Asmara Berdarah 24
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
Telinganya yang lebar itu memakai anting-anting gelang yang besar pula. Lehernya memakai kalung dari untaian batu-batu putih bundar seperti tasbeh. Jubahnya berwarna putih bersih, dengan rangkapan berwarna biru dan kuning yang indah. Tangannya memegang sebatang kebutan yang juga berbulu putih seperti rambutnya. Nenek ini nampak agung dan berwibawa, juga gerak-geriknya halus seperti wanita bangsawan. Mulutnya tersenyum membayangkan kebesaran hati ketika ia memandang kepada Kiu-bwe Coali. Sejenak Kiu-bwe Coali mempergunakan sepasang matanya yang agak juling itu untuk memandang dan hatinya menjadi semakin panas. Nenek itu dianggapnya terlalu sombong dan genit! Sudah tua masih berdandan begitu rapinya, memakai kalung dan anting-anting pula, dan pakaiannya bagus-bagus!
"Perempuan tak tahu malu!"
Bentaknya sambil menggoyang-goyang cambuknya.
"Di mana kau taruh matamu maka engkau berani hampir menubruk aku?"
Nenek berjubah putih-putih itu tersenyum.
"Sobat, jangan marah-marah dulu dan ingatlah baik-baik, siapa yang hendak menubruk tadi? Engkau berjalan setengah berlari sambil melamun sehingga tidak melihat ke depan dan kalau aku kurang cepat menyingkir tentu telah kau tabruk."
Suaranya halus dan dari suara dan kata-katanya jelas bahwa ia adalah seorang wanita Mongol yang pandai berbahasa Han. Kata-katanya menunjukkan bahwa ia terpelajar, karena ia menggunakan bahasa yang halus, lebih halus dari pada kata-kata yang keluar dari mulut Kiu-bwe Coali, seorang nenek berbangsa Han aseli. Ucapan yang halus dan sikap yang tenang itu menambah kemarahan Kiu-bwe Coali, karena ia merasa seolah-olah diejek. Ia menudingkan cambuknya ke arah muka nenek itu sambil membentak,
"Perempuan tua bangka Mongol yang bosan hidup! Buka mata dan telingamu baik-baik. Engkau berhadapan dengan Kiu-bwe Coali dan kalau engkau tidak lekas berlutut minta ampun, cambukku akan mencabut nyawamu!"
"Ck ck ck..."
Nenek itu menggeleng kepala perlahan sehingga anting-antingnya yang seperti gelang itu bergoyang-goyang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum.
"Kiranya Kiu-bwe Coali, seorang dari Cap-sha-kui yang namanya menggelapkan angkasa di selatan? Wah, hebat sekali. Kiu-bwe Coali, aku sudah tua, nyawa ini tidak akan dapat kupertahankan selamanya dan sekali hendak pergi meninggalkan badan, siapa yang mampu menangguhkannya? Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku berlutut karena aku tidak mempunyai kesalahan apapun kepadamu."
"Keparat! Berani engkau membantah dan menantangku? Apakah kau bosan hidup?"
Pada saat itu terdengar auman yang keras dan menggetarkan bumi. Kiu-bwe Coali terkejut bukan main ketika tiba-tiba seekor harimau yang amat besar muncul dan berlari menghampiri nenek berjubah putih itu. Harimau itu juga memandang kepadanya dan menggereng marah, matanya mencorong dan bibir atasnya mendesisdesis, meringis memperlihatkan gigi dan taring yang amat kuat. Diam-diam Kiu-bwe Coali merasa ngeri dan jerih juga. Biarpun ia lihai, akan tetapi menghadapi seekor harimau yang demikian besarnya, ia maklum betapa besar bahayanya melawan binatang seperti ini.
"Houwcu... diamlah dan jangan ribut,"
Kata nenek itu dengan suara membujuk dan harimau itu lalu mendekam di samping si nenek berjubah putih.
"Huh, biarpun engkau mempunyai peliharaan kucing itu, jangan dikira aku takut!"
Kiu-bwe Coali menantang. Nenek itu tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mencorong, seperti mata binatang pelibaraannya.
"Kiu-bwe Coali, sungguh mengherankan sekali bahwa orang dengan watak seperti engkau ini dapat hidup sampai usia tua. Aku bukan orang yang suka mempergunakan kekerasan, tidak suka berkelahi, akan tetapi juga bukan orang yang takut akan ancaman-ancaman dan gertak-gertak kosong belaka!"
"Akan tetapi yang suka mengandalkan perlindungan binatang buas!"
Ejek Kiu-bwe Coali yang masih merasa ragu-ragu untuk turun tangan mengingat adanya harimau yang nampaknya buas sekali itu. Kalau hanya harimau biasa saja, ia tidak akan gentar. Akan tetapi harimau ini sungguh luar biasa besarnya dan nampaknya kuat bukan main.
"Begitukah? Aku tidak minta perlindungan Houwcu, dia hanya marah karena hidungnya dapat mencium bau busuk. Eh, Houwcu, pergilah bersembunyi sebentar agar perempuan kejam ini tidak menjadi ketakutan."
Seperti seekor binatang jinak yang mengenal perintah majikannya, harimau itu pergi setelah beberapa kali menoleh ke arah Kiu-bwe Coali sambil menggereng seperti merasa curiga dan marah. Kemudian dia menghilang di balik pohon-pohonan dan tidak terdengar lagi suaranya.
"Nah, dia sudah pergi, Kiu-bwe Coali. Sekarang engkau mau apa?"
"Mau membunuhmu!"
Bentak Kiu-bwe Coali marah dan nenek ini sudah melakukan serangan dengan cambuknya. Cambuk itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan biarpun sudah ada dua ekornya yang putus ketika ia menghadapi Cia Sun tadi, akan tetapi masih ada sisa tujuh ekor yang kini menyambar dan melakukan totokan-totokan yqng dahsyat.
"Hemmm..."
Nenek berjubah putih itu berseru kaget menyaksikan kehebatan gerakan serangan Kiu-bwe Coali dan ia melompat ke belakang sambil mengebutkan kebutan putih di tangannya.
"Pratt-pratt-prattt!"
Cambuk itu bertemu dengan kebutan beberapa kali dan nenek berjubah putih itu terhuyung ke belakang.
"Heh heh heh, kematian sudah di depan mata, bersiaplah engkau, tua bangka!"
Kiu-bwe Coali mengejek dan terus menyerang lagi. Ia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada nenek itu sehingga bertanya namapun tidak.
Demikian watak orang-orang Cap-sha-kui yang rata-rata sombong dan kejam itu. Dan itulah kesalahannya. Andaikata ia tadi bertanya dan ia tahu dengan siapa dia berhadapan, tentu ia akan bersikap hati-hati dan mungkin ia akan pergi tanpa berani mengganggu nenek berjubah putih itu. Akan tetapi ia terlalu sombong dan pada saat itu hatinya sedang marah karena kekalahannya terhadap Cia Sun. Didesak oleh serangan-serangan yang dahsyat itu, nenek jubah putih mengelak sambil berloncatan dan anehnya, ia sama sekali tidak pernah membalas. Akan tetapi iapun terkejut memperolch kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan-serangan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coali itu, maka begitu melompat ke belakang ia menudingkan kebutannya sambil berkata halus,
"Kiu-bwe Coali, membenci orang lain beranti membenci diri sendiri. Engkau menyerang orang lain sama saja dengan menyerang diri sendiri!"
Kiu-bwe Coali tidak perduli walaupun ucapan nenek itu seperti menembus ke dalam dadanya. Dengan ganas ia menubruk dengan cambuknya.
"Tartartarrr..."
Cambuk meledak-ledak lalu menerjang ke arah nenek itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang terdapat dalam kebutan berbulu putih, tiba-tiba saja cambuk itu membalik dan memukul muka Kiu-bwe Coali sendiri!
"Ihhh..."
Kiu-bwe Coali berteriak keras dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja tiga ekor cambuk itu mengenai muka dan lehernya dan nampaklah jalur-jalur merah berdarah di muka dan lehernya. Ia terbelalak, akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan makin marah.
"Kubunuh kau... kau harus mampus!"
Ia berteriak marah sekali dan kembali ia meloncat ke depan. Nenek itu mengacungkan kebutannya ke atas, lalu membanting kebutan itu ke bawah. Aneh sekali, tiba-tiba saja tubuh Kiu-bwe Coali yang sedang meloncat itu tiba-tiba saja terbanting ke bawah oleh tenaga yang tidak nampak.
"Brukkk..."
Kiu Bwe Coali terbelalak dan menjadi semakin marah karena bantingan itu tidak melukainya, walaupun membuat napasnya agak sesak dan jalannya menjadi pincang. Ketika ia mengangkat mukanya, nenek itu sudah berjalan pergi sambil membawa kebutannya, seolah-olah tidak lagi mau memperdulikannya! Kemarahannya memuncak. Dilihatnya nenek itu menuruni sebuah lereng yang curam.
"Tunggu, ke mana engkau hendak lari, keparat?"
Ia mengejar dan menuruni lereng yang diapitapit jurang yang curam itu. Nenek itu menengok.
"Kiu-bwe Coali, aku melihat awan hitam mempengaruhimu. Mundurlah sebelum terlambat!"
Ucapannya itu halus dan bernada serius. Akan tetapi orang macam Kiu-bwe Coali mana mau mengalah dan mundur sebelum kalah? Setelah mengejar sampai jarak empat meter, tiba-tiba Kiu-bwe Coali menggerakkan cambuknya dan meluncurlah belasan jarum halus menyerang ke arah tubuh belakang nenek itu. Akan tetapi, nenek itu membalikkan tubuhnya dan kembali mengacungkan kebutannya dan belasan batang jarum halus yang sedang meluncur itu, tiba-tiba saja membalik ke arah Kiu-bwe Coali sendiri! Nenek buruk itu terbelalak, terkejut bukan main karena kembalinya belasan batang jarumnya itu amat cepatnya, lebih cepat dari pada ketika ia pakai menyerang. Ia tidak mau kalau senjatanya makan tuan.
Untuk menangkis tidak sempat lagi saking cepatnya Jarum-jarum itu meluncur, maka iapun meloncat ke kiri untuk mengelak dan... terdengarlah jeritan menyayat hati ketika tubuhnya meluncur ke bawah, ke dalam jurang yang amat curam! Nenek ini dalam kemarahannya telah menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan sehingga lupa bahwa di kanan kiri tempat itu terdapat jurang-jurang yang curam sehingga ketika ia mengelak dan melompat ke kiri, ia telah melompat ke dalam jurang. Jeritan itu berhenti dan nenek berjubah putih menjenguk dari tepi jurang, memandang ke bawah. Masih nampak olehnya tubuh Kiu-bwe Coali yang dari atas nampak kecil seperti boneka menggelinding ke bawah, terlempar-lempar ketika menimpa batu-batu dan akhirnya terbanting ke dasar jurang dan diam tak bergerak lagi.
"Ckckckk..."
Nenek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu bertepuk tangan. Tepukan tangan itu terdengar nyaring sekali dan agaknya merupakan isyarat bagi harimau peliharaannya karena kini muncullah harimau besar itu, berlari-lari mendatangi. Nenek itu lalu naik ke punggung harimau, menggerakkan kebutannya dan harimau itupun berlari ke arah dari mana Kiu-bwe Coali tadi datang. Tak lama kemudian tibalah nenek dan harimaunya itu di tempat di mana Cia Sun sedang berusaha untuk mengobati Sui Cin. Dari jauh nenek itu sudah melihat mereka dan iapun menyuruh harimaunya berhenti. Ia mengintai dan sampai lama ia mengamati dua orang muda itu. Berulang kali ia menarik napas panjang dan menggumam seorang diri.
"Ah, agaknya akan perempuan itu keracunan dan tentu perbuatan Kiu-bwe Coali itu. Kasihan, aku melihat cahaya gelap menyelubungi wajahnya."
Nenek ini bukan orang sembarangan. Kalau tadi Kiu-bwe Coali tidak begitu sombong dan mau bertanya nama, agaknya ia belum tentu akan tewas, mati konyol karena terjatuh ke dalam jurang karena nama nenek itu tentu akan membuatnya merasa jerih dan membuatnya tidak berani sembarangan menyerang. Nenek itu terkenal sekali di daerah utara, di luar Tembok Besar dan bahkan seluruh penduduk Mongol dan Mancu amat takut kepadanya. Di Mongol, ia dikenal sebagai seorang dukun wanita yang terkenal sakti dan ampuh. Apalagi, di samping menjadi dukun yang diakui mempunyai banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga ia merupakan keturunan dari Yelu Cetai, seorang arif bijaksana yang dahulu menjadi penasihat Raja Jenghis Khan!
Biarpun sudah lama Kerajaan Goan, yaitu penjajah Mongol, terjatuh dan sisasisa orang Mongol kembali ke utara di luar Tembok Besar, namun nama keluarga Yelu Cetai masih dikenal orang, bahkan ratusan tahun kemudian, nenek itu sebagai keturunan keluarga Yelu, masih dihormati orang-orang Mongol, apalagi karena ia memang seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu sihirnya. Bahkan para kepala suku yang banyak terdapat di daerah itu semua menghormatinya. Ia menjadi tempat bertanya nasihat para pimpinan suku dan bahkan pertikaianpertikaian yang timbul di antara mereka seringkali baru dapat didamaikan kalau Yelu Kim demikian nama nenek itu, sudah turun tangan melerai. Di kalangan orang Mongol yang masih percaya akan Hal-hal mukjizat dan ketahyulan,
Nenek itu dikabarkan sakti seperti dewa, dapat menghidupkan orang mati dan mematikan orang hidup! Sebetulnya, Yelu Cetai dahulu adalah seorang bangsawan Khitan akan tetapi ahli dalam kebudayaan bangsa pribumi Han sehingga dia dianggap sebagai seorang berbangsa pribumi. Keturunannya banyak yang menikah campuran sehingga darah Yelu Kim sekarang adalah darah campuran, bahkan ada pula darah Bangsa India di barat. Itulah sebabnya mengapa wajahnya memiliki kecantikan yang asing dan aneh. Namanya terkenal sekali, bahkan tokoh-tokoh besar di pedalaman yang sering menjelajah ke utara, sudah mendengar akan kehebatan nama ini. Maka sayanglah bahwa Kiu-bwe Coali tidak menanyakan namanya sehingga nenek iblis itu tewas tanpa mengetahui bahwa lawannya adalah orang yang paling terkenal di Mongol.
Sebagai seorang yang dihormati, Yelu Kim yang berdarah bangsawan itu bersikap agung dan ramah, akan tetapi di balik kehalusan sikapnya itu tersembunyi kekuatan yang menakutkan dan memang nenek ini Kadang-kadang mempunyai sikap yang aneh dan mengejutkan orang, Kadang-kadang ia murah hati sekali dan mudah mengampuni, akan tetapi ada kalanya ia bersikap amat keras hati dan amat kejam. Padahal, pada dasarnya Yelu Kim bukanlah seorang kejam, melainkan seorang yang bijaksana dan adil, dan pandangannya sedemikian jauh sehingga banyak orang tidak mengerti dan menganggap ia kejam. Nenek yang sudah beberapa kali menikah ini tidak pernah mengecap kebahagiaan hidup keluarganya, dan ia tidak pernah mempunyai anak sehingga kini hidup kesepian dalam usia tua.
Dan sebagai seorang janda tua yang hidup kesepan, ia suka akan binatang peliharaannya. Akan tetapi kalau para janda itu suka memelihara kucing atau anjing, nenek ini memelihara seekor harimau yang amat besar dan menakutkan. Dan harimau ini bukan hanya menjadi binatang peliharaan dan kesayangan, bahkan juga dapat menjadi binatang tunggangan dan binatang yang menjaga dan melindungi keselamatannya. Melihat binatang ini saja membuat orang yang tadinya berniat buruk terhadap Yelu Kim harus berpikir panjang lebih dulu karena harimau itu nampaknya amat menyayang dan setia kepada majikannya. Demikianlah sedikit tentang nenek aneh itu yang kini mengintai Cia Sun dan Sui Cin yahg sedang duduk bersila. Sui Cin yang merasa betapa hawa yang panas menjalar ke dalam tubuhnya merasa nyaman sekali dan hampir tertidur.
Sebaliknya Cia Sun dengan pengerahan sinkang berusaha untuk membangkitkan kembali tenaga gadis itu yang seakan-akan menjadi lumpuh. Namun, dia tidak pernah menemui perlawanan sehingga hal ini menandakan bahwa Sui Cin belum juga menemukan kembali kekuatannya. Sinkang atau hawa sakti dalam tubuh gadis itu belum bangkit. Telah lewat tiga jam lamanya sejak Cia Sun mencoba untuk mengobati gadis itu dan terpaksa dia berhenti dulu untuk menyimpan tenaganya sendiri. Dia melepaskan kedua tangannya dan Sui Cin sadar dari keadaan seperti tidur itu. Mereka lalu duduk beristirahat, berhadapan di atas rumput tebal, saling memandang. Melihat betapa sepasang mata gadis itu memandang kepadanya penuh pertanyaan, Cia Sun menarik napas panjang.
"Cin-moi, kita harus mengaso dulu. Sungguh heran, aku belum menemui perlawanan, agaknya sinkang di dalam tubuhmu sama sekali tidak bangkit. Entah pengaruh racun apa yang dipergunakan Kiu-bwe Coali sehingga bisa melumpuhkan kekuatan dalam tubuhmu seperti ini."
Gadis itu memandang wajah yang gagah dan nampaknya sedih itu, dan hatinya terharu.
Ia tidak mengenal pemuda ini, atau lebih tepat lagi, ia sudah lupa lagi siapa adanya pemuda ini, namun menurut penuturan pemuda ini, di antara mereka terdapat hubungan dekat dan bahwa pemuda itu adalah putera ketua Pek-Liong-Pang di Lembah Naga, seorang pendekar! Dan melihat sepak terjangnya tadi, memang pemuda ini seorang pendekar yang mengagumkan, bukan hanya telah menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan nenek iblis Kiu-bwe Coali, akan tetapi juga bersikap sopan dan mengagumkan ketika berusaha mengobatinya dengan pengerahan sinkang. Seorang pemuda yang hebat, dan sinar mata pemuda itu kalau ditujukan kepadanya membuat jantungnya tergetar karena jelas terasa dan nampak olehnya betapa pemuda ini jatuh cinta kepadanya, atau mungkin juga sudah sejak dahulu mencintanya.
"Sudahlah, Sun-twako, biarkan saja. Tidak perlu engkau menghambur-hamburkan tenagamu untuk mencoba mengobatiku. Aku tidak menderita rasa nyeri, hanya lemas dan tidak mampu membangkitkan tenaga sinkangku..."
"Akan tetapi, engkau tentu menderita. Engkau sakit, mukamu pucat dan matamu layu, Cin-moi, bagaimanapun juga, aku harus berusaha mengobatimu sampai sembuh. Setidaknya aku akan mencarikan obat, mencarikan ahli untukmu."
Pada saat itu, Cia Sun meloncat berdiri dan memandang ke arah pohon-pohon di mana kini sudah berdiri seorang nenek yang memegang sebuah kebutan putih. Karena baru saja dia berkelahi melawan seorang nenek iblis, maka munculnya nenek ini tentu saja mendatangkan kecurigaan besar dan mengingat bahwa Sui Cin masih tidak berdaya, diapun cepat lari menghampiri nenek itu dengan pandang mata penuh curiga. Nenek itu adalah Yelu Kim dan kini tiba-tiba saja sikap nenek ini berubah sama sekali. Pandang matanya nampak jahat dan kejam, senyumnya penuh ejekan.
"Orang muda, kau kah yang tadi bertanding dengan Kiu-bwe Coali?"
Cia Sun mengerutkan alisnya dan memandang tajam.
"Benar sekali, dan setelah nenek iblis itu melarikan diri sekarang muncul engkau. Siapakah kau ini, nek, dan ada hubungan apa engkau dengan Kiu-bwe Coali?"
Senyum mengejek di mulut nenek itu melebar dan pandang matanya nampak heran dan tidak percaya.
"Engkau yang semuda ini mampu mengalahkan Kiu-bwe Coali?"
"Kalau nenek iblis itu tidak melarikan diri, tentu ia sekarang sudah tewas di tanganku. Seorang manusia berwatak iblis seperti ia memang sudah sepatutnya dibasmi dari permukaan bumi. Dan engkau, siapakah engkau, dan apa maksudmu muncul di sini?"
"Aku tidak percaya bahwa engkau mampu mengalahkan Kiu-bwe Coali, dan aku datang untuk mencoba apakah kepandaianmu benar-benar sehebat itu."
Berkata demikian, nenek itu langsung saja menubruk ke depan dan mengelebatkan kebutannya. Ujung kebutan yang menjadi kaku meluncur dan menotok ke arah tiga jalan darah di dada, leher dan pundak Cia Sun secara bertubi-tubi.
"Hemm, kiranya engkau sebangsa nenek iblis itu!"
Bentak Cia Sun yang cepat mengelak dan diapun membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang ampuh.
Melihat tamparan ini yang mengandung hawa pukulan amat dahsyat, nenek Yelu Kim terkejut bukan main dan tahulah ia bahwa memang pemuda ini lihai sekali. Tidaklah mengherankan kalau Kiu-bwe Coali sampai melarikan diri dalam keadaan marah-marah sehingga hampir menubruknya. Iapun menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk berloncatan dan mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan cambuknya. Beberapa kali nenek itu mengelebatkan kebutannya dan setiap kali Cia Sun kehilangan lawannya. Pemuda ini terkejut sekali, apalagi ketika melihat nenek itu sudah berada dalam jarak empat lima tombak di sebelah depan. Dia mengejar dan berkelahi lagi, akan tetapi nenek itu seringkali berkelebatan lenyap dan tanpa diketahuinya,
Cia Sun sudah terpancing meninggalkan tempat di mana Sui Cin duduk bengong tadi. Gadis ini merasa gelisah karena ia tidak dapat membantu Cia Sun menghadapi nenek yang nampaknya juga lihai sekali itu. Makin gelisah rasa hati Sui Cin melihat betapa kini Cia Sun yang masih berkelahi melawan nenek aneh itu, telah lenyap di sebuah tikungan, terhalang oleh pohon-pohon. Iapun melangkahkan kaki untuk mengejar karena walaupun ia sendiri tidak berdaya, tidak mampu membantu karena tenaganya belum pulih, kaki tangannya masih lemas, akan tetapi ia harus menyaksikan bagaimana kelanjutan perkelahian itu. Tiba-tiba terdengar suara gerengan dan tahu-tahu muncullah seekor harimau yang amat besar, yang melompat keluar dari balik semak-semak belukar.
Harimau itu demikian besar dan nampak garang sekali sehingga Sui Cin berdiri terpukau dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau ia berada dalam keadaan biasa, tentu ia akan mampu melawan binatang ini mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi dalam keadaan kehilangan tenaga itu, mana mungkin ia mampu menyelamatkan diri? Ia mencoba untuk membalikkan tubuh dan lari, akan tetapi tiba-tiba harimau itu menubruk dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya. Sui Cin menjadi panik. Rasa ngeri mencekam hatinya dan ia berusaha untuk memanjat sebatang pohon yang berada di samping kirinya. Ia berhasil naik dahan pohon, akan tetapi harimau itu mengaum dan menubruk pohon. Pohon yang batangnya sebeser paha manusia itu roboh, membawa Sui Cin bersama roboh ke bawah!
"Ahhhh..."
Demikian ngeri rasa hati gadis yang biasanya amat gagah perkasa ini dan iapun jatuh pingsan. Sementara itu, nenek pemegang kebutan ketika mendengar auman-auman harimau itu, tersenyum dan berkata,
"Orang muda, cukuplah kita bermain-main. Ilmu silatmu hebat sekali, membuat aku kagum bukan main. Nah, selamat tinggal!"
Ia menggerakken kebutannya dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan Cia Sun. Pemuda ini tercengang, mencari dengan pandang matanya ke sana-sini, akan tetapi sia-sia belaka, ia tidak dapat melihat kembali nenek itu. Maka iapun cepat kembali ke tempat tadi karena iapun mendengar suara auman-auman harimau tadi dan mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin. Ketika tiba di tempat tadi, di mana dia meninggalkan Sui Cin untuk melawan nenek itu, dia terkejut bukan main. Sui Cin tidak ada lagi di situ.
"Cin-moi..."
Dia berseru memanggil mengharap kalau-kalau gadis itu bersembunyi ketika mendengar suara auman harimau. Akan tetapi, panggilannya yang dilakukan dengan pengerahan khikang itu hanya bergema dari jauh, tidak ada jawaban same sekali.
"Cin-moi, di mana kau...?"
Dia berteriak lagi dan mulai mencari ke sana sini dengan hati khawatir. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan bayangan ataupun jejak gadis itu.
Akhirnya dia menghentikan usahanya mencari dan duduk termenung di atas sebongkah batu besar, alisnya berkerut. Timbul kecurigaannya kepada nenek tadi. Nenek tadi adalah seorang yang amat pandai dan biarpun ilmu silatnya tidak begitu hebat, juga tenaganya tidak terlalu kuat baginya, namun nenek itu memiliki ilmu yang luar biasa, yaitu pandai menghilang. Ataukah itu hanya semacam ilmu sihir saja? Dan nenek itu seperti sengaja memancingnya menjauhi Sui Cin. Kemudian setelah terdengar auman harimau, nenek itupun menghilang! Kini dia teringat bahwa agaknya nenek itu memang sengaja memancingnya untuk menjauhi Sui Cin. Jelas bahwa ada hubungan antara hilangnya gadis itu dengan si nenek aneh. Cia Sun mengepal tinju dan bangkit berdiri. Sinar matanya tajam dan keras.
"Nenek siluman, sampai di manapun juga, aku akan mengejarmu!"
Dan diapun pergi meninggalkan tempat itu, memulai tugasnya untuk menyelidiki dan mencari Sui Cin dengan jalan mencari menek itu karena dia merasa yakin bahwa Sui Cin tentu diculik oleh nenek itu, mungkin dilakukan oleh pembantu-pembantunya.
Daerah pegunungan itu penuh dengan batu-batu karang yang besar-besar, seperti barisan bukit-bukit kecil atau jajaran bangunan-bangunan kuno yang aneh-aneh bentuknya. Dan di daerah ini banyak terdapat gua-gua alam yang besar-besar dan juga aneh-aneh bentuknya. Di atas sebuah di antara bukit-bukit batu itu, terdapat sebuah gua yang amat besar. Pintu gua ini luas, besar dan tinggi, juga amat bersih, tanda bahwa gua itu dirawat dengan baik. Lantainya amat rata dan halus, dan dari luar gua sudah nampak bahwa di sebelah dalam gua itu memang dijadikan tempat tinggal manusia, nampak tirai-tirai kain di balik pintu. Nenek itu duduk bersila di atas sebuah tikar yang terbentang di ruangan depan gua.
Ia adalah nenek Yelu Kim. Pakaiannya tetap bersih dan rapi dan wajahnya berseri. Tangan kanannya membawa kebutan bulu putih dan di depannya terdapat sebuah guci yang mengkilap dan indah, entah terisi apa karena tertutup. Terdengar auman harimau dari depan gua. Untuk mencapai gua itu orang harus mendaki dari bawah. Nenek itu memandang ke bawah dan mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Mongol untuk menyuruh harimau peliharannya itu mendaki naik membawa gadis yang diseretnya itu. Harimau besar itu mendaki naik, menyeret tubuh Sui Cin dengan menggigit punggung baju gadis itu. Gadis itu masih dalam keadaan pingsan dan agaknya tidaklah sukar bagi harimau itu untuk menyeret tubuh Sui Cin menaiki anak tangga menuju ke mulut gua di mana nenek itu menanti dengan wajah berseri.
"Letakkan ia di sini, Houwcu,"
Kata nenek itu sambil menudingkan kebutannya. Harimau itu membawa Sui Cin ke depan si nenek dan melepaskannya di atas lantai. Tubuh Sui Cin rebah terlentang.
"Nah, kau boleh pergi mengaso, Houwcu,"
Kata pula nenek Yelu Kim dan harimau itu mengeluarkan suara mengaum panjang lalu berlari pergi menuruni anak tangga. Nenek itu lalu membuka baju atas Sui Cin dan melakukan pemeriksaan, meraba sana-sini, mengetuk sana-sini dan akhirnya ia menutupkan lagi baju gadis itu dan mengangguk-angguk.
"Sungguh keji sekali Kiu-bwe Coali, meracuni seorang anak perempuan dengan racun ular bunga kuning, racun yang melumpuhkan kaki tangannya."
Kemudian, dengan gerakan ringan nenek itu mengangkat tubuh Sui Cin, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya masuk ke dalam gua. Ternyata gua itu amat lebar dan di sebelah dalamnya terdapat sebuah kamar tidur dan sebuah ruangan yang luas. Nenek itu merebahkan tubuh Sui Cin di atas pembaringan kayu yang berada di sudut ruangan luas itu. Kemudian ia membuat api di tungku dan memasak obat. Sebelum obat itu siap, Sui Cin sadar dari pingsannya. Ia mengeluh dan seketika teringat akan harimau itu, maka iapun bangkit duduk dan matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. Tidak dilihatnya ada harimau di situ sehingga melegakan hatinya. Akan tetapi ketika ia melihat nenek yang sedang memasak obat, ia cepat turun dari pembaringan dan alisnya berkerut. Tentu saja ia mengenal nenek yang tadi berkelahi melawan Cia Sun itu.
"Nenek iblis! Apa yang telah kau lakukan terhadap Sun-twako?"
Bentaknya marah, akan tetapi perasaannya menjadi gentar ketika ia mencoba mengerahkan tenaga, masih saja tidak dapat membangkitkan tenaganya. Yelu Kim masih duduk berjongkok di depan tungku api, menoleh dan tersenyum.
"Ah, engkau sudah sadar, nona? Aku dan Houwcu sudah banyak mengejutkan hatimu, bukan? Lupakanlah itu, karena aku berniat baik terhadap dirimu."
"Hemmm, siapa mau percaya omongan seorang nenek iblis sepertimu? Di mana Sun-twako dan mau apa engkau membawaku ke tempat ini?"
Nenek itu tersenyum dan sebelum menjawab, ia mengambil tempat obat dari atas api dan menuangkan air obat yang berwarna coklat itu dan yang mengebulkan uap panas ke dalam sebuah mangkok. Bau sedap harum mencapai hidung Sui Cin, bau masakan obat.
"Aku tidak menyalahkan engkau kalau terjadi salah pengertian. Dengarlah, nona, aku Yelu Kim jangan kau samakan dengan Kiu-bwe Coali."
"Kalau tidak sama, mengapa engkau menyerang Sun-twako?"
"Memang kusengaja memancing dia meninggalkanmu agar mudah bagi Houwcu untuk membawamu ke sini."
Mata Sui Cin terbelalak.
"Apa? Harimau itu peliharaanmu dan dia kau suruh datang menculikku?"
Nenek itu masih tersenyum dan mengangguk.
"Aku tidak berniat jahat, anakku yang baik."
Sui Cin mendengus marah.
"Tidak berniat jahat akan tetapi menyuruh harimaumu mengejutkan hatiku dan menculikku, dan engkau sendiri menyerang dan memancing Sun-twako meninggalkan aku? Bagus, kau kira ada orang mau percaya omonganmu ini?"
"Terserah kepadamu, nona. Akan tetapi, kalau aku berniat buruk, apakah kau kira kau masih hidup sekarang ini, dan juga temanmu itu masih hidup?"
"Di mana Sun-twako?"
"Aku meninggalkan dia. Dia terlalu kuat dan aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Setelah engkau dibawa harimauku, akupun meninggalkannya."
"Tapi... tapi apa artinya semua ini dan apa kehendakmu melakukan hal itu terhadap kami?"
"Sabarlah dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Terserah kepadamu apakah engkau akan percaya kepadaku atau tidak, akan tetapi sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu atau terhadap temanmu yang gagah perkasa itu. Namaku Yelu Kim dan di daerah Mongol ini aku dihormati orang, bahkan dianggap sebagai orang tua yang patut dimintai nasihat oleh para kepala suku."
Nenek itu mulai bercerita dan ia merasa heran melihat betapa gadis ini sama sekali tidak kaget mendengar namanya. Timbul keinginan hatinya mengenal siapa adanya gadis ini dan apakah ia salah pilih, mengira gadis ini adalah seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan boleh diandalkan kelak.
"Nona, engkau sendiri siapakah, siapa namamu dan siapa pula gurumu, mengapa engkau sampai berada di daerah ini dan keracunan?"
Melihat sikap orang yang begitu ramah dan halus, berkuranglah kecurigaan Sui Cin. Bagaimanapun juga, dari sikap dan bicaranya, sukarlah menyamakan nenek ini dengan nenek iblis Kiu-bwe Coali. Ia menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dalam keadaan kehilangan tenaga ini iapun tidak akan mampu menjaga diri dan keselamatannya berada di tangan nenek ini, maka sebaiknyalah kalau ia bersikap halus mengimbangi sikap nenek itu.
"Ah, aku menjadi bingung kalau ditanya begitu, nek. Ketahuilah, aku telah lupa sama sekali akan keadaan diriku atau riwayatku. Karena aku kehilangan ingatan inilah maka Kiu-bwe Coali dapat menipuku, memberiku minum racun itu yang melumpuhkan kaki tanganku. Aku sampai sekarang
(Lanjut ke Jilid 23)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
tidak ingat lagi siapa adanya diriku, apalagi nama orang tua atau guruku, bahkan aku sendiri tidak tahu untuk apa aku berada di daerah ini..."
Mendengar ucapan itu dan melihat sikap yang sedih dari Sui Cin, nenek itu terkejut dan tertarik sekali. Ia memandang tajam penuh selidik.
"Apa? Engkau kehilangan ingatanmu? Bagaimana bisa terjadi demikian dan kapan terjadinya?"
"Bagaimana aku tahu, nek? Yang kuingat hanyalah bahwa kepalaku terpukul batu yang dilontarkan seorang musuh yang lihai. Aku lupa segala dan ada dorongan dalam hatiku untuk pergi keluar Tembok Besar dan di sinilah aku. Aku bertemu dengan Kiu-bwe Coali yang sejak dahulu menjadi musuh besarku. Akan tetapi aku tidak mengenalnya dan baru aku tahu setelah ia memberi minum racun dan aku terjatuh ke dalam tangannya, aku ditawan dan ia mengaku bahwa ia adalah musuh besarku. Hampir aku tewas olehnya, akan tetapi untung muncul Cia Sun yang menolongku. Menurut Sun-twako, antara aku dan dia masih ada hubungan dekat, akan tetapi akupun sudah tidak ingat lagi siapa dia. Dia berusaha mengobatiku dari pengaruh racun yang melumpuhkan, dan engkau muncul..."
Nenek itu tertarik sekali dan mengangguk-angguk.
"Ah, kalau begitu, selain menyembuhkan engkau dari keracunan, akupun harus berusaha membangkitkan kembali ingatanmu itu, nona."
Sui Cin memandang tajam.
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa, nek? Mengapa engkau hendak menolongku dengan cara seperti itu? Memisahkan aku dari Sun-twako dan menyuruh harimau peliharaanmu itu untuk membawaku ke sini?"
"Nona, di tengah jalan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coali dan iblis itu tanpa sebab menyerangku. Akan tetapi akhirnya ia tewas oleh ulahnya sendiri, terjatuh ke dalam jurang. Lalu ketika aku melanjutkan perjalanan, aku melihat engkau sedang diobati oleh pemuda itu. Aku dapat menduga bahwa engkau tentu terluka oleh Kiu-bwe Coali. Aku merasa kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu, akan tetapi juga aku dapat menduga bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat tinggi, dan agaknya hanya engkau lah yang akan mampu membantuku menyelesaikan sebuah persoalan. Akan tetapi aku tidak mau kalau pemuda itu mencampurinya, maka aku lalu menggunakan akal untuk memancingnya meninggalkanmu dan aku menyuruh Houwcu untuk membawamu ke sini."
Sui Cin mengerutkan alisnya. Tahulah ia kini bahwa nenek ini hendak menolongnya, akan tetapi juga hendak minta bantuannya. Pertolongan yang bersyarat, pikirnya.
"Nenek yang baik, hendaknya engkau ketahui lebih dahulu bahwa kalau minta bantuanku untuk melakukan kejahatan, aku tidak sudi dan biarlah aku tidak menerima pengobatanmu!"
Nenek itu tertawa.
"Nona, sekali lagi kukatakan bahwa jangan engkau menyamakan aku dengan mendiang Kiu-bwe Coali."
"Sungguh aneh sekali. Engkau yang mampu mengalahkan bahkan membunuh seorang iblis seperti Kiu-bwe Coali, masih mengharapkan bantuanku. Apakah yang dapat kulakukan untuk seorang sakti seperti engkau?"
"Sudahlah, tidak perlu engkau membuang banyak tenaga. Mari kuobati engkau lebih dulu, baru nanti kuceritakan apa yang harus kau lakukan untukku. Mari, kau minumlah obat ini dan racun ular itu akan menjadi tawar dan kelumpuhanmu akan lenyap, tenagamu akan pulih kembali."
"Tapi... tapi engkau belum menceritakan syaratmu..."
Sui Cin meragu.
"Tidak usah. Biar kusembuhkan dulu engkau, baru kemudian kuceritakan dan andaikata engkau menganggap syarat itu terlalu berat atau tidak berkenan di hatimu, engkau boleh tidak usah melakukannya. Nah, kau tahu sekarang bahwa aku tidak berniat buruk. Minumlah dan engkau akan sembuh."
Sui Cin yang tahu bahwa kalau ia tidak minum obat, keselamatannya tentu terancam maut, maka iapun lalu nekat. Memang benar ucapan nenek ini, kalau nenek ini bermaksud buruk dan hendak membunuhnya, apa sukarnya? Apa perlunya nenek ini susah-susah membawanya ke sini dan memberinya obat kalau maksudnya buruk? Ia lalu menerima mangkok itu dan minum isinya. Cairan berwarna coklat itu rasanya tidaklah seburuk rupanya. Baunya sedap dan rasanya agak manis, maka tanpa ragu-ragu lagi diminumnya obat itu sampai habis. Tiba-tiba ia merasa betapa dalam perutnya bergerak-gerak dan terdengar suara berkeruyukan seperti perut yang lapar sekali. Ia terkejut dan memandang nenek itu dengan tajam. Akan tetapi nenek Yelu Kim tersenyum.
"Nona, kau duduklah bersila dan cobalah perlahan-lahan menghimpun tenagamu. Jangan tergesa-gesa, kalau pintu pusar sumber tiantian sudah terbuka, salurkan tenagamu perlahan-lahan agar tidak merusak jaringan syaraf yang penting. Nah, mulailah. Lebih baik pejamkan matamu."
Sui Cin menurut dan iapun bersila. Makin lama makin keras gerakan dalam perutnya dan perlahan-lahan ia merasa betapa hawa panas bangkit dari pusarnya dan ada kekuatan yang naik. Ia lalu menguasai tenaga itu dan perlahan-lahan menyalurkannya ke seluruh tubuh, perlahan-lahan dan hati-hati sampai ia merasa biasa kembali dengan tenaga sakti yang tadi seperti tenggelam itu. Tak lama kemudian ia merasa segar dan sehat kembali dan dibukanya kedua matanya. Nenek Yelu Kim berdiri memandang kepadanya dengan senyum ramah. Kini lenyaplah keraguan dari hati Sui Cin dan iapun cepat bangkit dan memberi hormat kepada wanita itu, malu kepada diri sendiri mengingat betapa ia tadi bersikap kasar dalam keraguannya.
"Harap locianpwe sudi memaafkan kekasaranku tadi dan terima kasih atas pertolongan locianpwe."
Nenek itu tersenyum.
"Nantl dulu, aku ingin melihat apakah aku tidak salah menilai orang. Nona, sambutlah seranganku ini!"
Dan kebutan di tangannya bergerak menyambar, ujung kebutan melakukan totokan kilat ke arah pundak Sui Cin. Gadis ini terkejut, namun otomatis ia bergerak mengelak dan setelah ia mengerti bahwa nenek itu hendak mengujinya, maka iapun bergerak lincah menghadapi serangan kebutan bertubi-tubi itu, bahkan berani menangkis menggunakan tenaga sinkangnya.
"Plakk!"
Tangkisannya itu membuat Yelu Kim terhuyung ke belakang dan nenek ini menjadi semakin girang. Ia mempercepat gerakan kebutannya, akan tetapi segera ia merasa pusing setelah Sui Cin menggunakan ginkangnya yang istimewa. Nenek ini dapat menghilang dengan bantuan sihirnya, akan tetapi sekarang ia menghadapi kecepatan Sui Cin, ia menjadi bingung karena Kadang-kadang bayangan gadis itu seperti lenyap dan tahu-tahu telah berada di samping atau belakangnya. Ia melompat mundur dan memandang kagum.
"Cukup, cukup! Aih, girang hatiku karena aku sama sekali tidak kecewa. Engkau bahkan melampaui semua harapan dan dugaanku, nona."
"Ah, locianpwe terlalu memuji. Sekarang harap locianpwe ceritakan, bantuan apakah yang dapat kulakukan untukmu!"
Nenek itu kembali tersenyum.
"Nanti dulu, nona, jangan tergesa-gesa. Urusan itu penting sekali dan aku tidak mau bantuan orang untuk mewakiliku tanpa kukenal benar siapa adanya orang itu. Karena itu, biarlah aku akan mencoba untuk menyembuhkan dulu luka di dalam kepalamu yang membuatmu kehilangan ingatan itu."
Sepasang mata Sui Cin terbelalak dan wajahnya berseri saking girangnya.
"Locianpwe dapat menyembuhkan aku dan mengembalikan ingatanku yang hilang?"
Tanyanya penuh harapan. Nenek itu mengangguk.
"Mudah-mudahan demikian agar tidak percuma sebutan semua rakyat Mongol yang menyebut aku Dewi Penyelamat. Marilah masuk ke dalam kamarku dan aku akan mulai dengan pengobatan itu, nona. Akan tetapi engkau harus percaya penuh kepadaku dan bersabar karena mengobati bagian kepala harus sangat hati-hati dan teliti."
Demikianlah, nenek Yelu Kim yang ternyata memiliki ilmu pengobatan yang tinggi itu memeriksa kepala Sui Cin dan mulai memberi pengobatan dengan urutan-urutan pada jalan darah dan juga memberi obat minum yang rasanya amat pahit. Namun Sui Cin yang sudah menaruh kepercayaan penuh kepada nenek yang ramah itu mentaati semua petunjuknya dengan sabar. Kemudian ia melihat betapa nenek ini dibantu oleh beberapa orang pelayan wanita Mongol yang datang setiap kali tenaga mereka diperlukan dan agaknya mereka itu tinggal di luar gua yang hanya ditempati nenek Yelu Kim seorang diri saja. Juga ia melihat betapa harimau besar yang pernah mengejutkannya itu ternyata adalah seekor binatang yang amat jinak jika berada di dekat nenek Yelu Kim. Bahkan ia sendiri mulai bersababat dengan binatang itu yang agaknya mengerti bahwa ia bukanlah seorang musuh melainkan seorang kawan baik.
Hui Song memasuki kota kecil yang merupakan benteng terakhir di daerah utara dari pasukan pemerintah. Benteng itu berada di dekat Tembok Besar, sebelah selatan tembok dan penduduknya cukup banyak karena kota Sanhaikoan ini benar-benar merupakan kota dekat laut dan gunung. Penghuninya sebagian besar adalah orang-orang Han utara, akan tetapi banyak juga terdapat orang-orang Mongol dan Mancu, yaitu para pedagang yang datang dari luar Tembok Besar. Karena kota benteng ini merupakan pertahanan terakhir dari pemerintah Kerajaan Beng. Pada waktu itu, kekuasaan Kerajaan Beng meliputi daerah yang cukup luas. Ke selatan sampai lautan dan propinsi paling selatan adalah Kiangsi dan Yunnan, ke barat hanya sampai Secuan dan Shensi saja dan ke utara hanya sampai batas Tembok Besar.
Tentu saja luasnya wilayah ini merupakan warisan atau rampasan dari kekuasaan Kerajaan Goan atau penjajah Mongol yang memang berambisi untuk memperluas wilayah. Sanhaikoan merupakan kota penghubung antara Tiongkok dan daerah Mongol dan Mancu, dan menjadi satu di antara benteng-benteng terakhir di utara, dan merupakan benteng terakhir dan terkuat di daerah timur laut. Karena itu, benteng ini diperkuat dengan pasukan yang cukup besar, dipimpin oleh seorang gubernur yang dibantu oleh seorang panglima perang. Karena letaknya di tepi lautan, di tepi teluk besar Pohai, maka sebagian besar dari pada penghuninya adalah pelautpelaut dan nelayan yang biasa bekerja keras, di samping banyak pula yang menjadi pedagang karena ramainya lalulalang di daerah perbatasan ini. Kotanya cukup besar, banyak terdapat rumah makan dan rumah penginapan.
Akan tetapi, penjagaan kota itu cukup ketat dan para penjaga keamanan selalu mengadakan pemeriksaan untuk mencegah terjadinya kerusuhan di kota benteng itu. Ketika Hui Song memasuki kota itu, dia melihat banyak orang, kesemuanya pria, menuju ke satu jurusan. Dia sedang melakukan penyelidikan dan pencarian terhadap diri Sui Cin, maka melihat ramainya orang pergi ke jurusan tengah kota, diapun lalu menyusup di antara banyak orang sambil bertanya-tanya. Siapa tahu dia akan bertemu dengan Sui Cin di pusat keramaian, karena dia tahu bahwa Sui Cin suka sekali menyamar sebagai pria. Dia tersenyum geli kalau teringat akan hal itu. Betapa bodohnya dia dahulu, kena dipermainkan gadis itu yang menyamar sebagai pria dan dia sama sekali tidak tahu bahwa "pemuda gembel"
Yang lucu dan jenaka itu adalah Sui Cin! Akan tetapi sekarang, biar gadis itu akan menyamar seribu kali, dia pasti akan dapat mengenalnya.
"Sobat, ada peristiwa apakah maka orang-orang begini banyak berbondong-bondong ke suatu arah? Ke manakah kalian hendak pergi?"
Tanyanya kepada seorang laki-laki brewok yang wajahnya membayangkan keramahan. Orang itu memandang kepada Hui Song dan memicingkan matanya.
"Hemm, agaknya engkau baru datang dari selatan, ya?"
"Benar,"
Hui Song menjawab terus terang.
"aku sedang melancong."
Si brewok itu menggeleng kepala.
"Aihh, melancong dalam waktu begini, sungguh berbahaya."
"Eh, ada apakah?"
"Negara sedang tidak aman. Didesas-desuskan orang bahwa akan ada pemberontakan besar. Karena itu, sejak sepekan ini, Kok-taijin dan Ji-ciangkun mengadakan sayembara penerimaan perwira-perwira baru, juga perajurit-perajurit cadangan untuk menjaga kalau-kalau benteng ini diserang musuh."
"Ah, begitukah? Sayembara apakah itu?"
"Tentu saja semacam pibu (adu kepandaian silat). Setiap orang yang mampu mengalahkan pengujinya, akan diterima. Akan tetapi jangan harap untuk dapat mengalahkan penguji untuk penerimaan calon perwira itu. Kalau hendak masuk perajurit, boleh saja karena pengujinya tidak begitu berat. Akan tetapi penguji para calon perwira itu, waah, luar biasa sekali. Raksasa itu tak terkalahkan sehingga dalam sepekan ini, belum ada seorangpun yang lulus ujian! Dan hari ini kami semua ingin melihat apakah masih ada orang berani menghadapi raksasa itu."
Hati Hui Song tertarik sekali dan diapun ikut bersama rombongan orang yang berduyun menuju ke alun-alun, semacam lapangan rumput yang luas dan yang berada di tengah kota. Kota itu memang merupakan kota tentara, dikurung tembok benteng yang tinggi dan kokoh kuat, dan di dalamnya terdapat pula lapangan-lapangan untuk berlatih baris dan olah raga bagi para perajurit.
Ternyata di tempat itu sudah terdapat banyak orang. Mereka berdiri mengepung sebuah panggung yang tingginya setombak dan di belakang panggung itu terdapat sebuah bangunan kecil di mana duduk seorang pembesar sipil dan seorang pembesar militer yang dijaga oleh belasan orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Dan di atas panggung berdiri seorang laki-laki yang tinggi besar. Hui Song dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki tenaga yang amat besar. Dia sendiri mungkin hanya setinggi leher orang itu dan tubuhnya tidak ada setengahnya dibandingkan dengan tubuh raksasa itu. Kepalanya gundul, akan tetapi alisnya tebal dan hitam, kepala itu besar, dengan sepasang telinga yang lebar, mulut, hidung dan matanya juga besar. Tubuhnya yang hanya memakai cawat menutupi pinggul dan selangkangnya itu, kelihatan menyeramkan.
Pada bagian dada, lengan, paha dan betis ditumbuhi rambut yang panjang-panjang seperti monyet. Selain cawat itu, betisnya diikat semacam tali hitam dan sepatunya berwarna abuabu. Perutnya besar gendut, akan tetapi penuh kekuatan dan nampak keras. Lengan dan kakinya juga penuh tonjolan dan gembungan otot-otot yang kekar. Pundaknya seperti pundak sapi jantan. Pendeknya, raksasa ini cukup menakutkan bagi orang yang harus menghadapinya sebagai lawan. Dan melihat bentuk mukanya, Hui Song dapat menduga bahwa raksasa itu tentu bukan Bangsa Han, melainkan suku Mongol atau Mancu. Dan melihat dandanannya yang hanya mengenakan cawat, diapun dapat menduga bahwa orang itu tentu ahli silat yang amat kuat. Seorang pengawal yang agaknya bertugas sebagai tukang bicara, dengan suara lantang berkata sambil berdiri di sudut panggung,
"Saudara-saudara sekalian! Bagi mereka yang belum mengenalnya, kami perkenalkan penguji calon perwira yang diajukan oleh Ji-ciangkun, dan inilah dia jagoan kami, ahli gulat yang bernama Moghul!"
Pegulat raksasa itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan memberi hormat ke empat penjuru disambut tepuk sorak para penonton yang kagum kepadanya karena selama ini belum ada seorangpun mengalahkannya. Akan tetapi banyak juga di antara penonton memandangnya penuh kebencian.
"Biarkan aku maju menghadapinya, paman,"
Kata seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berbaju hitam dan nampaknya gagah. Hui Song memperhatikan percakapan antara orang ini dan seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berada di tempat itu pula, tidak jauh darinya.
"Aih, sudahlah, Bianji, jangan mencari penyakit. Engkau tidak tahu, selama beberapa hari ini sudah ada belasan orang-orang gagah yang naik melawannya, hanya untuk menjadi bulanbulan dan permainannya, kemudian dilempar ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, sedikitnya tentu tulang lengan atau kaki mereka patah-patah. Dia lihal sekali, kuat dan kebal,"
Kata yang tua.
"Akan tetapi aku tidak takut, paman. Bukankah aku sudah mempelajari silat bertahun-tahun?"
Bantah yang muda.
"Ah, apa kau kira belasan orang muda yang maju pada hari-hari yang lalu itupun bukan ahli-ahli silat? Percuma saja, mereka itu satu demi satu, begitu tertangkap oleh tangan raksasa itu, tidak mampu berkutik, dibanting, ditekuk dan dipatah-patahkan tulangnya."
"Saudara-saudara sekalian,"
Kembali tukang bicara itu berteriak nyaring.
"Sampai hari ini belum ada seorangpun calon perwira yang lulus! Apakah benar di kota kita ini tidak ada orang gagah? Kami hanya membutuhkan lima sampai sepuluh orang saja. Tidak perlu mengalahkan Moghul, asal dapat bertahan melawan dia sampai habis terbakarnya sebatang hio saja sudah dianggap lulus. Kamipun tahu bahwa tidak ada orang yang akan mampu menandingi dan mengalahkan Moghul, si manusia gajah! Ucapan itu merupakan tantangan. Dengan mengatakan pertanyaan apakah di kota Sanhaikoan tidak ada orang gagah, pertanyaan yang sengaja dikeluarkan oleh si pembicara tadi, si pembicara membangkitkan amarah dan penasaran dalam hati orang-orang yang merasa mempunyai kepandaian.
"Paman, aku akan mencoba..."
Pemuda baju hitam tadi segera melangkah maju mendekati panggung.
"Abian... jangan..."
Pamannya mencegah, akan tetapi si baju hitam itu sudah meloncat naik ke atas panggung. Gerakannya cukup cekatan ketika meloncat dan para penonton menyambut penantang pertama ini dengan sorakan dan tepuk tangan memberi semangat. Si baju hitam itu lalu menghampiri bawah panggung tempat duduk dua orang pembesar dan memberi hormat.
"Hamba Kui Bian mohon perkenan paduka untuk mencoba kebodohan hamba."
Ji-ciangkun memberi isyarat dengan tangannya.
"Majulah dan mudah-mudahan engkau dapat lulus."
Seorang pengawal siap dengan sebatang hio dan dinyalakannya ujung itu. Asap mengepul dan hio itu ditancapkan di tempat hio yang ditaruh di sudut depan panggung yang luas tempat bertanding itu. Si baju hitam lalu bangkit dan menghampiri raksasa. Moghul yang sudah siap dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mulut menyeringai, lagaknya memandang rendah sekali. Si baju hitam kini menghadapi Moghul dan sudah memasang kuda-kuda dengan sikap gagah. Akan tetapi raksasa itu hanya memandang saja dan menyeringai, dan melihat si baju hitam diam saja, diapun berkata dengan bahasa Han yang kaku,
"Majulah, hio telah menyala."
Si baju hitam tiba-tiba berteriak,
"Lihat serangan!"
Dan diapun menggerakkan tubuhnya yang meluncur ke depan. Ternyata dia menggunakan tendangan dengan tubuh seperti terbang dan kedua kakinya itu meluncur ke arah dada si raksasa Mongol. Agaknya Moghul tidak menduga akan diserang seperti ini, maka dia terkejut sekali dan tidak mampu mengelak atau menangkis.
"Blukk..."
Sepasang kaki itu menghantam dada telanjang itu dengan kuat sekali dan akibatnya, tubuh yang besar itu terjengkang ke atas papan panggung, menimbulkan suara berdebuk nyaring.
Sementara itu, si baju hitam sudah berjungkir balik dan tubuhnya sudah berdiri kembali ke atas papan dengan tegak. Sorak-sorai menyambut jatuhnya si raksasa ini dan Hui Song melihat betapa pembesar sipil yang duduk di atas panggung itu mengangguk-angguk sambil tersenyum girang dan mengelus jenggotnya. Agaknya pembesar ini girang melihat bahwa akhirnya muncul seorang gagah yang mampu merobohkan si raksasa dalam satu serangan saja. Sementara itu, Ji-ciangkun mengerutkan alisnya, agaknya tidak senang melihat jatuhnya jagoannya. Memang tubuh raksasa Moghul itu kebal. Kiranya tendangan yang amat keras dan membuat dia terjengkang itu sama sekali tidak melukainya. Sebelum lawan sempat menyerang lagi, dia sudah meloncat bangun dan gerakannya ini amat mengherankan.
Sukar dapat dipercaya seorang yang segendut dia dapat bergerak demikian cepatnya. Dengan marah Moghul balas menyerang. Dia mementang kedua lengannya seperti seorang jago gulat atau seperti seekor biruang yang hendak menerkam, kemudian menerjang ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri hendak menangkap kedua pundak lawan. Akan tetapi si baju hitam itu cukup gesit, dengan gerakan yang cepat dia menyelinap di antara kedua tangan itu dan meloncat ke samping dan kembali melayang dan kedua kakinya menerjang dengan tendangan terbang seperti tadi, akan tetapi sekali ini dari samping kanan Moghul. Raksasa ini agaknya kini tahu akan kelihaian lawan, terutama tendangan terbang yang berbahaya itu. Maka diapun lalu menangkis dengan lengan kanannya yang besar.
"Bresss..."
Dan kembali dia terguling. Biarpun dia dapat menangkis, namun tenaga tendangan kedua kaki yang dibantu berat badan yang melayang itu agaknya tidak mampu ditahannya dan untuk kedua kalinya dia roboh terpelanting. Agaknya si baju hitam itu sudah lama mengamati gerakan si raksasa Moghul dan tahu bagaimana untuk mengalahkannya, maka dia menggunakan tendangan-tendangan terbang itu untuk menyerang secara tiba-tiba dan dengan kekuatan yang amat besar. Sekali ini si raksasa Mongol itu agak terlambat bangun dan agaknya kesempatan ini hendak dipergunakan oleh si baju hitam untuk mencari kemenangan. Diapun sudah meloncat ke depan untuk mengirim tendangan beruntun. Akan tetapi, tiba-tiba saja Moghul mengulur tangan dan dengan kecepatan kilat, jari-jari tangannya yang besar itu telah menangkap kaki kiri lawan!
Si baju hitam mengeluarkan seruan kaget, kakinya terasa nyeri seperti dijepit jepitan baja dan ketika Moghul yang masih mencengkeram kakinya itu meloncat bangun, tubuh si baju hitam hampir terbanting dan kakinya terangkat pula ke atas. Akan tetapi, selagi Moghul menyeringai girang karena melihat akalnya yang pura-pura lambat bangun tadi kini berhasil, tiba-tiba si baju hitam mengeluarkan bentakan keras dan kaki kanannya menyambar ke atas, ke arah muka lawan. Moghul terkejut. Kalau hanya tubuhnya yang ditendang, dia dapat menerimanya dengan lindungan kekebalannya. Akan tetapi kini yang diserang adalah mukanya di mana terdapat bagian-bagian yang tidak mungkin bisa kebal seperti mata dan hidung. Dan tendangan itu cepat bukan main datangnya, lagi tidak terduga-duga.
"Desss..."
Cengkeraman tangan pada kaki kiri si baju hitam itu terlepas dan Moghul terhuyung ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya. Hidungnya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Kembali terdengar sorak-sorai menyambut kemenangan si baju hitam ini, dan juga Kok-taijin tersenyum girang akan tetapi Ji-ciangkun menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut. Akan tetapi Moghul belum kalah karena dia hanya menderita luka ringan saja, berdarah pada hidungnya. Dia menekan batang hidungnya dan darah itupun berhenti mengalir. Kini matanya agak kemerahan dan mulutnya membayangkan kemarahan besar. Dan hio yang bernyala itupun belum padam, baru terbakar setengahnya. Dengan demikian berarti bahwa si baju hitam belum menang. Menurut peraturannya, kalau dia dapat bertahan sampai hio itu habis terbakar,
Atau kalau dia dapat merobohkan Moghul sampai si raksasa itu mengaku kalah, barulah calon perwira itu dinyatakan menang. Kini Moghul menerjang maju dengan kedua lengan bergerak mencengkeram dari atas ke bawah. Melihat serangan yang ganas ini, si baju hitam kembali menyambutnya dengan tendangan. Agaknya si baju hitam itu tidak mempunyai akal lain kecuali hendak mengalahkan lawan dengan tendangan-tendangannya yang memang ampuh. Dia tidak tahu bahwa Moghul, selain kebal dan bertenaga besar, juga memiliki kecerdikan. Begitu melihat lawan menyambutnya dengan tendangan, Moghul juga menggerakkan kakinya ke depan, menerima tendangan kaki kanan lawan itu dengan kaki kanannya sendiri. Dua batang kaki menyambar, sebatang amat kecil dibandingkan dengan kaki Moghul.
"Bresss..."
Dua batang kaki itu bertemu dan kini tubuh si baju hitam yang terpelanting keras, lalu terguling-guling di atas papan panggung. Semua penonton terdiam dan Kok-taijin mengerutkan alisnya. Juga Hui Song mengerutkan alisnya, bukan karena kekalahan si baju hitam, melainkan karena dia melihat betapa si raksasa itu curang. Mungkin hanya dia yang tahu, juga tentunya si baju hitam, bahwa di sebelah dalam kain yang dilibat-libatkan di betis raksasa itu, yang diikat dengan tali-temali, tersembunyi perisai baja! Tentu saja kaki si baju hitam yang terdiri dari kulit daging dan tulang,
Harta Karun Jenghis Khan Eps 5 Harta Karun Jenghis Khan Eps 1 Siluman Gua Tengkorak Eps 5