tiba di pekarangan rumah besar, Hawtawan Lui, Si Kong menyeret Lo Sam memasuki pekarangan. Akan tetapi tiba-tiba dari dalam rumah itu keluar seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh tahun dan dia memegang sebuah kampak yang mengerikan karena kampak itu besar dan berat, berkilauan saking tajamnya. Melihat ini, segera Si Kong menendang Lo Sam dan tubuh Lo Sam terlempar dan dia hanya mengaduh-aduh, tidak dapat bangkit lagi karena kedua tangannya sudah lumpuh dan kaki kirinya yang terkena tendangan pada pahanya itu juga nyeri luar biasa. Si Kong melangkah maju, disambut oleh laki-laki yang memegang kampak itu. Laki-laki itu bertubuh tinggi tegap dan dia memegang kampak besar dan menumpangkan kampak itu di atas pundak kanan.
"Hei, orang muda pengacau. Ternyata engkau berani datang lagi dan aku sudah menunggumu. Katakan siapa namamu agar engkau jangan mati tanpa nama."
Si Kong mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa Hartawan Lui agaknya sengaja memanggil tukang pukul atau jagoan ini untuk melawannya.
"Sobat, kalau boleh kunasihatkan, jangan mencampuri urusanku dengan Lui Wan-gwe dan pulanglah ke rumahmu sendiri. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga!"
Orang itu tertawa.
"Ha-ha-ha, pemuda sombong. Ketahuilah, aku Gin-to-kwi adalah pelindung Hartawan Lui. Engkau berani datang mengganggunya, berarti engkau sudah bosan hidup!"
Si Kong memandang penuh perhatian dan melihat bahwa di belakang orang itu, terdapat sebatang golok menempel di punggung. Agaknya orang ini ahli bermain golok, akan tetapi untuk menakut-nakuti lawan, dia sengaja membawa kampak yang besar itu.
"Gin-to-kwi, kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa aku akan menghajarmu pula!"
Sepasang mata itu melotot. Belum pernah ada orang yang berani menantangnya selama ini, dan pemuda ini berani berkata hendak menghajarnya! Kemarahannya membuat mukanya menjadi kemerahan dan dia mengayun kampaknya untuk memperlihatkan kekuatannya. Kampak itu diputar di atas kepalanya, kemudian dia berseru,
"Orang muda, mampuslah engkau!"
Orang itu menyerang dengan kampaknya, dihantamkan ke arah Si Kong. Kalau serangan itu mengenai sasarannya, kepala Si Kong tentu akan terpisah dari tubuhnya seperti penjahat yang dipancing kepalanya oleh seorang algojo. Akan tetapi, dengan mudah saja Si Kong menundukkan kepala dan menekuk sedikit lututnya sehingga kampak itu berdesing lewat di atas kepalanya. Saat itu dipergunakan oleh Si Kong untuk mengayun kaki kanan, menendang ke arah perut Gin-to-kwi.
"Dukk!"
Gin-to-kwi menangkis dengan tangan kirinya. Ternyata jagoan ini memiliki kepandaian yang lumayan juga. Tidak mengherankan kalau dia menjadi jagoan nomor satu di dusun Ki-ceng. Biarpun dia merasa nyeri pada tangannya yang menangkis, tidak diperdulikan dan kampaknya sudah menyambar lagi, kini menghantam ke arah dada Si Kong. Kembali Si Kong mengelak ke samping dengan menggeser kakinya. Kampak itu membuat gerakan memutar ke atas dengan cepatnya menyerang lagi ke arah kepala Si Kong!
Si Kong tahu akan bahayanya senjata berat ini, maka setelah mengelak dengan mendoyongkan tubuh ke belakang dia lalu balas menyerang dengan cepat luar biasa karena dia menggunakan ilmu Yan-cu Hui-kuin (Silat Burung Walet Terbang). Orang bertubuh tinggi besar itu terkejut, akan tetapi dia tidak dapat mengelak atau menangkis lagi ketika tangan Si Kong menampar dan tepat mengenai belakang sikunya. Seluruh lengan terasa lumpuh sehingga kampak itu terlepas dari tangannya. Dia cepat meloncat kebelakang dan menggerak-gerakkan tangan kanan untuk mengusir kelumpuhan itu. Ketika lengannya sudah pulih kembali, dia lalu mencabut golok dari punggungnya. Sinar terang menyilaukan mata menyambar ketika golok di cabut. Kiranya senjata ity terbuat dari perak murni dan tajam bukan main.
"Bocah setan, sekarang bersiaplah untuk mampus!"
Bentak Gin-to-kwi sambil memutar goloknya dan menyerang. Bagi Si Kong, gerakan lawan itu tidak terlalu cepat seperti tampaknya, dia mengelak ke sana sini mencari kesempatan. Ketika melihat lowongan pada saat golok menyambar lehernya, dia lalu masuk menotok dada kanan lawan.
"Tukk!"
Golok itu terlepas dari tangannya dan sebelum Gin-to-kwi dapat berbuat sesuatu, sebuah tendangan membuat tubuhnya terlempar ke belakang! Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi roboh lagi. Si Kong sudah tidak memperdulikan dia lagi, menghampiri Lo Sam dan membebaskan totokannya lalu menyeretnya memasuki rumah gedung tempat tinggal Lui Wan-gwe itu.
"Hartawan Lui, keluarlah aku mau bicara!"
Teriak Si Kong ke sebelah dalam. Tak lama kemudian, Hartawan Lui keluar dengan dipapah dua orang gadis cantik. Si Kong mendorong Lo Sam sehingga orang ini jatuh berlutut.
"Nah, Hartawan Lui, inilah Lo Sam yang telah mengawini enciku. Menurut keterangan tadi, enciku keluar dari rumah ini dan menikah dengan Lo Sam. Akan tetapi sesungguhnya tidak demikian. Hayo Lo Sam, akuilah terus terang bagaimana engkau sampai dapat menikah dengan enci Kiok Hwa yang tadinya menjadi selir Hartawan Lui!"
Lo Sam sudah mati kutu. Dia tidak berani lagi berbohong, walaupun dia takut kepada Hartawan Lui akan tetapi dia lebih takut kepada Si Kong.
"Pada suatu hari saya dipanggil Hartawan Lui dan diberi hadiah seorang selirnya dan juga uang."
"Nah, kau dengar sendiri, Lui-wangwe? Engkau dahlu mengambil enci Kiok Hwa menjadi selirmu, mengandalkan kekayaanmu dan mengambil kesempatan selagi Ayahku terdesak oleh kemiskinannya. Akan tetapi, setelah lewat lima tahun engkau merasa bosan dan memberikan enciku kepada jahanam ini seolah enciku sebuah benda yang tidak terpakai lagi. Jahanam Lo Sam ini telah menyiksa enciku dan memaksanya menjadi pelacur! Akan tetapi, kesengsaraan yang di derita enciku itu bermula pada tindakanmu yang memberikan ia kepada Lo Sam. Engkau harus bertanggung jawab untuk itu!"
Kakek Hartawan itu gemetar seluruh tubuhnya.
"Aku menyesal telah melakukan itu. Harap engkau suka mengampuni aku. Kalau engkau menginginkan uang, sebutkan saja jumlahnya, tentu aku akan memberi padamu."
"Aku tidak butuh uangmu! Akan tetapi engkau harus membebaskan semua tanah, sawah dan ladang yang kau sita dari penduduk miskin karena mereka tidak mampu membayar hutang mereka kepadamu. Dan engkau harus membebaskan semua hutang penduduk miskin di dusun ini, mulai hari ini tidak ada seorangpun yang pinjam uang kepadamu, semua telah lunas. Mengerti?"
"Ba... baik...!"
Kata Hartawan itu.
"Awas engkau! Kalau dalam beberapa hari ini engkau masih belum mengembalikan sawah ladang kepada mereka, aku akan datang lagi kesini dan membunuhmu seperti anjing ini!"
Si Kong menggerakkan tangannya ke arah kepala Lo Sam. Orang yang kejam inipun terpelanting roboh dan tidak dapat bergerak lagi karena kepalanya sudah retak dan nyawanya sudah melayang meninggalkan badannya. Hartawan Lui makin ketakutan. Mukanya pucat sekali dan kalau dia tidak dipapah dua orang gadis itu, tentu dia akan roboh. Lututnya sudah menggigil.
"Dan ingat, jangan panggil jagoan seperti yang menggeletak diluar itu atau aku akan membunuhmu dan membakar rumah ini!"
"Baik... akan kuturuti permintaanmu..."
Kata Hartawan Lui. Setelah mengeluarkan ancaman itu, Si Kong lalu keluar dari rumah itu. Para penjaga tidak kelihatan karena mereka semua telah bersembunyi ketakutan. Si Kong kembali ke rumah Lo Sam untuk melihat encinya. Akan tetapi ketika dia memasuki kamar itu, Kiok Hwa telah meninggal dunia. Si Kong memeluk tubuh encinya dan merasa kasihan sekali. Encinya menjadi korban karena kemiskinan orang tua mereka. Kalau Ayahnya tidak semiskin itu, tentu encinya tidak sampai diserahkan kepada Hartawan Lui. Para tetangga datang melayat ketika mendengar bahwa Si Kiok Hwa meninggal dunia. Si Kong mengurus jenazah encinya dan dikuburkan di dekat kuburan ibu dan Ayahnya. Setelah penguburan selesai dia berkata kepada para tetangga itu.
"Kalau diantara kalian ada yang mengggadaikan tanah kepada Hartawn Lui dan yang lain-lain, mulai sekarang boleh memiliki tanah itu kembali. Garaplah sawah ladang kalian baik-baik dan jangan sekali-kali menggadaikannya. Kalau kalian butuh uang, mintalah saja kepada para hartawan disini, mereka pasti akan menolong kalian."
Ucapan Si Kong itu disambut dengan sikap bermacam-macam oleh mereka. Ada yang berjingkrak kegirangan, ada pula yang tidak percaya dan ada yang ragu-ragu. Si Kong tidak berhenti sampai disitu saja. Dia mengunjungi semua tuan tanah dan hartawan yang tinggal di Ki-ceng. Tentu saja dia mendapatkan perlawanan dari tukang-tukang pukul para hartawan. Akan tetapi semua tukang pukul dia robohkan dan semua hartawan itu diancamnya untuk membebaskan semua hutang dan mengembalikan sawah ladang, dan selanjutnya bermurah hati kalau rakyat dusun itu sedang menderita kekurangan pangan.
Si Kong tinggal di dusun itu sampai sebulan lamanya. Setelah dia melihat bahwa semua ancamannya dipenuhi para hartawan sehingga seluruh penduduk dusun yang miskin menjadi gembira luar biasa, baru Si Kong meninggalkan dusun itu. Penduduk yang tahu akan kepergian Si Kong, berbondong-bondong mengantarkan pemuda itu sampai keluar dari dari dusun. Dan semenjak hari itu, seluruh penduduk dusun hidup dengan aman dan tenteram. Para hartawan tidak perlu lagi memelihara tukang pukul karena rakyat miskin yang mengenal budi itu akan menjaga keselamatan mereka dari gangguan perampok. Tidak ada lagi kekurangan pangan, karena para hartawan suka membagi-bagi beras apabila musim panas yang panjang datang. Dan tidak ada lagi pencurian atau perampokan, karena selain penduduk melakukan penjagaan, juga tidak ada keadaan yang memaksa mereka untuk mencuri.
Dusun Ki-ceng menjadi dusun tauladan. Penduduknya hidup tenteram dan sebentar saja dusun itu berkembang menjadi besar. Bahkan banyak orang berdatangan untuk menjadi penghuni dusun Ki-ceng. Para hartawan juga tidak kehabisan hartanya karena suka membagi-bagi beras kepada penduduk miskin, karena kalau sedang panen para penduduk miskin yang banyak menerima bantuan itu secara bergotong royong membantu tanpa menuntut upah. Memang demikianlah. Kalau yang memiliki kelebihan memberi kepada yang kekurangan, baik kelebihan harta atau ilmu pengetahuan, maka akan ada pemerataan penghasilan di antara penduduk, tidak ada lagi bahaya kelaparan dan tidak ada lagi rasa iri dan dendam. Tanpa dia sadari Si Kong telah menolong rakyat di dusun tempat asalnya dan mengubah dusun yang biasanya dilanda kelaparan itu menjadi dusun yang maju dan makmur.
Kini Si Kong melakukan perjalanan tanpa tujuan tertentu. Dia sudah kembali kedusunnya, bahkan kehilangan keluarga satu-satunya, yaitu encinya. Setelah mengubur jenazah encinya, habislah kaitannya dengan dusun Ki-ceng. Kemudian, ketika pada suatu siang yang panas dia mengaso di bawah sebatang pohon rindang dan membuka buntalannya, dia melihat kantung kain kecil yang berisi perhiasan wanita, yaitu sepasang gelang emas bertabur permata yang indah sekali. Dia teringat akan pemberi sepasang gelang itu, seorang gadis yang cantik jelita dan memiliki ilmu pedang yang lihai. Namanya Tan Kiok Nio. Membayangkan wajah gadis itu, jantungnya berdebar. Gadis yang hebat, pikirnya. Dia lalu mengenang kembali semua pengalamannya dan dia mendapat kenyataan bahwa diapun teringat akan Tong Kim Lan, puteri si Huncwe Maut Tong Li Koan.
Gadis itupun seringkali muncul dalam ingatannya. Kemudian dia teringat pula akan Tang Hui Lan, puteri suami isteri pendekar besar, cucu gurunya Ceng Lo-jin. Dibandingakan dua orang gadis itu, Hui Lan menang segala-galanya. Kecantikannya, kepandaiannya. Ia merasa yakin bahwa Hui Lan tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Kemudian dia teringat kepada Gu Mei Cin, yang ditolongnya dari tangan si jahat Ouwyang Kwi. Kemudian diapun teringat dan membayangkan wajah gadis lain yang tak kalah cantiknya dari lain-lain. Bahkan ia memiliki ilmu kepandaian yang paling hebat. Entah siapa yang lebih unggul ilmunya antara gadis itu yang bernama Pek Bwe Hwa dengan Tang Hui Lan. Satu demi satu wajah kelima orang gadis itu bermunculan dan hatinya merasa gelisah sendiri.
"Ihh! Tak tahu malu. Kenapa mengenang gadis-gadis itu?"
Celanya kepada diri sendiri.
Cepat dia menyimpan kembali sepasang gelang emas berhias permata itu kedalam kantung kain dan mengambil roti kering yang tadi dibelinya di dusun terakhir yang dilewatinya. Makan sepotong roti kering dan ikan kering membuat leher terasa haus bukan main. Akan tetapi tempat airnya telah penuh, diisi air teh di warung dusun tadi, dan dia dapat makan dan minum sambil melepaskan lelah. Selagi dia makan minum, nampak seorang laki-laki setengah tua datang sambil memikul ubi. Agaknya dia seorang petani yang baru saja panen ubi dan kini membawa ubi dalam pikulannya. Melihat ada seorang pemuda beristirahat di bawah pohon besar yang lebat daunnya, memberi keteduhan di bawahnya, laki-laki berusia hampir lima puluh tahun itupun meninggalkan jalan dan menuju ke pohon itu. Dia menurunkan pikulannya dan menyeka keringat dengan bajunya. Bahkan dia lalu menanggalkan baju atasnya karena merasa gerah bukan main.
"Selamat siang, paman."
Kata Si Kong ramah.
"Kalau paman mau, silakan makan minum bersamaku. Akan tetapi aku hanya mempunyai roti kering dan teh dingin!"
"Roti kering dan teh dingin sudah merupakan hidangan lezat di siang hari panas seperti ini."
Kata orang itu. Lalu dia duduk dekat Si Kong, diatas hamparan rumput hijau. Sambil tersenyum Si Kong mengulurkan tangan memberi roti dan ikan kering kepada orang itu yang menerimanya dengan pandang mata berterima kasih. Mereka lalu makan minum bersama sambil bercakap-cakap santai.
"Paman hendak menjual ubi ke kota?"
"Benar, kongcu."
"Aih, jangan sebut aku kongcu, paman. Aku hanya seorang perantau miskin, bukan pemuda bangsawan bukan pula pemuda hartawan. Namaku Si Kong dan paman boleh menyebutku dengan nama itu saja."
Petani itu tersenyum dan memandang kepada Si Kong dengan matanya yang ramah. Kulit muka petani itu sudah penuh keriput walaupun usianya baru lima puluh tahun, namun wajah keriput itu masih nampak segar dan tubuhnya masih nampak kuat.
"Baiklah, Akong dan terima kasih atas keramahanmu mengundang aku makan. Roti kering dan ikan kering itu lezat sekali!"
"Setiap makanan akan lezat kalau dimakan selagi perut merasa lapar, bukankah begitu, paman?"
"Kau benar dan perutku memang sedang lapar."
"Apakah paman mempunyai anak isteri."
"Aku mempunyai isteri dan dua orang anak."
"Apakah hidup paman kekurangan?"
"Ah, tidak. Kedua anakku membantu diladang. Kami setiap hari dapat makan dan ubi sisa makanan kami ini dapat kujual kekota dan uangnya dapat kupakai membeli pakaian atau keperluan lain. Tidak, aku tidak kekurangan dan keluargaku tidak pernah kelaparan. Kami memiliki sebidang sawah dan juga memiliki sebuah rumah yang biarpun tidak bagus namun cukup menyenangkan bagi kami."
Si Kong memandang kagum. Didepannya duduk seorang setengah tua yang sederhana dan miskin, memikul ubi yang berat untuk di jual dengan harga yang murah, namun kakek ini tidak merasa kekurangan. Agaknya orang seprti kakek inilah yang dapat disebut orang yang berbahagia hidupnya. Mereka telah selesai makan dan kakek itu yang telah melakukan perjalanan cukup jauh agaknya hendak mengaso sejenak di tempat yang teduh itu.
"Paman, engkau tentu seorang yang berbahagia hidupnya?"
"Bahagia? Apakah itu? Aku tidak merasa berbahagia, akan tetapi juga tidak merasa sengsara. Aku sekeluargaku cukup makan, dapat bertukar pakaian, dan memiliki rumah sebagai tempat tinggal kami, dapat bekerja diladang setiap hari."
"Kalau begitu engkau pasti berbahagia?"
Kata Si Kong sambil mengangguk-angguk.
"Aku tidak tahu, Akong. Apa sih bahagia itu? Yang jelas, aku tidak membutuhkan bahagia, asalkan keluargaku semua sehat dan tidak ada halangan sesuatu."
"Paman tentu tidak mengenal kesusahan dan kekecewaan."
"Ah, siapa bilang? Kalau ubi yang kupikul ini tidak laku, atau hanya laku sedikit saja, aku tentu kecewa dan susah. Kalau anak-anakku tidak menaati kata-kataku, akupun marah dan kesal. Aku masih bisa susah dan kecewa, Akong."
Si Kong tertegun dan memandang wajah penuh keriput itu. Benar, orang ini masih mengenal susah dan kecewa. Kalau begitu, dia bukan orang yang berbahagia.
"Kalau begitu engkau juga tidak berbahagia seperti halnya diriku, paman."
"Aku tidak tahu. Yang jelas, aku kadang-kadang merasa senang dan kadang-kadang juga merasa susah, kadang merasa puas dan sering merasa kecewa juga. Bukankah kehidupan ini terisi kesenangan dan kesusahan, Akong? Wah, matahari telah naik tinggi, aku tidak boleh kesiangan sampai dikota, karena ubiku tentu tidak akan laku lagi. Para tengkulak sudah pulang dan terpaksa ubi kujual murah, membuat aku merasa kecewa dan susah."
Kakek itu lalu memikul lagi ubinya dan pergi meninggalkan Si Kong. Setelah kakek itu pergi, Si Kong termenung.
Kakek itu bukan orang yang berbahagia, pikirnya. Lalu, apakah kebahagiaan itu. Baru sekarang timbul pertanyaan ini. Sayang dia dahulu tidak pernah membicarakan perihal bahagia ini dengan guru-gurunya. Sekarang dia menghadapi pertanyaan itu seperti menghadapi teka-teki. Dia sama sekali tidak tahu apa yang dimaksudkan bahagia itu dan kemana harus mencari bahagia. Seperti juga Si Kong, semua orang di dunia ini mendambakan kebahagiaan, akan tetapi agaknya jarang ada orang yang menemukan kebahagiaan. Yang dirasakan orang hanyalah kesenangan, tidak dapat tidak kita pasti akan berhadapan dengan kesusahan pula. Senang dan susah, puas dan kecewa, gembira dan sedih, berhutang budi dan dendam, semua itu menjadi isi kehidupan, yang satu tidak terpisah jauh dari yang lain sehingga manusia dipermainkan oleh perasaannya sendiri.
Kesenangan memang mudah dicari dan ditemukan, dan walaupun tidak dikehendaki, kesusahan menyusul kesenangan itu, silih berganti. Apakah kebahagaiaan itu? Ke mana mencarinya? Orang mencari kebahagiaan dengan berbagai cara. Melalui agama, melalui pertapaan dan penyiksaan diri, melalui pengetahuan, namun amatlah sukar menemukan orang yang sudah mendapatkan kebahagiaan yang dicari-cari itu. Tetap saja mereka menjadi permainan susah dan senang. Kalau kita renungkan secara mendalam, kita dapat bersama-sama menyelidiki tentang kebahagiaan itu. Kebahagiaan berada di atas susah dan senang. Bahkan diwaktu mendapatkan kesusahan, kita masih berbahagia. Bahagia tidak disentuh dan tidak diubah oleh susah senang yang hanya lewat seperti lewatnya segumpal awan diangkasa yang cepat lewat dan lenyap.
Kebahagiaan tidak mungkin dapat ditemukan dengan jalan mencarinya. Kebahagiaan tidak dapat dicari. Makin didambakan dan dicari, makin menjauhlah dia. Daripada bersusah payah mencari kebahagiaan, lebih baik orang meneliti ketidak-bahagiaan. Ketidak-bahagiaan ini dapat terasa oleh setiap orang. Merasa tidak berbahagia. Kita lalu meneliti dan mengamati diri sendiri, apa yang menyebabkan kita tidak bahagia? Kalau sebab adanya ketidak-bahagiaan ini sudah tidak ada lagi, kita tidak membutuhkan bahagia. Kenapa? Karena kita sudah berbahagia! Berarti bahwa kebahagiaan itu sudah ada dan selalu ada dalam diri kita. Seperti halnya kesehatan. Kesehatan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi biasanya kita tidak merasakan adanya kesehatan ini, tidak dapat menikmati. Baru kalau kita jatuh sakit, kita mendambakan kesehatan.
Demikian pula kebahagiaan. Selalu terutup oleh ulahnya nafsu, senang susah, sedih gembira, dan segala macam perasaan yang didorong oleh nafsu. Karena kita menjadi budak nafsu kita sendiri, maka kebahagiaan itu tertutup dan tidak pernah dapat dirasakan. Yang dapat dirasakan hanya kesenangan dan kesenangan inipun ulah nafsu. Nafsu mendorong kita agar selalu mengejar kesenangan. Orang yang tidak lagi menjadi budak nafsu, melainkan menjadi majikan nafsu, mungkin sekali akan dapat merasakan kebahagiaan itu. Nafsu tidak lagi menyeret kita ke dalam perbuatan yang hanya mengejar kesenangan sehingga untuk mencapai kesenangan, kita halalkan segala macam cara. Nafsu merupakan peserta hidup yang amat penting dan berguna, kalau saja kita yang mengendalikannya.
Akan tetapi kalau nafsu menguasai kita, maka malapetakalah yang akan menimpa diri kita. Tanpa nafsu kita tidak akan dapat hidup di dunia ini. Nafsu yang mendorong kita untuk hidup layak sebagai manusia. Akan tetapi dengan nafsu menjadi majikan, kita akan hidup sesat. Nafsu bagaikan api. Kalau kita dapat menguasainya, maka api itu amat berguna nagi kehidupan kita. Akan tetapi kalau terjadi sebaliknya, api yang mengamuk menguasai kita, api itu akan membakar segala yang ada! Lalu bagaimana caranya untuk menguasai dan mengendalikan nafsu yang demikian kuatnya? Diri kita sudah menjadi gudang nafsu, maka akan sia-sialah kalau kita berusaha untuk menundukkannya. Pikiran itu sendiri yang ingin menguasai nafsu, sudah bergelimang dengan nafsu. Juga ilmu pengetahuan tidak dapat dipergunakan untuk menguasai nafsu.
Lalu bagaimana? Satu-satunya jalan untuk menguasai nafsu hanya MENYERAH kepada KEKUASAAN TUHAN! Hanya Tuhanlah yang dapat menundukkan nafsu. Siapa lagi yang dapat menundukkan nafsu selain YANG MAHA PENCIPTA? Kalau kita menyerahkan diri dengan penuh keimanan, tawakal dan kepasrahan yang ikhlas, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja dalam diri kita! Si Kong bangkit berdiri dan membawa buntalan pakaiannya dengan memanggul tongkat bambu. Dia melakukan perjalanan ke barat dengan melangkahkan kaki seenaknya karena dia tidak tergesa-gesa, bahkan tidak mempunyai tujuan. Kembali dia teringat kepada Tan Kiok Nio, gadis jelita yang minta tolong kepadanya untuk mencari tahu dimana adanya seorang kakek berusia enam puluh tahun yang bermuka pucat dan berpakaian serba merah.
Kakek itu telah membunuh orang tua Kiok Nio. Biarpun amat sukar mencari orang yang tidak diketahui dimana tempat tinggalnya, akan tetapi kalau kebetulan dia bertemu dengan kakek itu, tentu dia akan mengenalnya. Sukar dicari orang tua yang memakai pakaian serba merah! Pada suatu hari tibalah dia di tempat yang sunyi sepi dan di depannya menjulang tinggi sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon besar. Matahari telah naik tinggi dan Si Kong merasa betapa perutnya lapar sekali. Semenjak kemarin sore dia belum makan apapun kecuali minum air jernih yang menjadi bekalnya. Melihat hutan dibukit itu, timbul niatnya untuk berburu binatang yang dagingnya dapat dimakan. Tidak nampak dusun disekitar tempat itu dimana dia dapat membeli makanan.
Dengan membawa beberapa potong batu yang runcing dia memasuki hutan itu. Setelah berkeliaran di dalam hutan mencari-cari, akhirnya dia meloncat naik ke atas pohon besar untuk melihat kalau-kalau di dekat situ terdapat binatang buruan. Usahanya berhasil. Dari atas pohon itu dia melihat anak sungai yang berliku-liku dan tak jauh dari situ terdapat beberapa ekor kijang sedang minum air. Dengan hati-hati Si Kong turun dari atas pohon dan berindap-indap mendekati sekawanan kijang itu, menyusup-nyusup diantara semak belukar dan batang-bantang pohon. Setelah jarak antara dia dan kijang-kijang itu tidak begitu jauh lagi, Si Kong lalu menggenggam sepotong batu, matanya dengan tajam mengambil jarak dan membidik, kemudian tangannya bergerak dan batu itu meluncur ke arah seekor kijang muda yang gemuk.
"Wuuutt... tarr!"
Batu itu bertumbuk dengan batu lain yang meluncur dari samping sehingga dua batu runtuh. Kijang-kijang itu terkejut oleh bunyi kedua batu yang bertumbukan itu dan mereka segera berloncatan cepat sekali menghilang di balik semak-semak belukar.
Si Kong mengerutkan alisnya dan dia menjadi marah. Jelas ada orang yang telah menimpuk batunya sehingga niatnya merobohkan seekor kijang menjadi gagal. Dia meloncat keluar dari balik semak-semak dan pada saat yang sama, dari balik sebatang pohon besar meloncat keluar pula seorang pemuda remaja yang dari pakaiannya yang kusut penuh tambalan itu dapat diduga bahwa dia seorang pengemis. Di punggungnya tergendong sebuah buntalan kain kuning. Bajunya yang penuh tambalan itu terlampau besar sehingga kedodoran dan kepanjangan sampai lutut. Namun wajah yang kotor terkena tanah dan debu itu nampak tampan juga. Sebelum Si Kong menegurnya, pengemis muda itu lebih dulu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Si Kong dan membentak nyaring.
Jodoh Si Mata Keranjang Eps 18 Kumbang Penghisap Kembang Eps 25 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 3