Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 37


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 37



Kim Seng Siocia tewas seketika! Anak buahnya memandang dengan mata terbelalak kaget. Tak mereka sangka sama sekali bahwa ketua mereka, juga majikan atau guru mereka, yang mereka anggap memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan tiada bandingannya itu, kini tewas sedemikian mudahnya di tangan kakek pendeta Lama itu! Acui dan Amoi yang amat mencinta majikan mereka, melihat Kim Seng Siocia tewas, menjadi marah dan berduka sekali. Mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan dengan teriakan marah kedua orang wanita muda yang cantik ini sudah menerjang maju mengeroyok Kok Beng Lama, dibantu oleh empat orang teman mereka yang terdekat. Melihat dia dikeroyok enam orang wanita muda, pendeta Lama itu kelihatan jemu dan dengan marah dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri sambil membentak,

   "Pergilah kalian!"

   Terdengar suara "plak-plak!"

   Susul-menyusul dan dengan jerit tertahan enam orang itu, termasuk Acui dan Amoi yang lihai, roboh dan tak mungkin dapat bangun kembali karena kepala mereka retak-retak disambar ujung lengan baju kakek yang luar biasa lihainya itu!

   "Mundur kalian! Apakah kalian sudah bosan hidup?"

   Tiba-tiba terdengar suara bentakan halus dan muncullah seorang nenek bertongkat butut hitam, berpakaian hitam pula dan berwajah bengis.

   Dia ini bukan lain Go-bi Sin-kouw! Seperti diketahui nenek ini adalah guru Pek Hong Ing dan Lauw Kim In, dan tinggal di atas sebuah di antara puncak-puncak Go-bi-san. Seperti juga Kim Seng Siocia, dia mendengar teriakan yang merupakan tantangan dari Kok Beng Lama, akan tetapi dia tidak melayani karena bukan dia yang ditantang, pula dia maklum betapa lihainya kakek itu. Betapapun juga, dia ingin tahu dan karena merasa bahwa dia dapat menanggulangi kakek sakti itu, mengikuti dan menyaksikan kakek itu membunuh Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang murid lainnya. Melihat bahwa masih ada puluhan orang bekas anak buah Kim Seng Siocia hendak maju mengeroyok, dia cepat mencegat mereka karena dia mempunyai niat yang dianggapnya baik sekali melihat kematian Kim Seng Siocia dan para pembantu utamanya. Dua orang muridnya telah pergi.

   Pek Hong Ing telah murtad, melawan kehendaknya, tidak mau menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, bahkan telah menjadi nikouw dan melarikan diri dengan pemuda gundul itu. Sedangkan murid pertamanya, Lauw Kim In, juga minggat entah ke mana. Cita-citanya untuk menjadi mertua seorang pangeran gagal, maka kini dia melihat kesempatan yang baik sekali. Dia akan memperoleh kedudukan tinggi dan mewarisi harta benda yang banyak jika dia menggantikan Kim Seng Siocia yang sudah mati! Karena inilah dia mencegah sisa anak buah Kim Seng Siocia yang diharapkan kelak menjadi anak buahnya, untuk tidak nekat melawan pendeta Lama yang lihai itu. Kok Beng Lama memutar tubuhnya menghadapi Go-bi Sin-kouw. Dia mengenal pula nenek ini yang pernah mengeroyoknya di tepi Pantai Pohai.

   "Ha-ha-ha, apakah engkau hendak mewakili Go-bi Thai-houw pula melawan pinceng?"

   Go-bi Sin-kouw menggerakkan tangan kirinya menyangkal.

   "Aku Go-bi Sin-kouw tidak pernah bermusuhan dengan Kok Beng Lama. Kita adalah dua orang tua yang sudah kenyang mengalami pertandingan, mengapa seperti anak kecil saja hendak mengadu kepandaian?"

   "Ha-ha-ha-ha! Omitohud... wanita memang pandai menyelimuti perasaannya sendiri...!"

   Dengan ucapan ini Kok Beng Lama hendak menyindir bahwa nenek itu pandai menyembunyikan rasa jerihnya untuk bertanding dengannya.

   "Habis, mau apa engkau datang menemuiku?"

   "Kok Beng Lama, aku tadi mendengar suaramu, dan aku mengenal namamu ketika untuk pertama kali kau muncul di tepi Pohai. Aku hanya hendak memperlihatkan sebuah benda. Lihat ini baik-baik, apakah engkau mengenal benda ini?"

   Sambil berkata demikian, Go-bi Sin-kouw menggunakan tangan kanan mengambil sebuah benda yang mengkilap dari dalam saku bajunya, dan mengangkat benda itu tinggi-tinggi agar dapat terlihat oleh Kok Beng Lama. Benda itu adalah sehelai kalung emas terukir indah dan mainannya mcrupakan sebuah ukir-ukiran arca Buddha kecil bermata indah terbuat dari mutiara biru! Ketika Kok Beng Lama melihat benda ini, dia mengeluarkan seruan tertahan, mukanya berubah pucat dan tiba-tiba dia menerjang ke depan dengan kedua lengan terpentang dan kedua tangannya membentuk cakar setan! Go-bi Sin-kouw terkejut sekali, cepat nenek ini menggerakkan tongkat bututnya menyambut dengan tusukan dahsyat ke arah dada kakek pendeta berjubah merah itu.

   "Plak! Plak!"

   Tangan kanan Kok Beng Lama sudah menangkap ujung tongkat, sedangkan tangan kirinya telah mencengkeram tangan kanan nenek yang menggenggam kalung itu.

   "Katakan, dari mana kau mendapatkan benda ini?"

   Bentak Kok Beng Lama. Namun dengan senyum menyelimuti rasa nyeri yang membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh oleh cengkeraman kakek pendeta itu, Go-bi Sin-kouw berkata lirih,

   "Kau bunuhlah, akan tetapi akulah satu-satunya orang yang akan dapat bercerita tentang Pek Cu Sian...!"

   Ucapan ini membuat Kok Beng Lama mencelat mundur seolah-olah ditampar oleh benda keras.

   "Pek... Cu... Sian...? Di... di mana dia...?"

   Dia terbelalak memandang nenek itu dengan sinar mata penuh permohonan, tubuhnya gemetar karena hatinya tegang bukan main.

   "Dia kudapati terluka parah, tubuhnya penuh luka-luka dan sebelum meninggal dunia, dia meninggalkan benda ini dan puterinya..."

   "Ouhhh...!"

   Kok Beng Lama jatuh terduduk, mukanya pucat sekali dan matanya terpejam, alisnya berkerut, wajahnya kelihatan berduka sekali. Terbayang di dalam ingatannya semua peristiwa yang terjadi belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu di Tibet! Ketika itu, dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh golongan Lama Jubah Merah yang terdapat di Tibet. Golongan Lama Jubah Merah ini adalah segolongan pendeta yang menganut Agama Buddha yang dicampur dengan Agama Hindu, maka di samping memuja pelajaran Buddha, juga mereka masih memuja para dewa Agama Hindu. Golongan Lama Jubah Merah terutama sekali memuja Dewa Syiwa yang dipujanya sebagai dewa pembasmi dan penghancur,

   Karena itu amat ditakuti dan telah menjadi tradisi di golongan mereka untuk setiap tahun, pada hari ulang tahun dewa itu, mereka menyerahkan korban-korban, diantaranya korban seorang dara cantik yang masih perawan. Golongan yang fanatik ini menanam banyak permusuhan dengan golongan lain, bahkan perbuatan mereka memaksa gadis menjadi korban tiap tahun mendatangkan permusuhan pula dengan banyak orang yang terdiri dari rakyat jelata. Namun karena golongan Lama Jubah Merah ini memiliki banyak tokoh yang berilmu tinggi sekali, tidak ada golongan lain yang berani berterang menentang mereka. Ada beberapa orang gagah, diantaranya ada yang datang dari Tiongkok, yang mencoba untuk menentang pengorbanan anak perawan tiap tahun, namun mereka ini seorang demi seorang dikalahkan dan ditewaskan oleh para tokoh Lama Jubah Merah.

   Diantara tokoh kang-ouw yang terbunuh dalam usaha ini adalah seorang pendekar bernama Pek Jwan Ki yang gagah perkasa. Setelah pendekar ini tewas, puterinya yang baru berusia delapan belas tahun, bernama Pek Cu Sian, menyerbu markas Lama Jubah Merah untuk membalas dendam. Akan tetapi, betapa pun lihainya dara ini tertawan dan kemudian melihat bahwa dia amat cantik dan masih perawan, dia dipilih untuk menjadi calon korban, hendak dipersembahkan kepada Dewa dalam pesta pemujaan tahun depan! Pemujaan itu dilakukan dengan membakar anak perawan itu dalam keadaan telanjang bulat, dengan demikian jiwa raganya akan diterima oleh Dewa pujaan mereka! Ketika Pek Cu Sian yang cantik menjadi tawanan inilah terjadi peristiwa hebat yang menggegerkan Tibet, terutama di lingkungan kaum Lama Jubah Merah.

   Kok Beng Lama, seorang diantara para tokoh Lama Jubah Merah yang bertingkat dua, sebagai orang ke dua yang terlihai di antara mereka, seorang pendeta yang baru berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tampan dan gagah perkasa, tergila-gila dan jatuh cinta ketika melihat Pek Cu Sian! Maka dengan kecerdikan dan kelihaiannya, diam-diam Kok Beng Lama menolong perawan itu, mengeluarkannya dari dalam tempat tahanan, kemudian menyembunyikannya di dalam kamar rahasia. Pek Cu Sian yang telah berada di ambang maut yang mengerikan itu, merasa berhutang budi dan timbul pula kagum dan sukanya kepada penolong yang gagah perkasa ini, biarpun penolong itu usianya sudah setengah tua dan pantas menjadi ayahnya. Kalau dua orang insan, pria dan wanita sudah saling suka,

   Maka terjadilah hal yang lumrah, yaitu keduanya saling mendekati dan karena Pek Cu Sian tidak mempunyai orang lain yang dapat dipercaya, maka kepercayaannya tercurah kepada Kok Beng Lama. Keduanya melakukannya hubungan rahasia di dalam kamar di mana perawan itu di sembunyikan. Semua berjalan rapi tanpa ada yang mengetahuinya, dan dara itu oleh para tokoh Lama Jubah Merah dianggap hilang atau berhasil melarikan diri. Akan tetapi sebetulnya, Pek Cu Sian hidup sebagai suami isteri dengan Kok Beng Lama, bahkan setahun kemudian Pek Cu Sian melahirkan seorang anak perempuan di dalam kamar rahasianya. Wanita tua yang membantu berlangsungnya kelahiran ini, setelah tenaganya tidak dibutuhkan lagi, dibunuh oleh Kok Beng Lama agar rahasia mereka tidak membocor keluar!

   Akan tetapi, betapa pun rapatnya mereka menyimpan rahasia, akhirnya terbuka juga. Anak perempuan itu mereka beri nama Pek Hong Ing, dan pada suatu hari, seorang pendeta Lama melihat anak berusia lima tahun itu keluar dari kamar rahasia. Dan terbukalah rahasia yang selama hampir enam tahun itu disimpan oleh Kok Beng Lama dan Pek Cu Sian! Akibatnya, Kok Beng Lama ditangkap dan Pek Cu Sian melarikan diri bersama puterinya, dikejar-kejar oleh para Lama Jubah Merah. Selama enam tahun, Pek Cu Sian telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kekasihnya, maka dia melakukan perlawanan gigih dan berhasil membunuh beberapa orang pendeta Lama Jubah Merah. Namun dia sendiri terluka parah dan biarpun akhirnya dia berhasil melarikan diri meninggalkan Tibet, ketika tiba di Go-bi-san, dia roboh dan tewas.

   Baiknya pada waktu peristiwa pengejaran itu terjadi, Kok Beng Lama tidak tahu karena dia sedang "diadili", maka tidak terjadi hal yang lebih hebat lagi. Kok Beng Lama dijatuhi hukuman sepuluh tahun lamanya oleh ketua golongan Lama Jubah Merah. Selama sepuluh tahun di dalam kamar tahanan ini, Kok Beng Lama memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga ketika hukumannya sudah habis, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Bahkan dia telah mempunyai khi-kang yang luar biasa kuatnya, juga sin-kangnya membuat kedua tangannya kebal dan berani melawan senjata pusaka yang bagaimanapun juga ampuhnya! Akan tetapi, ketika dia keluar dari hukuman dan mendengar bahwa kekasihnya dan puterinya pergi melarikan diri, dia menjadi marah sekali. Didatanginya ketua golongan dan dimintanya pertanggungan jawabnya.

   "Pinceng telah menerima dosa dan telah menanggung semua kesalahan dengan menerima hukuman sepuluh tahun tanpa membantah. Mengapa Pek Cu Sian dan puteri kami yang tidak berdosa dikejar-kejar? Tentu mereka telah kalian bunuh!"

   Teriaknya marah.

   Dengan kepandaiannya, dia menangkap seorang Lama dan menyiksanya sampai Lama itu mengaku betapa Pek Cu Sian dan puterinya melarikan diri dan dikejar, dikeroyok sampai luka-luka parah dan biarpun dapat melarikan diri, akan tetapi luka-luka yang amat hebat yang dideritanya tentu tidak akan dapat ditahannya. Mendengar ini, Kok Beng Lama mengamuk dan ketua golongan Lama Jubah Merah tewas di tangannya! Masih banyak lagi Lama Jubah Merah yang tewas oleh Kok Beng Lama yang mengamuk itu, kemudian dia melarikan diri dari Tibet dengan niat untuk mencari tahu perihal kekasih dan puterinya. Kedukaan hatinya mendengar akan nasib kekasihnya membuat dia seperti gila, dan karena dia sudah lama mendengar nama-nama besar dari Sin-jiu Kiam-ong, Bun Hwat Tosu, Tiang Pek Hosiang,

   Dan yang terdekat adalah Go-bi Thai-houw, maka di sepanjang jalan dia menantang empat orang ini. Dia percaya bahwa dengan tingkat kepandaiannya sekarang, dia akan mampu mengalahkan empat orang tokoh besar itu! Demikianlah riwayat singkat dari Kok Beng Lama. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tanpa disangka-sangkanya, dia mendengar tentang kekasihnya itu dari Go-bi Sin-kouw! Apalagi ketika dia mendengar bahwa kekasihnya, Pek Cu Sian, seperti yang dikhawatirkannya selama ini, telah meninggal dunia akibat luka-lukanya, dia menjadi demikian berduka sampai hampir pingsan. Sampai lama dia duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan ketika kedua matanya itu akhirnya dibukanya kembali, sinar matanya menjadi suram dan layu.

   "Bagaimana matinya?"

   Ucapan apa yang menjadi pesan terakhirnya? Bagaimana dengan Puteri Pinceng?"

   Suara pendeta Lama yang biasanya gembira dan tenang itu kini terdengar parau dan tidak jelas.

   "Kok Beng Lama! Pertama-tama yang disebut adalah namamu, maka begitu mendengar kau menyebutkan namamu di Pantai Pohai aku segera mengenalmu. Akan tetapi, sebelum aku melanjutkan ceritaku, kau harus berjanji dulu bahwa selanjutnya engkau tidak akan memusuhi atau mengganggu lagi kepada Go-bi Sin-kouw."

   Kakek itu dengan tidak sabar mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Baiklah, aku Kok Beng Lama berjanji takkan mengganggu Go-bi Sin-kouw."

   "Dan kau harus menyetujui aku menggantikan kedudukan Kim Seng Siocia di sini memimpin semua wanita ini."

   "Baik, baik. Memang sudah selayaknya, engkau yang telah menemukan Cu Sian."

   Berseri wajah Go-bi Sin-kouw. Yang lain-lain dia tidak takut, apalagi anak buah Kim Seng Siocia tentu akan tunduk kepadanya. Dia hanya jerih menghadapi pendeta Lama ini karena dia maklum bahwa pendeta ini hebat bukan main, sama sekali bukan tandingannya!

   "Kalau begitu, sebagai majikan dari markas ini, aku mempersilakan kau masuk ke istanaku di mana kita dapat bicara dengan tenang, Kok Beng Lama."

   Pendeta yang sudah ingin sekali mendengar cerita tentang kekasihnya dan puterinya itu, mengangguk dan mereka berdua lalu memasuki rumah besar yang megah bekas tempat tinggal Kim Seng Siocia setelah Go-bi Sin-kouw dengan suara lantang memerintahkan "anak buahnya"

   Untuk mengurus jenazah Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang gadis yang menjadi korban kelihaian Kok Beng Lama. Setelah duduk berhadapan dan minum arak yang disuguhkan oleb anak buah yang kini memperoleh majikan baru itu, Go-bi Sin-kouw talu bercerita,

   "Aku sedang melakukan perjalanan bersama muridku yang bernama Lauw Kim In ketika aku bertemu dengan Pek Cu Sian. Dia menggeletak tak berdaya, kehabisan darah yang keluar dari luka-lukanya, sedangkan seorang anak perempuan berusia lima tahun nenangis di sampingnya. Aku berusaha mengobatinya, namun percuma karena dia telah kehabisan darah. Sebelum dia meninggal dunia, dia menyerahkan kalung ini dan mengatakan bahwa kalau aku bertemu dengan seorang bernama Kok Beng Lama, agar supaya aku menyerahkan benda ini dan anak perempuan yang bernama Pek Hong Ing."

   Kok Beng Lama menciumi kalung itu dan dua titik air mata membasahi pipinya, kemudian dia bertanya penuh gairah,

   "Budi pertolonganmu amat besar, Go-bi Sin-kouw. Aku berterima kasih sekali. Dan di mana sekarang adanya anakku itu? Di mana puteriku Pek Hong Ing...?"

   Go-bi Sin-kouw menarik napas panjang,

   "Itulah yang menyusahkan hatiku. Anak itu kupelihara dan kudidik sampai menjadi dewasa. Kemudian hendak kujodohkan dengan seorang pangeran. Dengar baik-baik! Dengan seorang pangeran putera Kaisar! Akan tetapi, dia malah melarikan diri, agaknya terbujuk oleh seorang pemuda berkepala gundul yang lihai! Engkau malah sudah bertemu dengan puterimu itu, Kok Beng Lama."

   "Hehhh...?"

   Mata yang lebar itu terbelalak makin lebar.

   "Di mana? Yang mana?"

   "Ingatkah engkau ketika engkau muncul di Pantai Pohai? Ada seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda yang kami keroyok untuk kami tangkap, bahkan kau telah membantu mereka melarikan diri."

   "Yaaaa, dan mana puteriku?"

   "Nikouw muda itulah!"

   "Aihhh...!"

   Pendeta Lama itu mencelat ke atas dan matanya menjadi liar dan ganas sekali memandang kepada Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini menjadi terkejut, bersiap sedia dan dengan cepat dia berkata,

   "Ingat, kau tidak akan memusuhi aku, Kok Beng Lama."

   Kakek itu mengepal kedua tinju tangannya yang besar kemudian menghardik,

   "Go-bi Sin-kouw, kenapa kau memusuhi puteriku yang katanya menjadi muridmu?"

   "Ahhh, duduklah baik-baik dan dengarkan dengan tenang,"

   Go-bi Sin-kouw membujuk dan kakek itu duduk kembali dengan sikap kasar karena hatinya masih marah.

   "Sudah kukatakan bahwa Pek Hong Ing, puterimu atau muridku itu, hendak kujodohkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang mencintanya. Bukankah aku bermaksud baik dan mengangkat derajatnya setinggi mungkin? Bayangkan, kau akan menjadi ayah mertua seorang pangeran, putera Kaisar! Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Hong Ing kena dibujuk oleh seorang pemuda, Si Gundul itu sehingga Hong Ing melarikan diri mencukur rambutnya seperti nikouw, bahkan kemudian bersama pemuda itu melawan kami dan tidak mau menyerah ketika hendak ditangkap. Maksudku hanya menangkap mereka dan menyerahkan kepada pengadilan, dan membujuk Hong Ing agar suka menjadi isteri pangeran. Sayang, sebelum mereka tertangkap, engkau muncul dan membikin kacau, engkau malah membantu pemuda yang hendak mencelakakan puterimu itu."

   "Brakkkk!"

   Meja itu terbuat daripada batu putih yang amat keras, akan tetapi tidak kuat menahan kepalan tangan Kok Beng Lama, retak-retak dan nyaris hancur lebur! "Siapa pemuda gundul itu?"

   "Namanya Yap Kun Liong dan dia lihai sekali!"

   "Tak peduli betapa lihainya, dia akan kuhancurkan kepalanya seperti meja ini!"

   "Tapi dia kabarnya memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng, dan menurut kabar orang-orang kang-ouw, dia murid keponakan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan dia pula yang tahu di mana adanya pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo."

   Berkerut alis Kok Beng Lama.

   "Apa itu Thi-khi-i-beng?"

   "Ahh, seorang selihai engkau masih belum mengenal Thi-khi-i-beng? Ilmu yang amat dahsyat dan mujijat, sin-kang yang dapat menyedot tenaga dalam lawan, yang tadinya hanya dimiliki oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong!"

   "Huh, siapa itu Cia Keng Hong?"

   "Dialah murid tunggal orang yang kau cari-cari, Sin-jiu Kiam-ong."

   "Bagus! Di mana dia?"

   "Dia menjadi Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san. Dan bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan rebutan seluruh orang dunia kang-ouw, kabarnya juga hanya diketahui tempatnya oleh pemuda itu. Dan sekarang, puterimu dibawa olehnya, entah ke mana."

   "Keparat! Akan kucari mereka semua!"

   Tiba-tiba kakek itu meloncat dan sekali berkelebat dia lenyap dari dalam gedung itu, membuat Go-bi Sin-kouw menahan napas saking kagumnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi kepada pendeta Lama yang amat lihai itu, karena dia sudah sibuk mengatur tempat tinggalnya yang baru! Dia mengumpulkan semua anak buahnya yang empat puluh orang lebih jumlahnya, dan mulai saat itu, Go-bi Sin-kouw menjadi majikan tempat itu, tinggal di dalam gedung yang mewah dan megah, dan diterima sebagai ketua oleh bekas anak buah Kim Seng Siocia. Tentu saja dia merasa girang sekali. Biarpun dia kehilangan dua orang muridnya, akan tetapi sebagai gantinya dia memperoleh empat puluh orang murid lebih,

   Dan memperoleh tempat tinggal yang indah. Hanya sedikit kecewa hatinya mendengar bahwa bekas kekasih Kim Seng Siocia, pemuda asing bermata biru yang bernama Marcus, telah melarikan diri sambil membawa kitab-kitab pusaka peninggalan Go-bi Thai-houw berikut banyak harta berupa emas dan perak! Akan tetapi karena yang masih berada di situ jauh lebih banyak, maka nenek ini tidak ambil peduli. Pula, dia tidak menginginkan kitab pusaka karena merasa bahwa ilmu kepandaiannya tidak kalah oleh Kim Seng Siocia. Kun Liong sadar dari pingsannya. Sejenak dia nanar dan matanya silau oleh sinar matahari yang langsung menimpa kepala dan mukanya. Akan tetapi ketika dia bangkit duduk dan melihat kain putih di tangannya, dia teringat dan mengeluh, lalu mendekap kain itu dan diciuminya.

   "Hong Ing.... ahhh, Hong Ing...!"

   Demikian keluh hatinya. Dia hampir merasa yakin bahwa dara itu tentu telah tewas, menjadi korban badai yang mengamuk ganas semalam. Akan tetapi karena yang ditemukannya hanya kain penutup kepala gadis itu, hatinya masih penasaran dan sehari penuh tiada hentinya dia berkeliaran di sepanjang pantai mengelilingi pulau kecil itu untuk mencari kalau-kalau jenazah dara itu terdampar di pantai.

   Namun hasilnya sia-sia. Akhirnya dengan tubuh lemas dan sakit-sakit, dengan hati kosong dan tertekan hebat, Kun Liong terpaksa harus melihat kenyataan bahwa dara yang dicari-carinya itu memang tidak ada. Tentu sudah ditelan lautan yang mengganas semalam, atau ditelan ikan besar. Dia berdiri tegak memandang ke arah lautan, giginya berkerot, kedua tangan dikepal dan matanya menyinarkan penasaran dan kebencian ke arah lautan. Kalau lautan merupakan makhluk, tentu akan diserangnya pada saat itu! Kemudian dia sadar bahwa tidak baik menenggelamkan dirinya ke dalam kedukaan yang tidak ada gunanya. Jelaslah kenyataannya bahwa Pek Hong Ing telah lenyap! Dan dia masih hidup! Teringat akan dirinya sendiri, masih terasalah nyeri di seluruh tubuhnya dan ketika dia melihat keadaannya, baru dia sadar bahwa pakaiannya sudah koyak-koyak tidak karuan, juga sepasang sepatu yang dipakainya. Dan terasa pula betapa perutnya amat lapar.

   Maka dia lalu meninggalkan pantai yang kosong sunyi itu, sekosong dan sesunyi hatinya, dan dia menuju ke tengah pulau untuk melakukan penyelidikan dan mencari pengisi perutnya yang juga kosong dan terasa amat lapar itu. Sedapat mungkin dia mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu pikirannya, dan kadang-kadang dia harus menyusut air mata yang meloncat keluar setiap kali dia teringat kepada dara itu. Jelas ternyata setelah diselidikinya bahwa pulau itu adalah sebuah pulau kecil yang kosong. Di tengah pulau terdapat sebuah bukit kecil yang penuh dengan pepohonan. Akan tetapi, kecuali belasan ekor jenis burung laut yang beterbangan di atas pulau, tidak ada seekor pun binatang di pulau itu. Dan tetumbuhan yang berada di bukit itu pun terdiri dari jenis tetumbuhan yang tidak dapat dimakan. Diantaranya terdapat pohon-pohon besar yang sudah amat tua, dengan batang yang besar-besar.

   Hutan kecil itu liar dan gelap, dan di situ terdapat banyak batu-batu karang yang merupakan guha-guha besar. Namun dia tidak ingin menyelidiki tempat yang buruk dan sukar didatangi karena banyaknya semak-semak belukar itu. Terpaksa, untuk mengisi perutnya yang kelaparan, Kun Liong menangkap seekor burung besar dengan jalan menyambitnya dengan pecahan batu karang. Dipanggangnya daging burung itu dan biarpun rasanya tidak terlalu sedap, lumayan untuk mengatasi kelaparan. Akan tetapi, makan daging burung panggang ini mengingatkan dia kepada Pek Hong Ing ketika mereka berdua makan ikan panggang di dalam perahu peti mati! Teringat akan ini, teringat pula akan kemungkinan besar kematian dara itu secara menyedihkan, leher Kun Liong seperti dicekik rasanya. Daging yang dimakannya berhenti di kerongkongan dan dia tidak dapat melanjutkan makannya.

   Sambil minum air tawar yang didapatnya di dekat rimba di tengah pulau, dia membuang sisa daging burung panggang ke laut, kemudian menghela napas dan dengan tubuh lemas dia mencari tempat teduh di belakang sebuah batu karang besar, menjatuhkan diri di atas pasir dan tak lama kemudian dia sudah jatuh pulas. Matahari sudah naik tinggi dan beberapa jam kemudian sinar matahari telah melewati batu karang itu dan menimpa tubuh Kun Liong. Namun pemuda yang telah mengalami kelelahan lahir batin yang amat hebat itu seperti sudah mati, tidak merasakan lagi sengatan sinar matahari, tidur dengan nyenyaknya, sedikit pun tidak pernah bergerak. Akan tetapi sesungguhnya hanya tubuhnya saja yang tidur dan tidak bergerak, karena pemuda yang dihimpit oleh penderitaan batin ini,

   Yang dengan kekuatan batinnya menahan kedukaan hebat, setelah tertidur diterbangkan ke alam mimpi oleh perasaan bawah sadarnya yang kini setelah dia tidur memperoleh kesempatan untuk timbul. Mimpi hanya datang mengganggu seseorang yang di waktu siangnya diamuk oleh pikirannya sendiri, pikiran yang mendatangkan pertentangan di dalam batin. Orang yang pikirannya terbebas dari segala macam ingatan masa lalu, yang tidak terpengaruh oleh suatu peristiwa, tidak menyimpan dalam pikirannya suatu pengalaman, tentu akan tidur nyenyak tanpa mimpi! Di alam mimpinya, Kun Liong melihat beberapa orang dara cantik melayang-layang mendekatinya dan mereka menari-nari, seperti dewi-dewi kahyangan di sekelilingnya, tersenyum simpul dan mengerling tajam kepadanya, seolah-olah mereka itu berlumba untuk memikat hatinya.

   Dan dia mengenal dara-dara itu karena mereka itu bukan lain adalah wanita-wanita yang selama ini telah dijumpainya dalam hidupnya. Yo Bi Kiok dengan sepasang matanya yang amat indah seperti mata bintang kejora itu, Souw Li Hwa dengan lehernya yang panjang putih dan dagunya yang meruncing amat manisnya, Cia Giok Keng dengan hidungnya yang amat indah bentuknya, Lim Hwi Sian dengan mulutnya yang menggairahkan, Yuanita de Gama dengan matanya yang biru dan rambutnya yang seperti benang sutera emas, Nina Selado yang cantik genit dan panas, Lauw Kim In yang cantik pendiam dan dingin namun memikat hati, Kim Seng Siocia yang gendut dan lucu, dan akhirnya tampak juga Pek Hong Ing yang baginya tidak mempunyai keistimewaan tertentu karena segala sesuatu yang ada pada Hong Ing amat menarik hatinya!

   Para wanita ini menari-nari dan Hong Ing berada di belakang sendiri, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak. Akan tetapi dia hanya memandang mereka itu sepintas lalu saja, akhirnya dia mencari-cari dengan matanya ke arah Hong Ing. Ingin sekali dia agar dara yang berkepala gundul itu mendekat namun apa daya, dia sendiri tidak dapat menggerakkan kaki tangannya. Tiba-tiba datang angin besar bertiup dan dara-dara jelita yang menari-nari itu terhembus angin melayang-layang pergi sambil melambaikan tangan kepadanya, dan tersenyum manis. Akan tetapi hanya Hong Ing seorang yang melawan hembusan angin, gadis itu tidak seperti yang lain terbang melayang menunggang angin. Hong Ing meronta dan melawan. menjulurkan kedua lengan ke arahnya, seperti minta bantuan dan terdengar jeritnya,

   "Kun Liong...!"

   "Kun Liong...!"

   Kun Liong tersadar tanpa membuka matanya. Hemm, dia tertidur enak sekali, dan semua itu ternyata hanya mimpi. Hanya mimpi kosong. Dia menarik napas panjang tanpa membuka mata, menikmati tubuh yang mengaso. Tidak perlu memikirkan mimpi, demikian suara berbisik di kepalanya yang berbantal gundukan pasir.

   "Mengapa tidak perlu?"

   Bantah suara di dadanya.

   "Mimpi ada artinya, apalagi yang muncul adalah wanita-wanita yang selama ini mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Pasti ada artinya mimpi tadi!"

   "Aahhh, celoteh nenek bawel!"

   Bantah suara di kepalanya.

   "Mimpi hanya kembangnya orang tidur! Tidak ada artinya, kalau pun ada, maka artinya itu direka-reka dan dicari-cari, dibuat dan dipaksakan."

   "Sombong! Si dungu berlagak pintar!"

   Hatinya memaki.

   "Pasti ada artinya. Bukankah para wanita itu pergi dengan senyum dan sebaliknya Hong Ing meronta dan minta pertolongannya? Itu tandanya cinta?"

   "Cinta hidungmu!"

   Bantah pula suara di kepala.

   "Tidak ada cinta yang murni, semua cinta palsu! Betapa banyaknya orang menderita karena cinta. Hanya orang tolol saja yang membiarkan dirinya terjerat cinta! Hanya orang totol yang akhirnya akan nenderita karena cinta. Dia suka kepada wanita, kepada semua wanita yang cantik dalam mimpi tadi, dia suka kepada mereka seperti suka akan bunga yang indah dan harum, seperti suka akan makanan yang lezat, suka akan pemandangan alam yang permai. Akan tetapi cinta...? Huhhhh!"

   "Sombong! Kalau tidak cinta, mengapa kau menderita setengah mampus karena kehilangan Hong Ing? Itu tandanya cinta, tahukah kau, sombong?"

   Hatinya menjerit marah.

   "Hemm, apa sih artinya, cinta? Aku memang kasihan kepadanya, aku berduka teringat akan nasibnya yang buruk. Apa salahnya itu?"

   Suara di kepalanya melemah, namun masih membantah dan meragu.

   "Kun Liong...!"

   Terkejutlah dia. Suara itu demikian jelas sekarang, diantara suara angin ribut. Angin ribut? Mimpikah dia tadi? Kun Liong membuka matanya dan cepat menutupkannya kembali karena ada debu pasir menyerangnya. Maklumlah dia bahwa sekali ini dia tidak mimpi. Memang benar ada angin ribut mengamuk!

   Dia cepat meloncat bangun, dengan kedua tangannya meraba batu karang lalu berjalan setengah merangkak memutari batu karang, berlindung di balik batu sehingga tidak terserang debu pasir lagi. Dia membuka mata. Gelap! Kun Liong termangu-mangu. Sudah malam? Dia mengingat-ingat. Tadi dia makan daging burung panggang ketika matahari telah naik tinggi, dan dia mulai merebahkan diri berlindung di balik batu karang setelah matahari mulai condong ke barat. Dan sekarang sudah gelap! Demikian lamakah dia tertidur? Sampai setengah hari lebih! Dan semua itu tadi hanya mimpi. Termasuk suara orang memanggil namanya. Seperti suara Hong Ing! Hemm, tak mungkin suara Hong Ing yang sesungguhnya, kecuali hanya dalam mimpi. Hong Ing sudah tewas. Hal ini sudah jelas, karena dia sudah mencari di sekeliling pulau.

   "Kun Liong...!"

   Kun Liong terperanjat dan meloncat ke atas. Itu suara Hong Ing! Mungkinkah? Bulu tengkuknya meremang. Suara Hong Ing? Tentu suara arwahnya! Aduh kasihan Hong Ing...! Kun Liong memandang ke kanan kiri, jantungnya berdegup aneh, tengkuknya terasa tebal. Dia sudah siap untuk melihat roh dara itu memperlihatkan diri, seperti asap, seperti yang pernah didengarnya dalam cerita dongeng. Apakah yang menjumpainya dalam mimpi tadi juga roh para gadis itu? Dan memang Li Hwa sudah mati, juga Hong Ing, akan tetapi yang lain-lain bukankah masih hidup?

   "Kun Liong...! Ahh... Kun Liong...!"

   Suara itu merupakan jerit melengking, disusul rintihan dan isak tangis, lapat-lapat terdengar lalu lenyap lagi. Datang terbawa angin! Dari tengah pulau!

   "Hong Ing...!"

   Kun Liong meloncat. Tidak peduli lagi akan kegelapan, dia berlari terus ke depan, ke arah suara tadi, ke arah tengah pulau, tidak peduli dia tersaruk-saruk, jatuh bangun beberapa kali. Tidak peduli lagi apakah yang menjerit itu setan ataukah iblis. Yang jelas, itu adalah suara Hong Ing! Dan Hong Ing menangis! Dia harus menolong Hong Ing, baik Hong Ing yang masih hidup atau Hong Ing yang sudah menjadi roh. Jelas bahwa Hong Ing memanggilnya, membutuhkan pertolongannya.

   "Hong Ing...!"

   Dia berteriak-teriak memanggil ketika dia sudah berada di atas bukit, di dalam hutan yang kecil namun lebat itu, menghadapi guha-guha di batu karang yang membukit.

   "Kun Liong...!"

   Biarpun hatinya girang bukan main mengenal suara dara itu, namun meremang juga bulu tengkuk Kun Liong. Suara setankah yang menirukan suara Hong Ing? Atau roh gadis itu yang menjadi penasaran berkeliaran di pulau dan menemukan tempat tinggal di dalam guha itu?

   "Hong Ing...!"

   Dia memanggil lagi sambil melangkah mendekati guha.

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kun Liong...!"

   Kun Liong meloncat masuk. Tidak peduli suara setan atau iblis, suara roh atau arwah, yang jelas itu adalah suara Hong Ing memanggilnya. Dia masuk dan kakinya tersandung batu. Dia terjatuh dan tangannya menyentuh benda lunak dan hangat, dan tiba-tiba dua buah lengan merangkulnya mendekap kepalanya dan di antara suara terengah-engah dan isak tangis, jelas terdengar suara Hong Ing.

   "Kun Liong... ahhh, Kun Liong...!"

   "Hong Ing...!"

   Mereka saling berdekapan, lupa akan segala, yang ada hanya keharuan, kegembiraan.

   "Hong Ing... kau... kau masih hidup...! Ya Tuhan, syukurlah...!"

   "Kun Liong... ahhh, alangkah lamanya menantimu di sini. Sampai serak suaraku memanggil-manggilmu... kukira kau sudah mati... aku tidak mempunyai harapan lagi... kakiku terkilir, tak dapat berjalan, tubuhku nyeri semua, perutku lapar bukan main...!"

   "Ya Tuhan...!"

   Kun Liong kembali berseru dan air matanya turun bercucuran. Untung di dalam gelap, kalau tidak tentu dia akan merasa malu kepada Hong Ing. Dan teringat betapa dia memeluki tubuh itu, bahkan kalau tidak salah ingat dia tadi menciumi muka itu, mengecupi air mata yang asin itu, dia merasa malu dan cepat dia melepaskan rangkulannya.

   "Hong Ing, kau suka... makan... daging burung laut?"

   Biarpun keadaan gelap di situ, namun terasa oleh Kun Liong betapa Hong Ing terbelalak heran, dan dia girang sekali.

   "Daging burung laut?"

   Gadis itu bertanya, suaranya ragu-ragu seolah-olah dia sangsi apakah pemuda itu waras pikirannya.

   "Ya, daging burung laut dipanggang! Aku telah makan daging itu siang tadi. Kalau kau suka, aku akan menangkap seekor untukmu."

   Hong Ing menghela napas panjang, jelas terdengar oleh Kun Liong, mengingatkannya bahwa di luar guha angin ribut mengamuk. Mengingatkannya betapa canggung dan lucu penawarannya tadi. Malam gelap begitu, angin ribut pula, bagaimana mungkin menangkap seekor burung untuk Hong Ing? Mengapa orang yang berada dalam kegirangan besar, seperti dalam kedukaan besar, bicaranya lalu menjadi kacau tidak karuan?

   "Besok sajalah, Kun Liong. Aku belum mati kelaparan, hanya kakiku... aughh...!"

   "Kakimu kenapa..."

   Otomatis Kun Liong mengulurkan tangan meraba, akan tapi cepat ditariknya kembali karena di dalam gelap itu dia tidak dapat melihat dan tanpa disengaja, tangannya yang diulurkan tadi meraba daging yang gempal, meraba... paha dara itu yang tidak tertutup pakaian!

   "Maaf... ah, Hong Ing. Bagaimana kau dapat sampai di sini? Dan bagaimana kakimu? Bagaimana keadaanmu...? Aihhh, terkutuk tempat begini gelap sehingga aku tidak dapat melihatmu!"

   Tubuh dara itu menggigil.

   "Mengapa tidak kau buat api unggun? Dingin benar malam ini..."

   Kun Liong ingin menampar kepalanya sendiri yang gundul.

   "Bodohnya aku!"

   Makinya dan dia cepat merangkak keluar, mencari kayu dan daun kering. Untung angin ribut tidak membawa hujan sehingga daun dan ranting kering yang banyak terdapat di depan guha tidak menjadi basah. Dengan pengerahan tenaga, mudah saja dia membuat api dengan batu karang, dan tak lama kemudian, di dalam guha itu menyala seonggok api unggun yang terang dan indah. Mereka kini dapat saling melihat. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang. Sepasang mata dara itu bercucuran air mata, dan Kun Liong berusaha sekuat tenaganya untuk mencegah, air matanya turun dari pelupuk mata yang panas, bahkan dia berusaha untuk tersenyum, lalu berkata,

   "Kita masih hidup..."

   "Ahhh, Kun Liong... pakaianmu koyak-koyak..."

   Suara Hong Ing lirih seperti orang merintih. Kun Liong melihat kepada pakaiannya dan tersenyum, lalu memandang pakaian dara itu, menuding dan berkata.

   "Pakaianmu sendiri pun tidak utuh, Hong Ing."

   Biarpun pakaian dara itu tidak sehebat pakaiannya mengalami kerusakan, namun tak dapat dikatakan utuh, banyak bagian yang terobek lebar sampai paha dan pundaknya kelihatan.

   "Dan tubuhmu... ahhh, babak belur dan lecet-lecet... Lihat dahimu itu, berdarah... dan lengan kirimu, ahhh... paha kananmu juga mengeluarkan darah sampai celanamu merah semua... Kun Liong...!"

   Suara dara itu makin gemetar, pandang matanya penuh iba ditimpakan ke seluruh tubuh Kun Liong. Kun Liong merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, akan tetapi bukan meremang karena ngeri seperti tadi, melainkan karena terharu menyaksikan sikap Hong Ing dan mendengar suara dara itu.

   "Hong Ing... kau sendiri pun babak bundas... ujung bibir kirimu pecah-pecah... pundakmu dan lenganmu... dan... dan bagaimanakah dengan kakimu?"

   "Uhhh... kaki kiriku... agaknya terkilir di belakang mata kaki, tak dapat dipakai berjalan, digerakkan sedikit pun sakit."

   "Coba kuperiksa... maaf..."

   Kun Liong memegang kaki itu dan Hong Ing menggigit bibirnya menahan rasa nyeri. Memang terkilir. Agak hebat. Membengkak di bagian mata kaki itu, dan biru kehitaman oleh darah yang terkumpul di dalamnya.

   "Hong Ing, maukah engkau menahan sakit sedikit? Tulang kaki ini keseleo, tergeser dan harus segera dibetulkan kembali letaknya. Kalau tidak, akan lama sembuhnya dan mungkin menjadi cacat."

   Hong Ing mengangguk dan memandang kepada Kun Liong yang kini menggunakan kedua tangannya memegang kaki itu. Tangan kanan memegang bagian atas dan tangan kiri memegang bagian bawah.

   "Siaplah, Hong Ing, sakit akan tetapi hanya sebentar."

   Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik dan terdengar suara "krekk..."

   Dan teriakan Hong Ing yang merasa nyeri bukan main. Perasaan nyeri yang sampai menusuk ke ulu hati rasanya, membuat seluruh tubuhnya menggigil dan keringat dingin membasahi dahinya, matanya terbelalak dan di atas pipinya yang pucat nampak air mata.

   "Sudah baik letaknya sekarang. Harus dibalut erat-erat."

   Kun Liong lalu merobek bajunya yang memang sudah koyak-koyak lalu membalut mata kaki itu dengen ketat. Ketika dia selesai dan mengangkat muka, dia melihat betapa dara itu tadi menderita nyeri yang hebat, napasnya masih naik turun, bibirnya berdarah sedikit karena pecah digigitnya sendiri.

   "Kasihan kau... Hong Ing..."

   Kun Liong mendekat dan menggunakan tangannya menyapu keringat dari dahi yang halus itu.

   "Terima kasih, Kun Liong... kau memang baik sekali."

   "Hemm, dalam keadaan seperti ini tidak perlu memuji, Hong Ing. Yang ingin sekali kudengar adalah ceritamu bagaimana engkau bisa sampai di tempat ini. Kukira tadinya kau..."

   "Mati? Memang aku lebih baik mati daripada hidup, bahkan sebelum bertemu dengan engkau aku mengharapkan kematian saja, Kun Liong."

   "Mengapa?"

   "Mengapa? Hemm... kau tidak tahu betapa ngeri rasa hatiku, betapa tidak berdaya sama sekali, seolah-olah menanti datangnya maut tanpa daya sedikit pun juga. Ketika kita diamuk badai dan agaknya perahu kita dihempaskan pada batu karang, aku tidak tahu apa-apa lagi..."

   Hong Ing mulai bercerita, dan Kun Liong tentu saja maklum akan keadaan ini karena dia sendiri pun tidak ingat apa-apa lagi setelah itu, tahu-tahu dia berada di atas pasir pantai.

   "Ketika aku siuman, aku berada di pantai, untung bahwa kepalaku berada di luar jangkauan air sehingga aku tidak mati tenggelam. Aku memanggil-manggilmu, keadaan gelap sekali malam itu, akan tetapi suaraku lenyap ditelan angin dan kau tidak menjawab. Aku menyeret kaki kiriku yang nyeri sekali ke darat, dan karena aku takut akan diserang binatang buas, aku terus merangkak sekuat tenaga sambil memanggil-manggilmu. Akhirnya aku berhasil masuk ke guha ini dan kembali aku tidak ingat apa-apa lagi. Setelah siuman untuk kedua kalinya, matahari telah naik tinggi. Kakiku tak dapat digerakkan, seluruh tubuh sakit, perut lapar sekali dan... dan... pada saat itu aku ingin mati saja, Kun Liong. Aku mengira bahwa engkau tentu telah mati! Aku sendiri tidak mampu bergerak. Tentu aku akan mati kelaparan. Betapa ngerinya. Maka aku lalu menangis sampai habis air mataku. Aku menjerit-jerit memanggil namamu, percuma saja. Malam tiba dan aku masih tetap menjerit dan menangis dan akhirnya... akhirnya... kau datang juga..."

   Mata itu terbuka lebar, kembali dua titik air mata turun, gigi yang rapi dan putih itu menggigit bagian dalam dari bibir bawah, cuping hidungnya bergerak-gerak membayangkan keharuan hati.

   "Aduh kasihan sekali kau, Hong Ing. Tahukah engkau betapa aku pun sudah putus harapan, mengira engkau tentu telah tewas ketika aku menemukan kain penutup kepalamu? Dan tahukah engkau betapa suara panggilanmu tadi terbawa dalam mimpi sehingga aku mengira bahwa rohmu yang memanggilku?"

   Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya dan tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang mimpinya dan tentang perbantahan antara pikiran dan hatinya. Berkat rawatan Kun Liong yang penuh ketelitian, belasan hari kemudian sembuhlah kaki kiri Hong Ing yang terkilir. Dia sudah dapat berjalan biarpun masih agak terpincang-pincang. Mereka berdua kini berusaha untuk menyesuaikan diri di pulau kosong itu.

   "Kalau pulau ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan tempat tinggal selama kita bersembunyi, kita mencari pulau lain,"

   Demikian kata Kun Liong.

   "Bagaimana cara mencarinya? Perahu peti mati itu sudah lenyap, pula aku merasa ngeri kalau harus masuk ke dalam perahu peti mati itu lagi."

   Kun Liong tersenyum.

   "Aku dapat membuat perahu dari batang pohon besar di rimba itu. Akan tetapi kalau ada bahan makanan lain di pulau ini, tidak perlu mencari pulau lain. Pulau ini cukup indah dan hawanya pun nyaman."

   "Dan kita hidup di sini seperti orang-orang hutan? Seperti orang liar tak beradab?"

   Kun Liong tersenyum memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya keduanya tertawa geli.

   "Engkau memang pantas menjadi seorang puteri hutan. Pakaianmu tidak karuan dan ringkas akan tetapi... pantas dan manis sekali. Kakimu tak bersepatu, dan rambutmu... hemmm.... rambutmu mulai tumbuh dengan suburnya, Hong Ing."

   "Dan kau... kau memang seperti seorang manusia di jaman batu! Hanya memakai celana yang pantasnya disebut cawat, badan tanpa baju, kulit terbakar sinar matahari. Wah, kau kelihatan kuat dan sehat, Kun Liong. Dan kepalamu... hi-hik, bersih sekali sampai mengkilap!"

   Kun Liong tersenyum lebar.

   "Baru saja aku mandi dan kugosok dengan bunga karang. Segar sejuk rasanya."

   Dia mengelus-elus kepala gundulnya. Mereka duduk berteduh di dekat batu karang besar, berlindung dari sinar matahari yang sudah mulai naik tinggi. Hong Ing memanggang daging ikan yang baru saja ditangkap oleh Kun Liong. Selama belasan hari ini, mereka hanya makan daging ikan atau burung laut, dan mereka mulai rindu akan makanan sayuran. Mereka hanya makan karena lapar saja. Makan untuk perut, bukan untuk mulut. Di tempat seperti itu, terasing dari dunia ramai, mereka tidak mungkin dapat memilih makanan yang enak. Sehabis makan dan minum air tawar, mereka duduk dan memandang ke laut. Dari pulau itu, tidak kelihatan pulau lain, apalagi daratan besar.

   "Enak juga di sini, kita dapat makan setiap hari dan tidak khawatir akan pengejaran Pangeran Han Wi Ong."

   Hong Ing menarik napas panjang.

   "Sayang tidak ada pondok. Setiap malam aku merasa ngeri tidur di guha itu, takut kalau-kalau ada kalajengking atau kelabang, lebih-lebih ular... hiiih...!"

   "Aku akan membuatkan pondok untukmu, Di mana baiknya?"

   Wajah manis itu berseri.

   "Benarkah, Kun Liong? Aku sudah terlalu banyak menyusahkanmu."

   "Tidak sama sekali. Memang kita berdua membutuhkan pondok..."

   "Dengan dua kamar..."

   "Cukup satu saja, untukmu. Aku bisa tidur di mana saja..."

   "Ah, kalau begitu aku tidak mau! Masa yang membuatnya tidur di mana saja? Kalau kau tidak membuat pondok dengan dua kamar, aku juga tidak mau tidur di situ."

   Kun Liong tersenyum dan merasa geli hatinya.

   "Lucunya kita ini. Pondok belum jadi, dimulai pembangunannya pun belum, kita sudah cekcok tentang jumlah kamarnya!"

   Hong Ing teringat akan ini dan dia pun tertawa. Ketawanya bebas dan diam-diam Kun Liong kagum dan terheran-heran. Mengapa gadis yang pakaiannya tidak karuan, hanya sedikit kain menutupi dari atas buah dada sampai ke paha, tanpa sepatu, dengan rambut mulai tumbuh masih awut-awutan, mengapa gadis seperti ini kelihatan begini menarik? Padahal, kalau dalam keadaan seperti itu Hong Ing berada di dalam kota yang ramai, tentu dia akan diikuti dan digoda oleh banyak anak kecil, dianggap seorang gila!

   Akan tetapi baginya, pada saat itu tidak ada bidadari di kahyangan yang lebih cantik, lebih manis, lebih menarik dan lebih menggairahkan daripada Pek Hong Ing! Mulailah Kun Liong membuat alat-alat untuk membangun pondok. Alat-alat sederhana sekali dan tidak salah kalau Hong Ing membandingkan dia dengan seorang manusia dari jaman batu karena Kun Liong terpaksa membuat alat-alat dari batu karang! Kapak, pisau, semua dari batu karang tajam! Biarpun dengan sukar, namun akhirnya jadi juga sebuah pondok berdiri di belakang batu karang besar di tepi laut itu. Sebuah pondok yang modelnya menurut kehendak Hong Ing. Agak tinggi dari tanah, sebuah pondok panggung karena Hong Ing takut kalau-kalau ada ular memasuki pondok dan kamarnya. Di depannya dipasangi anak tangga, atapnya dari daun, dindingnya dari bambu.

   Pintunya dua, di depan dan belakang, kamar Hong Ing di depan, ada jendelanya yang menghadap ke laut! Kamar Kun Liong di belakang. Selain pondok itu, juga Kun Liong membuat perabot rumahnya. Sebuah dipan kayu untuk Hong Ing, berikut sebuah bangku kayu, dan sebuah dipan bambu untuknya sendiri. Sebuah meja dan dua bangkunya di depan kamar. Tong-tong tempat air tawar. Pada malam pertama mereka pindah ke pondok, kebetulan malam terang bulan. Hampir dua bulan Kun Liong membuat pondok itu, dibantu oleh Hong Ing yang menganyam dinding dan atap. Mereka berdua setelah makan malam, duduk di luar pondok, di atas pasir yang bersih dan putih tertimpa sinar bulan purnama. Hong Ing menarik napas panjang, menggunakan sebuah sisir bambu buatan Kun Liong menyisiri rambutnya yang sudah ada sejari panjangnya.

   "Hemm, alangkah senangnya. Kita sudah punya rumah! Baru aku merasa sebagai manusia, bukan seperti binatang yang bersarang di dalam guha kotor!"

   Kun Liong menoleh dan memandang wajah dara itu. Kebetulan sinar bulan menimpa wajah itu sepenuhnya, membuat wajah dara itu kelihatan seperti disepuh emas, cemerlang dan indah sekali. Senyum di bibir yang manis itu kelihatan amat indahnya, indah dan halus seperti sajak sasterawan di jaman dahulu. Kun Liong terpesona! Ketika Hong Ing melirik, pandang mata mereka bertemu dan dara itu memperlebar senyumnya. Kun Liong gelagapan karena senyum dan pandang mata dara itu membuat dia merasa seperti seorang maling tertangkap basah! Cepat dia menutupi kecanggungannya dengan pertanyaan.

   "Benar-benarkah kau merasa senang, Hong Ing?"

   Dara itu menunda sisirnya dan memandang wajah Kun Liong, senyumnya masih cerah dan dia mengangguk.

   "Senang sekali. Engkau pandai sekali, Kun Liong. Apakah tidak ada yang tak dapat kau lakukan? Apa saja engkau bisa! Ilmu silatmu tinggi, kau pandai kesusastraan. Bahkan pandai berfilsafat. Bisa mengobati kakiku, pandai menghibur dan sekarang kau malah menjadi tukang kayu, tukang batu, pembuat sisir, penangkap ikan dan burung, pemasak daging... wah, apa yang kau tidak bisa?"

   Merah wajah Kun Liong saking senangnya dengan pujian ini. Dia menunduk dan sambil tersenyum dia berkata.

   "Aahh, kau melebih-lebihkannya saja. Sebuah pondok butut seperti ini..."

   "Tapi kokoh kuat... bukan, Kun Liong?"

   "Ya, cukup kuat. Tak usah kau khawatir. Ular dan segala binatang takkan dapat masuk. Pula, di sini tidak ada binatang buasnya."

   "Kau memang pandai dan rendah hati..."

   Kun Liong senang sekali, kepalanya menunduk. Hong Ing tidak bicara lagi, dan ketika diam-diam dia mengerling, dara itu tidak memandangnya, melainkan sedang sibuk menyisir rambutnya dan memandang ke arah bulan purnama. Betapa indahnya gerakan itu menyisir rambut! Kepalanya agak dimiringkan sehingga separuh mukanya tertimpa cahaya bulan. Sepasang matanya kelihatan berkilauan dan memantulkan sinar bulan yang redup dan sejuk. Bibirnya bergerak-gerak, kadang-kadang mulut yang manis itu agak terbuka menahan rasa perih ketika sisirnya macet pada rambut yang lengket. Rambut itu biarpun baru sejari panjangnya, sudah kelihatan berombak, maka seringkali sisirnya macet.

   Dengan tangan kanan memegang sisir dan tangan kiri menata rambut, dara itu mengangkat kedua lengannya sehingga tampaklah sedikit bulu halus di ketiaknya yang tidak tertutup. Kun Liong terpesona. Betapa hebatnya daya tarik seorang wanita kalau sedang bersolek! Dan Hong Ing adalah seorang wanita yang luar biasa, memiliki kecantikan yang khas dan aneh. Apalagi kini hanya mengenakan pakaian yang tidak lengkap itu. Aku cinta padanya! Kun Liong terkejut sendiri. Bodoh, bantah suara lain di kepalanya yang gundul. Kau hanya menganggap saja ini cinta, padahal tak lain tak bukan hanya perasaan tertarik oleh keindahan bentuk tubuh yang bulat itu, kecantikan wajah yang sudah dipercantik lagi oleh cahaya bulan purnama, dan suasana yang sunyi di mana hanya ada mereka berdua!

   Bukan! Bukan cinta! Dia tidak akan dapat mencinta seorang yang bagaimana pun, karena dia tahu bahwa cintanya itu dikotori oleh keinginan memiliki, keinginan membelai dan merayu, keinginan yang terdorong nafsu birahi! Tidak! Dia tidak mencinta, hanya memang dia suka, bahkan tergila-gila oleh kecantikan Hong Ing. Sama saja dengan rasa sukanya kepada dara-dara yang lain, termasuk Lim Hwi Sian yang bahkan sudah menyerahkan badannya kepadanya. Hwi Sian telah menyerahkan tubuhnya kepadanya karena mencintanya, kata data itu! Dan bagaimana dengan Hong Ing? Hong Ing telah merasa berhutang budi kepadanya, dan mereka hanya tinggal menyendiri di pulau kosong ini, dengan pakaian yang begitu minim! Bagaimana kalau mereka berdua terseret oleh godaan nafsu birahi?

   "Tidak boleh!"

   Hong Ing terkejut sekali, sisirnya hampir terlepas ketika tiba-tiba Kun Liong menampar kepala gundulnya sendiri! Kun Liong sendiri terkejut dan baru sadar bahwa dia tadi menjadi begitu gemas kepada dirinya sendiri sampai dia menampar kepalanya!

   "Eh, ada apakah?"

   Tentu saja wajah pemuda itu menjadi merah sekali, merah sampai ke kepalanya bukan hanya merah karena tamparannya.

   "Ehh... ohh... tidak apa-apa, aku hanya termenung..."
(Lanjut ke Jilid 37)

   Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 37
"Mengapa termenung sambil menampar kepala sendiri?"

   "Eh... anu... tadi ada seekor nyamuk menggigit kepalaku..."

   Kun Liong menggosok-gosok telapak tangannya seolah-olah ada nyamuk mati mengotori tangan itu.

   "Hi-hik, kau memang aneh. Mengapa ada nyamuk diajak bicara dan kau membentak tidak boleh? Lucu sekali!"

   "Aku tidak ingat lagi mungkin karena termenung tadi..."

   Kembali terdengar dara itu terkekeh geli. Hemm, dia mulai menertawakan aku. Aku Si Kepala Gundul ini, pemuda miskin, yatim piatu, mana ada harganya bagi seorang dara seperti Hong Ing? Bayangkan saja! Seorang pangeran gagah tampan, putera seorang Kaisar yang tentu saja kaya raya masih ditolak Hong Ing! Apalagi dia! Seperti seekor anjing merindukan kelinci di bulan!

   "Kun Liong, kau jangan suka melamun seperti itu. Orang melamun, bicara sendiri, memukul kepala sendiri hemmm, seperti orang tidak waras saja..."

   Ah, dia mulai mengatakan aku tidak waras, sama dengan memaki gila!

   "Memang, kadang-kadang aku seperti gila, Hong Ing."

   Hong Ing memandang wajah Kun Liong cepat-cepat, agaknya dapat menangkap nada marah dalam ucapan pemuda itu, alisnya diangkat tinggi-tinggi dan matanya menyapu penuh selidik. Akan tetapi Kun Liong sudah menunduk dan tidak bicara lagi.

   Dia tidak melihat betapa dara itu tersenyum geli melihat dia menunduk dengan wajah bersungut-sungut, mulut cemberut. Hening sampai agak lama. Kadang-kadang kalau Kun Liong mencuri pandang dengan kerling sekilat, dia melihat dara itu masih bersila dan menengadah, memandang ke bulan. Rasa mendongkol di hati Kun Liong tak dapat bertahan lama. Mana mungkin dia dapat marah lama-lama kepada seorang dara yang kelihatan begitu tidak berdaya, yang mengalami penderitaan seperi itu dan amat membutuhkan perlindungan? Tidak mungkin dia bisa sekejam itu. Heran dia. Mengapa Hong Ing memilih menjadi nikouw, bahkan kini memilih menjadi seorang buruan yang terlunta-lunta, daripada menjadi isteri seorang pangeran yang kaya raya dan berkuasa? Mengapa memilih hidup sengsara kalau kehidupan mulia terbentang di depan kakinya? Tiba-tiba dia teringat.

   Sebetulnya dia belumlah mengenal gadis ini sungguh-sungguh, dan dia mengerti dan mengenalnya hanya menurut cerita gadis itu sendiri. Hong Ing adalah murid Go-bi Sin-kouw, seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Siapa tahu isi hati gadis itu? Kakak seperguruan gadis ini, nona Lauw Kim In, menurut cerita Hong Ing, juga mau diambil kekasih oleh seorang pemuda iblis macam Ouwyang Bouw! Siapa tahu, gadis ini mendekatinya karena memang ada pamrih sesuatu. Bokor itu! Semua tokoh kang-ouw agaknya menduga keras bahwa dialah yang menyembunyikan bokor emas asli, pusaka Panglima The Hoo yang diperebutkan itu! Dia mengerling lagi, dan melihat bahwa Hong Ing sudah berhenti menyisir rambutnya. Rambut itu hitam mengkilap, menghias kepala dara itu sehingga kepala itu kelihatan seperti setangkai bunga mawar! Manisnya bukan main!

   "Hong Ing..."

   Kun Liong berhenti sebentar karena jantungnya berdebar oleh dugaan yang bukan-bukan tadi dan oleh ketegangan usahanya untuk memancing dan menyelidiki.

   "Hemmm..."

   Hong Ing menoleh, mereka saling berpandangan dan kembali Kun Liong yang harus lebih dulu menundukkan kepalanya yang gundul karena pandang mata dara itu seolah-olah memiliki daya menembus sampai ke dalam dadanya.

   "Mengapa engkau menolak pinangan Pangeran Han Wi Ong? Dia putera Kaisar dan..."

   "...dan aku tidak mencintanya!"

   Hong Ing menyambung cepat.

   "Tapi, dia putera Kaisar, berkuasa dan kaya raya, dia tampan dan gagah pula."

   "Biar dia seratus kali lebih berkuasa, kaya raya, dan tampan gagah, kalau aku tidak mencinta, apakah aku harus memaksa diri?"

   "Agaknya engkau amat mementingkan cinta dalam perjodohan."

   "Tentu saja! Menikah tanpa cinta sama dengan memasuki gerbang neraka."

   "Hemmm..."

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   


Pedang Kayu Harum Eps 39 Pedang Kayu Harum Eps 49 Pedang Kayu Harum Eps 5

Cari Blog Ini