Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 15


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Tentu saja suku Bangsa Hui yang jumlahnya lebih tiga puluh keluarga itu menjadi marah sekali. Mereka mengumpulkan orang-orang lelaki dan empat puluh orang lebih laki-laki tua muda membawa senjata menyerbu ke puncak gunung yang ditinggali Kun-Lun Ngo-Eng. Akan tetapi, mana bisa mereka menang? Hek-Eng Sianjin seorang diri keluar dan begitu pendeta berjubah hitam ini mainkan Pedangnya yang lihai, belasan orang roboh dan tewas, sedangkan yang lain-lain lalu melarikan diri. Tangis riuh-rendah di dalam dusun orang-orang Hui ini menarik perhatian seorang Kakek pendek kecil yang kebetulan lewat di dusun itu bersama dua orang anak laki-laki. Kakek ini bukan lain adalah Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai bersama Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng murid-muridnya!

   "Eh, ada apakah ribut-ribut ini?"

   Tanyanya pada orang Hui itu. Kepala suku Bangsa Hui segera maju dan berlutut kepada Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai. Ia dapat melihat, bahwa yang datang adalah seorang Kakek yang luar biasa dan tentu memiliki kepandaian tinggi.

   "Lo-Enghiong, kami sekeluarga Hui tertimpa malapetaka hebat...! Anakku perempuan diculik oleh Saikong Siluman dari puncak Kun-Lun-San, dan ketika aku dan saudara-saudaraku menyerbu ke sana untuk menolong, belasan orang saudaraku bahkan tewas oleh Saikong Siluman..."

   Siangkoan Hai mengerutkan keningnya dan memandang tak percaya.

   "Aneh, siapa orangnya berani berbuat jahat di sini? Bukankah puncak sebelah Barat itu pusat dari Kun-Lun-Pai yang tersohor? Mengapa kau tidak minta tolong kesana?"

   "Sudah, Lo-Enghiong. Kami sudah menghadap Kun-Lun Sam-Lojin, akan tetapi mereka tidak mau turun gunung menolong..."

   Siangkoan Hai membelalakkan matanya.

   "Aneh, aneh! Mengapa begitu?"

   "Suhu, lebih baik kita menolong dulu nona yang diculik itu!"

   Kata The Kun Beng tidak sabar.

   "Memang kita harus lekas menolong, hendak kulihat siapakah orangnya yang berani berlaku jahat seperti itu. Baru kemudian aku hendak menegur Kun-Lun Sam-Lojin mengapa tidak mau menolong mereka ini."

   Siangkoan Hai lalu berkata pada orang-orang itu.

   "Hayo bawa kami ke tempat Saikong Siluman itu!"

   Demikianlah, beramai-ramai orang-orang Hui itu mengantar Siangkoan Hai dan dua orang muridnya menuju ke puncak tempat tinggal Kun-Lun Ngo-Eng. Di atas puncak itu terdapat sebuah bangunan besar yang terkurung pagar tembok. Orang-orang Hui yang pernah dihajar oleh Hek-Eng Sianjin, tidak berani datang dekat dan hanya menanti dari jauh. Mereka melihat betapa Kakek yang pendek kecil ini berjalan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh dua orang muridnya yang berjalan dengan gagahnya. Ketika mereka sudah tiba di dekat pintu, Siangkoan Hai dan dua orang muridnya merasa heran karena ternyata bahwa pintu gerbang itu terjaga oleh tiga orang pemuda dan dua orang gadis yang kesemuanya berwajah elok. Usia mereka antara tujuh belas sampai dua puluh tahun, pakaian mereka mewah sekali.

   "Orang-orang muda, beritahukan kepada Kun-Lun Ngo-Eng bahwa Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai telah datang minta bertemu!"

   Kata Kakek tokoh besar Utara itu kepada para penjaga remaja tadi. Lima orang muda itu lalu berlari masuk setelah menutup pintu gerbang rapat-rapat! Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai tertawa bergelak.

   "Kun-lun Ngo-heng! Apakah pintumu terbuka untuk angin dan setan yang tak nampak, akan tetapi tertutup bagi tamu manusia? Kalau kalian melarang aku masuk, keluarlah menemuiku di luar. Aku Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai perlu sekali bicara dengan kalian!"

   Tiba-tiba di atas tembok yang mengurung bangunan itu, tersembullah lima buah bendera yang berwarna putih, kuning, hijau, merah dan hitam! Bendera-bendera ini berkibar tertiup angin gunung, merupakan pemandangan yang indah beraneka warna. Kemudian, terdengar suara dari balik tembok itu.

   "Kami tidak kenal Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai dan tidak mempunyai urusan dengan dia! Orang tua pendek kecil harap jangan mencari penyakit dan lekas pergi dari sini!"

   Tiba-tiba lima buah bendera yang berkibar di atas tembok itu, berubah arah kibarnya, yaitu kalau tadi berkibar ke kanan, sekarang berkibar ke kiri, padahal angin masih jelas terasa berkibar ke kanan!

   Siangkoan Hai maklum bahwa orang-orang di bawah tembok telah memperlihatkan kepandaiannya. Ia tahu bahwa bendera itu berkibar karena tertiup oleh orang yang memiliki tenaga Khikang yang tinggi sekali. Agaknya Kun-Lun Ngo-Eng hendak menggertaknya dan mendemonstrasikan kepandaian agar dia menjadi ketakutan dan pergi. Kembali Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai tertawa bergelak dan setelah melihat ke kanan kiri, Kakek pendek ini lalu menghampiri sebatang pohon yang tinggi dan sekali dia mengerahkan tenaga, pohon itu telah tercabut akarnya dari tanah! Ia lalu menghampiri tembok bangunan itu dan melemparkan pohon tadi ke atas. Pohon itu melayang dan tepat berdiri di atas tembok di dekat bendera-bendera itu dan tentu saja pohon itu jauh lebih tinggi daripada bendera-bendera tadi.

   "Ha-ha-ha! Kun-Lun Ngo-Eng. Jangan dikira bahwa bendera-benderamu itu paling tinggi di dunia ini!"

   Perbuatan Siangkoan Hai ini menimbulkan kegemparan di sebelah dalam bangunan, karena terdengar seruan-seruan memuji dengan kagum. Siangkoan Hai dan dua orang muridnya mendengar bahwa yang memuji itu adalah suara-suara banyak orang-orang muda, bahkan ada yang suaranya menyatakan masih suara anak-anak. Lalu terdengar suara wanita yang merdu dan nyaring.

   "Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai! Tak perlu memamerkan kepandaian seperti anak kecil! Kalau bisa, masuklah saja, tembok kami tidak terlalu tinggi kiranya!"

   Inilah suara Jeng-Eng Mo-Li, orang ketiga dari Kun-Lun Ngo-Eng. Siangkoan Hai tertawa bergelak mendengar ini, kemudian berbisik kepada Kun Beng dan Swi Kiat kedua orang muridnya.

   "Kalau sampai murid-murid mereka menyerang, kalian layani mereka akan tetapi jangan sampai membunuh orang."

   Kun Beng dan Swi Kiat mengangguk, mereka mengerti akan kehendak Suhunya ini. Kemudian, dua orang anak muda ini lalu ikut Suhu mereka melompat ke atas tembok. Dari atas tembok ini mereka memandang ke bawah dan terlihatlah lima orang aneh dan belasan orang anak-anak muda yang elok-elok. Lima orang ini terdiri dari tiga orang Kakek dan dua orang wanita. Usia mereka antara empat puluh sampai lima puluh tahun, akan tetapi mereka masih nampak muda. Apalagi dua orang wanita, biarpun dari muka mereka mudah dilihat bahwa mereka telah setengah tua, namun muka itu masih dibedaki tebal dan di beri pemerah bibir dan pipi. Pakaian mereka juga aneh sekali, karena seorang berpakaian warna putih, kedua berpakaian kuning, lalu hijau, merah dan hitam! Untuk lebih mengenal mereka, marilah kita memperhatikan seorang demi seorang.

   Orang pertama yang berpakaian putih adalah Kakek Pek-Eng Sianjin atau orang tertua dari Kun-Lun Ngo-Eng. Pek-Eng Sianjin memang usianya paling tua, rambutnya telah bercampur uban, pakaiannya dan juga gelung rambutnya menandakan bahwa dia adalah seorang Tosu. Pedangnya menempel di punggung dan tubuhnya yang jangkung kurus membuat dia nampak gesit. Orang tertua inilah yang di sebut Pek-Eng atau Garuda Putih! Orang kedua adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah Ui-Eng Suthai atau Garuda Kuning, pakaiannya juga berwarna kuning seluruhnya. Akan tetapi bentuk pakaiannya sama dengan Pek-Eng Sianjin, yakni potongan pakaian yang biasa di pakai oleh pendeta atau Tokouw. Biarpun pakaiannya seperti pertapa wanita, namun bedak dan pemerah pipi dan bibirnya menonjolkan sifat-sifat aselinya.

   Tak dapat disangkal bahwa sewaktu mudanya, Ui-Eng Suthai ini tentulah seorang wanita yang amat cantik. Mudah dilihat dari bentuk mata, hidung dan mulutnya. Biarpun sekarang telah ada gurat-gurat usia tua pada pinggir mata dan mulut, namun dia masih tetap mempunyai penarik sebagai seorang wanita. Juga seperti Suhengnya, dia memakai Pedang di punggung, hanya bedanya, gagang Pedangnya memakai ronce-ronce benang emas warna kuning, sedangkan gagang Pedang Pek-Eng Sianjin memakai ronce-ronce benang sutera putih. Orang ke tiga juga seorang wanita, berpakaian hijau seluruhnya. Usianya lebih muda beberapa tahun dari Ui-Eng Suthai, akan tetapi orang ketiga ini nampak jauh lebih muda. Namanya Jeng-Eng Mo-Li (Iblis Wanita Garuda Hijau) dan melihat potongan tubuhnya yang langsing,

   Air mukanya yang ramah berseri, mulutnya yang selalu tersenyum, mudah diduga bahwa dia adalah seorang perempuan yang berwatak gembira. Akan tetapi, kalau orang melihat sepasang matanya yang liar mengerling penuh nafsu, akan dapatlah dilihat iblis yang tersembunyi di dalam tubuh lincah ini. Dandanannya jauh lebih "Aksi"

   Daripada sucinya yang karena potongan pakaiannya bukan potongan pakaian pendeta wanita, maka kelihatan lebih menarik dan ketat mencetak tubuhnya yang memang baik bentuknya. Rambutnya disanggul seperti dara-dara muda dan Pedangnya yang beronce hijau tergantung di pinggang kirinya. Biarpun bentuk air muka Jeng-Eng Mo-Li tidak sebaik muka Ui-Eng Suthai, namun karena Jeng-Eng Mo-Li lincah, genit dan gembira, maka boleh di bilang dia lebih menarik daripada sucinya.

   Iblis Wanita Garuda Hijau inilah yang tadi mengeluarkan suaranya menantang Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai memasuki tempat tinggal mereka. Orang keempat bernama Ang-Eng Sianjin yang berpakaian pendeta Tosu, berwarna merah seluruhnya, usianya sebaya dengan Jeng-Eng Mo-Li. Demikian pun orang ke lima yang bernama Hek-Eng Sianjin bertubuh gemuk dengan perut besar seperti perut arca penjaga dapur, adalah Hek-Eng Sianjin bertubuh tinggi besar, tubuh seorang gagah yang bertenaga kuat. Keduanya juga memakai Pedang pada punggungnya. Maka ketahuanlah sekarang bahwa Kun-Lun Ngo-Eng terdiri dari tiga orang Tosu, seorang Tokouw dan seorang perempuan genit. Mereka ini kelima-limanya adalah ahli-ahli ilmu Pedang dari satu cabang perguruan dan kelimanya adalah ahli Ilmu Pedang Sin-Eng Kiam-Hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti).

   "He, he, he seperti anak wayang saja!"

   Seru Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai melihat lima orang yang pakaiannya aneh itu.

   "Apakah kalian hendak main sandiwara Ngo-Koai-Jio-Kaw-Kut (Lima Setan memperebutkan Tulang Anjing)??"

   Sudah tentu saja tidak ada cerita yang berjudul seperti itu dan ucapan ini dikeluarkan oleh Singkoan Hai hanya untuk mengejek mereka saja, sebagai pembalasan atas sikap mereka yang sombong. Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai terkenal seorang Kakek gagah yang berwatak sombong dan tidak mau kalah, maka ketika dia melihat sikap mereka ini, semenjak tadi darahnya telah naik ke kepalanya! Adapun orang yang paling galak di antara Kun-Lun Ngo-Eng, adalah Ui-Eng Suthai, pertapa wanita berpakaian kuning itu.

   Mendengar ejekan Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai, mukanya menjadi merah dan sekali tangan kirinya bergerak, tersebarlah jarum-jarum rahasia tujuh belas batang banyaknya, menyambar ke arah Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya! Jarum rahasia yang dilepas oleh Ui-Eng Suthai bukanlah senjata rahasia biasa saja. Jarum-jarum ini disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa) dan amat halus dan kecilnya sehingga apabila jarum-jarum ini mengenai sasaran, dapat menyusup ke dalam kulit daging dan kemudian masuk ke dalam jalan darah dan terbawa oleh darah! Dalam hal penggunaan jarum-jarum ini, tenaga Lweekang yang tinggi harus dimiliki oleh orang yang melontarkannya dan melihat betapa sekali lempar dapat menyerang lawan dengan tujuh belas batang jarum, dapat dinilai betapa hebatnya tenaga Lweekang dari Ui-Eng Suthai!

   Orang biasa saja kalau diserang oleh jarum-jarum ini, akan celakalah dia karena nyawanya takkan tertolong lagi. Bahkan orang-orang ahli silat yang kurang pandai, sukar membebaskan diri dari sambaran jarum-jarum itu, apalagi dalam keadaan sedang berdiri di atas pagar tembok yang lebarnya hanya pas saja dengan kaki! Namun, yang diserang adalah Pak-Lo-Sian Siangkoan hai, Si Dewa Tua dari Utara, mana dia jerih menghadapi jarum-jarum ini? Entah kapan diambilnya, tahu-tahu di kedua tangannya telah terpegang sepasang kipas hitam putihnya dan kini sambil tersenyum mengejek, Pak-Lo-Siang Siangkoan Hai mengebutkan kipas putih di tangan kirinya ke arah jarum-jarum yang menyambarnya ke atas itu. Aneh sekali, jarum-jarum kecil itu ketika terkena sambaran angin Kebutan kipas putih, tiba-tiba membalik dan runtuh semua ke bawah.

   "Ha, ha, ha, Siluman Rase! Hendak ku ukur dengan jarum-jarummu sampai berapa dim tebalnya bedak di mukamu!"

   Siangkoan Hai tertawa sambil cepat mengebutkan kipas hitam di tangan kanannya. Hebat sekali akibatnya! Jarum-jarum belasan batang banyaknya itu kini terbawa hawa Kebutan kipas hitam dan meluncur, seluruhnya menuju ke muka Ui-Eng Suthai! Ui-Eng Suthai menjerit marah dan segera memutar Pedangnya, memukul runtuh semua jarum-jarumnya sendiri. Memang semenjak tadi melihat kelihaian lawan, ia telah mencabut Pedangnya bersiap sedia. Kemudian, sambil memekik nyaring Tokouw ini lalu menggerakkan tubuhnya yang cepat melayang ke atas menyerang Siangkoan hai dengan Pedangnya. Akan tetapi, terdengar suara ketawa bergelak dan tiba-tiba Siangkoan Hai telah lenyap dari atas tembok itu, karena ketika tadi Ui-Eng Suthai melayang naik, dia telah membetot tangan kedua muridnya dan membawa mereka melompat turun ke dalam.

   "Bangsat tua, bagus sekali kau mengantarkan nyawa!"

   Bentak Pek-Eng Sian-jin yang segera menyerang dengan Pedangnya, dan melihat serangan ini, tahulah Siangkoan Hai bahwa ilmu Pedang Pek-Eng Sianjin benar-benar lihai dan tenaganya bahkan lebih kuat daripada Ui-Eng Suthai.

   Maka dia pun tidak berani berlaku ayal. Tanpa dapat terlihat saking cepatnya, dia telah menyimpan kembali sepasang kipasnya dan kini Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai mengeluarkan tombaknya! Ia mainkan tombak itu dan berkunang-kunanglah padangan mata Pek-Eng Sianjin ketika melihat ujung tombak di tangan Kakek pendek kecil itu berubah menjadi puluhan banyaknya! Tombak itu tergetar dan mengaung dengan suara menyakitkan telinga, sedangkan tiap kali Pedangnya terbentur oleh ujung tombak, hampir saja Pedangnya terpental dan terlepas dari pegangan. Ketika dengan nekat Pek-Eng Sianjin melompat ke atas lalu menukik ke bawah sambil membabat dengan Pedangnya ke arah leher lawannya, Siangkoan Hai memutar tombaknya sehingga Pedang lawan tertempel dan ikut terputar.

   "Turun kau!"

   Bentak Siangkoan Hai dan benar saja, tanpa dapat menahan diri lagi Pek-Eng Sianjin terbetot turun dan Pedangnya menancap di atas tanah dengan tubuhnya masih di atas! Untuk sesaat, seakan-akan Pek-Eng-Sianjin berubah menjadi sebatang tongkat panjang, dengan tangan memegang gagang Pedang yang tertancap di atas tanah dan kakinya lurus ke atas, akan tetapi dia segera dapat melompat dan membalik sehingga dia dapat berdiri lagi lalu mencabut Pedangnya.

   "Nanti dulu sebelum kalian melanjutkan permaian wayang ini!"

   Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai berseru "Aku datang bukan untuk mencari permusuhan, sungguhpun aku tidak akan menolak setiap pertempuran yang menggembirakan. Akan tetapi, sesungguhnya kedatanganku ini untuk bertanya kepada kalian, mengapa kalian suka menculik anak-anak muda? Di mana mereka itu semua dan mengapa melakukan kejahatan itu?"

   Pek-Eng Sianjin tertawa mengejek.

   "Hm, pernah Pinto mendengar nama Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai sebagai seorang gagah, tidak tahunya hanyalah seorang Kakek kate yang lancang mulut lancang tangan dan tukang mencampuri urusan orang lain! Kami memilih dan mengumpulkan murid-murid kami agar dapat mewarisi ilmu Pedang kami, ada sangkut pautnya apakah dengan kau orang tua?"

   Mendengar ucapan ini. Pak-Lo-Sian Siangkoan hai terkejut dan tertegun. Kalau demikian halnya, dia telah salah duga! Ia melirik ke kanan kiri dan melihat disitu terdapat belasan orang-orang muda laki-laki dan perempuan yang kesemuanya berwajah tampan dan cantik sekali, mereka ini dengan Pedang ditangan telah pula mengurung Kun Beng dan Swi Kiat! Sikap mereka itu semua bermusuh, seakan-akan mereka tidak suka ada orang-orang mengganggu lima orang Guru mereka! Akan tetapi, pandangan mata Siangkoan Hai amat tajam dan dari sinar mata orang-orang muda yang layu dan keluar dari wajah yang kepucatan, dia tahu bahwa orang-orang muda itu menderita sekali dalam batin mereka. Entah apa yang telah terjadi dengan mereka, namun Siangkoan Hai tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dengan orang-orang muda itu. Ia teringat akan sesuatu dan bertanya lagi,

   "Ah, begitukah gerangan mengapa kalian berlima mengumpulkan pemuda-pemuda tampan dan dara-dara cantik?"

   Ia menghitung dengan matanya, lalu bertanya lagi.

   "Jadi murid-muridmu semua berjumlah tujuh belas orang?"

   Pek-Eng Sianjin mengangguk sambil tertawa.

   "Murid-muridku hebat semua, bukan? Pak-Lo-Sian, kau juga mempunyai dua orang murid yang baik, tak perlu kau merasa iri hati."

   Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai mengangguk-anggukkan seakan-akan merasa setuju dengan omongan ini. Akan tetapi dia lalu berkata keras sambil menepuk kepalanya.

   "Ucapanmu benar! Akan tetapi, melihat murid-muridmu banyak yang perempuan dan manis-manis pula, mendadak timbul keinginanku untuk mempunyai seorang murid perempuan pula! Eh, Kun-Lun Ngo-Eng, kalian seperti garuda-garuda yang suka menyambar anak-anak Ayam, berikanlah seorang anak murid perempuan kepadaku!"

   Kun-Lun Ngo-Eng main mata dan saling pandang sambil tersenyum. Tidak tahunya Kakek pendek kecil yang lihai ini tidak banyak bedanya dengan mereka! Ang-Eng Sianjin yang berpakaian serba merah itu tertawa bergelak lalu berkata,

   "Ha-ha-ha, orang tua pendek kecil, kau rakus juga ya? Karena kau telah datang dan berhasil masuk kesini, nah... lihatlah murid-murid kami yang cantik-cantik, dan pilihlah yang paling jelita menurut penglihatanmu!"

   Ang-Eng Sianjin memang cerdik dan dapat berpikir cepat. Ia tadi telah menyaksikan kelihaian Kakek kecil ini dan tahu bahwa biarpun mengeroyok lima, belum tentu dia dan saudara-saudaranya akan dapat menang, maka lebih baik kehilangan seorang "Murid"

   Daripada harus menghadapi resiko yang lebih berbahaya.

   Adapun Kun Beng dan Swi Kiat ketika mendengar percakapan ini, merahlah muka mereka dan dengan muka melotot mereka memandang kepada Suhu mereka. Kedua orang anak ini sudah mengenal baik kebersihan hati Suhu mereka, mengapa Suhunya kini berkata seperti itu? Sudah miringkah otak Guru mereka ini? Hampir saja Swi Kiat yang berwatak keras ini membuka mulut, akan tetapi tangannya disentuh oleh Kun Beng. Bocah ini masih tidak percaya dan menduga bahwa Suhunya tentu main-main saja dengan lima orang aneh itu. Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai memang betul main-main dan sengaja mengeluarkan ucapan tadi untuk memancing saja. Kini dia memandang kepada murid-murid perempuan yang cantik dan berpakaian mewah itu, lalu menggeleng kepalanya dan berkata,

   "Tidak ada yang cocok! Kembang-kembang ini sudah terpengaruh oleh pelajaran kalian, aku tidak mau. Aku ingin yang masih bersih, yang masih baru. Eh, Kun-Lun Ngo-Eng, bukankah kemaren kalian menculik anak perempuan kepala suku Bangsa Hui? Di mana dia? Mengapa tidak ada di antara mereka? Coba kau keluarkan yang itu, mungkin cocok menjadi muridku!"

   Berubahlah wajah lima orang aneh itu ketika mendengar ini. Mereka tahu bahwa ternyata Kakek ini datang untuk mencari perkara. Terdengar Kun-Lun Ngo-Eng berseru keras dan lima batang Pedang dicabut serentak.

   "Kau memang mencari mampus!"

   Bentak Pek-Eng Sianjin dan segera memimpin empat orang saudaranya menyerang. Siangkoan Hai tertawa bergelak.

   "Ha, ha, ha, terbukalah kedokmu sekarang! Kau kira aku tidak tahu bahwa anak-anak ini telah terpengaruh oleh racun dan kehilangan kehendak sendiri? Kalian benar-benar iblis yang harus mampus!"

   Setelah berkata demikian, dia menggerakkan tombaknya secara luar biasa sekali cepat dan kuatnya sehingga lima orang lawannya mencelat mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran hawa pukulan tombak itu!

   Belasan orang anak murid Kun-Lun Ngo-Eng juga serentak bergerak menyerang Kun Beng dan Swi Kiat. Dua orang anak muda ini cepat melawan. Kun Beng mempergunakan tombaknya dan Swi Kiat mempergunakan sepasang kipasnya. Ternyata bahwa orang-orang muda itu merupakan makanan lunak bagi Kun Beng dan Swi Kiat karena mereka itu hanya pandai beraksi belaka dengan Pedang mereka, namun tidak memiliki ilmu kepandaian yang berarti. Sebentar saja beberapa orang diantara mereka roboh tunggang-langgang. Baiknya kedua orang murid Pak-Lo-Sian ini sudah dipesan oleh Suhu mereka agar tidak menewaskan nyawa lawan, kalau tidak tentu mereka akan mengamuk, terutama sekali Swi Kiat yang sudah merasa marah sekali.

   Adapun Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai yang kini sudah tahu akan rahasia lima orang lawannya yang benar-benar jahat dan merupakan penjahat-penjahat cabul yang berkedok pakaian pendeta, menjadi marah sekali dan permainan tombaknya makin lama makin kuat sehingga lima orang lawannya benar-benar terdesak hebat. Ilmu Pedang mereka memang luar biasa, namun menghadapi jago tua tokoh besar dari Utara ini, mereka benar-benar kalah pengalaman, kalah latihan dan juga kalah tenaga. Pak-Lo-Sian memang mempunyai dasar watak yang amat baik dan berbudi tinggi, namun sekali dia marah, dia bisa berubah menjadi ganas di samping kesombongannya dan sifat yang tidak mau kalah oleh siapapun juga dalam hal ilmu silat! Makin lama, gerakan ilmu Pedang lima orang Garuda Kun-Lun-San itu makin mengendur dan mereka berkelahi sambil mundur, masuk ke dalam ruangan depan bangunan itu

   Akan tetapi Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai mana mau memberi ampun dan melepaskan mereka? Dengan ganasnya dia menyerbu terus dan mengejar mereka masuk ke dalam bangunan. Ketika itu, Kakek kate ini yang sedang marah agak kehilangan kewaspadaannya dan dengan nekat ia menyerbu. Niatnya hanya satu, yaitu membasmi lima orang ini dan membalaskan dendam orang-orang muda yang terjatuh kedalam tangan Kun-Lun Ngo-Eng dan menjadi seperti boneka-boneka hidup itu. Lima orang Garuda Kun-lun itu tidak kuat menghadapi amukan Siang-koan Hai, maka mereka lalu meloncat ke dalam serta menutup pintunya. Sekali ayunkan tombaknya, terdengar suara keras dan pecahlah pintu itu! Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai menyerbu masuk dan tiba-tiba dari atas turun batu besar menimpa kepalanya!

   Namun Siangkoan Hai tidak akan mendapat sebutan Dewa Utara dan takkan disebut tokoh terbesar di Utara kalau dia tidak dapat menghadapi bahaya serangan mendadak ini. Batu yang beratnya seibu kati itu menimpa kepalanya dari atas dengan tiba-tiba dan agaknya tidak dapat dielakkan pula. Siangkoan Hai tidak menjadi gugup, bahkan dia hanya mempergunakan tangan kirinya, mendorong batu itu dari samping sehingga batu itu tidak menimpa kepalanya, sebaliknya terlempar ke depan ke arah lima orang lawannya! Kun-Lun Ngo-Eng terkejut bukan main dan cepat meloncat mundur sehingga batu itu menimpa lantai dan sambil menerbitkan suara gaduh, lantai itu pecah dan berhamburan! Ketika debu yang tebal itu menipis, Siangkoan Hai tak melihat lawan-lawannya lagi yang sudah melenyapkan diri melalui tirai debu tadi.

   "Lima ekor anjing busuk, kalian jangan harap akan dapat melepaskan diri dari tombakku!"

   Bentak Siangkoan Hai yang menjadi makin marah, terus Kakek ini meloncat dan menendang roboh pintu terusan sehingga daun pintu itu pecah.

   Ia tiba di sebuah ruangan yang aneh bentuknya dan yang membuat dia bingung untuk sejenak. Ruangan ini pintunya dipasangi cermin sehingga dia melihat bayangannya sendiri di dalam cermin-cemin itu terbuka dan dari situ menyambar puluhan anak panah. Siangkoan Hai hendak memutar tombaknya, akan tetapi tiba-tiba lantai yang diinjaknya merosot turun membawa tubuhnya ke bawah pula! Ia tidak dapat keluar dari kurungan ini, karena semua pintu menyemburkan anak panah, maka terpaksa dia hanya bersiap sedia menghadapi segala bahaya. Lantai yang turun ini berhenti dan Siangkoan Hai mendapatkan dirinya terkurung di dalam sumur yang dindingnya terbuat daripada besi tebal dan keadaan disitu gelap sekali! Terdengar suara orang-orang tertawa, disusul oelh suara Jeng-Eng Mo-Li yang merdu dan nyaring,

   "Siangkoan Hai, kau boleh bertapa di situ sampai mampus. Murid-muridmu akan menjadi murid kami dan sewaktu-waktu kau boleh melihat mereka. Ha-ha-ha!"

   Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai hanya bisa memaki-maki gemas, akan tetapi Kun-Lun Ngo-Eng itu meninggalkan tempat itu. Suara tertawa mereka makin lama makin menjauh. Siangkoan Hai memukul-mukulkan tongkatnya di sekitarnya, akan tetapi yang nampak hanya bunga api berpijar. Dia benar-benar tidak berdaya lagi! Dewa Utara yang gagah perkasa itu kini seperti seekor Naga yang terkurung dan tidak berdaya keluar. Kun Beng dan Swi Kiat masih mengamuk di halaman depan dan kini para murid Kun-Lun Ngo-Eng yang berpakain mewah itu telah dibikin kocar-kacir.

   "Suheng, jangan berlaku kejam kepada mereka. Kulihat mereka ini seperti orang-orang mabuk."

   Berkali-kali Kun Beng memperingatkan Suhengnya, karena Swi Kiat kalau sudah marah, tidak peduli lagi kepada orang lain dan tidak kenal kasihan. Di sana-sini nampak tubuh para murid itu bergelimpangan, mengerang kesakitan karena pukulan dan tendangan dua orang muda itu. Tiba-tiba muncul lima orang aneh yang tadi bertempur dengan Siangkoan Hai. Melihat mereka, Kun Beng dan Swi Kiat menjadi pucat, karena munculnya lima orang ini berarti bahwa Suhu mereka tentu telah mengalami bencana.

   "Di mana Suhuku?"

   Seru Swi Kiat sambil melompat ke tempat mereka. Pek-Eng Sianjin tertawa bergelak, dan Ui-Eng Suthai menghampiri Swi Kiat, memandang tajam dengan mata kagum.

   "Kau benar-benar gagah, orang muda,"

   Katanya. Adapun Jeng-Eng Mo-Li juga melompat di depan Kun Beng, mengulur tangan untuk meraba pipi pemuda itu, Kun Beng mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pipinya telah disentuh oleh wanita berpakaian hijau ini.

   "Kau tampan sekali,"

   Kata Jeng-Eng Mo-Li. Melihat sikap mereka, Kun Beng tak capat menahan sabar lagi dan mencabut tombaknya yang tadi sudah disimpan. Apalagi Swi Kiat. Dengan muka merah dan dada berombak, pemuda cilik ini mengeluarkan kipasnya dan serentak menyerang Ui-Eng Suthai yang berada di depannya. Juga Kun Beng segera mengerjakan tombaknya menyerang Jeng-Eng Mo-Li sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

   "Bagus, pemuda yang tampan dan gagah, memiliki kepandaian yang berisi juga!"

   Kata Ui-Eng Suthai sambil mengelak dari serangan Swi Kiat.

   "Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Pemuda yang ini pun ilmu tombaknya tak tercela. Benar-benar pemuda yang menawan hati!"

   Kata Jeng-Eng Mo-Li sambil tertawa ha-ha-ha-hi-hi dan menghadapi Kun Beng dengan tangan kosong.

   Memang, kepandaian Swi Kiat dan Kun Beng sudah tinggi dan boleh di bilang luar biasa kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda yang sebaya dengan mereka. Akan tetapi kini mereka menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga sudah matang pengalamannya. Beberapa jurus kemudian, setelah menghindarkan diri dari serangan dua orang pemuda itu tanpa membalas sedikit pun, Ui-Eng Suthai lalu mencabut keluar sehelai saputangan kuning dari saku bajunya dan sekali ia mengebutkan saputangan itu ke arah muka Swi Kiat, pemuda ini mencium bau yang amat wangi dan yang membuatnya lemas dan pening. Tak tertahankan lagi dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan dalam pelukan Ui-Eng Suthai!

   Hampir berbareng, Jeng-Eng Mo-Li juga mengebutkan saputangannya yang berwarna hijau dan juga Kun Beng roboh pingsan dalam pelukannya. Sambil tertawa-tawa dengan pipi menjadi merah, kedua orang wanita cabul ini lalu memondong tubuh korban mereka dan membawanya lari kedalam, diikuti oleh pandangan mata tiga orang saudara seperguruan mereka yang tersenyum-senyum geli. Demikianlah perangai Kun-Lun Ngo-Eng yang bejat moralnya! Tertawannya Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai, menimbulkan amarah besar kepada Kun-Lun Sam-Lojin. Mereka menganggap bahwa kini Kun-Lun Ngo-Eng berlaku keterlaluan sekali. Kun-Lun Sam-Lojin mengenal Pak-Lo-Sian sebagai tokoh besar di dunia kang-ouw, dan kalau sampai sekarang orang tua itu mendapat celaka di Kun-Lun-San, bukankah itu memburukkan nama Kun-Lun-Pai?

   "Mereka sudah terlalu berani. Kalau didiamkan saja, akhirnya kita jugalah yang akan mendapat nama buruk. Kejahatan merajalela di depan mata, apakah kita harus diam saja?"

   Kata Seng Giok Siansu, orang termuda dari Kun-Lun Sam-Lojin. Memang orang termuda dari Kun-Lun Sam-Lojin ini beradat paling keras di antara saudara-saudaranya.

   "Habis apakah yang harus kita lakukan? Twa-Suheng Seng Thian Siansu melarang kita mencampuri urusan mereka dan mencari permusuhan, kalau kita turun tangan, tentu Twa-Suheng marah sekali,"

   Kata Seng Te Siansu hati-hati.

   "Memang sukar,"

   Kata Seng Jin Siasu.

   "Menurutkan Twa-Suheng dan tinggal peluk tangan saja, hati dan pribadi tidak mengijinkan. Kalau menyerbu Kun-Lun Ngo-Eng dan melanggar larangan Twa-Suheng, berarti pembangkangan terhadap saudara tua. Akan tetapi, kurasa lebih baik melanggar larangan daripada melanggar perikemanusiaan dan kewajiban sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi perikebajikan! Sekarang Twa-Suheng sedang berSiulian (bersamadhi) dan tak mungkin diganggu. Bagaimana kalau diam-diam kita pergi ke sana dan mengusir orang-orang jahat sambil menolong Pak-Lo-Sian? Kalau kelak Twa-Suheng marah, biarlah kita beramai mohon maaf dan memberi alasan yang tepat."

   Akhirnya dua orang saudaranya setuju dan berangkatlah mereka bertiga menyerbu bangunan besar tempat tinggal Kun-Lun Ngo-Eng. Terjadi pertempuran hebat sekali antara Kun-Lun Ngo-Eng dan Kun-Lun Sam-Lojin. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu Pedang dari Kun-Lun Ngo-Eng lihai sekali dan jumlah mereka juga lebih besar.

   Dalam pertempuran mati-matian, akhirnya orang ketiga dari Kun-Lun Sam-Lojin, yakni Seng Giok Siansu, roboh dan tewas oleh jarum lihai dari Ui-Eng Suthai yang disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa). Adapun dua orang tokoh Kun-Lun-Pai yang lain, Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, terluka dan dapat ditawan! Setelah terjadi hal yang hebat ini, barulah Seng Thian Siansu keluar dari tempat pertapaannya dan turun gunung. Ia memaksa diri biarpun tubuhnya sudah tua dan lemah dan berniat hendak mengadu jiwa dengan Kun-Lun Ngo-Eng. Agaknya, Kakek yang sudah tua sekali ini biarpun kepandaiannya lihai, akan menghadapi bencana di depan bangunan tempat tinggal Kun-Lun Ngo-Eng. Baiknya di tengah jalan dia bertemu dengan Ang-Bin Sin-Kai dan Kwan Cu! Mendengar penuturan Kakek tua renta itu, Ang-Bin Sin-Kai menjadi marah sekali.

   "Locianpwe, mereka itu benar-benar jahat dan patut sekali dibasmi. Kiranya tak perlu Locianpwe sendiri mengotorkan tangan, biarlah Teecu mewakili Locianpwe untuk membereskan persoalan ini, menolong Pak-Lo-Sian dan sute-sute dari Locianpwe,"

   Kata Ang-Bin Sin-Kai.

   "Terima kasih, Ang-Bin Sin-Kai, terima kasih. Kalau bukan engkau yang mengajukan penawaran membantu, agaknya aku takkan percaya dan terpaksa turun tangan sendiri, biarpun tenagaku sudah lemah. Akan tetapi kepadamu aku pecaya penuh dan kau wakililah aku. Kelak mungkin sekali sebelum aku mati aku akan dapat meninggalkan sesuatu untukmu."

   Ang-Bin Sin-Kai tersenyum lalu menoleh kepada Kwan Cu.

   "Kwan Cu, kau mendengar sudah bahwa Locianpwe hendak memberi hadiah sesuatu. Kelak kalau ada kesempatan, kau wakililah Gurumu menerima hadiah itu."

   Setelah itu, Ang-Bin Sin-Kai memberi hormat kepada Seng Thian Siansu, lalu mengajak muridnya cepat-cepat menuju ke tempat tinggal Kun-Lun Ngo-Eng.

   Ketika siuman kembali, Kun Beng mendapatkan dirinya sedang rebah di atas sebuah pembaringan yang ditilami oleh kain sutera hijau. Pembaringan itu indah sekali dan bantalnya disulam benang emas, berbau harum sekali. Kamar itupun amat indahnya, dihias dengan dinding yang penuh dengan gambar-gambar pemandangan dan bunga, dengan perabot-perabot yang serba mahal dan indah seperti kamar seorang puteri Bangsawan. Semua ini masih belum mengherankan hati Kun Beng yang masih merasa pening, akan tetapi ketika dia mendengar suara ketawa merdu di dekatnya dan dia menengok, serentak dia melompat turun dari pembaringan dan berdiri di atas lantai.

   Ternyata bahwa di dekatnya tadi duduk Jeng-Eng Mo-Li yang tertawa-tawa manis kepadanya. Perempuan ini sekarang tidak kelihatan galak, melainkan telah berhias dengan bedak dan gincu tebal dan lagaknya tersenyum-senyum dengan mata melirik-lirik itu benar-benar membuat Kun Beng merasa bulu tengkuknya berdiri dan muak sekali. Pemuda yang baru menjelang dewasa ini masih belum tahu akan segala kemesuman perempuan cabul seperti Jeng-Eng Mo-Li, akan tetapi dia telah dapat merasa dan mengerti akan sikap perempuan itu dan karenanya dia merasa muak sekali. Seketika itu juga teringatlah dia akan semua peristiwa yang terjadi dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan dan dibawa kekamar perempuan rendah ini. Wajahnya menjadi merah sekali saking jengah dan marahnya.

   "Anak yang baik, kau telah berada disini. Berlakulah manis kepadaku dan kau akan hidup sebagai seorang pangeran di tempat ini,"

   Kata Jeng-Eng Mo-Li dengan suara dibuat-buat agar terdengar menarik merdu.

   "Siluman jahat!"

   Kun Beng membentak dan pemuda ini hendak melompat keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja tiba di pintu, lengan kanannya telah ditangkap oleh Jeng-Eng Mo-Li dan perempuan itu menariknya kembali ke dalam kamar.

   "Kalau kau keluar, kau akan menjumpai maut. Di luar menanti kematian dan di dalam kamar kau akan hidup penuh kesenangan,"

   Kata Jeng-Eng Mo-Li dengan suara membujuk.

   "Anjing hina-dina, lebih baik aku mati!"

   Seru Kun Beng dan kali ini pemuda ini mengayun tangan kanan memukul ke arah kepala Jeng-Eng Mo-Li! Akan tetapi, dengan mudah saja Jeng-Eng Mo-Li miringkan kepala mengelak dari pukulan ini, bahkan sekali ia menggerakkan tangan, ia telah dapat menangkap pergelangan tangan Kun Beng dan sebelum pemuda itu sempat bergerak, lengan kedua sudah ditangkap pula sehingga Kun Beng tidak berdaya lagi!

   "Bodoh, kau menurutlah saja. Aku amat sayang kepadamu karena kau lain daripada pemuda-pemuda yang lemah itu. Kalau kau mau berlaku manis dan tidak membandel, kau akan kujadikan pangeran di antara mereka semua dan kau tidak usah diberi minum arak pembius. Kau lihat, orang-orang muda yang berada di sini dipaksa dengan minum obat sehingga mereka seperti boneka hidup. Aku tidak suka akan boneka-boneka hidup, aku ingin seorang kekasih yang betul-betul suka kepadaku. Nah, berlakulah manis, kau tentu akan hidup bahagia di sini."

   Namun, sebagai jawaban atas bujukan ini, kaki Kun Beng bergerak-gerak cepat sekali dan tahu-tahu dia telah mengirim tendangan yang amat kuat dan berbahaya sekali bagi keselamatan Jeng-Eng Mo-Li! Karena Jeng-Eng Mo-Li sedang memegangi kedua tangan Kun Beng dengan kedua tangannya sendiri, maka tendangan yang tiba-tiba dan dari jarak dekat datangnya ini, tak dapat ditangkis. Terpaksa ia melepaskan pegangannya dan melompat mundur. Namun Kun Beng yang sudah menjadi marah dan benci sekali kepada perempuan ini, cepat menyambar meja di depannya dan dengan meja di tangan, dia menyerang Jeng-Eng Mo-Li dengan hebatnya!

   "Bocah tak kenal budi!"

   Jeng-Eng Mo-Li membentak keras karena ia pun merasa jengkel sekali menghadapi pemuda yang nekat ini. Dengan sebuah bangku di tangan, ia menangkis serangan Kun Beng dan terdengar suara keras ketika meja dan bangku beradu. Patah-patah kaki meja yang dipegang Kun Beng dan pemuda ini sendiri terlempar oleh benturan pukulan ini. Namun Kun Beng tidak takut dan dia melangkah maju lagi dengan kedua tangan terkepal, siap untuk menyerang dan melawan mati-matian. Kalau saja Kun Beng tidak memiliki wajah yang tampan dan yang menarik hati Jeng-Eng Mo-Li, tentu perempuan ini telah menggunakan kepandaian untuk membunuhnya.

   Jeng-Eng Mo-Li merasa amat tersinggung dan juga kecewa, akan tetapi ia masih sayang kepada pemuda ini, maka ketika Kun Beng menyerbu lagi, cepat ia mengebutkan saputangan hijaunya dan robohlah Kun Beng untuk kedua kalinya! Sama halnya dengan Kun Beng, di kamar lain Swi Kiat tengah digoda dan dibujuk oleh Ui-Eng Suthai. Pemuda yang berangasan ini memaki-maki dan memberontak sehingga terpaksa Ui-Eng Suthai menotoknya dan memberinya minum semacam arak yang dicampur dengan bisa yang amat luar biasa. Bisa ini seketika itu juga membuat lumpuh semangat dan menutup semua pikiran sehingga Swi Kiat seakan-akan menjadi boneka hidup yang hanya mempunyai satu maksud, yakni menurut dan mentaati segala kehendak dan perintah yang dikeluarkan oleh Ui-Eng Suthai!

   Namun sebelum Swi Kiat berada dalam keadaan lumpuh itu, satu pikiran terkandung dalam otaknya, yakni pikiran membenci perempuan karena dia merasa muak dan benci kepada semua lagak dan kelakuan Ui-Eng Suthai. Adapun Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai orang aneh yang wataknya juga luar biasa sekali itu, setelah mendapat kenyataan bahwa dia tidak dapat keluar dari sumur kering, bukannya menjadi gelisah atau bingung, bahkan sehabis memaki-maki Kun-Lun Ngo-Eng dengan kata-kata kotor, dia lalu bernyanyi-nyanyi dengan suara keras sehingga gemanya keluar dari sumur dan terdengar sampai jauh dari bangunan besar itu! Akan tetapi, tidak lama kemudian suaranya tidak terdengar lagi, agaknya orang tua ini telah tidur pulas. Betulkah Siangkoan Hai dapat tidur dalam keadaan seperti itu?

   Sama sekali tidak! Kakek yang aneh ini ketika bergerak-gerak dan meraba-raba di dalam sumur kering, tiba-tiba tangannya menyentuh tulang-tulang manusia. Ketika dia meraba terus, ternyata bahwa tulang-tulang itu masih utuh, bahkan adapula tengkoraknya. Dan di tangan rangka manusia ini, dia mendapatkan selembar benda terbuat daripada kulit. Siangkoan Hai mengambil benda itu dan disimpannya di saku bajunya, hendak diselidikinya apabila dia dapat keluar dari kurungan itu. Ia percaya penuh bahwa tentu suara nyanyiannya yang keras terdengar oleh orang-orang gagah yang berada di Kun-Lun-San, maka setelah menyimpan benda itu, kembali dia bernyanyi-nyanyi keras. Kakek ini tidak merasa khawatir karena menghadapi kepandaian Kun-Lun Ngo-Eng, dia tak usah takut. Mereka berlima itu tidak dapat mengganggunya walaupun dia telah tertawan di dalam sumur.

   Adapun soal makan. Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai ini adalah seorang yang aneh. pernah dia tidak makan sampai sebulan lamanya dan sekali dia "Membuka puasanya"

   Dia dapat menghabiskan belasan kati daging dan beberapa guci arak besar! Selama itu, dia dapat mempertahankan diri dan tentu akan datang orang gagah menolongnya, pikir Kakek ini. Tidak seperti Ui-Eng Suthai yang tidak sabar lagi dan terus saja membari minum arak pembius kepada Swi Kiat. Jeng-Eng Mo-Li masih merasa sayang kepada Kun Beng. Beberapa kali kalau pemuda ini siuman, dia membujuk dengan kasar dan halus, kemudian membuat pemuda ini pingsan kembali dengan Kebutan saputangan hijaunya. Namun, Kun Beng berjiwa gagah dan bersemangat pendekar, mana dia sudi menuruti kehendak perempuan cabul yang berjiwa kotor itu?

   
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau benar-benar bandel dan agaknya kau lebih suka menjadi anjing hidup!"

   Kata Jeng-Eng Mo-Li marah dan jengkel sekali. Ia keluar dari kamar dan tak lama kemudian ia datang kembali diikuti oleh seorang gadis muda yang cantik dan seorang pemuda yang tampan, akan tetapi wajah kedua orang muda ini pucat dan sinar matanya lenyap seakan-akan tidak bercahaya lagi. Melihat mereka ini, Kun Beng bergidik karena dia kin maklum bahwa yang dianggap murid-murid Kun-Lun Ngo-Eng, tidak tahunya hanyalah orang-orang muda yang berada di bawah pengaruh obat pembius sehingga mereka ini lebih tepat disebut boneka-boneka hidup! Jeng-Eng Mo-Li berkata kepada Kun Beng,

   "Anak bodoh, kau lihat ini. Sukakah kau menjadi seperti mereka?"

   Kemudian wanita jahat itu menoleh kepada sepasang pemuda-pemudi yang berdiri seperti patung di situ, memandang tajam dan membentak keras,

   "Kalian berdua sekarang menjadi anjing. Hayo merayap di atas empat kakimu!"

   Dua orang muda itu ketika mendengar ucapan ini, segera berlutut dan merangkak-rangkak memutari kamar itu seperti dua ekor anjing jantan dan betina! Sambil tertawa genit Jeng-Eng Mo-Li lalu mengambil dua potong kue dari atas meja yang tadinya dipergunakan untuk membujuk dan menjamu Kun Beng, melemparkan dua potong kue itu di atas lantai dan berkata lagi,

   "Makan kue itu seperti anjing makan, pergunakan mulutmu!"

   Dan benar saja, dua orang muda itu lalu makan kue itu seperti dua ekor anjing saja!

   "Keluar dari sini!"

   Jeng-Eng Mo-Li membentak dan berlarilah keluar dua orang muda itu seperti anjing-anjing dipukul! Menyaksikan pertunjukkan yang hebat ini, Kun Beng menjadi pucat sekali dan segera mukanya berubah merah.

   "Perempuan iblis, kau harus mampus!"

   Sambil berkata demikian, pemuda ini melompat dan menerkam Jeng-Eng Mo-Li, hendak mencekik leher perempuan jahat ini. Akan tetapi memang kepandaiannya kalah jauh, beberapa gebrakan saja dia telah kena ditotok jalan darahnya dan tak dapat berkutik lagi. Jeng-Eng Mo-Li kini sudah marah sekali dan habis kesabarannya.

   "Kalau kau tidak mau menurut kepadaku, baik! Kau akan menjadi boneka hidup!"

   Setelah berkata demikian, ia lalu mengambil sebotol arak berwarna hitam dan ketika ia membuka tutup botol itu, bau yang keras sekali memenuhi kamar. Ia menghampiri Kun Beng yang sudah di atas pembaringan tak dapat bergerak lagi dan hendak menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari luar kamar.

   "Perempuan iblis!"

   Dan menyambarlah angin pukulan yang demikian kerasnya sehingga ketika Jeng-Eng Mo-Li mengelak, botol di tangannya itu terpukul oleh angin pukulan dan terlepas dari pegangan! Botol itu jatuh pecah di atas lantai, dan bau yang keras itu makin menghebat.

   Jeng-Eng Mo-Li terkejut sekali karena suara itu adalah suara Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai! Ia cepat melompat keluar kamar dari pintu rahasia. Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai tidak mempedulikannya, sebaliknya lebih dulu membebaskan muridnya dari pengaruh totokan, kemudian dia mengajak Kun Beng melompat keluar. Bagaimanakah Pak-Lo-Sian dapat keluar dari sumur kering dan dapat menolong Kun Beng pada saat yang amat tepat? Mudah diduga bahwa ini tentulah hasil usaha Ang-Bin Sin-Kai, akan tetapi sesungguhnya bukan Kakek sakti ini, melainkan muridnya yang menolong Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai. Seperti telah dituturkan di bagian depan, dengan cepat sekali Ang-Bin Sin-Kai dan muridnya berlari menuju ke tempat tinggal Kun-Lun Ngo-Eng atau lima garuda dari Kun-Lun-San itu.

   Tidak seperti Siangkoan Hai yang menantang dari depan, Ang-Bin Sin-Kai yang sudah dapat menduga bahwa orang seperti Pak-Lo-Sian itu kalau sampai kalah, tentu di situ terdapat tempat-tempat rahasia dan jebakan-jebakan, mengambil jalan dari atas! Ia memegang tangan Kwan Cu dan mengajak muridnya melayang naik ke atas pagar tembok yang tinggi, kemudian dengan mengenjotkan sebelah kaki ke atas tembok, dia dapat melompat ke atas genteng dengan gerakan sedemikian ringannya sehingga tidak terdengar sedikitpun oleh orang-orang yang berada di bawah. Dalam percakapan dengan Seng Thian Siansu, Ang-Bin Sin-Kai sudah mendengar bahwa di dalam bangunan itu, orang-orang yang berbahaya hanyalah Kun-Lun Ngo-Eng saja, sedangkan para "Murid-muridnya"

   Tidak memiliki kepandaian berarti.

   "Kwan Cu, kau lihat baik-baik. Kalau aku sudah di keroyok oleh lima orang Kun-Lun Ngo-Eng itu, barulah kau boleh turun dan cari orang-orang yang perlu ditolong,"

   Kata Pengemis sakti itu kepada muridnya.

   Kemudian, Guru dan murid ini tiba di tengah-tengah bangunan itu di mana terdapat sebuah ruangan di bawahnya. Mereka melihat tiga orang laki-laki tua dan seorang wanita setengah tua yang cantik dan genit duduk menghadapi meja dan sedang makan minum dengan senangnya. Mereka ini dilayani oleh anak-anak muda laki-laki dan perempuan yang bergerak seperti patung hidup. Kwan Cu terkejut sekali ketika melihat Swi Kiat berada di antara para anak muda yang melayani empat orang tokoh jahat itu. Seperti anak-anak muda yang lain, Swi Kiat berwajah pucat dan pandang matanya tak bersinar. Mereka ini adalah Pek-Eng Sianjin, Ang-Eng Sianjin, dan Hek-Eng Sianjin sedangkan yang perempuan adalah Ui-Eng Suthai.

   Adapun Jeng-Eng Mo-Li tidak kelihatan karena wanita busuk ini sedang membujuk dan mengancam Kun Beng di dalam kamarnya sendiri! Tadinya Ang-Bin Sin-Kai hendak menanti sampai lima tokoh jahat itu berkumpul semua agar dia dapat menyerang mereka dan memberi kesempatan kepada muridnya untuk menolong Pak-Lo-Sian, murid-muridnya, dan lain orang yang ditawan disitu. Akan tetapi ketika Kakek Pengemis ini menyaksikan keadaan orang-orang muda itu, seketika mukanya menjadi merah padam dan alisnya berdiri. Kemarahannya memuncak, karena Kakek ini mengerti apakah yang menimpa pada diri anak-anak muda itu! Pada saat Ang-Bin Sin-Kai yang sudah marah

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   sekali itu hendak turun tangan, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekalidan juga amat ringannya, kemudian disusul oleh suara orang menyuling lagu kuno yang indah!

   "Hang-Hong-Siauw Yok-Ong datang..."

   Kata Ang-Bin Sin-Kai perlahan pada muridnya. Kemudian dia berkata kepada bayangan yang datang itu.

   "Yok-Ong (Raja Obat), kebetulan sekali kau datang. Banyak pekerjaan mulia untukmu!"

   Setelah berkata demikian, dengan hati girang dan besar, Ang-Bin Sin-Kai melompat turun dan segera melayang ke atas meja di tengah ruangan itu. Ketika tadi mendengar suara Suling dari Hang-Hong-Siauw Yok-Ong, empat orang tokoh Kun-Lun Ngo-Eng itu terkejut sekali dan masing-masing melompat bangun dari tempat duduknya,

   Apalagi ketika mereka mendengar suara Ang-Bin Sin-Kai yang belum mereka kenal. Tentu saja mereka amat kaget ketika mendengar suara orang di atas ruangan. Bagaimana ada orang bisa berada di atas genteng tanpa mereka dengar sama sekali suara kakinya? Padahal mereka rata-rata memiliki pendengaran yang amat tajam! Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa hebat kekagetan mereka ketika tiba-tiba bertiup angin kencang dibarengi berkelebatnya bayangan manusia dan tahu-tahu di atas meja yang mereka hadapi tadi, kini telah berdiri seorang Kakek Pengemis yang rambut dan jenggotnya panjang dan pakaiannya tidak karuan macamnya. Kakek ini ketika dari atas melayang ke atas meja, kini berdiri di atas dua buah mangkok sayur, memandangi masakan-masakan di atas meja sambil tersenyum-senyum lalu berkata mengejek,

   "Masakan busuk... aku tidak doyan...!"

   Pek-Eng Sianjin tahu bahwa tempat tinggalnya kedatangan orang pandai yang tentu sudah mengetahui akan semua peristiwa yang belum lama terjadi. Memang dia sudah merasa tidak enak sekali dengan tertawanya Pak-Lo-Sian dan juga Kun-Lun Sam-Lojin, dan tentu saja dia dapat menduga bahwa kedatangan Kakek Pengemis ini tentulah ada hubungannya dengan orang-orang kang-ouw yang tertawan itu. Maka dia lalu memberi tanda rahasia kepada tiga orang saudaranya dan serentak empat orang ini mengepung dan menyerang tubuh Ang-Bin Sin-Kai yang masih berdiri di atas meja dengan kedua kaki di atas mangkok.

   Yang diserang dengan amat tenang hanya menggerakkan kedua kakinya dan melayanglah empat buah mangkok berisi sayuran ke arah empat penyerangnya! Ketika Pek-Eng Sianjin dan tiga orang saudaranya melihat mangkok melayang ke arah mereka, cepat mereka memukulkan dengan Pedang dan alangkah kaget hati mereka ketika telapak tangan mereka terasa sakit dan panas walaupun mangkok-mangkok itu dapat dipukul pecah. Mereka mendesak maju mengurung meja, namun dengan mangkok-mangkok di atas meja, Ang-Bin Sin-Kai melayani mereka dengan menendangi mangkok-mangkok itu ke arah empat pengeroyoknya. Sementara itu, Hang-Hong-Siauw Yok-Ong juga melayang turun, akan tetapi Raja obat ini sama sekali tidak ikut bertempur. Bahkan dia tertawa geli melihat cara Ang-Bin Sin-Kai melayani empat orang lawannya dan untuk beberapa lama menonton sambil tertawa-tawa.

   Kemudian dia menotoki roboh semua orang muda yang tadi melayani Pek-Eng Sianjin dan saudara-saudaranya. Tubuh para orang muda itu oleh Yok-Ong dikumpulkan di sudut ruangan yang lebar itu, dibaringkan saja berjajar di atas lantai, lalu dia mencar-cari lagi anak-anak muda yang lain yang memang banyak terculik oleh lima orang jahat itu. Kwan Cu setelah melihat Suhunya dikeroyok oleh empat orang lawan di dalam ruangan itu, lalu melompat turun ke bagian belakang. Tugasnya ialah menolong orang-orang yang tertawan di situ, akan tetapi di manakah tempat untuk menyimpan para tawanan? Ketika dia tengah mencari, tiba-tiba dia mendengar suara orang bernyanyi. Ia mengenal suara Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai, maka cepat-cepat dia menghampiri tempat dari mana suara itu datang dari dalam sebuah sumur yang amat dalam dan gelap.

   "Pak-Lo-Sian Locianpwe...!"

   Kwan Cu memanggil dari atas sumur. Suara nyanyian itu berhenti dan tak lama kemudian terdengar suara tertawa.

   "Ha-ha-ha, bocah gundul. Bukankah kau murid Ang-Bin Sin-Kai? Lekas kau mencari tambang yang panjang dan masukkan ujungnya ke dalam sumur. Ujung yang lain kau ikatkan kepada tiang agar aku dapat naik!"

   "Baik, Locianpwe, tunggulah sebentar."

   Kwan Cu lalu berlari-lari ke belakang untuk mencari tambang yang cukup panjang. Ia bertemu dengan beberapa "Murid"

   Kun-Lun Ngo-Eng yang segera menyerangnya. Akan tetapi, sebetulnya para murid ini hanya mengerti ilmu silat kembangan saja dan mereka itu bertempur seperti orang-orang yang digerakkan oleh mesin, maka sebentar saja Kwan Cu sudah dapat meloloskan diri dari kepungan. Anak gundul yang cerdik ini dapat melihat sikap mereka yang aneh, maka dia menjadi curiga dan tidak mau memukul atau merobohkan mereka, hanya menangkis saja yang membuat mereka terpental mundur, lalu dia dapat menemukan tambang yang panjang dan cepat dia membawa tambang itu ke tempat di mana terdapat sumur tadi.

   "Locianpwe, tangkap tambang!"

   Serunya ke dalam sumur sambil mengulur tambang itu ke dalam sumur yang amat gelap itu. Ia tidak mengikatkan ujung tambang pada tiang, melainkan memeganginya dan membelit-belitkan pada kedua tangannya. Tak lama kemudian tambang itu bergerak-gerak dan dengan cepatnya tubuh Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai merayap naik melalui tambang bagaikan seekor kera saja. Ketika tiba di atas dan melihat betapa tambang itu dipegangi oleh Kwan Cu, Pak-Lo-Sian tertawa memuji. Akan tetapi Kwan Cu berkata,

   "Cepat, Locianpwe, di kamar belakang sebelah kiri Teecu mendengar suara Kun Beng memaki-maki. Agaknya dia dalam bahaya!"

   Memang ketika mencari tambang tadi, Kwan Cu mendengar suara Kun Beng yang sedang memaki-maki Jeng-Eng Mo-Li. Bocah gundul ini tidak berani menolong karena dia dapat menduga bahwa orang kelima dari Kun-Lun Ngo-Eng boleh jadi sekali berada di kamar itu dan dia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk menghadapi lawan tangguh. Mendengar ini, Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai lalu melompat dan lenyap dari situ. Sebagaimana dituturkan di bagian depan, dengan tepat sekali Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai dapat menyelamatkan Kun Beng dari bahaya terkena obat bius yang berbahaya. Adapun Jeng-Eng Mo-Li setelah berlari keluar dan melihat empat orang saudaranya mengeroyok Ang-Bin Sin-Kai namun kelihatan amat terdesak, segera membantu.

   "Ha-ha-ha! Kini lengkap Kun-Lun Ngo-Mo (Lima Iblis Kun-Lun-San)! Bagus, bagus!"

   Sambil berkata demikian, Ang-Bin Sin-Kai menggerakkan kakinya. Terdengar teriakan kaget dan tubuh Ui-Eng Suthai terlempar ke arah Yok-Ong yang kini berada di sudut, menjaga orang-orang muda yang semua telah ditotoknya dan kini dibaringkan di atas lantai berjajar, belasan orang jumlahnya. Sambil meniup Sulingnya, Yok-Ong tadi menonton pertandingan antara Ang-Bin Sin-Kai dikeroyok lima orang. Nampaknya dia gembira sekai dan Sulingnya ditiup keras, menyanyikan lagu perang sehingga sesuai sekali dengan jalannya pertempuran. Karena inilah maka Ang-Bin Sin-Kai mendongkol sekali dan sengaja menendang seorang lawannya ke arah Yok-Ong.

   Melihat tubuh wanita jahat itu melayang ke arahnya, Yok-Ong tidak menghentikan suara Sulingnya, hanya mengangkat kaki kirinya dan sekali mendupak, tubuh Ui-Eng Suthai telah dikirim kembali ke tengah medan pertempuran! Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai sebelum membawa Kun Beng ke tempat itu, lebih dulu menolong dan membebaskan Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, dua orang tokoh Kun-Lun-Pai yang ditawan di dalam sebuah kamar besi. Kemudian beramai-ramai mereka menuju ke ruang tengah di mana terjadi pertempuran antara Ang-Bin Sin-Kai dikeroyok lima. Pak-Lo-Sian marah sekali ketika mendengar dari Kun Beng tentang kejahatan Kun-Lun Ngo-Eng. Apalagi ketika tiba di ruang itu dia melihat muridnya yang pertama, Swi Kiat, rebah bersama orang-orang muda lain dengan muka pucat.

   "Harus kubikin mampus kelima Kun-Lun Ngo-Eng!"

   Katanya penuh geram. Kebetulan sekali Ang-Bin Sin-Kai yang sedang mempermainkan lima orang lawannya, melihat betapa Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai masuk dari sebuah pintu, diikuti oleh Kun Beng dan dua orang Kakek Kun-Lun-Pai, segera berkata,

   "He, Pak-Lo-Sian, mari kau ikut main-main!"

   Serunya dan kembali seorang pengeroyok, kini Hek-Eng Sianjin, terlempar tubuhnya terkena dorongannya. Tubuh Hek-Eng Sianjin berputar-putar di tengah udara dan melayang menuju ke tempat Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai berdiri. Kakek sakti dari Utara ini yang sudah merasa amat gemas dan marah kepada lima orang jahat itu, mengulur tangan kanannya dan sekali sambar dia telah dapat menangkap leher Hek-Eng Sianjin, kemudian sambil berseru,

   

Pendekar Kelana Eps 10 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 8 Kumbang Penghisap Kembang Eps 12

Cari Blog Ini