Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 19


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Tentu saja, akupun akan merasa rindu kepadamu, twako,"

   Kata Sui Cin yang berhati polos dan jujur. Mendengar ini, sepasang mata Hui Song bersinar penuh harapan.

   "Benarkah itu, Cin-moi? Engkau akan rindu kepadaku?"

   Sui Cin memandang heran. Kenapa yang begitu saja Hui Song bertanya dan seperti tidak percaya?

   "Tentu saja! Kenapa tidak?"

   "Ah, aku akan setiap malam mimpikan engkau, Cin-moi..."

   Sui Cin tertawa,

   "Ya, akupun akan mimpikan engkau, twako. Akan tetapi tidak saban malam. Wah, bisa capek kalau setiap malam mimpikan engkau saja."

   Hui Song mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang cantik manis itu.

   "Cin-moi, jangan main-main, engkau... engkau tidak tahu apa artinya semua ini bagiku... Aku akan menderita, Cin-moi... selama tiga tahun tidak melihatmu. Ah, rasanya belum tentu kuat aku menahan kerinduan hatiku..."

   "Ah, apa-apaan sih engkau ini twako? Omonganmu tidak seperti biasa dan aku menjadi bingung."

   "Cin-moi, benarkah engkau tidak tahu atau tidak dapat menduganya?, Baiklah, sebelum kita saling berpisah, aku harus memberi tahu kepadamu. Cin-moi, semenjak kita berjumpa, semenjak kita berkenalan, bahkan selagi aku mengenalmu sebagai pemuda, aku... aku telah jatuh cinta padamu! Nah, lega hati ini setelah mengaku. Aku cinta padamu, Cin-moi, aku cinta padamu!"

   Sepasang pipi dara itu memang berubah merah, akan tetapi ia tidak menundukkan mukanya seperti lajimnya gadis yang menghadapi pengakuan cinta seorang pemuda dan menjadi malu. Tidak, Sui Cin tidak merasa malu, bahkan merasa geli dan ia tidak dapat menahan ketawanya. Ia tertawa bebas, seperti biasanya kalau ia tertawa di depan Hui Song, tanpa malu-malu dan tidak ditutup-tutupinya lagi mulutnya seperti kalau ia tertawa di depan orang lain.

   "Eh, kenapa kau tertawa, Cin-moi?"

   "Habis, engkau lucu sih!"

   "Cin-moi, aku tidak main-main. Aku bicara sungguh-sungguh dan semua kata-kataku keluar langsung dari lubuk hatiku. Aku sungguh telah jatuh cinta padamu, Cin-moi!"

   "Ih, twako, engkau ini aneh-aneh saja. Aku tidak tahu apa dan bagaimana cinta itu. Aku suka padamu, twako, suka bersahabat denganmu. Akan tetapi cinta? Entahlah, aku tidak tahu apakah aku mencintamu atau mencinta seseorang ataukah tidak?"

   "Cin-moi, aku... aku ingin agar kelak kita menjadi jodoh, menjadi suami isteri..."

   "Ihhh! Kau membikin aku bingung dan canggung, twako. Aku belum memikirkan yang tidak-tidak. Kita masih memiliki banyak tugas, pertama belajar yang tekun dan kedua menghadapi persekutuan Raja Iblis itu, bukan? Pula, urusan perjodohan selayaknya dibicarakan orang tua, bukan kita."

   Sui Cin teringat akan usul orang tuanya yang ingin menjodohkan ia dengan Can Koan Ti, putera Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur Propinsi Cekiang di Ningpo itu. Tentu saja ia akan memilih Hui Song dari pada Koan Ti, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia ingin menjadi isteri Hui Song atau isteri siapa saja.

   "Memang benar, Cin-moi. Akan tetapi hatiku akan tenteram kalau mengetahui bahwa engkau pun setuju, bahwa engkau sudi menerima cintaku, bahwa engkau pun cinta padaku..."

   Kembali Sui Cin tertawa dan kembali suara ketawa itu seperti ujung pedang menusuk hati Hui Song.

   "Eh, kenapa engkau tertawa lagi, Cin-moi?"

   Tanyanya dengan alis berkerut.

   "Ucapanmu tadi mengingatkan aku akan pertunjukan wayang yang pernah kutonton... kalau tidak salah, ketika Pangeran Can Seng Ong gubernur di Ningpo, mengadakan pesta ulang tahunnya. Ada sandiwara wayang di situ dan dalam pertunjukan itu, ada seorang pemain pria mengucapkan kata-kata sama persis dengan ucapanmu tadi kepada seorang pemain wanita..."

   "Cin-moi, agaknya ucapan pengakuan cinta di bagian dunia manapun saja. Ucapan itu suci dan mulia, Cin-moi, jangan ditertawai karena aku sungguh-sungguh cinta padamu. Sudikah engkau menerima cintaku Cin-moi?"

   "Aih, sudahlah twako, jangan bicara tentang hal itu sekarang. Aku belum mau memikirkan hal itu dan aku tidak tahu!"

   Itulah ucapan terakhir Sui Cin, karena Hui Song tidak berani mendesak lagi. Dia cukup mengenal watak dara itu dan kalau dia mendesak, tentu Sui Cin akan marah. Dara itu baru berusia lima belas atau enam belas tahun, mungkin belum cukup dewasa untuk bicara tentang cinta. Dia harus bersabar. Betapapun juga, hatinya terasa berat, tertekan dan sedih ketika dia berpisah pada siang hari itu dari Sui Cin yang mengikuti kakek katai dengan wajah gembira. Dia sendiri mengikuti kakek gendut yang menjadi gurunya tanpa mau disebut guru.

   Teriakan-teriakan yang menyelingi desir angin pukulan itu tidak terdengar lagi dari luar air terjun, karena selain gua yang berada di belakang air terjun itu amat dalam, juga suara air terjun yang gemuruh itu menyeilmuti suara di sebelah dalam. Gua itu memang lebar dan dalam, luas sekali. Dasarnya berupa anak sungai yang mengalir jernih di antara batu-batu besar yang menonjol di sana-sini. Di tepi anak sungai itu terdapat lantai gua dari batu dan melihat betapa di sana-sini terdapat pilar-pilar batu, dapat diketahui bahwa gua ini, yang tercipta oleh alam, telah dibantu oleh manusia yang membuat pilar-pilar batu untuk menyangga.

   Sebuah tempat persembunyian yang amat luas dan enak. Inilah tempat pertapaan Siangkiang Lojin. Sebuah gua di balik air terjun yang terdapat di lembah Sungai Siangkiang. Kalau orang memasuki gua itu, yang tidak nampak dari luar dan merupakan tempat tersembunyi, dia akan melihat bahwa teriakan-teriakan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sedang berlatih silat. Akan tetapi cara pemuda ini bermain silat akan membuat orang merasa heran dan kagum bukan main. Pemuda itu bertubuh sedang dan tegap, hanya memakai celana panjang saja tanpa baju. Nampak tubuh yang sedang itu penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar, membuat tubuh itu nampak kokoh kuat penuh tenaga.

   Rambutnya agak awut-awutan, digelung ke atas dan sisanya berjuntai ke bawah, ikut bergerak-gerak bersama kepalanya ketika dia bermain silat. Anehnya, pemuda itu memakai beban besi yang besar pada kedua kaki dan tangannya. Beban di kakinya itu masing-masing tentu tidak kurang dari empat puluh kati dan di tangan masing-masing melingkari lengan, tentu ada dua puluh lima kati. Selain dibebani besi pada kedua kaki dan lengannya, juga pemuda ini bersilat di atas batu-batu yang menonjol di permukaan anak sungai itu, batu-batu yang amat licin. Dapat dibayangkan beratnya latihan ini. Namun, pemuda yang usianya sekitar dua puluh empat tahun itu berlatih dengan tekun, mengatur napas dalam setiap gerakan, dan mengeluarkan bentakan-bentakan untuk setiap pukulan atau tangkisan.

   Orang biasa saja tentu sudah akan mereka tersiksa kalau harus bergerak dengan beban pada kaki tangan itu, apalagi harus bermain silat, di atas batu-batu licin lagi! Namun, pemuda itu bersilat dengan gaya yang indah, dengan gerakan yang cepat dan amat keras. Setiap gerakannya menimbulkan desiran angin. Di tepi anak sungai itu berdiri seorang kakek yang perutnya gendut sekali, berdiri sambil tersenyum lebar dan memegang sebatang tongkat yang ujungnya ada kipasnya. Dengan ramah dia memberi petunjuk-petunjuk dan mengangguk-angguk dengan wajah puas sekali. Memang tidak ada alasan bagi Siangkiang Lojin untuk tidak merasa puas dengan kemajuan yang dicapai oleh Hui Song, pemuda itu.

   Selama hampir tiga tahun, pemuda itu berlatih dengan amat tekunnya. Dia digembleng keras oleh kakek gendut itu, berlatih memperkuat sinkang dengan bertapa di dalam air setinggi leher. Air dingin itu menyelimuti tubuhnya, sampai tiga hari tiga malam dan dia hanya boleh meneguk air di depannya setiap kali kelaparan atau kehausan menyiksanya. Kemudian, latihan dengan beban-beban berat pada kaki dan lengannya. Mula-mula memang tidak berapa berat beban itu, akan tetapi lambat laun ditambah sampai akhirnya dia berlatih silat dengan beban seberat itu. Namun, hasilnya memang hebat bukan main. Tubuh pemuda itu menjadi kuat sekali, gerakannya lincah dan tenaganya besar. Kini Hui Song mampu mainkan semua ilmu silat Cin-Ling-Pai jauh lebih sempurna dari pada tiga tahun yang lalu!

   "Hentikan sebentar dan buka beban kaki tanganmu. Aku ingin melihat untuk yang terakhir kali apakah selama tiga tahun ini aku tidak mengajar secara sia-sia belaka!"

   Tiba-tiba kakek itu berkata.

   "Terakhir kali? Apa maksud locianpwe?"

   Tanya Hui Song sambil membuat gerakan melompat ke tepi. Gerakannya demikian sigapnya seolah-olah dia tidak dibebani besi yang berat itu. Sambil melepaskan beban kaki tangannya, pemuda itu memandang wajah kakek gendut dengan penuh perhatian.

   "Tentu saja! Apakah engkau ingin selama hidupmu tinggal di sini?"

   Tanya kakek gendut.

   "Tapi, locianpwe, rasanya belum lama saya berada di sini..."

   "Ha-ha-ha! Itu berkat ketekunanmu. Memang demikianlah rahasia waktu. Kalau tidak pernah kita pikirkan, ia berlalu amat cepatnya melebihi anak panah. Akan tetapi kalau diingat selalu, ia merayap seperti siput. Tak tahukah engkau bahwa kita berada di sini hampir tiga tahun lamanya? Nah, kau bersilatlah, kini tanpa beban itu."

   Hui Song yang kini sudah melepaskan beban besi dari kaki dan lengannya, lalu meloncat lagi ke tengah sungai, di atas batu-batu licin itu dan dia bersilat dengan amat cepatnya. Berkali-kali dia berseru kaget karena tubuhnya bergerak luar biasa ringan dan cepatnya, lebih ringan dan lebih cepat dari pada yang dikehendakinya. Hal ini adalah karena dia belum biasa terbebas dari beban-beban besi pada kaki tangannya itu. Selama bertahun-tahun dia dibebani pada kaki tangannya dan begitu dibuka, tentu saja dia merasa gerakarmya amat cepat dan ringan sehingga mengejutkan. Akan tetapi, begitu dia dapat menyesuaikan diri, gerakannya mulai teratur dan kini tubuhnya berkelebatan di atas batu-batu licin itu dengan amat mudahnya. Kakek gendut itu mengangguk-angguk dan wajahnya berseri gembira.

   "Cukuplah, Hui Song, ke sinilah aku mau bicara."

   Tubuh Hui Song mencelat ke tepi anak sungai itu dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Baru sekarang dia dapat merasakan benar kemajuan yang diperolehnya selama tiga tahun digembleng kakek itu.

   "Saya menghaturkan terima kasih atas semua bimbingan locianpwe selama ini,"

   Katanya dengan hati terharu. Kakek itu tertawa.

   "Ha-ha-ha, akulah yang bergembira, Hui Song.Engkau memenuhi harapanku. Siapa lagi kalau bukan orang-orang muda seperti engkau ini yang dapat menyelamatkan dunia dari bencana. Biarpun aku masih sangsi apakah engkau seorang diri saja akan mampu menentang mereka, akan tetapi
(Lanjut ke Jilid 18)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18
setidaknya engkau akan dapat mengimbangi kelihaian Ratu Iblis. Mudah-mudahan saja temanmu itupun akan memperoleh kemajuan pesat di bawah pimpinan Wuyi Lojin dan dapat bekerja sama denganmu, bersama para pendekar muda lainnya."

   Mendengar ucapan ini, Hui Song merasa seperti diingatkan, dan terbayanglah wajah manis dari Sui Cin di depan matanya. Wajahnya berseri dan sinar matanya berkilat ketika dia teringat kepada gadis itu. Selama ini, dia memaksa batinnya untuk tidak selalu mengenangkan Sui Cin dan dia mencurahkan seluruh perhatian dan ketekunannya untuk mempelajari ilmu dari kakek gendut. Dia memperoleh kenyataan bahwa kakek itu memang lihai bukan main, memiliki kesaktian yang jauh melampaui tingkat ayah ibunya sendiri. Maka diapun belajar dengan giat dan mentaati semua petunjuk gurunya yang tidak mau disebut guru itu.

   "Apakah ia juga sudah menamatkan pelajarannya dari Wuyi Lojin, locianpwe?"

   Tanyanya dengan penuh gairah. Kakek itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk.

   "Kami berdua memang sudah bersepakat untuk menggembleng kalian berdua selama kurang lebih tiga tahun dan sebelum tiba waktunya pemberontakan terjadi, harus sudah selesai penggemblengan itu. Aku yakin temanmu itu sudah selesai belajar pula sekarang."

   "Kalau begitu, locianpwe tahu di mana Wuyi Lojin membawanya dan di mana saya dapat menjumpai Sui Cin?"

   "Tentu saja dia membawa gadis itu ke Wuyisan, ke tempat pertapaannya. Kami hanya berjanji akan menggembleng kalian sampai tahun ini dan sebelum Tahun Baru, kami akan menyuruh kalian masing-masing pergi keluar Tembok Besar di utara, mencari bekas benteng Jeng-hwa-pang itu. Jadi, kalian bersiap-siap saja di sana dan kita semua akan bertemu di sana untuk bersama-sama menghadapi gerombolan pemberontak itu."

   "Karena saya tidak pernah lagi mengikuti hari dan bulan, kapankah kiranya hari Tahun Baru itu, locianpwe? Masih berapa lamakah?"

   "Sekarang pertengahan bulan sembilan. Masih ada tiga setengah bulan lagi bagimu untuk melakukan perjalanan sebelum Tahun Baru tiba."

   Hui Song menjadi girang sekali.

   "Kalau begitu, masih banyak waktu bagi saya untuk singgah ke Cin-ling-san. Orang tua saya tentu merasa gelisah karena tiga tahun saya tidak pulang."

   "Terserah, dan alangkah baiknya kalau Cin-Ling-Pai mau pula turun tangan membantu dalam usaha kita menentang ancaman malapetaka dari Pangeran Toan Jitong dan sekutunya."

   "Baik, locianpwe, akan saya bicarakan hal itu dengan ayah dan ibu dan semua saudara pimpinan Cin-Ling-Pai."

   Setelah menghaturkan terima kasih lagi dan menerima doa restu dari kakek gendut itu, Hui Song lalu meninggalkan gua di balik air terjun itu dan melakukan perjalanan dengan cepat ke utara. Hatinya gembira bukan main dan dia merasa seperti seekor burung yang bebas terbang ke udara.

   Betapa nikmatnya, betapa senangnya dapat melakukan perjalanan bebas seperti itu setelah hampir tiga tahun dapat dibilang selalu berada di dalam gua, atau paling jauh juga keluar dari situ dan mencari sayur-sayuran ke sekitar air terjun di lembah sungai itu. Yang amat menggembleakan hatinya lagi adalah bayangan Sui Cin yang segera akan dapat dijumpainya lagi. Juga membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan ayah dan ibunya, amat menggembirakan hati pemuda ini. Tidak dia sadari sendiri, Hui Song kini jauh berbeda dengan keadaan dirinya tiga tahun yang lalu. Kini tubuhnya lebih tegap dan gerak-geriknya lebih gesit berisi, bahkan ketika dia melakukan perjalanan cepat sambil berlari, larinya jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan dahulu sebelum dia digembleng oleh Siangkiang Lojin atau Si Dewa Kipas.

   Kita tinggalkan dulu Hui Song yang dengan hati gembira sekali melakukan perjalanan cepat menuju ke utara itu, dan mari kita mengikuti kakek Wuyi Lojin menuju ke tempat pertapaan kakek itu di Wuyisan. Dalam perjalanan hari pertama saja, kakek Wuyi Lojin sudah mulai menguji ilmu ginkang dara itu.

   "Mari kita ikuti lariku secepatnya!"

   Katanya dan belum juga kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ. Sui Cin maklum bahwa kakek itu hendak mengujinya, maka iapun cepat mengejar dan mengerahkan seluruh tenaganya dan ilmu ginkangnya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek yang bertubuh kecil pendek itu sungguh luar biasa sekali. Betapapun ia mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja ia tertinggal dalam jarak belasan tombak. Dan hebatnya, kakek itu dari belakang kelihatan seperti tidak berjalan, melainkan seperti orang melayang saja dan kelihatan seenaknya, berbeda dengan ia yang mengerahkan tenaga. Sampai ia terengah-engah, kakek itu masih terus berlari. Akhirnya, setelah napasnya hampir putus, Sui Cin berhenti dan berteriak memanggil.

   "Berhenti, kek, aku tidak kuat lagi..."

   Mulai hari itu juga, Wuyi Lojin memberi kuliah tentang teoriteori ilmu ginkangnya yang oleh kakek itu dinamakan Bu-eng Huiteng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), semacam ilmu meringankan diri ciptaannya sendiri. Setelah tiba di Wuyisan, Sui Cin kagum melihat keadaan puncak di mana kakek itu mengasingkan diri selama puluhan tahun. Tidak sembarang orang dapat mencapai puncak ini karena tidak ada jalan umum dari bawah, jalan setapakpun tidak ada. Yang ada hanyalah jurangjurang yang mengelilingi puncak dan mereka harus mendaki puncak melalui jurang-jurang yang curam dan tebing-tebing yang terjal.

   Hanya orang-orang yang memiliki ginkang tinggi sajalah kiranya yang akan mampu mencapai puncak Wuyisan di bagian yang didiami kakek Wuyi Lojin itu. Semenjak hari itu, mulailah kakek Wuyi Lojin menggembleng Sui Cin dengan tekun dan keras sekali. Dia melatih dara itu untuk bersamadhi dan melatih sinkang dan khikang, dia mengajarkan ilmu silat yang seluruhnya digerakkan dengan tenaga dalam dan dengan ilmu meringankan tubuh sehingga dalam melatih ilmu silat ini berarti juga melatih dan menyempurnakan ginkang. Kurang lebih tiga tahun kemudian, dengan latihan yang amat tekun di bawah bimbingan dan pengaasan Wuyi Lojin yang ketat dan keras, Sui Cin telah memperoleh kemajuan hebat tanpa disadarinya sendiri. Pada suatu hari, kakek itu membawanya ke sebelah belakang puncak gunung itu dan mereka berdiri di tepi sebuah jurang yang amat curam.

   Ketika menjenguk ke bawah, Sui Cin bergidik. Jurang itu sungguh curam, sampai tidak nampak dasarnya! Di bawah nampak batu-batu gunung yang meruncing seperti pedang-pedang raksasa, atau seperti gigi naga yang ternganga lebar. Di sebelah depan, dipisahkan celah yang mengerikan itu, terdapat dataran yang merupakan tepi jurang di seberang. Wuyi Lojin mengeluarkan gulungan-gulungan besar tali yang terbuat dari otot dan kulit binatang yang sudah kering dari dalam kantong besar yang tadi dibawanya, kemudian dia mengeluarkan pula potongan-potongan baja sebesar kaki orang yang tadinya disembunyikan di balik sebuah batu besar. Potongan-potongan baja ini runcing dan panjangnya ada tiga kaki. Sui Cin melihat kesibukan kakek itu dengan heran, tidak tahu apa yang hendak dilakukan Wuyi Lojin.

   "Sui Cin, mulai hari ini, engkau akan kuberi Latihan-latihan terakhir yang selain melatih silat dan ginkang, juga melatih keberanian, kecermatan dan kekuatan batinmu. Nah, dapatkah engkau meloncat ke seberang sana?"

   Dia menuding ke tebing di depan yang tepinya agak lebih rendah dari pada tepi tebing sebelah sini. Sui Cin memandang terbelalak, lebih heran dari pada takut.

   "Meloncat ke seberang sana? Ah, perlukah itu, kek? Melihat jaraknya, agaknya aku akan bisa meloncat ke sana, akan tetapi apa gunanya menentang bahaya maut padahal latihan meloncat jauh tidak perlu menggunakan tempat seperti ini?"

   Kakek itu tertawa.

   "Heh-heh, engkau belum mengerti maksudku. Tempat ini memang merupakan tempat aku berlatih ginkang. Sudahlah, engkau saja yang memasang tonggak-tonggak ini di sebelah sini, biar aku yang memasang di sebelah sana. Kau lihat lubang-lubang di tepi tebing ini? Ada sebelas lubang. Nah, pasanglah tonggak-tonggak besi ini dalam lubang, masukkan yang dalam dan kuat. Aku akan memasang tonggak-tonggak besi di sebelah sana."

   Kakek itu membagi tonggak-tonggak itu yang dibongkoknya menjadi satu, tubuhnya lalu meloncat ke depan, melalui jurang yang curam itu. Sui Cin memandang dan biarpun ia merasa yakin bahwa kakek itu akan mampu meloncati celah, namun tidak urung hatinya merasa ngeri dan ia menahan napas sampai kakek itu selamat tiba di seberang sana. Melihat kakek itu mulai menancap-nancapkan tonggak baja di tepi tebing di seberang, iapun lalu melakukan apa yang dipesankan kakek itu. Ternyata lubang-lubang dalam batu di tepi tebing itu besarnya tepat sekali dan tonggak-tonggak itu masuk dengan pas sampai hanya satu kaki yang nampak di atas permukaan batu. Sebentar saja selesailah pekerjaan itu dan ketika ia mengangkat muka memandang, kakek itupun sudah menyelesaikan pekerjaannya.

   "Sui Cin!"

   Teriak kakek itu dari seberang.

   "Sekarang ambillah tali-tali itu. Ada sebelas helai banyaknya, ikatkan ujungnya pada tiap tonggak dan lemparkan ujung yang lain ke sini! Awas, yang kuat mengikatnya karena nyawamu tergantung pada tali-tali ini!"

   Terkejutlah hati Sui Cin mendengar ucapan itu dan ia menduga-duga apa yang diajarkan kakek itu kepadanya. Akan tetapi, ia tidak berkata apa-apa dan mulai mengikatkan ujung tali-tali itu dengan amat kuatnya pada tonggak-tonggak itu dan melemparkan ujung yang lain ke seberang. Kakek itu menangkap ujung yang lain itu dan mulailah dia mengikatkan ujung itu pada tonggak-tonggak di depannya. Kini terbentanglah tali-tali itu, merupakan jembatan-jembatan istimewa yang berjumlah sebelas helai. Dan hebatnya, kakek itu menyetel kendur kuatnya tali-tali itu sehingga ketika dia menyentil-nyentilnya, terdengar bunyi nyaring yang berbeda-beda, seperti tali-tali Yang-kim yang mengeluarkan nada-nada berbeda, makin ke kanan semakin tinggi nadanya. Setelah selesai, diapun berkata kepada Sui Cin dari seberang.

   "Mulai hari ini, engkau harus berlatih di atas tali-tali ini. Kalau engkau sudah dapat memainkan semua ilmu silat yang kau kuasai di atas tali-tali ini, baru engkau lulus dan boleh meninggalkan tempat ini!"

   Kakek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk. Mula-mula memang ngeri rasa hati Sui Cin ketika ia harus berjalan, melangkah dan berlari-lari, berloncatan di atas tali-tali itu. Menjenguk ke bawah dari atas tali-tali itu membuat ia merasa seperti ia sedang melayang di langit dan setiap saat kalau tali yang diinjaknya putus, tubuhnya akan meluncur ke bawah, disambut ujung batu-batu runcing untuk kemudian terbanting hancur berkeping-keping di dasar jurang yang tidak nampak dari atas. Akan tetapi, setelah terbiasa, lenyaplah rasa ngeri atau takutnya.

   Ia berlatih dengan tekun setiap hari dari pagi sampai sore, Kadang-kadang di malam hari dan kini kedua kakinya demikian trampilnya menginjak tali, berloncatan, berjungkir balik dan bermain-main seolah-olah ia berada di atas tanah datar saja. Pada suatu pagi, Sui Cin sudah berlatih di atas tali-tali itu. Gerakannya lincah bukan main, seperti menari-nari ia bersilat di atas tali-tali itu. Dan tali-tali yang diinjaknya mengeluarkan bunyi dengan nada-nada berbeda dan terdengarlah irama nada yang teratur seperti bunyi Yang-kim yang mendendangkan lagu merdu! Kendur kuatnya tali-tali itu, lembut dan kuatnya loncatan dan injakan kaki Sui Cin menciptakan getarangetaran berbeda pada tali-tali itu. Kakek Wuyi Lojin berdiri tegak di tepi jurang, memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Setelah dara itu selesai bersilat dan meloncat ke tepi, kakek itu mengangguk-angguk.

   "Heh-hehheh, bagus! Bagus sekali! Tidak sia-sia jerih payah kita selama hampir tiga tahun ini. Engkau sudah memiliki ginkang yang setingkat denganku, dan aku yakin engkau dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis dalam hal kecepatan. Sekaranglah tiba waktunya bagimu untuk pergi dari sini, mempersiapkan dirimu untuk menentang persekutuan busuk dari Pangeran Toan Jitong itu, Sui Cin. Masih ada setengah tahun waktunya bagimu untuk pergi keluar tembok besar, ke sarang mereka itu, bekas benteng Jeng-hwa-pang. Kita semua akan berkumpul di sana."

   "Engkau juga akan pergi ke sana, kek?"

   Tanya Sui Cin yang selalu bersikap akrab dan bicara kepada kakek itu seperti terhadap keluarga sendiri, tanpa banyak peradatan. Wuyi Lojin agaknya lebih senang dengan sikap ini, sesuai dengan wataknya yang memang suka akan kebebasan dan tidak mau terikat oleh segala macam peraturan.

   "Tentu saja! Juga Siangkiang Lojin dan temanmu itu, dan kalau memang masih hidup, enam orang rekan kami, para Dewa yang lain, tentu akan muncul di sana."

   Ucapan ini mengingatkan Sui Cin kepada Hui Song yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dijumpainya itu dan hatinya memang gembira. Juga jantungnya berdegup aneh karena begitu teringat kepada Hui Song, iapun segera teringat akan ucapan terakhir pemuda itu ketika mereka akan saling berpisah. Pengakuan cinta pemuda itu terhadap dirinya! Ia kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah hampir sembilan belas tahun! Masa akhil baliq sudah lewat dan ia kini sudah menjadi seorang wanita dewasa. Biarpun tidak mempunyai pengalaman tentang cinta, namun perasaan wanitanya membuat ia sadar akan hal itu dan mulailah ia mempertimbangkan tentang uluran cinta pemuda yang amat disukanya itu. Akan tetapi, tetap saja Sui Cin belum dapat menentukan apakah iapun mencinta pemuda itu ataukah sekedar suka saja karena watak pemuda itu cocok dengan wataknya.

   "Kek, karena waktunya masih cukup, aku akan singgah dulu ke Pulau Teratai Merah. Sudah terlalu lama aku meninggalkan orang tuaku dan mereka tentu merasa gelisah sekali."

   "Heh-heh, Pendekar Sadis dan Lamsin, ya? Sui Cin, ayah bundamu itu adalah orang-orang hebat dan kalau mereka depat mengulurkan tangan membantu kita untuk menentang persekutuan pemberontak itu, alangkah baiknya!"

   "Akan kusampaikan kepada mereka kek, dan mudah-mudahan saja mereka dapat melihat pentingnya menentang Raja dan Ratu Iblis itu. Tentu mereka, terutama ibu, akan tertarik sekali kalau mendengar bahwa Pangeran Toan Jitong itu masih paman dari ibu."

   Demikianlah, pada hari itu juga Sui Cin meninggalkan Wuyisan dan melakukan perjalanan cepat ke utara, menuju ke Ningpo untuk menyeberang ke Pulau Teretai Merah. Dara yang melakukan perjalanan turun Gunung Wuyisan ini sungguh jauh bedanya dengan dara remaja yang hampir tiga tahun lalu mendaki gunung itu bersama kakek katai. Kini Sui Cin bukan lagi seorang dara remaja, melainkan seorang gadis dewasa yang amat cantik dan manis.

   Ia memang masih lincah jenaka seperti biasa, masih nyentrik karena pakaiannya juga sembarangan saja asalkan bersih, akan tetapi pada sikapnya terdepat kematangan dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar mencorong yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Sui Cin melakukan perjalanan cepat dan tanpa halangan sesuatu, tibalah ia di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika ia melihat ayah bundanya tidak berada di pulau! Ia hanya disambut oleh para pelayan yang menjadi girang dan gembira bukan main melihat munculnya nona mereka itu. Bahkan di antara mereka yang sudah tua dan yang pernah mengasuh Sui Cin sejak gadis itu kecil, menangis saking terharu dan gembiranya.

   "Aih, nona... terima kasih kepada Thian bahwa nona ternyata dalam keadaan selamat. Betapa nona telah membuat kami semua gelisah dan berduka. Bahkan ayah ibu nona selalu bingung dan entah sudah berapa kali meninggalkan pulau untuk mencari nona. Yang terakhir mereka berdua pergi sebulan yang lalu, entah kapan pulangnya."

   Baru Sui Cin merasa betapa besar kesalahannya terhadap ayah ibunya.

   Mereka hanya mempunyai anak ia seorang dan ia telah pergi selama tiga tahun tanpa memberi tahu! Dan ayah ibunya kebingungan, mencari-carinya. Tentu saja ayah ibunya tidak dapat menemukannya karena ia bersembunyi di Wuyisan dan tidak pernah meninggalkan tempat pertapaan kakek katai. Dan sekarang ayah ibunya pergi, tentu mencarinya lagi, entah ke mana. Padahal iapun tidak dapat lama-lama menanti kambali mereka di Pulau Teratai Merah karena ia mempunyai tugas berat membantu para pendekar yang akan menentang persekutuan pemberontak di luar tembok besar. Maka iapun lalu membuat surat panjang lebar kepada ayah bundanya, menceritakan tentang semua pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Wuyi Lojin, tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk sesat untuk melakukan pemberontakan,

   Kemudian dalam surat itu ia menceritakan ayah ibunya bahwa ia berangkat keluar Tembok Besar untuk menentang persekutuan pemberontak itu bersama para pendekar lain. Juga ia mengharapkan agar ayah ibunya suka pula membantu, mengingat betapa kuatnya para datuk sesat itu. Bahkan ia tidak lupa menulis dalam surat itu bahwa Raja Iblis itu bernama Pangeran Toan Jitong yang mengaku masih bersaudara dengan mendiang kakeknya, Pangeran Toan Suong! Setelah meninggalkan surat itu di kamar ayah ibunya dan memesan kepada para pelayan agar menyerahkan surat itu kepada mereka, Sui Cin lalu meninggalkan lagi pulau itu dan mulailah ia melakukan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan yang amat jauh, akan tetapi ia mempunyai banyak waktu dan iapun dapat mengandalkan ilmunya berlari cepat.

   Ruangan itu luas dan terhias indah, juga hiasannya membayangkan kegagahan. Pilar besar yang berada di ruangan itu diukir dengan gambar dua naga berebut mustika. Ukirannya kuat dan indah, dengan warna yang mengkilap dan hidup. Meja kursi yang berada di situ juga merupakan perabot-perabot yang kuno dan terawat baik. Pada dinding ruangan itu nampak lukisan-lukisan yang indah pula tergantung, lukisan keindahan alam dengan sajak-sajaknya yang berisi dan berbobot. Tulisan-tulisan indah menghias pula dinding ruangan itu. Sebuah ruangan yang menimbulkan kesan kagum dan hormat bagi orang luar.

   Akan tetapi pada sore hari itu, di dalam ruangan indah ini terjadi ketegangan. Tiga orang laki-laki gagah yang usianya sekitar tiga puluh tahun, nampak berlutut di atas lantai, menghadap seorang laki-laki dan seorang wanita yang duduk berdampingan. Sikap tiga orang yang berlutut itu tegang dan gelisah, bahkan takut-takut, terutama sekali laki-laki yang berlutut di tengah-tengah. Laki-laki ini membawa sebatang pedang di punggungnya, mukanya pucat dan membayangkan duka, kepalanya masih diikat kain putih tanda bahwa ia sedang berkabung! Pria yang duduk di atas kursi itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi rambutnya, yang dikuncir ke belakang itu masih lebat dan hitam, alisnya tebal dan jenggotnya yang pendek itupun masih hitam.

   Wajahnya tampan dan sikapnya gagah, akan tetapi pada pandang mata dan bibirnya membayangkan kekerasan hati yang penuh wibawa. Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain tebal yang bersih. Duduknya tegap berwibawa dan sepasang matanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa pada saat itu hati pria ini sedang tidak senang. Wanita yang duduk di sebelah kanannya itu usianyapun sudah hampir lima puluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik dengan mukanya yang putih halus belum dimakan keriput, tubuhanya agak pendek dan dandanannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang keturunan Jepang. Pria itu adalah ketua Cin-Ling-Pai, yaitu pendekar Cia Kong Liang dan wanita itu adalah isterinya yang bernama Bin Biauw, puteri dari seorang bekas datuk timur yang bernama Bin Mo To atau Minamoto dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur).

   Pada siang hari itu, dia dan isterinya berada di ruangan dalam rumahnya yang besar, yang merupakan rumah perguruan Cin-Ling-Pai yang terkenal itu, dihadap tiga orang muridnya. Hawa Pegunungan Cin-ling-san yang memasuki ruangan itu melalui jendela-jendela yang terbuka lebar, tidak melenyapkan ketegangan yang terasa oleh mereka. Selain mereka berlima, masih ada lagi dua puluh orang lebih murid Cin-Ling-Pai yang berlutut di luar ruangan itu dan merekapun memandang dengan muka tegang karena mereka tahu bahwa ketua mereka sedang marah dan bahwa ada murid Cin-Ling-Pai yang bersalah dan sedang diadili. Ketua atau guru mereka itu terkenal dengan kekerasan hatinya yang tidak mengenal maaf dalam menghukum murid Cin-Ling-Pai yang bersalah.

   "Su Kiat, engkau telah melanggar pantangan Cin-Ling-Pai, menodai nama baik Cin-Ling-Pai dengan perbuatanmu. Nah, ceritakan semuanya!"

   Terdengar ketua Cin-Ling-Pai berkata, suaranya datar dan bengis, pandang matanya berkilat. Laki-laki yang berada di tengah itu kini bangkit dalam keadaan masih berlutut. Mukanya muram, akan tetapi sepasang matanya penuh semangat.

   "Suhu, teecu telah melakukan pelanggaran dan bersedia menerima hukuman suhu."

   "Hemm, Koan Tek, ceritakan bagaimana kalian dapat membawanya ke sini. Apakah dia melakukan perlawanan?"

   Ketua itu bertanya kepada laki-laki yang berlutut di pinggir kanan.

   "Ciang Su Kiat suheng tidak melakukan perlawanan, suhu. Teecu berdua dapat menemukan tempat dia bersembunyi dan membujuknya untuk memenuhi panggilan suhu. Dia hanya mengatakan bahwa dia siap menerima hukuman walaupun dia menganggap bahwa peraturan Cin-Ling-Pai tidak adil dan terlalu keras."

   Wajah ketua Cin-Ling-Pai menjadi merah sekali.

   "Su Kiat, benarkah engkau mengatakan demikian?"

   "Benar, suhu dan memang teecu tetap beranggapan bahwa teecu tidak bersalah walaupun teecu telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi teecu siap menerima hukuman karena teecu adalah murid Cin-Ling-Pai yang setia dan taat."

   "Ceritakan semua yang terjadi!"

   "Harap suhu dan subo ketahui bahwa ayah teecu yang sudah tua bekerja sebagai tukang kebun di gedung Coan Tihu. Ayah teecu bekerja sejak dia masih muda dan dianggap sebagai seorang pembantu yang setia. Akan tetapi, Coan Tihu terkenal pelit dan tidak dapat menghargai jasa para pembantunya. Ketika ibu dan adik bungsu teecu sakit, ayah hamba minta bantuan majikannya, akan tetapi malah dihardik dan dihina. Karena terpaksa dan tidak berdaya lagi, ayah teecu melakukan penyelewengan, mencuri sebuah perhiasan emas yang dijualnya untuk biaya pengobatan ibu dan adik teecu. Perbuatan itu diketahui dan ayah lalu dihukum. Kalau hanya hukuman yang wajar saja, tentu teecu dapat menerimanya karena bagaimanapun juga alasannya, ayah teecu mencuri dan wajarlah kalau dipersalahkan dan dihukum yang pantas. Akan tetapi, ayah telah dihajar, disiksa sampai setengah mati, bahkan ketika pulang, dalam waktu tiga hari ayah meninggal dunia karena luka-lukanya!"

   Laki-laki itu berhenti sebentar dan menghapus dua titik air mata yang membasahi matanya.

   "Aku mendengar bahwa ayahmu melawan dan mengeluarkan kata-kata makian kepada Coan-taijin,"

   Kata ketua Cin-Ling-Pai.

   "Mungkin saja ayah menegur karena ayah sudah menghambakan diri sejak muda akan tetapi dalam keadaan terpepet ayah tidak dapat mengharapkan bantuan. Bagaimanapun juga, teecu menganggap perbuatan pembesar itu keterlaluan. Ayah dibunuh hanya untuk perbuatan mencuri yang dilakukan untuk mengobati isteri dan anaknya. Maka, dalam keadaan berkabung dan berduka, teecu lupa diri dan mengamuk di gedung Coan Tihu. Sayang teecu tidak berhasil membunuh pembesar sewenang-wenang itu."

   "Dan engkau menjadi buronan pemerintah! Su Kiat, perbuatanmu itu tidak hanya menyangkut dirimu sendiri, melainkan juga menyeret nama baik Cin-Ling-Pai. Coan Tihu menuntut kepada Cin-Ling-Pai, menyalahkan kami karena engkau adalah murid Cin-Ling-Pai. Kalau kami tidak dapat menangkapmu, kami akan diadukan dan dianggap pemberontak karena murid perguruan Cin-Ling-Pai telah berani menyerang seorang pembesar pemerintah! Nah, apa yang hendak kau katakan sekarang?"

   "Suhu, bagaimanapun juga, teecu tidak merasa bersalah terhadap pembesar itu, bahkan dia masih berhutang nyawa kepada teecu. Akan tetapi teecu memang merasa telah melakukan pelanggaran terhadap Cin-Ling-Pai."

   "Dan mengapa engkau berani menganggap bahwa peraturan Cin-Ling-Pai tidak adil dan terlalu keras?"

   "Benar, memang teecu mengatakan demikian kepada kedua orang sute yang mencari dan menemukan tempat persembunyian teecu!"

   Jawab Su Kiat dengan gagah.

   "Memang peraturan kita terlalu keras, menghukum murid tanpa kebijaksanaan, dan tidak adil karena tidak melihat lagi alasan-alasan perbuatan pelanggaran dilakukan. Akan tetapi bukan berarti bahwa teecu akan mengingkari sumpah, teecu siap menerima hukuman."

   "Kesalahanmu terhadap Cin-Ling-Pai sudah jelas. Engkau telah mencoreng nama baik Cin-Ling-Pai, bahkan menghadapkan Cin-Ling-Pai pada pemerintah sehingga perkumpulan kita terancam bahaya dianggap pemberontak. Nah, kesalahanmu jelas. Akan tetapi, Su Kiat, kami hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Coan Tihu untuk membersihkan nama Cin-Ling-Pai."

   "Tidak... Teecu... teecu menerima hukuman Cin-Ling-Pai, akan tetapi teecu tidak mau diserahkan kepada pembesar laknat itu. Teecu dianggap menodai nama Cin-Ling-Pai, hal itu merupakan pelanggaran peraturan nomor tiga. Nah, biarlah teecu melakukan pelaksanaan hukuman itu!"

   Secepat kilat Su Kiat mencabut pedangnya dengan tangan kanan lalu membacok lengan kirinya sendiri.

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Crakkk..."

   Lengan kiri Su Kiat terbabat buntung sebatas siku! Darah muncrat-muncrat dan dua orang sutenya yang berlutut di kanan kirinya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi, Su Kiat sendiri melaksanakan hukuman itu dengan sikap gagah dan sedikitpun tidak mengeluh walaupun lengan kirinya buntung dan rasa nyeri menusuk jantung. Wajah ketua Cin-Ling-Pai dan isterinya juga sedikitpun tidak membayangkan perasaan hati mereka. Bahkan pada wajah ketua Cin-Ling-Pai itu terbayang penyesalan dan dengan sikap dingin dia berkata,

   "Perbuatanmu itu adalah atas kehendakmu sendiri. Bagaimanapun juga, buntung atau tidak, engkau harus kuserahkan kepad Coan Tihu karena hal itu akan membersihkan nama Cin-Ling-Pai!"

   "Tidak... Suhu... suhu tidak... akan begitu kejam..."

   Si buntung itu terkejut memandang ketua Cin-Ling-Pai. Akan tetapi ketua Cin-Ling-Pai itu dengan wajah dingin mengangguk seperti hendak menegaskan pendiriannya.

   "Kalau begitu... lebih baik teecu mati..."

   Berkata demikian, Su Kiat mempergunakan pedang yang masih berlumuran darah itu, membacok ke arah leher sendiri.

   "Wuuuttt, plakkk... trangggg..."

   Gerakan ketua Cin-Ling-Pai itu cepat bukan main. Tubuhnya yang tadinya duduk itu meloncat ke depan, kakinya menendang dan tangan yang memegang pedang itu sudah terkena tendangan sehingga pedang yang mengancam leher itu terpental dan terjatuh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring. Su Kiat terbelalak memandang kepada gurunya yang sudah berdiri di depannya. Sejenak ketua Cin-Ling-Pai itu menatap wajah murid yang dianggap bersalah itu, lalu dia mundur lagi, duduk di atas kursinya dengan sikap tenang.

   "Siapa bersalah dan melanggar peraturan, dia harus menerima hukuman, tidak perduli apapun alasannya!"

   Kata ketua Cin-Ling-Pai itu dengan wajah dan sikap keras. Wajah Su Kiat yang tadinya pucat itu kini berubah merah dan matanya melotot.

   "Mulai saat ini, saya Ciang Su Kiat bersumpah tidak menjadi murid Cin-Ling-Pai lagi, dan nyawa saya adalah milik saya pribadi, kalau saya mau membunuh diri, siapa yang akan dapat menghalangi saya!"

   Berkata demikian, laki-laki yang sudah putus asa dan marah ini lalu menggerakkan tubuhnya hendak membenturkan kepalanya ke atas lantai!

   "Jangan..."

   Tiba-tiba berbareng dengan seruan ini, nampak bayangan berkelebat cepat bukan main dan tahu-tahu tubuh Su Kiat terangkat ke udara dan di lain saat tubuhnya sudah turun lagi bersama seorang pemuda yang gagah. Kiranya pemuda inilah yang tadi menyambar tubuh Su Kiat pada saat yang tepat sehingga menyelamatkan nyawa orang buntung yang sudah mengambil keputusan tetap hendak membunuh diri itu.

   "Hui Song..."

   Teriak isteri ketua Cin-Ling-Pai, wajahnya cantik dan yang sejak tadi nampak dingin saja itu, tiba-tiba berseri gembira dan sepasang matanya mengeluarkan sinar. Ia bangkit dari tempat duduknya. Nyonya ini memang berada dalam kedukaan besar karena selama ini ia sudah meragukan apakah puteranya itu masih hidup. Hui Song cepat memberi hormat kepada ayah ibunya.

   "Ayah dan ibu, maafkan, aku akan membereskan urusan dengan Ciang-suheng ini. Ciang suheng, bunuh diri bukanlah cara yang baik bagi seorang gagah untuk mengatasi persoalan. Bahkan bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang rendah dan pengecut."

   Dia lalu menotok pundak dan pangkal lengan kiri yang buntung itu, dan menerima obat dari seorang saudara seperguruan, mengobati luka itu dan membalutnya.

   "Ambillah lengan buntungmu itu dan mari kita bereskan urusan ini dengan pembesar Coan tanpa Cin-Ling-Pai. Seorang gagah, berani berbuat harus berani bertanggung jawab!"

   Berkata demikian, Hui Song lalu menyambar tubuh Su Kiat yang sudah memungut lengan buntungnya dan sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu bersama suhengnya yang sudah buntung lengannya.

   "Hui Song, apa yang hendak kau lakukan?"

   Ayahnya membentak dan meloncat untuk mengejar, akan tetapi pemuda itu sudah tiba jauh di luar rumah dan hanya terdengar suaranya yang lirih, akan tetapi seolah-olah diucapkan di dekat telinga ketua Cin-Ling-Pai itu.

   "Ayah, aku akan membantunya menyelesaikan urusannya tanpa campur tangan Cin-Ling-Pai, karena dia sekarang bukan murid Cin-Ling-Pai lagi."

   Ketua Cin-Ling-Pai itu terkejut. Puteranya telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu kepandaiannya.

   Suara yang dikirim dari jauh itu saja sudah sedemikian hebat, terdengar lirih namun jelas sekali dekat telinganya, tanda bahwa kini Hui Song telah mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh secara hebat sekali, lebih hebat dari pada kalau dia sendiri yang melakukannya. Pula, diapun sadar bahwa dengan sumpahnya tadi, Su Kiat telah menyatakan dirinya bukan lagi murid Cin-Ling-Pai. Kalau memang Su Kiat hendak menyelesaikan sendiri urusannya dengan pembesar Coan dan meyakinkan pembesar itu bahwa dia bukan lagi murid Cin-Ling-Pai, maka semua sepak terjangnya bukan lagi menjadi tanggung jawah Cin-Ling-Pai. Bagaimanapun juga, Cin-Ling-Pai sudah melakukan tindakan dan telah menghukum murid yang bersalah. Diam-diam diapun merasa kagum melihat ketegasan sikap puteranya, yang hendak membantu Su Kiat menyelesalkan urusannya.

   Hanya dia kecewa melihat puteranya yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah meninggalkannya lagi. Dia lalu membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan diri ke dalam kamar bersama isterinya, menanti dengan hati tak sabar kembalinya Hui Song yang sudah amat lama mereka rindukan itu. Sore telah berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal Coan Tihu yang berada di tengah kota Hancung yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-san. Gedung itu dijaga ketat di sekelilingnya oleh pasukan penjaga, namum mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang amat cepat bagaikan burung malam beterbangan itu. Suasana sunyi di gedung besar itu tiba-tiba menjadi ribut ketika terdengar teriakan suara nyaring dari atas genteng.

   "Coan Tihu, buka telingamu dan dengar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang datang!"

   Tentu saja para pengawal segera datang berlarian dan mereka menjadi panik sendiri. Setelah ada yang melihat dua bayangan yang berdiri tegak di atas wuwungan rumah, mereka berteriak-teriak dan sebentar saja bangunan itu dikurung. Tentu aaja Coan Tihu sendiri juga mendengar teriakan itu, akan tetapi dia tidak berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya menjaganya di dalam kamar dan dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak itu.

   "Diam di bawah!"

   Su Kiat berteriak pula.

   "Dan biarkan pembesar laknat itu mendengar kata-kataku! Coan Tihu, engkau telah bertindak sewenang-wenang membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dendam telah dihukum oleh Cin-Ling-Pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanku ini adalah urusan sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-Ling-Pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya lenganku karena perbuatanmu!"

   Setelah berkata demikian, Su Kiat melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan dan semua pengawal memandang dengan jijik dan ngeri.

   "Serang dengan anak panah!"

   Bentak seorang komandan pasukan keamanan dan belasan orang perajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di atas wuwungan itu. Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh suhengnya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia meruntuhkan semua anak panah yang menyambar tubuh suhengnya dan dilarikannya suhengnya keluar kota Hancung. Di persimpangan jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh suhengnya.

   "Ciang suheng, di sini kita berpisah. Bawalah ini untuk bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, engkau tidak seharusnya naik lagi ke Cin-ling-san, dan jangan memperlihatkan diri di kota Hancung dan sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."

   Dengan tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia.

   "Sute... ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu sekarang demikian hebatnya. Akupun sekarang mempunyai cita-cita, sute. Aku akan mempelajari ilmu sampai tinggi agar aku dapat membalaskan kematian ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu. Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku, akan tetapi apa balasku? Hanya menyeret Cin-Ling-Pai ke dalam kesukaran saja. selamat tinggal, sute..."

   Dan orang buntung itupun pergilah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song. Dia dapat mengenal seorang jantan yang gagah perkasa. Suhengnya itu, Ciang Su Kiat, dia takkan merasa heran kalau suhengnya itu kelak dapat berhasil memenuhi cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.

   "Kasihan Ciang-suheng..."

   Tak terasa lagi kata-kata ini keluar dari mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.

   "Seorang murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"

   Mendengar suara orang yang tiba-tiba menyambut ucapannya tadi, Hui Song membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.

   "Sumoi..."

   Tegurnya, kaget dan juga girang mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya. Sebelum dia mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lojin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun, pernah dia bertemu dengan sumoinya itu dalam perantauannya, ialah ketika dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat itu Tan Siang Wi ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang diserbu oleh para datuk sesat. Ternyata kini Siang Wi telah berada di depannya, memandang tajam kepadanya dan di bawah sinar bulan yang baru muncul, wajahnya nampak cantik manis dan matanya bersinar-sinar.

   "Suheng, setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku kepadamu!"

   Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.

   "Sumoi, bagaimana engkau bisa berada di sini?"

   Hui Song bertanya, membiarkan kedua tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.

   "Suheng, aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ah... betapa hebat engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."

   Hui Song melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum.

   "Kau terlalu memuji, sumoi. Kau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui, hal ini membuktikan bahwa engkau kini bertambah lihai saja. Tak kusangka bahwa engkau masih tinggal bersama ibu di Cin-ling-san."

   "Habis, di mana lagi kalau tidak di Cin-ling-san bersama subo dan suhu?"

   Tanya Siang Wi heran.
Hui Song tertawa.

   "Tentu saja di rumah... suamimu! Aku mengira bahwa engkau tentu sudah menikah, seperi banyak para suheng lainnya."

   Pemuda itu tidak dapat melihat di bawah sinar bulan remang-remang betapa wajah gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu saja, terutama sekali karena kecewa, marah dan penasaran.

   "Suheng! Kenapa kau bisa berkata begitu, menyangka aku seperti itu?"

   Mendengar suara yang bernada keras itu, Hui Song terheran.

   "Aih, sumoi, kenapa marah? Apa anehnya kalau aku mengira bahwa engkau sudah menikah? Usiamu hanya lebih muda dua tahun dariku dan mengingat bahwa aku sudah berusia dua puluh empat, sudah sepatutnya kalau engkau sudah menikah, bukan?"

   "Bukan itu, suheng! Tapi ah... masih pura-pura tidak tahukah engkau bahwa selama tiga tahun ini aku selalu menantimu dengan penuh rindu? Lupakah engkau akan janji-janji kita di waktu kita masih remaja dulu, suheng? Suhu dan subo juga sudah setuju mengenai kita dan aku... aku selalu menunggu dengan hati rindu..."

   Hui Song terbelalak, terkejut dan mundur tiga langkah melihat sumoinya membuat gerakan seperti hendak memegang tangannya atau merangkulnya itu. Dia teringat akan masa remajanya bersama Siang Wi. Mereka masih kekanak-kanakan ketika itu dan karena Siang Wi merupakan murid istimewa kesayangan ibunya, hubungan antara mereka memang akrab sekali. Dan ketika mereka bermain-main, setengah bergurau mereka memang pernah berjanji bahwa kelak mereka akan menjadi suami isteri. Pada waktu itu tentu saja dia tidak pernah mimpi bahwa pernikahan adalah sebuah urusan besar yang mutlak bersyaratkan cinta kasih kedua pihak. Dan dia tidak pernah mencinta sumoinya ini, bahkan semakin dewasa dia merasa tidak cocok dengan sumoinya yang berwatak galak, angkuh dan serius ini.

   "Tapi... janji kanak-kanak... hanya main-main saja, sumoi."

   "Suheng..."

   Apa maksud kata-katamu itu? Salahkah keyakinan hatiku selama ini bahwa... bahwa engkau cinta padaku seperti aku mencintaimu? Suhu dan subo sudah yakin pula akan hal ini!"

   Hui Song terkejut. Tak disangkanya sudah sejauh itu urusan yang tadinya dianggap permainan kanak-kanak itu. Sumoinya selama ini, mungkin sejak anak-anak, mencintanya dan merasa yakin bahwa diapun mencinta gadis ini, dan ayah ibunya juga yakin dan setuju pula menjodohkan dia dengan Siang Wi. Ini bukan urusan kecil dan main-main lagi!

   "Sumoi, jangan kita bicarakan hal itu sekarang di tempat ini. Aku sendiri belum pernah berpikir tentang perjodohan. Mari kita pulang!"

   Dan tanpa menanti jawaban dia sudah meloncat dan lari dari situ.

   Siang Wi juga meloncat dan mengejar, akan tetapi ia tertinggal jauh. Gadis itu mengerahkan tenaga dan ilmu ginkangnya, mencoba untuk menyusul, akan tetapi tetap saja pemuda itu lenyap dengan cepat. Terkejutlah ia dan baru ia tahu bahwa ketika ia tadi membayangi Hui Song, ia dapat mengejar dan menyusul karena pemuda itu tidak mengerahkan kepandaiannya, mungkin karena bersama Su Kiat. Kini pemuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah lenyap, membuat ia menjadi semakin kagum. Ketika tiba di rumahnya, Hui Song disambut oleh ayah ibunya yang ternyata masih menantinya dengan hati gembira bercampur gelisah. Gembira melihat putera tunggal mereka itu pulang setelah merantau selama bertahun-tahun, dan gelisah melihat Hui Song bersikap membela kepada Su Kiat.

   "Apa yang kau lakukan bersama Su Kiat?"

   Tanya ketua Cin-Ling-Pai kepada puteranya yang telah berlutut di depan dia dan isterinya.

   "Aih, biarkan dia beristirahat dulu!"

   Isterinya mencela, kemudian wanita itu merangkul Hui Song menyuruh puteranya bangun dan duduk di atas kursi di sebelahnya. Sambil memegang tangan puteranya dan kedua matanya yang basah oleh air mata menatap wajah tampan itu penuh kasih sayang, wanita itu melanjutkan.

   "Hui Song, anak nakal kau, membikin hati ibumu gelisah selama bertahun-tahun! Ke mana saja engkau pergi tanpa berita selama ini?"

   "Maaf, ibu. Aku pergi merantau, kemudian bertemu seorang sakti dan mempelajari ilmu selama tiga tahun."

   "Hui Song,"

   Potong ayahnya.

   "mengenai perantauanmu itu, kau ceritakan besok saja. Sekarang ceritakan dulu apa yang telah kau lakukan bersama Su Kiat."

   "Ayah, Ciang-suheng secara jantan mengakui dengan suara keras di atas gedung Coan Tihu bahwa perbuatannya tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-Ling-Pai, bahwa dia bukan murid Cin-Ling-Pai."

   "Hemm, engkau mencampurinya dan ikut mengacau gedung pembesar itu?"

   Tanya ayahnya dengan alis berkerut.

   "Tidak, ayah. Aku hanya mengantar dan melindungi Ciang-suheng sampai di sana. Setelah dia melemparkan potongan lengannya dan meneriakkan kata-katanya, kami segera pergi."

   Pada saat itu masuklah Siang Wi. Ia baru saja dapat menyusul Hui Song dan ia dapat mendengar keterangan pemuda itu.

   "Benar, suhu,"

   Katanya cepat.

   "Suheng hanya melindungi Ciang Su Kiat ketika dia dihujani anak panah. Suheng meruntuhkan semua anak panah hanya dengan kebutan kedua tangannya, dan ketika dia mengerahkan ginkangnya, teecu sama sekali tidak mampu menyusulnya. Dia kini lihai bukan main, suhu!"

   Tentu saja Cia Kong Liang, ketua Cin-Ling-Pai itu dan isterinya, merasa girang dan bangga sekali, akan tetapi Hui Song lalu digandeng ibunya yang berkata,

   "Sudahlah, kau harus beristirahat dulu, anakku. Mari lihat kamarmu, masih tidak berubah sejak dulu dan tiap hari kusuruh bersihkan."

   Ketika rebah di atas pembaringannya, di dalam kamar yang amat dikenalnya itu, diam-diam Hui Song merasa terharu sekali. Orang tuanya, terutama ibunya, amat sayang kepadanya dan dia merasa begitu tenteram dan terlindung berada di kamarnya ini, merasa betah dan enak. Dia dapat tidur melepaskan lelahnya tanpa mimpi dan ketika pada keesokan harinya dia bangun, tubuhnya terasa segar sekali. Hari itu, setelah makan pagi mereka semua, ketua Cin-Ling-Pai dengan isteri dan puteranya, dihadiri pula oleh Tan Siang Wi yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, berkumpul di ruangan keluarga di belakang dan bercakap-cakap.

   Dalam kesempatan ini, Hui Song menceritakan semua pengalamannya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh ayah bundanya dan sumoinya. Ketika dia bercerita tentang Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang menjadi temannya dalam menghadapi bermacam peristiwa hebat, Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya terasa tidak enak mendengar betapa puteranya bergaul dengan puteri Pendekar Sadis, bahkan dia dapat merasakan dalam kata-kata puteranya itu terkandung rasa kagum dan suka. Dia merasa tidak suka kepada Pendekar Sadis yang dianggapnya sebagai seorang pendekar berhati kejam sekali dan tidak menghendaki puteranya bergaul dengan keluarga itu. Memang ketua Cin-Ling-Pai dan isterinya itu sebelumnya sudah mendengar dari Siang Wi yang melaporkan bahwa Hui Song bergaul dengan puteri Pendekar Sadis dan mereka sudah merasa tidak senang,

   

Pendekar Lembah Naga Eps 55 Pendekar Sadis Eps 10 Pendekar Sadis Eps 3

Cari Blog Ini