Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 10


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Ah, tidak tahunya Siocia yang datang!"

   Kata mereka sambil memberi hormat. Menghadapi semua penghormatan ini, Sui Ceng sama sekali tidak merasa kikuk atau sungkan. Ia berdiri tegak, lalu berkata,

   "Mengapa di antara orang-orang sendiri sampai menimbulkan keributan yang tidak perlu? Ada urusan dapat diurus, ada persoalan dapat diselesaikan. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?"

   Oleh karena kini orang-orang datang lagi berduyun-duyun untuk mendengarkan pembicaraan mereka, para Piauwsu itu mempersilakan Sui Ceng dan anggauta-anggauta Sin-To-Pang untuk memasuki restoran.

   Mereka mengambil tempat di ruang atas dan di situ Sui Ceng duduk dikelilingi oleh orang-orang Sin-To-Pang dan para Piauwsu dari Hui-To-Piauwkiok. Maka berceritalah mereka tentang bencana yang menimpa Ong Kiat dan isterinya, yakni Thio Loan Eng. Bencana itu baru terjadi dua hari yang lalu. Ketika itu, Ong Kiat yang menjadi Ketua dari Hui-To-Piauwkiok mengawal sendiri barang kiriman dari Hak-Keng ke Kota Raja. Terpaksa dia turun tangan sendiri karena barang yang dikirim itu adalah barang berharga, sumbangan para Hartawan di Hak-Keng untuk pembesar-pembesar di Kota Raja. Memang pada masa itu, di Tiongkok lajim terjadi pengiriman barang-barang "upeti"

   Yang amat mahal dari para Hartawan kepada pembesar-pembesar tertentu sampai ke Kaisar, akan tetapi tak seorang pun berani menyatakan bahwa kiriman itu merupakan "sogokan".

   Perjalanan dari Hak-Keng ke Kota Raja melalui kota Cin-Leng, dan sampai ke kota ini rombongan yang terdiri dari, dua gerobak kuda terisi barang kiriman dan dikawal oleh Ong Kiat dan tujuh orang anak buahnya, tidak mengalami gangguan sesuatu. Para petualang di dunia liok-lim tidak ada yang berani menggangu rombongan ini ketika mereka melihat dua macam bendera yang tertancap di atas gerobak. Yang pertama bendera berlukiskan sebuah golok terbang sebagai lambang dari Hui-To-Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang), dan bendera kedua adalah bendera kuning bertuliskan merah ONG, tanda bahwa Ong Kiat sendiri mengawal barang-barang berharga itu. Rombongan itu bermalam di Cin-Leng, dan pada keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Kota Raja.

   Akan tetapi perjalanan kali ini amat sukar, karena dari Cin-Leng ke Kota Raja melalui hutan-hutan belukar yang amat liar dan di situ tidak terdapat jalan besar yang dapat dilalui gerobak dengan mudah. Terpaksa memperlebar jalan kecil di dalam hutan dengan menbabat rumput dan pepohonan. Baru saja memasuki hutan kedua, kira-kira tiga puluh li dari kota Cin-Leng di sebelah Utara, senja telah tiba. Selagi Ong Kiat dan tujuh orang anak buahnya membabat alang-alang, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang keras dan menyeramkan sekali dan dari atas sebatang pohon besar menyambar turun bayangan orang yang tidak dapat melihat dengan jelas saking cepatnya gerakan orang ini. Orang itu hanya melompat ke atas gerobak di depan dan menghilang lagi, meninggalkan gema ketawa yang menyeramkan.

   "Ibliskah dia...?"

   Tanya seorang anak buah, kawan Ong Kiat.

   "Sst, jangan sembarangan bicara,"

   Mencela Ong Kiat.

   "Tidak tahukah kalian bahwa orang itu tidak sengaja mempermainkan kita? Lihat!"

   Ong Kiat menunjuk ke atas gerobak pertama dan ketika tujuh orang anak buahnya menengok, mereka menjadi pucat sekali.

   Ternyata bahwa dua buah bendera yang tadinya tertancap di atas gerobak dan berkibar-kibar tertiup angin, sekarang sudah lenyap tak meninggalkan bekas! Alangkah hebatnya kepandaian bayangan tadi, sekali melompat saja sudah dapat merampas dua bendera tanpa dapat mereka lihat sedikit pun juga. Ong Kiat sendiri tidak dapat melihat gerakan orang tadi dengan jelas, akan tetapi karena ilmu silatnya lebih tinggi daripada kawan-kawannya, dia masih dapat mengikuti ke mana bayangan tadi melayang sehingga dia dapat melihat lenyapnya dua benderanya. Ong Kiat lalu menghadap ke arah bayangan tadi menghilang, kemudian menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan sambil berkata,

   "Siauwte Ong Kiat mengharap supaya sahabat yang di depan jangan mempermainkan kami dan sukalah memberi maaf apabila kami tidak menyambut kedatanganmu karena tidak tahu. Kalau sahabat berlaku murah, kami Hui-To-Piauwkiok bukanlah orang-orang yang tak kenal budi dan tentu akan memenuhi permintaan yang pantas dari padamu."

   Setelah Ong Kiat mengakhiri kata-katanya, keadaan sunyi sekali.

   Semua orang menahan napas dan yang terdengar hanya berkereseknya daun-daun pohon dipermainkan oleh angin lalu. Tiba-tiba terdengar lagi suara ketawa yang menyeramkan seperti tadi dan dari jurusan depan, menyambar dua benda merupakan sinar kuning dan putih yang meluncur mengarah dada dan leher Ong Kiat! Piauwsu ini bukan seorang lemah. Ia tahu bahwa dia diserang dengan senjata rahasia yang aneh, maka cepat dia miringkan tubuhnya ke kiri dan ketika dua tangannya bergerak dari samping, dia telah menangkap dua benda kuning dan putih itu. Alangkah mendongkolnya ketika dia melihat bahwa benda-benda itu bukan lain adalah dua buah benderanya yang tadi dicabut orang! Akan tetapi, diam-diam dia terkejut sekali karena ketika dia menyambut bendera-bendera tadi, kedua tangannya tergetar. Bukan main hebatnya tenaga yang menyambitkan dua bendera bergagang kayu itu.

   "Ong Kiat, manusia lancang!"

   Terdengar suara yang parau dan kasar.

   "Kau telah berani sekali mengambil Pek-Cilan sebagai isterimu, padahal dia sudah dipastikan akan mampus di dalam tanganku. Akan tetapi aku masih mau mengampuni jiwamu dan hanya akan menghukummu dengan merampas dua gerobak barang ini. Kau dan anak buahmu lekas pergi dari sini dan tinggalkan dua gerobak barang ini di sini!"

   Wajah Ong Kiat sebentar berubah pucat sebentar merah saking marah dan dongkolnya mendengar kata-kata yang amat menghina ini. Ia adalah seorang gagah, biarpun pekerjaannya sebagai Piauwsu mengharuskannya untuk bersikap baik terhadap para Perampok agar jangan banyak dimusuhi orang, akan tetapi kalau orang terlalu menghina, dia pasti akan melawan!

   "Sahabat yang manakah begitu sombong? Harap keluar memperkenalkan diri. Aku Ong Kiat bukanlah orang yang menjadi ketakutan karena gertak kosong belaka!"

   Sambil berkata demikian, dia mencabut goloknya yang tajam mengkilap. Tujuh orang kawannya juga sudah mencabut golok masing-masing. Ong Kiat terkenal sebagai seorang ahli golok yang lihai, murid Thian-San-Pai yang tak boleh dibuat permainan. Juga tujuh orang kawannya telah mempelajari ilmu golok dan rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tangguh. Kembali terdengar suara ketawa, kali ini disertai ejekan.

   "Kalian sudah bosan hidup, jangan bilang aku berlaku kejam!"

   Sehabis ucapan ini, dari belakang rumpun menyambar keluar tubuh seorang Kakek yang benar-benar menyeramkan. Bajunya yang berlengan lebar berwarna biru muda, celananya biru tua dan kakinya telanjang. Hidungnya bengkok dan besar, mulutnya tertutup cambang dan jenggot putih. Kepalanya botak kelimis, hanya di kanan kiri terdapat rambut hitam yang kaku dan berdiri. Yang hebat adalah jari-jari tangannya, karena sepuluh jari tangannya itu berkuku panjang dan runcing seperti kuku Harimau! Ketika dia melompat keluar, kedua kakinya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, seperti kaki Harimau saja.

   "Kau tidak mengenal aku? Ha, ha, ha!"

   Kakek yang menyeramkan ini mengeluarkan suara ketawa seperti auman Harimau.

   Ong Kiat memandang takjub. Melihat keadaan Kakek ini, dia teringat akan seorang tokoh Hek-To (jalan hitam, dunia orang jahat) yang di juluki orang Toat-Beng Hui-Houw (Harimau Terbang Pencabut Nyawa). Akan tetapi, Toat-Beng Hui-Houw kabarnya sudah lenyap dari dunia dan sudah puluhan tahun tak pernah memperlihatkan diri. Ong Kiat cepat-cepat memberi hormat.

   "Siauwte bermata buta, tidak mengenal siapa adanya Locianpwe yang terhormat."

   Toat-Beng Hui-Houw semenjak mudanya berwatak keras dan sombong sekali, maka mendengar orang tidak mengenal namanya, dia menjadi makin marah.

   "Buka telingamu dan matamu lebar-lebar, Ong-Piauwsu! Aku adalah Toat-Beng Hui-Houw, dan kau tentu sudah tahu bahwa siapapun juga yang tidak mentaati perintah Toat-Beng Hui-Houw, berarti harus mati!"

   Setelah berkata demikian, secepat kilat tangannya yang berkuku panjang itu menyambar ke arah kepala Ong Kiat! Piauwsu muda ini terkejut sekali, tidak hanya karena nama itu, akan tetapi juga karena serangan yang datangnya tiba-tiba dan hebat bukan main ini. Cepat dia menggerakkan goloknya menangkis sekuat tenaga, bermaksud membabat putus kuku-kuku panjang dari lawannya itu.

   "Traaang...!"

   Ong Kiat berseru kaget dan cepat melompat ke belakang karena merasa betapa goloknya beradu dengan benda yang luar biasa keras dan kuatnya sehingga kalau dia tidak buru-buru menarik kembali goloknya dan melompat mundur, tentu golok itu akan terlepas dari pegangannya! Baiknya golok Pusaka yang ampuh dan kuat, kalau tidak demikian, agaknya golok itu sudah menjadi rusak ketika bertemu dengan kuku-kuku yang demikian kerasnya!

   "Ha, ha, ha! Kau harus mampus! Kau juga!"

   Kata-kata ini diulangi terus dan tubuhnya bergerak maju sambil menyerang dengan sepasang tangannya yang berkuku runcing dan panjang. Terdengar suara "traaang! traaang!!"

   Beberapa kali dan golok di tangan ketujuh orang kawan Ong Kiat itu terbang terlepas dari tangan, ada yang retak dan ada pula yang terpotong menjadi dua! Lalu disusul jeritan-jeritan ngeri ketika kuku-kuku yang panjang itu mengenai tubuh mereka.

   Ada yang lehernya hampir putus, kulit perutnya robek dan sebentar saja tujuh orang Piauwsu itu tergeletak tumpang tindih dalam keadaan yang amat mengerikan! Keadaan mereka ini tiada bedanya dengan orang-orang yang telah diserang oleh seekor Harimau yang ganas. Akan tetapi, Toat-Beng Hui-Houw sengaja hanya melukai pundak seorang diantara tujuh kawan Ong Kiat itu yang kini duduk merintih-rintih dan memegangi pundak kanannya yang berlumur darah. Ong Kiat menjadi marah sekali. Dengan nekat dia lalu menyerang dengan goloknya. Serangannya tidak boleh dibuat permainan, karena dia mempergunakan ilmu golok Thian-San-Pai yang lihai. Toat-Beng Hui-Houw maklum akan hal ini maka dia pun tidak berani sembarangan menangkis, melainkan mempergunakan ginkangnya yang istimewa untuk mengelak kesana kemari.

   Orang sudah tahu akan kegesitan seekor Harimau, akan tetapi Toat-Beng Hui-Houw (Harimau Terbang) karena gerakannya itu seolah-olah seekor Harimau yang bersayap! Tidak saja dia pandai dan cepat sekali mengelak ke sana ke mari, bahkan kadang-kadang dia melompat tinggi seperti terbang saja. Selain mengelak atau menangkis serangan Ong Kiat yang mengamuk seperti gila karena sudah nekat sekali, juga Toat-Beng Hui-Houw membalas dengan serangan-serangan kukunya yang berbahaya. Betapapun pandainya Ong Kiat mainkan goloknya, namun menghadapi Kakek yang luar biasa sekali ini dia hanya dapat betahan sampai tiga puluh jurus saja. Agaknya kalau Toat-Beng Hui-Houw menghndaki kematiannya, dalam sepuluh jurus juga Ong Kiat akan roboh binasa. Namun Kakek ini hendak menawannya hidup-hidup, maka dia hanya berusaha merampas golok.

   Akhirnya, ketika golok itu diputar dan menyerang lehernya, Kakek itu berseru keras sekali dan kedua tangannya bergerak. Tangan kanan mendahului golok mencengkeram ke arah lambung lawan dan tangan kiri menyusul untuk merampas golok! Ong Kiat tak berdaya. Kalau dia membiarkan lambungnya dicengkeram, tentu dia akan binasa dan goloknya yang datangnya kalah cepat belum tentu akan mengenai lawan. Terpaksa dia melompat ke belakang dan menarik pulang goloknya, namun terlambat. Golok itu telah kena dicengkeram dan sekali renggut saja sudah pindah tangan! Toat-Beng Hui-Houw mendesak terus dan akhirnya jalan darah di pundak Ong Kiat telah kena dicengkeram oleh jari-jari itu. Kulit pundaknya pecah dan Ong Kiat roboh dalam keadaan lumpuh tak berdaya lagi!

   "Ha, ha, ha, ha, ha! Baru kalian tahu betapa lihainya Toat-Beng Hui-Houw!"

   Ia lalu menggunakan kakinya yang telanjang itu untuk menendang bangun anggauta Piauwsu yang terluka pundaknya tadi.

   "Hei, kau!"

   Aku sengaja tidak membikin mampus padamu agar kau dapat memanggil Pek-Cilan, datang kesini! Katakan bahwa selambat-lambatnya besok pagi ia harus datang di sini, kalau tidak, suaminya akan kucekik mampus dan dia pun akan kucari ke rumahnya. Pakai kuda itu!"

   Piauwsu itu tak berdaya. Terpaksa dia menangkap kembali kudanya dan mengaburkan kuda itu kembali ke Hak-Keng. Ia melakukan perjalanan cepat sekali tanpa berhenti, sedangkan luka dipundaknya tidak dirawat, maka ketika dia tiba di depan Thio Loan Eng, dia roboh pingsan! Dapat diduga betapa hebat kemarahan dan kekagetan hati Loan Eng mendengar tentang keadaan suaminya. Tanpa banyak cakap lagi, ia lalu cepat melarikan kuda menuju ke tempat itu, diikuti oleh semua anggauta piauwkok, yakni Piauwsu-Piauwsu yang kebetulan berada di kota yang jumlahnya ada sepuluh orang. Begitu tiba di tempat yang dituju, Loan Eng mencabut Pedangnya dan berseru dengan suara keras,

   "Toat-Beng Hui-Houw Siluman buas, kau keluarlah untuk terima binasa!"

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Toat-Beng Hui-Houw, lalu tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia telah berdiri di hadapan Loan Eng. Pendekar wanita ini pun belum pernah bertemu dengan Kakek ini, maka seperti juga Ong Kiat, ia terkejut sekali menyaksikan keseraman Kakek ini. Akan tetapi ia tidak pernah mengenal takut dan sambil menudingkan Pedangnya ke muka orang, ia berkata,

   "Toat-Beng Hui-Houw, antara kita tidak pernah terjadi permusuhan, mengapa kau berlaku begitu kejam, membunuh kawan-kawan kami dan bahkan menawan suamiku?"

   Kakek yang menyeramkan itu tertawa bergelak dengan suara mengejek lalu berkata,

   "Pek-Cilan, kau terlalu mengandalkan kegagahan sendiri dan sama sekali tidak melihat orang! Kau telah membunuh Suteku Tauw-Cai-Houw, maka sekarang aku datang untuk menagih hutang!"

   Terkejut hati Loan Eng mendengar ini, ah, tidak tahunya Kakek mengerikan ini adalah Suheng (kakak seperguruan) dari Tauw-Cai-Houw, manusia gila yang dulu menculik dan hendak memanggang Kwan Cu hidup-hidup dan yang telah terbunuh olehnya dalam pertempuran. Tauw-Cai-Houw saja sudah amat lihai, apalagi Suhengnya ini! Namun Loan Eng tidak menjadi jerih. Ia tersenyum mengejek dan berkata,

   "Toat-Beng Hui-Houw, kau mau menang sendiri saja. Sutemu (adik seperguruanmu) Tauw-Cai-Houw itu adalah orang gila. Aku melihat dia menangkap seorang anak kecil yang hendak dipanggang dan dimakan dagingnya. Apakah aku harus berpeluk tangan saja dan tidak mencegahnya? Kau pun tentu maklum bahwa kejahatan seperti itu tak dapat diampunkan lagi. Sutemu bertempur dengan aku dan dia binasa, mengapa hal ini kau jadikan alasan untuk membunuh orang-orangku dan menawan suamiku?"

   "Bodoh! Suteku sedang meyakinkan Ilmu Hoat-Lek Kim-Ciong-Ko (Ilmu Kebal Berdasakan Ilmu Gaib) dan untuk itu dia membutuhkan daging dan darah seorang anak sin-tong (anak ajaib)! Kau datang mengganggu dan bahkan membunuhnya. Sekarang aku yang akan mengambil darahmu untuk dijadikan obat panjang usia, ha-ha-ha!"

   Setelah berkata demikian, Toat-Beng Hui-Houw menubruk dengan kuku-kuku tangannya yang panjang dan runcing. Loan Eng maklum bahwa dia menghadapi seorang Kakek yang selain lihai sekali, juga agaknya pun miring otaknya, maka ia lalu berlaku hati-hati sekali. Pedangnya diputar cepat sehingga berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Kalau dibandingkan dengan ilmu golok Ong Kiat, ilmu Pedang Loan Eng ini ternyata lebih ganas dan berbahaya, akan tetapi kini Toat-Beng Hui-Houw bergerak cepat sekali dan Kakek ini mengerahkan seluruh kepandaiannya. Pandangan mata Loan Eng menjadi kabur dan gelap saking cepatnya gerakan Kakek itu, apalagi kini dari kedua tangan Kakek itu menyambar hawa dingin yang berbau amis sekali.

   Diam-diam Loan Eng bergidik. Ia pernah mendengar akan kehebatan Kakek ini, dan mendengar pula bahwa kuku-kuku yang panjang itu sewaktu-waktu apabila mengahadapi lawan tangguh, direndam dalam air obat terisi bisa yang amat jahat. Ia tahu bahwa sekali saja ia terkena kuku yang runcing seperti pisau itu, tentu ia akan terkena bisa dan celaka. Namun Loan Eng memang terkenal seorang keras hati yang tidak mau menyerah dan pantang mundur. Ia menyerang terus, mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, menggerakkan Pedangnya dalam tipu-tipu yang paling diandalkan. Pertandingan terjadi luar biasa hebatnya, jauh lebih hebat daripada ketika Toat-Beng Hui-Houw menghadapi Ong Kiat. Sepuluh orang Piauwsu yang ikut datang bersama Loan Eng, menjadi bingung karena tidak tahu harus berbuat apa.

   Ingin membantu, namun maklum akan kekurangan sendiri dan baru melihat pertandingan itu saja mereka telah menjadi pening dan tidak dapat membedakan mana kawan dan lawan karena gerakan kedua orang yang bertempur luar biasa cepatnya. Baru kali ini Loan Eng merasa mendapat lawan yang amat tangguh. Toat-Beng Hui-Houw benar-benar jauh lebih tangguh daripada Tauw-Cai-Houw dan setelah melawan sampai empat puluh jurus lebih, akhirnya ia pun harus menyerah kalah. Sepuluh buah kuku yang runcing itu berhasil mencengkeram Pedangnya dan tanpa dapat ditahan lagi, Pedangnya terlepas dari tangannya. Kemudian Toat-Beng Hui-Houw menubruk maju, disambut oleh tendangan kaki Loan Eng yang menggunakan ilmu tendang Soan-Hong-Twi. Namun, alangkah kagetnya ketika kaki kirinya dapat tertangkap pula!

   Sebelum ia sempat memukul, pundaknya dapat dicengkeram dan matanya menjadi gelap. Loan Eng roboh pingsan! Melihat hal ini, sepuluh orang Piauwsu yang berada di situ menjadi kaget dan marah sekali. Dengan golok di tangan, mereka menyerbu Toat-Beng Hui-Houw. Kakek yang mengerikan ini hanya tertawa bergelak dan begitu tubuhnya bergerak didahului oleh kedua tangannya yang berkuku panjang, tiga orang Piauwsu roboh tak bernyawa pula! Melihat kehebatan ini, tujuh orang Piauwsu yang lain lalu melompat ke atas kuda mereka dan melarikan diri dari situ! Kemudian mereka mengadakan perundingan dalam restoran untuk mencari jalan guna menolong Ong Kiat dan Loan Eng dan kemudian datang rombongan anggauta Sin-To-Pang sehingga terjadi pertempuran sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.

   Adapun orang-orang Sin-To-Pang lalu menuturkan bahwa mereka mendengar pula tentang bencana yang menimpa Loan Eng. Mereka menjadi marah sekali. Semenjak mendengar bahwa Loan Eng menikah dengan Ong Kiat, para anggauta Sin-To-Pang ini sudah merasa sakit hati dan tidak senang kepada Hui-To-Piauwkiok. Kini mendengar bahwa Loan Eng mendapat bencana, mereka menganggap bahwa itu adalah kesalahan Ong Kiat, mereka sama sekali tidak tahu bahwa justeru Toat-Beng Hui-Houw turun gunung mengganggu Ong Kiat karena Ong Kiat memperisteri Loan Eng dan karena Loan Eng telah membinasakan Tauw-Cai-Houw, Sute dari Toat-Beng Hui-Houw! Demikianlah, dua rombongan dari Sin-To-Pang dan Hui-To-Piauwkiok itu saling menuturkan apa yang mereka ketahui kepada Sui Ceng dan baru sekarang rombongan Sin-To-Pang mengetahui duduk perkaranya yang sesungguhnya.

   "Hanya ada dua jalan,"

   Kata para Piauwsu itu menutup penuturan mereka.

   "Pertama, kita minta bantuan Bin Kong Siansu dari Kim-San-Pai, dan ke dua, kita minta bantuan Thian-San-Pai untuk menghadapi Toat-Beng Hui-Houw yang lihai."

   Sementara itu, untuk beberapa lama Sui Ceng tak dapat berkata-kata saking marahnya mendengar penuturan tentang bencana yang menimpa diri Ibunya. Kini ia berseru keras dan mencela kata-kata mereka itu.

   "Banyak yang cakap tanpa kerja tiada gunanya. Hayo kalian tunjukkan padaku di mana Ibu di tawan. Menghadapi Siluman tua itu saja, mengapa ribut-ribut minta bantuan orang lain?"

   "Siauw-Pangcu berkata benar! Sin-To-Pang tidak boleh memperlihatkan kelemahan. Hayo, kawan-kawan dari Hui-To-Piauwkiok, kita mengantar Pangcu ke tempat itu dan kita keroyok Siluman itu!"

   Kata orang-orang Sin-To-Pang. Akan tetapi, para Piauwsu yang telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kelihaian Toat-Beng Hui-Houw, menjadi geli melihat sikap Sui Ceng dan para anggauta Sin-To-Pang. Ong Kiat dan Loan Eng sendiri dibantu oleh beberapa orang Piauwsu yang tangguh, masih tidak berdaya menghadapi Siluman tua itu, apalagi anak kecil ini?? Melihat keraguan orang-orang Hui-To-Piauwkiok, Sui Ceng membentak,

   "Apakah kalian takut? Hm, kalau aku berhasil menolong Ayah tiriku, akan kuceritakan kepadanya bagaimana sikap kalian yang pengecut ini!"

   Naik darah para Piauwsu itu mendengar ejekan anak kecil ini.

   "Siapa bilang kami takut? Hayo kita berangkat sekarang juga!"

   Kata mereka. Diam-diam Sui Ceng tersenyum karena ia telah berhasil membangunkan semangat mereka. Orang-orang ini masih belum percaya kepadanya dan perlu ia memperlihatkan kepandaian agar mereka itu menjadi tenang dan bersemangat.

   "Kalian boleh naik kuda dan maju secepatnya. Aku sendiri akan berlari cepat."

   Kembali diam-diam para Piauwsu itu mentertawakan Sui Ceng,

   "Hm, anak ini benar-benar sombong dan keras seperti Ibunya,"

   Pikir mereka, akan tetapi, karena rombongan Sin-To-Pang yang datang berkuda itu pun telah mengaburkan kuda mereka, para Piauwsu itu juga cepat naik ke atas kuda dan menjalankan kuda mereka cepat sekali. Ketika mereka telah keluar dari kota Cin-Leng, bukan main heran hati mereka ketika melihat seorang anak perempuan telah berlari-lari di depan kuda mereka. Ketika mereka memandang dengan penuh perhatian, tak salah lagi, anak kecil itu adalah Bun Sui Ceng adanya! Melihat kehebatan ilmu lari cepat dari Ketua mereka, orang-orang Sin-To-Pang bersorak,

   "Hidup Siauw-Pangcu!"

   Adapun orang-orang Hui-To-Piauwkiok amat kagum dan diam-diam mereka pun menaruh harapan mudah-mudahan Ketua mereka dan isterinya akan tertolong dari tangan Siluman tua itu oleh anak perempuan yang ajaib ini.

   Adapun Sui Ceng yang di depan, segera memberi tanda kepada orang-orang Hui-To-Piauwkiok untuk menjadi penunjuk jalan karena dia sendiri belum tahu di mana adanya sarang Toat-Beng Hui-Houw. Diam-diam Sui Ceng agak khawatir juga, bukan khawatir atau takut menghadapi Toat-Beng Hui-Houw, ah sama sekali tidak. Anak ini keberaniannya malah melebihi Ibunya! Yang ia khawatirkan adalah Gurunya. Ia tadi pergi tidak memberitahukan kepada Kiu-Bwe Coa-Li, dan takut kalau-kalau Gurunya kelak akan menegur dan memarahinya. Ketika tiba di tempat di mana kemarin harinya Loan Eng bertempur melawan Toat-Beng Hui-Houw, mereka semua berhenti dan turun dari kuda. Di situ masih nampak bekas-bekas pertempuran, bahkan mayat para Piauwsu yang tak keburu diambil oleh kawan-kawannya masih bergelimpangan di situ. Kemudian Sui Ceng berseru menantang,

   "Toat-Beng Hui-Houw, lekas keluar! Mari kita bertempur seribu jurus!"

   Akan tetapi, biarpun berkali-kali berteriak, bahkan dibantu oleh para Piauwsu dan anggauta Sin-To-Pang yang memaki-maki, tidak terdengar jawaban dari iblis tua itu. Hanya gema suara mereka saja terdengar dari kanan kiri dan membuat Burung-Burung hutan beterbangan dan binatang-binatang kecil melarikan diri bersembunyi di dalam semak-semak.

   Ke mana perginya Toat-Beng Hui-Houw? Dan bagaimana nasib Loan Eng dan Ong Kiat? Tak jauh dari tempat Sui Ceng dan kawan-kawannya berseru menantang, terdapat sebuah gua besar sekali di bukit batu karang. Gua inilah tempat sembunyi atau sarang Toat-Beng Hui-Houw dan ke dalam gua ini pula dia membawa Loan Eng dan Ong Kiat. Pada saat itu, bukan dia tidak mendengar seruan-seruan yang ramai dari hutan itu, akan tetapi dia lagi asyik dengan perbuatannya yang amat terkutuk dan bukan merupakan perbuatan manusia lagi. Di dalam ruangan sebelah kiri gua itu, Loan Eng rebah di atas pembaringan batu dalam keadaan lumpuh dan tak dapat menggerakkan kaki tangannya karena jalan darahnya sudah dipukul dengan Tiam-hoat (ilmu menotok) oleh iblis tua itu.

   Biarpun ia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, namun Loan Eng masih sadar dan tahu bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang iblis yang jahat sekali. Beberapa kali ia melirik ke dalam ruangan yang suram-suram itu karena mendapat penerangan cahaya matahari yang masuk melalui mulut gua. Akan tetapi ia tidak melihat suaminya, dan dia diam-diam mengeluh. Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh dan masuklah tubuh Toat-Beng Hui-Houw di dalam ruangan itu. Loan Eng mengerahkan seluruh tenaga untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, namun sia-sia belaka, bahkan usahanya ini melemaskan seluruh tubuhnya dan membuat luka di pundaknya terasa sakit sekali, hampir tak tertahankan.

   "Ha-ha-ha! He-he-he! Pek-Cilan, kau telah membunuh Suteku dan sekarang kau sudah terjatuh ke

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   dalam tanganku! Ha-ha-ha, kau benar-benar seperti Bunga Cilan putih. Cantik dan bersih. He-he-he! Darahmu tentu segar dan bersih pula, dan dapat membikin aku muda kembali!"

   Sambil tertawa-tawa, Kakek botak berkuku panjang ini menghampiri pembaringan batu dimana Loan Eng terlentang tak berdaya.

   Lebih dulu Kakek ini meraba kaki tangan Loan Eng, untuk melihat bahwa benar-benar korbannya ini masih berada dalam keadaan lumpuh tertotok sehingga tidak akan dapat melakukan serangan yang tiba-tiba. Kemudian, dia mendekatkan mukanya pada muka Loan Eng yang tentu saja merasa jijik sekali. Akan tetapi apa dayanya? Ia menahan tekanan hatinya dan ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh manusia iblis ini terhadap dirinya. Masih banyak waktu untuk membalas dendam, pikirnya. Tunggu saja kalau aku sampai terbebas. Akan tetapi, perbuatan yang dilakukan oleh Toat-Beng Hui-Houw benar-benar di luar dugaannya. Belum pernah ada seorang manusia, betapa gilanya pun, melakukan perbuatan keji seperti itu. Ketika dia telah mendekatkan mukanya dengan muka Loan Eng,

   Ternyata dia tidak berbuat kurang ajar, bahkan kini mukanya diarahkan ke leher Loan Eng yang berkulit halus. Tiba-tiba Loan Eng merasa betapa mulut Kakek itu menempel pada lehernya, membuat ia merasa ngeri dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia mengira bahwa Kakek ini hanya ingin mencium lehernya. Akan tetapi, tidak tahunya, Kakek ini tidak mau melepaskan lehernya lagi dan sampai lama, mulut Kakek itu masih menempel pada lehernya. Perlahan-lahan, Loan Eng merasa betapa Kakek itu menggunakan giginya untuk menggigit lehernya yang terasa perih, kemudian ia merasa betapa mulut Kakek itu menghisap darah dari luka di leher bekas gigitan! Bukan main ngerinya hati Loan Eng menghadapi perbuatan Kakek seluman ini dan kepalanya menjadi makin pening, tubuhnya makin lemas dan tak lama kemudian, nyonya muda ini menjadi pingsan!

   Toat-Beng Hui-Houw ternyata membuktikan ancamannya. Ia hendak menghisap darah pembunuh Sutenya ini, bukan saja dengan maksud membalas dendam, akan tetapi juga untuk suatu maksud, yakni dia hendak "Mengoper"

   Darah wanita muda yang cantik jelita itu agar supaya dia awet muda! Pikiran dari seorang yang telah lenyap perikemanusiaannya, seorang yang telah berubah menjadi iblis jahat! Setelah kenyang menghisap darah Loan Eng, Toat-Beng Hui-Houw tertawa-tawa dan melompat-lompat keluar, ia merasa telah menjadi muda kembali! Sebetulnya bukan karena isapan darah itu yang dilakukan seperti seorang iblis keji, melainkan karena perasaan dan pikirannya yang sudah tidak normal lagi itulah yang membuat dia merasa seakan-akan menjadi muda kembali! Ia keluar dari gua dan kini dia mendengar suara tantangan yang keluar dari hutan.

   "Ha, ha, ha, segala tikus busuk! Toat-Beng Hui-Houw berada disini, kalian mau apa?"

   Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga Khikang sepenuhnya sehinga terdengar sampai jauh. Seperti tokoh-tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi, Toat-Beng Hui-Houw juga pandai Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), maka tentu saja suaranya ini bergema jauh dan terdengar baik-baik oleh Sui Ceng dan kawan-kawannya. Mendengar suara ini, Sui Ceng lalu melompat dan berlari cepat menuju ke arah suara itu, diikuti oleh kawan-kawannya yang tertinggal jauh. Dengan berkuda saja Piauwsu dan anggauta Sin-To-Pang masih tidak dapat menandingi ilmu lari cepat Sui Ceng, apalagi sekarang mereka berlari biasa! Ketika tiba di depan gua, Sui Ceng melihat seorang Kakek yang mengerikan sedang menari-nari, berlompat-lompatan dan bernyanyi!

   "Aku menjadi muda kembali, muda kembali...! Ha, ha, ha, Toat-Beng Hui-Houw menjadi muda kembali!"

   Untuk sesaat, Sui Ceng tertegun. Yang berada di depannya itu seperti bukan manusia lagi, melainkan seorang iblis yang mengerikan. Namun, Sui Ceng yang baru berusia delapan tahun itu tidak merasa takut sedikit pun juga. Ia bahkan melangkah maju dan menghadapi iblis tua itu dengan sikap tenang dan tabah.

   "Eh, Kakek tua miring otak!"

   Toat-Beng Hui-Houw menghentikan tariannya dan memandang heran. Bagaimana ada seorang anak perempuan kecil berani memakinya?

   "Kaukah Toat-Beng Hui-Houw yang berani menangkap Ibuku dan Ayah tiriku? Lekas lepaskan mereka, barangkali nona kecilmu masih dapat mengampuni dosa-dosamu!"

   Toat-Beng Hui-Houw menggosok-gosok kedua matanya dengan belakang tangan. Mimpikah dia? Atau benar-benar ada seorang gadis cilik yang manis dan elok berdiri dengan gagah dan berani serta mengeluarkan ucapan semacam itu kepadanya? Kemudian ia tertawa bergelak.

   "Jadi kau memang puteri Pek-Cilan? Ha-ha-ha! Memang bunga cantik berbiji manis pula! Agaknya darahmu lebih segar daripada darah Ibumu. Ha, ha, ha! Mari, mari! Kau hendak bertemu dengan Ibumu bukan?"

   Sambil berkata demikian, dia menubruk hendak menangkap Sui Ceng, seperti laku seorang kecil menubruk seekor Burung yang indah. Akan tetapi, alangkah heran hati iblis ini ketika tiba-tiba tubuh kecil itu lenyap dan tahu-tahu sebuah kaki yang kecil mungil dalam sepatu merah bersulam bunga, menendang mukanya! Toat-Beng Hui-Houw terkejut dan heran, cepat dia miringkan kepalanya, akan tetapi ternyata bahwa tendangan ini adalah tendangan pancingan belaka dan sebelum Toat-Beng Hui-Houw sempat mengelak, perutnya telah kena ditendang oleh lain kaki yang sama mungilnya!

   "Buk!"

   Kaki Sui Ceng tepat mengenai perut, akan tetapi bukan Toat-Beng Hui-Houw yang roboh, melainkan tubuh Sui Ceng sendiri yang terlempar ke belakang! Akan tetapi, bagaikan seekor Burung walet, gadis cilik ini dapat berpoksai (membuat salto) di udara dan turun dengan ringan sekali.

   Kalau tadi Toat-Beng Hui-Houw sampai terkena tendangan Sui Ceng, bukan karena dia kurang lihai melainkan karena Kakek ini memandang rendah rendah dan tidak mengira sama sekali bahwa bocah ini akan dapat melakukan gerakan sehebat itu! Sui Ceng ketika ditubruk tadi, secepat kilat melakukan gerakan melompat Can-Liong-Seng-Thian (Naga Terbang Naik ke Langit), kemudian ia melakukan tendangan Ji-Liong-Twi (Tendangan Sepasang Naga) yang bertubi-tubi sehingga berhasil menendang perut lawannya. Akan tetapi, yang ditendangnya tertawa saja sedangkan dia sendiri terpental jauh. Bukan main kagetnya Sui Ceng dan anak ini maklum bahwa tenaga dan kepadaian lawannya benar-benar hebat sekali. Sebaliknya Toat-Beng Hui-Houw juga kagum menyaksikan kegesitan anak perempuan ini, dan kalau saja dia tahu bahwa anak ini adalah murid Kiu-Bwe Coa-Li, tentu akan lenyap keheranannya dan terganti oleh kekagetan hebat.

   "Anak manis, aku harus mendapatkan darahmu!"

   Katanya berkali-kali dan dia menubruk lagi. Namun berkat kegesitan dan ginkangnya yang luar biasa, Sui Ceng lagi-lagi dapat menghindarkan diri. Pada waktu itu, rombongan Piauwsu dan anak buah Sin-To-Pang telah datang di situ dan mereka menonton pertempuran dengan mata terbelalak kagum. Anggauta-anggauta Sin-To-Pang merasa bangga melihat "Siauw-Pangcu"

   Mereka itu berani menghadapi Toat-Beng Hui-Houw dengan tangan kosong. Melihat betapa Kakek itu seperti seekor Harimau buas menubruk ke sana-sini, sedangkan tubuh Sui Ceng bagaikan seekor Burung walet beterbangan dan berkelit cepat sekali, mereka itu tak terasa pula meleletkan lidah saking kagum dan tegangnya.

   Kalau Toat-Beng Hui-Houw bermaksud membunuh Sui Ceng, tentu takkan sukar baginya. Biarpun untuk menjamah tubuh anak ini sukar sekali karena memang kegesitan Sui Ceng dapat mengimbangi kegesitan lawannya yang berjuluk Harimau Terbang, namun kalau dia mau, dengan hawa pukulan tangannya, dia dapat merobohkan gadis cilik ini. Akan tetapi pada saat itu, Toat-Beng Hui-Houw mendapat pikiran lain. Ia menghisap darah Loan Eng hanya karena ingin membalas sakit hati atas kematian Sutenya dan ingin awet muda. Kini melihat Sui Ceng yang masih terhitung anak-anak, dia takut kalau-kalau dia berubah menjadi anak-anak pula jika dia menghisap darah anak ini! Memang bodoh, gila, dan jahat adalah sekeluarga, dan Kakek ini telah memiliki ketiga-tiganya.

   "Aku tidak mau isap darahmu! Aku akan menangkapmu, memlihara dalam sangkar, kau Burung cantik!"

   Katanya berkali-kali dan kini dia menyerang dengan kedua tangannya. Alangkah herannya hati Sui Ceng ketika melihat betapa kini sepuluh jari tangan iblis tua itu seperti tidak berkuku lagi. Ternyata bahwa kuku-kuku jarinya terlah dapat digulung ke dalam! Berkali-kali dia mendesak hendak menangkap tanpa melukai tubuh Sui Ceng, namun hal ini benar-benar tidak mudah. Sui Ceng telah mendapat gemblengan dari Kiu-Bwe Coa-Li, dan dalam hal ginkang dan kegesitan, memang semenjak kecil gadis cilik yang lincah ini berbakat baik.

   Para Piauwsu dan anak buah Sin-To-Pang ketika melihat betapa Sui Ceng terdesak, sambil berteriak-teriak nekat mereka lalu menyerbu dengan golok di tangan. Baik anggauta Sin-To-Pang (Perkumpulan Golok Sakti), maupun para Piauwsu dari Hui-To-Piauwkiok (Expedisi Golok Terbang) adalah ahli-ahli senjata golok, maka kini belasan batang golok berkilauan dan bergerak-gerak mengurung Toat-Beng Hui-Houw. Otomatis Sui Ceng juga terkurung karena dua orang ini bertempur sedemikian cepatnya sehingga mereka seakan-akan menjadi satu bayangan besar! Para pengeroyok itu menjadi bingung. Mereka hanya berteriak-teriak saja dan tidak berani sembarangan turun tangan, karena baru sedetik mereka melihat bayangan lawan, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan berganti oleh bayangan Sui Ceng! Kedua orang ini berputaran, melompat ke sana ke mari, bagaimana mereka dapat membantu Sui Ceng?

   "Jangan Bantu aku! Jangan datang dekat!"

   Sui Ceng berseru, akan tetapi terlambat. Ketika tubuh Toat-Beng Hui-Houw tiba-tiba menerjang ke arah para pengeroyok sambil meninggalkan Sui Ceng terdengar jeritan berturut-turut dan empat orang pengeroyok roboh tak bernyawa lagi!

   "Siluman tua, kau kejam sekali!"

   Teriak Sui Ceng. Anak ini secepat kilat menyambar sebatang golok dari seorang Piauwsu yang roboh, lalu ia menerjang lagi ke depan dengan nekat, memutar golok sehingga merupakan segunduk sinar yang menyilaukan.

   "Ha, ha, ha, Burung cantik, kau harus menjadi peliharaanku!"

   Kata Toat-Beng Hui-Houw sambil menghadapi serangan-serangan Sui Ceng dengan tenang. Adapun para pengeroyok, ketika melihat betapa empat orang kawan mereka terbunuh dengan demikian mudahnya, serta mendengar perintah Sui Ceng, lalu mengundurkan diri dan menonton dari jauh saja. Mereka bukan merasa takut atau tidak mau membantu,

   Akan tetapi mereka maklum sepenuhnya bahwa bantuan mereka itu sia-sia belaka dan tidak akan dapat menolong, bahkan mereka pasti akan mengantarkan nyawa dengan cuma-cuma saja. Gerakan Sui Ceng sekarang tidak secepat dan segesit tadi. Hal ini karena sekarang gadis cilik ini memegang sebatang golok yang besar dan berat. Tadinya Sui Ceng sengaja mengambil golok karena ia hendak bertempur mati-matian mengadu jiwa, akan tetapi sebaliknya, dengan golok di tangan ia mendatangkan kerugian pada dirinya sendiri. Golok itu terhadap Toat-Beng Hui-Houw tidak ada artinya sama sekali, sebaliknya menghambat gerakan sendiri. Dalam beberapa jurus saja, sambil tertawa-tawa, Toat-Beng Hui-Houw telah berhasil menangkap pinggangnya dan sekali dia menotok jalan darah Thian-Hu-Hiat, lemaslah tubuh Sui Ceng dan golok itu terlepas dari pegangan!

   Pada saat itu, menyambarlah beberapa sinar halus sekali. Sinar ini adalah bulu-bulu halus dan panjang yang sekaligus menyerang Toat-Beng Hui-Houw di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian dari bulu-bulu halus ini melibat tubuh Sui Ceng dan sekali renggut, tubuh Sui Ceng telah terlepas dari pegangan Toat-Beng Hui-Houw dan melayang ke depan! Toat-Beng Hui-Houw terkejut bukan main menghadapi serangan ini. Ia telah terkejut dan jerih melihat macam senjata yang menyerangnya, karena dari senjata ini saja tahulah dia bahwa yang datang menyerangnya adalah Kiu-Bwe Coa-Li! Kalau ada rasa takut dalam dada Toat-Beng Hui-Houw manusia Siluman ini, maka rasa takut itu mungkin hanya di tujukan kepada lima orang tokoh besar di kalangan kang-ouw, di antaranya ialah Kiu-Bwe Coa-Li ini!

   "Kiu-Bwe Coa-Li, mengapa kau mencampuri urusanku, sedangkan aku selamanya belum pernah mengganggumu?"

   Katanya penasaran sambil melompat ke belakang,

   Jerih menghadapi pecut sembilan bulu dari Kiu-Bwe Coa-Li yang kini sudah berdiri di hadapannya dan menggandeng tangan Sui Ceng yang sudah dibebaskan dari totokan pula. Diam-diam Kiu-Bwe Coa-Li mengerti mengapa muridnya sampai kalah oleh Toat-Beng Hui-Houw. Tadi datang-datang melihat muridnya berada dalam pelukan Kakek Siluman itu, ia lalu melakukan serangan pecutnya yang paling dan jarang sekali ada orang mampu menghindarkan diri, yakni ilmu serangan Kiu-seng-kan-Goat (Sembilan Bintang Mengejar Bulan). Sembilan helai bulu pecutnya menyerang dari berbagai jurusan. Akan tetapi ia hanya berhasil merampas kembali muridnya dan sama sekali tidak berhasil melukai Kakek itu. Dari sini saja ia ketahui bahwa kepandaian Kakek itu jauh lebih tinggi daripada kepandaian muridnya.

   "Siluman jahat, apa matamu sudah menjadi buta?"

   Jawab Kiu-Bwe Coa-Li dan sepasang matanya mengeluarkan sinar membakar.

   "Kau berani mengganggu murid Pinni (muridku), maka sekarang kau harus mati!"

   
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bukan main kagetnya, Toat-Beng Hui-Houw.

   "Dia ini muridmu...? Ah, Kiu-Bwe Coa-Li, sungguh mati aku tidak tahu bahwa dia muridmu. Akan tetapi, bukankah aku tidak mengganggunya? Kalau aku bermaksud mengganggunya apakah sekarang ia masih dapat bernapas?"

   "Kau memang tidak melukainya, akan tetapi kau telah menghinanya, berarti kau menghinaku pula. Bersiaplah untuk mati!"

   Kembali Kiu-Bwe Coa-Li menggerakkan pecutnya, melakukan serangan dengan cara ganas dan tidak mengenal ampun sama sekali. Memang watak Kiu-Bwe Coa-Li luar biasa ganasnya. Sekali ia turun tangan, ia takkan merasa puas kalau lawannya belum roboh binasa! Toat-Beng Hui-Houw bukannya orang lemah. Bangkit rasa penasarannya. Ia memang segan bertempur melawan Kiu-Bwe Coa-Li dan tentu dia bersedia mengalah jika berurusan dengan orang yang dia anggap memiliki kedudukan lebih tinggi itu. Akan tetapi kalau dia didesak, dia terpaksa melawan.

   "Kiu-Bwe Coa-Li, kau terlalu sekali. Kau kira aku Toat-Beng Hui-Houw takut menghadapi Kiu-bwe-Joan-Pianmu (Pecut Berbulu Sembilan)?"

   "Siapa peduli takut atau tidak? Aku hanya ingin kau mampus, habis perkara!"

   Kiu-Bwe Coa-Li mendesak terus. Toat-Beng Hui-Houw mengeluarkan suara keras dan kini sepuluh kuku jari tangannya telah mulur kembali, panjang-panjang, tajam dan runcing mengerikan!

   Ia cepat mengelak dari serangan lawannya dan membalas dengan serangan pukulan yang mendatangkan hawa dingin dan berbau amis. Ternyata bahwa Siluman tua ini telah mengeluarkan pukulan-pukulan maut disertai bisa yang keluar dari hawa pukulan kukunya ini! Kalau tadi dia mengeluarkan ilmu ini, dalam beberapa jurus saja Sui Ceng tentu telah roboh binasa. Menghadapi pukulan-pukulan hebat ini, Kiu-Bwe Coa-Li pertama-tama mendorong tubuh muridnya sehingga Sui Ceng terpental dan terpaksa melompat jauh ke pinggir, kemudian wanita sakti ini lalu memutar pecutnya sampai berbunyi mengaung dan kadang-kadang diselingi suara "tar! tar!"

   Dan dari pecutnya yang berekor sembilan ini keluar hawa yang menyambar-nyambar dan yang menolak hawa pukulan berbisa dari Toat-Beng Hui-Houw. Para Piauwsu dan anggauta Sin-To-Pang, semenjak tadi berdiri seperti patung.

   Munculnya seorang Tokouw yang memegang pecut ini saja sudah membuat mereka heran sekali, karena tak seorang pun di antara mereka melihat kedatangannya. Kemudian cara pecut Tokouw itu merampas Sui Ceng dan kemudian mendengar bahwa Tokouw ini adalah Kiu-Bwe Coa-Li yang tersohor dan menjadi Guru Sui Ceng, mereka makin terbelalak. Sekarang, setelah pertandingan antara Toat-Beng Hui-Houw dan Kiu-Bwe Coa-Li berlangsung, mereka menjadi bengong dan melongo. Pertandingan ini menurut pendapat mereka bukanlah pertempuran orang-orang pandai, karena keduanya berdiri tidak pernah berpindah dari tempat masing-masing dan hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak-gerak cepat sekali ke depan. Hampir saja ada yang tertawa menyaksikan pertandingan ini, karena gerakan kedua orang tua itu seakan-akan mereka sedang membadut.

   Akan tetapi, Sui Ceng menonton dengan wajah penuh ketegangan. Ia maklum bahwa permainan cambuk dari Gurunya sedang dihadapi oleh lawan dengan ilmu pukulan Lweekang yang tinggi sekali tingkatnya. Ketika orang tua itu sedang bertempur mengandalkan hawa pukulan Lweekang, maka mereka hanya berdiri berhadapan dan saling memukul dari jauh, sama sekali tidak mengubah kedudukan kaki. Akan tetapi, beberapa lama kemudian, Toat-Beng Hui-Houw terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya, karena bulu-bulu pecut Kiu-Bwe Coa-Li makin lama makin mendesaknya, makin lama makin dekat serangan ujung cambuk itu, terus mendesak hawa pukulannya yang hendak menentangnya. Ia maklum bahwa kalau sampai ujung cambuk itu mengenai tubuhnya, sukarlah baginya untuk menyelamatkan diri lagi. Ia cukup kenal akan kelihaian totokan ujung cambuk di tangan Kiu-Bwe Coa-Li, seorang di antara tokoh besar dunia persilatan.

   "Cukup, Siluman betina! Kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain kali aku akan mengalahkanmu!"

   Kata Toat-Beng Hui-Houw sambil melompat mundur.

   "Keparat pengecut! Kau belum mampus, bagaimana bisa bilang cukup?"

   Seru Kiu-Bwe Coa-Li sambil mengejar dan melakukan serangan kilat.

   Toat-Beng Hui-Houw cepat mengerahkan tenaganya menangkis sambil melompat jauh, namun tetap saja sebuah daripada sembilan ekor pecut itu dengan tepat menghantam pahanya. Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan Lweekangnya ke arah bagian tubuh ini sehingga ketika pecut itu dengan suara nyaring menampar paha, hanya kain dan kulitnya saja yang pecah, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam. Gentarlah Toat-Beng Hui-Houw. Ia melompat dan menyambar sebatang pohon besar. Sekali cabut saja jebollah pohon itu dan dia melontarkan pohon ke arah Kiu-Bwe Coa-Li yang mengejarnya! Terpaksa Kiu-Bwe Coa-Li melompat pergi dari sambaran pohon yang besar itu, dan ketika hendak melanjutkan pengejarannya, ia teringat kepada muridnya.

   "Mari, Sui Ceng, kita kejar Siluman itu!"

   Katanya sambil menggandeng tangan muridnya. Akan tetapi Sui Ceng menarik tangannya dan berkata,

   "Nanti dulu, Suthai. Teecu harus menolong Ibu lebih dulu."

   Kiu-bwe Coa-li menghentikan langkahnya.

   "Ibumu? Di mana dia?"

   "Dia telah tertawan oleh Toat-Beng Hui-Houw. Karena itulah maka Teecu datang ke tempat ini. Mungkin Ibu disembunyikan di dalam gua itu."

   Sui Ceng menunjuk ke arah gua. Kiu-Bwe Coa-Li mengerutkan keningnya. Ia sudah tahu akan kejahatan Toat-Beng Hui-Houw dan kalau orang terjatuh ke dalam tangan Siluman itu, jangan harap akan tertolong lagi jiwanya.

   "Kalau begitu, kita harus cepat-cepat melihat dan memeriksa gua itu,"

   Katanya.

   Guru dan murid ini lalu berlari-lari memasuki gua. Para Piauwsu dan anggauta Sin-To-Pang, juga mendekati gua, akan tetapi mereka tidak berani lancang memasuki gua, hanya menanti dan berkumpul di luar gua sambil membicarakan pertempuran dahsyat yang tadi mereka saksikan. Adapun Sui Ceng dan Gurunya yang memasuki gua, mendapat kenyataan bahwa gua itu lebar sekali dan di dalamnya terbagi-bagi menjadi tiga ruang. Mereka memasuki ruang sebelah kiri dan membuka pintu ruang itu yang terbuat daripada kayu. Cahaya yang memasuki ruangan ini suram-suram saja, namun Sui Ceng segera mengenal tubuh yang terbaring membujur di atas pembaringan batu, karena yang terlentang itu bukan lain adalah Loan Eng, Ibunya sendiri!

   "Ibu...!"

   Sui Ceng melompat dan menubruk Ibunya. Kiu-Bwe Coa-Li yang berdiri di belakang muridnya, lalu mengulur tangan dan dengan beberapa totokan di jalan darah nyonya muda yang nampak lemas dan tidak berdaya lagi itu, dapatlah Loan Eng menggerakkan tubuhnya. Akan tetapi ia sudah demikian lemas sehingga hampir tidak kuat mengangkat tangannya. Ternyata bahwa darahnya hampir habis terhisap oleh Toat-Beng Hui-Houw, manusia iblis itu!

   "Ibu... kau kenapakah...??"

   Sui Ceng menggoyang-goyang tubuh Ibunya dan memandang dengan mata terbelalak.

   "Sui Ceng... kau datang...?"

   Suara Loan Eng lemah sekali, dan hanya kedengaran seperti bisik-bisik saja.

   "Kebetulan sekali... aku ada pesan untukmu..."

   "Suthai, tolong Ibuku, mengapa dia begitu lemah?"

   Kata Sui Ceng tanpa mempedulikan kata-kata Ibunya, karena ia tidak mau percaya bahwa Ibunya akan mati. Kiu-Bwe Coa-Li memegang pergelangan tangan Loan Eng, dan ia nampak terkejut, lalu menggeleng-gelengkan kepala dan ketika ia memeriksa leher sebelah kiri dari nyonya muda itu, terdengar wanita sakti ini menggertakkan giginya.

   "Jahanam benar..."

   Bisiknya. Ternyata bahwa kulit leher dari Loan Eng yang putih halus itu kini telah terluka dan di luar luka ini masih terdapat tanda gigitan dan darah-darah yang telah mengering!

   "Ibumu takkan tertolong lagi, Sui Ceng. Dia telah kehabisan darah,"

   Katanya tenang. Mendengar ini, Sui Ceng menubruk Ibunya dan menangis.

   "Sui Ceng, anakku selamanya takkan menangis sedih,"

   Kata Loan Eng. Mendengar tangis anaknya, agaknya Loan Eng mendapat tambahan tenaga baru.

   "Agaknya aku memang memang harus menebus dosaku kepada kematian ayahmu yang kubunuh sendiri. Aku berpesan kepadamu, Sui Ceng. Kelak kau harus menjadi jodoh murid ke dua dari Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai, karena aku telah menerima pinangan orang tua itu. Nama murid itu The Kun Beng. Nah... hanya sekian pesanku...!"

   Loan Eng makin lemas.

   "Ibu..., aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini. Akan kucincang hancur tubuh iblis itu...!"

   Kata Sui Ceng di antara tangisnya. Biarpun tubuhnya telah lemas sekali, mendengar kata-kata anaknya, Loan Eng memaksa bibirnya tersenyum. Ia merasa senang dan bangga melihat sikap puterinya yang gagah.

   "Kau akan berhasil, Sui Ceng, di bawah pimpinan Gurumu yang sakti... dan tentang Sin-To-Pang... kau... benar, perkumpulan mendiang ayahmu itu amat baik..., mereka telah berusaha menolongku... jadilah ketua yang baik kelak...! Sui Ceng, jangan lupa kau tunangan The Kun Beng murid Pak-Lo-Sian... nah, selamat tinggal, anakku..."

   Habislah tenaga nyonya itu dan Pek-Cilan Thio Loan Eng, pendekar wanita yang cantik dan gagah perkasa itu, menghembuskan napas terakhir dalam pelukan puterinya.

   "Ibu..., Ibu...!"

   Sui Ceng menangis, kemudian dengan mata beringas ia bangkit berdiri dan berdongak ke atas sambil berkata,

   "Toat-Beng Hui-Houw, manusia iblis. Tunggulah, akan tiba saatnya aku Bun Sui Ceng menghancurkan kepalamu!"

   "Tenanglah, Sui Ceng. Apa sih sukarnya membikin mampus manusia seperti Toat-Beng Hui-Houw itu? Sekarang juga aku dapat mengejarnya dan membikin tamat riwayatnya,"

   Kata Kiu-Bwe Coa-Li yang merasa kasihan kepada muridnya yang tersayang itu.

   "Tidak, Suthai, dia tidak boleh mati di tanganmu atau di tangan siapa juga. Teecu sendiri yang akan membalaskan sakit hati ini."

   Kiu-Bwe Coa-Li mengangguk-angguk.

   "Boleh saja, Sui Ceng. Asal kau belajar dengan rajin, tak lama lagi kau akan dapat melaksanakan cita-citamu ini. Juga baik-baik saja kau menjadi Ketua Sin-To-Pang. Hanya aku agak menyesal mengapa Ibumu begitu tergesa-gesa mejodohkan kau dengan murid Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai."

   Sui Ceng tidak menjawab karena di dalam hati gadis cilik ini sama sekali belum ada pikiran tentang jodoh, bahkan ia menganggap Ibunya tadi bersenda gurau saja. Ia lalu melanjutkan pemeriksaan di dalam gua. Di kamar lain, mereka mendapatkan tubuh Ong Kiat, juga telah tewas dengan tubuh penuh luka-luka. Biarpun ketika Ong Kiat masih hidup, Sui Ceng tidak suka kepada Piauwsu ini karena telah mengawini Ibunya, namun kini melihat Piauwsu muda itu yang telah menjadi Suami Ibunya tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan, ia berlutut pula dan berkata perlahan dengan janji bahwa dia akan membalaskan sakit hati mendiang Ayah tirinya ini. Kemudian Sui Ceng dan Gurunya keluar dari gua, disambut oleh para anggauta Sin-To-Pang dan para Piauwsu yang memandang penuh hormat.

   "Saudara-saudara sekalian, Ibu dan Ayah telah tewas di tangan iblis itu. Kelak aku sendiri yang akan membalas sakit hati dan membunuh iblis keparat itu, supaya kalian semua bertenang hati. Sekarang, lakukanlah tugas kewajiban masing-masing, dan tunggu sampai aku datang untuk memimpin Sin-To-Pang. Adapun para Piauwsu, terserah, hendak menjadi anggauta Sin-To-Pang baik saja, mau melanjutkan pekerjaan sebagai Piauwsu pun boleh. Hanya pesanku, baik Hui-To-Piauwkiok maupun Sin-To-Pang, harus bekerja sama dalam segala hal. Ingat bahwa akulah yang mewarisi keduanya dan aku pula yang bertanggung jawab atas segala sepak terjang kalian!"

   Para anggauta Sin-To-Pang dan anggauta Hui-To-Piauwkiok, menjadi sedih sekali mendengar betapa Ketua mereka telah tewas,

   Namun melihat sikap dan mendengar ucapan Sui Ceng yang benar-benar gagah dan bersemangat, yang sesungguhnya mengherankan sekali keluar dari mulut anak masih demikian hijau, terbangunlah semangat mereka dan serentak menyatakan setuju. Jenazah Loan Eng dan Ong Kiat diurus dan dirawat baik-baik. Setelah memberi hormat terakhir kepada makam Ibu dan Ayah tirinya, Sui Ceng lalu melanjutkan perjalanannya mengikuti Gurunya. Semenjak saat itu, Sui Ceng makin tekun belajar dan semua ilmu kepandaian dari Kiu-Bwe Coa-Li direnggut dan diteguknya seperti seorang kehausan minum air segar. Juga ia dan Gurunya tekun mempelajari ilmu silat aneh yang mereka dengar dari Tu Fu yang membacakan kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng. Sebagaimana diketahui, isi kitab ini sebenarnya palsu dan di dalamnya terkandung pelajaran ilmu silat dan latihan tenaga dalam secara terbalik.

   Kalau sekiranya Sui Ceng sendiri yang melatih diri menurut bunyi kitab ini, tentu ia akan mendapatkan kepandaian palsu yang membahayakan tubuhnya seperti halnya Kwan Cu. Akan tetapi, ia berada di bawah asuhan Kiu-Bwe Coa-Li, seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat tinggi kepandaiannya. Maka tentu saja Kiu-Bwe Coa-Li tidak dapat tertipu dan Nenek yang sakti ini tahu bagaimana harus melatih ilmu silat aneh ini tanpa merusak tenaga sendiri. Cara melatihnya bukan seperti yang dilakukan oleh Lu Kwan Cu, yang menjiplak begitu saja dan menelan semua pelajaran tanpa dipilih lagi. Kiu-Bwe Coa-Li tidak berlaku sembrono dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia tahu mana yang tidak betul dan mana yang berguna. Oleh karena itu, di antara pelajaran-pelajaran yang masih ia ingat bersama muridnya, ia saring dan pilih lagi, memilih mana yang sekiranya berguna dan dapat di pakai untuk mempertinggi kepandaiannya.

   Melihat ketekunan muridnya, Kiu-Bwe Coa-Li girang sekali dan Nenek sakti ini membatalkan niatnya hendak mencoba ilmu silat barunya kepada seorang di antara tokoh-tokoh besar, bahkan ia lalu mengajak muridnya tinggal di puncak Bukit Wu-Yi-San yang berada di Tiongkok Selatan, perbatasan Propinsi Hok-Kian dan Kiang-Si. Kiu-Bwe Coa-Li memang berasal dari Hok-Kian, maka ia disebut tokoh besar Selatan yang ke dua. Sebagaimana di ketahui, tokoh besar Selatan pertama adalah Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, yang merantau di seluruh propinsi Selatan dan tidak tentu tempat tinggalnya. Sementara itu, Hek-I Hui-Mo dengan cepat membawa lari Lai Siang Pok yang menjadi ketakutan dan kaget setengah mati itu. Anak ini menangis dan minta dengan suara menyedihkan agar supaya dia dilepaskan kembali, namun Hek-I Hui-Mo menjawab,

   "Kau ingat baik-baik semua isi kitab yang di baca oleh Tu-Siucai tadi, baru kau ada harapan untuk hidup terus!"

   Mendengar ini Siang Pok mengerti bahwa Kakek yang menyeramkan ini benar-benar membutuhkan bantuan untuk mengingat bunyi isi kitab tadi, maka karena maklum bahwa hal itulah satu-satunya jalan baginya untuk dapat menolong diri sendiri dari bahaya, dia lalu mengumpulkan seluruh ingatan dan perhatiannya kepada bunyi isi kitab yang aneh itu. Lai Siang Pok adalah seorang anak yang amat cerdik luar biasa dan semenjak kecil dia telah digembleng oleh Ayah bundanya dalam ilmu kesusastraan. Oleh karena itu, dia sudah biasa menghafal, dan biarpun tadi dia mendengarkan isi kitab yang dibaca oleh Tu Fu dengan setengah hati saja, namun dia telah hampir dapat mengingat semuanya! Setelah jauh dari kota Kai-Feng, Hek-I Hui-Mo menurunkan Lai Siang Pok dan berkata,

   "Coba kau sekarang mengulang kembali isi kitab itu, hendak kudengar apakah kau ada gunanya bagiku atau tidak!"

   Siang Pok mengumpulkan ingatannya lalu mengulang apa yang tadi didengarnya. Mendengar ini, Hek-I Hui-Mo menjadi girang sekali karena apa yang diingat olehnya sendiri dari isi kitab itu, ternyata tidak ada seperempatnya dari apa yang dapat diingat oleh Siang Pok!

   

Jodoh Si Mata Keranjang Eps 22 Kumbang Penghisap Kembang Eps 27 Kumbang Penghisap Kembang Eps 34

Cari Blog Ini