Pendekar Mata Keranjang 33
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 33
Tiba-tiba terdengar lengkingan nyaring menyambut lengkingan yang dikeluarkan Bi Lian dan tiba-tiba saja di situ muncul dua orang kakek yang sudah tua sekali. Seorang kakek yang perutnya gendut sekali sehingga tubuhnya seperti bola saja, kulitnya kuning mulus dan kepalanya botak. Bajunya di bagian dada terbuka, meperlihatkan dada dan sebagian perutnya yang gendut. Dia nampak lebih dulu, tersenyum-senyum, memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. Dia sungguh seperti seorang bayi montok yang besar! Orang ke dua, juga kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih, sebaliknya bertubuh tinggi besar menyeramkan, mukanya penuh brewok, kulitnya hitam seperti arang. Dia tidak tersenyum seperti kakek gendut, melainkan dengan sikap angker memandang ke arah Kulana,
Kemudian, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, tangannya mencengkeram ke arah orang Birma itu! Kulana terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi tangan itu terus mulur dan berhasil mencengkeram leher bajunya bagian belakang dan Kulana merasa tubuhnya terangkat naik! Orang Birma ini cukup lihai, maka dia pun menyerang dengan totokan jari tangannya ke arah siku lengan yang mencengkeram leher bajunya. Totokan ini kuat sekali. Hal ini agaknya disadari oleh kakek tinggi besar yang segera mengayun tubuh itu dan melepaskan pegangannya. Tubuh Kulana melayang ke atas dan tentu akan terbanting jatuh kalau saja dia tidak cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuh itu berjungkir balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia sudah jatuh dengan empuk, duduk kembali di atas kursinya yang tadi.
"Hemmm..!"
Kakek tinggi besar mengangguk-angguk, tanda bahwa di mengagumi kepandaian orang Birma itu.
Sementara itu, melihat munculnya dua orang kakek ini, sebagian besar di antara mereka terkejut bukan main. Mereka mengenal dua orang kakek itu. Yang gendut bundar adalah Pak-kwi-ong, datuk sesat dari Utara, sedangkan orang tinggi besar berkulit hitam adalah Tung-hek-kwi, datuk sesat dari Timur. Mereka inilah Lam-hai Giam-lo sebagai susiok (paman guru) karena Mereka adalah dua orang di antara Empat Setan, adapun dua yang lain, Lam-kwi-ong Datuk Selatan guru Lam-hai Giam-lo, dan See-kwi-ong datuk Barat, keduanya sudah lama meninggal dunia. Melihat munculnya kedua orang susioknya itu, Lam-hai Giam-lo juga terkejut akan tetapi juga merasa girang. Cepat dia melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu.
"Susiok Pak-kwi-ong dan Susiok Tung-hek-kwi, teecu (murid) Kin Cung menghaturkan hormat dan selamat datang!"
Suaranya yang seperti tingkik kuda itu terdengar merendah, tidak seperti biasanya yang selalu terdengar angkuh. Kini semua orang terkejut. Mereka yang belum pernah bertemu dengan dua orang kakek itu, tentu saja pernah mendengar nama mereka sebagai dua orang di antara Empat Setan, datuk sesat yang tinggi tingkatnya. Mereka sudah merasa sungkan dan hormat kepada Lam-hai Giam-lo dan kini mereka melihat betapa bengcu itu begitu merendahkan diri terhadap dua orang kakek itu. Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi memandang kepada oang yang berlutut di depan mereka itu, dan Pak-kwi-ong terkekeh.
"Heh-heh-heh, sungguh lucu. Aku tidak pernah mengenal orang bernama Kin Cung. Engkau bagaimana, Setan Hitam (Hek Kwi), apakah engkau mempunyai seorang keponakan seperti kuda ini?"
Tung-hek-kwi tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.
"Susiok, teecu adalah murid mendiang Suhu Lam Kwi Ong."
Kata Lam-hai Giam-lo cepat-cepat. Kembali dua orang kakek tua renta itu memandang kepadanya, sekali ini lebih memperhatikan.
"Aha, kiranya engkau yang berjuluk Lam-hai Giam-lo itukah? Tanya Pak-kwi-ong.
"Benar, Susiok."
"Dan engkau mengumpulkan orang-orang pandai di sini untuk apakah?"
Tanya pula Pak-kwi-ong sambil memandang kepada orang-orang yang duduk di tempat itu.
"Kebetulan sekali. Susiok. Kami sedang mengadakan rapat untuk membentuk suatu persekutuan antara golongan sendiri, untuk melanjutkan sepak terjang Suhu dan Susiok bertiga, mengangkat kembali derajat golongan kita, dan teecu mereka pilih sebagai Bengcu."
Dua orang kakek itu saling pandang dan bahkan Tung-hek-kwi yang selalu nampak galak itu mengangguk-angguk dan sinar matanya kelihatan senang. Pak-kwi-ong merasa gembira sekali mendengar itu.
"Bagus sekali! Ah, senang hatiku mendengar ini, Lam-hai Giam-lo!
"Harap Ji-wi Susiok sudi mengambil tempat duduk dan.."
"Suhu berdua ini bagaiman sih!"
Tiba-tiba Bi Lian mencela kedua orang gurunya, berdiri di tanah antara mereka dan bertolak pinggang.
"Aku sudah menemukan pembunuh-pembunuh orang tuaku. Lihat merekalah orangnya. Dua pasang suami isteri iblis, Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan! Tadi akan kubunuh, akan tetapi orang-orang di sana membela mereka dan Suhu kini beramah tamah dengan mereka!"
Mendengar teguran murid yang disayangnya itu, Tung-hek-kwi mengerukan alisnya dan matanya terbelalak, mendelik mencari-cari.
"Mana orangnya yang berani mengganggumu, biar kuhancurkan kepalanya!"
Semua orang menjadi gentar melihat sikap raksasa tua hitam itu. Akan tetapi Pak-kwi-ong tertawa dan suaranya terdengar lantang.
"Ha-ha-heh-heh. Setan Hitam, jangan begitu! Kita berdua di antara orang-orang sendiri! Lihat betapa keponakan kita berusaha membangun kembali kekuasaan golongan kita yang sudah runtuh. Apa yang dialami murid kita hanyalah merupakan kesalahpahaman belaka. Akan tetapi, mengadu ilmu merupakan cara berkenalan yang amat baik!"
"Suhu...!"
Bi Lian merajuk.
"Sssst, Bi Lian. Dengarlah baik-baik."
Kata kakek gendut itu.
"Lam-hai Giam-lo ini adalah murid Lam-kwi-ong, saudara tuaku. Dia masih terhitung Suhengmu sendiri dan kita berada di antara teman-teman sendiri."
"Akan tetapi dua pasang suami isteri itu.."
"Sudahlah. Mereka pun teman-teman dan orang-orang sendiri. Memang pernah mereka itu tidak tahu diri berani menentang kami berdua, akan tetapi mereka pun sudah merasakan pahitnya. Nah, urusan sudah habis sampai di sini saja."
"Tapi orang tuaku..."
"Mereka tewas karena suatu pertepuran di mana mereka berada di tengahnya, anggap saja kecelakaan!"
Kata pula Pak Kwi Ong. Lam-hai Giam-lo lalu menjura kepada Bi Lian.
"Kiranya Nona ini adalah Sumoiku sendiri? Aih, Sumoi. Akulah yang memintakan maaf atas sikap teman-teman kita ini karena belum mengenalmu. Kalau aku tahu bahwa engkau murid kedua Susiokku, mana kami berani bersikap kurang ajar?"
Lam-hai Siang-mo dan suami istri Guha Iblis Pantai Selatan juga merupakan orang-orang yang cerdik. Mereka tadi sudah ketakutan sekali melihat munculnya dua orang kakek itu, akan tetapi mendengar ucapan Pak Kwi Ong, lalu melihat sikap Lam-hai Giam-lo, mereka berempat segera maju dan menjura kepada Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi.
"Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah) memang benar. kami orang-orang bodoh telah melakukan kesalahan di masa lampau, dan sudah kami tebus dengan kematian banyak teman, harap Ji-wi sudi melupakan hal itu. Dan Nona Cu, kami bersumpah tidak pernah membunuh orang tuamu."
Bi Lian menjadi bingung. Memang empat orang ini tidak membunuh orang tuanya, yang membunuh adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi yang sudah menjadi gurunya. Kematian orang tuanya memang terjadi karena adanya perkelahian antara mereka dan orang tuanya tewas di tangan kedua orang gurunya. Akan tetapi, kedua orang gurunya tidak sengaja membunuh orang tuanya karena urusan pribadi. Orang tuanya hanya terbawa saja dan menjadi korban.
Ia menjadi bingung dan ketika tangannya ditarik oleh Pak Kwi Ong, ia pun menurut saja. Lam-hai Giam-lo sibuk memperkenalkan para tamunya kepada dua orang kakek itu yang duduk di tempat kehormatan. Para tamu itu satu demi satu memberi hormat kepada Pak Kwi Ong dan Tng Hek Kwi sebagai orang dari tingkatan lebih tua, diterimam oleh dua orang kakek itu dengan gembira karena mengingatkan mereka akan masa dahulu ketika mereka masih menjadi datuk yang dihormati dan disegani seluruh tokoh kang-ouw. Bi Lian yang duduk di sebelah Pak Kwi Ong, diam saja, hanya memperhatikan mereka yang diperkenalkan satu demi satu. Ketika Kulana yang lihai itu diperkenalkan, ia memandang penuh perhatian, akan tetapi ia menunduk ketika pria itu memandangnya denga sinar mata yang haus.
"Dan ini adalah murid teecu, namanya Pek Eng."
Kata Lam-hai Giam-lo memperkenalkan muridnya sebagai orang terakhir. Pek Eng berlutut memberi hormat kepada susiok-couwnya, kakek paman guru itu. Ketika diperkenalkan kepada Bi Lian, dua orang gadis itu saling pandang. Pek Eng memandang dengan kagum karena tadi ia udah menyaksikan betapa lihainya gadis cantik itu yang mampu menandingi tokoh-tokoh lihai,
Sebaliknya Bi Lian memandang Pek Eng denga alis berkerut. Diam-diam menyayangkan bahwa seorang gadis seperti Pek Eng berada di antara orang-orang seperti itu. Akan tetapi, pikiran ini ditekannya sendiri ketika ia teringat bahwa ia sendiri pun menjadi murid dua orang datuk sesat! Kulana minta bicara empat mata dengan Lam-hai Gaim-lo dan mereka berdua masuk ke kamar sebelah sedangkan dua orang kakek tua renta itu dijamu dengan hidangan-hidangan yang lezat dan arak yang harum. Bi Lian juga ikut makan, akan tetapi hanya makan sedikit, tidak selahap kedua orang gurunya. Kulana lalu keluar dan dia pun minta diri, pamit hendak pulang lebih dulu. Kepada Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi yang duduk semeja denga Bi Lian, dia memberi hormat dan berkata.
"Saya mohon sudi kiranya kedua Locianpwe dan juga Nona Cu mengadakan waktu untuk berkunjung ke rumah saya."
Bi Lian cemberut saja sedangkan dua orang gurunya mengangguk-angguk. Orang Birma itu pun pergi, membuat para tamu lainnya diam-diam merasa bingung. Pertemuan itu sedang berlangsung, hanya terganggu kemunculan Bi Lian dan dua orang gurunya, pembicaraan mereka belum selesai, akan tetapi mengapa orang Birma yang menjadi orang penting dalam persekutuan ini telah pulang terlebih dahulu? Setelah mengajak para tamunya makan minum bersama dua orang paman gurunya, Lam-hai Giam-lo melanjutkan pembicaraan mereka yang terputus tadi. Lebih dulu dia menerangkan kepada dua orang kakek itu tentang apa yang baru saja mereka bicarakan, tentang persekutuan antara golongan yang mereka bentuk.
"Untuk memudahkan mengatur persekutuan ini, kawan-kawan mengangkat teecu menjadi Bengcu."
Demikian Lam-hai Giam-lo menghentikan keterangannya.
"Ilmu kepandaian tinggi seperti dua pasang suami isteri itu, Min-san Mo-ko, Ji-Sun Bi, bahkan Saudara Sim Ki Liong ini yang biarpun masih muda akan tetapi telah memiliki ilmu kepandaian yang paling hebat di antara mereka, menjadi pembantu-pembantu teecu. Juga para tokoh Pek-lian-kauw menjadi pembantu-pembantu luar yang boleh diandalkan karena selain memiliki banyak orang pandai, juga memiliki anak buah yang banyak dan kuat. Para saudara yang hari ini menjadi tamu adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari berbagai penjuru, dan mereka sudah menyatakan setuju. Adapun Saudara Kulana tadi, adalah seorang yang amat pandai, baik ilmu silat maupun ilmu perangnya, selain itu juga amat kaya raya, dan dia pun menyatakan persetujuannya. Karena itu, setelah Ji-wi Susiok datang, kami mohon sudilah Ji-wi suka menjadi penasihat kami."
Dua orang kakek itu saling pandang dan mengangguk-angguk.
"Bagus, bagus!"
Kata Pak Kwi Ong sambil tersenyum lebar.
"Tentu saja kami senang mendengar itu karena engkau sebagai murid Lam Kwi Ong telah melanjutkan jejak kami dan membangkitkan kembali kekuatan golongan kita. Akan tetapi kami sudah terlalu tua dan kami ingin bebas tugas, ingin beristirahat. Kami hanya dapat membantu melalui murid kami Cu Bi Lian ini. Ialah yang akan membantu persekutuan ini dan tentang kepandaiannya, kalian sudah melihatnya sendiri tadi."
Semenjak kecil Bi Lian diasuh dan dididik oleh dua orang kakek yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat, sudah biasa melihat watak yang aneh dan tidak mempedulikan segala aturan dan sopan santun. Karena itu, mau tidak mau ia pun terbiasa melihat hal-hal aneh atau kejahatan-kejahatan.
Baiknya, pada dasarnya Bi Lian bukanlah orang yang berwatak jahat dan setelah ia melakukan perantauan dan melihat dunia ramai, ia pun dapat menilai mana baik dan mana buruk. Hatinya condong untuk menentang kejahatan, karena itu dalam waktu singkat, ia pun terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Tiat-sim Sian-li (Bidadari Berhati Besi) karena ia menentang kejahatan tak mengenal ampun terhadap para penjahat. Kini melihat betapa orang-orang pandai bersekutu dan oleh gurunya ia ditunjuk untuk membantu persekutuan itu, ia pun tidak peduli, hanya merasa kecewa dan tidak puas karena dendamnya terhadap dua pasang suami isteri itu kini tak terbalas. Dan ia bahkan menjadi ragu dan bingung, karena agaknya memang tidak adil kalau ia membunuh dua pasang suami isteri itu yang tidak berdosa dalam kematian ayah ibunya.
"Tapi, Suhu, aku pun tidak mau terikat oleh suatu persekutuan!"
Ia membantah. Melihat ini, Lam-hai Giam-lo cepat berkata kepada Bi Lian,
"Sumoi, tentu saja kami tidak mau mengikatmu, cukuplah kalau kami dapat mengharapkan bantuanmu sewaktu-waktu kami membutuhkan."
Lam-Hai Giam-lo memang cerdik. Dia sudah merasa senang kalau dua orang paman gurunya itu, bersama murid mereka, tidak menghalangi usahanya. Akhirnya semua tamu setuju mengangkat Lam-hai Giam-lo menjadi Bengcu. Ketua Kui-kok-pang yang tadinya agak ragu, kini pun menerimanya setelah melihat bahwa Kulana yang ternyata jauh lebih lihai darinya, dan kabarnya amat kaya-raya, juga menjadi seorang pimpinan, bahkan yang siap untuk menunjang persekutuan itu dalam hal biaya. Mulai hari itu, para tokoh dunia hitam menerima secara bulat bahwa Lam-hai Giam-lo menjadi bengcu dan mereka semua siap untuk melaksanakan perintahnya, siap pula untuk datang sewaktu-waktu dipanggil.
Ketika para tamu bubaran, Lam-hai Giam-lo membagi-bagi hadiah sehingga mereka menjadi semakin percaya dan senang. Hanya Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi saja yang masih tinggal di situ bersama murid mereka. Pak kwi Ong dan Tung Hek Kwi sering diajak makan minum oleh Lam-hai Giam-lo, sedangkan Bi Lian jarang menemani mereka. Bi Lian lebih dekat dengan Pek Eng yang kagum kepadanya. Pada keesokan harinya, ketika kedua orang kakek itu makan minum bersama Lam-hai Giam-lo, dia memberitabukan mereka tentang Kulana yang kemarin meninggalkan pesan kepadanya sebelum pulang. Ternyata bahwa Kulana telah tergila-gila kepada Bi Lian, dan melalui Lam-hai Giam-lo, dia melamar Bi Lian untuk menjadi isterinya!
"Dia seorang bangsawan tinggi, memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga amat kaya-raya."
Kata Lam-hai Giam-lo kepada dua orang susioknya setelah memberitahu tentang pesan lamaran itu.
"Sumoi akan hidup berbahagia sebagai isterinya, dan Ji-wi Susiok juga akan terangkat sebagai orang-orang yang berderajat tinggi dan hidup mulia. Dan pula, kalau Sumoi sudah menjadi isterinya, tentu ia mau membantu persekutuan ini secara aktip."
Sebelumnya Lam-hai Giam-lo sudah memberitahu kepada kedua orang kakek itu akan tujuan terakhir persekutuan mereka itu, ialah menyusun kekuatan yang kelak akan dipergunakan untuk merampas tahta kerajaan! Bujukan Lam-hai Giam-lo menraik hati kedua orang kakek itu.
"Ha-ha, memang aku sendiri pun kagum kepada orang itu. Bagaimana dengan engkau, Setan Hitam?"
Mendengar kata-kata Pak Kwi Ong ini, Tung Hek Kwi hanya mengerutkan alisnya, akan tetapi kemudian mengangguk tanpa menjawab.
"Baiklah, karena dia mengundang kami, kami akan berkunjung kepadanya dan melihat keadaanya, juga membicarakan urusan ini dengan dia sendiri"
Kata Pak Kwi Ong. Sementara itu, Bi Lian mengajak Pek Eng berjalan-jalan di taman bunga yang luas, kemudian mereka duduk di tepi kolam ikan, di atas bangku panjang.
"En-ci, aku ingin sekali menguasai ilmu silat selihai engkau."
Pek Eng berkata sambil memandang wajah gadis yang duduk di sebelahnya. Bi Lian tersenyum.
"Sebagai murid Suheng Lam-hai Giam-lo, engkau tentu juga telah memiliki kepandaian tinggi."
"Ah, Enci, aku baru saja diterima menjadi murid Suhu, bahkan baru diajarkan dasar-dasar ilmu silat yang akan diajarkan kepadaku."
"Eh? Jadi engkau baru saja menjadi murid Suheng? Lalu sebelum ini, engkau pernah belajar silat?"
Pek Eng mengangguk.
"Aku belajar dari Ayahku sendiri."
Bi Lian memandang tajam, merasa heran.
"Bagaimana engkau dapat datang ke tempat ini"
Eh, maksudku bagaimaan bisa menjadi murid Suheng Lam-hai Giam-lo?"
"Aku". Aku lari dari rumah...."
"Eh? Kenapa, Eng-moi (Adik Eng)?"
"Karena". Karena aku tidak mau dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak kusuka"."
Bi Lian tersenyum, akan tetapi sebelum ia bicara di depan meraka hadir seorang pemuda. Pemuda itu bukan lain adalah Sim Ki Liong! Semenjak kedatangan Pek Eng sebagai murid Lam-hai Giam-lo, pemuda ini sudah tertarik sekali. Karena kesibukan dengan datangnya para tamu, maka dia pun belum sempat melakukan pendekatan. Pemuda yang sudah dibangkitkan gairahnya oleh Ji Sun Bi itu kini memiliki watak yang mata keranjang, maka begitu melihat Pek Eng, pikirannya sudah penuh dengan bayangan-bayangan yang menggairahkan dan menyenangkan hatinya! Apalagi ketika muncul Bi Lian, diapun segera jatuh hati kepada gadis ini.
Setelah para tamu pulang dan kini dua orang kakek sakti itu sedang makan minum dengan Lam-hai Giam-lo, Sim Ki Liong lalu mencari dua orang gadis yang membuatnya tertarik sekali itu dan kebetulan dia melihat mereka berdua didalam taman. Tanpa ragu-ragu lagi, dengan jantung berdebar tegang dan juga gembira, dia lalu memasuki taman dan menemui mereka. Sejak remaja, Ki Lion dididik di Pulau Teratai Merah, bukan saja digembleng dalam hal ilmu silat tinggi, akan tetapi juga dalam hal ilmu membaca dan menulis dan kebudayaan. Karena itu, dia pandai sekali membawa diri dan pandai bersikap halus dan sopan. Walaupun jantungnya berdebar girang dan batinnya penuh berahi melihat dua orang gadis manis itu, namun sikapnya tetap lemah lembut ketika dia memandang kepada mereka lalu menjura dengan gaya seorang yang amat sopan dan peramah. Senyumnya di wajahnya yang tampan itu memikat.
"Selamat pagi, Nona-nona. Maafkan kalau aku mengganggu karena aku tidak tahu bahwa kalian berada di taman ini."
Katanya dengan sikap hormat. Bi Lian dan Pek Eng memandang pemuda itu. Mereka pun sudah melihat pemuda itu yang hadir dalam pertemuan kemarin. Karena pemuda itu tidak bicara di dalam rapat itu, maka mereka tidak tahu orang macam apa adanya pemuda ini. Mereka hanya mengenalnya karena sudah diperkenalkan, yaitu ketika Lam-hai Giam-lo memperkenalkan mereka kepada para pembantunya. Bahkan mereka berdua sudah lupa lagi siapa nama pemuda ini. Melihat keraguan pada wajah dua orang nona itu, dan kerut alis Bi Lian. Ki Liong cepat menyambung kata-katanya,
"Mungkin Nona berdua sudah lupa lagi kepalaku yang diperkenalkan oleh Bengcu, baiklah kuperkenalkan diri lagi kepada Nona Pek Eng dan Nona Cu Bi Lian. Aku bernama Sim Ki Liong dan mendapat kehormatan menjadi pembantu yang paling dipercaya dari Bengcu."
"Wah, kalau engkau menjadi pembantu yang paling dipercaya dari Suhu, tentu ilmu silatmu sudah tinggi seklai!"
Kata Pek Eng dengan jujur, sambil memandang kagum. Ki Liong terenyum dan merendahkan diri.
"Aih, tidak setinggi ilmu kepandaian Bengcu, Nona, akan tetapi kalau dibandingkan dengan para pembantu Bengcu agaknya aku tidak akan kalah."
"Lebih tinggi dari para pembantu itu? Wah, kalau begitu engkau lihai sekali tentu!"
Seru Pek Eng kagum.
"Tidak lihai sekali, akan tetapi ilmu silatku sungguh tak dapat dibandingkan dengan ilmu silat mereka yang tidak indah, kotor dan banyak kecurangan. Aku beruntung sekali mewarisi ilmu-ilmu dari para pendekar yang sakti."
Jawab Ki Liong sambil melirik ke arah Bi Lian.
"Akan tetapi, sungguh aku kagum sekali kepada Nona Cu Bi Lian. Begini muda dan kelihatan lemah lembut, akan tetapi sungguh memiliki kepandaian yang amat mengagumkan, walaupun hal itu tidak mengherankan setelah kudengar bahwa ia adalah sealiran dan masih Sumoi dari Bengcu sendiri."
Bi Lian adalah seorang gadis yang keras hati. Ia tertarik sekali mendengar pengakuan pemuda ini bahwa dia mewarisi ilmu silat dari pendekar sakti.
Ia pun pandai bicara dan melihat sikap yang halus dan ramah dari pemuda itu, memang menunjukkan bahwa pemuda ini bukan dari golongan sesat. Ingin sekali ia melihat sampai di mana kehebatan ilmu silat pemuda ini yang walaupun secara halus telah menyombongkan kepandaiannya yang dikatakan semua pembantu Lam-hai Giam-lo. Padahal, seperti yang telah dialaminya kemarin, kepandaian tokoh-tokoh yang hadir itu lihai sekali, seperti Hek-hiat Mo-ko itu dan terutama sekali kepandaian Kulana, orang Birma itu. Masih ngeri ia mengenang kembali perkelahiannya melawan Kulana yang selain lihai ilmu silatnya, juga mahir menggunakan ilmu sihir. Kalau kedua orang
(Lanjut ke Jilid 31)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 31
gurunya tidak segera muncul, entah bagaimana jadinya dengan dirinya! Mungkinkah ilmu kepandaian pemuda ini lebih lihai dari tingkat kepandaian Hek-hiat Mo-ko, atau Kulana?
"Hemm, Saudara Sim Ki Liong, kalau dibandingkan dengan kepandaianmu, mana lebih tinggi dengan ilmu silatku?"
Pancingnya.
"Bagaimana kalau kita main-main sebentar untuk melihat siapa yang lebih lihat?"
"Aih, mana aku berani, Nona? Akan tetapi kalau kalian hendak mengenal ilmu silatku, boleh kuperlihatkan beberapa jurus."
Setelah berkata demikian, pemuda itu meloncat ke petak rumput di dekat empang ikan dan mulailah dia bersilat. Dia sengaja memilih Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang indah gayanya dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-cing. Setiap gerakan tangannya mengeluarkan bunyi bercuitan dan mengandung hawa pukulan amat kuatnya sehingga dua orang gadis itu memandang kagum. Apalagi Bi Lian, karena ia yang telah memiliki tingkat yang tinggi dapat mengenal ilmu silat indah dan kuat, juga yang mengandung tenaga sin-kang, yang dahsyat! Setelah memainkan San-in Kun-hoat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang selama belasan jurus, tiba-tiba saja Ki Liong mengubah geraknnya dan kini dia memainkan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).
Sungguh jauh bedanya dengan ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung) tadi yang lambat dan mantap, kini Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dimainkan dengan pengerahan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya berkelebatan dan berputaran seolah-olah dia menyerang dari delapan penjuru! Angin pun bertiup dan mengeluarkan suara riuh. Ketika pemuda itu mengerahkan Ilmu Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) maka dari kedua telapak tangan ketika dia mendorong, keluarlah uap putih menyambar-nyambar. Bi Lian makin kaget dan kagum. Bukan main, pikirnya. Pemuda ini ternyata tidak membual dan menghadapi seorang pemuda yang memiliki tingkat ilmu silat seperti itu, ia sendiri merasa sangsi apakah ia akan mampu menandinginya! Pek Eng juga kagum sekali dan gadis ini bertepuk tangan memuji.
"Hebat sekali ilmu silatmu, Sim-kongcu!"
Katanya. Ia ikut menyebut "kong-cu"
Karena gurunya, Lam-hai Giam-lo dan juga para pembantunya juga menyebut koncu kepada pemuda itu. Mendengar sebutan ini, Bi Lian mengerutkan alisnya dan Ki Liong juga merasa betapa sebutan itu terlalu menghormat untuknya.
"Aih, Nona Pek Eng, mengapa menyebut aku kongcu? Namaku Sim Ki Liong, dan aku lebih tua darimu. Bagaimana kalau menyebut aku kakak saja?"
Katanya. Pek Eng tersenyum gembira.
"Engkau sendiri menyebut aku Nona! Kalau aku menyebut Toako kepadamu, engkau pun harus menyebut aku adik!"
Ki Liong tersenyum, merasa bahwa dia telah mendapat kemenangan, dapat membuat Pek Eng bersikap ramah kepadanya.
"Baiklah, Eng-moi (Adik Eng), dan jangan engkau terlalu memujiku, jangan-jangan kepalaku akan kemasukan angin dan mengembung lalu meledak oleh pujianmu!"
Mendengar ucapan ini, Pek Eng tertawa dan Bi Lian juga tersenyum. Bagaimanapun juga, pemuda ini amat menyenangkan memang, menarik hati sekali. Sopan, ramah, dan pandai membawa diri, halus dan rendah hati.
"Saudara Sim Ki Liong, engkau adalah murid pendekar sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi kenapa engkau bersekutu dengan orang-orang seperti.. Kita, dari golongan hitam?"
Ditanya demikian, Sim Ki Liong terkejut, akan tetapi hal ini tidak diperlihatkannya dan dengan cerdik dia pun menjawab.
"Nona Cu Bi Lian, agaknya pertanyaan seperti itu dapat juga ditujukan kepadamu atau kepada Eng-Moi, bukan? Kita masing-maisng memiliki alasan pribadi untuk mengambil jalan hidup kita. Dan aku bersekutu dengan Lam-hai Giam-lo Bengcu karena selain aku mengagumi kepandaiannya, juga karena aku bermusuhan dengan seorang di antara para pendekar sehingga tak mungkin bagiku bergabung dengan mereka."
Percakapan sudah mulai akrab, akan tetapi tiba-tiba muncul Ji Sun Bi di tempat itu, melihat betapa Ki Liong bercakap-cakap dengan dua orang gadis cantik itu dengan sikap demikian akrabnya, tentu saja Ji Sun Bi merasa tidak senang dan cemburu. Ki Liong adalah kekasih barunya yang amat dicintainya karena pemuda itu adalah seorang jantan yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi darinya sehingga dapat mendatangkan kepuasan yang tak terbatas padanya. Kini melihat betapa kekasihnya itu bercakap-cakap dengan dua orang gadis muda yang cantik jelita, dalam suasan demikian akrabnya, tentu saja ia merasa khawatir dan cemburu.
"Sim-kongcu, teman-teman menunggu untuk merundingkan hal yang penting sekali. Marilah!"
Katanya tanpa memandang kepada dua orang gadis itu. Biarpun ia cemburu dan marah, namun tentu saja ia tidak berani memperlihatkan sikap tidak senang kepada dua orang gadis itu. Yang seorang adalah murid bengcu, sedangkan yang ke dua adalah sumoi bengcu, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Melihat munculnya Ji Sun Bi dan mendengar ucapan itu, Ki Liong tidak ingin wanita itu membuat ribut, maka dia pun menjura dengan sikap hormat kepada Pek Eng dan Bi Lian.
"Eng-moi, Nona Cu, maafkan aku. Agaknya mereka itu ingin merundingkan sesuatu yang penting dengan aku. Sampai lain kali!"
Sambil tersenyum manis dia pun pergi meninggalkan dua orang gadis itu, bersama Ji Sun Bi yang menunggunya. Setelah pemuda itu pergi, Pek Eng menarik napas panjang.
"Aihh, dia seorang pemuda yang hebat.."
Bi Lian menjebi.
"Huh, berhati-hatilah terhadap seorang pria yang begitu halus budi dan manis tutur sapanya. Orang seperti itu pandai merayu dan siapa tahu hatinya palsu."
Pek Eng menarik napas panjang lagi.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaiamanapun juga, dia sungguh pandai, dan sikapnya rendah hati, hemm, mengingatkan aku kepada Hay-ko."
"Eh? Siapa itu Hay-ko (Kakak Hay)?"
Bi Lian bertanya.
"Hay-ko ya Hay-ko, namanya Hay Hay."
"Hay Hay..?"
Tentu saja Bi Lian terkejut karena pemuda yang bernama Ha Hay itu pernah membuat ia tak dapat tidur karena selalu tekenang kepadanya.
"Ya, namanya Hay dan shenya kalau tidak salah, she Tang. Akan tetapi dia selalu mengaku bernama Hay Hay, tak pernah menyebutkan shenya. Apakah engkau pernah mengenalnya, Enci Lian?"
Bi Lian menggeleng kepala.
"Tidak, mengapa?"
"Ah, sudah lama aku mencarinya. Juga mencari kakakku yang bernama Pek Han Siong, akan tetapi tak berhasil menemukan mereka dan akhirnya malah aku ditawan oleh Lam-hai Siang-mo dan akhirnya malah aku dibawa oleh Lam-hai Siang-mo dan dibawa kesini. Untung Bengcu baik dan mau menerimaku sebagai muridnya, Enci."
Bi Lian mengerutkan alisnya. Nasib gadis ini mirip dengan nasib dirinya. Tanpa disengaja terjatuh ke tangan golongan sesat. Ia sendiri kini menjadi murid dua orang datuk sesat yang paling tinggi kedudukannya! Padahal dahulu, ia hanya puteri suami isteri dusun dan sudah mempunyai dua orang guru, yaitu sepasang suami isteri yang bertapa di dalam Kuil Siauw-lim-si dan kabarnya merupakan sepasang pendekar sakti. Ia masih ingat akan nama dua orang gurunya itu, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan anehnya, ia pernah bertemu dengan Hay Hay, juga gadis ini. Akan tetapi, pertemuannya itu tidak perlu ia beritabukan Pek Eng.
"Kakakmu itu, ke mana perginya, Adik Eng?"
Pek Eng menarik napas panjang. Begitu bertemu dengan Bi Lian, ia sudah tertarik, kagum dan suka sekali. Gadis ini demikian lihainya sehingga mampu mengalahkan hampir semua pembantu gurunya. Entah berapa kali lipat tingkat kepandaiannya sendiri!
"Aih, Kakakku itu semenjak kecilnya sudah dihebohkan orang, Enci Lian. Ketika baru terlahir, menurut penuturan orang tuaku, dia telah diperebutkan oleh orang-orang sakti di seluruh dunia.."
"Ehhh...?"
"Benar, Enci Lian. Kakakku itu sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan, sudah diramalkan oleh para pendeta Lama di Tibet sebagai Sing-tong, seorang calon Dalai Lama Agung! Ketika dia terlahir, maka dia diperebutkan!"
"Ahh! Kiranya dia.?"
"Engkau tahu, Enci?"
"Pernah aku mendengar dari kedua orang Guruku. Lalu, sekarang dia berada di mana, Eng-moi?"
"Entahlah. Aku sedang mencarinya. Ketika aku dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak kusuka, aku lalu lari untuk mencari kakakku itu, dan mencari Hay-ko yang amat baik kepadaku."
Bi Lian menarik napas panjang.
"Pengalamanmu sungguh aneh, Adik Eng. Mudah-mudahan engkau akan dapat bertemu dengan Kakakkmu atau dengan orang yang bernama Hay Hay itu. Oya, hubungan apakah antara engkau dan Hay Hay itu?"
Pandang mata Bi Lian penuh selidik, dan ia merasa betapa hatinya tidak enak. Mengapa ia merasa cemburu?
"Dia pernah datang ke rumah kami, Enci, untuk mempertanyakan dirinya. Ketahuilah bahwa di waktu masih bayi, pernah Kakakku disembunyikan oleh Kakek Buyut karena tahut dicuri oleh para pendeta Lama dan sebagai gantinya, Hay Hay itulah yang dipelihara orang tuaku. Akan tetapi ketika masih bayi, dia pun diculik orang! Nah, setelah dewasa, dia datang untuk bertanya kepada keluarga kami, siapa dirinya yang sebenarnya. Wah, dia lihai bukan main, Enci. Ilmunya. wah, selangit deh!"
Makin tak enak rasa hati Bi Lian mendengar betapa gadis ini memuji-muji Hay Hay.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Dia menghadapi para pendeta Lama yang menyerbu kami dan dia mempermainkan para pendeta Lama itu seperti anak kecil saja. Dan aku, aku telah mencium pipinya."
"Ihh!"
Hampir saja tangan Bi Lian menampar pipi Pek Eng, akan tetapi ditahannya dan sebaliknya ia memandang dengan mata terbelalak dan muka merah.
"Engkau tak tahu malu, mengaku begitu!"
Bentaknya. Pek Eng tersenyum.
"Jangan salah sangka, Enci. Tadinya, karena dia mengaku sebagai Pek Han Siong di depan para pendeta Lama itu, tentu saja aku mengira dia kakak kandungku yang sudah lama kurindukan, maka saking girangnya aku mencium pipinya. Eh, ternyata kemudian dia bukan kakakku. Hati siapa tidak menjadi marah dan jengkel, juga malu?"
Mendengar ini, mau tidak mau Bi Lian tersenyum, akan tetapi tetap saja ia merasa tidak senang. Pada saat itu muncul Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kemunculan mereka mengejutkan Pek Eng karena tahu-tahu mereka telah berada di situ dan ia pun baru tahu mereka muncul ketika Bi Lian membalikkan tubuh menegur Mereka.
"Suhu berdua mencari aku?"
Tanya Bi Lian sambil menoleh dan baru Pek Eng melihat mereka. Bergidik dara ini melihat dua orang aneh itu. Si Gendut Bulat kepala botak itu menyeringai terus, sedangkan raksasa tinggi besar brewok hitam itu cemberut terus. Mereka seperti bukan manusia melainkan iblis-iblis jahat. Gurunya sendiri, Si Muka Kuda, tidaklah begitu menyeramkan seperti dua orang guru dari Bi Lian ini.
"Bi Lian, mari ikut dengan kami. Kita memenuhi undangan Kulana, hendak kita lihat orang macam apa adanya dia."
Kata Pak Kwi Ong. Bi Lian mengerutkan alisnya. Ia tadi sudah merasakan kelihaian Kulana dan ia curiga kepada orang itu. Akan tetapi dua orang gurunya pasti akan mampu menghadapi Mereka, dan ia pun ingin mengenal lebih dekat orang macam apa sebenarnya tokoh Birma yang aneh itu. Ia mengangguk dan meninggalkan Pek Eng, mengikuti kedua orang kakek itu keluar dari taman. Sekali berkelebat tiga orang guru dan murid itu pun lenyap dan Pek Eng menjadi bengong, kagum bukan main. Ia berjanji pada diri sendiri akan belajar dengan giat dari Lam-hai Giam-lo agar memiliki ilmu kepandaian setinggi Bi Lian.
Bukit itu tinggi dan termasuk deretan puncak-puncak pegunungan Yunan yang paling selatan. Tertutup sebagian oleh awan dan puncaknya penuh hutan sehingga tidak nampak dari jauh adanya sebuah bangunan yang amat indah dengan atapnya meruncing ke atas seperti kuil di Birma. Atap itu sendiri terbuat dari tembaga yang dihias emas. Ada kalanya, kalau hari cerah, nampak sinarnya mengkilap menyilaukan mata. Itulah bangunan yang menyerupai istana, milik dari Kulana, bangsawan Birma yang melarikan diri dari selatan. Baru tiba di lereng saja dan melihat bangunan istana itu dari jauh, Pak Kwi Oang dan Tung Hek Kwi sudah merasa kagum. Juga Bi Lian kagum sekali, Bangunan itu megah dan indah.
Apalagi ketika tiba-tiba muncul belasan orang menyambut dengan tiga buah joli, mempersilahkan tiga orang tamu agung itu naik joli dan digotong naik seperti orang-orang bangsawan. Pak Kwi dan Bi Lian terpaksa juga menerimanya. Mereka digotong melalui pintu gerbang yang dijaga ketat dengan orang-orang berseragam dan bersenjata tombak. Kemudian, ketika tiga orang tamu agung itu digotong memasuki serambi depan, terdengarlah bunyi musik menyambut mereka. Tirai joli disingkap dan tiga orang itu melihat tujuh orang wanita penari yang cantik-cantik menyambut mereka dengan tarian yang lemah gemulai, mengiringkan tuan rumah yang kini mengenakan pakaian amat indahnya, pakaian seorang pangeran serba mewah dan kaki tangan dan kepalanya terhias emas permata!
"Selamat datang di istana kami!"
Kata Kulana dengan sikap yang anggun dan agung ketika mereka bertiga itu keluar dari joli yang sudah diturunkan. Bi Lian turun dan memandang kagum. Istana itu memang indah. Di depannya terdapat sebuah taman yang teratur dan penuh dengan beraneka bunga. Pot-pot berukir indah memnuhi serambi, dan perabot rumahnya pun ukir-ukiran serba indah.
"Ha-ha-ha, mimpikak aku? Seperti berada di dalam istana saja!"
Kata Pak Kwi Ong ketika mereka bertiga dipersilakan masuk. Di sebelah dalamnya lebih mewah lagi. Mereka dipersilakan masuk ke sebuah kamar tamu yang luas, dengan meja kursi berlapis emas. Suara musik berbunyi terus dan kini bermunculanlah gadis-gadis pemusik, penari dan penyanyi, belasan orang banyaknya, mengambil tempat duduk di lantai sudut dan mulai memainkan musik dengan lembut, diiringi nyanyian dan tarian lembut pula. Hawa di ruangan itu pun sejuk karena angin yang masuk semilir dari bagian samping yang terbuka menembus ke sebuah taman lain di mana terdapat air mancur.
"Selamat datang di istana kami, dan semoga para dewa melindungi perjalanan San-wi (Anda Bertiga)."
Kata Kulana sambil mengangkat cawan anggur yang sudah penuh dengan anggur harum yang disuguhkan oleh gadis-gadis cantik berpakaian setengah telanjang sehingga nampak perut, paha dan bagian payudaranya. Pak Kwi Ong, Tung Hek Kwi, dan Bi Lian minum anggur itu dan ternyata di keluarkan oleh para gadis pelayan, banyak macamnya dan masih mengepul panas.
"Sebelum kita bicara, mari kita makan dulu dan kami mengharapkan puas dengan hidanga kami yang seadanya."
Ternyata "yang seadanya"
Itu amat berlebihan. Lebih dari tiga puluh macam banyaknya! Akan tetapi dasar tamunya Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tidak satu pun dari tiga puluh macam masakan itu ada yang mereka lewatkan! Bi Lian hanya memilih yang menarik seleranya saja dan harus diakuinya bahwa selamanya belum pernah ia makan hidangan yang demikain lezatnya! Setelah mereka selesai makan, tuan rumah mempersilakan mereka untuk melihat-lihat keadaan di dalam istananya.
Bahkan semua kamar dibuka satu demi satu. Kamar perpustakaan penuh dengan kitab-kitab kuno, kamar senjata penuh dengan senjata pusaka yang serba aneh dan berharga. Bahkan kamar harta di mana bertumpuk peti-peti berisi emas permata yang menyilaukan mata. Dua orang kakek itu terpesona dan mereka tidak meragukan lagi bahwa Kulana adalah seorang pangeran, seorang bangsawan yang amat kaya-raya, hidupnya seperti raja saja dan tidaklah mengherankan kalau dia bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan baru untuk menandingi kerajaan yang kini berkuasa. Kalau Bi Lian dapat menjadi jodohnya dan kelak orang ini menjadi kaisar, Mereka berdua otomatis akan menjadi orang-orang mulia! Setelah mereka kembali duduk di ruangan tamu, Kulana menghadapi tiga orang tamunya dan bertanyalah dia kepada dua orang kakek itu, sikapnya berwibawa.
"Ji-wi Locianpwe tentu sudah mendapat tahu dari Bengcu akan pinagan kami terhadap Nona Cu Bi Lian. Kami harap, setelah Sam-wi melihat sendiri keadaan kami, dapat memberi jawaban yang pasti."
Terkejutalah Bi Lian mendengar ini. Wajahnya berubah merah sekali dan ia memandang kepada tuan rumah, lalu kepada dua orang gurunya. Dua orang kakek itu saling pandang dan Pak Kwi Ong tertawa lebar sampai perutnya bergerak-gerak.
"Ha-ha-ha, sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagi kami, Pangeran!"
Dia menyebut pangeran begitu saja tanpa ragu lagi.
"Dan tentu saja pinangan itu kami terima dengan kedua tangan terbuka. Bukankah begitu, Setan Hitam?"
Tung Hek Kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada muridnya.
"Bagiku sih terserah kepada Bi Lian."
"Aih, sebenarnya apakah artinya ini semua, Suhu?"
Tanya Bi Lian penasaran.
"Begini, muridku. Pangeran Kulana ini begitu melihatmu langsung saja tergila-gila dan dia mengajukan pinangan melalui Suhengmu, Lam-hai Giam-lo, untuk mengambilmu sebagai isterinya dan kelak engkau akan menjadi permaisurinya, karena orang seperti dia ini kami yakin kelak akan menjadi seorang raja. Tentu saja kami setuju, dan engkau pun tentu setuju, bukan?"
Bi Lian mengerutkan alisnya dan teringatlah ia kepada Pek Eng. Celaka, nasibnya sungguh sama seperti Pek Eng, pikirnya. Akan tetapi ia tidak sudi menjadi boneka. Ia sama sekali tidak sudi menjadi boneka. Ia sama sekali tidak mencintai pria yang pongah ini, sedikit pun tidak suka walaupun ia kagum akan keliahaian dan kekayaannya. Akan tetapi, melihat betapa Pak Kwi Ong agaknya setuju benar, dan Tung Hek Kwi kelihatan masih meragu, ia pun tidak berani menolak begitu saja.
"Suhu, pernikahan adalah suatu urusan besar bagi seorang wanita, yang akan menentukan keadaan hidupnya di masa mendatang. Oleh karena itu, bagaimana mungkin aku mengambil keputusan dalam sesaat saja? Biarlah kupikirkan dulu hal ini dan berilah waktu tiga hari kepadaku untuk mengambil keputusan dan memberi jawaban."
Sikap Bi Lian tegas dan Kulana dapat menerima ini. Dia tersenyum dan memandang kagum.
"Nona Cu memang bijaksana. Segala keputusan memang harus dipikirkan masak-masak agar tidak menyesal di kemudian hari."
Mereka bertiga lalu meninggalkan istana itu atas desakan Bi Lian dan setiba mereka di dalam hutan, sebelum sampai di rumah Lam-hai Giam-lo, Bi Lian menghentikan langkahnya.
"Suhu berdua sungguh terlalu!"
Tiba-tiba ia berkata sambil memandang mereka denga muka merah.
"Wah, apa maksudmu, Bi Lian?"
Tanya Pak Kwi Ong tertawa.
"Terutama Suhu yang belum apa-apa sudah menyetujui pinangan itu. Aku ini bukan boneka, aku seorang manusia yang berhak menentukan pilihanku sendiri. Aku dilamar orang begitu saja dan Suhu menganggap aku ini seekor kucing atau anjing?"
"Bi Lian, apa katamu itu?"
Pak Kwi Ong yang tak pernah marah, sekali ini membentak Bi Lian.
"Engkau muridku, maka engkau harus mentaati aku, dan sekali ini, engkau harus taat, engkau harus menjadi isteri Kulana!"
"Tidak, Suhu. Aku tidak suka menjadi isterinya. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan tentang jodoh, dan aku tidak cinta padanya."
"Tidak, engkau harus mau!"
Bentak Pak Kwi Ong.
"Hemmm, kalau begitu Suhu saja menjadi isterinya!"
Bi Lian berkata nyaring.
"Aku tidak sudi!"
"Aku akan memaksamau."
"Aku akan melawan!"
"Murid murtad!"
Pak Kwi Ong marah sekali dan secepat kilat menyambar dia sudah menyerang muridnya sendiri dengan pukulan maut. Tangannya mengeluarkan uap tebal. Akan tetapi Bi Lian sudah siap siaga dan dia pun mengelak. Ketika Pak Kwi Ong mendesak, tiba-tiga Tung Hek Kwi menggerakkan tangannya menangkis.
"Dukk!"
Keduanya terpental ke belakang. Wajah Pak Kwi Ong berubah merah sekali.
"Setan Hitam, engkau berani membelanya?"
"Tentu saja! Muridku, ingat? Siapa yang mengganggunya berarti mengganggu aku!"
"Ia harus kawin dengan Kulana!"
"Tidak, ia boleh menentukan pilihannya sendiri!"
"Keparat!"
"Bedabah!"
Dua orang kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga tahun itu kini saling hantam dan saling serang dengan hebatnya! Mereka adalah orang-orang yang sudah tua renta, kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi akan tetapi tenaga mereka sudah banyak berkurang dimakan usia tua. Pukulan-Pukulan mereka merupakan Pukulan maut dan kini mereka sudah dipengaruhi amarah yang membuat mereka keduanya seperti buta. Bi Lian menjadi bingung, akan tetapi tidak dapat melerai. Berbahaya untuk menyelinap di antara keduanya dan ia hanya mampu berteriak mengingatkan mereka tanpa hasil. Belum sampai tiga puluh jurus dua orang datuk sesat seperti iblis ini saling gempur, keduanya sudah kehabisan napas dan dalam pengerahan tenaga terakhir, keduanya mengadu kekuatan melaui kedua telapak tangan.
"Dess.!"
Keduanya terjengkang dan roboh terkulai, tak mampu bangkit kembali dengan napas empas-empis!
"Suhu..!"
Bi Lian berlutut di antara keduanya, mejadi bingung juga melihat betapa kedua orang gurunya itu sam-sama luka parah sekali dan napasnya tinggal satu-satu. Keduanya telah saling hantam dan tidak mampu bertahan lagi. Setelah melihat keadan kedua orang tua itu, barulah ia teringat betapa sayangnya mereka itu kepadanya selama ini dan tak terasa lagi Bi Lian menangis! Pak Kwi Ong mencoba untuk membuka matanya dan dia masih tersenyum menyeringai walaupun sudah mega-megap.
"Kau. kau harus menjadi isteri Kulana. ahhh.."
"Tidak. kau boleh menolak."
Dua orang kakek itu, dalam keadaan sekarat, masih saja mempertahankan pendirian mereka. Bahkan mereka kini berusaha meloncat bangun untuk melanjutkan perkelahian, namun mereka terkulai lagi dan roboh, kini tak dapat bergerak lagi karena nyawa mereka telah melayang!
"Suhu.!"
Bi Lian menangisi mereka, tubruk sana-sini. Bi Lian mendengar gerakan banyak orang. Ia melompat bangun dan berhadapan dengan Kulana yang diikuti oleh belasan orang pasukannya. Juga di situ sudah berdiri pula Lam-hai Giam-lo dan dua orang suami isteri Lam-hai Siang-mo!
"Nona Cu, sudahlah, tidak ada yang perlu ditangisi lagi. Marilah ikut bersamaku dan kita rawat dan urus dengan baik-baik jenazah kedua orang Gurumu."
Kata Kulana dengan suara halus dan sikap peramah sekali. Mendengar kata-kata yang dimikian halus penuh menghibur, Bi Lian kembali menangis.
"Guruku.. Kedua Guruku.. Mereka telah meninggal dunia."
"Hal itu tidak dapat diperbaiki lagi, Nona. Marilah, bangkitlah dan biarkan aku membimbingmu."
Kata pula Kulana dengan sikap lembut dan Bi Lian merasa betapa sikap lembut dan Bi Lian merasa betapa tangannya digandeng dengan halus oleh tangan pria itu. Mendadak ia pun teringat bahwa kematian kedua orang gurunya adalah gara-gara pinangan orang ini, maka teringat pulalah ia bahwa orang ini pandai menggunakan sihir. Ia pun meronta dan melepaskan tangannya, melompat menjauh.
"Tidak, jangan sentuh aku!"
Teriaknya. Di dalam hatinya, memang Bi Lian tidak pernah dekat atau suka kepada kaum sesat, bahkan sering kali ia menyesal melihat betapa dua orang gurunya adalah datuk-datuk sesat. Selama ini, biarpun ia bersikap keras dan ganas, namun belum pernah ia melakukan kejahatan, dan julukannya sebagai Tiat-sim Sina-li (Dewi Berhati Besi) bukan karena kejahatannya melainkan karena kekerasan hatinya menghadapi lawan yang biasanya terdiri dari orang-orang jahat. Kalau ia masih mau diajak bergaul dengan dunia hitam, hanyalah karena terpaksa oleh adanya dua orang gurunya. Kini, setelah kedua orang gurunya meninggal dunia, ia merasa terlepas sama sekali dari golongan hitam dan begitu ia meloncat, ia kini berdiri dengan sikap menentang semua orang yang kini memandangnya.
"Nona Cu,"
Kata Kulana sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, suaranya lemah lembut dan sikapnya ramah.
"Kedua orang Gurumu menerima aku sebagai calon suamimu, karena itu aku bukanlah orang lain bagimu. Akulah yang akan mengurus jenazah kedua orang Gurumu, dan akulah yang akan melindungimu, membahagiakanmu."
"Cukup!"
Bi Lian membentak sambil mengerahkan kekuatan khi-kangnya untuk melawan pengaruh suara halus itu.
"Justeru karena ulahmu itu, justeru karena pinanganmu, kedua Guruku saling serang sampai keduanya tewas. Engkaulah yang telah membunuh Mereka! Untuk itu, engkau harus menebusnya dengan nyawamu!"
Berkata demikian, Bi Lian udah meloncat ke depan dan menyerang Kulana denga hebatnya. Kedua tangaan gadis itu mengeluarkan uap putih dan karena ia mengerahkan tenaga sin-kang luar biasa, kedua tangan yang amat berbahaya itu menjadi semakin menggiriskan karena dapat mulur panjang. Hampir saja pelipis kiri Kulana terkena cengkeraman jari tangannya kalau saja orang Birma itu sambil berjungkir balik dan pada saat itu Lam-hai Giam-lo sudah meloncat ke depan menghadapi Bi Lian. Wajahnya nampak tidak senang dan alisnya berkerut.
"Sumoi, sikapmu ini sungguh tidak patut! Saudara Kulana bermaksud baik, kenapa engkau malah menyerangnya? Apakah engkau ingin membikin aku malu? Ingat, setelah kedua orang Susiok meninggal dunia, akulah yang menjadi pengganti mereka, sebagai pelindungmu dan aku yang berhak mengurusmu. Hentikan sikapmu itu dan berksikaplah yang baik terhadap Saudara Kulana!"
Akan tetapi, sepasang mata Bi Lian mencorong marah karena ia dapat menduga bahwa tentu usul orang inilah yang membuat kedua orang gurunya menerima pinangan Kulana. Juga, kedua orang gurunya bahkan melarang ia membunuh dua pasang suami isteri yang sejak dahulu dianggap sebagai biang keladi kematian ayah ibunya. Sambil bertolak pinggang Bi Lian menghadapi Lam-hai Giam-lo dan berkata, suaranya lantang karena ia masih mengerahkan kekuatan khi-kang yang dipelajarinya dari mendiang Tung Hek Kwi untuk menolak pengaruh sihir Kulana. Suaranya melengking nyaring.
"Lam-hai Giam-lo! Sejak dahulu, tidak ada hubungan apa pun di antara kita! Kalau aku mau menerimamu sebagai Suheng, hal itu adalah karena permintaan kedua orang Guruku. Akan tetapi, mereka kini telah tewas di sini, gara-gara ulah orang bernama Kulana ini, jangan engkau mencampuri, karena aku bukanlah bawahanmu, dan engkau pun bukan pemimpinku!"
"Bocah sombong! Aku adalah Bengcu!"
Bentak Lam-hai Gam-lo, marah sekali karena merasa dipandang rendah.
"Sudahlah, Bengcu, biar aku yang mengurus calon isteriku ini!"
Kata Kulana dan orang ini pun segera meloncat ke depan untuk menangkap Bi Lian. Gadis ini mengelak dan membalas dengan tendangan yang dapat pula dielakkan Kulana. Mereka sudah saling serang dengan serunya. Bi Lian berusaha merobohkan, akan tetapi Kulana berusaha menangkapnya. Melihat betapa lincah dan gesitnya gerakan Bi Lian, Lam-hai Giam-lo meloncat dan membantu.
"Akan kubantu engkau menangkap calon mempelaimu, Saudara Kulana!"
Katanya. Dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai itu, Bi Lian menjadi repot juga. Baru tingkat kepandaian Kulana seorang saja, kiranya tidak mudah baginya untuk mengalahkannya karena orang Birma itu memperkuat ilmu silatnya denga kekuatan sihir. Apalagi tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo sudah amat tinggi, setingkat dengan gurunya, sehingga melawan Lam-hai Giam-lo saja ia takkan menang. Kini dua orang lihai itu mengeroyoknya,
Biarpun tidak bermaksud merobohkannya melainkan hanya ingin menangkapnya, tentu saja Bi Lian menjadi repot dan kewalahan. Namun, dengan semangat membaja gadis ini pantang mundur dan melawan terus, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya. Para anak buah Lam-hai Giam-lo dan juga suami isteri Lam-hai Siang-mo menonton perkelahian itu dengan penuh kagum. Mereka hanya melihat tiga bayangan berkelebatan cepat sekali, bagaikan tiga ekor burung raksasa sedang berkelahai dan mereka itu sam sekali tidak dapat mengikuti gerakan mereka, tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa terdesak. Mereka pun tidak berani membantu karena bukankah yang turun tangan sekarang adalah bengcu sendiri yang membantu Kulana?
"Cu Bi Lian, engkau masih belum juga mau menyerah?"
Tiba-tiba Lam-hai Giam-lo membentak dan tubuh kakek ini sekarang berputar seperti gasing. Memang hebat ilmu kepandaian Lam-hai Giam-lo ini. Begitu dia membuat gerakan berpusing, Bi Lian merasa seolah-olah tubuhnya tersedot dan terseret oleh arus air berpusing dan ia pun terhuyung, sukar untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu, sukar untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu, tangan Kulana berhasil menangkap pundaknya.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heiiiittt..!"
Bi Lian memekik dan meronta sambil melempar tubuh ke atas tanah terus bergulingan. Ia berhasil melepaskan diri akan tetapi dua orang itu berloncatan mengejarnya dan tentu ia akan tertawan kalau saja pada saat itu berseru halus.
"Dua orang laki-laki menghina seorang gadis, sungguh tidak tahu malu sekali!"
Dan tiba-tiba saja muncul seorang pemuda yang menghadang dua orang yang mengejar Bi Lian yang bergulingan itu.
Begitu pemuda itu mengembangkan kedua lengannya dan membuat gerakan seperti mencegah dengan mendorong ke depan, gerakan Lam-hai Giam-lo dan Kulana terhenti seperti ada tenaga raksasa yang menghadang mereka! Mereka terkejut dan cepat memandang penuh perhatian. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh satu tahun. Tubuhnya sedang saja dan pakaiannya amat sederhana, seperti pakaian seorang petani saja. Mukanya berkulit putih, agak bulat dengan alis yang hitam lebat, matanya agak sipit dan bersinar lembut, sikapnya tenang sekali dan dibawah jubahnya yang panjang seperti jubah pendeta itu nampak ujung sarung sebatang pedang. Melihat ada seorang pemuda yang asing dan berani membela Bi Lian menghadapi mereka, tentu saja Lam-hai Giam-lo dan Kulana marah bukan main. Terutama sekali Lam-hai Giam-lo yang merasa betapa kekuasaanya di situ di tentang orang asing, seorang yang masih muda dan tidak terkenal lagi.
"Keparat, apakah matamu buta maka berani engkau mencampuri urusan kami?"
Bentaknya sambil melangkah maju menghampiri pemuda itu. Pemuda itu bersikap tenang, akan tetapi mata yang lembut itu kini mencorong ketika dia berkata,
"Lam-hai Giam-lo, aku tidak buta dan dapat melihat betapa engkau dan orang ini tanpa malu-malu mengeroyok seorang gadis!"
Kulana juga marah sekali karena ada orang yang berani menghalangi niatnya menangkap calon isterinya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya dan sambil memandang wajah pemuda itu, tiba-tiba dia maju dan membentak.
"Orang muda, aku adalah junjunganmu! Berlututlah engkau!"
Seruan ini berwibawa sekali mengandung kekuatan sihir yang amat kuat, bahkan Bi Lian sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar. Akan tetapi, pemuda ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut seperti yang diperintahkan Kulana, sebaliknya dia malah tersenyum dan menghampiri Bi Lian yang kedua kakinya masih gemetar.
"Nona, sebaiknya kalau kita pergi saja dari tempat kotor di antara orang-orang busuk ini."
Suara itu dimikian lembut dan biarpun Bi Lian belum mengenal siapa adanya pemuda ini, ia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Ia mengangguk dan menghampiri pemuda ini, ia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Ia mengangguk dan menghampiri pemuda itu. Lalu bersama pemuda itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu! Untuk beberapa detik lamanya, Kulana, Lam-hai Giam-lo, Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu bengong melihat dua orang muda itu membalikkan tubuh dan pergi, seolah-olah tidak percaya. Kemudian Kulana dan Lam-hai Giam-lo sadar dan keduanya bergerak hendak mengejar.
"Jangan pergi..!"
Lam-hai Giam-lo berteriak.
"Berhenti!"
Kualana juga membentak. Pemuda itu membalikkan tubuhnya, diturut oleh Bi Lian yang siap menghadapi serangan mereka. Akan tetapi sambil membalik, pemuda itu tiba-tiba menghadapkan kedua tangannya ke arah Mereka yang mengejar dan mulutnya mengeluarkan seruan yang menggeledek.
"Diam kaliaan!"
Luar biasa sekali kekuatan yang terkandung dalam bentakan ini. Dua orang sakti itu seketika terhenti dan diam seperti patung, bahkan terbelalak seperti orang kaget. Juga Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu pun diam tak bergerak seperti menjadi patung. Bi Lian sendiri merasa seolah-olah darah yang mengalir di tubuhnya terhenti dan ia pun tidak mampu bergerak akan tetapi pemuda itu memegang tangannya dan menariknya.
"Nona, mari kita pergi!"
Dan ia pun dapat menggerakkan kaki dan mereka lalu melarikan diri dari tempat itu. Baru setelah mereka jauh menuruni lereng, terdengar ribut-ribut di belakang mereka, tanda bahwa semua orang itu telah sadar dan agaknya melakukan pengejaran.
Pemuda itu maklum betapa bahayanya kalau sampai mereka dapat dikejar oleh Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya. Dia tahu bahwa tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka dia pun lalu mengajak gadis itu melanjutkan pelarian mereka memasuki hutan yang liar dan gelap diatas sebuah bukit. Setelah tidak lagi terdengar suara orang mengejar, barulah mereka berhenti berlari dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar. Karena tadi mereka terus berlarian, apalagi karena Bi Lian baru saja berkelahi melawan dua orang lawan tangguh, gadis itu merasa lelah dan ia pun menjatuhkan diri di atas rumput tebal, lalu duduk bersila mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga. Pemuda itu pun tidak mengganggu, melainkan duduk agak jauh, di atas batu dan hanya memandang dengan kagum.
Asmara Berdarah Eps 11 Asmara Berdarah Eps 21 Asmara Berdarah Eps 14