Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 38


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 38



Karena keterangan mereka itulah maka dia bersama suhunya lalu pergi mencari Bi Lan dan Sim Houw, bahkan lalu menyerang mereka. Kini timbul keraguan dalam hatinya! Benarkah keterangan mereka tempo hari? Mungkinkah seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang tosu Pat-kwa-pai muncul sebagai pendekar, sedangkan Bi Lan dan Sim Houw sebaliknya menjadi pembela yang jahat? Pikiran ini membuat dia menjadi semakin marah. Jangan-jangan dua orang pendeta ini dahulu hanya melakukan fitnah saja sehingga berhasil menga-du domba antara dia dan gurunya melawan Bi Lan dan Sim Houw! Kalau benar, celakalah! Pada saat itu, terdengar tosu tinggi besar perut gendut, seorang di antara dua pendeta yang pernah dijumpai Hong Beng, yaitu yang bernama Ok Cin Cu, tokoh Pat-kwa-pai, berkata kepada Agakai,

   "Saudara Agakai, sudah menjadi tugas kami masing-masing tosu dari perkumpulan kami untuk menyampaikan berkah dan pelajaran kepada seorang murid wanita baru. Pinto minta agar gadis yang duduk di belakangmu itu malam nanti menjadi murid pinto yang baru dan tinggal bersama pinto dalam kamar pinto."

   Agaknya Agakai sudah tahu akan kebiasaan para tosu cabul itu, maka mukanya menjadi merah karena yang dimintanya adalah puterinya! Dia tidak perduli, akan kebiasaan mereka. Dia bahkan menganggapnya wajar kalau tokoh-tokoh besar itu membutuhkun hiburan karena tugas mereka yang berat dalam perjuangan. Akan tetapi kalau puterinya yang diminta, tentu saja dia tidak dapat memaksa puterinya. Agakai tertawa,

   "Totiang, agaknya engkau belum tahu bahwa ia ini adalah Mayani, puteriku sendiri. Aku tak pernah memaksa puteriku, akan tetapi kalau ia suka melayanimu dan menjadi muridmu malam ini secara suka rela, akupun tidak akan dapat melarangnya."

   Dengan ucapan ini, Agakai merasa yakin bahwa puterinya tentu akan menolak. Gadis mana yang suka melayani seorang kakek yang buruk rupa dan berperut gendut seperti tosu itu? Apa lagi puterinya, gadis yang amat pemilih dan selama ini belum pernah mau menerima pinangan pemuda-pemuda yang cukup tampan. Tosu berjenggot panjang yang memimpin para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu tiba-tiba berkata,
(Lanjut ke Jilid 36)

   Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 36
"Aha, tentu saja nona Mayani suka melayani dan menjadi murid saudara Ok Cin Cu!"

   Begitu ucapan ini dikeluarkan, tiba-tiba Mayani lalu bangkit berdiri, lalu menghampiri Ok Cin Cu dan berkata,

   "Aku suka sekali melayanimu dan menjadi muridmu, totiang!"

   Tentu saja Agakai terkejut setengah mati melihat puterinya demikian patuh dan dengan suka rela menghampiri tosu itu dan menyatakan suka malayani dan menjadi murid! Janjinya telah diucapkan dan disaksikan orang banyak ternyata Mayani dengan suka sendiri mau melayani tosu gendut itu.

   "Mayani....!"

   Dia berseru kaget dan heran. Tiba-tiba Hong Beng yang sudah tidak mampu menahan kesabarannya lagi karena dia maklum apa artinya sikap Mayani yang aneh itu, ialah bahwa gadis itu tentu terkena pengaruh sihir kakek berjenggot panjang, lalu bangkit berdiri, menggebrak meja dan dari mulutnya keluar suara melengking tinggi yang membuyarkan pengaruh sihir atas diri Mayani karena teriakan melengking itu mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat. Mayani tersentak kaget, lalu menjadi bingung mengapa ia berdiri di depan tosu gendut.

   "Eh, apa yang terjadi.... ayah....?"

   Tanyanya dan iapun cepat kembali ke belakang ayahnya.

   "Para tosu jahat dan cabul!"

   Bentak Hong Beng dengan marah sehingga sepasang matanya berkilat.

   "Kalian telah menyebar racun fitnah, bujukan dengan ilmu hitam yang amat keji! Saudara Agakai, jangan engkau terkena bujukan iblis mereka ini. Mereka adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang amat jahat, berkedok perjuangan. Hampir saja puterimu terjebak dalam sihir dan menjadi korban mereka yang amat jahat!"

   Para tosu itu bangkit berdiri dengan marah dan sekarang Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, dua orang tosu yang berada di situ, juga mengenal Hong Beng.

   "Siancai....! Dia ini adalah murid keluarga Pulau Es! Dia mata-mata musuh, dia mata-mata pemerintah Mancu!"

   Teriak Ok Cin Cu dengan marah, memutar tongkat hitamnya yang berbentuk ular itu ke atas kepala. Kalau tadinya Agakai terkejut mendengar kata-kata Hong Beng dan memandang kepada para tosu penuh kecurigaan dan kemarahan, kini dia terkejut dan menghadapi Hong Beng,

   "Gu-taihiap, benarkah engkau murid keluarga Pulau Es?"

   Dengan sikap gagah Hong Beng menjawab,

   "Benar, aku adalah murid keluarga Pulau Es, dan seperti semua orang gagah di seluruh dunia, akupun menentang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw yang melakukan kejahatan dengan kedok agama dan perjuangan! Harap saudara Agakai jangan sampai terkena bujukan mereka!"

   Akan tetapi, mendengar bahwa pemuda ini murid keluarga Pulau Es, Agakai yang juga telah terkena pengaruh sihir dari para tosu, segera merasa tak senang dan curiga. Bagaimana-pun juga, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es condong membantu pemerintah Mancu karena mereka itu berdarah Mancu pula.

   "Tangkap mata-mata ini!"

   Teriaknya kepada orang-orangnya. Hong Beng terkejut dan tak sempat untuk membela diri dengan kata-kata, maka sekali meloncat dia telah berada di luar tempat pesta itu. Akan tetapi, lima orang tosu itu sudah berloncatan dan mengepungnya.

   "Ha-ha-ha, orang muda mata-mata musuh, hendak lari ke mana engkau?"

   Teriak Thian Kek Seng-jin yang sudah menggerakkan tongkatnya yang berbentuk naga hitam pula, seperti tongkat tosu berjenggot panjang yang menjadi pemimpin rombongan itu.

   "Wuuuttt....!"

   Hong Beng mengelak, akan tetapi dia segera dikeroyok dan karena tingkat kepandaian para tosu itu amat tinggi, yang paling rendah seimbang dengan tingkatnya, tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi pengeroyokan mereka. Apa lagi, di luar kepungan ini masih terdapat para anggauta Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, juga orang-orang Mongol. Ketika tongkat hitam berbentuk ular di tangan Ok Cin Cu menyambar lehernya dan sebatang pedang menusuk lambungnya, dia cepat mengelak dan pada saat itu, tosu berjenggot panjang telah mengebutkan saputangan hitam di depan muka Hong Beng.

   Karena dia dalam keadaan mengelak dan terkepung, Hong Beng tidak mampu mengelak lagi dan begitu saputangan itu dikebutkan dan mengeluarkan debu, diapun mencium bau keras dan roboh pingsan! Kiranya para tosu itu tidak mau membunuh Hong Beng karena mereka ingin memanfaatkan pemuda ini. Sebagai seorang pemuda murid keluarga Pulau Es, tentu saja dia merupakan orang penting. Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin sudah pernah mempermainkannya dan mereka tahu bahwa Hong Beng merupakan seorang pemuda yang berwatak keras dan mudah ditipu. Tidak ada gunanya membunuh pemuda ini, akan tetapi mungkin dalam keadaan hidup mereka akan dapat memanfaatkan pemuda ini, setidaknya sebagai sandera karena siapa tahu kalau-kalau di belakang pemuda ini masih terdapat keluarga Pulau Es yang hendak menyerbu mereka.

   Setelah Gu Hong Beng dibikin tak berdaya dengan dibelenggu kaki tangannya, dan para tosu itu menyerahkannya kepada anak buah Agakai untuk dimasukkan sebuah kamar dan dijaga ketat, dibantu penjagaannya oleh para tosu anggauta Pek-lian-kauw, para tosu lalu mengajak Agakai melanjutkan percakapan mereka. Mayani tak nampak di situ karena begitu tadi sadar bahwa ia telah bertindak aneh dan bahkan menyerahkan diri untuk melayani tosu gendut, gadis ini menjadi ngeri dan meninggalkan tempat itu. Ia menangis di dalam kamarnya, teringat akan Hong Beng yang pingsan dan ditawan. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya berbalik memusuhi penolongnya itu dan ia merasa penasaran sekali! Sementara itu, kakek jenggot panjang yang merupakan seorang tokoh Pek-lian-kauw, berkata kepada Agakai,

   "Saudara Agakai, mengingat bahwa engkau agaknya kurang setuju kalau puterimu menjadi murid seorang di antara kami, biarlah pinto membatalkan saja dan puterimu tidak akan menjadi murid kami. Tentu saja engkau tahu bahwa sebagai pengganti puterimu, engkau sepatutnya menyediakan gadis-gadis lain untuk menjadi murid-murid kami berlima malam ini "

   Wajah kepala suku itu menjadi berseri.

   "Tentu saja! Jangan khawatir, kalau gadis-gadis suku kami tidak berbakat menjadi murid kalian, masih ada gadis-gadis Hui yang dapat kami minta untuk menjadi murid kalian."

   "Sekarang dengarkan rencana kami selanjutnya, saudara Agakai. Seperti kami katakan tadi, untuk daerah utara ini kami mempercayakan kepada saudara untuk menghimpun kakuatan dan mempersiapkan diri. Sewaktu-waktu kami akan memberi kabar kalau pasukanmu dibutuhkan. Di bagian timur, kami telah menghubungi para bajak laut Bangsa Korea dan Jepang, dan di barat kami akan mencoba untuk menghubungi Sin-kiam Mo-li."

   "Sin-kiam Mo-li? Siapakah ia?"

   Tanya Agakai yang tentu saja belum mengenal tokoh-tokoh di dunia kang-ouw.

   "Ia seorang wanita yang sakti, jauh lebih pandai dari pada kami semua!"

   Kata tosu berjenggot panjang.

   "Ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nio-nio yang tewas di tangan para pendekar, terutama keluarga Pulau Es. Karena itu, ia tentu mendendam kepada keluarga Pulau Es dan kami yakin ia akan suka menggabung-kan diri dengan kita. Untuk daerah barat, kami akan menyerahkan kepada Sin-kiam Mo-li, tentu saja kalau ia suka bergabung seperti yang kami rencanakan. Ia tinggal di tepi Sungai Cin-sa, di kaki Pegunungan Heng-tuan-san. Ia lihai dan cantik jelita walaupun usianya sudah empat puluh tahun, seperti seorang gadis remaja saja!"

   Para tosu lalu memuji-muji Sin-kiam Mo-li sebagai ahli silat dan juga ahli sihir yang amat pandai. Tentu saja Agakai menjadi kagum bukan main. Dia telah melihat kelihaian Hong Beng yang dengan mudah merobohkan keponakannya yang gila dan yang memiliki tenaga luar biasa kuatnya itu. Kemudian dia melihat betapa Hong Beng yang lihai itupun roboh dengan mudah oleh para tosu ini. Maka, mendengar betapa wanita yang berjuluk Sin-kiam Mo-li itu memiliki ilmu silat dan ilmu sihir yang amat tinggi, lebih lihai dari pada para tosu itu, tentu saja sukar bagi dia untuk membayangkan kesaktian seperti itu. Diam-diam dia merasa girang dapat bekerja sama dengan orang-orang yang demikian pandainya. Agaknya dia akan dapat berhasil membangun kembali Kerajaan Goan-tiauw yang telah jatuh dari bangsanya yang jaya!

   Para tosu itu dan para tokoh Mongol yang menjadi tuan rumah, sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi percakapan mereka didengarkan oleh dua orang yang mengintai tak jauh dari tempat itu. Dua orang yang memiliki gerakan amat ringan dan cepat sehingga mereka mampu mendekati tempat pesta pertemuan itu tanpa diketahui orang, bahkan ikut mendengarkan percakapan antara para tosu dan Agakai dengan menggunakan pendengaran mereka yang amat peka. Dua orang ini bukan lain adalah Sim Huow dan Can Bi Lan. Seperti kita ketahui, dua orang ini kembali dari gurun pasir dan melakukan perjalanan cepat sehingga mereka dapat menyusul Hong Beng yang melakukan perjalanan terlebih dahulu akan tetapi karena Hong Beng pernah salah jalan sehingga membuang waktu beberapa hari maka akhirnya dia tersusul.

   Sim Houw dan Bi Lan sama sekali tidak menyangka di situ akan bertemu dengan Hong Beng. Mereka kebetulan lewat di dusun itu dan tadi mereka mendengar ribut-ribut di dalam dusun. Ketika mereka melihat Hong Beng dirobohkan dan tertawan, mereka tidak segera turun tangan, melainkan melakukan pengintaian untuk melihat apa yang terjadi dan mengapa pula Hong Beng dikeroyok para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw di tempat itu. Mereka berdua mengintai dan mendengarkan percakapan antara para tosu dan Agakai, kepala suku Mongol itu. Ketika mendengar disebutnya nama Sin-kiam Mo-li anak angkat Kim Hwa Nio-nio yang mendendam kepada keluarga Pulau Es, diam-diam mereka mencatat dalam hati nama wanita itu dan alamatnya.

   Kemudian, melihat bahwa yang dibicarakan oleh para tosu dan kepala suku adalah urusan pemberontakan, yang mereka namakan perjuangan, maka Sim Houw memberi isyarat kepada Bi Lan untuk meninggalkan tempat persembunyian mereka di atas pohon besar itu. Baik buruk atau benar salahnya sesuatu atau suatu perbuatan tidak terletak di dalam perbuatan itu sendiri, melainkan terletak di dalam pandangan seseorang terhadap perbuatan itu. Kalau si peman-dang merasa bahwa perbuatan itu menguntungkan atau menyenangkan hatinya, tentu saja dia akan mengatakan bahwa perbuatan itu baik dan benar. Sebaliknya kalau si pemandang menganggap perbuatan itu merugikan dan tidak menyerangkan hatinya, dia akan tanpa ragu mengatakan bahwa perbuatan itu buruk dan salah. Inilah sebabnya mengapa orang-orang yang menentang pemerintah Mancu,

   Dinamakan pemberontak jahat oleh pemerintah Mancu dan orang-orang yang tidak menyetujui perbuatan itu, sebaliknya disebut pejuang perkasa oleh mereka yang menganggap bahwa kepentingannya diwakili. Karena itu, apa yang dinamakan baik oleh seseorang, belum tentu baik bagi orang lain, juga yang dinamakan buruk atau jahat belum tentu demikian bagi pihak lain. Untuk dapat membebaskan diri dari ikatan ini, seyogianya kalau kita menghadapi segala sesuatu tanpa penilaian, melainkan membuka mata memandang dengan peng-amatan yang penuh kewaspadaan dan penuh perhatian. Pengamatan yang waspada ini membebaskan kita dari penilaian dan pendapat, tidak terpengaruhi perhitungan untung rugi dalam segala hal yang kita hadapi dan dari pengamatan penuh kewaspadaan ini lahirlah perbuatan-perbuatan yang sehat dan bijak.

   "Kita harus bebaskan Hong Beng,"

   Kata Sim Houw setelah mereka keluar dari tempat itu dan ber-ada di belakang sebuah rumah kosong yang sunyi dan gelap.

   "Untuk apa bebaskan orang seperti dia?"

   Bi Lan membantah.

   "Ah, jangan berpikir demikian, moi-moi. Ia terjatuh ke tangan para tosu Pek-lian-kauw. Jangankan Hong Beng yang sudah kita kenal sebagai seorang pendekar gagah dan murid keluarga Pulau Es, biar orang lain sekalipun kalau terjatuh ke tangan para tosu yang jahat itu, sudah sepatutnya kalau kita tolong dia."

   Tanpa memberi kesempatan kepada kekasihnya untuk mem-bantah lagi, Sim Houw sudah menggandeng tangan Bi Lan dan mengajaknya menyelinap di antara rumah-rumah dan menuju ke rumah di mana tadi mereka melihat Hong Beng dibawa masuk dalam keadaan kaki tangan terbelenggu.

   Dengan kepandaian mereka yang tinggi, Sim Houw dan Bi Lan berhasil meloncat naik ke atas wuwungan rumah itu, membuka genteng dan mengintai ke dalam. Mereka melihat betapa Hong Beng diikat pada sebuah tihang di dalam rumah itu, dan di situ terdapat belasan orang Mongol dan anak buah Pek-lian-kauw, juga berjaga dengan rapat. Dua orang anggauta Pat-kwa-pai juga nampak berjalan hilir-mudik mengelilingi rumah tahanan itu. Sebelum Sim Houw dan Bi Lan mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu, tiba-tiba Sim Houw menyentuh lengan Bi Lan dan keduanya memandang dengan penuh perhatian ke bawah. Seorang gadis berbangsa Mongol memasuki pintu rumah itu dan para penjaga memberi jalan padanya, bahkan orang-orang Mongol itu bersikap hormat.

   Gadis itu cantik manis dalam pakaiannya yang berwarna merah dan hitam, dan kini ia memasuki kamar di mana Hong Beng diikat pada tihang besar. Lima orang Mongol yang berjaga di situ nampak terkejut melihat masuknya gadis ini, akan tetapi ketika gadis itu menyuruh mereka keluar, lima orang itu tidak berani membantah, setelah saling pandang mereka lalu keluar dari dalam kamar itu. Gadis itu bukan lain adalah Mayani, puteri Agakai. Setelah sekian lamanya gelisah di dalam kamarnya, akhirnya gadis itu tidak tahan lagi dan nekat mengunjungi Hong Beng dalam kamar tahanannya. Para penjaga tidak ada yang berani melarangnya, juga para anggauta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw tidak mencegah setelah mereka mendengar bahwa gadis itu adalah puteri kepala suku.

   Setelah Mayani berada seorang diri dengan Hong Beng, gadis itu mendekati dan air matanya menetes ketika ia melihat betapa pemuda itu terbelenggu kaki tangannya, dan pipi dan lehernya lecet-lecet, juga pakaiannya robek-robek. Hong Beng sudah siuman, akan tetapi dia masih belum mampu mengerahkan tenaganya karena selain obat bius itu masih memusingkan kepalanya, juga tadi tosu Pek-lian-kauw menotok jalan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan sin-kangnya. Andaikata dia sudah mampu sekalipun, belum tentu dia akan dapat membikin putus tali belenggu kaki tangannya yang terbuat dari pada kulit binatang yang amat kuat itu. Kini dia memandang kepada Mayani.

   "Nona, kenapa engkau datang ke sini?"

   Tanyanya lirih.

   "Aih, Gu-taihiap, betapa hancur rasa hatiku melihat engkau dikeroyok dan ditangkap tadi. Akan tetapi, jangan khawatir, taihiap, aku datang untuk menolongmu, lihat aku sudah membawa pisau yang tajam untuk membikin putus tali belenggumu."

   Gadis itu mengeluarkan sebuah pisau yang mengkilat saking tajamnya. Hong Beng tidak kelihatan girang karena walaupun belenggu kaki tangannya putus, dia tetap saja tidak berdaya karena belum mampu mengerahkan sin-kangnya. Dengan tenaga utuh saja dia tidak mampu menandingi para tosu itu, apa lagi setelah jalan darahnya tertotok. Apa artinya belenggunya terlepas kalau dia tidak mampu melarikan diri?

   "Aku akan membebaskanmu, taihiap, dan aku akan melindungimu. Kalau aku mengancam akan bunuh diri, tentu ayah akan membiarkan kita pergi berdua tanpa diganggu. Akan tetapi, lebih dulu aku minta engkau berjanji."

   Hong Beng melihat kemungkinan baru untuk keselamatannya. Mungkin saja gadis ini dapat memaksa ayahnya, dan sebagai kepala suku, ayahnya tentu mempunyai kekuasaan untuk membebaskan dia dan Mayani!

   "Janji apa, nona?"

   "Janji bahwa setelah kubebaskan, engkau akan suka menerima aku menjadi isterimu dan mengajak aku ke manapun engkau pergi!"

   Ucapan ini keluar demikian terbuka dan jujur tanpa malu-malu lagi dari mulut Mayani. Sebaliknya, Hong Beng yang mendengar ucapan ini menjadi tersipu dan mukanya berubah merah.

   "Kenapa begitu, nona?"

   Tanyanya, agak heran dengan permintaan tiba-tiba yang dianggapnya aneh ini.

   "Karena aku cinta padamu, taihiap. Nah, kau berjanjilah dan aku akan membebaskanmu, mengajak-mu menghadap ayah agar kita berdua diperbolehkan pergi dari sini dengan aman."

   Tentu mudah bagi Hong Beng untuk berjanji dan kemudian meninggalkan gadis ini. Akan tetapi dia adalah seorang gagah. Dia tidak mau menipu Mayani, tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Maka dia menggeleng kepalanya.

   "Aku.... aku tidak bisa berjanji, Mayani,"

   Katanya, diam-diam merasa kasihan kepada gadis ini. Jatuh cinta dan tidak terbalas! Dia sudah merasakan betapa sakitnya hal ini kalau menimpa seseorang! Mayani jatuh cinta padanya, namun dia tidak dapat membalasnya.

   "Kenapa tidak bisa, taihiap?"

   "Karena aku tidak ingin kelak melanggar janjiku, tidak ingin berbohong kepadamu hanya agar aku dapat kau tolong. Karena aku.... terus terang saja, aku tidak.... cinta padamu, Mayani. Aku suka padamu, aku kasihan padamu, akan tetapi aku tidak cinta padamu."

   "Ahhh!"

   Mayani nampak kaget.

   "Akan tetapi, bukankah engkau telah menyelamatkan aku dari bencana, dari cengkeraman orang gila itu?

   "Aku menolongmu bukan karena aku cinta padamu. Gadis manapun akan kuselamatkan dari cengkeraman orang gila itu, Mayani."

   "Ahhh....!"

   Kini Mayani mengusap air mata dengan tangannya. Sungguh tak disangkanya jawaban seperti ini yang akan didengarnya.

   "Kalau begitu.... bagaimana aku dapat menolongmu? Apa yang harus kupakai sebagai alasan menolongmu?"

   Hong Beng menarik napas panjang.

   "Sudahlah, tidak perlu kau menolongku, Mayani. Kembalilah sebelum orang mengetahui niatmu dan engkau akan mendapat susah karena ini. Pergilah."

   Sejenak gadis itu bengong, seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Orang ini berada dalam bahaya besar, akan tetapi menolak uluran tangannya untuk menolong dan menyelamatkannya.

   Kemudian, dengan kedua mata masih basah dan merah terpaksa Mayani keluar pula dari kamar itu. Begitu ia keluar, lima orang Mongol itu cepat menyerbu ke dalam dan mereka nampak lega melihat bahwa tawanan itu masih terbelenggu pada tihang. Mereka tadi sudah merasa khawatir kalau-kalau Mayani melakukan kebodohan dan hendak membebaskan tawanan. Sementara itu, Sim Houw dan Bi Lan melihat semua peristiwa yang terjadi di dalam kamar itu. Sim Houw lalu memberi isarat kepada Bi Lan. Keduanya lalu melayang ke dalam kamar. Sim Houw lebih dulu, diikuti oleh Bi Lan. Melihat dua orang melayang turun bagaikan dua ekor burung garuda, lima orang Mongol itu terkejut bukan main. Mereka hendak menerjang, akan tetapi beberapa tamparan dan tendangan dari dua orang itu merobohkan mereka. Sim Houw cepat membikin putus belenggu pada kaki tangan Hong Beng.

   Melihat tubuh Hong Beng lemas, Sim Houw maklum. Yang penting melarikan pemuda ini, pikirnya. Totokan orang Pek-lian-kauw mungkin berbeda dan harus dicari dulu bagaimana untuk membebaskannya. Maka setelah dua kali mencoba dan gagal membebaskan totokan, dia lalu menyambar tubuh Hong Beng, memanggulnya dan meloncat keluar dari kamar itu, didahului oleh Bi Lan. Sesuai dengan rencana mereka tadi, yang sudah diatur oleh Sim Houw ketika mereka mendekam di atas wuwungan, Bi Lan membuka jalan keluar. Beberapa orang penjaga yang terkejut melihat keluarnya gadis yang tidak dikenal ini, roboh oleh tamparan Bi Lan. Keadaan menjadi gempar dan para penjaga berteriak-teriak ketika dua orang yang melarikan tawanan itu mengamuk dan merobohkan banyak penjaga.

   Mendengar teriakan-teriakan ini, para pimpinan tosu cepat mendatangi tempat itu bersama Agakai, akan tetapi dua orang penculik tawanan itu telah menghilang di dalam gelap, meninggalkan belasan orang penjaga yang tadi mereka robohkan. Tentu saja para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menjadi marah. Ada orang berani membebaskan tawanan di depan hidung mereka! Hal ini sungguh membuat mereka merasa malu dan penasaran, maka mereka lalu melakukan pencarian dan pengejaran. Karena Sim Houw juga menyadari betapa lihainya para tosu yang mampu menawan seorang pemuda seperti Hong Beng, maka dia mengajak Bi Lan berlari terus sampai jauh meninggalkan dusun itu dan akhirnya, pada pagi hari, mereka berhenti di bawah Tembok Besar.

   Begitu berhenti, Sim Houw lalu mencoba beberapa totokan untuk membebaskan Hong Beng dan akhirnya dia berhasil. Hong Beng terbebas dari totokan dan setelah melemaskan otot-ototnya yang menjadi kaku, dia berdiri berhadapan dengan Sim Houw dan Bi Lan. Dia merasa canggung sekali, tidak tahu harus berkata apa. Dia pernah memusuhi kedua orang ini, bahkan sampai sekarangpun masih ada perasaan tidak suka. Bagaimanapun juga, dia dan gurunya pernah berkelahi melawan mereka ini yang telah membela Bi-kwi. Kenyataan bahwa dia telah dikelabuhi oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu belum melenyapkan sama sekali keraguannya dan dia masih menganggap bahwa dua orang ini setidaknya pernah menyeleweng dan membela Bi-kwi yang jahat, hanya karena Bi-kwi adalah suci dari Bi Lan.

   "Sim Houw,"

   Katanya kaku.

   "aku tidak pernah minta pertolongan kalian, akan tetapi biarlah aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian ini, walaupun jangan mengira bahwa terima kasih ini sudah melenyapkan ketidakcocokan di antara kita."

   Sejak tadi Bi Lan memang sudah tidak senang diajak oleh Sim Houw menyelamatkan Hong Beng. Kini mendengar ucapan yang dirasakannya amat menyakitkan hati itu, bangkitlah kemarahannya. Sambil bertolak pinggang dengan tangan kanan, telunjuk kirinya menuding ke arah hidung Hong Beng dan suaranya terdengar lantang dan galak,

   "Gu Hong Beng manusia sombong! Siapa sudi menerima terima kasihmu? Ketahuilah, kalau aku akhirnya menyetujui Sim-koko untuk menolongmu, adalah karena aku tidak ingin melihat engkau mampus di sana. Aku ingin menghajarmu dengan kedua kaki tanganku sendiri. Engkau lancang dan banyak mulut, suka mengadu dan melancarkan fitnah, memburuk-burukkan nama kami di depan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir!"

   Hong Beng mengerutkan alisnya. Tak dapat disangkal lagi, dia mencinta gadis ini. Akan tetapi Bi Lan tidak membalas cintanya, bahkan agaknya gadis itu bermain cinta dengan Sim Houw dan mengejeknya, menghinanya.

   Di samping rasa cintanya, timbul perasaan penasaran dan juga kemarahan. Mungkinkah orang mencinta dan sekaligus membenci orang yang sama? Hal ini tidak mungkin sama sekali. Benci timbul dari perasaan tidak suka, dari perasaan dirugikan dan tidak tercapai apa yang diinginkan. Cinta tidak mungkin menimbulkan benci. Yang menimbulkan benci bukan cinta, melainkan nafsu. Nafsu ini ingin memiliki, ingin disenangkan, dan kalau semua keinginan itu gagal, maka mun-cullah kecewa dan benci. Baik nafsu maupun benci adalah penonjolan diri pribadi, adalah pakaian badan, adalah pementingan kesenangan dan kepuasan badan. Cinta kasih tidaklah sedangkal segala macam keinginan badan, cinta kasih bukanlah sekedar kesenangan dan kepuasan jasmani.

   "Aku tidak memburukkan atau menyebar fitnah, melainkan menceritakan keadaan yang sebenarnya tanpa dibuat-buat. Bagaimanapun juga, Bi Lan, engkau telah melakukan penyelewengan, membela dan melindungi perempuan jahat Bi-kwi, bahkan engkau memusuhi kami orang-orang Pulau Es!"

   "Sombong! Orang macam engkau ini mengaku orang Pulau Es? Dan engkau menuduh yang bukan-bukan tanpa menyelidiki kenyataannya. Huh, suci Ciong Siu Kwi jauh lebih baik dari pada engkau. Orang macam engkau ini perlu dihajar!"

   Berkata demikian, Bi Lan sudah menerjang dan menyerang Hong Beng. Pemuda yang juga sudah marah ini cepat mengelak dan balas menyerang. Sim Houw memandang bingung. Tadi dia sudah membujuk Bi Lan untuk bersabar, akan tetapi gadis yang sedang marah itu tidak memperdulikannya. Dan melihat sikap Hong Beng, diam-diam Sim Houw juga merasa penasaran. Kenapa pemuda itu juga bersikap demikian kasar? Dia mengerti bahwa di antara mereka itu hanya terdapat kesalahpahaman belaka, dan tetutama karena sama-sama tidak mau mengalah! Selagi Sim Houw merasa bingung apa yang harus dilakukan menghadapi dua orang yang kini sudah berkelahi dengan seru itu, tiba-tiba terdengar suara orang membentak,

   "Kalian ini sungguh tidak tahu diri!"

   Dan lenyapnya suara itu dibarengi munculnya seorang laki-laki setengah tua yang gagah dan begitu tiba, laki-laki itu telah menerjang dan menyerang Sim Houw! Tentu saja Sim Houw terkejut dan cepat melompat ke samping, apa lagi ketika dia mengenal orang ini sebagai Suma Ciang Bun, seorang tokoh keluarga Pulau Es yang pernah pula menyerangnya bersama Hong Beng! Kiranya guru dan murid ini sekarang kembali menyerang dia dan Bi Lan, seolah-olah melanjutkan perkelahian antara mereka yang pernah terjadi tempo hari! Bagaimana Suma Ciang Bun dapat muncul secara tiba-tiba di tempat itu?

   Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun meninggalkan rumah encinya, Suma Hui atau nyonya Kao Cin Liong, untuk menyusul muridnya yang pergi ke utara, mengunjungi gurun pasir unuk menghadap orang tua Kao Cih Liong, melaporkan tentang hilangnya Kao Hong Li. Ketika dia tiba di Tembok Besar itu, kebetulan saja dia melihat muridnya berkelahi melawan Bi Lan dan tentu saja kemarahannya timbul seketika ketika dia mengenal Bi Lan dan Sim Houw. Biarpun dulu dia pernah meragukan apakah kedua orang itu bersalah, kini melihat betapa muridnya kembali sudah berkelahi melawan gadis itu, tentu saja hatinya condong untuk membela muridnya dan karena khawatir kalau-kalau muridnya celaka di tangan Pendekar Suling Naga yang lihai itu, dia mendahului dan menyerang Sim Houw.

   "Locianpwe, perlahan dulu....!"

   Sim Houw kembali mengelak ketika pukulan yang amat dingin menyambar. Dia bergidik. Pukulan ini tentu yang mengandung Soat-im Sin-kang, pikirnya, yang dapat membuat darah lawan menjadi beku kalau terkena pukulan dingin ini.

   "Mari kita bicara!"

   Ajaknya, dan kembali dia mengelak karena sebuah tendangan kilat menyambar ke arah lututnya.

   "Suhu, mereka ini hendak menghajar teecu karena teecu melaporkan tentang mereka ke Istana Gurun Pasir!"

   Teriak Hong Beng yang sudah marah dan yang kini menjadi besar hatinya melihat kemunculan gurunya.

   "Hemmm, dua orang muda yang besar kepala!"

   Suma Ciang Bun mendengus dan kembali dia sudah menyerang. Seperti juga dalam perkelahian yang pertama melawan guru Hong Beng ini, Sim Houw hanya mengelak dan menangkis, belum pernah membalas karena memang dia tidak ingin bermusuhan dengan pendekar ini, tanpa sebab yang jelas. Hong Beng sudah terdesak oleh Bi Lan,

   Sedangkan Suma Ciang Bun sebagai seorang pendekar maklum pula bahwa kalau Pendekar Suling Naga itu membalas, belum tentu dia akan mampu mengalahkan orang muda yang perkasa ini. Maka, setelah lewat lima puluh jurus, guru dan murid ini mulai merasa sibuk. Hong Beng sibuk oleh desakan-desakan Bi Lan yang marah, sedangkan gurunya sibuk karena sebegitu jauh, belum sebuahpun dari serangannya dapat menyentuh tubuh Sim Houw! Tiba-tiba terdengar suara ramai dan bermunculan tosu-tosu di tempat itu. Mereka adalah para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Tanpa banyak cakap lagi, para tosu itu kini menyerbu dan menyerang Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang mereka kenal sebagai seorang pendekar keluarga Pulau Es! Tentu saja Hong Beng dan Suma Ciang Bun terkejut, dan Hong Beng berseru kepada suhunya,

   "Suhu, mereka ini pernah menawan teecu!"

   Sementara itu, melihat betapa para tosu yang lihai itu, lima orang pimpinan disertai belasan anak buah, telah mengepung dan menyerang Suma Ciang Bun dan Hong Beng, Sim Houw lalu memberi isarat kekasihnya, dan mereka berduapun segera terjun ke dalam pertempuran, menyerang para tosu! Sikap mereka ini tentu saja membuat Suma Ciang Bun terkejut akan tetapi juga girang.

   Dia tadi sudah beradu lengan dengan tosu jenggot panjang dan dengan kaget mendapat kenyataan betapa kuatnya lawan. Tosu-tosu itu lihai bukan main dan agaknya dia dan muridnya belum tentu akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi kini Pendekar Suling Naga dan gadis yang galak itu telah membantu mereka menghadapi para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw! Bi Lan mengamuk dengan hebatnya berkelahi melawan Hong Beng, ia masih membatasi serangannya karena ia hanya ingin menghajar pemuda itu, bukan berniat membunuhnya atau melukainya secara berat. Iapun tahu bahwa sikap pemuda itu berbalik tidak suka kepadanya karena cintanya ditolak dan karena cemburu, demikian pendapatnya. Akan tetapi kini, melihat betapa mereka dikepung oleh tosu-tosu yang lihai,

   Bi Lan lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Biarpun ia tidak memegang Ban-tok-kiam lagi, namun ketika ia mainkan Ban-tok-ciang-hoat yang dipelajarinya dari subonya, diseling dengan Sin-liong-ciang-hoat yang didapatnya dari suhunya Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka hebatnya bukan kepalang. Seorang tosu Pat-kwa-pai yang menjadi lawannya adalah Ok Cin Cu. Tosu ini memegang sebatang tongkat hitam berbentuk ular. Tosu yang mata keranjang dan cabul ini tadi sudah menyerang Bi Lan karena dia tidak dapat me-lewatkan gadis secantik ini dari pandang matanya. Maksudnya tentu saja agar dia puas dapat mempermainkan gadis ini. Akan tetapi, kalau pada mulanya dia maju dengan tangan kanan saja sambil tertawa-tawa dan tersenyum-senyum, kini dia terkejut dan memainkan tongkatnya untuk melindungi tubuhnya.

   Tak disangkanya bahwa gadis muda itu lihai bukan main, memiliki serangan pukulan-pukulan yang amat aneh! Tosu ini harus berloncatan ke sana-sini, rambutnya yang putih riap-riapan itu berkibar-kibar, tongkat hitamnya menyambar-nyambar, namun tetap saja dia kewalahan dan terdesak oleh gerakan Bi Lan yang tidak dikenalnya. Suma Ciang Bun diserang oleh tosu berjenggot panjang yang merupa-kan pemimpin para tosu dan yang bersenjata tongkat naga hitam. Pendekar ini mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu siang-kiam (sepasang pedang) dan mainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) dan dengan ilmu pedang yang hebat ini barulah dia dapat mengimbangi serangan lawan. Namun harus diakui bahwa untuk mendesak diapun tidak mampu karena kakek berjenggot panjang itu memang lihai bukan main.

   Di samping itu, Suma Ciang Bun juga harus melindungi muridnya. Hong Beng juga memainkan pedangnya, melawan Thian Kek Seng-jin tokoh Pek-lian-kauw yang juga bersenjata tongkat naga hitam. Kakek ini bersama Ok Cin Cu pernah menipunya dan mengadunya dengan Bi Lan ketika kedua kakek itu terluka dan menyembunyikan keadaan mereka yang sebenarnya. Dalam, perkelahian ini, Hong Beng terdesak oleh tongkat naga hitam. Akan tetapi, karena kadang-kadang suhunya datang membantu, dia dapat pula bertahan dan perkelahian ini menjadi perkelahian keroyokan antara guru dan murid itu melawan dua orang tosu. Sim Houw sendiri melayani dua orang tosu Pek-lian-kauw yang tingkat kepandaiannya sama dengan yang lain. Sim Houw sudah mencabut sulingnya. Melihat senjata ini, para tosu itu terkejut.

   "Pendekar Suling Naga....!"

   Teriak seorang di antara dua tosu yang mengeroyoknya, sambil memutar pedangnya dengan cepat.

   Temannya yang juga berpedang, menghujankan serangannya kepada Sim Houw. Namun dengan tenang Sim Houw memutar sulingnya. Terdengar suara suling melengking-lengking dibarengi sinar berkelebatan dan dua orang itu segera terdesak hebat! Bukan main kuatnya gerakan pedang suling itu dan dua orang tosu itu sampai terhuyung ke belakang dan mereka mengeluarkan seruan kaget. Belum pernah mereka bertemu lawan sehebat ini dan kalau mereka tadinya hanya mendengar saja nama besar Pendekar Suling Naga yang dianggap berlebihan, maka baru sekarang mereka menyaksikan bahkan mengalami sendiri kehebatan senjata aneh itu! Bi Lan juga mengamuk hebat dan lawannya sudah dua kali terkena pukulannya.

   Karena pukulan itu mempergunakan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Cianghoat, maka tenaganya membuat lawan itu terpelanting, sedangkan pukulan ke dua yang memakai Ilmu Silat Ban-tok Ciang-hoat membuat lawannya merasa pundaknya yang terpukul seperti terbakar, terasa gatal-gatal dan nyeri bukan main. Itulah pukulan beracun yang amat ampuh. Ok Cin Cu menjadi gentar dan diapun cepat melompat jauh ke belakang, hampir berbareng dengan dua orang tosu yang mengeroyok Sim Houw yang juga sudah berlompatan ke belakang. Keduanya terluka sedikit pada bahu mereka terkena sambaran angin pedang suling itu! Melihat ini, gentarlah hati lima orang tosu itu dan mereka berteriak mengerahkan anak buah mereka, sedangkan dari jauh datang pula rombongan orang Mongol yang akan membantu.

   "Moi-moi, mari kita pergi saja!"

   Sim Houw berseru dengan nyaring dan kepada Suma Ciang Bun dia menjura sambil berkata,

   "Locianpwe, maafkan kami. Semua ini hanya merupakan salah paham belaka!"

   Dan diapun bersama Bi Lan cepat meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, melewati Tembok Besar menuju ke selatan. Melihat ini, Suma Ciang Bun juga mengajak muridnya untuk pergi saja, melewati Tembok Besar pula dan menuju ke selatan, tidak ingin menghadapi pengeroyokan banyak orang itu. Biarpun mereka berempat telah bekerja sama menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, namun di dalam hatinya, Hong Beng masih belum merasa puas. Dia belum yakin akan kebersihan Bi Lan dan Sim Houw, sedangkan Suma Ciang Bun diam-diam kagum bukan main akan kelihaian Pendekar Suling Naga.

   "Aih, tenangkanlah hatimu, enci Hui. Kami sudah pernah merasakan betapa bingung dan susahnya kehilangan seorang anak. Akan tetapi berduka saja tidak ada gunanya, bahkan kedukaan itu akan mengeruhkan pikiran, melemahkan semangat sehingga kita tidak dapat bertindak bijaksana dan tepat. Tenangkan hatimu, dan kita bicarakan urusan ini dengan teliti,"

   Demikian Suma Ceng Liong, pendekar sakti keturunan keluarga Pulau Es itu menghibur Suma Hui yang datang bersama suaminya, Kao Cin Liong, dan sambil menangis menceritakan akan malapetaka yang menimpa keluarganya dengan lenyapnya Kao Hong Li diculik orang.

   "Benar sekali apa yang dikatakan suamiku, enci Hui. Kami dahulu juga merasa amat berduka dan gelisah, apa lagi karena hilangnya anak kami Suma Lian dibarengi dengan tewasnya ibu mertuaku dibunuh orang. Akan tetapi, orang yang benar selalu dilindungi Thian, enci. Aku yakin bahwa keponakanku Hong Li pasti akan dapat ditemukan kembali dalam keadaan selamat dan sehat,"

   Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata pula Kam Bi Eng, isteri Suma Ceng Liong sambil merangkul kakak iparnya. Suma Hui menghapus air matanya dan ia memaksa diri tersenyum.

   "Maafkan aku atas kelemahanku. Akan tetapi, kami berdua sudah mencari sampai jauh ke Tibet, akan tetapi tidak berhasil, bahkan tidak dapat menemukan jejak anak kami. Bagaimana hatiku tidak akan gelisah?

   "Ceng Liong,"

   Kata Cin Liong yang memang akrab dengan ipar-iparnya.

   "Kami sengaja datang ke sini mengunjungimu, bukan hanya sekedar menghibur diri, akan tetapi juga kami membutuhkan pendapatmu dan bantuanmu agar anak kami itu dapat segera kami temukan kembali."

   Ceng Liong mengangguk-angguk.

   Dia dan isterinya adalah suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia sendiri adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es sedangkan isterinya adalah murid pewaris Ilmu Suling Emas. Kini Suma Lian, puteri mereka, dibawa oleh Bu Beng Lokai, yang masih terhitung pamannya sendiri karena Bu Beng Lokai yang dulu bernama Gak Bun Beng adalah mantu dari kakeknya, Suma Han. Suma Lian dibawa Bu Beng Lokai untuk digembleng. Kini mereka berdua hidup di rumah mereka yang nampak sunyi, maka kunjungan Suma Hui dan suaminya itu menggembirakan, dan Ceng Liong menganggap sudah menjadi tugasnya untuk bantu memikirkan kehilangan keponakannya, Kao Hong Li itu. Mereka bercakap-cakap dan suami isteri yang kehilangan puterinya itu lalu menceritakan dengan sejelasnya asal mula terjadinya penculikan terhadap puteri mereka.

   "Gambaran tentang penculik itu telah kami dapatkan dengan jelas, bahkan teman-teman Hong Li menceritakan dengan jelas si penculik mengaku bernama Ang I Lama, bertubuh tinggi kurus, pandai silat dan pandai sihir. Akan tetapi ketika kami berhadapan dengan Ang I Lama, ternyata bukan dia penculiknya. Jelas bahwa penculik itu mempergunakan nama Ang I Lama. Akan tetapi siapa dia? Dan ke mana kami harus mencarinya?"

   Kao Cin Liong menutup penuturannya sambil menarik napas panjang. Ceng Liong juga menghela napas.

   "Hemmm, penculik itu selain lihai pandai ilmu silat dan sihir, juga cerdik sekali. Dia menyamar sebagai Ang I Lama untuk mengelabuhimu, dan untuk melenyapkan jejaknya. Untuk itu, kita harus menggunakan akal, Kao-cihu (kakak ipar Kao)."

   "Akal bagaimana, adikku?"

   Tanya Suma Hui dengan penuh harapan dan gairah. Timbul kembali semangatnya mendengar percakapan itu.

   "Cihu harus dapat mengumpulkan orang-orang kang-ouw terkemuka dengan alasan tertentu yang masuk akal. Cihu mengirim undangan agar mereka itu dapat datang dan lebih baik lagi kalau mengirim undangan secara terbuka. Siapa saja yang merasa dirinya orang kang-ouw, orang-orang di dunia persilatan, dipersilahkan datang. Nah, kalau sudah banyak orang kang-ouw berkumpul, cihu dapat mengumumkan tentang lenyapnya Hong Li diculik orang. Dengan demikian, tentu peristiwa itu akan tersebar luas dan kalau di antara mereka ada yang mengetahui tentang siapa penculik Hong Li dan di mana anak kita itu sekarang, tentu dia akan memberi tahu ke-pada cihu. Kalaupun tidak, tentu mereka akan membuka mata lebih lebar dan dengan demikian, harapan untuk menemukan kembali Hong Li lebih besar."

   "Ah, bagus sekali usul itu!"

   Cin Liong berseru dan wajahnya berseri, matanya berkilat membayangkan kegirangan.

   "Tidak sampai dua bulan lagi adalah hari kelahiranku yang ke lima puluh! Hal ini tentu merupakan alasan yang baik sekali dan tidak dicari-cari untuk mengumpul-kan orang-orang kang-ouw."

   "Tepat sekali, cihu! Kita membuat undangan dan juga undangan terbuka ditujukan kepada seluruh orang kang-ouw. Aku akan membantu penyebaran surat undangan itu ke seluruh dunia kang-ouw, cihu!"

   Gembiralah hati Cin Liong dan isterinya. Mereka segera kembali ke Pao-teng dan membuat persiapan. Pesta ulang tahun itu tentu makan banyak biaya, apa lagi kalau yang datang benkunjung nanti banyak sekali orang. Akan tetapi mereka berdua siap untuk menghabiskan semua harta simpanan mereka untuk keperluan itu, karena apa artinya semua harta itu kalau anak mereka tidak dapat ditemukan kembali? Setelah kehilangan Hong Li, barulah suami isteri ini merasa betapa pentingnya anak itu bagi mereka, dan betapa hal-hal lainnya tidak ada artinya lagi! Hidup merupakan gabungan dari segala macam hal yang multi kompleks. Kebutuhan hidup bermacam-macam yang bergabung menjadi satu.

   Ada kebutuhan harta, kebutuhan sandang, pangan, kesehatan, kerukunan keluarga, dan seterusnya. Tidak mungkin mementingkan yang satu saja dan meremehkan yang lain. Karena kekurangan satu saja di antaranya, hidup akan menjadi pincang. Apa artinya mempunyai segala itu kalau anaknya hilang seperti halnya suami isteri itu? Sama saja susahnya kalau yang ditiadakan itu satu di antara kebutuhan-kebutuhan itu. Apa artinya semua ada, keluarga lengkap, kalau badan selalu menderita penyakit? Apa pula artinya kalau sehat, berharta, cukup segala kebutuhan, akan tetapi tidak rukun dengan keluarganya? Masih banyak contoh-contoh lain lagi, namun kesemuanya itu merupakan akibat kepincangan yang serupa. Karena suami isteri di Pao-teng itu kehilangan anak mereka, tentu saja yang terasa hanyalah hal itu saja.

   Mereka mau mengorbankan yang lain asal anak mereka dapat ditemukan kembali. Dengan cepat, undanganpun disebar dan dalam hal ini, Suma Ceng Liong membantu dengan sekuat tenaga. Tentu saja tidak mungkin mengundang semua orang, akan tetapi yang penting, demikian keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu berpendapat, dari delapan penjuru harus ada tokoh-tokoh yang mewakili daerah masing-masing. Juga disebar undangan terbuka, tidak untuk nama tertentu, melainkan ditujukan kepada semua orang kang-ouw yang suka datang, dipersilahkan untuk datang pula meramaikan pesta hari ulang tahun bekas panglima yang amat terkenal itu, bukan saja terkenal sebagai bekas panglima besar, juga terkenal sebagai seorang pendekar sakti bersama isterinya yang juga pendekar keturunan keluarga Pulau Es.

   Beberapa hari sebelum pesta ulang tahun itu tiba, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng telah berada di rumah Cin Liong di Pao-teng. Juga ayah dan ibu Kam Bi Eng yang merupakan suami isteri terkenal sekali dan pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu-ilmu dari Suling Emas dan merupakan tokoh ke tiga sesudah keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir yang terkenal, hadir pula atas undangan puteri mereka, Kam Bi Eng. Mereka itu bukan lain adalah pendekar sakti Kam Hong yang kini sudah berusia enampuluh tiga tahun, sedangkan isterinya, Bu Ci Sian telah berusia empat puluh delapan tahun. Mereka berdua ini tinggal tak begitu jauh dari kota Pao-teng, di puncak Bukit Nelayan, yaitu sebuah puncak di antara puncak-puncak Pegunungan Tai-hang-san.

   Mereka berdua ikut merasa prihatin ketika mendengar cerita tentang hilangnya Kao Hong Li yang diculik orang yang masih belum diketahui jelas siapa adanya. Selain keluarga Suma Ceng Liong dan keluarga Kam Hong ini, juga telah hadir di rumah itu Suma Ciang Bun dan muridnya, Gu Hong Beng. Pemuda ini sudah banyak mendengar tentang suami isteri pendekar dari istana Khong-sim Kai-pang, yaitu Kam Hong, akan tetapi baru sekarang sempat bertemu. Hatinya merasa kagum dan dengan girang dia memperkenalkan diri. Karena para keluarga berkumpul, suasana sudah meriah sekali dan banyak hal mereka percakapkan, dan tentu saja terutama sekali tentang hilangnya Kao Hong Li yang diculik orang. Karena Hong Beng merupakan murid dari Suma Ciang Bun, maka diapun diterima oleh keluarga Kao sebagai anggauta keluarga sendiri.

   Selagi tokoh-tokoh keturunan keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan keluarga Suling Emas ini saling berbincang-bincang sebagai sekelompok keluarga, tiba-tiba pembantu memberitahukan bahwa di luar datang dua orang tamu laki-laki dan perempuan yang masih muda. Kao Cin Liong dan isterinya tidak menanyakan siapa dua orang tamu itu, akan tetapi karena mereka berada dalam suasana berpesta, sehingga mereka mengharapkan munculnya banyak tamu, segera mereka menyuruh pembantu mereka untuk mempersilahkan dua orang tamu itu masuk saja ke ruangan besar di mana mereka tadi bercakap-cakap. Ketika dua orang itu masuk, semua orang memandang, ingin tahu siapakah tamu yang datang agak terlalu pagi itu. Biasanya, yang datang lebih pagi dari hari pesta yang ditentukan, hanyalah anggauta keluarga sendiri yang datang dengan maksud membantu tuan rumah mempersiapkan pesta ulang tahun itu.

   Ketika melihat munculnya Sim Houw dan Bi Lan, sebagian besar dari mereka yang hadir di situ mengerutkan alisnya. Terutama sekali Hong Beng dan gurunya, Suma Ciang Bun. Mereka berdua sudah bangkit berdiri dan mengepal tinju, akan tetapi ketika teringat bahwa di situ terdapat orang-orang tingkatan lebih tua seperti Kam Hong dan isterinya, guru dan murid ini menahan diri dan duduk kembali. Juga Kao Cin Liong dan Suma Hui memandang marah. Mereka sudah mendengar dari Hong Beng dan gurunya tetapa Bi Lan yang diambil murid suami isteri dari Istana Gurun Pasir, telah menyeleweng, membela iblis betina Bi-kwi dan bahkan menentang Suma Ciang Bun dan muridnya. Perasaan tidak senang membayang di wajah tuan rumah dan nyonya rumah. Baru satu kali Kao Cin Liong dan isterinya bertemu dengan Sim Houw dan Bi Lan,

   Yaitu ketika mereka semua di bawah pimpinan Tiong Khi Hwesio menentang dan membasmi Sai-cu Lama dan kawan-kawannya. Demikian pula Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng yang juga membantu dalam pertempuran hebat itu. Sim Houw juga merasa girang sekali dapat bertemu dengan sekalian orang gagah itu, dan kini dia dapat memandang Kam Bi Eng yang telah menjadi nyonya Suma Ceng Liong dengan wajah cerah dan ternyata setelah ada pertalian cinta antara dia dan Bi Lan, kini tidak terjadi sesuatu di dalam hatinya ketika dia bertemu dengan Kam Bi Eng, wanita yang pernah dikasihinya itu. Akan tetapi, yang membuat Sim Houw menjadi semakin girang dan terharu adalah ketika dia melihat Kam Hong dan Bu Ci Sian di tempat itu. Sebelum memberi hormat kepada yang lain, Sim Houw mengajak Bi Lan untuk menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri ini.

   "Suhu dan subo.... telah bertahun-tahun teecu tidak pernah menghadap ji-wi, harap ji-wi sudi memaafkan teecu. Teecu harap selama ini suhu dan subo selalu dalam keadaan sehat dan dilimpahi berkah oleh Thian."

   Melihat muridnya, diam-diam Kam Hong dan Bu Ci Sian merasa kasihan akan tetapi juga girang.

   Mereka masih merasa kasihan mengingat betapa murid yang baik ini, yang tadinya mereka jodohkan dengan puteri mereka, Kam Bi Eng, kemudian ternyata ditolak oleh Bi Eng yang jatuh cinta kepada Suma Ceng Liong. Akan tetapi dengan jiwa besar murid mereka itu dengan suka rela mengundurkan diri dan memberi kebebasan kepada Kam Bi Eng untuk berjodoh dengan pria yang dipilihnya, sedangkan dia sendiri lalu merantau dan baru sekarang guru itu bertemu dengan murid yang pernah menjadi calon mantu itu. Yang membuat suami isteri pendekar ini prihatin adalah karena mereka mendengar bahwa sampai sekarang murid mereka itu belum juga menikah. Hal ini bagi mereka menjadi tanda bahwa hati murid mereka itu telah terluka karena kegagalan cinta dan pernikahannya dengan Kam Bi Eng, dan mereka berdua ikut merasa berdosa atas penderitaan pemuda itu.

   "Sim Houw, selama ini engkau ke mana sajakah maka tidak pernah datang menjenguk kami? Dan kami mendengar bahwa engkau mendapatkan julukan Pendekar Suling Naga! Sungguh kami ikut merasa bangga dan.... eh, siapakah nona ini?"

   Kam Hong memandang kepada Bi Lan yang berlutut di dekat Sim Houw.

   "Locianpwe, nama saya Can Bi Lan...."

   Jawab Bi Lan dengan sikap hormat. Ia sudah sering kali mendengar penuturan Sim Houw tentang suami isteri yang sakti ini, yang agaknya hanya boleh disejajarkan dengan suhu dan subonya di Istana Gurun Pasir, atau dengan para pendekar Pulau Es!

   "Suhu dan subo, adik Can Bi Lan adalah.... tunangan teecu dan ia adalah murid dari Kao-locianpwe di Istana Gurun Pasir dan isterinya...."

   "Juga murid mendiang Sam Kwi!"

   Tiba-tiba terdengar suara Hong Beng memotong kata-kata yang diucapkan oleh Sim Houw itu. Semua orang terkejut dan diam-diam Suma Ciang Bun menyesalkan ucapan muridnya yang lancang itu, namun dia maklum bahwa perasaan dongkol di dalam hati muridnya yang membuat muridnya bersikap lancang seperti itu. Keadaan menjadi kaku dan tegang, akan tetapi Kam Hong yang menoleh kepada Hong Beng, kini tersenyum.

   "Aihh, seorang yang sakti dan bijaksana seperti Kao-locianpwe, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, tidak mungkin salah memilih murid. Dan ia menjadi tunanganmu, Sim Houw. Selamat! Sungguh kami ikut merasa gembira sekali."

   "Tunanganmu ini cantik dan gagah, Sim Houw. Selamat!"

   Kata pula Bu Ci Sian, lega hatinya karena dengan adanya pertunangan ini, berarti iapun terlepas dari beban batin yang merasa bersalah terhadap Sim Houw yang patah hati.

   "Terima kasih, suhu dan subo,"

   Kata Sim Houw, Barulah dia dan Bi Lan menghadap takoh-tokoh lain dan memberi hormat. Ketika memberi hormat kepada Kao Cin Liong, tanpa ragu-ragu lagi Bi Lan menyebutnya "suheng" (kakak seperguruan). Mendengar sebutan ini, wajah Cin Liong menjadi merah dan hatinya tidak senang sekali.

   "Can Bi Lan,"

   Katanya halus namun mengandung kemarahan.

   "engkau telah menyebut suheng kepadaku, maka aku berhak untuk menegurmu. Aku banyak mendengar hal-hal yang tidak baik tentang dirimu, dan kalau memang benar, maka berarti aku sebagai suhengmu akan terkena lumpur dan noda pula. Benarkah engkau bersekongkol dengan wanita jahat Bi-kwi dan para pemberontak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, bahkan engkau dibantu oleh Pendekar Suling Naga telah memusuhi keluarga Pulau Es?"

   Bi Lan mengerling ke arah Hong Beng dan ingin rasanya ia pada saat itu juga menyerang pemuda itu. Ia dapat menduga bahwa tentu pemuda itulah yang menyebar fitnah, yang memburukkan namanya di depan semua orang. Akan tetapi, sentuhan tangan Sim Houw pada lengannya membuat ia menyadari bahwa di hadapan para locianpwe, tidak sepantasnya kalau ia memperlihatkan sikap kasar. Maka iapun memberi hormat kepada Kao Cin Liong.

   "Kao-suheng, tidak kusangkal bahwa aku dan Sim-koko pernah membantu dan membela suci Ciong Siu Kwi, akan tetapi untuk urusan itu terdapat alasan-alasannya yang kuat. Sama sekali kami tidak membantu kejahatannya. Ia telah mengubah hidupnya, bertaubat dan ia hanya diperalat oleh para tosu jahat yang telah menyandera calon suaminya. Akan tetapi semua hal itu akan kuceritakan lain kali saja, sekarang yang penting, aku hendak menyampaikan kepada suheng sekeluarga bahwa aku dan Sim-koko datang ke sini sebagai utusan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir."

   Mendengar ini, Kao Cin Liong tertegun. Kalau gadis ini sudah diterima orang tuanya, bahkan dijadikan utusan, itu tentu hanya berarti bahwa gadis ini tidak jahat. Sambil mengerutkan alisnya, dia bertanya,

   "Apakah kalian berdua mengunjungi orang tuaku?"

   
"Benar, suheng. Kami baru saja datang dari sana dan kami mendapat tugas dari suhu dan subo untuk memberitahu kepada suheng berdua bahwa kalian telah kejatuhan fitnah yang amat keji, dituduh menjadi pembunuh-pembunuh dari Ang I Lama."

   Bukan main kagetnya hati Kao Cin Liong mendengar ini.

   "Apa! Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!"

   "Suheng, ketika kami berada di istana, muncul seorang hwesio yang telah kita kenal baik karena dia adalah Tiong Khi Hwesio. Locianpwe inilah yang mengabarkan kepada suhu dan subo bahwa Ang I Lama tewas dibunuh orang, dan para pembunuhnya adalah suheng berdua...."

   "Gila! Kami tidak melakukan hal itu!"

   Kao Cin Liong berseru keras.

   "Itu fitnah keji!"

   Suma Hui juga berseru marah.

   "Locianpwe Tiong Khi Hwesio menjadi utusan para pendeta Lama di Tibet untuk menyampaikan protes kepada suhu dan subo karena mereka semua merasa yakin bahwa suheng berdua pembunuhnya. Menurut cerita locianpwe itu, sebelum tewas, dalam keadaan terluka parah, di depan para pendeta Lama, Ang I Lama sempat menyebut nama suheng berdua."

   "Ahhh....!"

   Wajah Kao Cin Liong berubah. Urusan ini bukan urusan kecil dan dia mengerutkan alisnya.

   "Anak kami hilang belum juga ditemukan jejaknya, dan sekarang muncul lagi fitnah keji yang menuduh kami membunuh Ang I Lama!"

   "Ahh. aku mengerti sekarang!"

   Tiba-tiba Suma Ceng Liong yang terkenal cerdik itu berseru.

   "Pasti ada hubungan antara kedua peristiwa itu, cihu (kakak ipar)! Si penculik Hong Li mengaku bernama Ang I Lama dan kemudian setelah kalian datang ke barat, ternyata bukan Ang I Lama yang menculiknya. Kemudian, Ang I Lama dibunuh orang dan pendeta itu meninggalkan pesan yang menuduh kalian menjadi pembunuhnya. Bukankah jelas bahwa ada pihak ketiga yang sengaja hendak mengadu domba antara kalian dengan para pendeta Lama? Mula-mula Ang I Lama difitnah menculik Hong Li, kemudian karena tidak melihat kalian bermusuhan dengan Ang I Lama, maka fitnahnya dibalik. Pendeta itu dibunuh dan nama kalian yang kini difitnah."

   "Benar! Tentu ada orang yang mengatur semua ini. Akan tetapi siapa?"

   Kao Cin Liong berseru, penuh rasa penasaran.

   "Hemm, setelah mendengar semua laporan tentang hilangnya Kao Hong Li, ada kemungkinan lain,"

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 2 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 42 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 25

Cari Blog Ini