Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 8


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Biarpun dia bukan seorang penjudi, namunl Hay Hay yang cerdik segera memperhitungkan mengapa tidak ada orang memasangkan taruhannya pada tiga nomor itu. Tentu saja, karena kemungkinan keluar tiga nomor itu hanya masing-masing satu kali saja. Untuk nomor dua hanya kalau keluar satu tambah satu, nomor tiga kalau keluar satu tambah dua, dan nomor dua belas kalau keluar enam dan enam. Demikian pula nomor sebelas tidak ada yang memasang, karena nomor sebelas hanya keluar satu kemungkinan, yaitu enam dan lima. Akan tetapi nomor-nomor lain, dari empat sampai se puluh, mempunyai dua kemungkinan keluar. Maka, mereka itu semua hanya memasangkan uang mereka pada nomor empat sampai dengan se puluh. Dan yang menang mendapatkan tiga kali lipat dari uang taruhannya!

   Kelihatannya saja menguntungkan sekali, akan tetapi Hay Hay dapat memperhitungkan bahwa kemungkinan menang bagi para penjudi itu sedikit sekali, dan kernungkinan menang itu sudah diborong oleh bandarnya! Bayangkan saja! Kemungkinan keluar dari dua buah dadu itu sebanyak delapan belas nomor sehingga kesempatan menang dari setiap pemasang adalah dua lawan delapan belas, atau satu lawan sembiln. Dan imbalannya kalau menang hanya satu mendapat tiga! Setelah semua orang meletakkan taruhannya, bandar, seorang laki-laki pendek gendut yang selalu menyeringai, memutar dadu-dadu itu, dua buah banyaknya, kedalam mangkok, kemudian dengan cekatan sekali dia menelungkupkan mangkokitu di atas meja, dengan dua buah dadunya di bawah mangkok.

   "Hayo tambah lagi taruhan, masih ada kesempatan!"

   Tantang bandar itu, dan empat orang pembantu wanita yang cantik-cantik, dengan gaya masing-masing, membujuk penjudi yang banyak uang untuk menambah taruhan mereka. Memang pasaran taruhan menjadi semakin ramai kalau mangkok itu sudah ditelungkupkan, tinggal dibuka saja. Meja itu penuh dengan uang taruhan yang ditumpuk-tumpuk.

   "Awaaaassss, mangkok akan dibuka! Perhatikan baik-baik! Satu... dua... tiga"!"

   Dengan cekatan, tangan si pendek gendut membuka mangkok dan dua buah dadu itu jelas memperlihatkan angka di permukaan mereka, yaitu angka satu dan dua!

   "Tigaaaaa...!"

   Teriak Bandar dadu dengan alat pengeruknya, dan tentu saja dia mengeruk semua uang yang bertumpuk di atas meja karena tidak ada seorangpun yang memasang nomor tiga. Para pelayan wanita sibuk pula membantunya dan beberapa orang pembantu lagi mengatur uang kemenangan itu dalam tumpukan-tumpukan yang rapi, memisah-misahkan mata uang itu dan menghitung-hitung.

   "Silakan pasang lagi! Pasang lagi"! Siapa tahu kali ini pasangan anda tepat mengenai sasaran! Pasang seratus mendapatkan tiga ratus, pasang seribu mendapatkan tiga ribu!"

   Teriak beberapa orang gadis cantik pelayan meja dadu itu. Sebuah tangan yang halus menyentuh lengan Hay Hay. Pemuda ini menengok dan dia terpesona. Gadis ini cantik bukan main. Bedak di mukanya tidak setebal gadis-gadis yang lain dan agaknya dara ini baru saja tiba karena tadi dia tidak melihatnya di antara para gadis pelayan. Juga pakaiannya agak berbeda, gadis ini lebih mewah dengan hiasan rambut dari emas permata. Matanya sungguh indah, seperti mata burung Hong! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh tahun.

   "Kongcu, kenapa tidak ikut bertaruh? Kulihat engkau orang baru, biasanya orang baru akan selalu menang."

   Hay Hay tersenyum. Gadis ini ramah sekali dan wajahnya amat menyenangkan, juga bau semerbak harum yang keluar dari pakaian dan rambutnya amat sedap, tidak menyolok.

   "Aku sedang berpikir-pikir nomor berapa yang harus kupasangi."

   Katanya. Gadis itu tersenyum.

   "Kongcu, aku bekerja di sini dan tidak semestinya aku membantu para penjudi. Akan tetapi percayalah, malam tadi aku bermimpi indah sekali dan kalau aku menjadi kongcu, akan kupasangi nomor dua belas!"

   Diam-diam Hay Hay tertawa. Gadis ini bekerja di situ sebagai pelayan, tentu saja, tugasnya selain membujuk para tamu agar berjudi, juga tentu berusaha supaya tamunya kalah, maka menganjurkan dia memasang nomor dua belas, nomor sial yang hanya mempunyai kemungkinan keluar satu kali saja! Akan tetapi, dia tersenyum dan mengeluarkan semua sisa uang yang ada di sakunya, hanya setumpuk uang tembaga dan dua potong uang perak, hanya kurang lebih dua tail perak saja harganya!

   "Nah, inilah semua uangku, boleh kau pasangkan sesukamu, nona." Gadis itu memandang dengan alis berkerut.

   "Kongcu, apakah semua uangmu hanya inikah?"

   Hay Hay mengerling ke kiri dan melihat betapa dua orang penjaga atau tukang pukul yang tadi menyambutnya, sedang berbisik-bisik dan memandang ke arahnya. Diapun tersenyum dan dapat menduga bahwa tentu dua orang itu yang melapor ke dalam dan dari dalam lalu mengutus gadis ini untuk melayaninya setelah mendengar laporan bahwa dia memiliki banyak uang emas!

   "Semua uang kecilku hanya itu,"

   Katanya sambil tersenyum.

   "uang emasku masih banyak. Kau dengarlah ini!"

   Dia menepuk saku bajunya dan gadis itu mendengar suara gemerincing nyaring. Gadis itu tersenyum manis sekali dan iapun mendesak maju ke meja.

   "Kongcu mempertaruhkan semua uang kecil ini atas nomor dua belas!"

   Semua orang memandang heran. Bagaimanapun juga, tumpukan uang itu cukup banyak. Mana ada orang mempertaruhkan uangnya pada nomor dua belas? Bandar itu memandang sambil tersenyum menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi yang kuning menghitam karena rusak. Lalu dia memutar-mutar dua buah dadu di dalam mangkuk, dan cepat menelungkupkan mangkuk itu di atas meja. Orang-orang diberi kesempatan untuk menambah taruhan mereka, dan tidak seorangpun kecuali Hay Hay mempertaruhkan uangnya pada nomor dua belas. Mangkuk dibuka dan...

   "Dua belaaaasss...!"

   Teriak bandar. Dua buah dadu itu jelas memperlihatkan nomor enam dan enam! Semua orang berteriak heran dan gadis manis itu sambil tersenyum-senyum membantu Hay Hay menghitung uang taruhannya. Hay Hay menerima tiga kali uang taruhannya sehingga di atas meja, di depannya, kini ia menghadapi uangnya yang menjadi bertumpuk-tumpuk! Dia mendapatkan sebuah bangku dan gadis cantik itupun duduk di dekatnya, memberi isarat kepada seorang pelayan lain untuk mengambilkan minuman anggur untuk "kongcu".

   "Wah, engkau memang sedang mujur sekali nona...?"

   "Siok Bi, namaku Siok Bi, kongcu...?"

   "Hay Hay namaku!"

   "Hay Kongcu, bukan aku yang mujur melainkan engkau!"

   Katanya sambil menyentuh lengan dengan mesra sekali. Sentuhan itu membuat, Hay Hay merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Begitu lembut, begitu hangat dan mesra. Jantungnya berdebar kencang dan mukanya menjadi merah.

   "Siok Bi, coba kau tukarkan semua uang ini dengan uang perak agar lebih mudah kita bertaruh."

   Katanya. Gadis itu membantu dengan penuh gairah, dan dengan bantuannya, maka sebentar saja tumpukan uang di depan Hay Hay berubah meniadi uang perak setumpuk yang jumlahnya ada sepuluh tail!

   "Silakan pasang lagi...!"

   Bandar sudah berteriak, agaknya sama sekali tidak kecewa melihat betapa uangnya ditarik demikian banyaknya oleh tamu baru itu.

   "Siok Bi, nomor berapakah sebaiknya kini?"

   Tanya Hay Hay kepada gadis di sampingnya yang bersikap demikian mesra, seolah-olah mereka sudah lama berpacaran.

   "Aih, mimpiku hanya satu kali, kongcu. Sebaiknya kalau engkau memilih sendiri agar tidak keliru."

   "Baiklah, kubertaruh atas nomor dua!"

   Hay Hay rmendorong separuh dari semua uangnya ke atas nomor dua. Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Gilakah pemuda itu? Setelah menang secara kebetulan sekali atas nomor dua belas, kini bertaruh atas nomor dua, nomor sial yang sukar keluarnya lagi.

   "Kenapa nomor dua, kongcu? Nomor itu jarang sekali keluar, hanya mempunyai satu kemungkinan."

   Bisik gadis di sisinya, mendekatkan mukanya dengan muka Hay Hay sehingga ketika bicara, dia dapat merasakan napas gadis itu hangat bertiup di pipinya. Hay Hay tersenyum.

   "Biarlah, bukankah tadi nomor dua belas juga keluar?"

   Karena tertarik oleh keberuntungan pemuda itu, ada dua orang penjudi lain ikut-ikutan memasang pada nomor dua, akan tetapi hanya iseng-iseng saja dan jumlah uangnya tidak banyak. Dadu dikocok dalam mangkuk, lalu ditelungkupkan. Ketika dibuka, ternyata jatuh pada nomor lima! Beberapa orang penjudi yang memegang nomor lima memperoleh uang hadiahnya, akan tetapi jumlahnya tidak banyak dan bandar masih menang cukup banyak.

   "Aih, kongcu tidak percaya kepadaku sih!"

   Siok Bi mengeluh.

   "Sekarang pasang coba-coba saja dulu, kongcu, jangan banyak. Sepotong perak saja untuk memancing nasib."

   "Baiklah, aku menurut usulmu,"

   Kata Hay Hay Sambil tertawa dan dengan sembarangan saja dia melempar sepotong perak yang jatuh ke angka tiga! Kembali angka sial! Dan kini tidak ada seorangpun yang mau ikut-ikutan memasang nomor tiga. Akan tetapi ketika mangkuk dibuka dua dadu menunjukkan angka satu dan dua!

   "Tigaaaa...!"

   Bandar berteriak dan menggaruk semua uang, kecuali taruhan Hay Hay yang menang lagi sehingga menerima hadiah tiga potong perak.

   Siok Bi dengan genitnya mencubit paha Hay Hay di bawah meja, lalu merapatkan tubuhnya sambil tertawa girang. Hay Hay juga tertawa-tawa untuk menenteramkan jantungnya yang berdebar. Ketika para penjudi dipersilakan bertaruh lagi, Hay Hay mendorong semua uang di depannya ke atas nomor sebelas. Lagi-lagi nomor sial! Akan tetapi sekali ini, empat orang ikut-ikutan memasang nomor sebelas sehingga kalau sekali ini keluar nomor sebelas, bandarnya akan rugi cukup banyak! Siok Bi hanya tersenyum, maklum bahwa tamunya mulai panas dan mulai dipengaruhi setan judi sehingga sebentar lagi tentu akan mengeluarkan uang emas dari dalam kantongnya! Dadu dikocok, lalu mangkuk ditelungkupkan!

   "Silakan menambah uang taruhan!"

   Teriak bandar .

   "Siok Bi, keluarkan semua uangmu, kupinjam dulu untuk taruhan!"

   Kata Hay Hay. Gadis itu terkejut, akan tetapi mengeluarkan uangnya dan ternyata ada lima tail.

   "Bagaimana kalau kalah, kongcu?"

   "Jangan khawatir, akan kuganti dengan uang emas!"

   Siok Bi girang sekali. Kalau tidak terdapat banyak orang, tentu sudah diciumnya pemuda yang ganteng dan menarik ini. Pemuda ini, tidak seperti para tamu lain, tidak pernah jail, tidak mengganggunya, menyentuhnyapun tidak, apa lagi kurang ajar. Akan tetapi selalu ramah dan pandang matanya itu membuat birahinya bangkit sejak tadi! Hay Hay menambahkan uang Siok Bi ke atas taruhannya. Mangkuk di buka dan"

   Sepasang mata bundar itu melotot keheranan ketika dua buah dadu itu menunjukkan angka enam dan lima!

   "Se... sebelas...!"

   Serunya dan si gendut ini kelihatan bingung sekali. Juga Siok Bi terbelalak heran, menatap tajam wajah bandar gendut, akan tetapi ia dengan cepat dapat menguasai keheranannya, lalu memegang lengan Hay Hay.

   "Kita menang, Hay Kongcu...!"

   Serunya gembira, bersama seruan mereka yang ikut memasang nomor sebelas.

   Bandar dengan muka agak pucat menghitung semua uang dan membayar kemenangan mereka yang bertaruh pada nomor sebelas. Setelah tiga kali putaran lagi Hay Hay tetap menang dan semua penjudi di meja itu kini semua memasang nomor yang sama dengan Hay Hay, bandar judi yang bertugas di meja itu menjadi pucat sekali. Tubuhnya gemetar dan dia menghapus keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Setiap kali membuka mangkuk, tangannya gemetar dan matanya terbelalak kalau dia melihat betapa sepasang dadu itu selalu menunjuk angka yang tepat seperti yang dipasangi pemuda itu! Orang-orang bersorak gembira dan uang di meja bandar itu telah dikuras habis, bahkan sang bandar terpaksa menyuruh pembantunya mengambil uang dari dalam! Kini, bandar judi yang gendut pendek itu menyeka keringatnya dan menggoyang-goyang kepalanya.

   "Aku... aku... lelah sekali... biarlah aku berhenti dulu dan... minta diganti rekan lain...

   "

   Dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan meja itu menuju ke dalam dan tak lama kemudian, muncullah lima orang laki-laki dari dalam, mengawal seorang kakek berusia enam puluh tahun yang bermuka hitam dan bertubuh jangkung. Mata kakek ini tajam seperti mata elang dan melihat mereka itu, diam-diam Hay Hay tersenyum, maklum bahwa kini tentu muncul jagoan nomor satu dalam permainan judi itu, diikawal oleh lima orang pengawal jagoan yang pilihan pula. Namun, dia pura-pura tidak tahu dan sibuk menyerahkan setumpuk uang yang banyak sekali kepada Siok Bi.

   "Sobat, kocok dulu dadunya. Kalau sudah kau telungkupkan mangkuk itu, baru aku akan memasang taruhanku. Akan tetapi, aku juga sudah lelah maka aku ingin berjudi satu kali lagi saja. Akan kupertaruhkan semua uang emasku ini untuk satu nomor!"

   Semua orang menahan napas. Semua dipertaruhkan? Lima belas tail emas, berarti tumpukan emas di depan Bandar itu akan tersedot hampir habis kalau pemuda itu menang! Si bandar harus membayar empat puluh lima tail emas! Mendengar tantangan yang amat berani itu, si bandar muka hitam terbelalak sedikit, akan tetapi dengan tenang diapun mengangguk.

   "Baik, kuterima! Bagaimana yang lain?"

   "Akupun mempertaruhkan semua uangku ini!"

   "Aku juga!"

   "Aku juga!"

   Semua penjudi berteriak ingjn mempertaruhkan semua uang mereka. Kini wajah bandar judi itu agak pucat. Bayangkan saja! Semua orang yang berjudi di situ mempertaruhkan seluruh uang mereka. Akan bangkrutlah kalau dia kalah dan bagaimana dia akan mempertanggungjawabkan kepada pemimpin? Dia tahu bahwa semua penjudi tentu akan mempertaruhkan uang mereka seperti pemuda itu, dengan nomor yang sama! Akan tetapi dia yakin akan kemampuannya, maka dia menekan perasaannya dan mengangguk-angguk.

   "Baik! Kawan-kawan, hitung uang mereka semua agar lebih mudah nanti pembayarannya!"

   Dia pura-pura tenang saja, seperti telah siap kalau sampai kalah untuk membayar semua kekalahannya! Kini meja itu penuh dengan tumpukan uang, di antaranya tumpukan uang emas lima belas tail dari Hay Hay. Hebatnya, semua penjudi menaruh seluruh uang mereka di atas meja, tidak menyisakan sedikitpun di saku baju mereka. Kalau sampai kalah, mereka semua akan pulang dengan kantong kosong sama sekali! Sebaliknya kalau bandar yang kalah, maka tumpukan uang emas, perak dan tembaga yang berada di situ semua akan amblas! Setelah selesai menghitung uang taruhan dan mencatat, si jangkung muka hitam lalu berseru keras,

   "Dadu dikocok...!"

   Dan cara dia mengocok dadu memang aneh, lain dari kocokan si gendut tadi. Dia memutar-mutar mangkuk yang lebih besar dari pada mangkuk yang dipergunakan rekannya tadi, memutar cepat sekali di atas kepala dan terdengar bunyi berkerotokan ketika dadu-dadu itu berputaran di dalam mangkuk, lalu dia menurunkan mangkuk itu, tangan kiri menarik tutupnya.

   "Brukkk!"

   Mangkok jatuh menelungkup di atas meja dan meja itupun tergetar. Diam-diam Hay Hay memperhatikan dan maklumlah dia bahwa si jangkung ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat! Dia maklum pula bahwa si jangkung ini, seperti juga rekannya tadi, tentu mempergunakan tipu muslihat dan mungkin dibantu dengan tenaga sin-kangnya untuk mengatur keluarnya nomor dadu, maka diapun sudah bersiap siaga, mengerahkan kekuatan sihirnya karena dia belum tahu akal apa yang akan dipergunakan orang. Tentu saja kedua telapak tangannya juga ditempelkan di meja itu untuk mengetahui melalui getaran di meja apa yang terjadi.

   "Silakan memasang nomor!"

   Teriak pula bandar itu, tangan kanannya masih di atas mangkuk yang telungkup di depannya.

   Tanpa ragu-ragu lagi Hay Hay mendorong lima belas tail emasnya ke atas nomor tiga! Kembali semua orang tertegun. Sungguh nomor-nomor yang sial dan jarang keluar saja yang selalu dipilih oleh pemuda itu. Namun, tanpa ragu-ragu mereka semua lalu mendorong uang masing-masing ke atas nomor tiga, mengelilingi tumpukan uang emas. Hay Hay! Semula uang yang bertumpuk-tumpuk di atas meja itu dipertaruhkan kepada nomor tiga! Hay Hay tidak melihat ada perubahan pada muka si jangkung itu, akan tetapi biarpun hanya sedetik dia melihat betapa sepasang mata itu terbelalak atau mengeluarkan sinar kaget, kemudian, kedua tangannya yang diletakkan di atas meja itu dapat merasakan getaran yang datangnya dari dalam mangkuk besar itu.

   Pendengarannya yang terlatih itupun mendengar suara bunyi kretek-kretek dua kali. Hay Hay dapat menduga bahwa itulah alat rahasia di dalam mangkuk. Agaknya, pasangannya pada nomor tiga itu tepat mengenai sasaran dan dua buah dadu di bawah mangkuk itu benar-benar menunjukkan angka tiga, akan tetapi kini alat rahasia di dalam mangkuk telah bekerja dan tentu dua buah dadu itu akan membalik dan menjadi angka lain. Hal ini dapat dibacanya dari muka hitam itu, yang kini bibirnya mengandung senyum mengejek dan sepasang matanya bersinar penuh keyakinan menang. Suasana menjadi sunyi, tegang mencekam hati para penjudi. Ada yang mukanya pucat, ada yang merah, ada yang peluhnya bercucuran. Semua orang dicengkeram oleh harapan kemenangan dan dicekam rasa takut akan kekalahan.

   "Sobat-sobat, lihat baik-baik, mangkuk ini akan kubuka. Satu, dua... tiga...!"

   Semua mata memandang dan penglihatan Hay Hay yang paling tajam itu sudah melihat bahwa sebuah dadu menunjuk angka satu, akan tetapi dadu kedua menunjuk angka enam! Jadi yang keluar adalah tujuh! Dia kalah! Akan tetapi, dengan getaran kedua telapak tangannya, tiba-tiba saja, secepat kilat sehingga tidak tampak oleh mata biasa, dadu yang menunjuk angka enam itu bergulir dan kini menunjuk angka dua!

   "Satu dan dua...!"

   "Tiga...! Kita menang!"

   "Kita menang! Hayo bayar taruhanku!"

   Suasana menjadi riuh rendah, akan tetapi Hay Hay hanya menatap dengan pandang mata tajam kepada wajah si jangkung. Muka yang hitam itu menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada dua buah dadu itu, kemudian dia berteriak parau.

   "Sobat-sobat, kalian keliru! Lihat yang betul, bukan angka tiga yang keluar!"

   Tiba-tiba, dengan menekan meja, dia menggetarkan sin-kang dan biji dadu yang tadinya menunjuk angka dua, kini kembali berguling ke angka enam!

   Akan tetapi, hanya sebentar karena sudah berguling ke angka dua! Semua penjudi memandang dengan bengong dan mata terbelalak heran. Kini semua orang melihat betapa dadu yang satu ini dapat bergulir-gulir, suatu saat bergulir ke angka enam, lalu bergulir lagi ke angka dua! Terjadi "perang"

   Antara dua kekuatan sin-kang yang digetarkan melalui telapak tangan si jangkung muka hitam itu dan Hay Hay. Akan tetapi, ketika untuk kesekian kalinya dadu itu bergulir ke angka enam dan Hay Hay menggulirkannya lagi ke angka dua, dia mengerahkan tenaga dan menahan sehingga betapapun si jangkung berusaha dengan sin-kangnya, tetap saja dia tidak mampu menggulirkan dadu itu yang tetap menunjuk angka dua. Satu dan dua!

   "Tigaaaa...!"

   Semua penjudi berseru setelah melihat betapa dadu itu kini tidak bergerak lagi dan keduanya tetap menunjuk angka satu dan dua! Kembali orang-orang bersorak, akan tetapi tiba-tiba si jangkung muka hitam bangkit berdiri dan berseru,

   "Tidak! Ada kesalahan di sini! Kalian tadi melihat betapa dadu yang satu itu bergulir-gulir. Ini tidak benar! Pengocokan dadu harus diulang dan sekarang semua orang harus menjauhi mejal"

   Tentu saja ucapan ini membuat para penjudi terkejut dan marah sekali.

   "Wah, itu tidak adil!"

   "Curang sekali!"

   "Kami sudah menang, bayar kemenangan kami!"

   Tiba-tiba dengan gerakan yang cekatan sekali, si jangkung muka hitam meloncat ke atas meja dan bertolak pinggang. Wajahnya keren dan bengis sekali, sementara itu, belasan tukang pukul sudah siap siaga di belakangnya sambil meraba gagang senjata.

   "Siapa bilang kami curang? Pernahkah rumah judi kami tidak membayar para pemenang? Kami hanya ingin mengulang pengocokan dadu karena tadi tidak wajar. Hayo, mundur! dan tidak boleh menyentuh meja! Kami sudah mengambil keputusan dan siapa akan menentang?"

   Para pengawal di belakang si muka hitam ini memandang beringas, siap menyerang siapa saja yang berani menentang keputusan itu. Para penjudi masih bersungut-sungut penasaran dan tidak puas, akan tetapi tidak ada yang berani menentang dan semua orang mundur menjauhi meja. Kini mereka semua memandang kepada Hay Hay karena pemuda inilah yang mereka harapkan, dan pemuda itu, tanpa pemungutan suara lagi, telah mereka anggap sebagai pemimpin mereka! Hay Hay tersenyum dan diapun menurut saja ketika lengannya ditarik oleh Siok Bi menjauhi meja. Gadis itu masih tetap merangkul pinggangnya ketika Hay Hay berkata,

   "Saudara sekalian, biarlah kita terima saja keputusan itu! Biarpun diulang-kocok, kalau memang sudah nasib kita untuk menang, kita tetap akan menang!"

   Mendengar ucapan ini, semua orang menjadi lega kcmbali. Si muka hitam memandang penuh curiga.

   Tadi dia tahu bahwa ada orang yang main-main dan melawan sin-kangnya dan dalam pertarungan adu kekuatan itu dia telah kalah! Akan tetapi karena banyak sekali tangan berada di atas meja, tentu saja dia tidak tahu tangan siapa itu yang telah menyalurkan sin-kang. Agaknya tidak mungkin tangan pemuda aneh yang digandeng Siok Bi itu karena selain pemuda itu kelihatan biasa saja, juga Siok Bi selalu menggandeng dan merangkulnya sehingga tentu gadis itu yang juga merupakan pembantu dari pimpinan rumah judi dan memiliki kepandaian lumayan pula, akan mengetahuinya. Si jangkung muka hitan sudah meloncat turun kembali dan setelah mengamati dua buah dadu itu, diapun memutar atau mengocok sepasang dadu itu ke dalam mangkuk. Seperti tadi, dia menelungkupkan mangkuk di atas meja dan berteriak,

   "Apakah nomor pasangan tidak dirubah?"

   "Tidak, tetap nomor tiga!"

   Kata Hay Hay.

   "Kami juga nomor tiga!"

   "Nomor tiga...!"

   Semua orang serempak berteriak, walaupun hati mereka khawatir sekali. Bagaimana mungkin dua kali berturut akan keluar nomor sial itu?

   "Jangan gelisah, saudara-saudara! Yang keluar pasti nomor tiga. Nomor tiga...!"

   Seru Hay Hay dan seruan ini mengandung kekuatan sihir yang besar dan seketika semua orang di ruangan itu terpengaruh tanpa mereka sadari.

   "Satu... dua... tiga...!!"

   Teriak si jangkung muka hitam dan begitu membuka mangkuk, kembali dia terbelalak dan mukanya berubah pucat karena benar saja seperti dikatakan oleh pemuda itu, dadu-dadu itu menunjuk angka satu dan dua.

   "Tigaaa...! Nomor tiga, kita menang!"

   Teriak orang-orang itu dengan gembira.

   "Nanti dulu, kalian salah lihat! Lihat baik-baik!"

   Teriak si muka hitam dan kini dia menekan meja. Hanya kedua tangannya saja yang menekan meja, tidak ada tangan lain maka dia merasa yakin akan mampu menggulirkan dadu tanpa ada yang menghalanginya. Benar saja, begitu dia menggetarkan telapak tangannya, sebuah dadu yang nomor satu bergulir ke angka tiga. Akan tetapi, betapa heran, terkejut dan bingungnya ketika dadu itu bergulir, bukan angka tiga yang nampak, melainkan angka satu pula! Jadi tetap satu dan dua! Kembali dia mengerahkan sin-kang dan dadu itu bergulir-gulir,

   Akan tetapi ke permukaan manapun dadu itu bergulir, tetap angka satu seolah-olah ke enam permukaannya semua berangka satu! Si muka hitam terheran dan meneliti dadu itu dari samping. Angka-angkanya masih tetap biasa, dari satu sampai enam! Akan tetapi mengapa kalau berguIir, yang nampak angka satu Iagi? Sementara itu, para penjudi bersorak-sorak gembira. Merekapun melihat dadu itu bergulir-gulir, namun tetap angka satu sehingga tetap saja angka itu menjadi satu dan dua. Kini si muka hitam terbelalak dan mukanya penuh dengan keringat. Celaka, pikiranya. Dia telah membikin bangkrut rumah judi dan tentu dia harus bertang-gung jawab terhadap pemimpinnya. Dia merasa ngeri dan tiba-tiba saja dia, seperti tadi telah meloncat ke atas meja dan tangannya sudah memegang sebatang pedang telanjang!

   "Tidak ada yang menang atau kalah!"

   Bentaknya.

   
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada orang membikin kacau di sini! Rumah judi ditutup dan kalian boleh membawa pulang uang masing-masing!"

   "Tapi kami menang! Harus dibayar dulu...!"

   "Dibayar dengan ini?"

   Si muka hitam mengacungkan pedangnya.

   "Kami tidak mau membayar karena permainan judi tadi tidak wajar dan ada kecurangan! Hayo kalian semua keluar, atau kami akan menggunakan kekerasan!"

   Ketika semua orang memandang, belasan orang tukang pukul itu kini sudah menghunus senjata tajam semua dan sikap mereka mengancam. Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dan ketika semua orang memandang, ternyata yang tertawa itu adalah Hay Hay.

   "Ha-ha-ha-ha, maling teriak maling, orang curang teriak orang lain curang, betapa palsunya hidup kalian sebagai penyelenggara perjudian. Saudara sekalian, mundurlah, biar aku yang menghadapi manusia-manusia jahat ini!"

   Semua tamu mundur dan mepet pada dinding, dan Hay Hay dengan lembut mendorong Siok Bi untuk melepaskan gandengannya. Siok Bi bukanlah wanita sembarangan dan ia memiliki ilmu silat yang cukup hebat sehingga dipercaya sebagai kepala para pelayan wanita. Akan tetapi ketika ia didorong, ia merasa betapa ada kekuatan yang amat dahsyat sehingga betapapun ia sudah mempertahankan, tetap saja ia terdorong dan terhuyung sehingga terpaksa iapun mundur sampai ke dinding. Hay Hay menjulurkan tangannya dan menyambar mangkuk besar di atas meja dadu.

   "Saudara sekalian lihatlah betapa curang mereka ini!"

   Dia menelentangkan mangkuk itu dan nampaklah oleh semua orang betapa di sebelah atas mangkuk itu terpasang alat rahasia dan nampak ada sepasang dadu di sana, agaknya kalau sepasang dadu di atas meja itu hendak diganti sehingga nomornya keluar menurut kehendak bandar, maka alat di dalam mangkuk itu menukar dadu di atas meja dengan dadu yang berada di dalam mangkuk. Kalau alat rahasia ini gagal, masih ada kekuatan sin-kang bandarnya yang dapat membuat dadu bergulir. Namun, semua itu, alat dan kekuatan sin-kang si bandar, sekali ini tidak berhasil karena di halangi oleh Hay Hay yang menggunakan kekuatan sin-kang kemudian menggunakan sihir. Melihat ini, tentu saja para penjudi itu menjadi terkejut dan marah sekali.

   "Nah, lihat betapa bodohnya berjudi di rumah judi. Hampir semua rumah judi tentu mempergunakan tipu muslihat dan mana mungkin kalian menang? Biasanya yang sengaja diberi kemenangan untuk menarik para tamu adalah anak buah mereka sendiri. Hendaknya kenyataan ini membuka mata saudara sekalian sehingga tidak lagi mau menjadi korban perjudian, menghentikan kebiasaan berjudi yang buruk!"

   Mendengar ucapan Hay Hay itu, dipimpin oleh si muka hitam, belasan orang pengawal itu sudah mengepung Hay Hay. Bahkan dari dalam muncul pula bandar pendek gendut itu dan beberapa orang lain sehingga jumlah mereka kini ada dua puluh orang! Semua orang memegang senjata tajam dan sikap mereka amat bengis. Semua tamu memandang dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran. Tiba-tiba nampak Siok Bi, wanita cantik yang tadi menemani Hay Hay, menyelinap masuk ke dalam lingkaran dan meloncat ke dekat Hay Hay. Wajahnya agak pucat dan matanya bersinar-sinar.

   "Tidak! Kalian tidak boleh menyakiti Hay-kongcu! Dia tidak bersalah, dan dia melakukan perjudian juga hanya iseng-iseng saja! Kongcu, kuharap engkau suka menyudahi urusan ini dan membawa pergi uangmu dari tempat ini. Tidak ada gunanya bagimu, tidak ada untungnya untuk memusuhi rumah perjudian ini, apa lagi mengingat bahwa kongcu bukanlah orang Shu-lu. Sekali lagi kuanjurkan agar kong-cu pergi dari sini dengan aman. Aku yang menanggung bahwa kongcu dapat pergi dengan aman dan tidak diganggu!"

   Aneh sekali. Dua puluh orang laki-laki bengis itu agaknya tidak ada yang berani menentang ucapan Siok Bi, hanya memandang kepada Hay Hay seolah hendak melihat bagaimana tanggapan Hay Hay terhadap nasihat Siok Bi itu. Hay Hay tersenyum dan menjulurkan tangannya, membelai daguyang halus itu.

   "Siok Bi, engkau manis sekali. Terima kasih atas usahamu mengamankan aku. Akan tetapi, tidak. Mereka itu curang dan mereka harus membayar kekalahan mereka kepada semua penjudi di sini!"

   "Ah, kau... kau berani... menentang mereka semua itu?"

   Tanya Siok Bi, membelalakkan mata, tidak percaya. Ia dapat menduga bahwa pemuda yang amat menarik hatinya ini tentu memliki kepandaian. Akan tetapi betapapun lihainya, kalau harus melawan dua puluh orang bersenjata yang marah itu, apalagi ia tahu betapa lihainya si muka hitam dan si pendek gendut, tentu pemuda ini akan celaka. Hay Hay tertawa.

   "Kenapa tidak berani? Mereka itu hanya sekawanan tikus yang tidak tahu mana kawan mana lawan!"

   "Eh? Maksudmu, kongcu?"

   "Kau lihat sendiri nanti. Minggirlah, Siok Bi yang manis, dan terima kasih atas kebaikanmu."

   Mendengar percakapan itu, dua puluh orang yang mengepung Hay Hay menjadi marah. Mereka dianggap sebagai sekawanan tikus oleh pemuda itu! Begitu Siok Bi yang menggeleng kepala dengan penuh kekhawatiran itu minggir dan kembali ke dinding, si muka hitam lalu berteriak,

   "Hajar dan bunuh manusia sombong ini!"

   Dia sendiri sudah menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan ke arah dada Hay Hay.

   Pemuda ini dengan tenang saja miringkan tubuhnya dan pada saat itu, bandar ke dua yang bertubuh pendek gendut sudah menyerangnya pula dari belakang, membacokkan goloknya ke arah leher. Hay Hay juga mengelak dengan lompatan ke depan, kemudian dia membalik dan kedua tangannya menyambar dengan kecepatan kilat. Si jangkung muka hitam dan si gendut pendek yang merupakan dua orang paling lihai di antara dua puluh orang itu, tidak tahu apa yang terjadi atas diri mereka akan tetapi tiba-tiba saja kepala mereka seperti disambar petir dan merekapun terpelanting roboh. Kiranya petir itu adalah dua buah tangan Hay Hay yang menyambar cepat tadi dan menampar mereka. Ketika dua orang itu dapat bangkit kembali, Hay Hay sudah meloncat ke atas meja dadu yang lebar itu dan bertolak pinggang. Dia tersenyum dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong!

   "Kalian ini sekumpulan tikus! Musuhmu berada di sekeliling, tidak saling serang mau tunggu apa lagi? Hayo kalian cepat serang musuh kalian di sekeliling kalian!"

   Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya ke arah mereka dan terjadilah peristiwa yang amat luar biasa. Si jangkung muka hitam dan si gendut pendek kini sudah menggerakkan senjata masing-masing dan saling serang! Dan semua anak buah mereka juga saling serang sehingga terjadilah pertempuran yang kacau-balau, seperti segerombolan tikus yang tiba-tiba menjadi gila semua dan saling serang, tidak lagi mengenal mana kawan dan mana lawan! Tentu saja para tamu memandang terbelalak penuh keheranan.

   Pemuda yang mereka anggap sebagai pemimpin itu enak-enak saja berdiri di atas meja judi, bertolak pinggang dan tersenyum-senyum, sedangkan dua puluh orang tukang pukul sudah saling serang tidak karuan. Karena mereka semua menggunakan senjata, maka sebentar saja sudah ada beberapa orang yang roboh mandi darah terkena bacokan. Siok Bi juga terbelalak penuh keheranan. Akan tetapi, melihat betapa sudah ada beberapa orang roboh mandi darah, ia lalu meloncat ke atas meja di mana Hay Hay berdiri. Semua orang terkejut dan kagum. Meja itu agak jauh dan ia harus melompat di antara orang-orang yang sedang berkelahi dengan senjata tajam, namun Siok Bi dapat meloncat ke atas meja dan tiba di depan Hay Hay tanpa mengguncangkan meja itu! Hay Hay yang sudah menduga bahwa Siok Bi memiliki kepandaian, tidak merasa heran dan menyambutnya dengan senyum.

   "Kau mau membantu mereka?"

   Tanyanya. Siok Bi memegang lengan pemuda itu,

   "Tidak, kongcu, tidak sama sekali! Aku aku bahkan gembira bahwa engkau yang mampu mempermainkan dan menghajar orang-orang kejam itu. Akan tetapi, hentikanlah. Aku tidak ingin melihat mereka tewas dan akupun mempunyai tanggung jawab di sini. Hentikanlah, kasihanilah aku karena aku tentu akan mendapat marah dari pimpinan kalau diam saja..."

   Hay Hay mengangguk, lalu menghadapi mereka yang sedang berkelahi, dan dia bertepuk tangan! Tepukan tangannya nyaring, disusul teriakannya yang berpengaruh.

   "Heiii, berhenti semua! Apakah kalian sudah gila, saling serang sendiri! Hayo berhenti berkelahi kataku!"

   Tiba-tiba saja perkelahian berhenti dan semua orang itu terheran-heran melihat betapa mereka tadi telah saling serang di antara kawan sendiri! Ada delapan orang yang terluka karena bacokan senjata kawan sendiri, bahkan si muka hitarn terpincang-pincang dengan paha luka, dan si gendut pendek juga meringis karena bahunya robek oleh sabetan pedang. Kini mereka semua memandang kepada Hay Hay yang berdiri di atas meja, sedangkan Siok Bi sudah cepat meloncat turun.

   "Nah, bagaimana sekarang? Apakah kalian masih hendak berkelahi dengan aku? Ataukah kalian mau memenuhi kewajiban kalian, membayar semua kemenangan kami?"

   Siok Bi menghampiri si muka hitam dan si gendut pendek, berbisik.

   "Sebaiknya kita penuhi permintaannya. Kalian bukanlah lawan dia, kalau dilanjutkan, kita semua akan celaka!"

   Agaknya kini semua anak buah rumah judi itu sudah merasa gentar dan dengan pimpinan si muka hitam, mereka lalu membayar semua kemenangan para penjudi yang menerima uang kemenangan mereka dengan muka gembira dan mereka segera meninggalkan tempat itu dan berjanji di dalam hati sendiri untuk tidak kembali lagi.

   Para anak buah rumah judi itu memandang dengan penuh rasa gentar ketika Hay Hay membungkus semua uang emasnya yang kini berjumlah enam puluh tail emas itu dengan kain yang lebar, kemudian memanggul emas itu seperti benda yang biasa saja di atas punduknya. Padahal, buntalan itu merupakan harta yang cukup besar. Siok Bi memandang dengan sinar mata penuh kagum. Belum pernah selamanya ia berjumpa dengan seorang pemuda seperti itu. Memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan sakti, tampan gagah dan pandai sekali mengeluarkan kata-kata indah yang menyenangkan hati, merayu tanpa bersikap kurang ajar! Siok Bi merasa betapa baru pertama kali ia benar-benar tertarik kepada seorang pria, bahkan diam-diam ia mengaku telah jatuh cinta! Sebelum meninggalkan tempat itu, Hay Hay menoleh kepada mereka, dan memandang kepada Siok Bi sambil tersenyum.

   "Siok Bi, sekali lagi terima kasih kepadamu dan tolong beritahukan kepada semua orang bahwa aku sedang mencari seorang tokoh kang-ouw yang berjuluk Ang-hong-cu. Lihat, semua emas di pundakku ini akan kuberikan kepada siapa saja yang mampu menunjukkan di mana adanya Ang-hong-cu itu. Nah, kutunggu beritamu sampai besok siang di kamarku. Aku menginap di rumah penginapan Hok-lai-koan."

   Setelah berkata demikian, dia segera melangkah pergi. Setelah dia pergi, barulah para anak buah rumah judi itu menjadi gernpar. Mereka mengobati teman-teman yang terluka dan mereka semua bingung bagaimana harus menghadapi pemimpin mereka yang tentu akan menjadi marah sekali.

   "Nona Siok Bi, sebaiknya engKau lah yang menyampaikan berita ini kepada Coa Wan-gwe!"

   Kata si muka hitam dengan muka membayangkan perasaan takut.

   "Tenanglah, aku melihat sendiri bahwa kalian tidak mampu berbuat apa-apa, tidak berdaya menghadapi Hay Kongcu yang sakti itu. Akan kuceritakan kepadanya, akan tetapi tidak sekarang. Sekarang ini dia tidak boleh diganggu, karena dia sedang beristirahat, kabarnya malah hendak bermalam di luar rumah. Biar kuselidiki... eh, kalian mendengar sendiri tadi. Pemuda itu mencari Ang-hong-cu. Adakah di antara kalian yang mengenal tokoh kang-ouw yang berjuluk Ang-hong-cu itu?" Semua orang mengerutkan alis, mengingat-ingat. Kemudian si jangkung muka hitam berkata,

   "Nama itu sudah lama kudengar, akan tetapi belum pernah aku melihat orangnya. Bahkan sepanjang yang kudengar, tidak ada orang kang-ouw pernah melihatnya. Juga namanya sudah lama tidak lagi terdengar di dunia kang-ouw, melainkan puluhan tahun yang lalu. Tapi, nona, siapakah sebetulnya pemuda itu? Kepandaiannya demikian hebat... dan... hiihhh, bagaimana tadi kami dapat saling serang sendiri? Ilmu apakah yang dia gunakan itu?"

   Si muka hitam itu bergidik, juga teman-temannya semua merasa jerih dan takut. Siok Bi menggeleng kepala.

   "Jelas bahwa ilmu silatnya tinggi, akan tetapi aku sendiri tidak mengerti mengapa tadi kalian menurut saja ketika dia menyuruh kalian saling serang sendiri."

   "Tentu dia mempergunakan ilmu sihir!"

   Kata si pendek gendut.

   "Aih, kalau disuruh melawan orang yang pandai sihir, lebih baik aku angkat tangan saja!"

   Tiada hentinya para anak buah itu membicarakan pemuda yang telah mendatangkan kekacauan dan yang membuat mereka terpaksa menutup rumah judi karena bangkrut! Akan tetapi, hati mereka agak lega setelah Siok Bi, gadis kepala pelayan yang menjadi orang kepercayaan majikan atau pemimpin mereka, menyanggupi untuk melaporkan peristiwa itu kepada majikan mereka. Biarpun peristiwa di po-koan (rumah judi) itu segera diketahui oleh seluruh penduduk kota Shu-lu karena para penjudi itu ramai membicarakannya, namun tidak ada yang tahu bahwa pendekar muda yang memiliki kesaktian itu tinggal di rumah penginapan Hok-lai-koan.

   Hay Hay hanya memberi tahu kepada Siok Bi dan para tukang pukul yang kini sudah kehilangan lagak, bahkan tidak berani keluar dari rumah itu, takut kalau dijadikan buah tertawaan orang-orang. Dengan seenaknya, Hay Hay kembali ke rumah penginapan membawa buntalan emas yang banyak itu. Malam hari itu, kurang lebih jam delapan malam, seorang gadis cantik memasuki rumah penginapan itu. Para petugas yang berjaga di rumah penginapan itu, agaknya mengenal baik gadis ini dan tidak ada yang berani bersikap kurang ajar, bahkan mereka menyambutnya dengan sikap hormat dan bertanya apa keperluan gadis itu malam-malam berkunjung ke hotel Hok-lai-koan. Semua petugas di situ mengenal gadis ini sebagai orang kepercayaan Coa Wan-gwe, bahkan tahu bahwa gadis ini pandai ilmu silat!

   "Apakah nona datang ada hubungannya dengan pesanan kamar Coa Wan-gwe? Beliau belum datang..."

   "Tidak, aku hendak berkunjung kepada seorang tamu. Sudahlah, kalian tidak perlu tahu urusanku!"

   Katanya dan iapun terus masuk ke dalam. Para petugas itu tidak berani mengikutinya dan Siok Bi, gadis itu, terus menuju ke ruangan belakang. Orang-orangnya sudah melakukan penyelidikan dan ia tahu di mana kamar yang disewa Hay Hay, yaitu kamar nomor tujuh di belakang. Siok Bi membawa sebuah buntalan yang sejak tadi dipegangnya dengan tangan kiri dan kini ia mengetuk daun pintu kamar nomor tujuh.

   "Tuk-tuk-tuk!"

   Sunyi sejenak, lalu terdengar suara Hay Hay dari dalam.

   "Ya, siapa di luar?"

   Mendengar suara yang ramah gembira ini, Siok Bi tersenyum girang. Ia
(Lanjut ke Jilid 08)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
menyentuh rambutnya dengan tangan kanan, untuk melihat apakah letak rambutnya beres, mengebutkan ujung bajunya, lalu menjawab, suaranya merdu.

   "Hay Kongcu, aku Siok Bi yang datang berkunjung."

   Daun pintu terbuka dan Hay Hay berdiri di ambang pintu, memandang gadis itu dengan senyum dan pandang mata kagum.

   "Aih, engkau semakin tambah manis dan jelita saja, Siok Bi!"

   Wajah yang lembut itu menjadi kemerahan dan iapun melangkah masuk kamar tanpa rikuh lagi.

   "Hemm, engkau murah sekali dengan pujianmu, kongcu. Wanita bisa mabok oleh rayuanmu!"

   Hay Hay juga masuk kamar tanpa menutup daun pintu. Hal ini nampak benar oleh Siok Bi dan kembali ia semakin kagum. Pemuda ini benar-benar berbeda dengan para pria lain yang tentu akan cepat-cepat menutupkan daun pintu seperti seekor harimau yang melihat seekor kambing memasuki kandangnya!

   "Siapa memuji dan merayu? Aku bicara sebenarnya saja, Siok Bi. Kalau engkau tidak percaya bahwa engkau jelita dan manis, coba kau bercermin!"

   Siok Bi tersenyum manis.

   "Tidak usah kau suruh, sebagai seorang wanita normal, setiap hari aku sudah bercermin, kongcu, sedikitnya dua tiga kali atau lebih akan tetapi tak pernah aku melihat diriku seperti yang kau puji-puji. Sungguh engkau baik sekali, kongcu, dan selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang pemuda sehebat kongcu...

   "

   "Wah-wah, siapa kini yang memuji-muji? Siok Bi, sebenarnya apa maksud kunjunganmu ini? Apakah ada hubungannya dengan berita tentang Ang-hong-cu?"

   Siok Bi menoleh ke arah pintu.

   "Kongcu, tidakkah sebaiknya kalau daun pintu kamar itu ditutup dulu?"

   "Eh? Engkau tidak khawatir, Siok Bi?"

   "Apa yang harus kukhawatirkan?"

   "Kalau-kalau aku melakukan hal-hal yang tidak baik, atau kalau sampai ada orang lain melihat engkau berada di sini dan..."

   "Aku tidak perduli dengan pendapat orang lain, kongcu. Dan tentang kemungkinan engkau melakukan hal-hal yang kau maksudkan itu, aku... aku akan merasa berbahagia sekali kalau kau sudi..."

   Mendengar ini, jantung di dalam dada Hay Hay berdebar keras.

   Dia tersenyum dan menutupkan daun pintu, akan tetapi berkali-kali mengingatkan diri sendiri bahwa dia tidak boleh jatuh dalam rayuan gadis ini, seorang gadis pelayan rumah judi yang agaknya memiliki kedudukan cukup terpandang di perkumpulan itu. Tentu bukan seorang perawan yang masih hijau, pikirnya, walaupun mungkin juga bukan seorang wanita penghibur atau wanita pelacur, melihat sikapnya yang lembut walaupun cukup berani. Akan tetapi baru saja dia mau menutup daun pintu dan membalik, tiba-tiba saja dua buah lengan yang lembut itu telah merangkulnya dan gadis itu telah menciumnya dengan penuh rasa kagum dan mesra sampai Hay Hay gelagapan. Akan tetapi, kemesraan itupun membakar hatinya dan diapun membalas dengan penuh perasaan. Ketika api gairah itu terasa membakar, Hay Hay cepat melepaskan rangkulannya.

   "Cukup, Siok Bi. Duduklah dan ceritakan apa maksudmu berkunjung ini!"

   Kalau tadi Siok Bi hampir terlena dalam rangkulan itu, tenggelam ke dalam kemesraan karena baru sekali inilah ia berangkulan dan berciuman dengan seorang laki-laki dengan suka rela, dengan sepenuh perasaan cinta dari hatinya, kini iapun sadar dan terkejut mendengar suara yang penuh wibawa itu. Dengan kedua kaki agak gemetar dan tubuh masih panas dingin, Siok Bi menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, napasnya agak terengah.

   "Aih, Hay Kongcu... Belum... belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang pria seperti kongcu yang sungguh seorang jantan sejati! Kedatanganku ini membawa banyak urusan, kongcu. Pertama, aku hendak mengembalikan ini."

   Ia membuka buntalan dan ternyata itu adalah caping milik Hay Hay yang tadi tertinggal di rumah judi. Hay Hay menerima caping itu sambil tertawa.

   "Ha-ha, terima kasih. Ini sahabatku yang setia dalam perjalanan selama ini."

   Dia menerima caping dan menyimpannya di atas meja.

   "Urusan ke dua, kongcu, adalah mengenai pesanmu agar aku menyelidiki tentang Ang-hong-cu itu. Sudah kutanyakan kepada semua orang. Memang ada juga yang pernah mendengar akan nama Ang-hong-cu, akan tetapi tokoh itu terkenal beberapa puluh tahun yang lalu, setidaknya belasan tahun yang lalu dan selama ini tidak lagi terdengar namanya. Bahkan belum pernah ada orang yang melihat wajahnya. Akan tetapi, dari seorang pembantu yang baru saja pulang dari kota raja, aku mendengar bahwa di kota raja ada seorang yang membual bahwa dia adalah seorang keturunan Ang-hong-cu."

   "Ahhh...! Sapakah orang itu? Siapa namanya dan di mana tinggalnya?"

   "Akupun sudah bertanya akan hal itu. Kebetulan sekali pembantu baru itu mengetahuinya. Namanya dia tidak tahu, hanya mengenalnya sebagai Tang-ciangkun (perwira Tang), seorang perwira yang bekerja di pasukan pengawal istana"

   "She Tang?"

   Hay Hay bertanya dan jantungnya berdebar kencang.

   "Benar, kongcu. Akan tetapi orang itu hanya mendengar bahwa Tang-ciangkun suka membual di luaran bahwa dia adalah keturunan Ang-hong-cu itu saja. Benar atau tidak, tak ada yang mengetahuinya."

   "Bagus, itu sudah cukup, Siok Bi. Besok aku akan segera pergi ke kota raja dan menyelidiki orang she Tang yang menjadi perwira pasukan pengawal di istana itu. Beritamu ini sungguh cukup penting dan amat berharga bagiku. Dan masihkah ada urusan lain lagi?"

   "Ada, kongcu. Mengenai diriku..."

   Dan tiba-tiba saja Siok Bi menangis. Hay Hay memandang tajam dan dia mendapat kenyataan bahwa tangis ini bukan dibuat-buat, bukan sandiwara, melainkan tangis karena duka.

   "Siok Bi, tenanglah. Apakah yang kau susahkan? Sejak pertemuan pertama, aku sudah diam-diam merasa heran mengapa seorang gadis seperti engkau sampai terperosok menjadi seorang pelayan rumah judi""

   Mendengar ucapan itu, Siok Bi menangis semakin sedih, bahkan menjatuhkan diri menelungkup di atas pembaringan dan terisak-isak. Hay Hay merasa kasihan sekali. Dia duduk di tepi pembaringan dan menekan pundak gadis itu, mengelus rambutnya.

   "Tenangkan hatimu dan bicaralah, aku akan menolongmu sedapatku kalau memang engkau membutuhkan pertolongan."

   Gadis itu bangkit dan dengan muka basah air mata ia memandang kepada Hay Hay.

   "Be"

   Benarkah, kongcu"? Benarkah engkau sudi menolongku"? Sudi mengangkat aku dari lumpur kehinaan ini"?"

   Hay Hay tersenyum dan menggunakan jari-jari tangannya mengusap air mata dari pipi yang kini ditinggalkan bedak akan tetapi ternyata kulitnya memang putih mulus dan halus itu. Dia mengangguk.

   "Tentu saja, Siok Bi."

   "Ah, kongcu...!"

   Siok Bi menubruk, merangkul dan menangis di dada Hay Hay. Jantung di dalam dada itu kembali berdebar keras, tangannya balas mendekap akan tetapi Hay Hay dapat bertahan untuk tidak tergelincir ke dalam jurang birahi.

   "Tenanglah, nah, duduklah yang baik dan berceritalah."

   Katanya dan diapun bangkit berdiri, lalu pindah duduk di atas kursi, baju di bagian dadanya basah oleh air mata ketika gadis itu tadi menangis di dadanya. Siok Bi menyusuti air matanya dengan sehelai saputangan yang sudah menjadi basah. Ia menenangkan dirinya, dengan memejamkan mata dan Hay Hay kembali mendapat kenyataan bahwa gadis ini memang pernah mempelajari ilmu silat, bahkan cara untuk bersamadhi dan memperkuat batin. Dia hanya memandang sambil tersenyum. Tak lama kemudian Siok Bi membuka matanya dan kini pandang matanya terang, tidak layu seperti tadi. Ia menarik napas panjang,

   "Maafkan kelakuanku tadi, kongcu. Bagi kongcu, tentu sikapku tadi bukan sikap seorang gadis yang sopan dan bersusila. Memang aku telah menjadi seorang gadis yang tak tahu malu, kongcu, terseret oleh keadaan diriku,"

   Siok Bi lalu menceritakan riwayatnya dengan singkat.

   Ketika ia berusia tiga belas tahun, ayahnya yang sudah menduda gila judi dan habis-habisan sehingga akhirnya dia dijual oleh ayahnya kepada Hartawan Coa yang merupakan orang terkaya di Shu-lu, juga menjadi kepala dari golongan hitarn di daerah itu. Ternyata Hartawan Coa suka kepadanya, karena Siok Bi selain cantik juga amat cerdas. Gadis remaja ini diperlakukan dengan baik, bahkan dilatih segala macam kepandaian, termasuk ilmu silat tinggi. Ketika ia sudah dewasa, ia terpaksa melayani Hartawan Coa yang mengambilnya sebagai seorang di antara selirnya yang amat banyak. Mulai saat itu, Siok Bi selain menjadi selir, juga menjadi orang kepercayaan, dan menjadi kepala para pelayan yang berada di rumah judi itu.

   "Nah, demikianlah riwayatku, kongcu. Aku hidup bergelimang kehinaan, dan hatiku selalu merana semenjak aku dijual oleh ayah kepada Coa Wan-gwe. Dan ayahpun menderita, menyesal dan dia meninggal dunia karena penyesalannya ketika aku dipaksa menjadi selir Coa Wan-gwe."

   Hay Hay mengangguk-angguk. Betapa banyaknya nasib gadis-gadis keluarga miskin, terutama yang berwajah cantik manis seperti Siok Bi ini. Banyak penggoda datang, berupa hartawan-hartawan yang haus akan bunga cantik yang baru mekar, menggunakan uang mereka untuk membeli gadis-gadis itu. Masih baik nasib gadis cantik miskin yang mempunyai orang tua yang mempunyai harga diri, akan tetapi kalau orang tuanya mata duitan, sungguh celaka. Gadis itu akan menjadi semacam barang dagangan, dijual kepada hartawan untuk menjadi alat memuaskan nafsunya. Terlalu banyak keluarga yang tidak menghargai anak perempuan, dianggapnya anak perempuan hanya menjadi beban orang tua saja. Pikiran yang sungguh jahat!

   "Lalu apa yang dapat kulakukan untukmu, Siok Bi? Biarpun aku merasa kasihan mendengar nasibmu, akan tetapi apa yang dapat kulakukan?",

   "Tolonglah aku, kongcu. Tolonglah aku agar aku dapat bebas dari cengkeraman Coa Wan-gwe""

   Gadis itu memohon.

   "Hemm, kalau engkau memang tidak suka lagi menjadi selir dan pembantu hartawan Coa itu, kenapa engkau tidak melarikan diri saja? Engkau bukan seorang wanita lemah, Siok Bi dan kulihat engkau mendapat kebebasan bergerak. Dengan mudah sekali engkau akan dapat melarikan diri meninggalkan kota Shu-lu ini ke tempat jauh!"

   Gadis itu menggeleng kepala.

   "Tidak mungkin, kongcu. Ah, engkau tidak tahu akan kekuasaannya. Dia memiliki banyak tukang pukul dan aku tentu dapat ditangkapnya dengan cepat dan menerima hukuman yang amat kejam. Tidak, kongcu. Melarikan diri bukanlah jalan yang baik."

   "Kalau begitu, katakan saja terus terus terang bahwa engkau ingin bebas dan hidup sendiri."

   Gadis ini menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.

   "Pernah kukatakan hal itu kepadanya dan apa akibatnya? Aku dihukum cambuk sepuluh kali dan dia mengatakan bahwa aku telah menjadi miliknya karena sudah dibeli dari mendiang ayahku. Kalau aku ingin bebas, aku harus menebus diriku yang katanya kini harganya sudah menjadi lima puluh tail emas!"

   "Wah, kenapa demikian banyak? Apakah dulu ayahmu menjualmu dengan harga seperti itu?"

   Siok Bi menggeleng.

   "Hanya beberapa tail emas, akan tetapi dia memperhitungkan bunganya yang tinggi selama lima tahun ini..."

   Hay Hay mengerutkan alisnya dan melirik ke arah buntalan uang emasnya. Lebih dari cukup untuk menebus diri Siok Bi! "Siok Bi, kalau engkau sudah berhasil bebas dari Hartawan Coa, lalu ke mana engkau hendak pergi? Bukankah ayahmu telah meninggal dunia? Apakah engkau mempunyai keluarga lain?"

   Siok Bi kembali menggeleng kepalanya.

   Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hanya seorang paman di kota raja, akan tetapi dia tentu tidak sudi menerima aku yang sudah bergelimang lumpur. Akan tetapi... ada seorang pemuda..."

   Gadis itu berhenti dan matanya memandang kepada Hay Hay dengan penuh duka. Hay Hay tersenyum.

   "Aha! Kiranya engkau sudah mempunyai pillhan seorang kekasih? Bagus sekali kalau begitu!"

   Siok Bi nampak tersipu.

   "Bukan begitu, kongcu. Sesungguhnya, ada seorang pemuda yang dahulu suka berjudi. Dia sebetulnya seorang pemuda yang baik dan dia... dia amat mencintaku. Ketika aku memberi nasihat agar dia berhenti berjudi, diapun menurut, berhenti tak pernah berjudi lagi dan kini dia bekerja, dagang kecil-kecilan. Dia amat mencintaku dan dia tentu akan menerimaku sebagai calon isterinya dengan hati bahagia..."

   "Dan engkau tentu juga mencintanya, bukan?" .

   "Sayang... sayang dia bukan engkau, kongcu...! Ah, kenapa aku harus mengharapkan yang bukan-bukan? Aku kasihan dan suka padanya, akan tetapi terus terang saja, tidak mencintanya. Bagaimanapun juga, hidupku akan lebih terhormat dan terjamin kalau dapat menjadi isterinya."

   Mendengar pengakuan yang jujur itu, Hay Hay merasa terharu. Gadis ini jatuh cinta padanya! Gadis ini tersesat ke jalan hitam bukan atas kehendaknya, melainkan terpaksa, dan ia berusaha untuk kembali ke jalan yang bersih. Agaknya, hanya dialah yang mampu menolongnya, menebusnya.

   "Baiklah, Siok Bi. Kemenanganku di meja judi itu cukup untuk menebus dirimu. Aku akan menemui Coa Wan-gwe dan aku akan menebus dirimu dengan lima puluh tail emas!"

   "Hay Kongcu...!"

   Siok Bi menjerit kecil dan menubruk pemuda itu dengan hati penuh kebahagiaan sehingga keduanya berguling ke atas pembaringan. Siok Bi merangkul dan mencium, penuh perasaan terima kasih dan penuh kepasrahan diri.

   "Kongcu..."

   Bisiknya di antara ciumannya.

   "sampai mati aku tidak akan mampu membalas budimu... maka... hanya tubuhku inilah yang kumiliki, kuserahkan padamu untuk membalas budi dengan segala keiklasan...! Hay Kongcu... aku kagum padamu, aku cinta padamu..."Gadis itu merintih ketika Hay Hay dengan halus mendorongnya lalu pemuda itu bangkit duduk. Tadinya diapun terseret gelombang nafsu dan membalas ciuman dan belaian gadis itu, namun kesadarannya membuat dia melihat betapa buruknya kalau dia lanjutkan. Seolah-olah dia menolong dengan pamrih imbalan yang demikian rendah! Dia bukan hendak membeli tubuh Siok Bi, melainkan kebebasannya!

   "Siok Bi, sadarlah! Aku kagum dan suka pula padamu, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku lalu ingin memperoleh imbalan darimu. Ingat, engkau sudah bersiap-siap menempuh jalan bersih bersama pemuda yang mencintamu. Maka, sejak saat ini, engkau harus menahan semua perasaanmu dan harus pula menjadi seorang calon isteri yang setia! Kalau begitu, baru engkau dapat mengharapkan akan membentuk rumah tangga bahagia dengan pemuda itu."

   Wajah gadis itu menjadi merah dan ia segera meloncat turun dari atas pembaringan, membereskan pakaiannya, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hay Hay.

   "Kongcu, aku menghaturkan banyak terima kasih dan juga mohon maaf atas kelancanganku tadi."

   Gadis itu semakin kagum, akan tetapi juga jerih karena kini ia merasa bahwa pemuda ini bukanlah manusia biasa! Tidak mungkin ada pria, apa lagi masih muda, yang mampu bertahan seperti itu, padahal keduanya sudah saling peluk dan saling berciuman di atas pembaringan dalam sebuah kamar! Padahal ia sudah siap menyerahkan diri dengan suka rela! Dan pemuda itu demikian pandai merayu, demikian pandai bercumbuan! Selama hidupnya, belum pernah Siok Bi mengalami hal seperti itu. Hay Hay menyentuh kedua pundaknya dan menariknya berdiri, Hay Hay memandang wajah yang manis itu, tersenyum, kemudian memberi ciuman mesra pada dahi yang halus itu.

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 27 Asmara Berdarah Eps 28 Pendekar Mata Keranjang Eps 38

Cari Blog Ini