Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 9


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Engkau manusia kejam yang tak mengenal prikebinatangan! Kijang-kijang itu sedang santai melepas dahaga, kenapa engkau hendak membunuhnya? Engkau lebih kejam daripada binatang buas!"

   Si Kong tidak jadi marah. Melihat seorang pengemis muda yang hidupnya tentu serba kekurangan dan sengsara, dia sudah merasa iba dan dia sudah memaafkan perbuatan pengemis muda remaja itu. Akan tetapi dia penasaran juga ketika dikatakan lebih kejam dari binatang buas.

   "Adik kecil""

   "Aku bukan anak kecil!"

   Pengemis itu membantah. Si Kong tersenyum. Seorang pemuda remaja yang nakal, pikirnya dan diapun berkata,

   "Adik yang baik, bagaimana engkau mengatakan bahwa aku lebih kejam dari binatang buas? Kalau aku menjadi harimau, sudah kuterkam kijang tadi!"

   "Harimau lain! Memang makanannya daging binatang dan dia hanya membunuh korbannya kalau perutnya lapar dan dia ingin makan."

   Si Kong mengelus perutnya.

   "Aku juga lapar."

   "Tapi engkau tentu suka makan makanan lain. Sebaliknya harimau tidak suka makan roti, tidak suka minum arak, tidak suka makan nasi. Sebaliknya engkau, aku yakin engkau suka makan roti dan minum arak!"

   "Akan tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Di sini yang ada hanya kijang itu, tidak ada roti dan arak!"

   Pengemis muda itu menurunkan buntalannya dari punggung, membuka buntalan dan diantara pakaian yang tambal-tambalan terdapat pula sebungkus roti bakpau yang isinya cukup banyak untuk dimakan dua orang! Dan juga seguci arak.

   "Aku tidak tega melihat kijang dibunuh. Binatang itu demikian indah, kalau engkau tadi membunuhnya, tentu ada orang tua dan sanak saudaranya yang kehilangan, terutama pacarnya. Maka aku menghalangimu dan kalau engkau memang lapar, sama dengan aku. Maka mari kita makan bakpau ini."

   Dia lalu duduk bersila diatas rumput. Si Kong memandang dengan bengong. Bocah ini memang nakal, akan tetapi kata-katanya demikian tepat sehingga sukar untuk dibantah, seperti kata-kata seorang pendeta yang pantang makan daging saja. Diapun mengangguk dan duduk di depannya, mengambil sepotong bakpau dan menggigitnya. Lezat sekali bakpau itu, tentu bukan bakpau yang murahan. Akan tetapi ketika lidahnya merasakan daging di dalam bakpau, dia mengerutkan alisnya.

   "Adik, engkau tadi mencela aku yang hendak makan daging kijang! Akan tetapi engkau sendiri sekarang makan daging yang berada di dalam bakpau. Kalau begitu, engkau seorang yang munafik!"

   "Apa kau bilang? Aku munafik? Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa aku tidak suka daging?"

   "Kau tadi melarangku..."

   "Tentu saja karena aku membawa bekal cukup bakpau yang cukup banyak. Kalau ada bakpau, mengapa membunuh kijang? Yang kumakan ini daging ayam, itupun bukan aku yang menyembelih, melainkan orang yang memeliharanya."

   Si Kong tersenyum. Percuma saja berdebat dengan anak kecil yang mau menang sendiri saja. Dia lalu makan lagi dan tidak sampai makan waktu lama, bungkusan bakpau itu telah habis mereka makan!

   "Nih, minumnya! Bukan arak keras, melainkan anggur yang sedap dan tidak memabokkan. Aku paling muak melihat orang mabok!"

   Bocah ini nakal, pandai bicara dan mau menang sendiri, akan tetapi hatinya polos dan baik.

   "Engkau minumlah dulu, baru aku. Engkau pemiliknya berhak minum lebih dulu karena disini tidak ada cawan."

   Kembali bocah itu mengerutkan alisnya,

   "Kau tidak percaya padaku dan kau kira arak ini mengandung racun? Hemm, kalau aku ingin meracunimu, sekarang juga engkau sudah menggeletak tanpa nyawa. Aku dapat menaruh racun itu dalam bakpau tadi!"

   "Wah, jangan salah sangka, sobat. Aku sama sekali tidak takut kalau dalam arak ada racunnya. Akan tetapi karena kita harus minum begitu saja dari mulut guci, maka sebaiknya engkau dulu yang minum, baru aku."

   "Aturan mana itu? Aku tuan rumah dan engkau tamuku. Tentu saja engkau yang harus minum lebih dulu. Kalau engkau menolak, itu berarti engkau tidak percaya dan tidak menghargai suguhanku."

   Kembali Si Kong merasa kalah kalau harus berdebat dengan pengemis muda yang bicaranya seperti seorang pengacara ini. Terpaksa dia menerima guci itu dan minum dari mulut guci, menjaga agar bibirnya tidak menyentuh mulut guci. Anggur itu memang enak sekali, manis dan sedap.

   Karena isinya masih penuh, diapun minum sepuasnya. Lalu dia mengembalikan guci itu kepada pemiliknya. Pengemis muda itupun menuangkan anggur dari guci kemulutnya dan menempelkan bibirnya pada mulut guci. Si Kong memandang wajah pengemis itu. Wajah itu masih kekanak-kanakan, akan tetapi setelah dipandang dengan waspada, dia harus mengakui bahwa wajah pengemis itu tampan sekali. Giginya berderet putih bagaikan mutiara. Akan tetapi wajah berlepotan lumpur dan debu. Teringatlah dia akan peristiwa tadi. Sambitan batu yang dilontarkan pada kijang tadi mengandung tenaga yang kuat, yang diaturnya agar dapat membunuh kijang itu sekali sambit. Akan tetapi pemuda remaja ini mampu meruntuhkannya dengan sambitan batu lain. Ini membuktikan bahwa pemuda jembel ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah.

   "Adik yang baik, siapakah namamu dan dimana tempat tinggalmu?"

   Pengemis muda itu menatap tajam wajah Si Kong, agaknya dia sedang mempertimbangkan pertanyaan itu. Kemudian dia berkata,

   "Katakan dulu siapa engkau dan ada urusan apa engkau datang ke tempat ini?"

   Si Kong tersenyum.

   "Ditanya belum menjawab bahkan berbalik mengajukan pertanyaan."

   "Tentu saja sebagai tamu engkau harus memperkenalkan diri lebih dulu. Kalau engkau tidak bertanya siapa namaku akupun tidak akan menanyakan namamu."

   Dasar pokrol, pikir Si Kong. Akan tetapi pengemis muda ini sudah menjamunya dengan bakpau dan anggur, maka diapun mengalah.

   "Namaku Si Kong, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Aku seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara dan aku mengembara kemana saja hati dan kakiku membawaku. Kebetulan aku lewat di sini dan perutku keroncongan. Karena melihat di sekitar tempat ini tidak ada dusun, maka terpaksa aku harus berburu binatang untuk memberi makan perutku yang lapar. Nah sudah jelas, bukan? Sekarang giliranmu bercerita tentang dirimu."

   "Aku... eh, namaku Siangkoan Ji. Aku juga berkelana seorang diri saja. Kalau tidak ada yang menaruh iba, tentu kudatangi rumah hartawan yang kikir dan kuambil emasnya barang sekantung. Lihat, inilah sisa emas sekantung. Telah kubagi-bagikan kepada para petani miskin dan sisanya tidak berapa lagi, akan tetapi cukup untuk kubelikan makanan kalau lapar. Tidak akan habis sebulan."

   Si Kong mengerutkan alisnya.

   "Ji-te, mengemis itu pekerjaan yang memalukan, dan mencuri adalah perbuatan yang jahat. Mengapa engkau mengemis dan mencuri?"

   "Aku mengemis untuk makan. Aku mencuri untuk menolong para petani miskin di dusun-dusun. Kenapa di bilang jahat? Habis, kalau aku tidak boleh mengemis atau mencuri, aku harus makan apa? Aku tidak suka makan batu dan minum air comberan!"

   Pemuda itu membantah dan bersungut-sungut.

   "Engkau bisa bekerja, Ji-te (adik Ji), seperti aku. Akupun suka bekerja kalau kehabisan bekal. Gajinya kutabung, kalau sudah cukup aku melanjutkan pengembaraanku. Engkaupun dapat bekerja Ji-te."

   Pengemis muda itu nampaknya senang di sebut Ji-te, sebutan yang akrab sekali. Pemuda tegap di depannya itu tidak keberatan untuk bersahabat dengan pengemis, tidak seperti pemuda-pemuda lain yang jijik melihatnya dan mengusirnya kalau dia mendekati mereka.

   "Aku tidak biasa bekerja, Kong-ko. Aku tidak bisa bekerja apa-apa. Mana aku kuat kalau diharuskan bekerja kasar seperti mengangkuti barang sekarung atau balok yang besar?"

   "Ji-te, tidak perlu bersembunyi didepanku. Aku tahu benar bahwa engkau memiliki tenaga yang besar dan engkau tentu seorang ahli silat yang lihai."

   Pengemis itu membelalakkan matanya.

   "Eh, bagaimana engkau bisa mengetahuinya?"

   "Mudah saja. Ketika aku menyambitkan batu ke arah kijang itu ada batu lain yang menghancurkan batuku. Tentu engkau yang menyambitkan batu itu, bukan? Nah, untuk menyambit batuku begitu tepat sampai dapat menghancurkan, engkau pasti memiliki kepandaian tinggi dan tenaga yang kuat."

   "Wah, ternyata engkau cerdik juga, Kong-ko. Akan tetapi tenagaku itu hanya untuk membela diri, bukan untuk mengangkut barang berat dan mencari uang. Dan engkau sendiri, bukankah selain bekerja berat engkau juga suka mencuri barang para hartawan kikir?"

   "Tidak, aku tidak pernah mencuri!"

   "Hemm, kalau begitu dari mana engkau memperoleh sepasang gelang permata itu?"

   Si Kong terkejut dan heran. Bagaimana bocah ini bisa tahu bahwa dia menyimpan sepasang gelang emas dalam buntalannya? Dia segera meraih buntalan itu yang tadi diletakkan diatas tanah, dekat pengemis muda itu duduk. Ketika memeriksanya, ternyata butalan gelang itu telah lenyap! Si Kong menjadi semakin bingung. Pengemis muda itu tertawa.

   "Ha-ha, apakah ini yang kau cari, Kong-ko?"

   Dia mengangkat kantung kain terisi sepasang gelang itu ke atas sambil meloncat berdiri.

   "Jadi engkau yang telah mencopetnya! Kembalikan."

   Tangan Si Kong meraih, akan tetapi Siangkoan Ji menarik tangannya sehingga sambaran tangan Si Kong itu luput.

   "Ha, engkau memiliki sepasang gelang yang berharga mahal, akan tetapi engkau bekerja sebagai kuli kasar, bukankah itu pelit namanya? Ataukah, sepasang gelang ini pemberian pacarmu sebagai tanda mata?"

   Siangkoan Ji menggoda. Si Kong melompat berdiri.

   "Ji-te, harap jangan main-main. Sepasang gelang itu milik seorang gadis yang dititipkan kepadaku, bukan dari pacarku karena aku tidak mempunyai pacar. Kembalikan padaku!"

   "Kalau bukan dari pacarmu, lebih gawat lagi. Kalau pacarmu mengetahui engkau membawa gelang milik gadis lain ia tentu akan cemburu sekali. Sebaiknya aku yang membawa agar engkau tidak dimarahi pacarmu."

   "Ji-te, jangan main-main! Kembalikan gelang itu kepadaku, cepat!"

   "Ha, bukan kebiasaanku untuk memberikan barang yang sudah kuambil. Kalau engkau mampu, ambillah sendiri dari tanganku!"

   Pengemis muda itu tertawa-tawa mengejek. Si Kong menjadi marah. Dia melompat ke depan dan menjulurkan tangannya untuk merampas sepasang gelang yang berada di tangan kanan Siangkoan Ji. Akan tetapi, ternyata pengemis muda itu memiliki gerakan yang cepat sekali. Dia sudah melompat ke samping sehingga sambaran Si Kong luput.

   "Ji-te, kembalikan atau terpaksa aku menggunakan kekerasan!"

   "Ha, memang itulah yang kukehendaki. Aku ingin tahu apakan dengan menggunakan kekerasan engkau akan mampu merampas gelang ini."

   Si kong kembali meloncat dan menyergap, namun pengemis muda itu dengan amat lincahnya mengelak kesana-sini sambil berloncatan. Si Kong menjadi semakin penasaran dan kini dia menjulurkan tangan untuk menangkap pergelangan tangan kanan Siangkoan Ji. Dia sudah menyentuh pergelangan tangan itu akan tetapi tiba-tiba pengemis muda itu menendang ke arah dadanya. Karena tendangan itu cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat, terpaksa Si Kong melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan dan mengelak ke belakang.

   Kini Si Kong maju sambil menyerang dengan menggunakan ilmu Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang). Gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet di udara. Pengemis muda itu mengeluarkan seruan kaget dan diapun menggunakan ginkang yang hebat untuk dapat mempertahankan sepasang gelang di tangan kanannya, dan kini diapun balas menyerang sehingga kedua orang muda itu kini saling serang dengan serunya. Si Kong mendapat kenyataan bahwa pemuda pengemis ini tidak saja dapat bergerak cepat, akan tetapi juga ilmu silatnya cukup tangguh! Pantas dia berani mengembara dalam usia yang demikian muda. Kiranya dia memang dapat membela diri dengan kuatnya dan kiranya pada penjahat akan sukar mengalahkan pemuda pengemis ini.

   Biarpun dia telah mengerahkan ilmu silat Yan-cu Hui-kun, ternyata pemuda itu mampu menandinginya dan sampai tiga puluh jurus dia belum mampu merampas gelang atau merobohkannya! Tidak ada jalan lain bagi Si Kong kecuali menggunakan Thi-Khi-I-beng. SeLo-jin supaya tidak sembarangan saja menggunakan Thi-khi-I-beng. Akan tetapi pemuda pengemis itu terlalu cepat gerakannya dan kalau dia menggunakan Hok-liong Sin-ciang dia khawatir akan melukainya. Hal ini tidak ingin dia lakukan. Dia harus merampas kembali gelang emas permata itu, akan tetapi tidak mau membuat pemuda pengemis itu cedera atau terluka dalam tubuhnya. Satu-satunya jalan untuk merampas sepasang gelang tanpa melukainya hanyalah penggunaan Thi-khi-I-beng. Ketika tangan kiri pemuda pengemis itu menyambar dan menghantam ke arah dadanya, Si Kong menerimannya dengan dada tanpa mengelak sedikitpun.

   "Plak!"

   Tangan pemuda remaja itu mengenai dadanya dan melekat, menyedot tenaga sinkang pemuda itu. Pemuda itu terkejut setengah mati dan berusaha melepaskan tangannya yang tersedot dan melekat di dada itu. Dengan mudah Si Kong lalu merampas sepasang gelang di tangan kanan pemuda itu, lalu melepaskan tenaga thi-khi-I-beng dan melompat mundur. Pengemis muda itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

   "Kong-ko, engkau menggunakan ilmu setan apakah?"

   Tegurnya setengah bertanya. Si Kong tersenyum.

   "Ilmu itu namanya ilmu merampas gelang."

   Dengan tenang Si Kong lalu menyimpan kembali buntalan sepasang gelang itu ke dalam buntalan pakaian, lalu memanggul tongkat bambunya di ujung mana buntalan pakaian itu tergantung.

   "Kong-ko, ternyata engkau seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dalam perkelahian tangan kosong aku mengaku kalah, akan tetapi kalau saja aku mempunyai sebatang pedang, aku yakin dapat mengalahkanmu."

   "Syukurlah bahwa engkau tidak mempunyai sebatang pedang, Ji-te. Karena aku tidak suka berkelahi denganmu. Engkaupun lihai sekali. Gurumu tentu seorang tokoh besar dalam perkumpulan pengemis. Akan tetapi seorang pemuda yang begini lihai seperti engkau, kenapa berkeliaran di sini dan berpakaian pengemis?"

   "Aku hendak menonton keramaian di bukit depan itu,"

   Dia menuding ke arah bukit yang tampak menjulang di depan mereka, lalu tiba-tiba pengemis itu berseru.

   "Heiii, jangan-jangan engkau salah seorang di antara mereka!"

   "Mereka siapa?"

   "Mereka yang hendak bertanding disini untuk meperebutkan Pek-lui-kiam."

   Diam-diam Si Kong terkejut.

   "Aku bukan anggota dari partai manapun dan aku tidak hendak bertanding di bukit itu. Apakah seorang di antara mereka yang menguasai pedang Pek-lui-kiam yang kabarnya diperebutkan orang-orang persilatan itu?"

   "Aku sendiri tidak tahu. Mungkin juga begitu. Aku hanya mendengar bahwa datuk-datuk besar besok pagi-pagi akan mengadakan pertemuan di sana untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Kalau engkau bukan seorang diantara mereka, marilah kita nonton, Kong-ko! Tentu akan ada pertunjukan menarik di sana!"

   Si Kong mengangguk. Tanpa diminta pun dia tentu akan pergi ke sana kalau pedang Pek-lui-kiam yang diperebutkan. Dia sendiri telah menyanggupi Tan Kiok Nio untuk mencari kakek berjubah merah yang membunuh orang tua gadis itu dan merampas Pek Lui-kiam.

   "Baik, aku ikut denganmu,"

   Jawabnya.

   "Akan tetapi engkau harus bersembunyi, Kong-ko dan tidak boleh sembarangan keluar dari tempat persembunyianmu. Mereka itu adalah para datuk yang tidak segan membunuhmu!"

   "Jangan khawatir, Ji-te, aku akan menuruti nasihatmu."

   Jawab Si Kong sambil tersenyum.

   "Kita lewatkan malam dalam hutan di kaki bukit itu, dan besok pagi-pagi barulah kita mendaki bukit."

   Si Kong hanya menurut saja dan pemuda jembel itu menjadi penunjuk jalan. Agaknya dia sudah hafal benar akan keadaan di situ dan setelah tiba di kaki bukit, dia mengajak Si Kong memasuki sebuah hutan.

   "Di sana terdapat bekas kuil kecil yang sudah tidak dipergunakan lagi. Kita melewatkan malam di sana."

   Kata Siangkoan Ji. Benar saja, setelah tiba di tengah hutan itu, Si Kong melihat sebuah bangunan yang sudah bobrok saking tuanya dan tidak terawat. Dindingnya sudah menjadi hijau oleh lumut dan atapnya juga banyak yang pecah. Di waktu hujan tentu kuil ini kebocoran dimana-mana. Mereka memasuki kuil kecil itu dan di ruangan tengah terdapat sebuah arca batu yang juga sudah penuh lumut sehingga sukar dikenal lagi arca siapakah itu. Akan tetapi Siangkoan Ji memberi hormat kepada arca itu dan perbuatannya ini diikuti oleh Si Kong. Yang dibuatkan arca tentu sebangsa dewa atau orang suci budiman yang patut dihormati. Di sudut ruangan belakang terdapat lantai yang bersih. Agaknya sudut itu sering dipakai mengaso para pemburu binatang sehingga lantainya bersih.

   "Nah, kita lewatkan malam disini, Kong-ko."

   "Baiklah, aku mau pergi keluar sebentar."

   "Mau kemana, Kong-ko?"

   "Untuk mencari kayu bakar."

   "Untuk apa?"

   "Ji-te, malam nanti hawanya tentu dingin dan nyamuknya banyak sekali. Membuat api unggun dapat mengusir nyamuk dan melawan hawa dingin.

   "

   Si Kong menunjuk ke arah kanan dimana terdapat abu dan arang.

   "Mereka yang pernah bermalam di sini juga membuat api unggun."

   "Untuk mengusir nyamuk aku tidak membutuhkan api unggun, dan untuk menahan udara dingin akupun kuat. Akan tetapi kalau engkau membutuhkannya, silahkan saja mencari kayu bakar."

   Si Kong tersenyum.

   "Aku ingin sekali melihat bagaimana engkau akan mengatasi kegelapan yang pekat malam ini tanpa api unggun."

   "Malam nanti aku tidur, terang atau gelap saja,"

   Jawab Siangkoan Ji sambil tersenyum pula. Si Kong lalu keluar dari situ dan mengumpulkan kayu-kayu kering yang kiranya cukup untuk membuat api unggun semalam suntuk. Ketika Si Kong memasuki kuil itu sambil memanggul sebongkok kayu kering, dia melihat Siangkoan Ji sedang menggosok-gosok tubuhnya yang tidak tertutup pakaian dengan semacam minyak dari botol kecil. Kedua tangan sampai ke siku lalu kaki bagian atas yang tidak tertutup sepatu, dan terutama muka dan lehernya.

   "Apa itu, Ji-te?"

   "Inilah obat istimewa penolak serangga macam serangga dan nyamuk. Kalau ada nyamuk berani hinggap di kulitku, binatang itu akan tewas seketika!"

   Si Kong menurunkan kayu bakar dan memeriksa botol minyak itu, dibukanya lalu diciuminya.

   "Ah, ini racun hebat dan berbahaya!"

   Katanya sambil mengembalikan botol itu kepada pemiliknya. Siangkoan Ji tertawa.

   "Tidak berbahaya bagi manusia, asalkan jangan diminum. Akan tetapi bagi nyamuk merupakan cairan maut, baru menciumnya saja sudah dapat membunuh binatang itu."

   "Dari mana engkau memperoleh racun itu, Ji-te?"

   "Aku membuatnya sendiri."

   Kata Siangkoan Ji bangga.

   Si Kong mengerutkan alisnya. Pemuda remaja ini penuh rahasia. Selain ilmu silatnya tinggi, juga agaknya dia ahli racun. Akan tetapi dia diam saja. Setelah hari mulai gelap, benar saja seperti dikhawatirkan Si Kong tadi, datang nyamuk banyak sekali. Akan tetapi Siangkoan Ji enak-enak saja dan Si Kong melihat sendiri pemuda itu menjulurkan tangan agar digigit nyamuk. Beberapa ekor nyamuk menyerang tangan itu dan nyamuk-nyamuk itu berjatuhan, mati! Dia sendiri menjadi korban gigitan nyamuk, maka cepat-cepat dia membuat api unggun. Barulah nyamuk-nyamuk itu terbang pergi. Dan bersama gelapnya malam, datang hawa dingin. Akan tetapi api unggun itu mendatangkan kehangatan. Siangkoan Ji menggunakan daun-daun pohon untuk menyapu lantai, kemudian dia merebahkan diri.

   "Aku mau tidur disini, Kong-ko. Kalau engkau mau tidur, carilah tempat sendiri."

   "Kau tidurlah, Ji-te. Aku akan menjaga api unggun agar tidak sampai padam,"

   Dia lalu duduk bersila dekat api unggun. Tak lama kemudian siankoan Ji sudah tidur pulas. Si Kong mengetahui hal ini dari pernapasannya yang lembut dan panjang. Dia sendiri memejamkan mata, akan tetapi tidak tidur, hanya mengendurkan seluruh urat syarafnya untuk beristirahat. Lewat tengah malam, tiba-tiba Si Kong mendengar suara orang berbicara di luar kuil. Dia menjadi waspada dan bangkit berdiri, kemudian berindap-indap keluar dari kuil untuk melihat siapa yang bicara itu. Karena di luar gelap, dia hanya melihat dua bayangan orang sedang bicara. Mereka memegang sebatang golok dan menghampiri kuil dengan langkah perlahan.

   "Tentu ada orangnya di dalam. Api unggun itu tentu ada yang membuatnya,"

   Terdengar suara yg
(Lanjut ke Jilid 09)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09
parau.

   
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapapun dia, kita harus memeriksanya dan kalau dia musuh, kita bereskan sekarang juga."

   Jawab suara yang tinggi.

   "Akan tetapi, apakah tidak lebih baik kita memberitahu teman-teman, siapa tahu di dalam ada orang lihai?"

   "Ahh, selihai-lihainya mana mampu menandingin kita berdua. Kalau diberitahukan teman-teman, kita yang rugi. Siapa tahu orang itu membawa barang berharga!"

   "Dan mungkin saja ada wanitanya yang cantik!"

   Si suara parau tertawa perlahan.

   "Ssst, jangan keras-keras, nanti mengejutkan orang dan kalau orang itu lari melalui pintu belakang, akan sulitlah menemukan dia dalam gelap begini."

   Si kong sudah hendak keluar menjumpai dua orang itu, akan tetapi tiba-tiba dua orang itu menjerit.

   "Aduhhh...!"

   "Ahhh...! Lari, hayo kita lari!"

   Lalu terdengar suara dua orang itu melarikan diri. Tentu saja Si Kong menjadi heran sekali dan cepat menengok ke belakang. Ternyata Siangkoan Ji tidak berada di tempat dia tertidur tadi. Dan tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan pemuda pengemis itu telah duduk ditempatnya.

   "Ji-te, kenapa kau lakukan itu?"

   Si Kong menegur karena dia sudah dapat menduga tentu Siangkoan Ji yang menyebabkan dua orang tadi mengaduh dan melarikan diri.

   "Kulakukan apa?"

   Pemuda remaja itu berbalik bertanya.

   "Engkau yang menyebabkan kedua orang itu mengaduh dan melarikan diri, bukan?"

   "Apakah engkau lebih senang melihat mereka masuk dan menyerang kita dengan golok mereka?"

   "Hemm, tadi engkau tidur pulas, bagaimana dapat mengetahui kedatangan mereka?"

   "Telingaku peka sekali, Kong-ko. Sedikit suara saja sudah cukup membangunkan aku."

   "Apa yang kau lakukan tadi sehingga mereka mengaduh?"

   "Ha-ha, apakah engkau tidak dapat menduganya? Aku menimpuk mereka dengan batu-batu. Ah, mereka lari ketakutan, tentu mengira ada setan mengganggu mereka!"

   Pemuda itu tertawa senang. Akan tetapi diam-diam Si Kong merasa kagum dan kecewa. Kagum karena pemuda pengemis itu dapat menyerang dengan tepat sekali mengenai dua orang yang hanya nampak bayangan mereka dengan samar-samar saja, akan tetapi kecewa karena menganggap Siangkoan Ji terburu nafsu. Sebetulnya dia ingin membekuk dua orang itu yang dari percakapan mereka jelas bukan merupakan orang baik-baik.

   "Sudahlah, mereka sudah pergi. Tidurlah lagi, Siangkoan Ji, malam sudah larut dan hawanya dingin sekali. Biar kubesarkan api unggun ini."

   "Aku tadi sudah tidur, sekarang tidak mengantuk lagi. Kau saja yang tidur, Kong-ko, biar aku yang menjaga api unggun."

   "Baiklah, aku hendak tidur sebentar, Ji-te."

   Setelah berkata demikian Si Kong lalu merebahkan diri di sudut dimana tadi Siangkoan Ji tidur. Aneh sekali begitu dia merebahkan diri, hidungnya mencium bau yang harum. Dia tidak tahu mengapa tempat itu berbau harum dan diapun tidak ingin menyelidiki karena matanya sudah mengantuk. Sebentar saja Si Kong sudah tidur pulas. Ketika dia membuka matanya, Si Kong menjadi silau. Langit yang nampak dari bawah, melalui atap yang berlubang, nampak sudah terang. Kiranya matahari telah sejak tadi menampakkan diri di langit timur. Dia memandang ke kanan kiri, lalu dia bangkit duduk ketika melihat Siangkoan Ji sedang membakar sesuatu di atas api unggun. Dia mencium bau sedap daging ayam dibakar.

   "Ji-te, engkau memanggang apakah itu?"

   Tanyanya kepada pemuda pengemis yang berjongkok membelakanginya. Siangkoan Ji menoleh dan berkata dengan senyum cerah.

   "Bangunlah dan mandilah dulu, Kong-ko. Tuh di sana terdapat sumber air yang jernih. Aku sedang memanggang daging ayam untuk sarapan kita nanti."

   "Ayam? Dari mana engkau memperoleh ayam?"

   Tanyanya heran.

   "Aih, sudahlah. Ditanggung halal, bukan mencuri. Nah, mandilah dulu, baru nanti kuceritakan sambil sarapan."

   Si Kong tersenyum. Temannya ini memang cerdik sekali, sepagi itu sudah mendapatkan seekor ayam untuk dipanggang dagingnya. Dia lalu bangkit berdiri dan menuju ke sumber air yang ditunjukkan Siangkoang Ji tadi. Benar saja, di balik batu-batu padas terdapat air yang mengucur dari batu, dan air itu jernih sekali. Si Kong membersihkan dirinya lalu kembali ke kuil tua. Daging ayam itu sudah matang dan kini Siangkoan Ji sedang memasak air, lalu dibuatlah air teh yang di tuangkan ke dalam dua buah mangkuk. Si Kong terheran-heran. Pengemis muda itu ternyata mempunyai banyak macam barang yang berguna dalam buntalan pakaiannya. Ada teh, dan adapula mangkuk-mangkuk. Setelah teh itu mendidih dan menuangkan dalam mangkuk, Siangkoan Ji berkata,

   "Nah, sekarang kita dapat sarapan pagi. Hayo silakan, Kong-ko. Kita makan selagi panggang ayam ini masih panas."

   Si Kong juga duduk di dekat api unggun. Pagi itu amat dingin hawanya. Dia menerima paha ayam yang diserahkan Siangkoan Ji kepadanya. Ketika dia menggigit paha ayam itu, kembali dia tertegun dan kagum. Dia sendiri pernah memanggang daging ayam, akan tetapi rasanya hambar karena tidak di bumbui, akan tetapi panggang daging ayam yang dibuat Siangkoan Ji ini, lezat bukan main. Sedap dan gurih. Tentu pemuda itu membawa-bawa bumbu pula dalam buntalan pakaiannya!

   "Nah, sekarang ceritakan padaku darimana engkau memperoleh ayam ini. Aku tahu bahwa ayam itu bukan ayam hutan. Pernah aku memanggang ayam hutan akan tetapi dagingnya liat, tidak lunak seperti ini. Ini tentu ayam peliharaan orang."

   Siangkoan Ji tersenyum.

   "Jangan khawatir, ayam ini seratus prosen halal. Pagi-pagi sekali tadi aku pergi ke perkampungan di bawah sana dan dapat membeli seekor ayam dari orang kampung."

   "Tidak mencuri?"

   Si Kong memandang penuh selidik dan keraguan. Siangkoan Ji tertawa.

   "Hemm, engkau tidak percaya ya? Kau kira aku ini maling kecil yang suka mencuri milik orang dusun yang miskin? Aku hanya mencuri harta milik orang kayak yang kikir, bahkan membagi-bagikannya kepada orang-orang dusun yang miskin. Bagaimana aku tega mencuri dari mereka?"

   Si Kong menggigit daging ayam panggang itu, kini terasa lebih lezat dan dia mengangguk-angguk.

   "Aku percaya padamu, dan keteranganmu itu sungguh menyenangkan hatiku."

   Siangkoan Ji mengambil sebuah kantung kecil dari buntalan pakaiannya, membuka kantung itu dan memperlihatkan kepada Si Kong.

   "Nah, kau lihatlah. Aku dapat membeli seratus ekor ayam kalau kau mau, mengapa mesti mencuri?"

   Si Kong mengangguk dan tersenyum.

   "Maafkanlah aku, Ji-te. Wah, bukan saja panggang ayam ini yang lezat, bahkan air teh ini sedap dan harum sekali."

   "Kong-ko,"

   Kata Siangkoan Ji sambil menyimpan kembali kantung kecil berisi uang dan emas itu.

   "kalau aku mengetahui malam tadi, tentu aku sudah membunuh dua orang itu."

   "Eh, kenapa?"

   "Ketika aku turun dari bukit ini untuk pergi ke dusun terdekat, di tengah jalan aku melihat banyak orang membuat perkemahan di lereng bukit. Setelah aku melihat bendera mereka, aku terkejut dan tahu bahwa mereka adalah orang-orang Kwi-jiauw-pang yang terkenal jahat."

   "Kwi-jiauw-pang (Perkumpulan Cakar Setan)? Perkumpulan macam apa itu?"

   "Aku sendiripun hanya mendengar cerita orang saja. Kwi-jiauw-pang berpusat di Kwi-liong-san (Gunung Naga Siluman) dan kabarnya orang-orang perkumpulan sesat itu merajalela di daerah mereka. Semua pencuri dan perampok harus membagi hasil mereka kepada Kwi-jiauw-pang. Kalau ada yang melanggar tentu akan dibunuh secara mengerikan. Tubuh mereka akan dicabik-cabik cakar setan, senjata mereka yang ampuh, yang dipasang pada kedua tangan mereka."

   "Ihh, kejamnya!"

   Seru Si Kong.

   "Ha-ha, engkau tidak tahu bahwa di dunia ini banyak orang yang bahkan lebih kejam dari mereka. Mudah-mudahan nanti kita akan dapat melihat orang-orang yang kau sebut kejam itu."

   "Akan tetapi apa maksud Kwi-jiauw-pang berada di bukit ini?"

   "Aku sendiri juga tidak tahu, Kong-ko. Yang ku ketahui dari kabar yang kuperoleh hanya mengatakan bahwa hari ini akan ada pertemuan dari tokoh-tokoh sesat untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, pedang pusaka yang menghebohkan dunia kang-ouw itu?"

   Si Kong sudah tahu dari Tan Kiok Nio bahwa pedang yang disebut-sebut itu tadinya menjadi milik Ayah gadis itu yang telah dibunuh oleh seorang kakek berpakaian merah. Bahkan dia sudah berjanji kepada gadis itu untuk mencari tahu tentang kakek berpakaian merah. Akan tetapi untuk mengetahui lebih jelas tentang Pek-lui-kiam yang menurut Kiok Nio telah dirampas pembunuh Ayahnya itu, dia berpura-pura tidak tahu dan bertanya.

   "Apa sih pedang Pek-lui-kiam itu dan mengapa pula diperebutkan orang?"

   Pengemis muda itu membelalakkan matanya yang bersinar tajam.

   "Engkau tidak pernah mendengar tentang Pek-lui-kiam yang menghebohkan dunia persilatan itu, Kong-ko? Aih, sungguh pengalamanmu tentang dunia kang-ouw masih dangkal sekali."

   "Memang aku seorang bodoh yang kurang pengalaman, Ji-te,"

   Kata Si Kong sederhana.

   "Nah, engkau begitu rendah hati. Baiklah kuberitahu. Pedang Pek-lui-kiam itu dikabarkan orang adalah milik seorang manusia dewa yang bertapa di pegunungan Himalaya. Kemudian tersiar berita bahwa pedang pusaka itu dicuri orang. Ada yang mengatakan bahwa pedang pusaka itu terjatuh ke tangan Tan Tiong Bu, pendekar besar yang amat terkenal dengan ilmu pedangnya itu. Akan tetapi, baru-baru ini tersiar berita bahwa Tan-Taihiap itu telah tewas terbunuh orang. Karena tidak ada yang tahu kemana pedang pusaka itu dibawa orang dan siapa yang kini menjadi pemiliknya, dunia kang-ouw menjadi geger dan semua orang seperti berlomba mencarinya."

   "Heran sekali. Apakah orang-orang itu tidak mempunyai pekerjaan lain yang lebih penting? Apa sih artinya pedang Pek-lui-kiam maka dijadikan rebutan orang-orang kang-ouw?"

   "Wah-wah-wah! Kalau pedang Pek-lui-kiam saja tidak kau kenal, sungguh keterlaluan engkau, Kong-ko. Pedang itu merupakan pedang pusaka yang hebat, ampuh bukan main sehingga siapa yang memilikinya tentu akan menjadi semakin lihai dan ditakuti orang!"

   Si Kong mengangguk-angguk, lalu tersenyum memandang wajah Siangkoan Ji dan berkata,

   "Sekarang aku mengerti apa sebabnya engkau berada di tempat ini, Siangkoan Ji. Engkau merupakan seorang diantara mereka yang ingin memiliki pedang itu!"

   "Hemm, siapa orangnya yang tidak ingin memiliki pedang Pek-lui-kiam? Dengan pedang itu ditanganku, aku tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun! Semua orang akan tunduk kepadaku dan menaati semua perintahku!"

   "Wah, agaknya engkau ini seorang yang gila kekuasaan, Ji-te!"

   "Mengapa tidak? Siapakah orangnya yang tidak gila kekuasaan? Dalam kerajaan, dalam masyarakat, bahkan dalam keluarga semua orang memperebutkan kekuasaan. Apakah engkau juga tidak ingin memiliki pek-lui-kiam kalau kesempatan untuk itu ada?"

   "Setelah mendengarkan keteranganmu, akupun ingin sekali melihat seperti apa pedang pusaka itu."

   "Akan tetapi sayang sekali, Kong-ko. Orang yang memiliki pedang itu haruslah seorang yang tinggi ilmu silatnya, karena kalau tidak, tentu pedang itu tidak ada gunanya baginya dan mudah dirampas orang lain yang lebih tinggi kepandaiannya."

   "Ya, sayang sekali aku tidak memiliki kepandaian seperti engkau, Ji-te."

   "Sudahlah, engkau ingin melihat keramaian atau tidak? Kalau engkau takut, tinggallah saja disini. Di sini engkau aman, akan tetapi kalau engkau ikut aku, mungkin saja engkau akan terancam bahaya karena yang akan mengadakan pertandingan adalah orang-orang yang berilmu tinggi."

   "Ada engkau di dekatku, takut apa?"

   Si Kong tertawa.

   "Engkau tentu tidak akan tinggal diam saja kalau ada orang jahat mengancam aku, bukan?"

   "Tentu saja! Ah, sudahlah, mari kita berangkat,"

   Siangkoan Ji menggendong buntalan pakaiannya dan Si Kong juga mengikatkan buntalan pakaiannya di ujung tongkat bambunya dan memikul tongkat bambu itu.

   Diam-diam dia merasa kagum kepada sahabat barunya itu. Masih begitu muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memiliki keberanian yang luar biasa pula. Setelah memadamkan api unggun, merekapun berangkat, keluar dari kuil itu dan mendaki ke arah puncak bukit. Ketika mereka tiba di lereng dimana Siangkoan Ji pagi tadi dia melihat serombongan orang Kwi-jiauw-pang, ternyata tempat itu telah kosong dan orang-orang yang berada disitu pagi-pagi sekali sudah meninggalkan tempat itu. Mereka hanya melihat bekas api-api unggun yang besar, banyak tulang binatang berserakan dan bau arak masih dapat tercium ketika Si Kong dan Siangkoan Ji tiba disitu. Siangkoan Ji mencari jejak mereka dan berkata

   "Mereka telah mendaki bukit. Itu jejak mreka. Sebaiknya kita mengambil jalan lain agar tidak bertemu dengan mereka, mencari tempat yang enak untuk bersembunyi dan mengintai apa yang terjadi di puncak."

   Si Kong menurut saja karena pemuda remaja itu agaknya sudah mengenal betul daerah ini.

   Mereka masuk keluar hutan, menyusup di antara semak belukar dan ilalang yang tinggi sampai ke pundak mereka dan akhirnya mereka tiba di puncak. Siangkoan Ji mengajak Si Kong bersembunyi di balik semak belukar dan mengintai ke arah puncak yang merupakan padang rumput yang luas. Mereka sudah melihat belasan orang berkumpul di tengah lapangan itu, ada yang berdiri dan ada yang duduk. Sebuah tiang bendera berdiri di situ dengan benderanya yang berkibar ditiup angin pagi. Dari tempat mereka berdua mengintai, nampak bahwa bendera itu bergambar sebuah tangan yang merupakan cakar yang kukunya tajam melengkung dan mengerikan. Tanpa penjelasan lagi, Si Kong mengerti bahwa orang-orang yang jumlahnya lima belas itu tentu orang-orang Kwi-jiauw-pang seperti yang diberitakan Siangkoan Ji tadi.

   Akan tetapi yang membuat jantung dalam dada Si Kong berdebar adalah ketika dia melihat seorang di antara mereka yang pakaiannya berbeda dengan yang lain. Kalau orang-orang lain berpakaian serba hitam dengan sabuk merah, maka yang seorang ini berpakaian serba merah! Teringat akan pesan Kiok Nio, Si Kong memandang dengan penuh perhatian. Orang berjubah merah itu berusia kurang lebih enam puluh tahun bermuka kepucatan seperti orang sakit, tubuhnya tinggi kurus namun kelihatan kokoh. Dia memegang sebuah kipas dengan tangan kirinya dan sedang menggerak-gerakkan kipas seperti orang kepanasan. Padahal pagi itu hawanya cukup dingin. Si Kong berpikir bahwa agaknya tidak salah lagi. Kakek inilah yang dicari oleh Tan Kiok Nio. Kakek inilah yang telah membunuh orang tua Kiok Nio dan merampas pedang dari tangan Ayahnya. Dan orang itu agaknya menjadi pemimpin orang-orang Kwi-jiauw-pang!

   "Ji-te, apakah kakek berjubah merah itu ketua Kwi-jiauw-pang?"

   Bisiknya lirih dekat telinga Siangkoan Ji. Siangkoan Ji mengangguk.

   "Mungkin sekali, aku sendiri belum pernah melihatnya."

   "Tahukah engkau siapa namanya?"

   "Kalau tidak salah, nama julukannya adalah Ang I Sianjin, karena pakaiannya selalu merah. Kabarnya ilmu kepandaiannnya lihai sekali dan senjatanya adalah kipas dan pedang. Dia sudah lihai masih membawa anak buahnya, empat belas orang banyaknya. Tentu akan ramai sekali nanti."

   Bisik Siangkoan Ji dekat telinga Si Kong. Mereka berjongkok di balik semak belukar, berdekatan. Tiba-tiba Si Kong mengerutkan alisnya. Berjongkok berdekatan dengan Siangkoan Ji, dia mencium bau harum seperti ketika dia tidur di dalam kuil. Tahulah dia bahwa yang berbau harum adalah Siangkoang Ji! Mengapa seorang laki-laki, pengemis pula, memakai wangi-wangian? Akan tetapi perhatiannya segera tertarik ketika dia ditepuk pundaknya oleh Siangkoan Ji.

   "Lihat itu...!"

   Si Kong melihat munculnya lima orang dan kembali jantungnya berdebar penuh ketegangan. Dia mengenal baik lima orang itu. Mereka bukan lain adalah Bu-tek Ngo-sian, lima orang yang dulu datang bersama Toa Ok dan Ji Ok mengeroyok Ceng Lo-jin. Biarpun mereka semua dikalahkan Ceng Lo-jin, namun gurunya yang sudah tua renta itupun terluka hebat dalam tubuhnya, mengakibatkan kematiannya. Dan sekarang Bu-tek Ngo-sian berada di tempat itu. Agaknya kakek berjubah merah itu telah mengenal Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa tanpa Tanding) itu. Dia melangkah maju, menutup kipasnya dan memberi hormat.

   "Kiranya Bu-tek Ngo-sian ikut datang! Selamat datang, Ngo-sian. Kuharap saja nanti kalian tidak mengandalkan keroyokan untuk mencari kemenangan!"

   Bu-tek Ngo-sian adalah lima orang yang sudah bersumpah sebagai saudara, walaupun mereka itu tidak ada hubungan keluarga satu dengan yang lain. Yang pertama atau tertua bernama Ciok Khi, bertubuh tinggi besar dan bermuka penuh cacat bekas cacar.

   Orang kedua berusia empat puluh lima tahun, lima tahun lebih muda dibandingkan Ciok Khi, bernama Sia Leng Tek, bertubuh tinggi kurus dan mukanya agak pucat seperti orang berpenyakitan. Orang ketiga berusia empat puluh tiga tahun, wajahnya penuh brewok dan tubuhnya sedang tegap, bernama Cong Boan. Orang keempat bertubuh pendek gendut, usianya sekitar empat puluhan dan biarpun tubuhnya pendek gendut, namun kelihatan gesit, orang ini bernama Bwa Koan Si. Adapun orang kelima bertubuh pendek kecil seperti orang katai, usianya kurang dari empat puluh tahun. Si katai ini memiliki mata yang tajam bersinar-sinar seperti burung rajawali. Wajahnya juga kecil dan namanya Bhe Song Ci. Mendengar ejekan Ang I Sianjin itu, Ciok Khi yang mewakili adik-adiknya berkata, suaranya menggelegar parau,

   "Ang I Sianjin, engkau membawa empat belas orang anak buah, yang khawatir menghadapi keroyokan bukan engkau, melainkan kami!"

   "Ha-ha-ha!"

   Tawa Ang I Sianjin.

   "Anak buahku ini hanya akan bergerak kalau aku dikeroyok, akan tetapi hanya menjadi saksi kalau aku berhadapan dengan seorang lawan. Kalian tidak perlu khawatir, pedang dan kipasku sudah cukup untuk mengalahkan setiap orang lawan yang berani menantangku!"

   "Ha-ha-ha, ucapan yang bagus sekali!"

   Tiba-tiba terdengar suara orang lain dan sesosok bayangan berkelebat dan disitu telah berdiri seoranng kakek berusia enam puluh tahunan, memegang sebatang tongkat kepala naga.

   "Wah, Majikan Pulau Tembaga juga datang, tentu akan ramai sekali."

   Bisik Siangkoan Ji. Si Kong menjawab dengan pertanyaan lirih,

   "Apakah engkau mengenal pula lima orang itu?"

   "Tentu saja! Mereka adalah Bu-tek Ngo-sian, lima orang yang sombong sekali sehingga mengaku diri sebagai dewa yang tidak terkalahkan."

   Si Kong diam-diam memuji Siangkoan Ji. Pemuda ini benar-benar luas pengetahuannya tentang dunia kangouw sehingga mengenal para tokoh itu. Dia sendiri kalau belum pernah bertemu dengan orang-orang itu, tentu tidak akan mengenal mereka.

   "Selamat bertemu, Tung-hai Liong-ong! Agaknya engkaupun tertarik akan berita tentang Pek-lui-kiam itu!"

   "Ha, siapa yang tidak akan tertarik? Katakanlah, apakah benar berita yang kudengar bahwa sekarang pedang pusaka itu berada padamu, Ang I Siangjin?"

   "Aku tidak menyangkal juga tidak mengaku. Ketika itu, kukatakan bahwa siapapun boleh menyelidiki sendiri."

   "Hi-hi-hik, ucapan yang mengandung kesombongan dan juga kelicikan!"

   Suara wanita ini terdengar jelas dan sesosok bayangan berkelebat. Ketika semua mata memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita yang berusia empat puluh tahu n lebih, namun masih nampak cantik dan pakaiannya mewah. Dipunggungnya tergantung sebatang pedang dan tangan kirinya memegang sebuah hud tim (kebutan).

   "Kau juga mengenal wanita itu, Ji-te?"

   Tanya Si Kong.

   "Tentu saja. Ia disebut Ang-bi Mo-li, seorang tokoh yang lihai juga."

   Si Kong makin kagum saja. Dia memang mengenal wanita ini ketika dia bekerja sebagai penggembala kerbau milik Tong Li Koan, majikan Bukit Bangau. Bahkan dia pernah bertanding melawan wanita itu dan dapat mengalahkannya. Ketika itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun. Akan tetapi dengan heran Si Kong melihat bahwa wanita itu tidak nampak lebih tua, masih seperti dulu.

   "Bagus, kini suasana menjadi meriah!"

   Kata Ang I Sianjin.

   "Ang-bi Mo-li rupanya juga ingin menguasai pedang Pek-lui-kiam."

   "Aku tidak malu mengaku bahwa memang demikianlah, aku ingin merampas pedang pusaka itu. Akan tetapi ucapanmu itu tadi mengandung kelicikan. Kalau pedang pusaka itu memang ada padamu, katakan saja terus terang dan pertahankanlah dengan kepandaianmu. Sebaliknya kalau tidak ada padamu, siapa ingin bersusah payah berkelahi denganmu?"

   Sebelum Ang I Sianjin menjawab, Tung-hai Liong-ong sudah melompat ke depan Ang-bi Mo-li.

   "Ang-bi Mo-li, daripada engkau maju sendiri melawan Ang I Sianjin, lebih baik engkau menjadi isteriku dan kita bersama menandinginya. Kau lihat, Ang I Sianjin datang bersama anak buahnya."

   Wajah Ang-bi Mo-li menjadi merah dengan marah ia menghadapi Tung-hai Liong-ong. Dengan kebutannya ia menuding ke arah muka kakek itu dan suaranya melengking tinggi karena ia marah sekali.

   "Tung-hai Liong-ong! Sejak dulu engkau membujuk dan merayu aku. Sudah kukatakan bahwa aku tidak sudi menjadi isterimu. Sekarang di depan banyak orang engkau kembali menghinaku. Engkau pantas kuhajar!"

   Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia menerjang maju dan menggerakkan kebutannya mengarah mata lawan. Tung-hai Liong-ong cepat mengelak dan menggerakkan tongkat kepala naganya dan menyambar ke arah kaki wanita itu.

   "Engkau memang harus di tundukkan dengan kekerasan!"

   Kata Tung-hai Liong-ong. Ang-bi Mo-li meloncat untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah kakinya itu. Sambil meloncat ia sudah mencabut pedangnya dan menyerang dengan pedang dan kebutannya. Namun, Tung-hai Liong-ong adalah seorang datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia memutar tongkat kepala naga dan kedua senjata wanita itu tidak mampu menembus gulungan sinar tongkat itu. Si Kong memperhatikan dan melihat betapa ilmu pedang Ang-bi Mo-li sudah jauh lebih maju dari pada dahulu. Akan tetapi diapun tahu betapa lihainya Tung-hai Liong-ong, maka pertandingan itu tentu akan berlangsung seru. Ketika dia melirik ke kiri, dia melihat Siangkoan Ji juga menonton dengan wajah gembira dan jarang berkedip. Dia ingin mencoba pengetahuan pemuda itu dalam ilmu silat.

   "Ji-te, kau kira siapakah yang bakal menang atau kalah dalam pertandingan itu?"

   "Tung-hai Liong-ong tidak bersungguh-sungguh ketika mengatakan bahwa dia ingin mengambil Ang-bi Mo-li sebagai isterinya. Dia sengaja mengeluarkan kata-kata itu untuk membuat Ang-bi Mo-li marah dan menyerangnya. Inilah yang dikehendaki, yaitu agar dia menyingkirkan dulu seorang saingan dalam memperbutkan pedang pusaka itu."

   Kata Siangkoan Ji dengan suara sungguh-sungguh.

   "Dan kau pikir siapa yang akan menang?"

   "Hemm, mudah di duga. Betapapun lihainya kebutan dan pedang Ang-bi Mo-li, ia kalah tenaga dan tingkat kepandaiannya masih di bawah Tung-hai Liong-ong, Mo-li pasti kalah."

   Diam-diam Si Kong kagum. Ucapannya yang mengatakan bahwa Tung-hai Liong-ong menggunakan siasat untuk memancing kemarahan Ang-bi Mo-li memang masuk akal, kemudian penilaiannya tentang pertandingan itupun tepat sekali. Si Kong sudah dapat melihat sejak tadi bahwa Ang-bi Mo-li pasti akan kalah.

   Pertandingan itu masih berlangsung seru. Kedua pihak mengerahkan sekuruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu mereka. Akan tetapi jelas bahwa Mo-li kalah tenaga. Setiap kali pedangnya bertemu dengan tongkat Tung-hai Liong-ong, pedang itu terpental. Tongkat Liong-ong menyambar ganas dan Mo-li menyambut dengan kebutan tangan kirinya. Bulu-bulu kebutan itu membelit tongkat dan pedang tangan kanannya menusuk dada. Akan tetapi biarpun tongkatnya sudah terbelit kebutan, Liong-ong masih dapat menggerakkannya dengan tenaga besar sehingga sehingga tangan Mo-li terbetot dan kalau dia tidak melepaskan kebutan tentu ia akan tertarik. Ia melepaskan kebutannya dan pedangnya meluncur terus menusuk dada. Liong-ong menggerakkan tongkatnya.

   "Tranggg...!"

   Bunga api berpercikan dan tubuh Mo-li terhuyung ke belakang, pedangnya sudah lepas dari pegangan tangannya dan melayang jauh. Ujung tongkat itu secepat kilat sudah menempel di dadanya. Tung-hai Liong-ong tersenyum menyeringai.

   "Bagaimana, Mo-li. Akan kau teruskan penyeranganmu?"

   Wajah yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Dikalahkan seorang datuk besar seperti Tung-hai Liong-ong memang wajar, akan tetapi dia dikalahkan di depan orang banyak, ini merupakan penghinaan baginya.

   "Sekali ini aku kalah, akan tetapi akan datang saatnya aku menebus kekalahan ini!"

   Setelah berkata demikian, ia mengambil kebutan dan pedangnya, lalu lari dengan cepat meninggalkan puncak itu. Melihat wanita itu kalah, Siangkoan Ji lupa bahwa dia sedang mengintai dan bersembunyi. Dia bersorak dan berkata dengan bangga kepada Si Kong.

   "Nah, benar tidak kataku? Perempuan Iblis itu pasti kalah!" Setelah ucapannya keluar barulah Siangkoan Ji teringat dan dia terkejut sendiri lalu berjongkok kembali, akan tetapi sudah terlambat. Ang I Sianjin tadi sudah mendengar dan melihatnya. Dia memberi aba-aba kepada anak buahnya.

   "Tangkap pengintai itu!"

   Empat belas orang anak buahnya sudah lari ke arah semak belukar itu. Melihat ini, Si Kong lalu melompat keluar dan berkata,

   "Kami hanya menonton, tidak ada maksud apa-apa."

   Akan tetapi Tung-hai Liong-ong mengenal Si Kong. Lima tahun yang lalu ketika dia bertempur dengan Yok-sian Lo-kai, pemuda itu menjadi murid Yok-sian Lo-kai dan sudah mengalahkan muridnya yang bernama Ouwyang Kwi. Kemudian ketika Ouwyang Kwi menangkap seorang puteri Gu Kauwsu di Sin-keng, muncul lagi pemuda itu dan dia malah telah membunuh Ouwyang Kwi. Dan dia sendiri yang menandingi pemuda itu, akan tetapi dia kalah! Maka dengan marah dia lalu berseru,

   "Bunuh pemuda itu! Dia pasti datang untuk merampas Pek-lui-kiam!"

   Mendengar ini, Ang I Sianjin membentak para muridnya untuk cepat menerjang Si Kong, sedangkan Tung-hai Liong-ong sendiri sudah melintangkan tongkatnya di depan dada, siap untuk menyerang.

   "Srigala-srigala biadab!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dibarengi munculnya tiga batang anak panah tangan dan tiga orang anak buah Ang I Sianjin roboh dan berkelojotan lalu tewas! Siangkoan Ji kini meloncat keluar dan berjaga di depan Si Kong. Kembali Siangkoan Ji menggerakkan kedua tangannya dan ada dua batang anak panah meluncur ke arah Ang I Sianjin dan Tung-hai Liong-ong. Akan tetapi dua orang datuk ini menyambar panah tangan itu dengan cengkeraman tangannya. Melihat panah tangan yang ujungnya kehijauan menghitam itu dan pada gagangnya tertulis dua huruf Lam-tok (Racun Selatan), dua orang datuk itu terkejut sekali.

   "Apa hubunganmu dengan Lam-tok?"

   Ang I Sianjin bertanya setengah membentak.

   "Mau tahu apa siapa aku dan apa hubunganku dengan Lam-tok? Ketahuilah bahwa aku adalah anaknya!"

   "Anak Lam-tok? Apa hubunganmu dengan pemuda itu?"

   Tung-hai Liong-ong menuding ke arah Si Kong.

   "Ha-ha, dia adalah sahabatku, sahabat yang baik. Karena itu siapa yang hendak mengganggunya akan berhadapan dengan aku! Kalian boleh maju satu-satu melawan aku. Awas, kalau main keroyokan aku akan memberitahu Ayahku. Hendak kulihat kalian dapat bersembunyi dimana!"

   Mendengar omongan besar ini, Ang I Sianjin dan Tung-hai Liong-ong saling pandang. Bagaimanapun juga, mereka berdua sudah lama mendengar nama Lam-tok dan betapa lihai dan kejamnya datuk selatan ini. Bocah itu boleh jadi membual, akan tetapi bagaimana kalau dia benar-benar putera Lam-tok, dan anak panahnya itupun jelas senjata rahasia dari Lam-tok yang mengandung racun ampuh sekali. Tiga orang anak buah Kwi-jiauw-pang langsung tewas begitu terkena panah itu!

   "Aku harus membunuh bocah itu untuk membalas kematian muridku, engkau putera Lam-tok harap minggir dan jangan mencampuri urusan kami!"

   Tung-hai Liong-ong berkata, nada suaranya seperti memohon.

   "Enak saja! Dia adalah sahabat baikku, kalau engkau menyerang dia, sama dengan menyerang aku."

   "Ji-te, biarlah aku menghadapi dia, jangan engkau ikut campur."

   Siangkoan Ji membelalakkan mata memandang kepada Si Kong.

   "Kong-ko, jangan main-main. Tung-hai Liong-ong ini kejam dan lihai sekali. Bukan hanya tongkat berkepala naga itu yang hebat, akan tetapi ilmunya Tok-ciang lebih berbahaya lagi. Biarkan aku menandinginya, Kong-ko!"

   "Aku tahu, Ji-te. Dan aku tahu pula bahwa aku dapat menandinginya. Yang ditantang adalah aku, tidak baik kalau engkau melawannya."

   Si Kong lalu meloncat ke depan kakek itu dan berkata.

   "Hayo, Tung-hai Liong-ong, kita selesaikan perhitungan lama ini."

   Tung-hai Liong-ong marah sekali. Sejak dikalahkan oleh Si Kong dahulu, dia memperdalam ilmunya sehingga kini tongkat dan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang dikuasainya menjadi semakin lihai saja. Dia merasa yakin bahwa sekali ini dia tentu akan dapat mengalahkan dan membunuh pemuda yang dibencinya itu. Akan tetapi sebelum dia bergerak, Siangkoan Ji sudah membentak dan memperingatkan.

   "Awas, kalau main keroyokan, terpaksa aku akan menggunakan panah beracun!"

   Biarpun sudah berkata demikian, tetap saja Siangkoan Ji merasa khawatir sekali kalau-kalau sahabathnya ini tidak mampu menandingi kehebatan Tung-hai Liong-ong dan akan roboh di tangan kakek itu. Maka diam-diam diapun sudah menyiapkan panah beracunnya untuk sewaktu-waktu kalau kawannya terdesak. Sementara itu, Ang I Sianjin juga diam-diam memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap siaga. Dia khawatir juga, karena mungkin saja pemuda dan dan anak Lam-tok itu akan merampas Pek-lui-kiam yang dimilikinya.

   Dia hampir yakin bahwa Tung-hai Liong-ong akan mampu mengalahkan pemuda itu. Bagaimanapun juga, Si Kong hanya seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun, sedangkan Tung-hai Liong-ong adalah seorang datuk yang kepandaiannya sudah terkenal di seluruh dunia persilatan. Akan tetapi tidak demikianlah dengan pemikiran Tung-hai Liong-ong. Dia sama sekali tidak berani memandang ringan pemuda yang berdiri di depannya itu. Si Kong sudah melepaskan pakaiannya dari ujung tongkat bambunya dan sekarang memegang tongkat bambunya itu dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. Sikapnya ini menanti serangan lawan dan nampaknya dia tenang dan santai saja. Dia tidak memandang rendah kepandaian lawannya, akan tetapi merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkannya.

   "Mari, Tung-hai Liong-ong, aku sudah siap menghadapi tongkat nagamu dan pukulan Tok-ciangmu yang selalu kau pergunakan untuk perbuatan jahat."

   "Bocah lancang dan sombong. Bersiaplah untuk mati di tanganku!"

   Kata Tung-hai Liong-ong dan diapun sudah memutar tongkat naganya dan menyerang dengan dahsyat. Begitu menyerang, Tung-hai Liong-ong sudah menggunakan jurus maut dan mengisi serangan itu dengan seluruh tenaganya. Si Kong melihat ini dan diapun tahu bahwa lawannya amat bernafsu untuk membunuhnya, maka diapun tidak memandang ringan. Ketika tongkat menyambar menusuk dadanya, dia menggeser kaki ke kanan sehingga tusukkan tongkat itu tidak mengenai sasaran. Akan tetapi begitu luput menusuk, tongkat itu dengan gerakan memutar membalik dan kini menghantam ke arah kepala Si Kong.

   "Tunggg...!"

   Ujung tongkat yang terbuat dari baja dan runcing itu mengeluarkan suara berdengung ketika di tangkis tongkat bambu yang di pegang Si Kong. walaupun hanya tongkat bambu, akan tetapi ternyata tongkat kepala naga itu terpental ketika bertemu. Tung-hai Liong-ong terkejut. Pertemuan pertama tongkatnya dengan tongkat bambu itu sudah membuktikan betapa kuatnya pemuda yang menjadi musuh besarnya karena telah membunuh muridnya itu.

   "Heiiiiittt!"

   Dia mengeluarkan suara nyaring dan kini tongkatnya menyambar-nyambar, diselingi pukulan tangan kirinya yang mengandung hawa beracun. Tamparan tangan kiri itu kalau mengenai tubuh lawan seketika membunuhnya dengan tubuh hangus, demikianhebatnya ilmu Tok-ciang yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh Tung-hai Liong-ong. Akan tetapi Si Kong sudah tahu benar akan hal ini, maka dengan kelincahan seekor burung walet, dia dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke samping daru situ dia menotok tubuh lawan bagian lambung.

   "Tunggg...!"

   Kembali tongkat naga bertemu tongkat bambu ketika Tung-hai Liong-ong menangkis totokan itu. Dan sekali lagi datuk itu merasa betapa tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat. Dia terkejut sekali melihat kenyataan bahwa dalam hal tenaga sakti, dia masih kalah oleh pemuda itu. Pertempuran dilanjutkan dengan lebih seru lagi. Tung-hai Liong-ong mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh ilmunya.

   Bagi dia, sekali ini merupakan pertandingan mempertahankan nama dan kehormatan, juga pembalasan dendam kematian muridnya. Namun, kemanapun dia menyerang, selalu dapat dielakkan atau ditangkis tongkat bambu. Dengan tenang namun waspada dan cepat sekali, Si Kong menghindarkan semua serangan bahkan dia membalas serangan lawan setiap kali terbuka kesempatan. Beberapa kali dia membuat Tung-hai Liong-ong terhuyung bingung karena serangan tongkatnya dengan ilmu Ta-kaw Sin-tung yang merupakan sumber semua ilmu tongkat. Siangkaon Ji memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia menjadi bengong. Seujung rambutpun dia tidak pernah menduga bahwa kawannya itu memiliki kepandaian demikian tingginya sehingga mampu menandingi bahkan mendesak seorang datuk besar seperti Tung-hai Liong-ong.

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 22 Kumbang Penghisap Kembang Eps 16 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 22

Cari Blog Ini