Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 22


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



"Lo-Suhu mungkin belum mengenal benar siapa adanya calon mempelai pria ini! Sahabatku ini pernah menjadi seorang pahlawan, membantu kedua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng, membasmi pemberontakan di Yunan yang dipimpin oleh mendiang Lam-hai Gim-lo!"

   "Omitohud..."

   Wakil Dalai Lama berseru kagum.

   "Kiranya begitukah? Kami sudah mengenal kedua orang Yang Tai-jin dan Cang Tai-jin, dua orang menteri yang bijaksana. Bahkan pernah Yang Tai-jin mengirim pasukan untuk membantu kami membasmi pemberontak. Kalau begitu, kami hendak menitipkan sepucuk surat untuk dihaturkan kepada kedua orang menteri bijaksana itu. Maukah engkau membawa surat kami ke kota raja dan menyerahkannya kepada mereka, Taihiap?"

   Ucapan ini ditujukan kepada Hay Hay. Tentu saja Hay Hay tidak berani menolak.

   "Dengan senang hati, Lo-Suhu. Akan tetapi hendaknya cu-wi (kalian semua) tidak mendengarkan bualan Pek Han Siong! Yang membasmi pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo itu bukanlah saya sendiri, melainkan banyak pendekar ikut membantu pemerintah, termasuk Pek Han Siong sendiri!" Wakil Dalai Lama memuji.

   "Omitohud...ji-wi (kalian berdua) adalah pendekar-pendekar yang berjiwa patriot. Sungguh beruntung sekali sebuah negara yang memiliki orang-orang muda seperti ji-Wi!"

   Setelah menerima hidangan makan pagi yang disuguhkan nyonya rumah, Wakil Dalai Lama lalu minta diri untuk kembali ke Lasha, dan dia menyerahkan sesampul surat kepada Hay Hay untuk disampaikan kepada kedua orang menteri itu. Setelah Wakil DalaI Lama dan rombongannya pergi, yang tinggal di rumah Kim Mo Siankouw sebagai tamu hanya tinggal Hay Hay dan Han Siong berdua. Siang hari itu, Hay Hay mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan Mayang. Mereka duduk di taman belakang rumah. Mayang nampak cantik sekali dengan pakaian baru yang bersih. Potongan pakaiannya itu ketat dan mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan dada membusung dan pinggul yang padat membukit.

   Rambutnya dikuncir menjadi dua dan rambut yang lebat dan panjang itu bergantungan manis di kanan kiri, kadang-kadang di depan, kadang-kadang di belakang, ujungnya diikat sutera merah. Pakaiannya itu merupakan kombinasi warna hitam dan kuning, sehingga kulit yang nampak pada leher dan tangannya semakin putih, putih mulus dan kemerahan seperti kulit anak-anak bayi. Mau tidak mau Hay Hay merasa bangga juga. Gadis ini memang seorang wanita hebat dan dia akan selalu merasa bangga memandang wanita ini sebagai isterinya. Biasanya gadis ini bersikap lincah jenaka dan tak mengenal rasa takut atau malu-malu. Akan tetapi sekarang ia hanya banyak menundukkan muka dan setiap kali mengangkat muka bertemu pandang dengan Hay Hay, wajahnya yang manis itu berubah kemerahan.

   "Mayang, aku sengaja mencarimu karena aku ingin bicara denganmu."

   Kata Hay hay dan dia sendiri merasa heran mengapa suaranya tidak seperti biasa, agak gemetar dan mengapa jantungnya berdebar demikian keras! Belum pernah dia menjadi begini gugup berhadapan dengan seorang wanita. Seolah lenyap semua ketabahannya. Biasanya, mudah saja kata-kata manis meluncur dari mulutnya kalau memuji-muji wanita, akan tetapi sekarang, dia selalu khawatir kalau-kalau membikin hati gadis ini menjadi tak senang! Mayang mengangkat mukanya dan sejenak dua pasang mata itu bertemu.

   "Bicaralah, Hay Hay."

   Kata Mayang lirih lalu ia menunduk kembali.

   "Mayang, tentu Siankouw dan ibumu sudah memberi tahu tentang keputusanku. Aku masih mempunyai suatu tugas pribadi yang amat penting. Aku harus menyelesaikan tugas itu lebih dahulu dan untuk sementara aku akan meninggalkanmu. Setelah tugas itu selesai, aku akan kembali ke sini dan melangsungkan pernikahan kita."

   Sejenak Mayang tidak mampu bicara karena kepalanya semakin menunduk. Ia tersipu dan merasa rikuh sekali mendengar pria yang dicintanya itu bicara tentang pernikahan. Akan tetapi, karena perasaan duka dan khawatir mendengar bahwa kekasihnya itu hendak meninggalkannya, akhirnya ia mengangkat mukanya dan kembali dua pasang mata bertemu dan bertaut. Indahnya mata itu, pikir Hay Hay dengan bangga. Memang sipit, akan tetapi bentuknya amat indah dan di kedua ujungnya seperti ditambahi garis hitam memanjang ke atas. Dan dari balik belahan pelupuk mata yang sipit itu memancar dua pasang mata yang amat jeli dan tajam.

   "Hay Hay, engkau hendak ke manakah?"

   Suaranya lirih, tidak malu-malu lagi akan tetapi kini suara itu mengandung penuh kekhawatiran.

   "Aku hendak pergi ke kota raja, Mayang. Mengantar surat titipan Wakil Dalai Lama kepada Yang Tai-jin dan Cang Tai-jin."

   Dia tidak ingin bercerita tentang usahanya mencari jejak Ang-hong-cu di kota raja dengan menyelidiki perwira she Tang di kota raja yang kabarnya mengaku sebagai putera Ang-hong-cu.

   "Dan tugas pribadimu itu, tugas apakah? Atau...engkau tidak mau menceritakannya kepadaku?"

   Hay Hay tersipu, Mayang adalah calon isterinya, tentu saja berhak mengetahui urusan pribadinya. Akan tetapi bagaimana mungkin dia akan mengaku bahwa dia adalah putera kandung seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang tersohor di dunia kang-ouw?

   "Aku akan mencari musuh besarku!"

   Mayang kelihatan terkejut dan kini ia mengangkat muka, memandang sepenuhnya kepada wajah kekasih hatinya, sepasang matanya penuh selidik.

   "Apa yang telah dilakukan musuh besarmu itu!"

   Hay Hay mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang membicarakan urusan itu, akan tetapi dia harus menjawab.

   "Dia telah membunuh ibuku! Sudahlah, Mayang, kuharap engkau tidak bertanya tentang urusan ini. Aku selalu merasa berduka, kesal dan marah kalau membicarakan musuh besar itu."

   Ketika tangan gadis itu memegang sebuah kuncir rambutnya dan memindahkannya ke belakang punggung, tangan itu gemetar dan wajahnya agak berubah pucat.

   "Aku tidak akan bertanya lagi, Hay Hay. Akan tetapi...orang yang menjadi musuh besarmu tentu lihai bukan main. Karena itu aku harus menemanimu! Aku harus ikut denganmu ke kota raja. Aku akan membantumu menghadapi musuh besarmu itu, Hay Hay!"

   Hay Hay terkejut. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya.

   "Ah, jangan, Mayang! Musuh besarku itu lihai bukan main. Aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya!"

   Di lubuk hatinya, Mayang merasa girang bahwa calon suaminya itu mengkhawatirkan keselamatannya. Akan tetapi iapun tidak ingin ditinggal, apalagi ditinggal menempuh bahaya.

   "Hay Hay, biarpun ilmu kepandaianku tidak ada artinya bagimu, namun aku dapat membantumu sekuat tenagaku. Setidaknya, aku akan dapat menyaksikan bagaimana keadaanmu setelah engkau berhadapan dengan musuh besarmu itu, Hay Hay. Kalau engkau pergi menempuh bahaya dan aku diharuskan menanti di sini, aku akan dapat mati karena gelisah selalu."

   "Tapi, Mayang..."

   "Tidak ada tapi, Hay Hay. Bukan aku bermaksud untuk memaksakan kehendakku kepadamu. Sama sekali bukan. Engkau adalah calon suamiku, engkau satu-satunya orang yang mulai sekarang harus kutaati. Akan tetapi, bukankah setelah kita terikat perjodohan, berarti nasib kita menjadi satu? Bukankah mati hidup kita harus selalu bersama-sama menghadapinya? Aku harus ikut denganmu, Hay Hay. Kalau engkau memaksaku tinggal, kalau engkau menolak aku ikut serta, kalau engkau meninggalkan aku, akupun tidak berani memaksamu, akan tetapi tak lama setelah engkau pergi, akupun akan menyusulmu, mencarimu ke kota raja. Apakah engkau menghendaki kita melakukan perjalanan sendiri-sendiri, menghadapi ancaman bahaya dalam keadaan saling terpisah?"

   Hay Hay menghela napas panjang. Sudah mulai dia merasakan akibat ikatan perjodohan itu. Sudah terasa betapa dia terikat, tidak bebas lagi, tidak seperti sebelum ada ikatan perjodohan. Dan apa yang dikemukakan Mayang itu memang tidak dapat dibantah kebenarannya. Kalau Mayang seorang wanita biasa, tidak memiliki kepandaian silat, maka tentu apa yang dikatakan itu tidak benar. Akan tetapi Mayang adalah seorang gadis yang pandai, yang bukan saja mampu menjaga dan melindungi diri sendiri, akan tetapi bahkan dapat pula membantunya dalam menghadapi lawan tangguh!

   "Tentu saja aku tidak menghendaki demikian, Mayang. Akan tetapi, kita baru bertunangan, belum menikah, bagaimana mungkin engkau pergi berdua saja bersamaku? Tentu gurumu dan ibumu tidak akan memperkenankan."

   "Sekarang juga aku akan memberitahu ibu dan Subo, dan meminta ijin mereka!"

   Kata gadis itu. Akan tetapi pada saat itu, kebetulan sekali Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang berjalan keluar dari dalam rumah menuju ke taman. Melihat ini, dengan girang Mayang lalu berlari menyambut mereka.

   "Subo, ibu, kebetulan sekali, aku hendak mencari kalian untuk membicarakan hal yang teramat penting."

   Melihat puterinya demikian bersungguh -sungguh dan kelihatan risau dan tegang, ibunya menegurnya.

   "Tenanglah, Mayang. Segala hal dapat dibicarakan dengan tenang. Biarkan Subomu duduk dulu, baru engkau bicara."

   Hay Hay juga cepat memberi hormat kepada Kim Mo Siankouw dan calon ibu mertuanya. Mereka berdua duduk di atas bangku panjang, sedangkan Mayang dan Hay Hay lalu duduk di bawah, di atas batu-batu hiasan taman itu.

   "Nah, muridku. Katakanlah apa yang terkandung dalam hatimu."

   Kata Kim Mo Slankouw.

   "Subo, Hay Hay mengatakan bahwa dia hendak pergi menunaikan tugas pribadinya dan ketika teecu (murid) tanyakan apa tugas itu, dia mengaku bahwa dia harus mencari musuh besarnya. Dapat Subo bayangkan bahwa yang menjadi musuh besar seorang yang berkepandaian tinggi seperti dia, tentulah orang yang lihai dan berbahaya sekali. oleh karena itu, teecu ingin ikut bersamanya, Subo! Teecu mohon perkenan Subo dan ibu agar diperbolehkan menemani Hay Hay untuk membantu dia menghadapi musuh besarnya. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang...calon isteri? Kalau teecu ditinggalkan, mengetahui bahwa tunangan teecu menempuh bahaya seorang diri, hati teecu akan merasa tersiksa sekali. Mohon Subo dan ibu sudi memberi ijin."

   Kedua orang wanita itu saling pandang, kemudian Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay, bertanya lembut.

   "Benarkah apa yang dikatakan calon isterimu itu, Hay Hay?"

   "Memang benar, Siankouw. Akan tetapi, sebenarnya saya sudah merasa keberatan untuk membawa Mayang menghadapi ancaman bahaya. Musuh besar saya itu lihai bukan main. Saya akan lebih merasa lega kalau ia tinggal saja di rumah. Akah tetapi saya tidak dapat mencegah kehendaknya yang kuat."

   Kembali kedua orang wanita itu saling pandang dan Kim Mo Siankouw lalu berkata kepada Mayang.

   "Muridku, dalam hal melepaskan dirimu ikut dengan Hay Hay, karena ada ibumu di sini, maka ialah yang berhak menentukan. Aku sih setuju saja atas keputusan yang diambil ibumu."

   Mendengar ucapan Subonya itu, berseri wajah Mayang dan iapun mendekati ibunya dan merangkul ibunya dengan sikap manja.

   "Ibu tentu mengijinkan aku pergi bersama Hay Hay, bukan?"

   Selama ini, hampir selalu ibu yang amat menyayang puterinya itu memenuhi segala permintaan puterinya yang pantas, maka Mayang juga hampir yakin bahwa ibunya tentu akan mengangguk. Akan tetapi, sekali ini wanita setengah tua yang masih cantik itu mengerutkan alisnya, kemudian dengan perlahan menggelengkan kepalanya.

   "Ibu...!"

   Mayang berseru, penuh kekecewaan dan keheranan.

   "Akan tetapi, mengapa, ibu...?"

   "Mayang, sungguh tidak bijaksana kalau aku membiarkan engkau pergi berdua saja dengan Hay Hay. Ingat, nak, dia itu baru calon suamimu, belum suami yang sah! Andaikata kalian sudah menikah, tentu saja aku akan menyetujui sepenuhnya."

   Mendengar ini, Mayang merajuk. Mulutnya cemberut dan matanya semakin sipit seperti akan menangis.

   "Aih, ibu..., apakah ibu takut akan anggapan orang-orang lain? Yang penting, aku dapat menjaga diri, ibu, dan juga aku percaya bahwa Hay Hay akan dapat menjaga diri."

   Akan tetapi ibubya masih mengerutkan alisnya. Ia teringat akan keadaannya sendiri. Ia membayangkan hal yang buruk-buruk. Bagaimana kalau mereka, dua orang muda yang sedang dewasa, lupa diri dan melakukan pelanggaran? Bagaimana kalau kemudian Hay Hay meninggalkan puterinya dan tidak jadi menikahinya? Segala malapetaka akibat hubungan di luar nikah itu selalu akan menimpa diri wanita.

   "Ibu, kalau ibu melarang dan Hay Hay meninggalkan aku, tentu aku akan menjadi kurus, akan jatuh sakit karena selalu gelisah dan khawatir memikirkan dia. Aku...aku akan minggat dan mencarinya..."

   "Mayang, tidak baik engkau mengancam ibumu seperti itu!"

   Tiba-tiba Kim Mo Siankouw membentak muridnya. Mendengar bentakan marah ini, Mayang menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gurunya.

   "Akan tetapi, Subo. Bagaimana mungkin teecu membiarkan Hay Hay pergi menempuh bahaya tanpa membantunya sama sekali? Teecu akan selalu merasa gelisah dan takut. Subo, teecu takut Kalau... Kalau Kehiangan dia... dia satu-satunya..."

   Kim Mo Siankouw tersenyum.

   "Siancai..., baru saja mendapatkan seorang tunangan, engkau sudah lupa bahwa di dunia ini masih ada aku dan ibumu, bukan hanya ada Hay Hay seorang!"

   Mayang tersipu dan baru ingat, maka ia hanya menundukkan mukanya.

   "Mohon belas kasihan dan pertimbangan Subo dan ibu..."

   Katanya memelas. Ibu Mayang kembali saling pandang dengan Kim Mo Siankouw, kemudian ibu Mayang menghela napas panjang.

   "Aku baru dapat memberi ijin engkau pergi bersama Hay Hay kalau kalian sudah menikah. Karena itu, kalau engkau berkeras hendak pergi mengikuti Hay Hay, kalian harus menikah sekarang juga. Bagaimana pendapatmu, Hay Hay?"

   Hay Hay tertegun dan sejenak dia bengong. Menikah? Sekarang juga? Hal ini sungguh tak pernah dipikirkan dan kini dia tidak mampu menjawab. Bagaimana dia dapat melakukan pernikahan kalau dia hanya hidup sebatang kara didunia ini, tidak memiliki apa-apa kecuali beberapa potong baju? Dia merasa bingung, perasaan yang belum pernah mengganggunya selama hidupnya.

   "Ini... ini... saya... saya bingung, tidak tahu..."

   Melihat sikap pendekar muda yang dikaguminya itu, diam-diam Kim Mo Siankouw merasa iba juga. Hay Hay adalah seorang pemuda dan sekarang baru nampak bahwa dia sesungguhnya masih hijau dalam hal memasuki rumah tangga. Maka iapun berkata,

   "Biarlah kita memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membicarakan hal ini dengan Pek Taihiap, satu-satunya sahabat atau keluarganya yang dapat mewakilinya dan memberinya nasihat. Nah, engkau bicarakanlah hal pernikahan itu dengan Pek Taihiap, Hay Hay, dan nanti malam kami mengharap jawaban dan kepastian darimu."

   Pemuda itu mengangguk, memberi hormat kepada mereka lalu mengundurkan diri, meninggalkan taman itu memasuki rumah untuk mencari Han Siong. Setelah pemuda itu pergi, Kim Mo Sian-kouw menegur Mayang dan ibunya.

   "Aih, kalian ini sungguh membuat seorang pemuda menjadi tersipu dan tidak tahu harus berkata bagaimana. Kalian seperti mendesaknya saja. Mudah-mudahan dia dapat menerimanya dan dapat melangsungkan pernikahan yang tiba-tiba ini."

   Mendengar teguran itu, ibu Mayang menjawab lembut,

   "Anak inilah yang memaksa saya!"

   Mayang menubruk dan merangkul ibunya.

   "Subo, ibu, aku aku terlalu cinta kepadanya, dan tidak ingin berpisah darinya..."

   Dua orang wanita itu saling pandang dan tersenyum. Diam-diam mereka hanya mengharap agar Hay Hay suka menerima usul baru itu, yaitu melangsungkan pernikahan sekarang juga agar dia dapat pergi membawa isterinya yang rewel ini! Sementara itu, Han Siong yang sedang duduk bersila dan berlatih sambil bersamadhi di dalam kamarnya,terkejut ketika Hay Hay memasuki kamarnya seperti orang dikejar setan.

   "Pek Han Siong, sekarang engkau harus menolong aku...!"

   Kata Hay Hay begitu dia mendorong daun pintu kamar itu terbuka. Han Siong membuka matanya. Dia tidak heran melihat sepak terjang sahabatnya ini karena sudah sering melihat Hay Hay ugal-ugalan dan kadang-kadang aneh.

   "Hem, Hay Hay, apakah engkau mabok? Engkau mengejutkan orang saja. Ada apa sih? Mungkin hanya kalau dunia kiamat saja engkau kebingungan seperti sekarang ini!"

   Hay Hay menjatuhkan diri di atas kursi, lalu memegangi kepala dengan kedua tangannya.

   "Lebih dari kiamat, Han siong. Engkau harus menolongku sekarang! Aku sungguh bingung, tidak tahu harus berbuat apa!"

   "Ha-ha, tenanglah sahabatku. Ada peristiwa apakah yang membuat engkau menjadi seperti ini? Ceritakanlah, tentu saja aku setiap saat siap sedia untuk membantumu."

   "Aih, Han Siong, apa yang harus kukatakan sekarang? Ketahuilah, mereka itu, Mayang, ibunya dan gurunya, mereka mengusulkan agar pernikahan itu dilangsungkan sekarang juga!"

   "Ehhh...??"

   Han Siong terkejut dan heran juga. Mengapa mereka begitu tergesa-gesa? "Tapi... kenapa begitu? Tentu ada alasannya yang kuat."

   Hay Hay menarik napas panjang, lalu dia menceritakan betapa Mayang berkeras hendak ikut dengan dia, untuk membantunya menghadapi musuh besarnya. Kalau dia menolak, maka gadis itu akan minggat dan kelak mencari dan menyusulnya.

   "Ketika mereka minta ijin kepada ibu Mayang, maka ibu dan guru Mayang lalu mengajukan saran agar kami menikah dulu, sekarang juga. Mayang berkeras hendak ikut, dan ibunya berkeras agar kami menikah dulu. Nah, aku terjepit di tengah-tengah. Bagaimana ini, Han Siong?"

   Pek Han Siong tertawa terpingkal-pingkal karena dia merasa betapa lucunya keadaan Hay Hay. Rasakan kau sekarang, kata hatinya. Ini pembalasan watakmu yang mata keranjang. Akan tetapi setelah berhenti tertawa, diapun berkata.

   "Hay Hay, terjepit begitu bukankah enak buat engkau? Apa lagi masalahnya? Engkau disuruh menikah, kemudian isterimu ikut bersamamu, melakukan perjalanan bersama, seperti berbulan madu! Kurang enak bagaimana. Kenapa engkau masih bingung dan mengomel lagi? Dasar tidak tahu terima kasih!"

   "Han Siong, jangan engkau main-main! Berilah jalan keluar, berilah nasihat bagaimana aku harus menghadapi perkembangan baru ini!"

   "Siapa main-main, Hay Hay. Apa sih yang perlu dirisaukan? Menikah hari ini atau bulan depan atau tahun depan, apa sih bedanya?"

   "Han Siong, jangan bergurau! Engkau tahu bahwa aku menerima ikatan jodoh dengan Mayang karena tiga hal, yaitu pertama aku tidak ingin bermusuhan denganmu, ke dua aku tidak ingin berkelahi dengan Kim Mo Siankouw, dan ke tiga aku tidak ingin Mayang membunuh diri..."

   "Masih ada yang ke empat dan tidak boleh engkau melupakan itu, ialah kenyaaan bahwa Mayang cinta padamu dan engkau pun cinta padanya!"

   "Tak kusangkal, aku suka dan kagum, kepada Mayang, akan tetapi cinta? Aku tidak tahu. Tapi sudahlah, aku sudah menerima ikatan jodoh, akan tetapi pernikahan sekarang? Aku belum siap!"

   Han Siong tertawa.

   "Ha-ha, apanya, lagi yang belum siap? Engkau sudah cukup dewasa, belum siap apanya?"

   "Ih, jangan main-main, Han Siong. Aku sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa, rumahpun tidak punya. Bagaimana aku dapat menikahi anak orang. Apakah isteriku lalu kuajak mengembara tanpa tempat tinggal? Apakah ia bisa kuberi makan rumput dan daun saja?"

   "Hemm, kukira Mayang tidak membutuhkan itu semua! Dan hal itupun merupakan urusan nanti, dapat kalian rundingkan bersama. Sekarang, yang penting engkau terima saja usul mereka. Engkau menikah sekarang juga dengan Mayang dan itu berarti engkau telah membuat jasa besar bagi manusia dan dunia!"

   Hay Hay memandang terbelalak, bengong,

   "Eh? Kau jangan membikin aku menjadi semakin bingung, Han Siong. Apa maksudmu mengatakan bahwa kalau aku menikah sekarang dengan Mayang, aku berjasa terhadap manusia dan dunia?"

   "Betapa tidak? Kalau engkau menikah dengan Mayang sekarang, berarti engkau membikin senang hati Mayang, membikin lega hati ibunya dan gurunya membikin gembira hatiku, dan membikin gembira para tamu yang akan menghadiri perayaan pernikahan itu. Nah, berarti engkau menyenangkan banyak manusia, juga menyenangkan dirimu sendiri. Betapa senangnya melakukan perjalanan ditemani seorang isteri sehebat Mayang. Selain itu, engkau mendatangkan kebaikan kepada dunia karena dengan adanya seorang isteri yang selalu menemani, maka bahaya bagi para gadis lain tidak ada lagi!"

   "Bahaya bagi para gadis lain?"

   Hay Hay mengerutkan alisnya, tidak mengerti.

   "Tentu saja, karena engkau tentu tidak lagi berani mengumbar mata keranjang kalau ada isterimu di sisimu!"

   "Ahhh...!"

   Hay Hay cemberut.

   "Engkau tidak memberi obat, malah membikin penyakit ini menjadi lebih parah!"

   Han Siong bangkit dari pmebaringan, menghampiri Hay Hay yang duduk di atas kursi, lalu memegang pundaknya.

   "Sahabatku, pergunakanlah akal sehatmu dan jangan murung. Syukurilah berkah yang dilimpahkan Tuhan kepadamu! Engkau tahu, untuk melakukan kebaikan kepada orang lain, seseorang biasanya harus berani mengorbankan sesuatu, meniadakan kepentingan diri sendiri. Akan tetapi sekarang ini, engkau dapat melakukan banyak kebaikan kepada banyak orang, tanpa berkorban apa-apa, bahkan engkau menerima pula nikmat dan kebahagiaan. Pria mana yang takkan berbahagia memetik setangkai bunga yang demikian indah dan harumnya seperti calon isterimu itu? Nah, hadapilah kenyataan dan berterima kasihlah kepada Tuhan!"

   Hay Hay menghela napas, lalu bangkit dengan malas.

   "Sudahlah, akan kupertimbangkan semalam ini."

   "Besok pagi aku akan membawa keputusanmu yang menggembirakan kepada mereka!"

   Kata Han Siong sambil tersenyum memandang sahabatnya yang meninggalkan kamarnya dengan langkah gontai. Memang tidak ada pilihan lain bagi Hay Hay kecuali menerima usul baru agar pernikahan dilangsungkan dulu sebelum dia pergi meninngalkan puncak Awan Kelabu tempat tinggal Kim Mo Siankouw itu. Pernikahan yang mendadak ini dirayakan dengan sederhana. Bahkan tidak sempat lagi mengundang tamu jauh, juga Wakil Dalai Lama tidak mungkin dapat diundang. Yang diundang hanya penduduk dusun di sekitar Pegunungan Ning-jing-san saja dan perayaan dilaksanakan secara sederhana namun cukup meriah. Yang menemani Hay Hay hanyalah Han Siong, Pek Han Siong inilah yang menjadi semacam hiburan bagi Hay Hay, yang menganggap sahabat ini seperti saudara sendiri.

   Dan Han Siong juga menemani Hay Hay dengan kesungguhan hati karena dalam hati Han Siong memang amat kagum dan sayang kepada Hay Hay. Para tamu yang terdiri dari penduduk dusun di pegunungan itu tentu saja bergembira ria dijamu masakan yang lezat dan arak wangi sehingga belum sampai tengah malam, para tamu sudah banyak yang mabok dan merekapun berpamit meninggalkan tempat pesta setelah memberi selamat kepada sepasang mempelai dan kepada Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang, Han Siong juga mewakili pengantin pria untuk membalas pemberian selamat itu. Akhirnya, semua tamu sudah meninggalkan tempat pesta dan sepasang pengantin diarak memasuki kamar pengantin. Dalam kesempatan terakhir ini, Han Siong memberi selamat kepada Hay Hay dan Mayang.

   "Kionghi, kionghi (selamat, selamat) sekali lagi,"

   Katanya gembira.

   "Semoga Tuhan memberkahi kalian dengan kebahagiaan abadi!"

   Mayang hanya menunduk tersipu malu, akan tetapi Hay Hay memandang sahabatnya itu dengan sinar mata haru.

   "Han Siong, engkau sahabatku yang paling baik. Terima kasih untuk segalanya!"

   Sepasang pengantin itu didorong masuk kamar yang segera ditutup dan semua orang meninggalkan kamar itu. Para pelayan sibuk membersihkan bekas pesta. Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang juga merasa lelah sekali setelah tadi menerima tamu dan mereka segera beristirahat di kamar masing-masing, juga untuk menyembunyikan keharuan mereka karena begitu tiba di kamar masing-masing,

   Kedua orang wanita ini menangis terharu mengingat betapa kini gadis yang mereka sayang itu telah menjadi isteri orang dan memulai suatu kehidupan baru. Rasa haru dan bahagla membuat mereka dlam-diam mencucurkan air mata! Sepasang mempelai itu telah berganti pakaian. Mayang, bersembunyi di balik tirai, melepaskan pakaian pengantin dan mengenakan pakalan tidur yang tipis, sedangkan Hay Hay juga sudah mengenakan pakaian biasa. Kini, mereka duduk bersanding di tepi pembaringan. Mayang menunduk, tersipu malu. Gadis yang biasanya lincah jenaka dan tabah itu, kini tidak berani berkutik, tidak berani bersuara, bahkan tidak berani mengangkat muka memandang wajah suaminya. Dan Hay Hay juga duduk dengan muka kemerahan karena agak terlalu banyak minum arak menerima penghormatan dan ucapan selamat tadi,

   
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akan, tetapi diapun tersipu, kehilangan akal, salah tingkah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Terbayang semua pengalamannya dengan para wanita di masa lalu. Baru satu kali hubungannya dengan wanita benar-benar hampir melanggar batas, yaitu dengan Kok Hui Lan, janda muda yang tubuhnya semerbak harum seperti bunga itu! Juga ketika dia hampir "diperkosa"

   Wanita cabul Ji Sun Bi. selain dua kali pengalaman itu, belum pernah dia berhubungan dengan wanita sampai ke hubungan badan, kecuali hanya bermesraan luar saja. Kini, menghadapi seorang gadis yang mulai saat itu telah menjadi isterinya, yang akan menyerah sebulatnya kepadanya dan dapat dia gauli tanpa ada yang akan melarang, tanpa ada pelanggaran susila atau hukum apapun, dia berdebar penuh ketegangan dan juga kebingungan.

   Dia sama sekali tidak berpengalaman dalam hal itu! Karena sukar membuka mulut, hanya duduk bersanding di tepi pembaringan, Hay Hay berdehem dua kali dan mengeluarkan suara ketawa kecil untuk menarik perhatian "isterinya". Dan usahanya berhasil. Mendengar suaminya berdehem lalu mengeluarkan suara ketawa kecil, Mayang khawatir kalau ada sesuatu pada dirinya yang tidak beres sehingga memancing tawa suaminya. Ia cepat memandangi pakaiannya kalau-kalau ada yang tidak beres, kemudian karena tidak menemukan sesuatu yang salah, ia mengangkat mukanya memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan akhirnya Mayang menundukkan kembali mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya menahan senyum. Manisnya!

   "Mayang..."

   Suara Hay Hay gemetar dan hal ini terasa benar olehnya sehingga diapun tidak berani melanjutkan! Mayang kembali menoleh dan kembali dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut.

   "Hay Hay..."

   Mayang berbisik, lalu cepat dibenarkannya.

   "Hay-koko (kanda Hay)!"

   Ia cepat menunduk lalu dan mukanya semakin merah. Begitu merdu dan manisnya sebutan Hay-koko itu sehingga perasaan bahagia menyelinap di dalam kalbu Hay Hay. Tanpa disadarinya, tangan kirinya bergerak dan memegang pundak itu dengan sentuhan lembut.

   "Mayang, engkau... Engkau... sungguh cantik jelita dan manis bukan main..."

   Mayang kembali menoleh dan kini ia tersenyum,

   "Engkau perayu!"

   Katanya manja dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, tahu-tahu keduanya saling rangkul dan saling dekap. Ketika Hay Hay menciumnya, Mayang menyambut dengan rintihan lirih. Mereka kini rebah dengan saling rangkul. Tiba-tiba Mayang bangkit duduk dan matanya yang sipit itu dibuka lebar memandang ke arah leher Hay Hay dan tak terasa ia mengeluarkan seruan lirih namun mengejutkan.

   "Ihhhh...!"

   Hay Hay juga bangkit duduk.

   "Ada apakah, Mayang...?"

   Tangan kanan Mayang bergerak menangkap benda yang tergantung di leher Hay Hay, yaitu mainan berbentuk kumbang merah yang tadi berjuntai keluar dari balik baju Hay Hay.

   "Ang... hong... cu...!"

   Mayang berbisik dan tangan kirinyapun mengeluarkan benda yang sama dari balik bajunya! Kini giliran Hay Hay yang tersentak kaget dan sekali tangannya bergerak dia sudah merampas dua buah benda itu dari kedua tangan Mayang, lalu dia membandingkan dua buah benda itu. Presis sama!

   "Mayang..."

   Suaranya gemetar dan wajahnya pucat.

   "dari mana... engkau mendapatkan benda ini...?"

   "Dari ibuku, baru tadi ibu memberikannya kepadaku sebagai hadiah pernikahan. Benda... benda itu... ibu menyebut Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), kata ibu itu peninggalan ayah kandungku..."

   "Ayah... ayah kandungmu... ya Tuhan...!!!"

   Wajah Hay Hay menjadi semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil. Mayang terkejut bukan main melihat keadaan Hay Hay itu.

   "Kenapa, Hay-koko? Kenapa? Dan dari mana engkau mendapatkan benda yang serupa benar dengan peninggalan ayahku? Dari mana engkau dapat memiliki Ang-hong-cu?"

   "Mayang...,"

   Hay Hay menggeser duduknya menjauh agar tubuhnya tidak menyentuh tubuh Mayang.

   "Mayang... kita... kita... kau... Ang-hong-cu... dia ayah kandungku pula..."

   Sepasang mata yang sipit itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi sepucat mayat dan terdengarlah suara melengking tinggi dan nyaring dari mulut itu, lengkingan yang keluar sebagai jeritan dari dalam. Kedua tangan itu merenggut dua buah benda itu dari tangan Hay Hay, kemudian tubuh itu bergerak melompat turun dari atas pembaringan, lari menerjang pintu kamar sehingga terbuka dan Mayang berlari keluar.

   "Mayang...! Mayanggg...!!"

   Dengan tubuh masih menggigil Hay Hay juga melompat turun.

   "Ang-hong-cu... ah, Ang-hong-cu..., hu-hu-huuuhhh...!"

   Sambil menangis sesenggukan Mayang berlari keluar dan hampir saja ia bertabrakan dengan gurunya dan ibunya yang sedang berlarian menuju ke kamarnya. Dua orang tua itu terkejut ketika mendengar pekik melengking tadi dan keduanya sudah berlari keluar kamar masing-masing menuju ke kamar pengantin.

   "Mayang, ya Tuhan, ada apakah, Mayang?"

   Ibunya segera merangkul puterinya dengan wajah penuh kekhawatiran. Juga Kim Mo Siankouw memandang muridnya dengan alis berkerut dan sepasang mata tajam penuh selidik. Dan pada saat itu, Kim Mo Siankouw juga melihat bayangan Han Siong berkelebat. Pemuda ini juga sudah keluar dari kamarnya dan terkejut oleh jeritan Mayang tadi, kini melihat Mayang menangis dalam rangkulan ibunya Han Siong cepat melompat dan lari ke arah kamar pengantin untuk melihat Hay Hay.

   "Mayang, berhentilah menangis dan katakan ada apa?"

   Ibunya menggoyang-goyang tubuh puterinya yang masih tersedu-sedu menangis sambil merangkulnya.

   "Tenanglah, Mayang. Apakah engkau tidak malu. menjadi cengeng seperti ini? Mana kegagahanmu?"

   Kata pula Kim Mo Siankouw. Mayang melepaskan rangkulan pada ibunya, lalu menoleh dan memandang Subonya dengan air mata bercucuran.

   "Subo...!"

   Ia kini menubruk Subonya dan menangis di pundak Kim Mo Siankouw. Gurunya terheran-heran, juga terkejut melihat sikap muridnya seperti kanak-kanak itu.

   "Mayang, engkau kenapakah? Mayang anakku...!"

   Ibunya berkata dengan bingung dan khawatir sekali. Mayang kembali melepaskan rangkulan pada gurunya dan kini menangis dalam rangkulan ibunya.

   "Ibu... hu-hu-huuuhhh... ibu..., Subo... bunuh saja aku, ibu... hu-hu-huuuhhh..."

   "Eh? Engkau kenapa, Mayang? Ada apakah? Ibunya semakin khawatir. Mayang menjulurkan kedua tangannya yang sejak tadi menggenggam dua buah benda kecil itu.

   "Ang-hong-cu... dia... dia... Ang-hong-cu..."

   Katanya dengan suara terputus-putus oleh isak. Kini ibunya terbelalak dan mukanya berubah pucat.

   "Ang-hong-cu...? Apa maksudmu? Dan kenapa menjadi dua benda itu? Dari mana yang sebuah lagi?"

   "Dia... dia... putera Ang-hong-cu...!"

   Dan kini Mayang terkulai, pingsan dalam rangkulan ibunya.

   Dua buah benda itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke atas lantai. Kim Mo Siankouw cepat mengambil dua buah benda itu. Ketika para pelayan berdatangan, Kim Mo Siankouw memberi isarat dengan tangan agar mereka pergi dan kembali ke kamar mereka. Para pelayan tidak berani membantah walaupun mereka menjadi terheran-heran melihat nona mereka menangis, menjerit-jerit dan kemudian pingsan itu. Mereka tidak dapat mengerti mengapa nona mereka yang menjadi pengantin bersikap seperti itu. Sementara itu, ketika Han Siong memasuki kamar pengantin yang pintunya terbuka lebar, dia melihat Hay Hay duduk di tepi pembaringan seperti sebuah arca. Pemuda itu duduk dengan mata terbelalak, mukanya pucat dan penglihatannya kosong. Han Siong cepat memegang kedua pundak Hay Hay.

   "Hay Hay, sadarlah! Apa yang telah terjadi? Ada apa dengan Mayang isterimu?"

   Tanpa disengaja Han Siong memandang ke atas pembaringan dan jelas bahwa tempat itu belum pernah dipergunakan, bantal, selimut dan tilam sutera itu masih rapi, belum kusut seperti kalau sudah dipakai tidur. Karena pundaknya diguncang keras oleh Han Siong, Hay Hay seperti baru sadar. Dia menghela napas panjang, lalu dia memegang kedua lengan sahabatnya. Kedua matanya basah!

   "Eh? Engkau menangis?"

   Han Siong hampir tidak percaya. Akan tetapi dia melihat kedua mata itu basah, basah dan berlinang air mata! Hay Hay mengusapkan mukanya pada kedua pangkal lengan, lalu berkata dengan suara seperti orang dalam mimpi.

   "Untung... sungguh Tuhan masih melindungi kami... aiiih, Han Siong, mengapa nasibku sekarang seperti ini? Ataukah ini dosa orang tuaku?"

   "Hay Hay, katakan apakah yang telah terjadi?"

   Melihat Hay Hay sudah tenang, Han Siong melepaskan tangannya dan dia kini mundur, memandang wajah sahabatnya yang masih pucat itu.

   "Han Siong, ia adalah adikku! Kami seayah berlainan ibu!"

   "Ahhh...?? Mayang puteri Ang Ang-hong-cu...?"

   Kini Han Siong yang melongo keheranan. Hay Hay mengangguk, kembali menghela napas.

   "Ia juga memiliki benda perhiasan itu, seekor kumbang merah, presis yang kupunyai. Ia baru hari ini menerima dari ibunya, sebagai hadiah pernikahan, peninggalan ayah kandungnya..."

   Han Siong jatuh terduduk di atas kursi. Bengong. Mengertilah dia mengapa gadis itu menjerit-jerit dan Hay Hay seperti arca tadi. Dan diapun mengerti maksud kata-kata Hay Hay yang mengatakan masih untung, bahwa mereka masih dilindungi Tuhan. Jelas bahwa mereka belum melakukan hubungan suami isteri! Kalau sudah, berarti kiamat dunia ini bagi mereka! Dia menghela napas.

   "Aihh, engkau masih untung, Hay Hay. Aku ikut merasa girang bahwa kalian masih belum terjatuh ke dalam aib dan dosa. Kasihan engkau, Hay Hay..."

   "Kasihan Mayang, bukan aku, Han Siong. Tentu hancur hatinya... ah, mari kita keluar. Aku harus menghiburnya, menghibur adikku..."

   Mereka lalu keluar dari dalam kamar itu. Ketika melihat Mayang terkulai pingsan dalam pondongan ibunya, Hay Hay terkejut.

   "Mayang...!"

   Kim Mo Siankouw berkata dengan suara lembut namun tegas,

   "Mari kita bicara di ruang dalam. Engkau juga, Pek Taihiap!"

   Ibu Mayang masih memondong tubuh Mayang. Gadis itu pingsan, dan mereka semua memasuki ruangan dalam. Kim Mo Siankouw sendiri menutupkan dua buah pintu tembusan pada ruangan itu. Ibu Mayang merebahkan puterinya di sebuah kursi panjang.

   "Kalian duduklah!"

   Kata Kim Mo Sian-kouw kepada Hay Hay dan Han Siong. Dua orang pemuda itu duduk dan Hay Hay menundukkan mukanya, menutupi muka dengan kedua tangannya, tidak tahu harus berbuat apa atau berkata apa. Dia merasa bingung dan kenyataan yang teramat pahit itu merupakan pukulan yang mengguncang batinnya dengan hebat. Nyaris dia menjadi suami isteri dengan adiknya sendiri! Kim Mo Siankouw menghampiri Mayang, mengurut beberapa bagian punggung dan tengkuknya. Gadis itu mengeluh, membuka matanya, melihat ibu dan Subonya, lalu teringat dan iapun merintih dan menangis.

   "Sudahlah, Mayang. Tenangkan hatimu dan mari kita bicara. Hay Hay juga sudah berada di sini."

   Kata ibunya. Mendengar ini, Mayang bangkit duduk menengok dan begitu melihat Hay Hay, mulutnya bergerak-gerak, bibirnya menggigil dan iapun menangis lagi. Akan tetapi ditahannya sehingga ia menangis tanpa suara, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Hay Hay merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia merasa iba sekali melihat Mayang, adiknya yang hampir menjadi isterinya tadi.

   "Mayang, maafkan aku. Kita telah menjadi permainan nasib..."

   Katanya lirih dan ucapannya ini hanya disambut suara sesenggukan dari Mayang.

   "Hay Hay, sekarang kuminta engkau suka bicara terus terang. Dari manakah engkau mendapatkan benda ini?"

   Tanya ibu Mayang sambil menunjuk dua buah benda perhiasan kumbang merah yang diletakkan di atas meja oleh Kim Mo Siankouw.

   "Benda itu adalah peninggalan dari ayah kandung saya, yang diberikan kepada mendiang ibu saya."

   "Hay Hay, kita berada di antara orang sendiri. Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebaiknya kalau engkau menceritakan riwayat ibu dan ayahmu, setelah itu akan kuceritakan tentang diriku dan ayah Mayang. Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana sesungguhnya hubungan antara engkau dan Mayang."

   Kata pula ibu Mayang dengan sikapnya yang lembut dan halus. Kini Mayang juga amat tertarik dan ia sudah mampu menenangkan dirinya. Ia duduk dekat ibunya, memandang kepada Hay Hay dengan wajah pucat dan mata merah. Hay Hay menarik napas panjang. Kalau tidak ada urusan yang begini ruwet dengan Mayang, tentu dia tidak akan pernah menceritakan riwayat hidup ibunya kepada siapapun juga. Sekarang dia terpaksa, demi untuk menjernihkan kekeruhan antara dia dan Mayang.

   "Terus terang saja, bibi. Saya sendiri tidak tahu dan tidak mengenal siapa sebenarnya ibu saya. Ketika saya masih bayi, ibu saya membawa saya terjun ke laut untuk membunuh diri! Pada waktu itu, lo-cian-pwe Pek Khun, yaitu kakek buyut saudara Pek Han Siong ini, melihatnya dan cepat menolong ibu dan saya. Akan tetapi ibu tidak tertolong dan tewas, lalu saya yang masih bayi dibawa oleh lo-cian-pwe Pek Khun ke Pek-sim-pang. Kebetulan pada waktu itu, saudara Pek Han Siong yang juga sebaya dengan saya, perlu diungsikan dan disembunyikan karena dia dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) dan dikejar-kejar oleh para pendeta Lama yang hendak merampasnya karena dia dianggap sebagai calon Dalai Lama. Nah, saudara Han Siong ini disembunyikan, dan saya dijadikan penggantinya. Ketika lo-cian-pwe Pek Khun menyelamatkan saya, maka ada benda itu yang diberikan ibu untuk saya. Dalam saat terakhirnya ibu saya bercerita kepada lo-cian-pwe Pek Khun bahwa ibu adalah seorang korban jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu dan yang memberikan tanda perhiasan kumbang merah itu. Demikianlah riwayat ibu saya, bibi. Saya sendiri tidak mengenal siapa ibu saya. Setelah dewasa, saya baru mengetahui bahwa saya adalah putera Ang-hong-cu, dan saya bahkan pernah melihat kejahatannya! Dia bukan saja penyebab kematian ibu saya, melainkan juga saya melihat sendiri betapa dia telah menodai beberapa orang gadis pendekar. Dia jahat dan keji!"

   "Hemmm, jadi kalau begitu, ketika engkau mengatakan kepada Mayang bahwa engkau akan mencari musuh besarmu yang membunuh ibumu, maka musuh besarmu adalah Ang-hong-cu, juga ayah kandungmu?"

   Tanya pula ibu Mayang.

   "Benar bibi. Tadinya, semua itu akan saya rahasiakan dan hanya beberapa orang saja yang mengetahui, termasuk saudara Pek Han Siong ini."

   Han Siong mengangguk-angguk.

   "Ang-hong-cu itu memang amat jahat dan keji, akan tetapi dia lihai dan juga cerdik dan licik sekali!"

   "Hay Hay, tahukah engkau siapa nama ayahmu itu?"

   Tanya pula ibu Mayang. Hay Hay menggeleng kepalanya.

   "Dalam pesan terakhir ibu saya, ia hanya mengatakan bahwa ayah itu memiliki nama keluarga Tang."

   "Dan dalam penyamarannya, dia memakai nama Han Lojin."

   Sambung Han Siong. Ibu Mayang mengangguk-angguk.

   "Aih, ini juga kesalahanku sendiri. Ketika engkau datang bersama Mayang, dan mendengar engkau she Tang, lalu meljhat wajah dan bentuk tubuhmu, aku sudah terkejut dan terheran. Engkau she Tang, sama dengan she ayah Mayang, dan wajahmu mirip. Akan tetapi, aku tidak manyangka sejauh itu. Kalau begitu, engkau memang benar puteranya, Hay Hay. Engkau putera Ang-hong-cu, orang yang ku kenal sebagai Tang Kongcu (Tuan Muda Tang), yaitu ayah kandung Mayang. Kalau begitu tidak salah lagi, engkau memang masih kakak beradik dengan Mayang, satu ayah berlainan ibu."

   Hay Hay saling pandang dengan Mayang,

   "Engkau... adikku..."

   Kata Hay Hay perlahan, akan tetapi Mayang tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan linangan air mata.

   "Sekarang dengarkan riwayatku, Hay Hay. Seperti juga engkau, hanya karena timbul peristiwa antara engkau dengan Mayang ini sajalah yang memaksa aku untuk menceritakan riwayat hidupku yang mirip dengan riwayat ibu kandungmu. Tadinya aku sama sekali tidak mengira bahwa pemuda yang tampan dan terpejar itu, yang lemah lembut dan halus sikapnya, yang oleh penduduk dusun kami di kenal sebagai Tang Kongcu yang pandai silat dan pandai mengobati orang sakit, sebetulnya adalah seorang penjahat cabul yang berjuluk Ang-hong-cu yang kejam. Aku yang ketika itu masih seorang gadis berriama Sauli, terpikat oleh ketampanan dan rayuan Tang Kongcu sehingga aku secara tidak tahu malu menyerahkan diri dengan harapan akan dikawininya. Akan tetapi, setelah aku mengandung, dia pergi begitu saja, hanya meninggalkan perhiasan kumbang merah itu. Orang tuaku marah kepadaku, dan dalam keadaan mengandung aku diusir dari dusun, tidak diakui lagi. Aku hidup terlunta-lunta, melahirkan Mayang dalam keadaan sengsara sekali. Dan agaknya akupun, seperti ibumu, akan mati kalau saja tidak ada Subo Kim Mo Siankouw ini yang telah menolong kami."

   Wanita itu menangis dan Mayang merangkul ibunya. Hay Hay mengepal tinju.

   "Akan saya cari sampai dapat Ang-hong-cu, dan dia harus menebus semua dosanya! Bukan saja terhadap ibuku dan terhadap bibi akan tetapi juga terhadap entah berapa ratus orang wanita yang telah dirusak kehidupan mereka oleh kejahatannya!"

   "Hay koko, aku ikut denganmu!"

   Tiba-tiba Mayang berkata, suaranya lantang dan penuh kemarahan. Agaknya ia sudah dapat memulihkan kekuatan batinnya dan kini nampak garang. Semua orang terkejut. Akan tetapi Hay Hay memandang dan wajahnya mulai cerah. Dia girang melihat gadis itu telah pulih kembali, tidak tenggelam ke dalam kedukaan seperti tadi.

   "Adikku Mayang, kenapa engkau hendak ikut dengan aku?"

   Tanyanya.

   "Mayang, engkau baru saja mengalami guncangan batin, sebaiknya beristirahat di rumah."

   Kata ibunya.

   "Benar ibumu, Mayang. Menurut kakakku Ang-hong-cu itu lihai sekali, dan untuk dapat menandinginya, agaknya engkau perlu berlatih keras. Biar kuajarkan engkau jurus-jurus simpanan agar dapat menandingi Ang-hong-cu."

   Kata Kim Mo Siankouw.

   "Tidak, Hay-koko, ibu dan Subo! Aku harus ikut! Pertama, orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu, biarpun dia ayah kandungku, akan tetapi dia juga orang yang telah merusak hidup ibu, hidupku, bahkan kini mendatangkan malapetaka kepada aku dan Hay-ko. Dia harus mati di tanganku! Aku akan membantu Hay-ko menghadapinya! Selain itu, ibu dan Subo, setelah terjadi peristiwa ini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini lagi? Semua orang di sekitar daerah ini telah datang menjadi tamu, menyaksikan aku menjadi pengantin, minum arak pengantin dan memberi selamat. Kemana aku akan menaruh mukaku ini kalau mereka mendengar bahwa pernikahan ini dibatalkan, bahkan aku nyaris menikah dengan kakak sendiri?"

   Setelah mengucapkan kalimat terakhir ini, kembali Mayang menangis. Hay Hay merasa kasihan sekali kepada adiknya itu. Dia dapat merasakan hal itu memang. Sebagai seorang pria, tentu dia bebas dari aib. Akan tetapi, keadaan hidup seorang wanita mengenai hal yang menyangkut nama, kehormatan yang berhubungan dengan kesusilaan memang amat gawat. Begitu mudahnya orang tmelemparkan aib kepada diri seorang gadis. Wanita akan selalu menjadi sasaran celoteh.

   "Kalau Subomu dan ibumu mengijinkan aku sekarang tidak merasa berkeberatan untuk mengajakmu, Mayang."

   "Terima kasih, Hay-ko, aku memang harus ikut denganmu. Kalau tidak diperkenankan, aku akan minggat dan mencari sendiri Ang-hong-cu!"

   Kata gadis itu. Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang saling pandang. Mereka tahu bahwa sekarang ini mereka tidak mungkin dapat membujuk atau berkeras. Pula, mereka juga merasa kasihan kepada Mayang. Melihat ibu Mayang mengangguk kepalanya, Kim Mo Siankouw lalu berkata.

   "Baiklah, Mayang. Aku dan ibumu setuju engkau pergi bersama Hay Hay akan tetapi mengingat bahwa engkau akan menghadapi lawan yang amat lihai maka lebih dulu aku akan mengajarkan jurus-jurus pilihan selama sepuluh hari. Engkau dapat melatihnya dalam perjalanan setelah engkau hafal akan semua gerakannya. Tanpa bekal itu, aku tetap akan merasa khawatir kalau engkau pergi."

   Mayang memandang kepada Hay Hay dan suaranya mengandung permohonan ketika ia bertanya.

   "Hay-ko, maukah engkau menanti sampai sepuluh hari baru kita berangkat?"

   Hay Hay tersenyum. Dia telah memperoleh kembali ketenangan dan kegembiraannya setelah urusannya dengan Mayang itu dapat diselesaikan tanpa akibat yang menyedihkan. Dia tahu bahwa mulai saat ini, dia mendapatkan seorang adik perempuan yang manja sekali! Dia mengangguk menyetujui. Han Siong ikut merasa gembira dan ini dia nyatakan dengan ucapan yang disertai senyum dan wajah yang cerah.

   "Saya merasa bergembira sekali bahwa urusan yang tadinya membuat saya merasa amat khawatir ini telah dapat diselesaikan dengan baik. Dan sayapun berterima kasih kepada Tuhan yang masih melindungi Hay Hay dan nona Mayang sehingga walaupun mereka telah melaksanakan upacara pernikahan, namun mereka masih belum menjadi suami isteri dan kini dapat menjadi kakak dan adik secara wajar. Karena, bagaimanapun juga, saya akan ikut memikul dosanya kalau sampai pelanggaran terjadi, karena saya ikut pula membujuk Hay Hay untuk menerima usul perjodohan itu. Setelah sekarang semuanya beres, sayapun hendak mohon diri, dan saya menghaturkan terima kasih kepada Kim Mo Siankouw atas semua kebaikannya selama saya berada di sini."

   "Han Siong, kenapa engkau tergesa-gesa pergi? Hendak ke manakah engkau?"

   Tanya Hay Hay.

   "Engkau tahu bahwa akupun mempuai perhitungan dengan Ang-hong-cu. Akan tetapi aku akan pulang dulu ke Kong-goan, ke Pek-sim-pang untuk menemui keluargaku. Mari kita berlumba, siapa yang akan lebih dulu berhasil menangkap Ang-hong-cu, Hay Hay!"

   "Bagus!"

   Hay Hay yang sudah mendapatkan kembali kegembiraannya itu menerima tantangan itu.

   "Kita lihat saja nanti. Yang kalah harus menjamu makanan apa saja yang diminta si pemenang dalam rumah makan besar!"

   "Baik, Hay Hay. Nah, sekarang aku harus pergi."

   Han Siong memberi hormat kepada mereka semua dan pergilah dia meninggalkan tempat itu. Hatinya merasa gembira bukan main. Dia kini merasa bebas seolah-olah semua ikatan pada dirinya telah putus, seolah beban yang selama ini menghimpit hatinya telah tanggal.

   Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pertama, Wakil Dalai Lama sendiri sudah menjanjikan bahwa mulai sekarang, tidak akan ada lagi pendeta Lama yang mengganggunya, yang hendak memaksanya ikut ke Tibet menjadi Dalai Lama! Dan ke dua, urusan Hay Hay dengan Mayang telah dapat diselesaikan dengan baik, karena dia ikut pula bertanggung jawab, ikut pula membujuk Hay Hay, bahkan mengancam akan memusuhinya kalau Hay Hay tidak mau berjodoh dengan Mayang! Dia bergidik membayangkan. Kalau sampai terlanjur terjadi pelanggaran dan hubungan suami isteri antara kedua orang yang masih sedarah itu, tentu dia sendiri merasa berdosa, menyesal bukan main. Dan Hay Hay tentu akan mendapatkan alasan yang kuat untuk melampiaskan kemarahan kepadanya tanpa dia mampu membela diri. Hay Hay tentu akan menganggapnya jahat dan mengatakan bahwa dia telah mendorong Pendekar Mata Keranjang itu terjerumus ke dalam lembah kehinaan!

   Untung juga keduanya memakai perhiasan kumbang merah itu sebagai kalung! Kini semua telah lewat dan Han Siong dapat melakukan perjalanan dengan wajah berseri dan hati lapang. Ada lagi suatu hal yang menggembirakan hatinya. Kegagalan cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian tidak menimpa dirinya sendiri! Kepahitan karena cinta gagal baru saja juga menimpa Hay Hay. Bahkan lebih parah daripada dia. Berarti dia mempunyai teman sependeritaan! Hal ini membuat dia merasa semakin dekat dengan Hay Hay! Pemuda gemblengan ini dalam kegembiraannya lupa bahwa dia telah menjadi hamba dari pada ke-akuan yang menghinggapi hampir seluruh manusia di permukaan bumi ini. Orang yang sedang tertimpa malapetaka, yang sedang merasa sengsara, sedang berduka, akan merasa terhibur dan berkurang kedukaannya kalau ia melihat orang lain,

   Apa lagi yang dekat dengan dia, tertimpa kemalangan yang lebih besar dari pada kemalangan yang menimpa dirinya sendiri! Dan orang yang sudah diperbudak ke-akuannya sendiri itu yang merasa terhibur dan berkurang kedukaannya kalau melihat orang lain tertimpa kedukaan yang lebih besar, tentu akan merasa tak senang dan iri hati kalau melihat orang lain memperoleh keuntungan yang lebih besar dari pada keuntungan yang diperolehnya sendiri. Seperti inilah kelemahan manusia yang tercengkeram nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu selalu mendorong kita untuk menjadi yang paling baik, paling besar, paling penting dan tidak kalah oleh orang lain! Berbahagialah orang yang dapat melihat, merasakan, dan menyadari kelemahan yang ada pada dirinya ini. Karena hanya mereka yang waspada dan sadar sajalah dapat melihat ulah nafsu yang ada pada diri sendiri.
(Lanjut ke Jilid 21)

   Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
Mereka bertiga berjalan-jalan di puncak bukit yang penuh dengan pohon cemara itu. Pagi itu cerah dan pemandangan alam amatlah indahnya. Matahari pagi sudah tersenyum lembut di atas puncak, sinarnya juga lembut dan hangat di antara kesejukan semilir angin gunung. Bau rumput dan daun cemara yang khas sungguh nyaman dan harum menyenangkan, keharuman yang lembut, membuat hidung terasa segar dan lega. Kicau burung-burung yang sudah sibuk sejak matahari timbul tadi, seperti ribuan karyawan yang siap melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari di pagi itu, memulai pekerjaan dengan semangat berkobar dan hati penuh kebahagiaan, merupakan suara yang merdu dan gembira, menjadi santapan pagi yang amat sehat bagi telinga. Betapa nikmatnya hidup kalau pada suatu saat, tiga di antara alat panca indriya kita, yaitu mata hidung dan telinga, menikmati keindahan bersama-sama.

   Mata menikmati pemandangan alam yang mentakjubkan, penuh pesona dan penuh kegaiban. Hidung menghirup udara yang amat sejuk segar, jernih bersih, dengan keharuman yang khas alami, membuat napas yang dihisap itu penuh tenaga mujijat dari alam, memenuhi rongga dada bahkan terus sampai ke bawah pusar, menyehatkan dan membahagiakan. Telinga pada saat yang sama mendengarkan suara yang penuh kedamaian, penuh ketentraman, penuh kewajaran dan keindahan. Betapa nikmatnya hidup! Dalam keadaan seperti itu, hati dan akal pikiran berhenti berceloteh dan segala sesuatu nampak indah. Suara angin bermain dengan daun-daun cemara, suara air gemercik di antara batu-batu, kicau burung, kokok ayam hutan, semua itu merupakan pendengaran yang seolah-olah bunyi-bunyian merdu dari sorga! Bau tanah bermandikan embun saja sudah demikian sedap dan harumnya, masuk ke rongga dada melalui hidung, demikian harum menyegarkan!

   Dan melihat kupu-kupu berwarna-warni beterbangan di antara bunga-bunga, melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan, bahkan melihat embun sebutir bergantung pada ujung daun, berkilauan tercuci sinar matahari pagi, sudah merupakan penglihatan yang indahnya sukar dilukiskan! Sayang, sungguh sayang sekali bahwa sejak kecil kita sudah dijejali kesenangan-kesenangan pemuas nafsu sehingga kita menjadi mabuk. Kesenangan badani yang semu, yang hanya merupakan pelampiasan dari pada hasrat nafsu, membuat kita mabok dan tidak lagi dapat melihat segala keindahan, tidak dapat mendengarkan segala kemerduan dan tidak lagi mampu menghirup segala kesedapan yang segar. Kita terbuai oleh kesenangan tuntutan nafsu. Hati dan akal pikiran kita selalu berceloteh dan sibuk dengan urusan pengejaran kesenangan nafsu.

   Kalaupun kadang-kadang kita dapat merasakan keagungan dan keindahan itu, segera hati dan akal pikiran datang mengacau dan seketika lenyaplah semua keindahan itu karena batin telah disibukkan kembali dengan urusan kesenangan diri, kesenangan dari pelampiasan nafsu keinginan! Demikian pula dengan tiga orang yang berjalan-jalan di pagi hari itu. Tadinya mereka tidak berkata-kata, seperti tenggelam ke dalam keindahan itu, bahkan mereka merasa bersatu dengan semua keindahan itu, tidak terpisah-pisah. Rasa aman teneram bahagia, bukan senang, menyelubungi mereka sehingga pada saat seperti itu, mereka tidak ber-aku, mereka bersatu dengan alam, dengan kekuasaan Tuhan, dengan Tuhan! Mereka berada dalam keadaan samadhi yang sejati, bukan pengosongan diri karena dikehedaki hati dan akal pikiran!

   Kekosongan batin yang DIKOSONGKAN oleh hati dan akal pikiran, merupakan kekosongan palsu, karena kekosongan itu penuh dengan usaha dari keinginan. Kekosongan berpamrih. Tiga orang itu bukanlah orang-orang biasa, bukan penghuni pegunungan biasa. Mereka adalah ayah, ibu dan anak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan dapat disejajarkan dengan orang-orang sakti! Pria itu berusia empat puluh tiga tahun kurang lebih. Lengan kirinya buntung sebatas siku sehingga lengan baju yang kiri itu ujungnya terkulai lemas tanpa isi. Tubuhnya tinggi tegap. Kepalanya tidak gundul, melainkan memiliki rambut yang hitam tebal dan panjang, yang digelung ke atas seperti gelung rambut tosu (pendeta To), akan tetapi pakaiannya yang longgar itu mengingatkan orang akan pakaian hwesio (pendeta Buddha) yang berwarna kuning.

   Wajahnya tampan dan jantan, dengan alis tebal dan sepasang matanya mencorong. Sikapnya pendiam dan bahkan dingin. Pria ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang! Seperti telah kita ketahui, pria ini adalah putera mendiang Siangkoan Lojin atau yang di (junia kang-ouw terkenal dengan sebutan Si lblis Buta. Biarpun kedua matanya buta, namun Siangkoan Lojin ditakuti semua orang, karena lihainya, juga karena kejamnya. Seorang datuk sesat yang namanya tersohor. Akan tetapi, sungguh aneh, puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, walaupun juga berhati sekeras baja, namun tidak mewarisi watak kejam dan jahat seperti ayahnya. Bahka sejak muda dia menentang kejahatan, sehingga membuat dia menjadi penentang ayahnya sendiri! Wanita berusia empat puluh dua tahun itu isterinya, Toan Hui Cu dan ia masih nampak cantik sekali.

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 38 Pendekar Mata Keranjang Eps 2 Asmara Berdarah Eps 30

Cari Blog Ini