Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 34


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 34



Mendengar ini, Kui Hong mengerutkan alisnya. Ia masih menganggap bahwa Ki Liong berpura-pura atau bersandiwara agar ia merasa iba. Maka ia berkata lantang,

   "Bagus, kalau begitu, biar aku mewakili kakek dan nenek memberi hukuman mati, hitung-hitung aku melenyapkan seorang manusia iblis yang mengacaukan dunia!"

   Ia melangkah maju dan Ki Liong menundukkan kepala, seolah menjulurkan lehernya, siap untuk menerima pancungan pedang Kui Hong.

   "Enci Kui Hong, jangan...!!"

   Tiba-tiba Mayang meloncat meninggalkan Ang-hong-cu dan teriakan ini mengejutkan Kui Hong sehingga ia menahan gerakan pedangnya. Mayang kini berdiri di depan Kui Hong, membelakangi Ki Liong yang masih berlutut.

   "Enci Kui Hong, jangan bunuh dia!"

   Kui Hong mengerutkan alisnya dan memandang dengan galak.

   "Mayang, dia seorang yang jahat sekali! Minggirlah, dia harus dilenyapkan dari permukaan bumi!"

   "Tidak, enci Kui Hong! Biarpun dia pernah tersesat, namun dia telah menyadarinya dan bertaubat. Bahkan dia telah menyelamatkan aku. Tidak, kalau engkau memaksa hendak membunuhnya, kau bunuh aku lebih dulu, enci Kui Hong!"

   Ucapan Mayang ini membuat Ki Liong terbelalak dan sinar kegembiraan memancar dari sepasang matanya.

   "Adik Mayang, jangan engkau membelaku seperti itu. Aku tidak berharga..."

   "Mayang, minggir kau!"

   Kui Hong membentak.

   "Tidak, enci!"

   Suara Mayang tegas sekali sehingga Kui Hong tertegun.

   "Aih, Mayang. Ada apa dengan engkau? Kenapa engkau mendadak melindungi Sim Ki Liong?"

   Tanyanya, penasaran.

   "Enci Kui Hong, karena dia mencintaku, dan aku... aku cinta padanya. Aku pernah mencinta Hay-koko, akan tetapi ternyata kami masih saudara seayah sehingga terpaksa aku berpisah darinya. Sekarang, jangan engkau memaksa aku berpisah pula dari orang yang kucinta."

   Semua orang terbelalak, kagum akan keberanian dan ketulusan hati gadis peranakan Tibet itu, juga terharu. Akan tetapi Kui Hong yang marah sekali kepada Ki Liong, mengerutkan alisnya.

   "Mayang, jangan memaksa aku untuk merobohkanmu lebih dulu agar aku dapat membunuh keparat itu."

   "Aku bersedia mati bersama dia, enci Kui Hong!"

   Pada saat yang menegangkan itu, Hay Hay sedang bertanding lagi melawan Ang-hong-cu. Akan tetapi telinganya mendengar dan mengikuti perdebatan itu dan hatinya menjadi gelisah bukan main. Dia tahu bahwa ada hubungan kasih antara Sim Ki Liong dan adiknya, dan kini bahkan adiknya membuat pengakuan yang demikian terbuka bahwa iapun mencinta pemuda itu. Dan mendengar suara Kui Hong agaknya berkeras hendak membunuh Ki Liong, Hay Hay menjadi semakin khawatir. Karena perhatiannya terpecah, bahkan sebagian besar ditujukan ke arah adiknya dan Kui Hong, maka perlawanannya terhadap desakan Ang-hong-cu menjadi lemah dan diapun terdesak. Saking khawatirnya, Hay Hay meloncat ke belakang dan menoleh ke arah Kui Hong.

   "Hong-moi..., jangan bunuh dia. Dia telah membantu kami melawan para penjahat..."

   "Cratt... aughhh...!"

   Hay Hay sudah mengelak namun tetap saja pangkal lengan kirinya tersabet pisau di ujung rantai yang digerakkan Ang-hong-cu Tang Bun An secara curang karena dia melihat kesempatan baik sekali ketika Hay Hay meloncat dan menoleh ke arah Kui Hong tadi. Hay Hay terhuyung dan melihat ini, Si Kumbang Merah menerjang dengan senjatanya. Kaitan itu menyambar ganas ke arah leher Hay Hay.

   "Tranggg...!"

   Kaitan itu membalik ketika ditangkis oleh pedang di tangan Kui Hong yang sudah menolong Hay Hay.

   "Ang-hong-cu iblis busuk! Engkau curang dan pengecut!"

   Bentak Kui Hong sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu sedangkan pedang Gin-hwa-kiam siap di tangan kanan. Ang-hong-cu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, Cia Kui Hong! Katanya engkau ketua Cin-ling-pai, akan tetapi ternyata hanya menjadi seorang pengeroyok. Siapa yang curang dan pengecut? Ha-ha, nona manis, engkau boleh membantu Hay Hay dan bersama dia mengeroyok aku!"

   "Hong-moi, mundur. Aku masih sanggup menghadapinya!"

   Kata Hay Hay setelah memberi obat bubuk kepada luka di pangkal lengan kirinya. Kui Hong memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut.

   "Akupun tidak sudi mengeroyok, dan akupun percaya bahwa engkau tentu akan dapat mengalahkannya, Hay-ko. Dan aku percaya engkau harus tahu bahwa kebenaran dan keadilan harus ditegakkan, penjahat harus di hukum, tidak perduli siapapun dia! Hubungan keluarga tidak mempengaruhi keadilan!"

   Setelah berkata demikain, Kui Hong melangkah mundur. Gadis ini melihat betapa tadi ketika membantu Mayang, Hay Hay sama sekali tidak pernah menyerang Ang-hong-cu, seolah-olah dia tidak tega dan sengaja mengalah terhadap ayah kandungnya itu. Karena itu kini ia mengingatkan Hay Hay agar tidak lemah. Ialah orangnya yang akan merasa menyesal dan kecewa bukan main kalau sampai Hay Hay melupakan kebenaran dan keadilan karena hubungan keluarga dan sengaja melindungi ayah kandungnya yang jahat sekali itu. Hay Hay memandang kepada Kui Hong dan dua pasang mata itu saling tatap, dua pasang sinar mata bertaut sebentar.

   "Aku mengerti, Kui Hong!"

   Kini Hay Hay menghadapi Ang-hong-cu dan begitu dia mengeluarkan suara melengking nyaring yang memekakkan telinga dan mengguncang jantung, diapun menerjang dengan pedang Hong-cu-kiam diputar cepat. Nampak sinar emas bergulung-gulung, menyambar ke arah Ang-hong-cu yang cepat menyambut dengan senjata rantainya.

   "Tranggg! Cringgg...!"

   Si Kumbang Merah terkejut bukan main karena kini Hay Hay menggunakan tenaga sakti yang amat dahsyat sehingga ketika kedua ujung rantainya bertemu dengan pedang, dua senjata itu, pisau dan kaitan, menjadi patah! Sinar pedang emas itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, demikian cepatnya sehingga kembali Ang-hong-cu menangkis dengan rantainya yang dipegang kedua tangan pada ujung yang sudah tidak ada senjatanya lagi.

   "Tranggg...!"

   Rantai itu putus menjadi dua dan tubuh Ang-hong-cu terjengkang lalu dia bergulingan sampai jauh. Dia melompat bangun, wajahnya berubah pucat matanya terbelalak, akan tetapi wajah itu menjadi merah kembali dan dia tersenyum menyeringai.

   "Bagus, Hay Hay! Engkau memang hebat. Akan tetapi aku belum kalah. Senjataku sudah putus dan tidak ada gunanya lagi, akan tetapi aku masih mempunyai tangan dan kaki!"

   Dia membuang dua potong rantai itu dan mernasang kuda-kuda dengan sikap gagah sekali. Tubuhnya tegak lurus, kaki kanan diangkat sehingga tumitnya menempel lutut kiri, tangan kanan menempel di pinggang dengan jari tangan terbuka, dan tangan kiri sedikit bengkok ke depan, juga dengan jari tangan terbuka.

   Hay Hay menyarungkan pedang Hong-cu-kiam di pinggangnya. Dia adalah seorang gagah yang tidak mau melawan orang bertangan kosong dengan senjata, apa lagi dia memang ingin menangkap Ang-hong-cu, bukan membunuhnya. Melihat Ang-hong-cu masih hendak melawannya dengan tangan kosong, bahkan bersikap menantang, Hay Hay menyimpan pedangnya dan diapun melompat ke depan lawan. Ang-hong-cu menyambut Hay Hay dengan serangan gencar. Dia menyerang dengan kedua tangan terbuka, kadang-kadang menusuk dan kedua tangannya dipergunakan membacok dan menusuk seperti golok, kadang-kadang tangan itu terbuka untuk mencengkeram, dan di lain saat sudah dirobah lagi dengan kepalan yang memukul dahsyat.

   Namun, dalam hal ilmu silat tangan kosong, Hay Hay jauh lebih lihai dibandingkan ayah kandungnya itu. Bukan hanya dia telah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh Delapan Dewa, namun juga semua ilmunya itu menjadi matang oleh gemblengan kakek sakti Song Lojin. Betapapun hebatnya ilmu silat tangan kosong Ang-hong-cu yang memiliki banyak kembangan dan tipu muslihat, namun begitu Hay Hay memainkan ilmu silat Cui-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa Arak), Ang-hong-cu menjadi bingung dan repot sekali. Dia sama sekali tidak mengenal gerakan puteranya itu dan tidak tahu bagaimana perubahannya. Namun, dia melihat betapa lawannya seolah-olah berubah menjadi banyak, padahal Hay Hay sama sekali tidak mempergunakan ilmu sihir .

   Namun Ang-hong-cu tidak mau menyerah begitu saja. Dia mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi, dia sudah terlampau lelah, tenaganya semakin berkurang dan setiap kali mereka mengadu lengan, dia terdorong dan terhuyung ke belakang, dan menyeringai kesakitan. Hay Hay mendesak terus. Kui Hong, Mayang, Han Siong dan Bi Lian hanya menoton dan mereka semua merasa lega dan kagum karena melihat betapa Hay Hay dapat mengungguli lawan yang amat tangguh itu. Dalam kesempatan ini, dengan suara lirih Mayang menceritakan tentang Sim Ki Liong kepada Kui Hong. Ki Liong sendiri berdiri agak menjauh, juga ikut menonton pertandingan, namun lebih banyak menunduk. Baru terbuka benar matanya betapa selama ini dia lebih banyak bergaul dengan orang-orang sesat.

   Hal itu diakuinya, akan tetapi juga dia merasa terpaksa sekali. Dia sudah salah langkah untuk pertama kalinya ketika dia tergila-gila kepada Kui Hong kemudian melarikan diri dari Pulau Teratai Merah dan mencuri pedang pusaka Gin-hwa-kiam. Itulah kesalahannya yang pertama, yang memaksa dia bergaul dengan para penjahat dan orang sesat karena perbuatan itu tidak memungkinkan dia untuk berdekatan dengan para pendekar. Kini baru terasa olehnya betapa ilmu silat dapat mendatangkan perasaan bangga dan bahagia kalau dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, kalau dipergunakan untuk menentang kejahatan. Sebaliknya, kalau dipergunakan untuk mengejar kesenangan nafsu, hidupnya akan berlepotan kejahatan dan tidak akan merasakan ketentraman lagi.

   Pada suatu saat, Hay Hay menerjang lawannya dengan pukulan dari bawah depan. Memang gaya permainannya sama aneh dan sukar diduga. Maklum karena penciptanya adalah Ciu-sian Sin-kai, si pengemis dewa arak sehingga gerakan itu seperti gerakan orang mabok kebanyakan minum arak. Justeru gerakan seperti itu malah membuat lawan menjadi bingung. Ketika melihat tangan Hay Hay meluncur ke arah dadanya dengan gerakan yang aneh dan cepat, sama sekali tidak dapat menghindarkan lagi, Ang-hong-cu menjadi nekat. Dia tidak perduli lagi akan keselamatan dirinya, dan dia menerima begitu saja pukulan itu, akan tetapi membarengi dengan gerakan kedua tangannya mencengkeram ke arah leher Hay Hay dari kanan kiri!

   "Dukk!""

   Dada Ang-hong-cu terpukul.

   "Plakk!"

   Pukulan kedua tangan terbuka dari Ang-hong-cu juga mengenai leher Hay hay, akan tetapi alangkah kagetnya Ang-hong-cu yang merasa betapa dadanya nyeri dan napasnya sesak, ketika kedua tangan itu mengenai leher, dia merasa seolah-olah menampar leher yang terbuat dari baja yang keras dan licin. Kedua tangannya meleset ke bawah dan kini mencengkeram kedua pundak Hay Hay.

   "Brettt...!"

   Baju di kedua pundak Hay Hay robek dan jari-jari tangan itu mencengkeram kulit dan daging sehingga kedua pundak Hay Hay luka berdarah! Hay Hay menggerakkan kakinya dan lututnya menendang.

   "Brukkk!"

   Perut Si Kumbang Merah tertendang lutut dan diapun roboh telentang, meringis kesakitan. Dia masih berusaha untuk bangkit berdiri sambil kedua tangan memegangi dadanya, akan tetapi dia terjatuh kembali, jatuh terduduk. Kui Hong, Bi Lian, Mayang, dan Han Siong kini berloncatan mendekati, Ang-hong-cu dan tangan mereka siap untuk memukul. Jelas nampak dari sikap dan pandang mata mereka bahwa empat orang itu akan membunuh Ang-hong-cu. Melihat ini, tanpa memperdulikan kedua pundak dan pangkal lengan kiri yang terluka parah, Hay Hay mendahului mereka, meloncat menghadang antara mereka berempat dan tubuh Ang-hong-cu yang masih terduduk dan meringis kesakitan.

   "Jangan...! Kalian tidak boleh membunuhnya!"

   Katanya sambil mengembangkan kedua lengannya melindungi Ang-hong-cu yang biarpun masih meringis kesakitan, akan tetapi kini dia mengangkat muka memandang dan wajah yang kesakitan itu berseri gembira!

   "Hay-koko, aku harus membunuhnya untuk membalaskan sakit hati ibuku!"

   Kata Mayang yang sudah siap dengan cambuknya.

   "Hay Hay, ingatlah engkau kepada adikku Pek Eng!"

   Kata Han Siong.

   "Dan ingat kepada Cia Ling. Aku harus membunuhnya!"

   Kata Kui hong.

   "Hay-ko, orang ini terlalu jahat, kejam seperti iblis. Sudah sepatutnya kita bunuh dia!"

   Kata pula Bi Lian. Hay Hay menggeleng kepalanya dengan tegas.

   "Tidak, siapapun tidak boleh membunuhnya. Aku sudah berjanji untuk menangkapnya dan menyeret dia ke pengadilan agar dia mempertanggungjawabkan semua dosanya. Aku menangkapnya untuk menentang kejahatannya. Sekarang dia sudah tertangkap, dalam keadaan tidak berdaya sama sekali, kalau ada yang hendak membunuhnya, terpaksa aku akan melindunginya. Bagaimanapun, dia ini... ayah kandungku!"

   "Bagus! Engkau seorang laki-laki sejati, Hay-ko!"

   Kui Hong berseru dengan wajah gembira sekali dan iapun kini melangkah maju, berdiri disamping Hay Hay, sikapnya menantang.

   "Hay-ko benar! Aku akan membantu dia melindungi Si Kumbang Merah kalau ada yang hendak membunuhnya!"

   Bi Lian dan Han siong mengerutkan alisnya, dan Mayang memandang bingung. Tiba-tiba mereka semua memandang kepada Ang-hong-cu yang tertawa bergelak sambil duduk bersila,

   "Ha-ha-ha-ha-ha! semua anak-anakku yang tidak mampu mengalahkan aku ingin membunuhku. sebaliknya, Tang Hay, satu-satunya anakku yang mampu mengalahkan aku bahkan hendak melindungiku dan tidak mau membunuhku. Ha-ha-ha-ha, engkau memang hebat, Tang Hay. Engkau lebih hebat dari ayahmu. sayang sekali engkau lemah dan tidak dapat menikmati hidupmu. Engkau mata keranjang akan tetapi hanya lahirnya saja. Engkau tidak sepenuhnya mewarisi watakku. Akan tetapi aku cukup puas. Aku kalah oleh anakku sendiri. Tang Hay, apa yang akan kau lakukan sekarang terhadap diriku?"

   Hay Hay mernandang dengan alis berkerut.

   "Aku akan menyerahkanmu kepada Menteri Cang. Beliau seorang pembesar yang adil dan bijaksana, tentu akan memberi hukuman yang adil. Nah itu, beliau datang..."

   Memang pada saat itu terdengar suara gaduh dan muncullah Cang Taijin bersama puluhan orang perajurit pengawal. Mereka berhasil menemukan terowongan bawah tanah dan sampai di tempat itu.

   "Ha-ha-ha, tidak ada seorangpun di duhia ini yang berhak membunuhku!"

   Ang-hong-cu berseru sambil tertawa bergelak. Semua orang memandang dan Hay Hay cepat menangkap lengan Ang-hong-cu, akan tetapi terlambat. Orang itu sudah menelan sebutir pel hitam dan tiba-tiba saja dia terkulai roboh. Wajahnya berubah menghitam, namun dia masih tertawa terkekeh-kekeh. Suara ketawa itu berhenti dan Si Kumbang Merah terkulai lemas, tewas dengan mata terbelalak dan mulut masih terbuka seperti orang tertawa.

   Hay Hay menjatuhkan diri berlutut di dekat mayat ayahnya dan dia memejamkan mata, seperti orang berdoa. Bagaimanapun juga pria ini adalah ayah kandungnya! Tak lama kemudian, Hay Hay bangkit dan memondong mayat ayahnya, mencari tempat yang baik di bukit itu, lalu menggali lubang kuburan. Tanpa banyak cakap lagi Pek Han Siong membantunya, bahkan Mayang dapat pula menangisi mayat ayah kandungnya yang pernah dirindukannya itu. Yang terbujur itu adalah sesosok mayat, alat yang di waktu hidupnya dijadikan perebutan antara daya-daya rendah yang menguasai seluruh anggauta badan. Tubuh yang semestinya menjadi alat bagi kehidupan jiwa yang mendiaminya, akhirnya menjadi budak nafsu. Bahkan pikiran yang menjadi kusir pemegang kendali juga telah dikuasai kuda-kuda nafsu.

   Badan bagaikan kereta. Baik kereta badan, kuda-kuda nafsu, kusir dan kendalinya, semua semestinya menjadi hamba dan alat yang melayani jiwa. Tanpa adanya kuda-kuda nafsu, maka kereta badan takkan dapat bergerak maju. Tanpa adanya kusir pikiran dan kendalinya, segalanya akan kacau dan rusak arahnya. Akan tetapi kalau kuda-kuda nafsu itu tidak terkendali lagi, dan menjadi liar, maka nafsu akan kabur sesukanya dan kalau sampai terjerumus ke dalam jurang, segalanya ikut menderita. Bukan hanya keretanya, juga penghuni kereta, Sang Jiwa. Sebaliknya, kalau jiwa yang menjadi majikannya, dan semua alat itu hanya menjadi hambanya, barulah jiwa itu dapat menjadi seorang manusia yang seutuhnya. Hanya kalau jiwa ini dapat bersatu dengan sumbernya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa,

   Allah Yang Maha Kasih, maka jiwa akan mendapatkan kembali kekuasaannya atas semua hambanya, yaitu jasmani. Setelah jenazah Ang-hong-cu Tang Bun An atau Si Kumbang Merah dimakamkan, juga jenazah Tang Gun dan Tang Cun Sek yang dikubur di sebelah kiri Ang-hong-cu. Hay Hay menyembahyangi kuburan mereka secara sederhana, bersama Mayang. Menteri Cang Ku Ceng menyatakan penghargaan dan terima kasihnya kepada para pendekar yang untuk kedua kalinya membantu pemerintah membasmi gerombolan yang dianggap berbahaya. Namun seperti biasa, Hay Hay dan para pendekar lainnya tidak bersedia menerima anugerah jabatan, bahkan menolak pemberian hadiah berupa harta kekayaan. Hal ini membuat Menteri Cang menjadi semakin kagum dan hormat kepada mereka.

   "Nona Cia, kalau nona memperbolehkan dan masih percaya kepadaku, aku mohon agar. Gin-hwa-kiam diserahkan kepadaku."

   Kata Sim Ki Liong kepada Cia Kui Hong, didengarkan oleh para pendekar lainnya.

   "Benar, enci Kui Hong. Kami sudah membicarakan tentang hal itu dan akupun ikut mengharap sukalah kiranya engkau menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada Liong-koko."

   "Menyerahkan Gin-hwa-kiam kepadamu?"

   Kui Hong mengulang dengan heran.

   "Untuk apa?"

   Sinar matanya penuh selidik menatap wajah Ki Liong.

   "Nona Cia. Pedang Gin-hwa-kiam adalah pusaka Pulau Teratai Merah. Aku yang dahulu melarikannya, mencurinya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa aku telah sadar dan bertaubat, aku ingin mengembalikan sendiri pusaka itu kepada Suhu dan Subo. Aku akan menghadap, Suhu dan Subo, dan seandainya Suhu dan Subo marah dan hendak menghukumku, aku akan menerimanya dengan rela."

   "Aku akan menemaninya, enci Hong. Andaikata engkau belum dapat percaya kepadanya, tentu engkau percaya kepadaku, bukan?"

   Kata Mayang. Kui Hong nampak bimbang, kemudian ia menoleh kepada Hay Hay dan biarpun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya jelas minta pertimbangan pendekar itu. Sungguh aneh, ia sendiri tidak mengerti mengapa kepada Hay Hay ia berpaling untuk minta pertimbangan. Hay Hay dapat menangkap pandang mata itu, dan dia menghela napas panjang.

   "Beruntunglah orang yang sakit dapat sembuh dari penyakitnya. Sebaliknya, berhati-hatilah orang yang sehat karena sewaktu-waktu dia dapat saja dihinggapi suatu penyakit. Saya lebih menghargai orang jahat yang menyadari kejahatannya lalu bertaubat, dari pada orang baik yang membanggakan dan menyombongkan kebaikannya sehingga takabur. Aku sendiri kini dapat mempercayai Sim Ki Liong karena aku yakin bahwa adikku Mayang tidak akan salah pilih."

   "Aku setuju dengan pendapat Hay-ko."

   Kata Siangkoan Bi Lian. Gadis ini bukan saja teringat betapa ia pernah menjadi murid dua orang datuk sesat, akan tetapi juga ia tahu bahwa ayahnya adalah putera seorang datuk sesat, bahkan ibunya puteri suami isteri yang menjadi datuk besar dunia hitam sebagai raja dan ratu! Kui Hong termenung. Ia teringat akan neneknya di Pulau Teratai Merah. Neneknya itu dahulunya seorang datuk besar kaum sesat dengan julukan Lam Sin (Malaikat Selatan), akan tetapi kemudian setelah menikah dengan kakeknya, berubah menjadi pendekar yang menentang kejahatan.

   "Baiklah, kau boleh antarkan pedang pusaka ini kembali ke Pulau Teratai Merah. Andaikata engkau menipuku, aku masih dapat mencarimu dan membuat perhitungan."

   Sim Ki Liong yang sejak bertaubat nampak muram wajahnya, kini dia nampak gembira bukan main. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar kembali. Dia menerima pedang Gin-hwa-kiam dan memberi hormat kepada Kui Hong.

   "Nona Cia, dahulu mataku seperti buta, melihat engkau sebagai seorang gadis yang tinggi hati, keras dan kejam. Sekarang baru aku dapat melihat betapa engkau amat bijaksana. Terima kasih, nona, engkau telah menghidupkan kembali semangat dan harapanku. Mari, adik Mayang, sekarang juga kita berangkat ke Pulau Teratai Merah!"

   Mayang lari menghampiri Hay Hay dan memegang lengan pemuda itu.

   "Hay-ko, engkau tidak marah bukan dengan keputusanku untuk menemani Liong-koko?"

   Hay Hay tersenyum.

   "Sama sekali tidak, adikku. Aku bahkan merasa gembira sekali dan aku hanya mendoakan agar engkau berbahagia. Ki Liong, jaga adikku baik-baik."

   Sim Ki Liong dan Mayang lalu berpamit dari semua orang dan merekapun berangkat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata para pendekar. Setelah bayangan dua orang ini lenyap, Bi Lian saling pandang dengan Han Siong, sedangkan Kui Hong saling pandang dengan Hay Hay. Mereka masih merasa terharu akan perubahan yang terjadi pada diri Sim Ki Liong. Sungguh, cinta kasih dapat merobah segala! Tiba-tiba Siangkoan Bi Lian melangkah maju menghampiri Pek Han Siong. Ia melepaskan pedang Kwan-im-kiam berikut sarungnya dan menyerahkannya kepada Han Siong.

   "Suheng, engkau terimalah pedang ini."

   Katanya lirih. Han Siong memandang dengan mata terbelalak.

   "Kwan-im-kiam? Akan tetapi, ini adalah pedangmu, Sumoi. Pedang pusaka milik ayah ibumu!"

   "Tidak suheng. Pedang ini milikmu. Ingat ayah dan ibu sudah memberikan Kwan-im-kiam ini kepadamu."

   "Tapi... tapi..."

   Han Siong mengerutkan alisnya karena diingatkan akan kenyataan pahit itu.

   "Suhu dan Subo memberikan pedang ini sebagai ikatan dan ikatan itu sudah putus"

   Dia tidak berani menjelaskan dengan kata "perjodohan"

   Karena di situ terdapat Kui Hong dan Hay Hay. Siangkoan Bi Lian tersenyum dan wajahnya nampak manis sekali.

   "Benar, suheng. Itu dahulu. Setelah pedang ini kembali ke tanganmu, bukankah berarti ikatan perjodohan itu telah bersambung kembali?"

   Wajah Han Siong seketika berubah merah dan matanya kembali terbelalak, namun sinar kebahagiaan terpancar dari pandang matanya itu.

   "Bi Lian..., Sumoi... ini... ini... benarkah ini... eh, maksudku, engkau... engkau mau..."

   Dia tidak dapat bicara terus terang karena merasa malu didengar Hay Hay dan Kui Hong. Bi Lian mengangguk sambil tersenyum.

   "Terserah kepadamu, suheng. Ada dua jalan. Engkau dapat menghadap ayah dan ibu dan mengembalikan pusaka ini, atau engkau boleh datang bersama orang tuamu ke sana. Nah, aku pergi dulu, menanti di sana bersama ayah dan ibu. Hay-ko, adik Hong, aku pergi dulu!"

   Setelah berkata demikian, Bi Lian meloncat dan berlari cepat sekali menuju ke jalan keluar satu-satunya yang tadi juga dilewati Ki Liong dan Mayang, yaitu jalan menuju ke terowongan bawah tanah. Han Siong masih berdiri tertegun dengan Kwan-im-kiam di tangan. Baru dia sadar ketika Hay Hay merangkul pundaknya dan sahabatnya itu tertawa gembira.

   "Han Siong, bocah ajaib, sekarang engkau menjadi bocah beruntung! Kionghi (selamat), Han Siong!"

   "Hay Hay..., kau... kau pikir, ia... ia..."

   Han Siong masih salah tingkah karena terguncang keharuan dan kegembiraan.

   "Ia menanti datangnya pinangan orang tuamu, bocah bodoh!"

   Han Siong tersenyum lalu mengangkat kedua tangan ke arah Hay Hay dan Kui Hong,

   "Selamat tinggal... selamat tinggal dan terima kasih!"

   Dan diapun melompat pergi dengan cepatnya, diikuti pandang mata Hay Hay dan Kui Hong. Mereka berdiri saling pandang. Kini hanya tinggal mereka berdua saja di bukit itu bersama tiga gundukan tanah kuburan. Dalam keadaan itu, terbayanglah dalam ingatan mereka semua pengalaman mereka dahulu. Pernah mereka mengalami banyak hal yang hebat ketika mereka melakukan perjalanan bersama (baca kisah Pendekar Mata Keranjang).

   Kui Hong teringat bahwa Hay Hay merupakan pria pertama yang telah menjatuhkan hatinya! Juga Hay Hay teringat betapa pernah dia tertarik sekali kepada Kui Hong, namun dahulu dia selalu menolak perasaan cinta yang membutuhkan persatuan sebagai suami isteri. Baru sekarang dia menyadari bahwa sebetulnya, dia sudah ingin sekali memiliki seorang teman hidup, seorang isteri yang mencinta dan dicinta, seorang calon ibu anak-anaknya. Dan dalam diri Kui Hong dia melihat segala keindahan yang pernah didambakannya. Dia tahu bahwa gadis ini mencintanya. Pandang mata dan sikap gadis itu, suaranya, juga ketika tadi minta pertimbangan kepadanya melalui pandang mata tentang diri Sim Ki Liong. Dia melangkah maju menghampiri. Kui Hong menyambut dengan pandang matanya, tidak menjauh.

   "Kui Hong...

   "

   "Hay Hay..."

   
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gelora perasaan yang aneh itu demikian kuatnya, membuat mereka merasa canggung dan sukar untuk bicara. Akan tetapi Hay Hay dapat menguasai perasaannya dan diapun menyerahkan Hong-cu-kiam kepada gadis itu.

   "Pangcu..."

   "Hushh, tidak sudi aku disebut pangcu olehmu. Tidak enak...!"

   "Akan tetapi engkau memang ketua Cin-ling-pai. Baiklah, Hong-moi, ini kukembalikan Hong-cu-kiam kepadamu. Pedang ini adalah pusaka Cin-ling-pai dan kebetulan aku dapat merampasnya dari Tang Cun Sek."

   "Engkau bawalah, Hay-ko. Aku sudah mempunyai Hok-mo Siang-kiam. Kelak kau boleh kembalikan ke Cin-ling-san, aku akan menunggu di sana..."

   Kata Kui Hong, teringat akan ucapan Bi Lian kepada Han Siong tadi. Hay Hay tersenyum maklum, akan tetapi dia lalu menghela napas panjang.

   "Hong-moi, Han Siong akan datang bersama ayah ibunya untuk meminang Bi Lian. Akan tetapi aku...? Aku sebatang kara, tiada ayah ibu lagi."

   "Takutkah engkau menghadap seorang diri kepada orang tuaku? Biasanya engkau begitu pemberani, Hay-ko!"

   "Tapi... tapi... bagaimana kalau aku di tolak?"

   "Hemm, keputusan sepenuhnya berada di tanganku."

   "Hong-moi, engkau... engkau... sudikah engkau menjadi isteriku?"

   Kui Hong memandang kepadanya dan dua pasang mata bertemu. Sebetulnya, tidak perlu lagi mereka bicara. Sinar mata mereka sudah bicara banyak dan tanpa bertanya sekalipun, mereka sudah tahu bahwa mereka saling mencinta, bahwa mereka dengan hati bahagia suka menjadi suami isteri.

   "Hay-ko, satu di antara sifatmu yang menarik hatiku adalah keterbukaanmu ini. Akan tetapi, katakanlah, kenapa engkau tiba-tiba ingin memperisteri aku?"

   "Hemm, mengapa? Karena aku cinta padamu tentu saja."

   "Aneh! Masih terngiang di telingaku betapa dahulu engkau mengatakan tidak ada cinta itu di hatimu. Engkau tidak ingin terikat walaupun engkau memuji-muji diriku. Engkau suka akan keindahan akan tetapi tidak mau terikat..."

   "Dahulu aku bodoh, Hong-moi. Mana ada orang yang lahir terus pintar? Harus melalui kebodohan dulu untuk menjadi pintar, bukan? Kini mataku terbuka sudah. EngKau lah segala keindahan di dunia ini! Dan tanpa engkau, aku akan kehilangan semua keindahan itu. Perjodohan adalah satu diantara kodrat manusia, tak terelakkan lagi, kecuali mereka yang sengaja hendak menyiksa diri tidak mau menikah dan menjadi orang alim. Dan aku bukan orang alim!"

   "Huh, engkau mata keranjang, siapa bilang alim?"

   Kui Hong mencela aka tetapi sambil tertawa dan Hay Hay juga tertawa.

   "Biar mata keranjang aku tidak cabul, aku tidak seperti mendiang ayahku, aku tidak pernah mempermainkan wanita, aku..."

   "Hushh, cukup. Kalau engkau seperti itu, mana mungkin aku sudi menjadi isterimu?"

   "Jadi engkau mau?"

   "Kalau engkau melamarku kepada orang tuaku!,"

   "Hong-moi...!!"

   Hay Hay menangkap Kui Hong dan melemparkan tubuh gadis itu ke atas, diterimanya dengan lembut, lalu dilemparkan lagi sampai berulang kali. Kui Hong tertawa dan menjerit-jerit, baru berhenti permainan itu setelah Hay Hay menyambutnya dengan dekapan dan tahu-tahu mereka telah berciuman dengan lembut dan mesra.

   "Hong-moi, pujaan hatiku, kekasihku, sayangku yang kucinta dengan sepenuh jiwa ragaku, mari kita pergi ke Cin-ling-pai, sayang..."

   Kui Hong tertawa geli, akan tetapi juga senang.

   "Dasar perayu kau, mata keranjang kau!"

   Mereka bergandengan tangan sambil tertawa-tawa, meninggalkan tempat itu dengan hati penuh kebahagiaan dan harapan.

   Dan sampai di sini, pengarang menghentikan tulisannya karena kisah ini telah selesai, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi para pembaca di samping menjadi bacaan hiburan di kala senggang. Sampai jumpa dilain kisah.

   TAMAT

   Lereng Lawu, medio Februari l984.

   Hal 340 : Sepertinya ada HALAMAN yang hilang

   


Asmara Berdarah Eps 30 Asmara Berdarah Eps 27 Pendekar Mata Keranjang Eps 5

Cari Blog Ini