Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 16


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



"Mampuslah kau!"

   Tubuh itu dia lemparkan ke arah dinding. Terdengar suara keras dan kepala Hek-Eng Sianjin pecah beradu dengan dinding batu yang keras. Tubuhnya menggeletak di bawah tembok dan darah mengalir membasahi lantai. Yok-Ong menghentikan tiupan Sulingnya dan berkata memuji,

   "Memang begitulah seharusnya menghukum orang jahat. Kalau tidak dihabiskan jiwanya, iblis yang mengeram di dalam tubuhnya takkan mau pergi!"

   Akan tetapi baru saja dia menutup mulutnya, Ang-Bin Sin-Kai telah menangkap lengan Ui-Eng Suthai yang ternyata masih dapat mengeroyok juga setelah tadi dipergunakan sebagai bal oleh Yok-Ong dan Ang-Bin Sin-Kai, kemudian sambil membetot dia melemparkan tubuh Ui-Eng Suthai ke arah Yok-Ong!

   "Ini bagianmu!"

   Seru Ang-Bin Sin-Kai lantang.

   "Eh, eh, eh, aku tidak biasa menghancurkan kepala orang!"

   Kata Yok-Ong gugup karena tidak tersangka bahwa dia harus menewaskan seorang di antara Kun-Lun Ngo-Eng.

   Dia seorang Raja Obat, kesukaannya menyembuhkan orang sakit dan mencegah orang tercengkeram dan terbawa oleh Giam-Lo-Ong (Raja Maut). Bagaimana dia dapat membunuh orang? Maka setelah tubuh Ui-Eng Suthai itu melayang ke dekatnya, dia lalu mendorongnya kembali sehingga tubuh wanita itu terpental ke arah Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai! Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai dapat menduga bahwa muridnya, yakni Swi Kiat, tentu menjadi korban perempuan ini karena perempuan kedua Kun-Lun Ngo-Eng, yakni Jeng-Eng Mo-Li, dilihatnya tadi menggoda Kun Beng. Maka marahnya tak dapat dikendalikan lagi dan melihat perempuan ini, dia mengangkat kaki kanannya menendang ke arah lambung Ui-Eng Suthai.

   Wanita ini menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar ke arah dinding, terbentur keras dan roboh di atas tubuh Hek-Eng Sianjin dalam keadaan tak bernyawa pula. Yang membunuhnya adalah tendangan tadi karena Pak-Lo-Sian tidak mau berlaku kepalang dan telah mengerahkan seluruh tenaga dalam tendangannya. Mana Ui-Eng Suthai kuat menahan tendangan itu? Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai telah menewaskan dua orang jahat itu, menjadi makin buas. Ia memang paling benci kepada orang-orang jahat, apalagi setelah dia melihat keadaan orang-orang muda itu, terutama sekali keadaan muridnya yang tersayang. Sambil mengeluarkan seruan keras dia melompat maju dan menyerang tiga orang lain yang masih dipermainkan oleh Ang-Bin Sin-Kai. Bagaimana tiga orang itu dapat bertahan menghadapi serangannya?

   Sedangkan menghadapi Ang-Bin Sin-Kai seorang saja mereka telah menjadi sibuk dan terdesak hebat. Kini Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai yang kepandaiannya setingkat dengan Ang-Bin Sin-Kai ikut pula menyerbu, tentu saja mereka tak dapat mempertahankan diri lagi. Jeng-Eng Mo-Li yang mula-mula menjadi korban dari kipas hitam di tangan Pak-Lo-Sian. Kipas ini menyambar bagaikan seekor Burung gagak liar, dan biarpun Jeng-Eng Mo-Li berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dengan Pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedangnya patah menjadi dua dan kepalanya terkena totokan gagang kipas. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Jeng-Eng Mo-Li roboh, kemudian ketika Pak-Lo-Sian menendangnya, tubuh itu terlempar ke sudut ruangan, bertumpuk dengan tubuh Ui-Eng Suthai dan Hek-Eng Sianjin! Pek-Eng Sianjin menjadi pucat ketakutan dan dia mencoba untuk bertahan.

   Ilmu Pedangnya memang paling kuat di antara saudara-saudaranya, maka dia masih dapat mempertahankan diri. Akan tetapi Ang-Eng Sianjin tak dapat menangkis lagi. Ketika Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai menggunakan kipasnya untuk menyerang, dia berusaha melompat pergi, namun kipas itu seperti ada matanya dan hidup. Dengan kecepatan luar biasa kipas itu mengikutinya dan tahu-tahu belakang lehernya terkena pukulan. Terdengar suara keras dan patahlah tulang lehernya sehingga dia pun roboh tak bernyawa lagi. Pak-Lo-Sian menendangnya pula sehingga mayatnya bertumpuk dengan mayat saudara-saudaranya. Habislah keberanian Pek-Eng Sianjin setelah melihat empat orang adik seperguruannya tewas dalam keadaan mengerikan itu. Timbul kegetiran hatinya dan dalam keadaan ketakutan, dia lalu berlutut dan melempar Pedangnya.

   "Pinto (aku) Pek-Eng Sianjin mohon ampun dan minta hidup."

   Katanya dengan bibir gemetar. Mendengar ini, Yok-Ong mengluarkan suara ejekan dari hidungnya. Tokoh besar ini merasa jemu dan muak melihat sikap pengecut dari Pek-Eng Sianjin ini, maka dia lalu membalikkan tubuh dan menghampiri para anak muda yang masih rebah tertotok olehnya. Ia mulai memeriksa keadaan mereka dan mempersiapkan obat-obat untuk menolong orang-orang muda yang telah menjadi boneka hidup oleh obat pembius dari Kun-Lun Ngo-Eng.

   "Dia harus mampus!"

   Seru Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu yang merasa sakit hati mengingat akan kematian adik seperguruan mereka, yakni Seng Giok Siansu. Adapun Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai dengan wajah beringas sudah mendekati Pek-Eng Sianjin dan tanpa banyak cakap lagi dia mengangkat kipasnya untuk menotok kepala Ketua Kun-Lun Ngo-Eng itu agar nyawanya menyusul adik-adiknya memasuki pintu neraka. Akan tetapi Ang-Bin Sin-Kai berseru,

   "Pak-Lo-Sian, tahan!"

   Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai menoleh kepada Kakek Pengemis itu. Kedua matanya merah dan masih menyinarkan kemarahan besar.

   "Mengapa kau menahanku, Ang-Bin Sin-Kai? Tidakkah sepatutnya anjing macam ini dilenyapkan dari muka bumi?"

   "Nanti dulu, Pak-Lo-Sian. Aku akan merasa menyesal sekali kalau kau sampai membunuh seorang yang sudah menyerah. Pembunuhan macam itu tak patut dilakukan oleh orang gagah."

   Kemudian Pengemis sakti ini bertanya kepada Pek-Eng Sianjin.

   "Berdasarkan apakah kau mohon ampun dan minta hidup? Apakah kau sudah bertobat dan takkan melakukan kejahatan lagi?"

   "Pinto sudah bertobat dan berjanji akan hidup melalui jalan benar,"

   Jawab Pek-Eng Sianjin dengan suara sungguh-sungguh karena timbul harapan akan mendapat ampun.

   "Bohong!"

   Bentak Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai sambil mengangkat lagi kipasnya.

   "Omongan manusia macam ini tak boleh dipercaya, karena mulutnya, seperti juga pikiran dan hatinya, telah dikuasai oleh iblis. Ia harus mati!"

   "Benar sekali, dia harus mati!"

   Kata pula Seng Te Siansu dan Seng Ji Siansu, membenarkan pendapat ini. Ang-Bin Sin-Kai mengangkat tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Ingatlah ujar-ujar Guru besar Khong Hu Cu dalam kitab Lun Gi bahwa kejahatan barulah disebut kejahatan sesungguhnya apabila orangnya tidak berusaha untuk mengubah atau memperbaiki kejahatan atau kesalahannya itu! Pek-Eng Sianjin telah berjanji akan mengubah cara hidupnya dan melakukan kebaikan untk menebus dosa-dosanya, maka dia berhak hidup."

   "Ang-Bin Sin-Kai, kau gegabah sekali! Beranikah kau menanggung bahwa dia kelak tidak akan berbuat kejahatan? Kalau dia kelak berbuat jahat, bukankah itu sama halnya dengan kau sendiri yang berbuat kejahatan?"

   Bentak Pak-Lo-Sian marah. Ang-Bin Sin-Kai tertawa bergelak,

   "Pak-Lo-Sian, aku adalah seorang laki-laki sejati, sekali bicara takkan kutelan kembali! Tentu saja aku berani bertanggung jawab, akan tetapi apakah kepalamu yang putih itu sudah sedemikian bodoh?"

   Ia tidak melanjutkan keterangannya, melainkan berkata kepada Pek-Eng Sianjin.

   "Kau tadi berjanji akan mengubah jalan hidupmu dan melakukan kebaikan, apakah kau berani bersumpah?"

   Pek-Eng Sianjin mengangguk.

   "Nah, kalau begitu bersumpahlah, biar kami menjadi saksi."

   "Kalau aku, Pek-Eng Sianjin, tidak bertobat dan melakukan kejahatan, biarlah aku dan semua keturunan atau anak muridku, binasa oleh orang-orang gagah!"

   Baru saja Pek-Eng Sianjin menutup mulutnya, Ang-Bin Sin-Kai tertawa bergelak dan berkata,

   "Nah, kau pergilah!"

   Sambil berkata demikian, kedua tangan Ang-Bin Sin-Kai bergerak cepat dan tahu-tahu jari tangan kirinya menotok punggung dan jari tangan kanan memencet pinggang Ketua Kun-Lun Ngo-Eng itu. Pek-Eng Sianjin menjerit kesakitan dan tubuhnya bergulingan di atas lantai. Setelah dia dapat mengumpulkan tenaga dan napas, sambil meringis menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya, ternyata bahwa tubuhnya telah menjadi bongkok dan kedua tangan kakinya tak mungkin dapat dipergunakan untuk memukul orang lagi! Ia telah kehilangan dasar-dasar tenaganya dan menjadi orang biasa yang bertubuh lemah!

   "Ha, ha, ha, Ang-Bin Sin-Kai, kau benar-benar lihai dan cerdik sekali!"

   Kata Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai karena dia tahu bahwa Pek-Eng Sianjin tak dapat berlaku jahat lagi, biarpun ingin melakukan kejahatannya, namun tenaganya sudah habis dan dia tidak merupakan orang berbahaya lagi. Juga kedua orang Tosu dari Kun-Lun-Pai, mengangguk-angguk memuji dan merasa lega melihat hajaran yang di berikan kepada Pek-Eng Sianjin.

   "Hemmm, dia tak dapat diobati lagi dan akan tinggal menjadi orang bercacad selama hidupnya,"

   Kata Yok-Ong sambil menggeleng-geleng kepalanya. Sementara itu, sambil meringis menahan kesakitan Pek-Eng Sianjin memandang kepada Ang-Bin Sin-Kai dan berkata penuh dendam.

   "Ang-Bin Sin-Kai, ternyata kau kejam sekali dan tidak percaya kepada sumpahku. Kau telah membuat aku menderita selama hidupku. Baik, kau tunggu saja kelak tentu akan ada orang yang membalaskan sakit hatiku ini, kalau tidak kepadamu, tentu kepada murid-muridmu!"

   Setelah berkata demikian, Pek-Eng Sianjin lalu berjalan terpincang-pincang pergi dari tempat itu. Terdengar Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai tertawa bergelak.

   "Pengemis bangkotan, kau mencari penyakit! Kalau tadi kau membiarkan dia kubunuh, tentu dia sudah menjadi setan dan takkan bisa lagi mengeluarkan ancaman lagi. Sekarang kau harus berhati-hati, karena kau menambah adanya seorang yang berbahaya."

   "Biarlah,"

   Jawab Ang-Bin Sin-Kai tenang.

   "kalau dia memenuhi ancamannya, tak bisa lain berarti dia melanggar sumpahnya sendiri."

   Semua orang lalu mencurahkan perhatiannya kepada Yok-Ong yang mulai mengeluarkan kepandaiannya mengobati para orang muda yang masih tergeletak di tempat itu. Seorang demi seorang diurutnya bagian belakang kepala, lalu diberi minum sebutir pil putih yang sudah dicairkan dengan arak obat. Setiap orang anak muda yang mengalami pengobatan ini, lalu muntah-muntah dan keluarlah arak hitam yang membuat mereka seperti boneka hidup. Kemudian sadarlah mereka dan setelah dibebaskan dari totokan, ramailah di situ karena mereka mulai menangis sedih! Juga Swi Kiat mengalami pengobatan. Karena pemuda ini sudah memiliki dasar yang kuat dan sudah berlatih Lweekang secara mendalam, sebentar saja kesehatannya sudah pulih kembali. Dia memandang kepada Suhunya lalu berlutut dan biarpun tidak terdengar menangis, namun mukanya menjadi merah dan dari kedua matanya melompat keluar dua titik air mata.

   "Swi Kiat, tak usah kau memikirkan hal yang sudah lewat. Memang pengalaman pahit ini membuat kau kehilangan dasar kekuatan dalam tubuhmu, akan tetapi kalau kau giat berlatih, kau akan mendapatkan kembali tenagamu,"

   Kata Gurunya dengan suara mengandung keharuan.

   "Teecu bersumpah takkan mendekati wanita selama hidup Teecu!"

   Suara ini terdengar keras dan mengandung kebencian besar terhadap wanita, yang ditimbulkan oleh Ui-Eng Suthai. Setelah semua orang menerima tiga butir pil putih dari Yok-Ong, lalu kedua orang tokoh Kun-Lun-Pai diberi tugas untuk mengurus semua anak muda dan mengantar mereka kembali ke rumah dan dusun masing-masing. Setelah pengobatan itu beres semua, barulah Ang-Bin Sin-Kai teringat kepada muridnya.

   "Eh, mana Kwan Cu?"

   Tanyanya sambil memandang ke sana-sini dan baru dia merasa khawatir karena ternyata bahwa semenjak tadi tidak kelihatan Kwan Cu di tempat itu.

   "Muridmu yang gundul itu?"

   Kata Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai.

   "Tadi dia menolongku keluar dari sumur."

   Tidak hanya Ang-Bin Sin-Kai yang merasa khawatir, bahkan Pak-Lo-Sian Saingkoan Hai dan juga Hang-Houw-Siauw Yok-Ong ikut mengkhawatirkan keadaan anak itu. Jangan-jangan anak itu mengalami bencana yang tidak mereka ketahui. Beramai-ramai mereka lalu pergi ke tempat di mana tadi Kwan Cu menolong Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai.

   "Kwan Cu...!"

   Ang-Bin Sin-Kai berseru keras sekali sambil mengerahkan Khikangnya sehingga suaranya dapat terdengar dari tempat jauh di sekitar tampat itu. Tak lama kemudian, setelah gema panggilan itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah jawaban Kwan Cu.

   "Teecu berada di sini, Suhu!"

   Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai yang diikuti oleh Swi Kiat dan Kun Beng lalu Ang-Bin Sin-Kai dan Hang-Houw-Siauw Yok-Ong, saling pandang dengan heran karena suara Kwan Cu itu tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.

   "Eh, Kwan Cu, kau di manakah?"

   Kembali Ang-Bin Sin-Kai bertanya.

   "Teecu di sini, Suhu. Di bawah sini, tunggulah sebentar, Teecu akan segera keluar!"

   Barulah semua orang tahu bahwa Kwan Cu berada di dalam sumur di mana tadinya Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai terkurung! Oleh karena dia berada di bawah, maka suaranya terdengar bergema ke atas dan tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.

   "Ha-ha-ha-ha-ha! Ang-Bin Sin-Kai, muridmu itu benar-benar lucu dan aneh! Mengapa dia memasuki neraka ini? Ha-ha-ha, benar-benar anak ajaib, akan tetapi di samping kebodohannya harus kupuji ketabahan hatinya. Agaknya dia turun mempergunakan tambang yang tadi dipakai untuk menolongku."

   Kata Pak-Lo-Sian sambil menunjuk ke arah tambang yang ujungnya diikatkan pada tiang dan ujung yang lain menjulur masuk ke dalam sumur kecil yang gelap sekali itu.

   Semua orang kini memandang ke arah sumur, menanti munculnya Kwan Cu bocah gundul yang aneh itu. Memang betul, Kwan Cu telah memasuki sumur itu. Bocah ini selain mempunyai pikiran yang aneh-aneh, juga amat tabah dan cerdik. Ia tahu bahwa Suhunya sanggup menghadapi para pengeroyoknya, apalagi tadi dilihatnya ada Yok-Ong yang sekarang ditambah pula dengan Pak-Lo-Sian, dia tidak khawatir kalau orang-orang tua itu takkan dapat menolong semua korban Kun-Lun Ngo-Eng, maka ketika dia melihat sumur kecil yang gelap itu, timbul keinginan hatinya hendak memeriksa di bawahnya! Tadi dia mendengar Pak-Lo-Sian bernyanyi-nyanyi di bawah sumur, tentu di sana tempatnya enak, maka dia merasa penasaran kalau belum melihat apakah sebetulnya yang berada di dalam sumur itu.

   Sebelum memasuki sumur, lebih dulu dia mengambil alat pembuat api yang terletak di atas meja dalam ruangan yang berdekatan, kemudian setelah mengikatkan ujung tambang pada tiang dan membawa alat pembuat api itu, dia lalu merayap turun melalui tambang. Ketika kakinya menyentuh dasar sumur, mula-mula yang terinjak olehnya adalah benda keras. Ia melepaskan tambang dan meraba-raba benda itu yang ternyata adalah tulang-tulang manusia! Dari rabaan ini Kwan Cu dapat menduga bahwa itu tentulah tulang-tulang, namun dia tidak mengira bahwa tulang-tulang yang diinjaknya tadi adalah tulang rangka manusia. Dengan tenang dia lalu menyalakan alat pembuat api dan membakar lilin yang memang sengaja dibawanya dari atas. Matanya menjadi silau karena tempat yang gelap pekat itu tiba-tiba menjadi terang.

   Pertama-tama yang ditemui penglihatannya adalah tulang-tulang itu dan biarpun dia memiliki ketabahan luar biasa, dia merasa seram juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang diraba-rabanya tadi adalah tulang-tulang manusia yang masih utuh semua, lengkap dengan kepalanya. Di bawah penerangan lilin, Kwan Cu memeriksa rangka itu dan mendapat kenyataan bahwa kepala rangka itu telah pecah! Ia lalu memeriksa keadaan di sekitarnya. Tempat itu lebarnya kira-kira tujuh kaki dan ketika dia memeriksa ke sana ke mari, dia melihat benda putih di sudut kiri. Ketika diambilnya, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah kitab yang sudah tidak ada sampulnya lagi. Berdebar hati anak ini, karena setiap melihat kitab, dia teringat akan kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng yang di cari-carinya. Ia meleletkan lilin di atas tanah yang lembab, lalu duduk dan membuka-buka kitab itu.

   Hampir saja dia berseru kegirangan karena melihat huruf-huruf yang tertulis di kitab itu ternyata adalah huruf-huruf kuno yang sama dengan huruf-huruf di dalam kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng yang palsu yang dulu diperebutkan oleh lima orang tokoh besar! Segera anak ini membaca kitab itu dan kegembiraannya bertambah ketika dia medapat kenyataan bahwa inilah kitab sejarah peninggalan Gui-Siucai yang dicuri orang dari gua tempat tinggal mendiang Gu-Siucai itu! Mendapatkan kitab ini, segera dia hendak naik kembali sambil membawa kitab, akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai tadi pun berada di tempat ini! Dan sampul kitab itu sudah lenyap, siapa tahu kalau-kalau Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai juga melihat kitab ini? Berbahaya sekali kalau terjadi hal seperti itu, karena kalau dia tiba di atas membawa kitab itu, tentu Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai takkan tinggal diam dan tentu akan berusaha merampasnya!

   Ia teringat betapa tokoh-tokoh besar yang lain seperti Kiu-Bwe Coa-Li juga mencari kitab ini, maka akan besarlah bahayanya kalau dia membawa kitab itu. Ia tidak memerlukan membaca seluruh isi kitab sejarah ini, hanya perlu mengetahui tentang rahasia Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng dan tempat kitab itu, pikirannya bekerja cepat dan dia segera mengambil keputusan untuk membaca bagian itu saja di tempat tersembunyi ini. Ia cepat membuka-buka kitab itu dan matanya bergerak-gerak mencari tulisan mengenai Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng. Akhirnya usahanya berhasil karena di tengah-tengah buku, di halaman ke dua puluh empat, dia menemukan tulisan tentang kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng! Setelah pandang matanya berlari-lari membaca bagian ini, lalu dia membaca berulang-ulang bagian yang terpenting, yang berbunyi seperti berikut:

   "Kitab ini terkutuk dan menjadi alat perusak dunia apabila terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Sebaliknya menjadi kitab suci yang akan membangun kebajikan apabila terjatuh ke dalam seorang manusia berbudi. Tertulis oleh manusia dewa dan ketika pada saat terakhir terjatuh ke dalam tangan Liu Pang (kelak menjadi Kaisar Kao Tsu) dan khawatir kalau-kalau kitab rahasia ini terjatuh ke dalam tangan orang jahat, Liu Pang menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia di atas pulau kosong. Ketika menyembunyikan kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, dia menuju ke kota di mulut Sungai Yalu, lalu naik perahu yang dibawa oleh air sungai itu ke laut. Dari sini menuju ke kanan, melalui pulau-pulau besar dan di antara pulau-pulau itu terdapat sebuah pulau kecil yang bentuknya bulat, ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Di sinilah kitab itu disimpan. Dia yang berjodoh tentu akan mendapat tuntunan tangan Thian Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kitab ini."

   Hanya bagian itulah yang dibaca berkali-kali oleh Kwan Cu, terutama sekali dia mengingat-ingat keterangan tentang disimpannya kitab itu. Hatinya berdebar girang dan dia terkejut sekali ketika mendengar suara Gurunya memanggilnya. Ia cepat menjawab dan karena khawatir akan ditemukannya kitab itu oleh orang lain, dia lalu membakar kitab itu dengan lilinnya! Orang-orang yang menanti di atas sumur, tiba-tiba melihat asap keluar dari sumur itu. Tentu saja semua orang menjadi heran dan terutama Ang-Bin Sin-Kai merasa khawatir sekali.

   "Eh, Kwan Cu! Apa yang terjadi? Ada kebakaran di dalam?"

   Tanyanya hilang sabar.

   "Teecu sekarang juga keluar, Suhu,"

   Jawab Kwan Cu dari dalam dan setelah melihat betapa kitab itu terbakar habis, anak ini lalu merayap naik melalui tambang. Begitu dia muncul di permukaan sumur, Kun Beng tertawa bergelak, dan orang-orang lain juga tersenyum geli. Ternyata bahwa muka Kwan Cu tanpa disadarinya telah menjadi hitam penuh angus. Hal ini terjadi karena kitab itu agak basah dan ketika di bakar, maka menimbulkan asap hitam yang menghanguskan mukanya!

   "Eh, Kwan Cu, apakah kau berubah menjadi setan bumi?"

   Tanya Ang-Bin Sin-Kai berkelakar, karena melihat muridnya yang terkasih ini. Sebaliknya, Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai memandang penuh kecurigaan kepada Kwan Cu. Kakek ini maklum bahwa di dalam kepala yang gundul itu terdapat hal-hal rahasia yang banyak sekali dan yang di antaranya ingin dia ketahui, apalagi yang berkenaan dengan kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng!

   "Kwan Cu, apakah yang kau bakar di dalam sumur tadi?"

   Tanyanya penuh kecurigaan.

   "Di dalam gelap sekali, Locianpwe, maka Teecu membakar kayu-kayu kering dan lain-lain yang berada di sana yang dapat di bakar."

   "Kau menemukan apa di sana?"

   Tanya pula Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai dengan pandangan mata tajam.

   "Sama seperti yang telah ditemukan Locianpwe tentunya,"

   Jawab Kwan Cu cerdik.

   "Apakah yang dapat Teecu ketemukan di sana selain yang telah dilihat oleh Locianpwe?"

   Jawaban ini menyimpang. Ang-Bin Sin-Kai tahu akan hal ini, juga Pak-Lo-Sian dapat menduga bahwa tentu ada "Apa-apanya"

   Yang disembunyikan oleh bocah gundul ini. Ang-Bin Sin-Kai tertawa dan berkata kepada Kwan Cu.

   "Kwan Cu, sudahlah jangan kau layani obrolan Pak-Lo-Sian, takkan ada habisnya. Mari kita pergi."

   Sambil berkata demikian, Ang-Bin Sin-Kai melompat keluar, diikuti oleh Kwan Cu. Setelah tiba di luar, Ang-Bin Sin-Kai bertanya dengan sungguh-sungguh,

   "Kwan Cu, kau menyembunyikan sesuatu dari Pak-Lo-Sian. Apakah itu?"

   "Suhu, sebetulnya Teecu telah menemukan kitab sejarah dari Gui-Siucai di dalam sumur itu! Dan Teecu telah membakarnya menjadi abu."

   Saking kaget dan herannya, Ang-Bin Sin-Kai menahan larinya dan berdiri memandang muridnya.

   "Kau bakar...?"

   Kwan Cu tersenyum.

   "Tentu saja setelah Teecu membaca tentang kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng!"

   Berubahlah wajah Ang-Bin Sin-Kai dan dia nampak agak gelisah.

   "Tunggu kau di sini, jangan pergi sebelum aku kembali!"

   Belum juga Kwan Cu sempat bertanya, Ang-Bin Sin-Kai telah melompat dan lenyap dari depan muridnya. Ia cepat berlari kembali ke rumah besar tempat tinggal Kun-Lun Ngo-Eng dan mengintai di atas ruangan di mana tadi Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai berada. Ia bergerak hati-hati sekali karena dia maklum bahwa jika Pak-Lo-Sian berada di situ, banyak sekali kemungkinan Kakek sakti dari Utara itu akan tetap saja mendengar kedatangannya. Akan tetapi, ternyata dugaannya tidak salah. Ia tidak melihat Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai di situ.

   Dua orang tokoh Kun-Lun-Pai sedang mengatur untuk mengantar para pemuda dan pemudi sedangkan Hang-Houw-Siauw Yok-Ong tidak nampak di situ lagi. Yang ada hanyalah Swi Kiat dan Kun Beng yang berdiri dekat sumur dan melihat ke dalam sumur itu. Tak salah lagi, tentu Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai sedang menyelidiki di dalam sumur karena merasa curiga kepada Kwan Cu! Memang tepat sekali dugaan ini. Tadi setelah Ang-Bin Sin-Kai dan Kwan Cu pergi, Pak-Lo-Sian mengambil sampul Buku dari sakunya dan ketika melihat bahwa sampul itu bertuliskan huruf-huruf besar, Buku SEJARAH KUNO, dia cepat pergi ke dalam sumur dan memeriksa dengan membawa lilin! Ang-Bin Sin-Kai cepat kembali ke tempat di mana dia meninggalkan muridnya tadi. Ia mendapatkan Kwan Cu tengah duduk di bawah pohon dan menyuling!

   "Eh, dari mana kau mendapat Suling itu?"

   Tanya Ang-Bin Sin-Kai dengan hati berdebar karena dia mengenal Suling bercahaya hijau itu adalah Suling Hang-Houw-Siauw Yok-Ong!

   "Dari Yok-Ong Locianpwe,"

   Jawab Kwan Cu. Lalu dia menceritakan bahwa tadi Yok-Ong lewat di situ dan memberikan Suling itu kepadanya sambil berkata,

   "Kau anak baik. Di antara semua murid-murid tokoh besar, agaknya hanya kau yang ada harapan. Kau simpan Suling ini dan mudah-mudahan kelak kita dapat bertemu pula."

   Ang-Bin Sin-Kai menarik napas lega. Ternyata Raja Obat itu memiliki pandangan mata yang amat tajam, pikirnya. Hanya Raja Obat itu saja yang dapat melihat bahan baik dalam diri Kwan Cu yang diejek dan dihina oleh lain-lain tokoh besar.

   "Kwan Cu, ternyata dugaanku benar. Pak-Lo-Sian sedang memeriksa dalam sumur dan kalau dia melihat abu kitab yang kau bakar, tentu dia akan berusaha menyusul kita dan akan menggunakan kekerasan. Hayo kita pergi cepat-cepat, aku segan berurusan dengan Kakek yang berkepala keras itu!"

   Oleh karena ingin menghindarkan kejaran Pak-Lo-Sian, Ang-Bin Sin-Kai lalu menggendong Kwan Cu, dibawa pergi ke puncak sebuah gunung yang berada di sebelah Timur puncak Kun-Lun-San, sebuah puncak gunung yang liar, penuh hutan belukar dan jarang sekali didatangi manusia.

   "Perjalanan yang kau hadapi penuh bahaya, muridku. Tidak saja kau melakukan perjalanan jauh, akan tetapi juga kau akan menghadapi tokoh-tojoh besar yang selalu tidak mau tinggal diam sebelum dia dapat merampas kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng. Oleh karena itu, kita tinggal dulu di tempat sunyi ini dan kau harus berlatih giat untuk mempertinggi kepandaianmu. Mulai hari ini, kita takkan turun gunung sebelum kau menguras habis kepandaian yang kumiliki."

   Demikianlah, mulai hari itu, Ang-Bin Sin-Kai mengarahkan seluruh perhatiannya untuk mendidik dan menggembleng Kwan Cu. Sebaliknya Kwan Cu juga berlatih dengan giat sekali. Tak pernah kelihatan anak ini menganggur, biarpun Suhunya sedang beristirahat, dia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang baru dia pelajari dari Suhunya. Bertahun-tahun dia dan Suhunya seakan-akan terasing dari dunia luar dan hidup di tengah-tengah hutan, di puncak bukit yang amat tinggi. Mereka hanya makan buah-buahan dan kadang-kadang binatang hutan yang mereka tangkap. Di waktu makan masakan sederhana itu dan mendengar Gurunya mengeluh panjang pendek karena Gurunya itu sudah amat rindu akan arak dan masakan enak Kwan Cu menjadi terharu sekali.

   "Suhu, sungguh Teecu tidak mengerti mengapa Suhu sampai menyiksa diri hanya untuk melatih ilmu kepada Teecu. Ah, budi yang begini besar, dan apa Teecu akan dapat membalasnya?"

   Mendengar ucapan ini, lenyaplah keluh kesah dari bibir Ang-Bin Sin-Kai dan dia berseri.

   "Kwan Cu, pembalasaan yang kuharapkan hanya kalau kau kelak dapat menjadi seorang gagah yang menjunjung tinggi prikebajikan, dapat berbuat banyak terhadap orang-orang lain. Akan tetapi, kau tak mungkin dapat menjadi seorang gagah tanpa tandingan kalau kau tidak dapat menemukan Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng! Kepandaianku belum cukup untuk menjagoi di seluruh dunia dan tetap saja kalau kau hanya menerima latihan dari aku, kau sewaktu-waktu akan bertemu dengan orang jahat yang lebih pandai dari padamu! Oleh karena itu, pelajaran yang kau terima dariku ini anggaplah sebagai bekal bagimu untuk mencari kitab itu. Aku sendiri sudah terlalu tua untuk ikut mencarinya, kau akan mencari sendiri, muridku, dan karenanya, aku mana bisa rela membiarkan kau pergi menempuh perjalanan sukar itu sebelum memiliki kepandaian yang boleh diandalkan?"

   Mendengar ini makin kuatlah hati Kwan Cu dan makin giatlah dia. Ia menjadi terharu sekali ketika Gurunya pada suatu hari pergi turun gunung seorang diri dan ketika kembali membawa pakaian-pakaian baru untuknya! Suhunya sendiri tak pernah berganti pakaian, kecuali kalau pakaian yang menempel pada tubuhnya itu sudah hancur betul-betul. Atas kehendak Gurunya yang ingin melihat dia berpakaian pantas, kini Kwan Cu memakai pakaian yang cukup baik dan sepatu yang baru pula, pemberian Suhunya yang amat mengasihinya.

   Beberapa tahun kemudian, kepandaian Kwan Cu sudah cukup tinggi. Ia sudah berusia lima belas tahun, akan tetapi setiap kali Gurunya menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ia kelihatan seperti seorang Hwesio kecil yang bertubuh sedang dan padat, penuh berisi tenaga yang luar biasa. Wajahnya yang tampan menjadi makin halus dan kemerahan, berkat dari hawa gunung yang sejuk dan latihan-latihan silat yang tiada henti-hentinya. Kembali beberapa bulan yang telah lewat. Pada suatu hari Kwan Cu berlatih seorang diri. Hari masih pagi sekali dan Suhunya masih belum bangun dari tidurnya di dalam sebuah gua. Akhir-akhir ini, Suhunya nampak malas dan bangunnya pun kalau matahari telah naik tinggi. Tubuh Suhunya nampak makin kurus dan Kakek ini beberapa kali mengeluh dan menyatakan bahwa dia telah menjadi amat tua.

   "Aku sudah sangat tua, Kwan Cu tiada nafsu lagi untuk melakukan sesuatu. Keinginanku satu-satunya hanya bertemu sekali lagi dengan adikku Lu Pin yang tercinta,"

   Demikianlah berkali-kali Kakek Pengemis yang sakti ini mengeluh.

   Pagi hari itu Kwan Cu melatih silat Sin-Ci Tin-San (Jari Sakti Menggetarkan Gunung), yakni ilmu silat yang paling lihai yang pernah dia pelajari dari Gurunya. Ilmu silat ini dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan, merupakan ilmu Tiam-hoat (menotok) yang luar biasa lihainya yang merupakan ilmu pukulan dengan jari tangan yang luar biasa kuatnya. Sudah berbulan-bulan dia melatih ilmu silat ini, akan tetapi hasilnya masih kurang memuaskan hatinya. Pada pagi hari ini, setelah pada malam tadi mendapat wejangan dari Gurunya yang membentangkan semua Kouw-Koat (Teori Silat) dari pada ilmu pukulan Sin-Ci Tin-San ini, dia melatih diri sebaiknya. Yang dijadikan sasaran adalah pohon-pohon kecil yang tumbuh di situ.

   Setelah bersilat dengan ilmu silat Sin-Ci Tin-San, dia kelihatan lincah sekali. Tubuhnya mencelat kesana kemari, kedua tangannya terbuka dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan jari tengah, ditusukkan kesana ke mari dan sepasang kakinya melakukan langkah-langkah yang amat teratur. Kemudian dia mulai menyerang pohon-pohon yang besarnya sama dengan tubuhnya sendiri. Dan bukan main hebatnya kepandaian anak muda yang baru lima belas tahun usianya ini. Tiap kali jari tangannya baik yang kanan maupun yang kiri, menusuk ke batang sebuah pohon, terdengar suara "krak"

   
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan pohon itu patah lalu tumbang berikut semua daunnya! Kalau orang lain yang melihat hal ini, tentu menjadi kagum sekali. Akan tetapi aneh, wajah Kwan Cu kelihatan tidak puas, bahkan kecewa. Mulutnya berkali-kali berkata,

   "Tidak baik, tdak baik! Gwakangku lebih besar keluarnya daripada tenaga Lweekang!"

   Kembali dengan tangan kirinya dia menusuk sebatang pohon yang segera patah dan tumbang.

   "Kau terlalu terburu nafsu, Kwan Cu. Nafsumu itu yang memperbesar tenaga sehingga tidak seimbang dengan tenaga dalam!"

   Terdengar orang bicara dan ketika Kwan Cu menengok, ternyata bahwa Suhunya sudah berdiri di belakangnya. Kwan Cu berlutut,

   "suhu, mohon petunjuk dari Suhu yang mulia."

   Ang-Bin Sin-Kai tersenyum.

   "Dalam menghadapi segala macam hal, terutama sekali menghadapi perlawanan dari musuh yang tangguh, pantangan terutama adalah timbulnya nafsu yang menguasai diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, kau harus dapat menguasai dirimu seluruhnya, dari semua urat-urat besar sampai urat-urat saraf, pikiran dan hati. Kau harus dapat mengatur semua panca indramu, dan sadar serta tak sadar serta waspada betul-betul. Kekuatan yang nampak tenaganya seperti pukulanmu pada pohon itu, hanya boleh digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil atau membikin gentar lawan yang bodoh. Akan tetapi sama sekali tidak ada gunanya kalau kau menghadapi lawan yang tangguh. Segala yang tenang, tidak bergerak dan diam itulah yang betul-betul kuat."

   "Mohon Suhu mmemberi penjelasan tentang Sin-Ci Tin-San, karena sesungguhnya Teecu belum dapat melakukannya dengan baik."

   Ang-Bin Sin-Kai menghampiri sebatang pohon dan dia menggunakan sebatang jarinya menusuk pohon itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu tadi. Pohon itu tidak bergerak sedikitpun juga, bahkan tidak ada sehelai pun daun yang rontok. Akan tetapi ketika Ang-Bin Sin-Kai menggunakan telapak tangan mendorongnya perlahan ternyata bahwa pukulan atau lebih tepat tusukan jarinya tadi telah membuat hancur batang pohon dibalik kulitnya dan sekali dorong perlahan saja pohon itu tumbang!

   "Dalam pukulan Sin-Ci Tin-San, kau harus mengerahkan tenaga Lweekang. Akan tetapi, kau harus tenang dan jangan sampai pikiran dan hati dikuasai nafsu, tenaga Lweekang itu akan berubah menjadi tenaga Gwakang yang kasar."

   Demikianlah, Kwan Cu digembleng terus oleh Suhunya sehingga setahun kemudian dia telah memiliki tenaga Lweekang yang kuat sekali, ginkang yang memungkinkan dia berlari seperti terbang, serta ilmu silat yang lihai.

   Suling yang didapat dari Yok-Ong ternyata merupakan senjata yang ampuh. Suling ini terbuat daripada baja hijau dan kuatnya bukan main. Ang-Bin Sin-Kai melatih ilmu Pedang tunggalnya yang membuat dia menjagoi dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu, yakni ilmu Pedang Hun-Kai Kiam-Hoat (Ilmu Pedang Memecah dan Membuka). Ilmu Pedang ini dilatih oleh Kwan Cu menggunakan Sulingnya dan ternyata cocok sekali. Selain pandai mainkan Suling sebagai Pedang, juga pemuda ini pandai sekali meniup lagu-lagu merdu dari Sulingnya, juga kepandaian ini dia dapat dari Ang-Bin Sin-Kai yang tahu akan teori meniup Suling sungguhpun ia sendiri kurang berbakat. Sebaliknya Kwan Cu amat berbakat dan dia dapat meniup banyak lagu-lagu yang dikenal oleh Gurunya. Dua tahun kemudian, setelah berusia delapan belas tahun, Kwan Cu di panggil Gurunya.

   "Muridku, sekarang kiranya sudah cukup kepandaianmu untuk kau pakai bekal dalam perjalanmu mencari Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng. Kau pergilah menurutkan petunjuk yang kau baca dalam kitab sejarah. Berhati-hatilah, muridku, aku hanya memberi bekal doa restu kepadamu. Kuharap saja kelak kalau kau sudah mendapatkan ilmu silat yang paling lihai dari Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, aku masih belum mati dan dapat menyaksikan kelihaianmu. Nah, pergilah, Kwan Cu."

   Kwan Cu yang berlutut didepan Suhunya merasa berat untuk berpisah dan meninggalkan, Suhunya yang kini nampak tua sekali.

   "Semenjak dahulu memang Teecu bercita-cita mencari kitab itu. Akan tetapi Suhu sudah amat tua dan siapakah yang akan melayani Suhu kalau Teecu pergi?"

   Katanya ragu-ragu.

   "Kwan Cu, apakah kau akan memanjakan Gurumu seperti memanjakan seorang Kakek tua renta yang kekanak-kanakan? Aku masih kuat dan aku tidak membutuhkan pelayan orang."

   "Akan tetapi... kalau Teecu rindu kepada Suhu dan hendak bertemu, kemanakah Teecu harus mencari Suhu?"

   "Aku akan ke Kota Raja mencari Lu Pin adikku, setelah itu, aku takkan jauh dari tempat kau mencari kitab itu, Kwan Cu karena aku hendak tinggal di pantai Laut Po-hai!"

   Setelah mendapat wejangan dan nasehat-nasehat yang kiranya cukup berharga untuk dia bawa sebagai bekal menempuh hidup dan perjalanan seorang diri, akhirnya Kwan Cu lalu mulai turun gunung dan mulai dengan perjalanannya yang amat jauh, yakni ke pantai sebelah Timur dari Tiongkok. Ia melakukan perjalanan cepat melalui propinsi-propinsi Cing-hai, Kang-su, Shen-si, lalu mengikuti sepanjang tapal batas Mongolia, terus menuju Timur. Baru sekarang Kwan Cu merasa betapa sunyinya hidup seorang diri dan melakukan perjalanan tak berteman. Ia rindu kepada Suhunya yang baginya merupakan pengganti Ayah bundanya.

   Namun hati Kwan Cu memang kuat dan keras, sebentar saja dia telah melenyapkan rasa sunyi itu dan memaksa hati bergembira. Suling pemberian Yok-Ong yang kini menjadi senjatanya, juga merupakan kawan yang paling setia. Tiap kali dia beristirahat di mana saja, dia selalu meniup Sulingnya. Suara Sulingnya inilah yang menghibur hatinya, biarpun dia berada di dalam hutan yang sunyi, apabila dia meniup Suling maka lenyaplah rasa sunyi dalam hati. Perjalanan yang dilakukan oleh pemuda ini bukanlah perjalanan dekat, sedikitnya ada empat ribu kilo meter! Apa pula perjalanan ini banyak melalui gunung-gunung dan hutan-hutan liar yang sukar dilalui. Akan tetapi Kwan Cu sekarang telah merupakan seorang pemuda yang berkepandaian tinggi dan perjalanan yang sukar dapat dilakukan dengan cepatnya.

   Ginkangnya sudah terlampau tinggi untuk dapat dihalangi oleh jurang-jurang lebar atau jalan-jalan menanjak. Semenjak turun gunung, dia tidak lagi mencukur rambutnya dan kini dia benar-benar merupakan pemuda yang gagah dan tampan sekali, dengan sepasang mata bersinar tajam namun jujur dan bibirnya selalu tersenyum membayangkan hati yang lapang dan tabah. Ia mengikat rambutnya dengan sapu tangan agar rambut itu tidak turun menutupi mukanya. Kurang lebih setengah tahun dia melakukan perjalanan, kadang-kadang berhenti untuk meenikmati pemandangan alam di gunung-gunung yang aneh atau mengagumi bangunan-bangunan indah di kota-kota besar. Ia melakukan perjalanan cepat dan selalu berusaha menghindarkan diri dari setiap bentrokan sesuai dengan nasehat dari Suhunya.

   Memang beberapa kali dia dihadang oleh Perampok yang hendak merampas pakaiannya, akan tetapi Kwan Cu tidak mau melayani para Perampok itu dan setiap kali dia hanya membuat para Perampok berdiri bengong seperti patung karena pemuda yang hendak dijadikan korbannya itu tiba-tiba saja tertawa dan berkelebat melenyapkan diri dari depan mata mereka! Enam bulan lebih kemudian dia tiba di perbatasan Utara dari propinsi Ho-pei dan teringatlah dia akan pengalaman-pengalamannya ketika dia dan Gui-Siucai ditawan oleh Panglima An Lu Shan. Keadaan di sekitar daerah ini sekarang sudah amat berubah, tidak seperti dahulu lagi. Kwan Cu merasa heran betapa daerah ini ramai sekali, penuh oleh Tentara yang bermacam-macam pakaiannya dan bermacam-macam pula Bangsanya.

   Ia melihat Tentara-Tentara dari suku Bangsa Hui, Daur dan Mongol. Mereka semua berpakaian perang dan bersenjata lengkap, berbaris kesana kemari seakan-akan menantikan daatangnya perang besar! Di setiap tanah lapang, dia meyaksikan barisan-barisan besar berbaris rapi berlatih perang-perangan. Kwan Cu menjadi makin kagum dan heran karena setiap anggota Tentara dapat mainkan senjata mereka dengan gerakan ilmu silat yang tinggi. Biarpun hanya beberapa jurus saja mereka itu mainkan senjata masing-masing, tombak, golok atau Pedang, namun gerakan ini terang sekali adalah gerakan ilmu silat yang diajarkan oleh seorang ahli silat tinggi! Tentu saja pemuda yang sama sekali gelap terhadap keadaan dalam negeri dan tentang situasi pemerintahan ini, tidak mengerti bahwa pada waktu itu,

   Panglima An Lu Shan sedang mengerahkan seluruh tenaga suku-suku Bangsa yang berada di Tiongkok Timur laut, untuk membentuk sebuah barisan yang besar sekali dengan maksud menyerang ke Selatan dan merampas kedudukan Kaisar! An Lu Shan mulai dengan persiapannya untuk memberontak. Yang paling mengherankan hati Kwan Cu adalah keadaan di dalam dusun dan kota di daerah itu. Tak pernah ia bertemu dengan laki-laki berpakaian preman. Semua laki-laki berpakaian Tentara dan menjadi anggota Tentara. Hanya anak-anak dan wanita saja yang berpakian biasa. Sebaliknya, semua orang memandang kepadanya dengan mata terheran-heran pula karena sesungguhnya Kwan Cu merupakan satu-satunya laki-laki dewasa di tempat itu yang berpakaian preman. Akan tetapi hal ini tidak lama, karena tiba-tiba datang seorang komandan Pasukan yang dengan langkah lebar menghampiri Kwan Cu.

   "He, orang muda! Kau masih enak-enakan saja di sini? Hayo ikut aku mendaftarkan diri supaya segera masuk tempat latihan!"

   Sambil berkata demikian, komandan itu memegang pergelangan tangan Kwan Cu erat-erat. Kalau dia menghendaki, dengan mudah Kwan Cu akan dapat melepaskan tangannya. Akan tetapi dia tidak mau mrnimbulkan keributan maka sambil tersenyum ia berkata,

   "Sobat apakah maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali. Ketahuilah aku seorang perantau yang datang dari jauh dan tidak tahu peraturan di sini. Harap kau jelaskan."

   "Setiap orang laki-laki di daerah ini harus menjadi Tentara, hanya ini saja dan tidak ada penjelasan lain!"

   "Mengapa harus? Aku bukan orang sini dan aku tidak mau menjadi Tentara,"

   Kata Kwan Cu. Sementara itu mendengar suara ribut-ribut, di tempat itu telah berkumpul banyak Tentara dan Kwan Cu dikurung!

   "Anak muda, sudahlah jangan banyak rewel. Ketahuilah bahwa setiap orang yang tidak mau menjadi Tentara dan membela tanah air dianggap pengkhianat dan akan menjadi penghuni gua maut!"

   Kwan Cu menjadi penasaran sekali akan tetapi tetap saja dia masih lebih merasa heran dari pada marah.

   "Apakah gua maut itu? Dan mengapa pula ada cara memaksa orang menjadi Tentara? Sungguh mati aku tak mengerti sama sekali!"

   Komandan itu tertawa,

   "Oya, aku lupa bahwa kau bukan orang sini. Kau mau melihat gua maut? Mari, mari ikut!"

   Sambil berkata demikian komandan itu tertawa-tawa dan menarik lengan Kwan Cu diikuti oleh para anggota yang juga tertawa-tawa geli.

   Masih saja Kwan Cu bersabar dan membiarkan dirinya ditarik seperti kerbau oleh komandan itu yang membawanya pergi keluar kota. Dusun itu berada di lereng bukit dan jalannya naik turun melalui hutan-hutan. Di pinggir sebuah hutan di luar kota, Kwan Cu dibawa ke sebuah bukit kecil dan dari jauh sudah kelihatan sebuah Goa yang merupakan trowongan besar dan di sebelah dalamnya nampak anak tangga. Di depan Goa itu di jaga oleh seorang Tentara berBangsa Monggol yang bertubuh tinggi besar seperti Raksasa, memegang sebatang tombak besar dan panjang lagi berat. Komandan yang menarik tangan Kwan Cu bicara dalam bahasa Monggol kepada penjaga itu yang tertawa bergelak-gelak,membuka mulutnya dan lebar dan cambangnya yang menjuntai ke bawah itu ikut bergerak-gerak lucu.

   "Nah, inilah gua maut siapapun juga yang menjadi pengkhianat dimasukkan dalam Goa ini dijerumuskan ke dalam sumur maut dan didiamkan sampai mati di situ. Nah, sekarang pilihlah."

   Dari dalam Goa itu lapat-lapat dengan rintihan dan tangisan sehingga terbangkit semangat Kwan Cu untuk menolong mereka itu akan tetapi, dia teringat bahwa dia berurusan Tentara pemerintah dan dia tidak mau menimbulkan keributan hebat. Maka dia lalu mengangguk dan berkata,

   "Aku menurut saja,"

   Terdengar suara gelak ketawa dan komandan itu bersama para Tentara yang mengikutinya, beramai-ramai menghantar Kwan Cu kembali ke dusun untuk mendaftarkan pemuda itu sebagai calon Tentara. Akan tetapi baru saja mereka keluar dari hutan dan turun dari bukit di mana terdapat Gua Maut itu, tiba-tiba mereka ribut-ribut dan mereka mencari-cari seperti seorang wanita kehilangan gelangnya. Tanpa diketahui oleh seorang pun, tiba-tiba saja pemuda yang tadi berada di tengah-tengah mereka telah lenyap!

   "Eh, dimana dia?"

   "Aneh sekali, tak mungkin dia melarikan diri!"

   "Aku tadi masih melihat dia berjalan sambil tersenyum-senyum."

   "Dia bisa menghilang, tentu dia Siluman!"

   Ramailah orang-orang itu bicara sambil mencari-cari Kwan Cu, namun pemuda itu tidak kelihatan lagi bayangannya. Sebenarnya, dengan kepandaiannya, Kwan Cu tadi mempergunakan kesempatan selagi orang tidak memeganginya, dia melompat ke atas dan dengan bantuan cabang pohon di atasnya, dia melarikan diri cepat dan ringan sekali sehingga tidak menimbulkan suara apa-apa.

   Ia ingin sekali menyelidiki keadaan gua maut itu dan akan berusaha menolong orang-orang yang mengeluarkan suara rintihan dan tangisan tadi. Kalau Tentara negeri menghukum orang bersalah atau orang jahat, dia takkan mau campur tangan. Akan tetapi tadipun dia akan dimasukkan ke dalam gua itu hanya karena dia menolak menjadai Tentara. Kalau demikian, tentu banyak sudah orang-orang yang dimasukkan ke dalam gua maut itu tanpa dosa! Jika begini keadaannya, dia harus menolong mereka itu. Setelah senja mendatang, Kwan Cu menyembunyikan diri di belakang rumpun alang-alang dan mengintai ke arah gua itu. Ia akan bertindak tanpa menimbulkan keributan. Dilihatnya penjaga Raksasa yang tadi masih saja berdiri seperti patung di depan gua, memegangi tombaknya dan nampaknya angker dan menakutkan.

   Kwan Cu tidak mau segera turun tangan. Ia akan menanti sampai malam tiba, karena dengan begitu akan lebih mudah baginya membawa orang-orang yang dihukum di dalam gua itu melarikan diri. Ketika dia masih menanti sambil mengintai dibalik rumpun alang-alang, tiba-tiba dari jauh datang serombongan orang ke tempat itu. Alangkah kagetnya hati Kwan Cu ketika dia melihat bahwa yang datang itu, dengan langkah cepat, adalah seorang Hwesio bertubuh gendut bundar berjubah hitam, bermisai panjang, berkulit hitam dan di tangan kiri memegang tasbih sedangkan tangan kanannya memegang tongkat Liong-Thouw-Tung. Kwan Cu masih mengenal Hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-I Hui-Mo Thian Seng Hwesio, tokoh Barat yang amat lihai dan jahat,

   Hwesio yang sudah merampas kitab palsu Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng dan bahkan yang dia duga telah mencuri pula kitab Gui-Siucai yang kemudian dia ketemukan berada di dalam sumur kering di atas Kun-Lun-San! Di sebelah Hwesio ini berjalan pula dua orang Panglima dan mereka ini bukan lain adalah An Lu Shan sendiri dan adiknya, An Lu Kui! Berdebar hati Kwan Cu melihat ketiga orang ini. Baiknya dia berlaku sabar, karena kalau tadi dia turun tangan dan harus berhadapan dengan mereka ini, berbahaya sekali! Kepada An Lu Shan dan An Lu Kui, dia tak usah merasa jerih, akan tetapi Hek-I Hui-Mo adalah seorang tokoh besar yang tingkat kepandaiannya sudah menandingi tingkat Gurunya! Ia melihat penjaga yang seperti Raksasa itu memberi hormat melihat kedatangan tiga orang itu, kemudian An Lu Shan dan kedua orang kawannya memasuki gua dan lenyap ditelan kegelapan.

   Lalu terdengarlah suara An Lu Shan dari dalam gua, seakan-akan berkata-kata di depan banyak orang. Kwan Cu mengerahkan tenaga pendengarannya dan lapat-lapat dia mendengar An Lu Shan membujuk orang-orang yang tertahan di dalam gua itu untuk menyerah dan menurut serta membantu perjuangannya! Kwan Cu tidak mengerti akan maksud semua kata-kata itu, hanya dia tahu bahwa orang-orang yang ditahan itu tentulah orang-orang yang tidak mau tunduk dan kini An Lu Shan hendak membujuk mereka, disertai ancaman bahwa kalau mereka tidak mau menurut, pada besok pagi gua itu akan di tutup untuk selamanya! Kwan Cu tidak berani bergerak dari tempat sembunyinya. Tak lama kemudian, tiga orang tokoh besar itu lalu keluar lagi dari gua dan pergi dengan cepat, setelah memberi pesan kepada penjaga supaya berhati-hati.

   Malam tiba dan langit hanya diterangi oleh cahaya bulan bintang. Tak lama kemudian datang pula serombongan penjaga terdiri dari lima orang yang mengawani Raksasa itu. Kwan Cu bersiap untuk bergerak dan melakukan usahanya menolong para tawanan. Ketika para penjaga itu tengah bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar suara Suling yang merdu. Mereka terkejut sekali. Bagaimana di dalam hutan ini bisa terdengar suara Suling begitu dekat? Seorang di antara mereka bangkit berdiri dan menghampiri suara itu. Akan tetapi tiba-tiba dia roboh tak berkutik lagi, terkena totokan jari tangan Kwan Cu yang lihai. Penjaga-penjaga yang lain setelah lama menanti kawan mereka tidak juga kembali, mulai gelisah dan memanggil-manggil. Penjaga yang tinggi besar itu tertawa dan berkata dalam bahasa Han yang kaku.

   "Barangkali peniup Suling itu adalah seorang perempuan cantik dan si A-sam tentu sedang bersenang-senang dengan dia!"

   Dua orang penjaga lalu pergi menyusul kawannya, akan tetapi mereka ini setelah tiba di sebuah tikungan juga roboh tak berkutik ketika tangan Kwan Cu menyambar. Tiga orang penjaga lain menjadi gelisah karena sekarang dua orang kawannya lagi sudah lama pergi tidak muncul kembali.

   "Ah, tentu ada apa-apa!"

   Kata seorang diantara mereka.

   "lebih baik kita memberi tanda rahasia agar kawan-kawan yang lain datang kesini. Hatiku tidak enak""

   Akan tetapi sebelum dia dapat melepaskan tanda, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun bayangan orang.

   Sinar hijau menyambar-nyambar dalam cahaya bulan dan terdengar teriakan susul menyusul ketika tiga orang penjaga termasuk si penjaga Raksasa itu roboh tertotok oleh Suling di tangan Kwan Cu. Pemuda ini segera mengambil obor yang tadi dipasang di depan pintu gua dan berlari masuk. Ternyata bahwa gua itu dalamnya amat luas dan panjang merupakan terowongan yang amat gelap. Di sepanjang terowongan itu dipasang anak tangga dan ketika Kwan Cu berjalan kurang lebih sepuluh tombak jauhnya, anak tangga itu berhenti dan di depannya nampak sebuah lubang. Hem, agaknya lubang inilah yang di sebut sumur maut oleh komandan yang mengancamnya siang tadi, pikir Kwan Cu. Dengan obornya dia mencoba untuk melihat ke bawah, akan tetapi sia-sia karena sinar obor tak dapat menerangi sinar obor di bawah. Terdengar suara-suara orang dibawah dan Kwan Cu cepat bertanya,

   "Saudara-saudara yang tertawan di bawah, aku datang untuk menolong!"

   Sejenak suara orang-orang di bawah itu berhenti, kemudian terdengar jawaban.

   "Bagaimana kau dapat menolong kami?"

   Inilah suara laki-laki yang mengandung semangat kegagahan.

   "Berapa banyak kawanmu?"

   Tanya Kwan Cu.

   "Yang masih hidup ada empat puluh satu orang, yang sudah menjadi mayat belasan orang dan yang sudah hampir mati dua puluh orang lebih!"

   Kwan Cu bergidik dan bulu tengkuknya berdiri. Sejak dari tadi diapun telah mencium bau yang tidak enak, tidak tahunya di dalam sumur itu telah banyak orang yang sudah mati.

   "Berapa dalamnya sumur ini?"

   Tanyanya pula.

   "Kurang lebih lima tombak!"

   Kwan Cu berpikir sebentar. Kalau hanya lima tombak, dia sanggup melompat dari dalam sumur itu ke atas sambil menggendong tubuh seorang.

   "Dasarnya tanah keras atau lembek?"

   "Tanah keras atau basah. Bagaimana kau hendak menolong kami?"

   "Kalian minggirlah semua, biarkan ruang di bawah bagian tengah kosong, aku hendak melompat turun!"

   Kata Kwan Cu. Kemudian pemuda ini lalu menancapkan obor di pinggir sumur dan setelah mengatur pernapasannya dan menyelipkan Sulingnya di pinggang, Kwan Cu lalu melompat ke dalam sumur, tepat di tengah-tengah dan berseru,

   "Awas, aku datang!"

   Kedua kakinya menginjak tanah padas yang basah dan di dalam gelap, hanya

   (Lanjut ke Jilid 16)

   Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16

   diterangi sedikit sekali oleh cahaya obor di atas sumur, dia melihat bayangan-bayangan orang yang di dalam gelap nampak hitam menakutkan.

   "Taihiap, kau sungguh gagah. Akan tetapi, setelah kau dapat melompat masuk ke tempat ini, bagaimana selanjutnya kau dapat menolong kami?"

   Tanya suara yang tadi bicara ketika Kwan Cu masih berada di atas. Orang ini tubuhnya tinggi kurus, namun wajahnya tak dapat terlihat jelas. Hanya suaranya mengandung kegagahan dan Kwan Cu dapat menduga bahwa tentu orang ini seorang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi korban dari An Lu Shan.

   "Aku dapat menggendong kalian seorang demi seorang dan melompat keluar dari sumur ini,"

   Jawabnya sederhana. Terdengar seruan kagum dan tidak percaya.

   "Taihiap, dapatkah kau melompat setinggi ini dan menggendong seorang pula?"

   Tanya seorang yang tinggi itu.

   "Akan kucoba!"

   Kata Kwan Cu.

   "Dan para penjaga, di manakah mereka?"

   "Sudahlah, kalau kita hanya mengobrol saja, aku khawatirkan penjaga-penjaga lain akan datang dan rencana kita gagal,"

   Kata Kwan Cu habis sabarnya.

   "Taihiap, biarlah aku kau keluarkan dulu. Dengan menggunakan ikat pinggang disambung-sambung, dapat aku membantu mereka keluar dari sini."

   Pikiran ini baik juga dan Kwan Cu lalu menyambar tubuh orang yang jangkung itu dan melompat dengan kuat dan cepat sekali. Ia mengerahkan ginkangnya dan tanpa banyak susah dia dapat mencapai pinggiran sumur. Ketika orang itu yang ternyata seorang laki-laki setengah tua, melihat bahwa orang yang menolongnya hanya seorang pemuda berusia belasan tahun, dia menjadi bengong dan merasa kagum sekali.

   Akan tetapi dia maklum bahwa sekarang bukan waktunya untuk banyak melakukan peradatan, dengan cepat dia menyambung-nyambung ikat pinggang yang memang sudah lama dia kumpulkan dengan maksud kalau dia berhasil keluar dari sumur, dia akan menolong kawan-kawannya. Kini pertolongan mengeluarkan para korabn itu dilakukan dengan dua jalan, yakni Kwan Cu masih tetap naik turun untuk mengangkat seorang demi seorang, terutama yang sudah lemah dan tidak kuat merayap melalui tambang buatan, dan ada pula yang merayap melalui ikat pinggang yang disambung-sambung dan yang kini dilepas ke bawah oleh orang tinggi kurus itu. Akhirnya, setelah bekerja mati-matian, lima puluh enam orang yang masih kuat dan yang sudah lemah dapat dikeluarkan semua dari sumur itu.

   "Mari cepat keluar dari gua!"

   Mengajak Kwan Cu tanpa mempedulikan ucapan terima kasih dari semua orang itu. Mereka ini ternyata adalah orang-orang lelaki yang masih kuat dan muda-muda. Tak salah lagi, sebagian besar di antara mereka tentulah orang-orang yang tidak mau dipaksa menjadi Tentara oleh An Lu Shan. Yang paling menarik, semua orang ini adalah semua orang Han aseli. Mengapa mereka tidak mau menjadi Tentara pemerintah sendiri? Hal ini benar-benar membingungkan hati Kwan Cu, namun dia tidak mengambil pusing. Semua orang mengikuti Kwan Cu keluar dari gua itu. Yang lemah sekali digendong oleh yang kuat dan sebentar saja mereka telah dapat melarikan diri jauh dari gua, bersembunyi di dalam hutan.

   "Nah, sekarang aku akan pergi dan selanjutnya harap kalian mencari jalan sendiri,"

   Kata Kwan Cu.

   Orang yang tinggi kurus tadi melangkah maju dan menjura .

   "Taihiap benar-benar hebat sekali. Entah bagaimana kami dapat membalas budi Taihiap. Tentang kawan-kawanku ini, biarlah aku yang memimpin mereka meloloskan diri ke Selatan. Aku tahu jalan yang aman. Akan tetapi, agar kami dapat selalu mengingat-ingat siapakah Taihiap ini dan murid siapakah?"

   "Aku bernama Kwan Cu dan selebihnya tak perlu ku ceritakan. Hanya kalau kalian hendak berterima kasih, ingatlah bahwa aku adalah murid Ang-Bin Sin-Kai!"

   Setelah berkata demikian, Kwan Cu lalu melompat pergi dan lenyap dari pandangan mata orang-orang itu. Kalau sekiranya Kwan Cu mendengar bahwa An Lu Shan mempersiapkan barisan besar untuk memberontak terhadap pemerintah di Selatan, agaknya pemuda ini tentu akan berusaha untuk menghalangi pengkhianatan ini. Akan tetapi, pemuda ini tidak mau terlalu lama tinggal di situ setelah dia melihat bahwa Hek-I Hui-Mo berada di tempat itu. Ia ingin mempercepat usahanya mencari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng dan tidak mau bentrok dengan lawan-lawan berat sehingga mengacaukan usahanya. Pemuda ini melakukan perjalanan cepat sekali dan tiada hentinya, hanya beristirahat untuk makan dan tidur sebentar saja.

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 24 Kumbang Penghisap Kembang Eps 27 Kumbang Penghisap Kembang Eps 12

Cari Blog Ini