Pendekar Sakti 18
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Juga Kwan Cu tidak merasa lagi bahwa dia tadi telah berhadapan dengan maut dalam waktu yang amat lama. Tiba-tiba saja seperti datangnya, taufan berhenti, laut tenang sekali. Kwan Cu tidak tahu bahwa gelombang tadi sebetulnya hanya "lewat"
Saja dan kini taufan yang mengamuk itu masih mengamuk hebat di tempat lain. Setelah air laut menjadi tenang, tenang pula hati Kwan Cu dan barulah pemuda ini tahu bahwa amukan taufan tadi begitu lama sehingga waktu itu telah menjelang senja! Hal ini dapat dia duga dari keadaan matahari yang telah tenggelam di Barat, meninggalkan sinar melayu dan di Timur sudah nampak bulan pudar seperti wajah seorang dara jelita yang sedang sakit dan pucat. Langit bersih sekali, laut tenang dan benar-benar mengherankan. Tiba-tiba Kwan Cu menjadi muak dan tak tahan pula dia muntah-muntah di luar perahu.
Tadi di waktu di ombang-ambingkan oleh gelombang, dia merasa gembira, kini setelah keadaan menjadi tenang, dia bahkan merasa tidak enak dan mual sekali. Akan tetapi, tidak banyak yang dimuntahkan karena semenjak malam tadi, semenjak makan daging ikan Kilin bersama Kong Hoat dan Ibunya, dia tidak makan apa-apa lagi. Perutnya mulai berkeruyuk minta isi, akan tetapi di tengah laut itu, dari mana dia bisa mendapatkan makan? Ia teringat akan daun Liong-Cu-Hio pemberian Liok-Te Mo-Li. Tak terasa tangannya meraba punggung dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa bungkusan pakaiannya masih terikat di punggung dan bahwa bungkusan daun mujijat itu pun masih berada di situ, sungguhpun kesemuanya itu basah kuyup seperti tubuh dan pakaiannya yang dipakainya.
Tiba-tiba, bagaikan sebuah layar hitam dibuka yang tadinya menyembunyikan sesuatu yang dirahasiakan, dia melihat bayangan sebuah pulau yang penuh dengan pohon-pohon tinggi besar. Ia menjadi girang bukan main. Di sanalah terdapat makanan, pikirnya. Dengan penuh semangat, Kwan Cu lalu mempergunakan kedua tangannya untuk digerakkan seperti dayungnya. Perahu meluncur ke depan, menuju pulau itu, makin terheran-heranlah Kwan Cu. Ketika tadi untuk pertama kalinya dia melihat pulau itu, pohon-pohon yang telah kelihatan amat besar dan karenanya dia menjadi dan mengira bahwa pulau itu tentulah sudah dekat, akan tetapi, biarpun perahunya jelas mendekati pulau dan daratan makin nampak nyata, ternyata bahwa pulau itu masih jauh dan kini pohon-pohon telah kelihatan begitu besar sampai-sampai Kwan Cu beberapa kali menggosok kedua matanya.
"Apakah aku bermimpi? Ataukah mataku yang sudah tidak beres lagi? Kalau tidak bermimpi dan mataku tidak rusak, tentu otakku yang sudah menjadi berubah dan tidak waras lagi!"
Tidak mengherankan kalau Kwan Cu berkata demikian, karena apa yang dilihatnya memang sukar untuk dapat diterima oleh akal sehat. Setelah perahunya makin dekat, dia melihat daratan yang luar biasa luasnya dan yang paling hebat adalah pohon-pohon yang dari jauh sudah nampak besar-besar tadi. Kini setelah dekat, pohon-pohon itu ternyata luar biasa besarnya dan biarpun Kwan Cu sudah banyak merantau dengan Suhunya serta sudah sering kali memasuki hutan-hutan besar liar di mana tumbuh pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun usianya, namun selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan pohon-pohon sebesar yang tumbuh di pulau itu! Makin dekat, makin heranlah dia karena nampak kehijauan yang tinggi seperti alang-alang!
Pulau setan apakah yang berada di hadapanku itu? Akan tetapi tidak dapat lama dia mengagumi dan mengherankan pemandangan di atas pulau yang ternyata luas sekali itu, karena cuaca telah menjadi gelap dan kini yang nampak hanyalah pohon-pohon Raksasa yang kelihatan tinggi besar dan hitam menyeramkan dengan latar belakang langit yang pucat. Kwan Cu sudah lelah sekali, bukan karena kehabisan tenaga karena pemuda yang sudah mendapat gemblengan hebat dari Ang-Bin Sin-Kai ini telah dapat mengatur pernapasannya sehingga tenaganya telah kembali pulih lagi. Akan tetapi, perutnya yang lapar dan perih itulah yang membuatanya lemas dan letih kalau saja dia tadi tidak muntah-muntah, agaknya dia takkan begitu letih. Sudah seringkali dia berpuasa, tiga hari tiga malam tidak makan saja baginya belum apa-apa.
Cuaca makin gelap dan hanya dengan bayangan pohon-pohon besar sebagai petunjuk, Kwan Cu terus mengayuh perahunya dengan kedua tangannya ke darat. Namun air laut yang berkeriput itu tidak dapat menerima sinar bulan dengan baik sehingga nampak air menghitam, hanya berkilau di sana-sini. Tiba-tiba perahu Kwan Cu tertahan oleh sesuatu yang berat. Kwan Cu mendorong air agar perahunya menyingkir dari penghalang itu. Ia mengira bahwa perahunya tentu terhalang oleh batu karang yang tidak dapat dilihatnya dalam kegelapan itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba "Batu karang"
Itu bergerak-gerak! Karena tertarik hatinya, Kwan Cu mengulur tangannya untuk mendorong "Batu karang"
Yang dapat bergerak-gerak itu. Hampir dia berteriak ketika jari-jarinya menjamah benda yang lunak, seperti... seperti tubuh seorang makhluk.
"Tentu ikan yang terdampar ke pantai,"
Pikirnya menetapkan hatinya yang berdebar.
"Ooleihaaaaiii"!!"
Terdengar "Batu karang"
Atau "ikan"
Itu berteriak keras sekali. Kwan Cu tersentak kaget sehingga hampir saja dia terjungkal ke dalam air. Ia kemarin malam sudah merasa heran sekali menyaksikan ikan Kilin yang ditangkap oleh Kong Hoat, karena selamanya belum pernah melihat ikan seaneh itu. Akan tetapi sekarang, mendengar seekor ikan besar bisa mengeluarkan suara
"Ooleihaaaiii...!"
Dengan suara seperti manusia, benar-benar membuat dia merasa ragu-ragu apakah benar-benar dia belum menjadi gila! Dengan hati-hati kembali dia kembali mendekatkan tangannya ke depan. Kini menghadapi sesuatu yang begini aneh, dia untuk sementara lupa kepada pulau itu dan belum ingin mendarat sebelum menyelidiki lebih dulu sebetulnya ikan macam apakah yang bisa mengeluarkan suara seperti itu.
"Hayalieee"!"
Kwan Cu menarik kembali tangannya seperti dipagut ular dan merasa bulu tengkuknya berdiri satu demi satu. Bukan main! Tak mungkin ada ikan bisa mengeluarkan suara seperti itu. Akan tetapi rasa keingintahuannya melebihi rasa ngerinya. Ia mendorong air sehingga perahunya maju dan kini dia menggunakan kedua tangannya untuk menangkap ke depan.
Ia berlaku hati-hati sekali dan menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan sikap siap sedia kalau-kalau "ikan"
Itu, akan menggigitnya tentu dia akan cepat memukul. Akan tetapi, keheranannya memuncak ketika kedua tangannya dengan tepat sekali kena memegang dua buah telinga manusia yang besar sekali. Saking kagetnya, Kwan Cu tidak melepaskan kedua buah telinga itu, sebaliknya dia memandang ke depan dengan mata terbelalak sambil mengerahkan seluruh tenaga pandangan matanya. Kebetulan sekali bulan agak terang cahayanya. Ia mula-mula melihat sepasang mata lebar yang mengkilap. Kemudian, kelihatanlah olehnya sebuah kepala manusia yang besarnya empat atau lima kali kepala manusia biasa! Kepala ini gundul dan sedikit rambut kepala diikat. Kulit muka dan kepala hitam sekali, dan inilah yang membuat kepala ini tidak kelihatan di dalam gelap!
"Seorang manusia!"
Pikir Kwan Cu dengan girang. Di tempat yang aneh seperti itu, pertemuan dengan seorang manusia, bagaimanapun anehnya manusia itu, amat menggirangkan hatinya. Untuk sesaat dia lupa bahwa manusia berkulit hitam ini mempunyai kepala yang luar yang luar biasa sekali besarnya.
"Saudara siapakah? Dan mengapa malam-malam berada di laut? Apakah saudara sedang mandi? Maaf kalau perahuku menganggumu."
Demikianlah pemuda itu bicara dengan gembira sambil melepaskan pegangan kedua tangannya pada telinga orang. Sebaliknya, muka yang besar itu memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak lebar dan mulutnya yang berbibir lebar itu mengeluarkan kata-kata yang sama sekali asing bagi telinga Kwan Cu. Ketika kepala ini bicara, kadang-kadang nampak deretan gigi yang besar dan putih berkilat dari balik bibir tebal. Mendengar ucapan orang itu, teringatlah Kwan Cu bahwa orang ini tentulah seorang dari suku Bangsa yang tidak mengerti bahasa Han dan yang mempunyai bahasa daerah sendiri. Maka ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata,
"Maaf, aku tidak mengerti bahasamu dan kau agaknya tidak mengerti pula apa maksud kata-kataku. Maafkan aku tidak mengganggu lebih lama, karena aku hendak mendarat."
Sambil berkata demikian, Kwan Cu menggunakan jari telunjuknya untuk menuding ke arah darat.
Setelah itu, pemuda ini lalu menggunakan tangan untuk mendayung perahunya ke pinggir. Akan tetapi, tiba-tiba orang yang terbenam di air sampai lehernya itu, menggerakkan leher dan tahu-tahu sepasang lengan yang besar dan panjang sekali timbul dari permukaan air dan diletakkan di atas perahu Kwan Cu. Sepasang lengan yang hitam dan besar panjang itu mempunyai tenaga yang amat kuat sehingga ketika menindih perahu-perahu kecil itu tertindih hampir tenggelam! Kwan Cu terkejut sekali, bukan oleh tenaga tindihan ini, melainkan oleh besar dan panjangnya lengan yang berotot besar itu. Baru dia teringat akan besarnya kepala di permukaan air. Sampai lama dia melihat kepala dan lengan orang hitam itu dan dengan bulu tengkuk berdiri dia membayangkan betapa tingginya orang ini.
Seorang Raksasa yang belum pernah didengarnya dalam Buku dongeng, apalagi dilihatnya! Kemudian dia melihat bahwa pergelangan dua tangan itu terbelenggu oleh rantai baja yang kuat, dan mendengar suara orang itu, tahulah dia bahwa orang itu minta tolong kepadanya agar suka membuka belenggu itu. Teringatlah Kwan Cu akan sebuah dongeng yang dibacanya dari Buku kuno, dongeng yang terjadi di tanah Barat. Di dalam dongeng itu diceritakan betapa seorang anak laki-laki membebaskan seorang jin dari belenggu, akan tetapi setelah dibebaskan, jin itu bahkan hendak memakan anak itu. Dongeng itu singkatnya begini: Seorang bocah nelayan menjala ikan di laut. Tersangkut di dalam jalanya bukannya ikan-ikan besar, melainkan pundi-pundi yang tertutup mulutnya.
Karena ingin tahu apa isinya, dibukanya sumbat mulut pundi-pundi itu. Apa isinya? Bukan emas permata atau harta benda, melainkan asap hijau yang bergulung ke atas kemudian membentuk ujud yang mengerikan, yakni seorang jin Raksasa. Kemudian jin Raksasa itu hendak menjadikan anak itu sebagai mangsanya. Anak itu mendapat akal dia berpura-pura heran dan tidak percaya bahwasannya seorang Raksasa begitu besar bisa masuk ke dalam pundi-pundi yang demikian kecilnya. Dikatakannya kalau Raksasa itu mau membuktikan bahwa benar-benar ia dapat masuk ke dalam pundi-pundi, baru dia mau percaya bahwa Raksasa itu seorang jin dan dia mau dimakan tanpa perlawanan. Jin Raksasa itu tertawa bergelak dan berubah menjadi asap, lalu masuk ke dalam pundi-pundi itu.
Anak itu cepat mengambil sumbat dan menutup pundi-pundi kembali seperti tadi sehingga jin itu tidak dapat keluar, kemudian dibuangnya pundi-pundi itu ke dalam laut kembali! Kwan Cu teringat akan dongeng itu. Raksasa yang terbenam di dalam laut ini apakah seorang jin pula? Kalau nanti Raksasa ini hendak memakannya, tidak ada akal baginya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi aku bukan anak penakut, pikirnya. Kalau dia bermaksud jahat, aku sanggup melawannya. Orang tinggi besar yang bertenaga kuat seperti dia ini, belum tentu mempunyai kecerdikan. Bukankah dia begitu bodoh sehingga setelah kedua tangannya dibelenggu, dia mandah tinggal di dalam air dan tidak bisa keluar dengan jalan kaki di darat? Ia bodoh sekali dan kasihan, sebagai manusia terhadap manusia lain, aku harus menolongnya. Bukankah dia juga seorang manusia?
Dengan berpikir demikian, Kwan Cu mulai berusaha untuk membuka belenggu tangan Raksasa itu. Ia melihat betapa bibir yang tebal itu tersenyum ramah ketika dia mulai berusaha membuka belenggu. Agaknya orang hitam besar ini gembira melihat Kwan Cu sudah mengerti akan kehendaknya dan mau melepaskannya daripada belenggu. Akan tetapi, dalam usahanya mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya bergoyang-goyang sehingga tenaga Kwan Cu buyar, kedua kakinya harus mempunyai landasan yang kuat dan keras. Tanpa banyak pikir lagi dia lalu melompat turun dari perahu ke air. Akan tetapi, segera pemuda ini gelagapan dan kena minum banyak air! Kwan Cu cepat mengerakkan tangan menangkap pinggir perahunya dan cepat mengayun tubuhnya naik kembali ke dalam perahu. Ia menyumpah-nyumpah, memaki-maki diri sendiri.
"Bodoh! Tolol! Mengapa aku lupa bahwa Raksasa ini bertubuh tinggi sekali? Dia boleh jadi tidak tenggelam, ke air hanya sampai ke lehernya, akan tetapi bagiku tentu terlalu dalam."
Hampir saja dia tenggelam di dalam air yang ternyata masih amat dalam itu! Kwan Cu memutar otaknya. Rantai besi yang mengikat tangan Raksasa itu cukup kuat. Ia percaya akan dapat mematahkannya kalau saja dia mendapat landasan kaki yang kuat. Dari atas perahu amat sukar, kalau terlapau banyak dia mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya itu bergoyang dan meluncur pergi.
"Mari kita mendarat!"
Katanya berulang-ulang kepada kepala itu sambil menuding ke pantai.
"Disana akan kulepaskan belenggumu. Kau akan bisa berjalan ke sana?"
Akan tetapi Raksasa itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil memperlihatkan sepasang lengannya yang terbelenggu, seakan-akan hendak berkata bahwa dengan kedua tangan terbelenggu, tak mungkin dia berjalan ke darat. Alangkah gobloknya, Kwan Cu menyumpah-nyumpah dengan gemas. Akhirnya dia mendapat akal. Raksasa itu berdiri di dalam air dengan teguh dan kokohnya seperti batu karang. Mengapa dia tidak menggunakan tubuh Raksasa ini sebagai landasan kakinya? Setelah berpikir demikian, dia melompat dari dalam perahu, menubruk ke arah Raksasa itu dan bergantung pada pundak yang lebar itu, kedua kakinya hanya sampai di perut! Cepat Kwan Cu menginjakkan kedua kakinya pada pinggang Raksasa itu tanpa mempedulikan protes dari si Raksasa dan kini kedua tangannya dapat bekerja baik. Ketika dia mengerahkan tenaga beberapa lamanya, akhirnya terlepaslah belenggu itu!
"Yoleihi, yoleihi!"
Raksasa itu berkata keras berkali-kali dan kelak tahulah Kwan Cu bahwa Raksasa itu bermaksud menyatakan terima kasih kepadanya. Setelah itu, Raksasa hitam itu lalu berenang ke tepi pantai dengan gerakan kedua lengannya yang kuat.
"Tolol, dia begitu tinggi, mengapa tidak mau berjalan kaki saja ke pantai ketika tangannya terbelenggu tadi, sebaliknya menanti tangannya bebas untuk dapat berenang ke darat? Tolol sekali orang itu."
Sambil bersungut-sungut ini, Kwan Cu mendayung perahunya ke darat dan setelah dia tiba di darat, barulah dia melihat kenyataan yang membuat pemuda ini menghentikan makiannya terhadap si Raksasa, sebaliknya dia tiada hentinya memaki diri sendiri sebagai orang bodoh dan tolol dengan hati geli. Ternyata bahwa Raksasa itu setibanya di darat, sibuk menggunakan sepasang tangannya yang kuat untuk melepaskan belenggu yang mengikat pergelangan kedua kakinya. Itulah sebabnya mengapa tadi dia berdiri saja di laut dan tidak berdaya sama sekali. Untuk berjalan ke darat, kedua kakinya terikat, untuk berenang, sepasang lengannya terbelenggu! Ketika Kwan Cu mendarat dan menarik perahunya ke pantai, Raksasa itu masih sibuk menarik-narik belenggu yang mengikat kakinya. Melihat ini, Kwan Cu lalu mendekati dan menggunakan tangannya membantu. Sekali renggut saja, terlepaslah belenggu itu.
"Yoleihi, yoleihi"! Dasa alihee teelu""
Kata Raksasa itu dengan pandang mata kagum sekali.
Ia menyatakan terima kasih dan kagum akan kekuatan Kwan Cu yang dengan sekali renggut telah berhasil mematahkan kakinya. Akan tetapi Kwan Cu tidak memperhatikan kata-kata Raksasa ini karena dia memang tidak mengerti artinya sama sekali. Sebaliknya dia kini mengagumi apa yang dilihatnya di dalam cahaya bulan. Pertama-tama dia kagum sekali melihat Raksasa hitam yang kini sudah berdiri di hadapannya dengan kedua kaki terpentang. Biarpun dia telah dapat menduganya, namun melihat tubuh Raksasa ini kurang lebih dua setengah atau tiga kali manusia biasa dengan lengan berbulu dan otot-otot memenuhi tubuh yang bidang dan kuat sekali. Rambutnya hanya sedikit, diikat di tengah-tengah kepala dan pakaian yang menutup tubuh hanyalah sehelai cawat dan ikat pingang, terbuat dari pada kain yang tebal.
Selain bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi, selebihnya tidak ada yang luar biasa, melainkan sama saja dengan orang biasa. Raksasa itu memandang kepada Kwan Cu dengan ramah, kemudia dia mengulur tangannya dan memegang tangan pemuda ini. Kwan Cu terkejut dan teringat akan dongeng tentang jin, akan tetapi dia tidak takut lagi. Di darat dia tak usah takuti Raksasa ini dan dia lalu teringat bahwa Raksasa itu terbelenggu di tengah laut tentu ada sebabnya. Atau lebih tepat, tentu ada orang lain yang melakukan hal itu. Dengan demikian besar sekali kemungkinannya bahwa di pulau yang aneh ini tentu terdapat makhluk lain yang jahat, karena hanya orang jahat saja yang mau melakukan siksaan terhadap Raksasa ini dengan membelenggu kaki tangannya dan membiarkan dia terbenam di dalam laut.
Dari pada bertemu dan dimusuhi oleh orang-orang jahat itu, lebih baik dia ikut dengan Raksasa yang tersenyum ramah kepadanya ini. Maka berjalanlah Kwan Cu sambil digandeng tangannya oleh Raksasa itu. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Kwan Cu mengagumi segala sesuatu yang serba besar di pulau itu. Dari pohon-pohonnya, tanaman-tanamannya, sampai rumput dan batu, bahka katak yang dilihatnya berlompatan di dalam hutan, serba besar, kurang lebih tiga kali ukuran biasa! Yang mengherankan hatinya, biarpun tubuhnya besar, akan tetapi suara Raksasa ini tidak lebih keras daripada suara manusia biasa, sungguhpun lebih besar dan parau. Adapun Raksasa itu tidak kalah herannya dari pada Kwan Cu sendiri. Ia memandang kepada "orang kecil"
Ini dan sering tertawa bergelak dengan nada geli, membuat Kwan Cu menjadi mendongkol juga.
"Kau mentertawakan aku, sebaliknya kau pun akan menjadi tontonan yang menggelikan kalau kau tiba di duniaku. Kau dan aku mana lebih tahu tantang kebaikan dan keburukan? Yang besar mencela terlalu kecil, yang kecil bilang terlalu besar, memang demikian sifat manusia, tak dapat menerima kekuasaan alam yang serba gaib."
Biarpun Kwan Cu berfilsafat dengan seribu kata-kata, mana Raksasa itu dapat mengerti? Sebaliknya, ketawanya makin terbahak-bahak, seakan-akan kata-kata dan bahasa Kwan Cu amat aneh dan menggelikan, seperti suara Burung hantu yang aneh sekali. Akan tetapi, ketika melihat betapa Kwan Cu tidak tertinggal oleh langkahnya yang lebar, Raksasa itu makin terheran. Langkah Raksasa itu sedikitnya tiga kali lebar langkah orang biasa, namun karena Kwan Cu mempergunakan ilmu lari cepat, dia sama sekali tidak tertinggal.
Raksasa itu penasaran, melepaskan tangan Kwan Cu dan berjalan lebih cepat, namun tetap saja Kwan Cu dapat berjalan di sebelahnya tanpa sukar sedikitpun juga. Raksasa itu mulai berlari, namun sambil tertawa geli Kwan Cu tetap dapat menyusulnya, bahkan kalau dia mau dengan mudah Kwan Cu dapat meninggalkannya! Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun yang berada di tengah pulau. Dari jauh sudah kelihatan api penerangan dan terdengar oleh Kwan Cu suara tangis orang riuh rendah seperti sebuah dusun yang sedang dirundung kemalangan hebat. Raksasa itu tertawa geli dan berkata-kata kepada Kwan Cu, akan tetapi tentu saja Kwan Cu tidak mengerti sama sekali. Diam-diam Kwan Cu menjadi girang sekali bahwa di tempat itu terdapat dusun dan orang-orang, juga wanita-wanita seperti yang dapat dia dengar suara tangisnya.
Kalau begitu tentulah ada sekelompok suku Bangsa tinggal di tempat ini dan hal ini menjadi hiburan baginya karena selain dapat bertemu dengan sesama manusia, dia tentu akan mudah mendapat makan dan siapa tahu kalau-kalau mereka akan dapat memberi petunjuk di mana adanya pulau berpohon putih yang dicari-carinya. Dusun itu mempunyai banyak pondok-pondok kayu yang besar-besar dan kokoh kuat. Modelnya sederhana saja namun pembuatannya cukup kuat dan baik, tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah model Tiongkok pesisir Timur. Akan tetapi, pada malam hari itu, agaknya sebagian besar dari rumah-rumah itu ditinggalkan penghuninya dan ternyata mereka berkumpul di dalam sebuah rumah yang amat besar dan berada di tengah-tengah dusun itu. Melihat bangunan induk ini, Kwan Cu menjadi bengong.
Bukan main besar dan kokoh kuatnya bangunan ini, tiada ubahnya istana Kaisar sendiri, hanya bedanya bangunan ini seluruhnya terbuat dari pada kayu yang besar-besar. Juga lampu-lampu gantung yang dipergunakan sebagai penerangan pada setiap rumah di dusun itu terbuat dari pada kayu. Sebagai pengganti kaca dipergunakan semacam kulit ikan yang tipis dan dapat di tembusi oleh sinar api. Nyala api tetap terang, dan ternyata bahwa orang pun mempergunakan minyak untuk lampu-lampu ini! Raksasa membawa Kwan Cu langsung ke sebuah ruangan lebar di mana berkumpul semua orang-orang laki perempuan yang kesemuanya adalah Raksasa bertubuh tinggi besar. Mereka ini duduk bersimpuh, ada pula yang berlutut menghadapi sebuah meja besar di mana dipasang lilin seperti orang melakukan semacam sembahyangan.
Ketika Raksasa itu muncul di bawah penerangan lampu besar, semua orang menengok dan terjadilah sesuatu yang mengherankan hati Kwan Cu. Pemuda ini melihat orang laki-laki serentak mundur, bahkan ada yang melarikan diri, ada pula yang menjatuhkan diri berlutut kepada Raksasa hitam yang baru datang. Orang-orang wanita menjadi pucat dan menjerit-jerit ketakutan seperti melihat setan! Terdengarlah pekik-pekik ketakutan dan suara orang kalang kabut. Raksasa itu mengangkat kedua tangannya dan berkata-kata dengan suara yang berpengaruh seakan-akan menghibur. Setelah dia selesai berkata-kata, semua orang berlutut dihadapannya dan dari rombongan wanita, berlari keluar seorang gadis Raksasa yang bertubuh tinggi ramping dan berwajah halus dan boleh dibilang cantik, biarpun kulitnya kelihatan kehitaman dan tubuhnya juga tinggi besar.
Namun jika dibandingkan dengan yang lain, ia termasuk kecil dan masih muda sekali. Sambil menangis, gadis Raksasa ini menubruk Raksasa itu dan keduanya berpelukan. Kini semua orang yang berada di situ nampak girang, senyum timbul di wajah mereka yang rata-rata membayangkan kejujuran. Tiba-tiba seorang wanita menjerit sambil menunjukkan telunjuknya ke arah Kwan Cu. Keadaan menjadi geger setelah semua orang melihat pemuda kecil kate ini. Agaknya baru sekarang mereka melihat Kwan Cu dan terdengar suara-suara diiringi suara ketawa geli. Orang-orang perempuan tertawa terkekeh dan orang-orang lelaki tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Kwan Cu. Kwan Cu menjadi mendongkol sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya dan dalam kegemasannya lupalah dia akan perutnya yang lapar.
"Sudahlah, sudahlah, aku bukan badut! Kalau kalian tidak suka melihat aku, aku pun tidak sudi berada disini terlalu lama."
Sambil berkata demikian, dia hendak pergi dari situ.
Tidak sudi dia dijadikan bahan tertawaan oleh semua orang itu hanya karena dia bertubuh normal! Akan tetapi Raksasa hitam yang agaknya jadi kepala mereka itu, mengulur tangan mencegah dia keluar, kemudian Raksasa ini mengangkat tangan memberi tanda kepada semua orang supaya berhenti tertawa dan bicara panjang lebar. Agaknya dia menceritakan pengalamannya dan menceritakan betapa Kwan Cu telah menolongnya. Hal ini dapat diduga ketika semua orang kini memandang ke arah Kwan Cu dengan kagum sekali. Dan tiba-tiba gadis Raksasa yang tadi memeluk Raksasa hitam itu, berlari mendekati Kwan Cu, menggunakan kedua lengannya yang berkulit hitam halus dan panjang itu untuk memeluk Kwan Cu lalu... mencium hidungnya!
Hampir saja Kwan Cu berlari keluar saking malu dan jengahnya. Ia memberontak dengan halus, melepaskan diri dari pelukan gadis Raksasa itu dan berdiri dengan muka merah sampai ke telinganya! Ia melihat semua orang tertawa-tawa. Kini orang-orang wanita yang berpakaian cukup sopan, yakni dengan semacam kain berkembang tebal di selimutkan dari pundak menutup leher sampai kelutut, datang mengerumuninya. Ia sudah merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau semua wanita ini akan memeluk dan menciuminya. Akan tetapi dia merasa lega sekali ketika ternyata mereka hanya mendekatinya, meraba-raba tangan dan kakinya, bahkan ada yang melepaskan kalung dan gelang dari emas tulen dan memberikan perhiasan itu kepadanya sebagai tanda kagum! Sambil tersenyum dan menggelengkan kepala Kwan Cu menolak semua hadiah itu dengan halus.
Raksasa hitam yang ternyata adalah Raja suku Bangsa ini lalu memberi perintah dan bubarlah semua orang. Mereka sibuk bekerja dan pada malam hari itu juga di ruangan ini diadakan pesta untuk menghormat Raja dan Kwan Cu! Pemuda ini mendapat kenyataan bahwa tidak semua Raksasa berkulit hitam arang seperti kepalanya. Ada yang agak putih walaupun bagi Bangsa Han masih termasuk hitam, bahkan wanita-wanitanya rata-rata mempunyai kulit yang hitam-hitam manis. Meja sembahyang yang tadi dipasang di tengah ruangan, dibawa pergi dan sebagai gantinya dipasang meja besar yang mewah. Ketika orang sibuk menghias meja ini, Kwan Cu melompat dari tempat duduknya karena dia melihat di antara kain-kain berwarna yang dipergunakan untuk menghias meja makan yang panjang dan lebar itu,
Terdapat sajak-sajak yang tulisannya sama dengan tulisan yang dipergunakan dalam kitab sejarah Gui-Siucai atau dalam kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng. Ia membaca sajak kuno itu dan cepat berpaling kepada Raksasa hitam yang juga memandangnya dengan heran. Ketika Kwan Cu menunjuk kepada sajak-sajak itu seakan-akan bertanya, raja-raja Raksasa itu lalu membaca sajak-sajak tadi, akan tetapi dengan bahasa yang sama sekali asing bagi Kwan Cu. Kemudian Kwan Cu lalu membaca sajak itu keras-keras dan kini giliran Raja Raksasa itu untuk memandangnya dengan bingung. Kwan Cu mendapat akal baik, lalu dia menggunakan jari tangannya untuk menggurat-gurat meja yang halus. Sambil mengerahkan Lweekangnya dia dapat menulis beberapa huruf dari tulisan kuno itu yang berbunyi.
"Apakah kau dapat membaca tulisanku ini?"
Raja Raksasa terkejut sekali nampaknya lalu berteriak keras. Semua orang yang sibuk membereskan tempat itu, pada lari mendatangi dan mereka semua, laki-laki dan perempuan dapat membaca tulisan tangan Kwan Cu di atas meja itu. Mereka bersorak-sorak girang dan Raja itu lalu memberi perintah. Seorang diantara mereka berlari mengambil alat tulis berupa pisau runcing dan lembaran kulit pohon yang di dalamnya putih dan halus. Dengan pisau itu, memang amat mudah dan enak untuk menuliskan huruf di sebelah dalam lebaran kulit pohon.
"Tentu saja kami dapat membaca tulisanmu. Agaknya tulisan kami sama, hanya suara bacaannya yang bikin berbeda."
Raja itu menulis dan bukan main girangnya hati Kwan Cu. Pesta dimulai dan daging panggang yang dihidangkan membuat hati Kwan Cu berdebar girang, membuat dia mengilar akan tetapi juga baru melihat saja dia sudah merasa kenyang! Daging-daging yang dihidangkan di hadapannya begitu besar dan berbau sedap. Kini dia dapat "Bercakap-cakap"
Dengan Rakyat hitam itu melalui tulisan huruf kuno, dan dia mendapat penjelasan dan penuturan yang amat menarik hati seperti berikut.
Kalau dia yang membacanya, nama Raja Raksasa itu adalah Lakayong, dan Raja ini adalah seorang duda dengan puterinya bernama Liyani, yakni gadis Raksasa yang menangis sambil memeluknya tadi, atau juga gadis yang telah memeluk dan mencium Kwan Cu setelah mendengar bahwa pemuda ini telah menolong Ayahnya! Suku Bangsa Raksasa itu menurut mereka disebut Bangsa Kuyu, keturunan dari Bangsa Raksasa yang sudah di sangka lenyap dari daratan tiongkok. Mereka hidup sampai beberapa keturunan di atas pulau besar yang kosong itu. Lakayong diangkat sebagai Raja oleh karena dia mempunyai tenaga paling besar dan menurut tradisi mereka, setelah diadakan pertandingan dan Lakayong tak dapat dikalahkan, maka dia diangkat menjadi raja. Jago-jago lain dijadikan pembantu-pembantunya.
Di antara pembantu-pembantunya terdapat dua orang Raksasa lain yang dalam kepandaian bertempur dan kehebatan tenaga, hanya kalah sedikit oleh Lakayong. Mereka ini bernama Wisang dan Kasang yang oleh Lakayong diangkat menjadi pembantu-pembantunya yang paling berkuasa. Akan tetapi, sudah lama dua orang ini merasa iri kepada Lakayong, dan diam-diam mengandung maksud untuk merebut kedudukan. Apalagi ketika dua orang itu bergantian mengajukan pinangan terhadap Liyani ditolak oleh gadis itu, mereka makin menaruh hati dendam. Bangsa Kuyu mempunyai kebiasaan yang aneh dan yang sudah menjadi tradisi mereka. Yakni tiap kali bulan muncul, mulai bulan timbul tiga perempat sampai bulat, setiap Raja selalu mandi di laut seorang diri, katanya untuk menerima berkah dari Dewa bulan demi kebahagiaan Bangsanya.
Pada malam hari kemarin, seperti biasa Raja Lakayong mandi di laut memenuhi peraturan tradisi dan minta bekah bagi Rakyatnya, tiba-tiba dia diserang oleh dua orang pembantunya, yaitu Wisang dan Kasang. Kalau saja mereka bertempur di darat, agaknya biarpun dikeroyok dua, Raja Lakayong takkan kalah. Akan tetapi pertempuran di air melelahkan. Ia sudah mulai tua sedangkan lawannya masih muda dan pandai berenang. Akhirnya dia kalah, dibelenggu kaki tangannya dan dilemparkan ke laut agar mati tenggelam atau dimakan ikan liar. Kemudian Wisang dan Kasang berlari ke darat, memberi tahu kepada semua orang bahwa ketika sedang mandi di laut, Raja Lakayong telah diserang ikan besar dan bahkan mereka berdua telah berusaha untuk menolong namun tidak berhasil, sebaliknya menderita luka-luka.
Padahal luka-luka mereka itu adalah karena pukulan Raja Lakayong yang melawan hebat sebelum dia dikalahkan! Semua orang menjadi berduka, terutama sekali Layani dan upacara sembahyang segera dilakukan sampai sehari semalam. Adapun kedua orang itu, Wisang dan Kasang, tidak kelihatan lagi. Hal ini karena mereka masih amat akan percaya tahyul dan mereka beranggapan bahwa sebelum sehari semalam, arwah orang yang mati masih berkeliaran untuk menuntut balas pada musuh-musuhnya! Karena itu, selama sehari semalam mereka tidak berani keluar dan bersembunyi di dalam sebuah gua yang gelap agar arwah dari Raja Lakayong tidak dapat mencari mereka! Ini pula sebabnya ketika Raja Lakayong muncul pada malam hari itu, kedua penghianat itu tidak kelihatan di situ. Demikianlah penuturan Raja Lakayong pada Kwan Cu.
"Baiknya Dewa Air masih melindungiku,"
Raja Lakayong menutur selanjutnya.
"sehingga ombak membawaku ke tempat yang dangkal dan dalam keadaan yang setengah mati aku dapat berdiri di dalam air yang tiba sebatas leher. Aku berdiri kuat-kuat agar tidak terguling, karena sekali aku terguling, aku akan mati. Kebetulan sekali kau datang, sahabat baik, dan aku tertolong."
"Di mana adanya dua orang yang jahat itu? Aku ingin sekali memukul kepala mereka!"
Tulis Kwan Cu dengan gemas. Lakayong tertawa bergelak.
"Kamu mengagumkan sekali, saudara kecil yang gagah,"
Tulisnya.
"Akan tetapi kau tidak tahu kalau Wisang dan Kasang amat kuat dan tangkas. Di seluruh dusun ini, hanya aku yang mampu menandingi mereka, itupun tak mudah aku lakukan. Mereka kuat sekali, apa daya orang kecil seperti kau?"
Ketika kedua orang itu bercakap-cakap dalam bentuk tulisan, maka semua tulisan itu di baca semua orang ganti berganti dan yang mendapat kesempatan pertama tentu saja Liyani yang memandang kepada Kwan Cu dengan kagum sekali.
"Kau kecil dan lemah, akan tetapi kau gagah perkasa. Aku suka kepadamu,"
Tulis gadis itu dengan tulisan tangannya yang halus. Kwan Cu merasa mendongkol karena Raja Lakayong agaknya memandang rendah kepadanya.
"Biarpun aku kecil, aku berani menghadapi keroyokan mereka berdua!"
Tulisnya. Tentu saja tulisan ini menimbulkan kegemparan besar setelah semua orang membacanya. Seorang laki-laki tinggi besar dan kelihatan kuat dan kasar sekali menudingkan telunjuknya kepada Kwan Cu dan berkata-kata dengan keras.
"Dia bilang apa?"
Kwan Cu menulis. Akan tetapi Raja Lakayong menggelengkan kepalanya, seakan-akan segan untuk "Menerjemahkan"
Kata-kata itu. Kwan Cu merasa penasaran dan menunjukkan kata-kata pertanyaannya itu kepada Liyani. Gadis ini segera menuliskan jawabannya tanpa mempedulikan Ayahnya yang tampaknya melarangnya.
"Dia seorang kuat, dan berkata bahwa Bangsa kami selalu jujur dan tidak mau membual, seorang laki-laki yang berani mengeluarkan ucapan membual harus berani pula membuktikan omongannya itu."
Membaca jawaban itu, Kwan Cu melompat berdiri. Orang-orang tidak bisa mengikuti gerakannya yang cepat seperti Burung terbang. Tahu-tahu semua orang melihat pemuda kecil itu berdiri di depan Raksasa muda yang menegurnya tadi dan bertolak pinggang seperti menantang. Raksasa muda tertawa dan mendorong dada Kwan Cu, agaknya hendak menyuruh Kwan Cu duduk kembali.
Dorongannya itu sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya, menyambar ke arah dada Kwan Cu seperti gajah menyeruduk. Akan tetapi dengan sedikit saja miringkan tubuh, Kwan Cu sudah dapat mengelak dan secepat kilat dia dari samping menekan siku yang mendorong dan membarengi menggunakan kaki untuk menendang belakang lutut Raksasa itu. Terdengar Raksasa itu berteriak dan tak dapat bertahan lagi ia jatuh tersungkur dengan hidung lebih dulu! Orang-orang tertegun melihat hal ini, bahkan Raja Lakayong sendiri seperti orang yang tak percaya akan apa yang dilihatnya, sebaliknya Liyani bertepuk tangan memujinya. Raksasa itu bangun kembali dengan penasaran, dari hidungnya yang panjang mengalir darah. Setelah memandang dengan mata yang terbelalak, dia lalu menyerang, kini dengan kedua tangan dipentang lebar dan kemudian memukul kepala Kwan Cu dari kiri dan kanan.
Serangan itu dahsyat sekali, akan tetapi bagi Kwan Cu gerakan orang ini amat lambat, mudah saja baginya untuk melangkah mundur sehingga kembali serangan itu mengenai angin kosong. Raksasa itu terheran ketika kedua tangannya memukul angin, maka dengan bernafsu ia menubruk, kini dengan tubuh membungkuk seperti seekor lembu jantan hendak menyeruduk. Kwan Cu berpikir, bahwa kalau ia tidak memperlihatkan kelihaiannya, tentu ia akan dipandang rendah oleh orang-orang ini. Maka ia menanti kesempatan baik. Ketika lawannya menyeruduk, menyerang dengan kedua tangan dan kepala, ia bergerak cepat sekali, melompat dengan ringan sekali melalui atas kepala lawannya! Semua orang tertegun, akan tetapi Raksasa muda itu kebingungan karena tiba-tiba saja ia kehilangan lawannya.
"Bocah cilik, jangan lari kau sembunyi!"
Teriakannya dengan bahasa yang tidak di mengerti oleh Kwan Cu. Akan tetapi orang yang berada di situ mengerti dan menjadi geli sekali karena Kwan Cu yang disangka bersembunyi itu sebenarnya telah berada di belakang Raksasa muda itu! Kwan Cu tidak mau membuang waktu lagi, dengan gerakan yang cepat sekali dia menggunakan jari tangannya untuk menotok kaki bagian belakang lutut. Ia melihat urat besar dan seketika itu juga Raksasa itu jatuh berlutut.
Kwan Cu menyerang terus, kini menotok punggungnya dan aneh sekali bagi semua orang dan Raja Lakayong karena dengan tiba-tiba Raksasa muda itu terguling jatuh dan menangis keras! Semua orang menjadi gempar dan Raksasa itu dikerubung dan ditanyai, akan tetapi ia tidak menjawab melainkan tetap bergulingan dan menangis karena ia telah ditotok jalan darahnya yang membuat semua badan menjadi sakit dan air matanya mengucur keluar tanpa dapat dicegah lagi, ternyata Kwan Cu telah menggunakan Ilmu Silat Sin-Ci Tin-San (Satu Jari Merobohkan Gunung)! Liyani segera menghampiri Kwan Cu. Pemuda ini takut kalau akan dicium lagi maka dia berlaku waspada, siap mengelak kalau-kalau akan dipeluk. Akan tetapi Liyani menghampirinya dengan membawa tulisannya yang ketika ia baca berbunyi,
"Kau apakan dia"
Kwan Cu tersenyum dan membalasnya dengan tulisan,
"Tidak apa-apa, hanya memberi pelajaran kepadanya, kau minta menarik lagi kata-kata yang memandang rendah kepadaku dan aku akan menyembuhkannya!"
Gadis itu sambil tersenyum gembira berlari-lari kearah Raksasa yang masih menangis bergulingan seperti anak kecil itu, dan menyampaikan pesan Kwan Cu. Raksasa itu berkaok-kaok yang diterjemahkan oleh Liyani.
"Dia sudah kapok dan minta ampun."
Kwan Cu merasa kasihan. Ia menghampiri pemuda Raksasa itu, lalu menepuk dan mengurut punggungnya! lenyaplah rasa sakit. Raksasa itu membungkuk kepada Kwan Cu lalu beranjak pergi dari situ dengan malu. Kwan Cu duduk lagi di dekat Raja Lakayong yang memandangnya sambil mengurutkan kening, lalu menulis,
"Kau menggunakan ilmu Hoat-Sut (Ilmu Sihir), aku tidak suka akan ilmu curangmu itu, lebih baik menghandalkan tenaga dan berkelahi dengan jujur."
Kwan Cu dapat memaklumi jalan pikiran Raksasa sederhana dan jujur ini. Maka ia lalu menulis dengan panjang lebar.
"Tidak ada kecurangan caraku dalam bertempur, aku lebih menggunakan otak dari pada tenaga. Kalau aku disuruh bertempur menghadapi dia yang jauh lebih besar, apakah itu jujur dan adil namanya? Sama saja seekor kelinci disuruh menghadapi Harimau! Tenagaku jauh lebih kecil, maka aku harus menggunakan akal. Aku tadi juga menggunakan pukulan akan tetapi pukulan dengan tenaga sekecilnya yang ditujukan pada bagian yang menyakitkan."
"Tubuhnya kuat, tak mungkin dengan tenaga kecil dapat menimbulkan rasa sakit."
Bantah Lakayong.
"Kau keliru."
Jawab Kwan Cu.
"Di bawah kulit tersembunyi bagian-bagian yang lemah. Kalau kau tidak percaya, coba kau gunakan salah satu jari tanganmu mengetok bagian lututmu ini sendiri."
Sambil berkata demikian Kwan Cu meraba sambungan lutut Raksasa itu. Sambil tersenyum Raja Lakayong mengetokkan jarinya pada bagian itu dan dia berseru kesakitan dan secara otomatis kakinya bergerak ke depan seperti orang menendang karena tersentuh uratnya yang amat perasa. Dengan rasa terheran-heran Raksasa itu mengetuknya berkali-kali dan akhirnya Kwan Cu melarangnya karena hal itu dapat berbahaya sekali.
"Jika kau menggunakan pukulan menghantam lawan, mungkin ia tak kan roboh, akan tetapi agak ke bawah kau memukul mengenai sambungan lututnya, pasti ia roboh. Apakah akal ini dapat dikatakan curang?"
Lakayong kagum sekali. Lalu ia minta penjelasan lebih lanjut.
"Mungkin aku akan menghadapi seorang di antara dua orang penghianat itu. Mereka masih muda dan kuat, sedangkan aku sudah tua. Aku kalah tenaga dan aku perlu mengetahui rahasia tubuh ini,"
Katanya. Kwan Cu lalu memberi penjelasan sambil memberi contoh, yaitu lebih tepat memukul sambungan siku daripada mengenai lengan, lebih baik memukul sambungan pundak daripada mengenai dada, dan memberi petunjuk berbahaya yaitu leher, ulu hati, lambung dan lain-lain. Raja Lakayong menjadi girang sekali dan hampir sampai pagi ia menerima petunjuk dari Kwan Cu.
"Di mana adanya dia orang jahat itu?"
Tanyanya.
"Mereka bersembunyi, akan tetapi tidak ada orang yang akan sembunyi terus-menerus, mereka tidak berani meninggalkan pulau dan besok ia akan menghadap juga."
"Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?"
"Kau akan melihat sendiri besok,"
Jawab Lakayong sambil tertawa.
"Yang sudah pasti, mereka akan menghadapi keputusan yang jujur, sesuai dengan kebiasaan kami."
Adapun Liyani yang suka kepada Kwan Cu, tiada bosannya mengajarkan bahasa mereka kepada Kwan Cu. Dengan bantuan tulisan mereka yang dimengerti oleh Kwan Cu, dibantu pula oleh otaknya yang cerdik, sebentar saja Kwan Cu sudah dapat mengerti beberapa ucapan terpenting dalam percakapan sehari-hari. Maka mulailah dia bercakap-cakap dengan Liyani dan Lakayong sehingga mereka menjadi gembira sekali. Melihat Suling yang berada di buntalan Kwan Cu, Liyani bertanya benda apakah gerangan yang aneh itu. Kwan Cu tersenyum lalu meniup Sulingnya. Berserabutan orang-orang yang tadinya udah pulang ke pondok masing-masing untuk melihat apakah yang dapat berbunyi demikian aneh dan merdu.
Adapun Liyani saking gembiranya lalu menari di hadapan Kwan Cu. Sebuah tarian yang menurut Kwan Cu amat melanggar kesusilaan karena gadis itu menari dengan pinggang bergerak, semacam tari perut! Atas kehendak Raja Lakayong, pertemuan yang menggembirakan itu dibubarkan untuk memberi kesempatan pada tamunya untuk mengaso. Kwan Cu mendapat kamar yang bersih di dalam gedung besar itu berdekatan dengan kamar Raja Lakayong dan kamar puterinya. Lakayong sebentar saja sudah tidur mendengkur. Juga Kwan Cu yang merasa lelah sekali, tidur melenyapkan keletihannya setelah makan kenyang dan merasa tubuhnya enak dan segar. Lebih dulu ia mengganti pakaiannya yang basah kuyub dengan pakaian yang sudah dia panggang di dekat api unggun sehingga menjadi kering.
Pada keesokan harinya dia bangun dari tidurnya karena suara ketawa terkekeh-kekeh di dalam kamarnya. Ia membuka matanya dan cepat meloncat turun dari pembaringan kayu ketika melihat yang tertawa-tawa itu adalah Liyani yang sudah memasuki kamarnya. Gadis itu telah membuka buntalannya dan sedang melihat-lihat pakaiannya. Celana dan bajunya dipegang gadis itu sambil tertawa-tawa, seperti seorang gadis remaja memegang dan merasa geli melihat pakaian anak kecil! Memang, celana sutra dari pemuda itu ketika dipegang tergantung oleh tangan Liyani hanya kelihatan seperti celana anak kecil saja! Ketika melihat Liyani mulai membuka bungkusan kuning yang berisi daun Liong-Cu-Hio, Kwan Cu melompat dan merampas bungkusan itu.
"Jangan sentuh ini!"
Katanya dalam bahasa Kuyu yang kaku. Mata yang bening itu terbelalak lebar. Setelah melihat gadis itu di pagi hari, Kwan Cu harus mengaku bahwa Liyani memiliki kecantikan yang khas dari Bangsanya. Kulitnya yang kehitaman itu tidak membosankan dan bibirnya yang tebal itu nampak penuh dan manis.
"Mengapa tidak boleh?"
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanyanya heran, kejujurannya membuat ia tidak merasa tersinggung.
"Karena benda yang terbungkus kain ini sangat berbahaya, sekali tanganmu menyentuhnya, akan mejadi hangus tanganmu itu."
Liyani menjadi terkejut sekali dan melangkah mundur.
"Kau orang aneh, barang-barangmu juga aneh. Akan tetapi aku... aku suka padamu, suka sekali padamu."
Setelah berkata demikian gadis itu keluar dari kamar, meninggalkan Kwan Cu yang berdiri dengan muka merah sekali. Pemuda ini baru berumur enam belas tahun dan selama hidupnya belum pernah berpikir tentang cinta kasih antara laki-laki dan wanita. Tadinya mengira bahwa rasa suka yang dinyatakan berkali-kali oleh gadis Raksasa itu adalah rasa suka yang terdapat dalam hati orang bersahabat,
Namun melihat sinar mata gadis itu yang aneh sekali, membuat dia merasa jengah dan tidak enak hati! Wanita-wanita pelayan datang membawa air pencuci muka, air minum dan makanan, menyediakan semua itu sambil tertawa-tawa seakan-akan menghadapi sesuatau yang lucu. Kwan Cu mendongkol sekali dan berpikir bahwa dia tidak betah terlalu lama tinggal di pulau Raksasa ini karena dia maklum bahwa tubuhnya yang jauh lebih kecil dari pada penduduk di situ akan membuat dia kelihatan sebagai makluk yang aneh dan menggelikan. Ia tidak suka menjadi bahan ketawaan. Namun, minuman yang disediakan amat enak, menghangatkan perutnya sedangkan makanan itu lezat sekali, semacam kue yang manis. Tak lama kemudian datanglah Raja Lakayong yang nampak sehat dan gembira sekali.
"Saudara kecil yang baik, apakah kau enak tidur?"
Tanyanya. Kwan Cu mengucapkan terima kasihnya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
"Saudara Kwan Cu, marilah kau ikut aku melihat bagaimana kami mengadakan pengadilan,"
Kata Lakayong sambil mengandeng tangan Kwan Cu. Ketika mereka tiba di luar, ternyata Raja itu tidak datang seorang diri, melainkan bersama tujuh orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka ini adalah pembantu-pembantu dari Lakayong.
Kwan Cu berjalan bersama Lakayong menuju ke sebelah Barat di mana terdapat sebuah telaga yang berbentuk bundar dan nampaknya dalam sekali. Air telaga yang biru itu kelihatan tenang, akan tetapi kadang-kadang nampak berombak dan sekali-kali muncullah kepala seekor binatang yang membuat Kwan Cu terheran-heran dan merasa ngeri. Kepala binatang yang muncul di permukaan air telaga itu amat menyeramkan bentuknya seperti seekor singa, liar dan buas, akan tetapi kepala itu besar sekali dan tubuhnya agak panjang karena ekornya yang berambut merah berada jauh di belakangnya. Apakah ini yang disebut naga? Ataukah singa air? Lakayong mengajak Kwan Cu duduk di dekat telaga, di atas batu-batu hitam yang licin dan agaknya sering kali diduduki oleh Raja ini. Para pembantu yang tujuh orang itu duduk di sebelah kiri.
"Sudah siapkan mereka?"
Tanya Lakayong pada orang-orangnya.
"Mereka sedang menuju ke sini,"
Jawab pembantunya dengan hormat. Betul saja, tak lama kemudian nampak dua Raksasa muda yang bertubuh kuat sekali. Mereka berjalan berdampingan seperti dua ekor gajah muda menuju ke tempat itu. Setiba mereka di depan Lakayong, dua orang itu lalu berbungkuk dengan hormat.
"Kalian sudah mendengar keputusanku!"
Kata Lakayong dengan kata dingin.
"Karena di antara kamu tidak ada yang mengaku merencanakan pengkhianatan itu, kalian harus menyatakan kemenangan dengan bertanding di atas batu jamur. Yang kalah menjadi mangsa singa telaga, yang menang akan berhadapan dengan aku sendiri!"
"Kami mengerti!"
Jawab dua orang itu dengan gagah dan mata mereka memandang ke arah Kwan Cu penuh kebencian sehingga pemuda ini menjadi kaget. Tujuh orang pembantu segera menyediakan sebuah perahu besar dan dua orang Raksasa muda itu menunggang perahu menuju tengah-tengah telaga. Kwan Cu melihat bahwa di tengah telaga itu terdapat sebuah batu karang yang bentuknya aneh seperti jamur besar. Tahulah dia bahwa dua Raksasa muda itu harus bertanding di atas batu karang itu.
"Apakah mereka yang bernama Wisang dan Kasang?"
Tanyanya kepada Lakayong. Raja Raksasa itu mengangguk dengan tersenyum.
"Benar, merekalah pengkhianat-pengkhianat itu. Sayang sekali, mereka sebetulnya merupakan dua orang muda yang paling cakap yang gagah di antara suku Bangsa kami."
"Masih lebih baik mempunyai pembantu kurang cakap akan tetapi jujur daripada pembantu cakap akan tetapi khianat,"
Kata Kwan Cu.
"Kau betul sekali, saudaraku, cocok dengan pendirianku. Oleh karena itulah maka aku menjatuhkan hukuman itu kepada mereka. Diam-diam Kwan Cu mengagumi kesederhanaan dan kejujuran orang-orang ini. Mana ada hukuman seperti itu, yang menjadi pesakitan sama sekali tidak di tangkap, dibiarkan bebas begitu saja. Namun tetap saja mereka datang menyerah! Dan alangkah anehnya hukuman itu. Keduanya disuruh bertanding dan yang menang akan mendapat kesempatan bertanding dengan Raja Lakayong!
"Bagaimana kalau dengan pertandingan kedua nanti kau kalah?"
Tanya Kwan Cu.
"Aku kalah? Tak mungkin. Apalagi setelah mendapat petujuk darimu tentang bagian-bagian tubuh yang lemah, biarpun dikeroyok dua oleh mereka, aku akan dapat merobohkan mereka,"
Kata Lakayong sambil ketawa gembira.
"Akan tetapi, andaikata kau tetap kalah?"
Kwan Cu mendesak.
"Kalau aku kalah? Tak bisa lain tentu pemenangnya akan menjadi Raja dan menikah dengan Liyani."
Kwan Cu tertegun. Alangkah sederhananya peraturan itu dan menunjukkan bahwa Raja Raksasa ini sama sekali tidak berlaku sewenang-wenang. Bukanlah kalau dia mau dengan mudah saja dia bisa saja suruh tangkap dan bunuh dua pengkhianat itu? Akan tetapi, mendengar bahwa Liyani akan diperistri oleh seorang pemenang, Kwan Cu menjadi penasaran.
"Bukankah Liyani sudah menolak pinangan mereka?"
"Karena Liyani puteriku maka dia berhak menolak pinangan siapa saja yang dia tidak suka. Akan tetapi, ia tak akan boleh menolak pinangan seorang raja."
Percakapan berhenti dan kini dua orang Raksasa muda itu sudah tiba di batu karang yang disebut batu jamur. Dengan otot-otot kaki tangan mengembung lalu merayap naik keatas batu karang itu. Tidak sembarang orang dapat merayap sepereti itu karena batu karang itu bentuknya seperti jamur dan terjal. Selain sukar, juga amat berbahaya karena Kwan Cu melihat betapa singa-singa telaga telah siap sedia menanti dengan mulut memperlihatkan gigi-gigi tajam di sekitar batu jamur itu! Sekali saja kaki terpeleset dan jatuh ke air, tak kan ada pertolongan lagi. Setelah kedua orang itu, Wisang dan Kasang, berhasil naik ke atas, mereka berdiri berhadapan seperti dua orang jago berlagak.
Siap untuk mulai pertandingan. Penduduk dusun itu semua datang untuk menyaksikan pertandingan ini, dan dari gerak dan suara mereka Kwan Cu dapat menduga bahwa para penonton itu saling bertaruh untuk jago masing-masing. Matahari telah tinggi dan kini semua orang laki-laki perempuan telah berkumpul di pinggir telaga termasuk Liyani mengambil tempat duduk di samping Kwan Cu. Adapun Raja Lakayong duduk di sebelah kanan pemuda itu. Raja ini kelihatan gembira sekali. Pertandingan di atas batu jamur jarang sekali diadakan dan semenjak dahulu sudah beberapa keturunan, batu jamur itu hanya dipergunakan untuk bertanding bagi calon-calon raja. Akan tetapi dalam pertandingan calon raja, di sekeliling batu terdapat perahu-perahu besar sehingga kalo ada yang kalah dan jatuh ke bawah, dia tak akan dimakan singa telaga dan melompat ke perahu.
Berbeda dengan pertandingan sekarang ini, karena pertandingan sekarang ini bersifat hukuman, maka setelah kedua orang ini naik, Lakayong memberi perintah supaya perahu besar yang membawa dua orang Raksasa muda tadi ke batu jamur, disingkirkan! Dengan demikian berarti bahwa siapa yang kalah akan terkubur di dalam perut singa telaga! Kemudian Lakayong lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangan dan mulailah kedua orang Raksasa itu bertanding! Kwan Cu memandang dengan penuh perhatian. Ia tidak tahu bahwa dua orang Raksasa muda yang sedang bertanding menanam kebencian hebat kepadanya. Sebelum dua orang Raksasa itu menghadap Raja tadi, malamnya mereka telah mendengar dari Raksasa yang dikalahkan oleh Kwan Cu tentang semua kejadian. Mereka tahu bahwa yang menolong Raja adalah pemuda itu, sehingga boleh dibilang bahwa yang mendatangkan malapetaka dan yang menggagalkan rencana mereka adalah Kwan Cu.
Apalagi ketika mereka mendengar bahwa biarpun kecil, pemuda asing itu memiliki kepandaian bertempur yang mengherankan, kedua orang Raksasa muda itu menjadi makin benci dan iri hati. Pertempuran yang terjadi di atas batu jamur itu ramai sekali. Keduanya sama kuat dan sama tangguh. Pukul-memukul, tendang-menendang dan dorong-mendorong, berusaha sekuat tenaga agar lawannya terlempar jatuh dari atas batu jamur. Memang amat mengerikan dan menegangkan nampaknya. Permukaan batu yang rata itu tidak berapa lebar dan sekali telah terlempar atau tergelincir ke bawah berarti maut menjadi bagiannya! Kwan Cu melihat betapa kedua orang Raksasa muda itu lebih banyak menggunakan tenaga daripada otak. Mereka memiliki kekuatan dan tubuh yang terlindung oleh otot-otot tebal itu menjadi kebal.
Pukulan dan tendangan lawan seperti tidak terasa dan dorongan tak cukup kuat untuk dapat merobohkan tubuh yang kokoh kuat itu. Diam-diam Kwan Cu menjadi geli menyaksikan cara mereka bertempur itu. Seperti dua orang anak-anak yang bergulat saja. Kalau dia yang maju, dia percaya bahwa dalam beberapa gerakan saja dia akan dapat mengalahkan mereka. Para penonton bersorak-sorak, menyoraki jago masing-masing. Ada kalanya Wisang tertindih, ada kalanya Kasang terdesak, akan tetapi keduanya sama kuatnya sehingga pertandingan makin lama makin seru dan mengerikan. Liyani tertawa-tawa gembira dan gadis ini nampaknya senang sekali menyaksikan pertandingan antara dua Raksasa itu. Raja Lakayong memandang penuh perhatian dan berkali-kali menganggukkan kepala sambil berkata perlahan kepada Kwan Cu.
"Kau betul, saudaraku. Mereka itu tidak mempergunakan otak dan mereka hanya memukul dan menendang bagian-bagian anggota badan yang mudah untuk dijadikan sasaran saja. Kalau mereka itu menyerang ke arah anggota tubuh lawan yang lemah seperti yang kau ajarkan kepadaku, tentu pertandingan akan selesai dengan cepat. Ah, aku girang sekali karena terbuka mataku bagaimana harus mengalahkan mereka tanpa menghabiskan tenaga!"
Akan tetapi pemuda itu tak segembira Lakayong, bahwa Kwan Cu memandang ke arah pertempuran dengan kening berkerut. Matanya yang tajam dapat melihat hal-hal yang aneh dalam pertempuran itu. Banyak sekali kesempatan-kesempatan dan lowongan baik sekali dilewatkan begitu saja oleh Wisang dan Kasang. Kesempatan yang cukup untuk mereka pergunakan dalam merobohkan lawan. Benar-benarkah mereka begitu bodoh dan buta? Tak mungkin, hanya ada satu jawaban untuk memecahkan jawaban ini, yaitu bahwa kedua orang itu tidak berkelahi sesungguh hati!
"Mereka hanya main-main saja!"
Katanya penuh curiga.
"Mereka tidak berkelahi dengan sesungguhnya!"
Lakayong tertawa dengan bergelak.
"Kau lucu sekali, sahabatku. Orang berkelahi mati-matian dan maut sewaktu-waktu dapat merengut nyawanya dan kau bilang bahwa mereka itu hanya main-main saja? Ha,ha ha!"
"Jangan kau menertawakan aku, Raja Lakayong, aku berani bertaruh bahwa sampai matahari tenggelam tak seorang pun di antara mereka yang akan kalah."
Akan tetapi Lakayong tidak percaya dan demikianlah, pertempuran dilakukan dengan hebatnya.
Orang-orang wanita sudah menjadi bosan karena benar saja, setelah senja tiba, belum juga ada yang kalah dan menang. Seorang demi seorang mereka pergi, bahkan Liyani juga pergi dari situ karena mereka ini harus melakukan tugas pekerjaan mereka. Bahkan banyak pula penonton laki-laki pada pergi. Yang masih tinggal di sini adalah hanya Raja Lakayong, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu saja. Tak lama kemudian pelayan-pelayan datang membawa makanan dan minuman untuk Raja, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu itu dan mereka makan di pinggir telaga sambil menonton pertempuran yang masih saja berjalan ramai itu. Akhirnya matahari terbenam dan sebagai penggantinya, bulan bertahta di angkasa raya. Raja Lakayong malu dan menepuk-nepuk lalu merangkul pundak Kwan Cu dengan tangan kirinya sambil berkata,
Jodoh Si Mata Keranjang Eps 23 Pendekar Kelana Eps 13 Kumbang Penghisap Kembang Eps 31