Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 7


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Sepasang mata Sui Cin berkilat dan iapun menahan senyum geli. Tapi dengan galak ia menghardik.

   "Kurang ajar, apa maksudmu menyebutku nona manis segala? Mau ceriwis dan kurang ajar engkau, ya?"

   "Lhoh! Disebut nona manis kok marah, bagaimana sih? Apa lebih suka kalau kusebut engkau nona jelek dan galak?"

   "Plak-plak... dukkkk!"

   Nyaris Hui Song terkena pukulan ketika dia bicara lalu kesempatan itu dipergunakan oleh Tho-tee-kwi untuk mendesak hebat.

   "Rasakan kau hampir mampus!"

   Sui Cin mengejek.

   "Aku tidak sudi disebut nona manis, juga tidak mau disebut nona jelek dan galak!"

   Pada saat ia bicara tentu saja perhatiannya kurang tercurah kepada dua orang lawannya sehingga seperti juga Hui Song, ia terdesak oleh pecut baja dan pedang lawan. Akan tetapi karena ilmu silatnya memang hebat dan jauh lebib lihai dibandingkan dua orang pengeroyoknya, begitu memutar payungnya, ia mampu menggagalkan semua serangan itu dan balas mendesak lagi. Hati Hui Song semakin gembira. Dia melirik dan melihat bahwa gadis itu masih muda sekali, baru sekitar lima belas atau enam belas tahun usianya, pakaiannya seperti gelandangan akan tetapi bersih, wajahnya manis dan gerakannya lincah, mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya bengal. Seorang gadis yang panas dan hidup, cocok dengan dia, pikirnya.

   "Wah, lalu menyebut apa? Baiklah, kusebut nona yang setengah manis setengah galak... wuuuuttt..."

   Dia terpaksa melempar tubuh ke belakang dan tidak berani banyak cakap lagi karena kakek raksasa itu telah mendesaknya lagi dan tentu akan selalu menggunakan kesempatan selagi dia bicara untuk merobohkannya. Setelah kini kedua orang muda itu tidak lagi bicara, mereka dapat menghadapi lawan dengan baik dan tiga orang datuk sesat itupun maklum bahwa keadaan tidak menguntungkan bagi mereka. Selain itu, kini mereka sudah dapat mengenal dengan samar-samar ilmu silat mereka dan diam-diam mereka bertiga merasa gentar. Mereka mengenal gerakan-gerakan ilmu silat tinggi dari Cin-Ling-Pai!

   "Kita pergi!"

   Tiba-tiba raksasa itu berseru dan dia mengeluarkan gerengan hebat sambil menghentakkan kakinya. Sui Cin sendiri sampai kaget setengah mati dan tergetar kaki dan hatinya, maka iapun meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk meloncat jauh dan melarikan diri bersama raksasa itu yang kini agaknya menyimpan kekuatannya sehingga ketika melarikan diri tidak terdengar derap kakinya yang biasanya berat itu.

   Hui Song tidak mengejar lawannya. Selain tidak mempunyai permusuhan pribadi, juga dia tahu betapa besar bahayanya mengejar seorang datuk sesat seperti Tho-tee-kwi itu yang tentu untuk menyelamatkan diri tidak segan-segan mempergunakan caracara yang keji dan curang. Sui Cin juga tidak mengejar karena ia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. Ia merasa tertarik sekali karena dalam perkelahian tadi iapun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat pemuda itu yang mengingatkan ia kepada Cia Sun. Seingatnya, paman gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ah, tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara seperguruan Cia Sun!

   Di lain fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Diapun tadi melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan banyak mengenal jurus-jurusnya. Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo! Diapun menduga-duga. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari Cin-Ling-Pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali di antara murid-murid Cin-Ling-Pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga. Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-Ling-Pai telah hidup terpisah dari Cin-Ling-Pai dan mereka tentu telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada murid-murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang dapat memainkan ilmu-ilmu silat Cin-Ling-Pai,

   Akan tetapi melihat kehebatan gadis remaja ini, jelas bahwa ia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis ini? Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan karena keduanya memiliki keterbukaan yang sama. Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling pandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut pandang. Pandang mata pemuda itu penuh kagum dan agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya, seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu sebentarpun juga. Sui Cin cemberut, menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata,

   Maka iapun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang ahli silat, sejak kecil ia sudah digembleng oleh ayah bundanya untuk mempertajam panca inderanya, terutama sekali mat. Dengan air garam yang dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka tanpa berkedip dan dengan latihan seperti itu, pandang matanya menjadi tajam. Ia mampu mengikuti gerakan senjata lawan, dan ia mampu bertahan tidak berkedip sampai berjam-jam! Akan tetapi, pandang mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti menggelitiknya dan membuatnya tidak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi, apa pula setelah ia merasa darahnya naik dan api kemarahannya berkobar. Jari tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak,

   "Kau melihat apa? Matamu melotot seperti mata iblis!"

   Dibentak demikian, Hui Song baru sadar bahwa sejak tadi dia memandang dengan bengong. Dia dapat merasakan keadaan yang lucu di antara mereka, maka diapun tersenyum lebar.

   "Masih cengar-cengir lagi, seperti monyet!"

   Sui Cin makin marah karena merasa ditertawakan. Orang yang sedang dikuasai nafsu amarah memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa dianggap mengejek. Serba susahlah kalau hati diracuni nafsu amarah. Akan tetapi, karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara itu nampak lebih manis dan lucu. Makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!

   "Ha-ha-ha, sungguh lucu engkau, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini.... eh, hebat? Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!"

   Dia tidak mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya, takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya ceriwis.

   "Apa hebat? Apa maksudmu dengan kata hebat itu?"

   Tanya Sui Cin, akan tetapi suaranya masih marah. Kini terpaksa Hui Song berterus terang.

   "Engkau hebat... karena engkau begini cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan tetapi matamu melotot jernih seperti mata... bidadari."

   "Engkau laki-laki... cabul..."

   Sui Cin membentak dan payungnya sudah bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!

   "Wuuutt... singgg... Heeiiittt..."

   Hui Song cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri kembali dan matanya semakin terbelalak.

   "Wah, tahan dulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih? Tadi engkau membantuku menghadapi iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau menyelamatkan nyawaku, akan tetapi kenapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi... sate, kau tusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?"

   "Manusia ceriwis, cabul, sialan!"

   Sui Cin menyerang terus dan kini Hui Song mendapatkan kegembiraan lain, yaitu dia memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang dikagumi ini dan yang juga mengherankan hatinya melihat Jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai Jurus-jurus keluarga Cin-Ling-Pai. Akan tetapi, karena dia tahu benar betapa hebat dan berbahayanya ilmu silat dara itu, dan bahwa watak keras dara itu membuat serangan-serangannya tidak main-main lagi,

   Diapun tidak berani memandang rendah dan terpaksa dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menandangi Sui Cin. Dengan hati penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu sedemikian lihainya sehingga tidak mungkin dia bertahan terus tanpa balas menyerang, karena hal itu amat berbahaya. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun untuk bertahan diri dan Kadang-kadang membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang. Di lain plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar amat mahir dalam dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir dari pada ia sendiri. Sampai lima puluh jurus mereka berkelahi dan belum juga ujung payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.

   "Tahan dulu..."

   Tiba-tiba Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang. Sui Cin menghentikan gerakannya, akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi. Mukanya merah, dahi dan lehernya agak basah oleh peluhnya dan matanya bersinar-sinar.

   "Belum ada yang kalah kenapa berhenti?"

   Bentak Sui Cin penasaran. Hui Song tersenyum dan wajahnya bersungguh-sungguh.

   "Terus terang saja, selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh ketika iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau merupakan lawan yang lebih tangguh lagi dari pada mereka. Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa kita berdua adalah saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid Cin-Ling-Pai..."

   "Aku bukan murid Cin-Ling-Pai!"

   Bentak Sui Cin.

   "Apa Kau kira hanya putera ketua Cin-Ling-Pai saja yang mampu bersilat?"

   Sepasang mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar, sinar kebengalan kembali membuat matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum. Sui Cin sendiri tersenyum di dalam hati dan mengaku bahwa tidak mungkin marah-marah terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.

   "Wah, aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata mengenalku sebagai putera ketua Cin-Ling-Pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya dirimu. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu mempunyai hubungan dengan Cin-Ling-Pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal ketua Cin-Ling-Pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum bertunangan, apalagi menikah!"

   Geli juga hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini membentuk senyum, walaupun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.

   "Siapa perduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua puluh satu atau lima puluh satu!"

   Jawabnya, kemudian ia meninggalkan pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi. Melihat dara yang dikaguminya itu pergi, Hui Song terkejut.

   "Eh, nanti dulu nona, aku belum berkenalan..."

   Akan tetapi Sui Cin mempercepat langkahnya dan kini ia mengerahkan ginkangnya berlari cepat seperti terbang. Melihat ini, Hui Song penasaran dan diapun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, mengejar sekuat tenaga. Dua orang muda itu berkejaran seperti sedang berlomba lari. Kembali keduanya merasa kagum karena ternyata dalam hal ilmu berlari cepat merekapun memiliki tingkat yang seimbang! Sui Cin mulai merasa lelah dan iapun cepat mengambil jalan memutar menuju ke tempat di mana tadi ia meninggalkan kudanya. Melihat kudanya yang kecil itu masih enak-enak makan rumput di bawah pohon, ia lalu mencengklaknya dan membalapkan kudanya!

   "Heiii, tunggu..."

   Hui Song penasaran sekali dan terus mengejar. Tadinya dia memandang rendah ketika melihat gadis yang dikejarnya itu menyambung larinya dengan naik kuda. Kuda sekecil itu, mana mampu lari cepat, pikirnya. Akan tetapi dia menjadi kaget dan penasaran sekali ketika melihat betapa kuda katai itu ternyata dapat berlari cepat dan kuat sekali, bahkan tidak kalah ketimbang larinya kuda besar! Dan kuda itu napasnya kuat sekali sehingga ketika napasnya sendiri sudah seninkemis, kuda itu masih terus membalap. Akhirnya Hui Song terpaksa mengalah, berhenti berlari kalau dia tidak mau napasnya putus. Dia berhenti dan mengamang-amangkan tinjunya dengan gemas ketika melihat Sui Cin menoleh dan mentertawakannya dengan suara ketawa nyaring memanaskan hati!

   Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Pada dasarnya memang ada daya tarik yang amat kuat antar lawan jenis, antara pria dan wanita dan daya tarik ini adalah alamiah, sesuai dengan kekuatan Im dan Yang, dua kekuatan yang saling berlawanan, saling tarik, yang membuat bumi berputar, yang membuat segala sesuatu menjadi hidup berkembang. Seorang pria, setelah memasuki masa remaja dan akil balikh, akan tertarik melihat seorang wanita, atau sebaliknya. Hal ini sudah wajar. Kelenjar-kelenjar dalam tubuh bekerja, otak yang penuh ingatan bekerja, dan tentu saja, rasa tertarik itu diperkuat dengan adanya selera sehingga menimbulkan pilihan-pilihan menurut selera masing-masing. Dan ini tentu saja penting sekali karena kalau selera kaum pria serupa, tentu setiap orang wanita akan diperebutkan oleh banyak pria, atau juga sebaliknya.

   Pertemuan pertama antara pria dan wanita, terutama yang cocok dengan selera masing-masing, menimbulkan kesan pertama. Akan tetapi, hal ini tidak atau jarang sekali berarti timbulnya rasa cinta asmara. Rasa cinta asmara biasanya timbul setelah masing-masing bergaul dan berdekatan, setelah masing-masing mengenal keadaan satu sama lain. Betapapun juga, pertemuan pertama merupakan goresan awal yang bukan tidak mungkin berlanjut dengan perkenalan dan saling mencinta. Bunga-bunga api asmara suka berpijar di sudut kerling mata dan di ujung senyum bibir, dan apabila memperoleh bahan bakarnya, bunga api yang berpijar itu akan membakar hati. Dan kalau dua hati sudah saling mencinta, tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya. Dengan kekerasan, badan boleh dipisah, akan tetapi terikatnya dua hati yang saling mencinta akan dibawa sampai mati.

   Setelah kuda kecil yang membawa pergi Sui Cin lenyap tak dapat diikuti pandang mata lagi, Hui Song menjatuhkan diri di bawah pohon, di atas rumput gemuk, melepaskan lelah. Peluhnya membasahi badan dan dengan hati mengkal dia menyusut peluh dari muka dan lehernya. Hatinya mendongkol dan kecewa sekali. Tentu saja dia tidak dapat mengatakan apakah dia suka kepada dara itu, apalagi mencinta. Tidak, belum sejauh itu lamunannya. Dia hanya merasa amat tertarik dan ingin sekali mengenal dara itu, ingin tahu siapa adanya dara remaja yang usianya tentu paling banyak enam belas tahun itu, yang demikian lihainya, demikian manisnya, dan demikian bengalnya! Dia merasa tertarik melihat kesederhanaan dara itu, dengan pakaiannya yang bersahaja namun bersih, pakaian yang agak nyentrik dengan payung bututnya yang dapat dijadikan senjata ampuh. Dia menduga-duga siapa gerangan dara itu, anak atau murid siapa?

   Dia pernah mendengar dari ayahnya bahwa banyaklah pendekar-pendekar sakti yang masih ada hubungan dengan Cin-Ling-Pai, di antaranya yang amat terkenal adalah ketua Pek-liong-pai di Lembah Naga jauh di utara sana, kemudian Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah. Hanya itu yang diketahuinya, dan dia tidak pernah mendengar tentang keadaan mereka, apalagi tokoh-tokoh lain yang tidak diceritakan oleh ayahnya, akan tetapi yang menurut ayahnya banyak terdapat di dunia ini. Tidaklah mengherankan kalau ada ahli ilmu silat keluarga Cin-Ling-Pai, akan tetapi kalau yang menguasai ilmu itu seorang dara yang masih demikian muda akan tetapi sudah sedemikian mahirnya, tidak kalah oleh dia sendiri sebagai putera tunggal ketua Cin-Ling-Pai, maka hal itu tentu saja membuat dia penasaran dan harus dia ketahui siapa gerangan dara itu!

   "Bocah bengal! Awas kalau aku bertemu lagi denganmu!"

   Dia mengepal tinju dan cemberut, akan tetapi lalu dia tersenyum lebar. Kalau bertemu, apa yang akan dilakukannya? Dan mana mungkin dia marah-marah kepada dara selucu itu? Dan bagaimanapun juga, kalau tidak muncul dara itu yang membantu, bukan tidak mungkin dia celaka di tangan tiga orang iblis Cap-sha-kui tadi. Kalau bertemu lagi, apa yang akan dilakukannya terhadap dara itu?

   "Aku akan mengucapkan terima kasihku!"

   Akhirnya dia menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri. Hui Song bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya dan tiba-tiba saja, secara aneh sekali, dia merasakan suatu kelainan pada dirinya. Lain dari biasanya. Ada apa dengan hati ini, pikirnya. Dia merasa kesepian! Dunia nampak begini kosong dan sunyi sekali, tidak menggembirakan lagi. Mengapa begini? Dia mengepal tinju dan alisnya berkerut, suatu hal yang hampir tidak pernah terjadi pada dirinya yang selalu bergembira. Hati Hui Song murung karena kecewa oleh ulah Sui Cin yang meninggalkannya begitu saja tanpa memberi kesempatan untuk saling berkenalan.

   Yang membuat hatinya semakin penasaran adalah bahwa dara itu sudah mengenalnya sebagai putera ketua Cin-Ling-Pai sedangkan dia sendiri, mendugapun belum dapat siapa adanya dara itu! Dengan murung dia melanjutkan perjalanan, bermaksud untuk pulang ke Cin-ling-san dan menemui orang tuanya, bukan hanya untuk melaporkan tentang pertemuan yang gagal di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi terutama sekali dia hendak mencari keterangan dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang ada hubungannya dengan keluarga Cin-Ling-Pai, yang menguasai ilmu-ilmu silat Cin-Ling-Pai agar dia dapat menduga siapa adanya gadis manis itu. Pada keesokan harinya, tibalah dia di kota Cinan yang besar dan ramai. Kota ini ramai sekali terutama karena letaknya di tepi sungai Huangho.

   Dari kota ini, melalui sungai, orang dapat mengunjungi kota-kota besar, bahkan sampai di kota raja. Para saudagar dan pelancong hilir mudik mengunjungi kota Cinan sehingga kota ini menjadi makmur dan tokotoko serba lengkap dan besar. Tidak ada orang menaruh terlalu banyak perhatian terhadap diri Hui Song, seorang pemuda biasa yang pakaiannya bersahaja, kebesaran dan ada tambalan di sana-sini walaupun cukup bersih. Tidak ada seorangpun dapat menyangka bahwa pemuda tinggi besar yang berwajah gembira ini adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, putera tunggal ketua Cin-Ling-Pai, nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Hui Song adalah seorang pemuda yang berjiwa sederhana dan gembira. Biarpun dia putera ketua Cin-Ling-Pai dan dalam melakukan perjalanan itu dia membawa bekal uang secukupnya,

   Namun dia selalu makan di pasar, di warung-warung kecil dan tidurnyapun kebanyakan di kuil-kuil kosong atau di hutan, dan kalau terpaksa tidur di rumah penginapan, diapun memilih rumah penginapan yang kecil sederhana dan tidak banyak tamunya. Hari telah siang ketika dia memasuki Cinan. Pertama-tama yang dilakukannya adalah melakukan penyelidikan tentang Kang-Jiu-Pang. Dia mendengar bahwa pasukan pemerintah menyerbu pusat perkumpulan itu dengan tuduhan memberontak, akan tetapi tidak ada seorangpun anggauta Kang-Jiu-Pang yang tertangkap karena sarang itu sudah kosong tak tampak seorangpun anggauta Kang-Jiu-Pang. Mendengar ini, Hui Song tersenyum gembira. Dia bersimpati kepada perkumpulan orang-orang gagah ini yang dengan cara mereka sendiri hendak membersihkan pemerintah dari tangan pembesar korup.

   Sayang usaha mereka itu terlalu kasar, hendak mengganggu kaisar sehingga usaha mereka gagal dan mereka bahkan kehilangan beberapa orang anggauta yang tewas oleh amukan iblis-iblis Cap-sha-kui. Hatinya gembira mendengar betapa orang-orang Kang-Jiu-Pang mentaati nasihatnya dan semua telah melarikan diri sebelum pasukan pemerintah menyerbu. Dengan langkah ringan dan hati senang diapun memasuki pasar di kota itu untuk mencari pengisi perutnya yang sudah terasa lapar. Begitu memasuki pasar, Hui Song tertarik oleh suara ribut-ribut di lapangan terbuka di luar pasar yang ramai pula dengan orang-orang berjualan dan orang-orang yang datang berbelanja. Di luar pasar ini dijual sayur-mayur yang diletakkan di dalam keranjangkeranjang atau diletakkan di atas tikartikar yang dibentangkan di atas tanah begitu saja.

   Keramaian yang terjadi di luar pasar ini bukan keramaian biasa karena Hui Song melihat banyak orang berpakaian gembel berlari-larian dengan wajah gembira sekali. Hatinya tertarik dan diapun melangkah mendekat ke tempat di mana para gembel itu berkerumun merubung sesuatu. Dan diapun terheran melihat seorang pemuda remaja yang juga berpakaian tambal-tambalan berdiri di tengah-tengah rubungan para gembel itu. Pemuda ini berwajah kotor penuh debu sehingga sukar dikenali wajahnya, penuh keringat pula, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar gembira. Di sebelahnya terdapat sebuah karung yang terisi logam penuh! Dan pemuda remaja ini sedang membagi-bagikan uang kepingan itu kepada para gembel, begitu royalnya dia menyebar uang seperti orang membuang pasir saja!

   Tentu saja hal ini menggegerkan orang sepasar karena sungguh merupakan penglihatan luar biasa jika seorang pemuda remaja gembel membagi-bagikan uang yang sedemikian banyaknya kepada kaum gembel dengan sikap seorang hartawan besar yang sudah kebanyakan uang rupanya. Kini bukan hanya para gembel yang antri untuk menerima bagian pemberian, bahkan mereka yang miskin dan kebetulan berada di pasar, baik untuk berjualan maupun untuk berbelanja, tidak malu-malu untuk ikut pula antri. Pemuda remaja itu kelihatan gembira sekali, membagi-bagikan uang sambil tertawa-tawa. Akan tetapi, tiba-tiba semua orang yang sedang antri itu nampak ketakutan dan mereka bubaran meninggalkan tempat itu. Juga para gembel cepat-cepat meninggalkan tempat itu walaupun mereka belum memperoleh bagian.

   Agaknya semua orang merasa ketakutan secara tiba-tiba seperti ada bahaya yang mengancam keselamatan mereka. Sejak tadi, Hui Song berdiri dengan mata terbelalak penuh kekaguman. Juga di dalam hatinya timbul rasa heran dan juga terharu melihat seorang pemuda gembel membagi-bagikan uang secara begitu royalnya. Sungguh penglihatan itu amat tidak lumrah dan seperti dunia sudah terbalik. Orang-orang kaya paling sayang uang dan amat pelit mengeluarkan uangnya, sebaliknya seorang gembel malah membagi-bagikan uang seperti orang membuang pasir saja. Tentu saja hal inipun menimbulkan kecurigaan hatinya. Benarkah pemuda itu seorang gembel? Kalau benar demikian, apakah benar uang yang dibagi-bagikan itu uangnya sendiri ataukah uang curian? Biar bagaimanapun juga,

   Hati Hui Song tertarik sekali dan sudah timbul semacam rasa suka di hatinya terhadap pemuda gembel itu. Diapun melihat betapa semua orang bubaran dan melarikan diri dengan wajah seperti dicekam rasa takut. Lapangan depan pasar itu menjadi berkurang ramainya. Hanya mereka yang berjualan dan berbelanja saja yang masih berada di situ, akan tetapi wajah merekapun membayangkan rasa takut. Sebaliknya, pemuda gembel yang membagi-bagikan uang itu nampak kecewa. Uangnya di dalam karung masih ada cukup banyak, masih seperempat karung dan orang-orang yang antri dan belum kebagian sudah keburu pergi bubaran. Diapun mengangkat muka memandang dan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika mencari-cari ini, tiba-tiba saja, tanpa disengaja, sepasang mata gembel muda itu bertemu dengan pandang mata Hui Song.

   Hui Song terkejut sekali. Dia merasa seperti pernah mengenal pemuda gembel itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Akan tetapi, begitu bertemu pandang, dia merasa yakin bahwa dia pernah mengenal gembel muda itu! Dia mengingat-ingat, akan tetapi sementara itu, gembel muda itu membuang muka dan memandang ke arah jalan masuk ke lapangan depan pasar itu. Hui Song juga memandang ke sana dan tahulah dia sebab dari pada bubarnya semua orang tadi. Dua orang kakek itu usianya tentu sudah ada enam puluh tahun. Pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah dua orang pengemis karena pakaian itu penuh dengan tambal-tambalan, hanya lucunya, baju penuh tambalan itu masih baru, bahkan kain kembang yang dipakai untuk menambal juga masih baru!

   Keduanya memegang tongkat dan biarpun mereka itu jelas berpakaian pengemis, akan tetapi sikap mereka ketika melangkah memasuki lapangan terbuka di depan pasar itu tiada ubahnya dua orang pembesar tinggi atau dua orang perwira tinggi yang sedang berjalan. Kepala diangkat tinggi lurus, dada membusung dan langkahnya jelas dibuat-buat agar supaya nampak gagah! Tongkat itu dipegang seperti pembesar memegang tongkat komando saja. Sungguh aneh, akan tetapi amat lucu dalam pandangan Hui Song sehingga dia tersenyum lebar menahan tawa. Baginya, dua orang itu lebih mirip dua orang badut yang sedang berlagak di atas panggung. Akan tetapi, jelaslah bahwa semua orang yang bubaran tadi adalah karena munculnya dua orang kakek pengemis ini. Sekarangpun, mereka berjalan seperti orang-orang yang berkuasa,

   Dan pandang mata semua orang di situ yang ditujukan kepada mereka mengandung bayangan rasa takut, seperti orang-orang yang memandang dua ekor harimau ganas yang dilepas di tempat umum. Siapakah adanya dua orang kakek pengemis yang begitu besar pengaruhnya sehingga semua orang menyingkir ketakutan begitu mereka muncul? Mereka itu adalah dua orang tokoh perkumpulan Hwa-I Kai-Pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang). Dahulu, ketika Hwa-I Kai-Pang masih dipimpin oleh orang gagah perkasa yang budiman, perkumpulan ini terkenal sebagai perkumpulan yang bersih. Dahulu perkumpulan ini hanya bertujuan untuk mendidik para pengemis, mengajarkan kepandaian tertentu agar mereka itu dapat terjun ke dalam masyarakat dengan bekerja dan meninggalkan kebiasaan mereka mengemis.

   Juga mereka yang memiliki ilmu silat tentu bertujuan untuk membela kepentingan kaum lemah yang tertindas. Akan tetapi akhir-akhir ini, setelah dipimpin oleh seorang lihai yang berambisi dan dipengaruhi oleh kaki tangan Liu-thaikam, berubah pulalah keadaan perkumpulan itu. Hwa-I Kai-Pang kini dipimpin oleh seorang tokoh yang berjuluk Hwa-I Lo-eng (Pendekar Tua Baju Kembang). Julukannya saja pendekar, akan tetapi sepak terjangnya sama sekali tidak depat dinamakan bijaksana atau budiman. Apalagi setelah dia dapat dibujuk oleh orang-orangnya Liu-thaikam, maka keadaan perkumpulan itu berobah sama sekali. Liu Kim atau Liu-thaikam adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa dia sendiri tidak memiliki kekuatan apapun.

   Kalau dia dapat memiliki kekuasaan dan pengaruh, hal itu adalah karena kaisar yang muda itu amat percaya kepadanya dan memang dia seorang yang pandai melaksanakan pekerjaan. Segala perintah pekerjaan yang diserahkan kepadanya tentu terlaksana dengan beres dan baik. Akan tetapi, diapun seorang yang suka sekali menumpuk harta sehingga untuk memuaskan nafsu yang tak kunjung padam itu dia melakukan korupsi besar-besaran. Hal ini tentu saja menimbulkan tentangan dari panyak pembesar yang setia dan jujur. Untuk melindungi dirinya, kekayaan dan kedudukannya, maka Liu-thaikam sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi orang-orang pandai di luar istana. Dengan menggunakan kekayaannya yang amat besar, dia berhasil menarik orang-orang pandai dari golongan hitam untuk menjadi antek-anteknya.

   Bahkan akhir-akhir ini dia berhasil memperalat Cap-sha-kui. dan tentu saja dia secara mati-matian melindungi kaisar karena kaisar muda itulah yang menjadi pohon emasnya! Kalau sampai kaisar muda itu diganti, berarti dia akan kehilangan kedudukannya, dan mungkin kekayaannya akan dirampas, juga mungkin saja nyawanya pula! Itulah sebabnya mengapa dia mati-matian menjaga keselamatan kaisar dan hal ini bahkan menambah rasa sayang kaisar kepadanya karena perlindungan yang diberikannya itu hanya diartikan sebagai suatu kesetisan besar dari kepala thaikam itu kepada kaisar. Bukan hanya Cap-sha-kui yang terkena bujukan dan dapat dibeli oleh Liu-thaikam, akan tetapi juga perkumpulanperkumpulan kuat lainnya. Satu diantaranya adalah Hwa-I Kai-Pang yang kini berpusat di Cinan dan sebagian membuka cabang di kota raja.

   Karena mendengar bahwa perkumpulan pengemis ini amat kuatnya, dan memiliki pengaruh yang luas di kalangan para pengemis, Liu-thaikam lalu menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi ketuanya, yaitu Hwa-I Lo-eng dan dengan pengaruh harta dan juga kedudukan, ketua yang julukannya gagah ini terjatuh dan dia membawa seluruh anggauta perkumpulan untuk menjadi kaki tangan yang setia dari Liu-thaikam. Kepercayaan dari orang penting berarti kekuasaan dan kekuasaan merupakan milik yang amat berbahaya. Sudah banyak terbukti dalam sejarah sejak jaman dahulu sampai kini, kebanyakan orang setelah memiliki kekuasaan menjadi mabok kekuasaan dan menyalah-gunakan kekuasaannya. Kekuasaan biasanya membuat orang menjadi tinggi hati,

   Sombong dan ingin memamerkan kekuasaannya dan kalau hal ini teriadi, maka timbullah perbuatan sewenang-wenang dari orang yang mengumbar kekuasaannya. Dan orang-orang yang mabok
(Lanjut ke Jilid 07)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
kekuasaan ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang lemah batinnya, hilang perikemanusiaannya, bahkan bukan seperti manusia lagi melainkan hanya merupakan alat pelampiasan nafsu yang memperhambanya. Demikian pula keadaan para anggauta Hwa-I Kai-Pang. Semenjak mereka menjadi kaki tangan Liu-thaikam, kurang lebih setahun yang lalu, mereka semua merasa seolah-olah mereka telah menjadi pasukan khusus pembesar itu yang besar sekali kekuasaannya dan mereka hendak memaksakan segala macam keinginan hati mereka kepada rakyat tanpa ada rakyat berani melawan karena kepandaian mereka yang tinggi.

   Juga tidak ada pembesar berani menentang mereka setelah mengetahui bahwa para pengemis baju kembang itu adalah antek-antek Liu-thaikam! Makin besar kepala sajalah mereka ini, terutama sekali di Cinan, mereka seolah-olah lebih berkuasa dari para petugas keamanan kota sendiri. Manyiksa dan membunuh orang mudah saja mereka lakukan tanpa tuntutan, dengan dalih bahwa yang mereka siksa atau bunuh itu adalah orang-orang yang bermaksud memberontak terhadap pemerintah. Demikianlah keadaan para anggauta Hwa-I Kai-Pang yang mudah dikenal dari pakaian, tongkat dan gaya mereka. Maka, tidaklah mengherankan apabila orang-orang melarikan diri ketakutan ketika ada dua orang anggauta Hwa-I Kai-Pang muncul di pasar itu. Biasanya, para tokoh kaipang ini hanya menyuruh anak buah mereka saja yang masih muda-muda.

   Kalau kini ada dua orang tokoh tua maju sendiri, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan, setidaknya tentu akan ada orang terbunuh. Hui Song belum pernah mendengar tentang Hwa-I Kai-Pang, maka diapun merasa heran dan tidak tahu mengapa dua orang kakek pengemis ini ditakuti orang dan apa yang akan dilakukan kakek itu. Pada saat itu, ada seorang pengemis muda, paling banyak tiga belas tahun usianya, agaknya anak gembel ini tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk memperoleh pembagian uang. Dia berlari menghampiri pemuda gembel yang membagi-bagikan uang itu, lalu mengulurkan tangan memberi isyarat minta-minta. Pemuda remaja itu memandang heran, tersenyum gembira dan memberikan uang logam segenggam sambil berkata, suaranya lantang gembira.

   "Bagus, nih kuberi banyak sebagai hadiah keberanianmu. Engkau tidak seperti mereka yang pengecut dan penakut."

   Mata anak itu terbelalak ketika melihat segenggam uang logam di tangannya. Belum pernah dia mempunyai uang sebanyak itu! Dia bergembira dan lupa akan kemunculan dua orang kakek pengemis tadi, sambil tersenyum lebar dia menjura berkali-kali kepada pemuda remaja gembel itu sambil berkata,

   "Terima kasih, kak, terima kasih, kak!"

   Lalu dia lari dengan wajah berseri. Akan tetapi, tiba-tiba larinya terhenti karena ada tubuh orang menghadang di depannya. Anak itu mengangkat mukanya memandang dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat ketakutan ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya adalah seorang di antara dua kakek pengemis baju kembang tadi.

   "Aku... aku tidak mencuri... aku tidak melakukan kesalahan..."

   Anak itu membela diri ketika melihat pandang mata kakek yang bengis itu.

   "Plakkk!"

   Tangan kakek itu bergerak dan tubuh anak gembel itu terpelanting, uang yang digenggamnya terlempar ke mana-mana dan iapun menangis sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri seperti akan pecah rasanya. Pipi kirinya bengkak dan matang biru karena tamparan yang amat keras tadi.

   "Masih kecil sudah menjadi tukang tadah, kelak hanya akan menjadi maling atau perampok saja. Lebih baik kupatahkan dulu kedua lenganmu!"

   Kata si kakek pengemis. Banyak orang menonton peristiwa itu dan kakek pengemis kedua berdiri dengan tongkat melintang dan pandang mata menantang seolah-olah ingin sekali melihat siapa yang akan berani menghalangi mereka berdua.

   "Ampun... aku tidak berani lagi, ampun..."

   Anak itu meratap ketakutan ketika kakek pengemis yang memiliki tahi lalat besar pada dagunya itu melangkah maju menghampirinya dengan air muka bengis dan sadis.

   "Ulurkan lenganmu! Cepat!"

   Bentaknya.

   "Tidak... tidak... ampunkan aku..."

   Anak itu meratap. Dia sudah mendengar akan kekejaman pengemis-pengemis baju kembang ini dan mendengar bahwa kedua lengannya aken dipatahkan, tentu saja anak itu menjadi ketakutan.

   "Apa? Engkau berani membantah? Apakah engkau ingin kupatahkan lehermu sebaiknya dari pada kedua lenganmu?"

   "Ohhh... ampunkan aku..."

   Karena diancam hendak dipatahkan lehernya, anak itu menjadi semakin ketakutan dan tiba-tiba melarikan diri.

   "Berani engkau melarikan diri? Engkau layak dibunuh!"

   Kakek itu membentak sehingga si anak gembel menjadi semakin panik. Larinya dipercepat dan tiba-tiba dia menabrak seseorang yang cepat memegang pundaknya.

   "Aduh, ampun..."

   Anak itu menggigil dan mengangkat muka memandang. Akan tetapi ternyata yang ditabraknya itu bukanlah kakek pengemis, melainkan seorang pemuda tinggi besar yang memandang kepadanya sambil tersenyum.

   "Jangan takut, pergilah dari sini!"

   Kata pemuda itu yang bukan lain adalah Hui Song! Anak gembel itu pulih kembali semangatnya dan diapun cepat melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu, hampir tidak percaya bahwa kedua lengannya masih utuh. Dia dapat lolos demikian mudahnya. Tentu saja dua orang tokoh Hwa-I Kai-Pang itu menjadi marah bukan main. Belum pernah ada orang berani mencampuri urusan mereka, apalagi menentang mereka. Pemuda berbaju kedodoran itu sungguh lancang sekali. Menyuruh bocah itu pergi sama saja dengan menantang mereka, maka mereka berdua berloncatan ke depan pemuda itu dengan tongkat melintang di depan dada dan pandang mata penuh ancaman.

   "Siapakah engkau, begini berani mampus menentang kami?"

   Bentak kakek pengemis yang bertahi lalat di dagunya itu. Hui Song tersenyum mengejek.

   "Siapa adanya aku tidaklah penting, karena aku hanya orang biasa saja. Akan tetapi kalian inilah yang aneh luar biasa. Kalian ini jelas dua orang kakek, akan tetapi memakai pakaian kembang-kembang, begitu penuh aksi mengalahkan pemuda-pemuda remaja, dan kalian hendak mematahkan lengan anak kecil. Sungguh luar biasa sekali, tidak lumrah manusia. Siapakah kalian?"

   Dua orang kakek itu saling pandang dengan muka merah. Belum pernah ada manusia sekurang ajar ini terhadap Hwa-I Kai-Pang. Kakek kedua yang mukanya hitam melotot dan membentak,

   "Bocah kurang ajar! Apakah matamu sudah buta? Engkau berhadapan dengan dua orang tokoh Hwa-I Kai-Pang!"

   Agaknya kakek ini hendak menggertak dengan menggunakan nama perkumpulannya yang tersohor ditakuti orang. Akan tetapi, pemuda tinggi besar yang berwajah cerah itu hanya tersenyum, sedikitpun tidak nampak kaget mendengar nama Hwa-I Kai-Pang.

   "Hemmmm, kalau namanya seperti perkumpulan pengemis, akan tetapi kalau melihat tindakannya, patutnya perkumpulan tukang pukul. Apakah kalian ini pengemis merangkap tukang pukul?"

   "Lancang mulut! Kami adalah pembantu pemerintah, menjaga keamanan!"

   Bentak si tahi lalat.

   "Menjaga keamanan dengan mematah-matahkan lengan anak kecil?"

   Hui Song mengejek.

   "Anak itu telah menjadi tukang tadah. Gembel muda itu telah mencuri uang sedemikian banyaknya maka dibagi-baginya dan siapa yang menerima pembagiannya berarti tukang tadah barang curian."

   "Wah, wah, baru sekarang aku melihat pengemis berlagak menjadi jaksa dan sekaligus hakimnya!"

   Tiba-tiba pengemis muda yang tadi membagi-bagi uang, berkata dengan suara nyaring sekali,

   "Hayaaa... ceriwis dan cerewet amat sih seperti tiga nenek-nenek tua bertengkar saja. Kenapa tidak genjot saja dan habis perkara?"

   Ucapan ini entah ditujukan kepada pihak pengemis ataukah kepada Hui Song, atau kepada ketiganya. Akan tetapi, ucapan itu agaknya mengenai sasaran karena dua orang pengemis itu sudah berteriak marah dan tongkat di tangan mereka bergerak menyerang Hui Song dengan gerakan cepat dan kuat.

   "Hemm, kalian adalah orang-orang jahat, tak salah lagi!"

   Hui Song berkata sambil mengelak dengan sigapnya, kemudian balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya. Dua orang kakek itu menangkis dengan tongkat mereka dan Hui Song membiarkan lengannya tertangkis tongkat-tongkat itu.

   "Plak! Plak!"

   Dua orang kakek pengemis itu terhuyung dan mereka merasa terkejut sekali mendapat kenyataan betapa pemuda itu memiliki kekuatan sinkang yang amat besar, jauh lebih kuat dari pada mereka. Merekapun mendesak lagi dengan permainan tongkat mereka yang cukup hebat. Namun kini Hui Song melayani mereka sambil tersenyum-senyum mengejek.

   "Kalian berdua tukang pukul gembel tentu sudah banyak memukul orang, maka biarlah sekarang aku membalaskan mereka yang pernah kau pukul!"

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hui Song berkata dan tangan kirinya bergerak secepat kilat, disusul tangan kanannya.

   "Takk! Takk!"

   Kepala dua orang pengemis itu tak terhindarkan lagi terkena jitakan jari-jari tangannya. Dua orang kakek ini terhuyung dan mengelus kepala mereka yang menjadi benjol-benjol itu sambil meringis kesakitan. Hui Song memang mempermainkan mereka. Kalau jitakan di kepala tadi dia lakukan dengan pengerahan sinkang, tentu kepala dua orang itu sudah retak dan mereka akan tewas seketika. Akan tetapi dia hanya menggunakan tenaga biasa saja, cukup membuat kepala yang dilindungi itu menjadi benjol sebesar telur ayam.

   "Bagus... bagus... hantam terus..."

   Terdengar suara orang bersorak dan ternyata yang bersorak itu adalah Sui Cin yang menyamar sebagai gembel muda yang membagi-bagi uang tadi. Siapa lagi gembel muda yang membagi-bagi uang itu kalau bukan Ceng Sui Cin?

   Biarpun ia selalu menyamar sebagai gembel muda atau gadis perantau yang tidak mewah, namun sesungguhnya dara ini kaya raya. Orang tuanya, Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah, adalah orang yang memiliki harta benda amat besar, terutama setelah pendekar sakti ini menjadi ahli waris dari Harta Karun Jenghis-Khan. Maka, sesungguhnya tidaklah terlalu mengherankan kalau Sui Cin dapat menghambur-hamburkan uang receh itu seperti orang membuang pasir saja. Ketika Hui Song muncul, seketika Sui Cin mengenal pemuda tinggi besar lihai yang menjadi putera ketua Cin-Ling-Pai ini dan hatinya merasa gembira. Terutama sekali karena ia sudah menyamar sebagai seorang gembel muda dan ia merasa yakin bahwa putera Cin-Ling-Pai itu tidak akan mengenalnya dalam penyamaran.

   Kini, melihat betapa pemuda yang lincah jenaka itu menghadapi dua orang kakek pengemis galak dan mempermainkan mereka, hatinya menjadi gembira dan iapun bersorak. Orang-orang di depan pasar itu lari menjauhkan diri melihat perkelahian yang dilakukan oleh dua orang kakek Hwa-I Kai-Pang, takut terlibat dan terseret. Akan tetapi bagaimana mungkin gembel muda yang menjadi biang keladi kemarahan orang-orang Hwa-I Kai-Pang itu malah bersorak-sorak melihat dua orang tokoh pengemis itu terkena pukulan lawan? Ini sama dengan mencari mati namanya! Mendengar sorakan pemuda gembel itu, Hui Song tertawa. Kembali dia bertemu dengan seorang muda yang hebat, pikirnya. Seorang gembel yang bukan saja menghamburkan uang untuk memberi sedekah seperti menghamburkan pasir,

   Akan tetapi juga yang memiliki nyali cukup besar untuk berani mentertawakan dan mengejek dua orang kakek pengemis yang galak dan yang agaknya ditakuti semua orang itu. Memperoleh dukungan gembel muda itu, Hui Song makin hebat mempermainkan dua orang kakek pengemis itu. Jitakan pertama masih terasa oleh mereka berdua ketika tendangannya membuat mereka roboh dan karena yang ditendang itu pinggul mereka, maka akibatnya tidak membuat mereka lumpuh melainkan hanya nyeri yang memaksa mereka meringis kesakitan lagi. Tentu saja mereka menjadi semakin marah karena merasa dipermainkan. Sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka mengenal orang pandai, dan mereka juga maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda itu. Akan tetapi tentu saja mereka merasa malu untuk mundur atau mengaku kalah.

   Dengan kemarahan meluap merekapun menyerang lagi, kini serangan mereka yang didorong luapan amarah menjadi membabi-buta. Dan tentu saja lebih mudah lagi bagi Hui Song untuk melayani dan mempermainkan mereka. Beberapa kali kaki atau tangannya membuat dua orang lawan itu jatuh bangun dengan muka matang biru dan tubuh babak bundas. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan dari luar masuklah banyak orang ke dalam lapangan depan pasar. Orang-orang yang tadinya masih berani nonton perkelahian itu dari jarak jauh, kini pergi untuk tidak kembali. Mereka ketakutan melihat munculnya belasan orang anggauta Hwa-I Kai-Pang bersama sepasukan penjaga keamanan kota yang terdiri dari dua puluh orang lebih dan pasukan ini bersenjata lengkap, golok dan tombak!

   Tanpa banyak cakap lagi, tiga puluh orang lebih itu dengan kacau-balau mengurung, menyerbu dan menyerang Hui Song! Tentu saja Hui Song harus mempergunakan semua kelincahannya untuk menghadapi pengeroyokan orang yang demikian banyaknya. Di dalam hatinya, dia merasa penasaran dan juga heran. Kawanan pengemis Hwa-I Kai-Pang ini jelas bukanlah golongan baik-baik, terlalu kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Orang-orang seperti ini biasanya digolongkan penjahat-penjahat, akan tetapi mengapa kini pasukan pemerintah malah membantu mereka? Dua kali sudah dia menemui hal-hal yang aneh. Pertama kali, datuk-datuk sesat macam Cap-sha-kui melindungi kaisar, dan kedua kalinya, kini pasukan pemerintah membantu gerombolan seperti orang-orang Hwa-I Kai-Pang dan menyerang rakyat baik-baik!

   Dia merasa penasaran sekali dan biarpun dia tidak ingin membunuh orang, kini dia menambah tenaga dalam tamparan-tamparannya sehingga dalam waktu singkat, enam orang sudah dia robohkan dengan tulang lengan, kaki atau pundak patah-patah, membuat mereka tidak mampu melakukan pengeroyokan lagi. Bagaimanapun juga, jumlah pengeroyok itu teramat banyak dan para anggauta Hwa-I Kai-Pang itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi maka Hui Song merasa repot juga. Kalau dia mau melarikan diri, tentu tidak begitu sukar baginya karena sekali mempergunakan ginkang dan meloncat keluar lalu lari, kiranya mereka itu tidak akan mampu menyusulnya. Akan tetapi, yang membuat dia merasa malu untuk lari adalah sorakan dan teriakan pemuda gembel tadi.

   "Hayo, gasak saja tikus-tikus itu! Ha-ha-ha, robohkan mereka semua satu demi satu, baru gagah namanya!"

   Teriakan-teriakan ini membuat hati Hui Song mendongkol. Kurang ajar, pikirnya, enak saja pemuda gembel itu membikin dia menjadi tontonan tanpa bayar. Dan kata-katanya membuat dia merasa malu kalau harus melarikan diri, takut dianggap penakut dan tidak gagah! Teriakan Sui Cin itu tidak hanya membuat Hui Song mendongkol, akan tetapi juga membuat para pengeroyok menjadi marah. Mereka yang tidak dapat ikut mengeroyok pemuda itu karena jumlah mereka yang terlalu banyak, kini membalik dan mengepung Sui Cin sambil mengacung-acungkan senjata, siap untuk mangeroyoknya. Melihat ini, Hui Song tertawa.

   "Rasakan kamu sekarang!"

   Teriaknya ke arah pemuda gembel itu, akan tetapi diam-diam dia mendekati dan siap untuk melindunginya kalau ternyata pemuda gembel itu hanya baik hati dan bengal saja akan tetapi tidak becus menjaga diri dari serangan banyak orang bersenjata. Akan tetapi, pemuda ini terbelalak kaget ketika melihat si pemuda gembel, sambil tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangannya dan uang-uang logam yang digenggamnya beterbangan ke depan, meluncur seperti peluru-peluru ke arah orang-orang yang datang hendak mengeroyoknya. Terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan empat orang melemparkan senjata mereka, terpincang-pincang berusaha mencabut uang logam yang menancap hampir lenyap ke dalam paha atau betis mereka.

   "Aduh... aduhh... kakiku..."

   Mereka berteriak-teriak dan berloncatan. Darah mengalir membasahi celana mereka. Sui Cin tertawa-tawa dan bertepuk tangan gembira.

   "Ha ha hi hi hi, kalian seperti sekumpulan monyet menari-nari he he he he!"

   Para perajurit lainnya marah dan menyerbu. Akan tetapi mereka disambut oleh hujan uang logam yang kalau mengenai tubuh mereka amat tajam dan runcing seperti senjata rahasia piauw saja. Uang logam itu menembus pakaian dan kulit, menyusup ke dalam tulang. Tentu saja mereka yang terkena sambaran senjata rahasia yang istimewa itu. Melihat kelihaian pemuda gembel itu, Hui Song menjadi girang bukan main. Tak disangkanya pemuda gembel bengal seperti itu ternyata lihai sekali. Sui Cin sendiri girang melihat hasil sambitan-sambitannya.

   "Ha ha ha, uang ini benar-benar serba guna, dapat diberikan orang-orang baik untuk membeli makanan penahan kelaparan, dapat pula dipergunakan untuk menghajar orang-orang jahat."

   Ketika tanpa disengaja sebuah di antara uang logam yang disambit-sambitkan itu tepat mengenai tulang kering seorang pengeroyok sehingga orang itu berjingkrak-jingkrak saking nyeri dan kiut-miut rasa tulang keringnya, Sui Cin menjadi gembira bukan main dan sambil masih tertawa-tawa dara inipun kini membidikkan sambit-sambitannya ke arah tulang kering kaki para pengeroyok itu.

   Makin banyak yang terkena sambaran uang logam tulang kering kakinya, makin banyak pula yang berjingkrak seperti orang-orang menari dengan gaya yang lucu dan makin terbahaklah Sui Cin. Akan tetapi kini pasukan pemerintah datang semakin banyak dan karena banyaknya pengeroyok, Sui Cin tidak dapat mengandalkan lagi uang-uang logam itu dan diserbu dari belakang, terpaksa iapun berloncatan dan melakukan perlawanan seperti Hui Song, dengan tangan kosong. Setiap kali menyamar sebagai pemuda gembel, ia selalu meninggalkan payungnya. Payung dan kuda cebolnya itu hanya dipergunakan kalau ia berpakaian sebagai wanita saja. Dan sekarang kuda dan payungnya itu dititipkannya di tempat yang aman.

   Hui Song menjadi semakin kagum melihat betapa selain pandai mempergunakan uang logam sebagai senjata rahasia yang ampuh, ternyata pemuda gembel itupun lihai sekali ilmu silatnya sehingga dengan tangan kosong berani menyerbu banyak pengeroyok yang mempergunakan senjata tajam. Akan tetapi kekagumannya kini bercampur dengan keheranan karena dia segera mengenal gerakan-gerakan jurus ilmu silat yang dimainkan pemuda itu. Lagi-lagi seorang ahli silat keluarga Cin-Ling-Pai, pikirnya. Hatinya penasaran sekali dan tiba-tiba saja diapun teringat. Pantas dia merasa pernah bertemu dengan pemuda ini. Mata itu! Senyum itu! Kebengalan itu dan akhirnya ilmu silat itu. Sama benar dengan dara remaja nyentrik yang pernah dijumpainya! Akan tetapi gembel ini adalah seorang pemuda. Tentu saudaranya! Ataukah saudara seperguruan?

   "Heii, sobat muda yang baik, tidak benar melanjutkan perlawanan terhadap pasukan pemerintah. Hayo kita pergi!"

   Kata Hui Song ketika melihat betapa pasukan pemerintah semakin banyak berdatangan dan melakukan pengeroyokan. Sui Cin juga merasa tidak enak kalau melanjutkan amukannya melihat betapa kini tempat itu penuh dengan perajurit pemerintah. Ayahnya tentu akan marah bukan main kalau mendengar bahwa ia bermusuhan dengan pasukan pemerintah karena hal ini hanya dapat diartikan bahwa ia telah menjadi pemberontak!

   Maka, mendengar ucapan Hui Song, iapun tertawa dan meloncat sambil membawa dua genggam uang logam. Hui Song juga meloncat jauh dan ketika para pengeroyok melakukan pengejaran, Sui Cin melempar-lemparkan uang logam dua genggam itu sehingga para pengeroyok dan pengejar menjadi jerih. Dengan mudah mereka berdua lari meninggalkan kota Cinan dan keluar dari pintu gerbang sebelah utara. Hui Song mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi dengan kagum dan heran dia mendapat kenyataan betapa gembel muda itu dapat mengimbangi kecepatannya! Perkelahian dikeroyok banyak lawan itu membuat keduanya puas benar. Kedua orang itu memang suka sekali bersilat, apalagi menghadapi pengeroyokan banyak orang di mana mereka berdua dapat melampiaskan hati sepuasnya dengan menghajar para lawannya.

   Dan mengingat akan kelucuan pemuda gembel itu merobohkan lawan dengan melempar-lemparkan uang logam, keduanya berlari sambil tertawa-tawa. Setelah mereka tiba di dekat hutan jauh di luar kota, dan tidak melihat adanya pengejar, berhentilah mereka terengah-engah akan tetapi masih tertawa gembira. Begitu melihat wajah pemuda gembel itu yang tertawa-tawa, hati Hui Song sudah tertarik sekali dan dia merasa amat suka kepada pemuda itu. Mereka berdua merasa lelah, bukan hanya karena perkelahian tadi, akan tetapi juga karena berlari cepat dan ditambah lagi karena tertawa-tawa dan mereka berdua menjatuhkan diri di atas rumput tebal di bawah pohon. Sui Cin menurunkan buntalannya dari atas punggungnya dan berkata sambil tersenyum,

   "Aah, perkelahian yang amat menyenangkan!"

   "Dan engkau hebat sekali, sobat muda!"

   Kata Hui Song dengan sungguh-sungguh.

   "Engkau masih begini muda, akan tetapi engkau telah memiliki kedermawanan besar dan memiliki kepandaian yang amat mengagumkan, terutama... eh, ilmu menyambit dengan uang logam tadi!"

   "Hemm, kebisaanku apa artinya kalau dibandingkan dengan kelihaianmu?"

   Sui Cin berkata sejujurnya karena iapun kagum akan kepandaian pemuda putera ketua Cin-Ling-Pai ini. Ia sudah banyak mendengar tentang ketua Cin-Ling-Pai dari ayahnya. Menurut penuturan ayahnya, ketua Cin-Ling-Pai bernama Cia Kong Liang, pendekar yang telah mewarisi ilmu silat keluarga Cin-Ling-Pai, seorang yang menurut ayahnya berwatak keras dan agak tinggi hati. Dari penuturan ayahnya, ia dapat menduga bahwa ayahnya tidak begitu suka kepada ketua Cin-Ling-Pai yang tinggi hati itu. Dan Cia Kong Liang ini menikah dengan puteri bekas datuk sesat. Mungkin karena pengaruh cerita ayahnya itulah hati Sui Cin masih belum percaya bahwa Hui Song dan sedang meraba-raba apakah pemuda ini juga tinggi hati seperti ayahnya.

   "Sobat muda, aku tidak hanya memuji kosong saja. Jarang aku memuji orang, akan tetapi aku sungguh kagum kepadamu. Engkau mengingatkan aku akan..."

   "Nanti saja kita lanjutkan percakapan kita. Sekarang perutku lapar, apakah engkau mau makan bersamaku?"

   Hui Song tertegun karena pembicaraannya diputus seperti itu.

   "Lapar? Makan? Ah... tentu saja, akupun lapar,"

   Katanya gembira karena melihat kelucuan ini. Sui Cin membuka buntalan pakaiannya, akan tetapi tidak dibukanya semua, hanya sedikit saja untuk mengambil bungkusan kertas tebal dari dalamnya, lalu menutup kembali buntalan pakaiannya, seolah-olah ia tidak ingin Hui Song melihat isi buntalannya. Dan memang tentu saja ia tidak menginginkan pemuda itu melihat bekal pakaian wanita yang disimpan di dalam buntalannya itu. Untuk mengalihkan perhatian pemuda itu yang mengamati gerak-geriknya, Sui Cin bertanya,

   "Sobat, makanan apakah yang paling kau sukai?"

   "Aku...?"

   Hul Song tersenyum sehingga wajahnya yang gagah itu berseri.

   "Aku suka makan... kodok!"

   "Hah? Katak? Katak buduk?"

   Sui Cin menggoda, berlagak kaget dan membelalakkan matanya. Sejenak Hui Song terpesona. Mata itu demikian lebar dan indahnya, mengingatkan dia kepada dara yang galak tempo hari.

   "Ha-ha-ha, tentu saja bukan katak buduk yang beracun. Melainkan katak swike yang terdapat di sawah, atau katak hijau, atau kalau ada sih katak batu yang besar-besar dan lembut dagingnya itu!"

   Sui Cin tersenyum mengejek.

   "Di hutan begini, mana ada yang menjual swike? Bahkan restoranpun harus yang besar kalau mau mencari makanan itu. Nih, adanya hanya nasi capjai, kalau engkau lapar boleh makan bersama aku. Boleh saja makan sambil membayangkan kodok batu, atau kalau tidak ada kodoknya, batunya juga boleh kan?"

   "Ha-ha-Ha-ha! Engkau sungguh lucu sekali!"

   Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin membuka bungkusan kertas dan ternyata di dalamnya terdapat bungkusan dengan daun lebar yang ketika dibuka terisi capjai dan nasi.

   

Pendekar Sadis Eps 33 Pendekar Sadis Eps 10 Harta Karun Jenghis Khan Eps 3

Cari Blog Ini