Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Pulau Es 31


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



Tak perduli siapa adanya orang bertopeng ini, yang jelas serangan gabungan itu adalah serangan maut yang sukar ditahan oleh lawan yang bagaimana kuatpun jnga. Melihat bahaya maut mengancam dirinya, Ceng Liong lalu mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong, yaitu Coan-kut-ci. Jari-jarinya terbuka menyambut dua tangan lawan dan dia mengerahkan tenaga sin-kangnya yang kini sudah sangat kuat, tenaga yang berdasar tenaga yang diterimanya dari mendiang kakeknya. Tusukan-tusukan jari tangannya dengan ilmu Coan-kut-ci ini dimaksudkan untuk membuyarkan dan mengancam telapak tangan lawan.

   "Blarrrr....!! Dua tenaga yang amat dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terlempar ke belakang, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting jatuh. Sebaliknya, lawan yang bertopeng itu terpelanting. Ceng Liong menjadi terkejut bukan main melihat ibunya lari menghampiri orang itu dan merangkulnya, membantunya bangkit berdiri.

   "Ha-ha-ha, bagus, kiranya belum ada hawa sesat memasuki tubuhmu....!! Kata orang bertopeng itu sambil merenggut lepas topengnya.

   "Ayah....!! Ceng Liong terkejut mengenal wajah ayahnya yang juga kurus seperti wajah ibunya.

   "Ayah.... maafkan aku....!! Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Yang dimaksudkau dengan maaf itu bukan karena perlawanannya tadi karena dia tahu bahwa ayahnya sengaja hendak mengujinya, akan tetapi dia minta maaf karena melihat betapa ayah bundanya menjadi kurus, tentu banyak berduka karena ditinggalkannya selama ini. Dia merasakan sekarang betapa dia telah menyusahkan dan menggelisahkan hati mereka, dengan kepergiannya mengikuti Hek-i Mo-ong tanpa memberi tahu orang tua.

   Tentu saja hati Suma Kian Bu tidak kalah terharunya melihat puteranya yang tadinya sudah tak diharapkan akan dapat bertemu kembali dengannya itu tiba-tiba saja pulang! Di samping keharuan dan kegirangan, juga terdapat rasa penasaran dan kemarahan di hati ayah ini. Apalagi ketika tadi dia mendengar percakapan antara puteranya dan isterinya, bahwa puteranya itu selama ini menjadi murid Hek-i Mo-ong, hatinya merasa panas dan marah.

   Hek-i Mo-ong adalah orang yang membawa tokoh-tokoh sesat menyerbu Pulau Es, mengakibatkan tewasnya ayah dan kedua ibunya, juga mengakibatkan Pulau Es menjadi musnah, dan kini puteranya mengaku malah selama ini menjadi murid musuh besar itu! Hati siapa yang tidak akan marah? Yang paling tidak menyenangkan hatinya adalah membayangkan betapa puteranya menjadi pewaris ilmu-ilmu hitam, ilmu kotor dan keji dan jahat.

   Maka dia lalu cepat mengenakan topeng dan sengaja dia menyerang puteranya itu dengan pukulan-pukulan maut dengan maksud untuk memancing dan mencoba kepandaian puteranya, ingin melihat apakah puteranya benar-benar telah mewarisi ilmu jahat dari Hek-i Mo-ong. Lebih baik melihat puteranya mati daripada melihatnya hidup menjadi seorang calon datuk sesat! Akan tetapi, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ketika mereka beradu tenaga, dasar tenaga yang dipergunakan Ceng Liong adalah tenaga Pulau Es! Walaupun harus diakuinya bahwa ilmu terakhir yang dipergunakan puteranya dengan jari-jari tangan terbuka tadi amat mengerikan dan mengandung hawa iblis!

   Kini dia melangkah maju dan meraba kepala puteranya dengan jari-jari tangannya, membelai rambut di kepala itu sebentar.

   "Bangkitlah, Ceng Liong, ingin kulihat berapa tinggimu sekarang!!

   Dengan hati terharu karena dalam rabaan tangan ayahnya pada kepalanya tadi dia merasakan sentuhan kasih sayang yang mesra, Ceng Liong bangkit berdiri di depan ayahnya. Dua orang laki-laki ayah dan anak itu saling berhadapan dan berpandangan, dengan sinar mata berseri dan mulut tersenyum dan ternyata bahwa Ceng Liong kini sedikit lebih tinggi daripada ayahnya!

   "Ha-ha-ha, engkau sudah lebih tinggi daripada aku! Mari kita duduk di dalam. Mari kita bicara. In-moi, mana arak....? Aih, sudah lama sekali aku tidak minum arak. Mana arak dan mana masakan?!

   Siang In menahampiri mereka dan memeluk keduanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang suami dan puteranya. Suasana menjadi gembira bukan main.

   "Arak? Ah, ada kusimpan di gudang. Tentu kini sudah menjadi tua dan harum. Dan masih ada beberapa ekor ayam kita. Tnnggu, akan kumasak untuk kalian....!!

   "Nanti saja, ibu. Nanti kubantu. Aku sekarangpun sudah pandai masak setelah banyak merantau.! kata Ceng Liong gembira.

   "Engkau benar. Nanti saja. Mari kita bicara dulu. Mari kita dengarkan dulu apa yang selama ini dialami Ceng Liong, baru kita merayakan pulangnya dengan makan minum.! kata Suma Kian Bu. Suami isteri itu kini berseri wajahnya, bersinar-sinar matanya, seperti hidup kembali setelah bertahun-tahun tenggelam dalam kecewa dan duka nestapa.Tak lama kemudian, mereka telah membersihkan meja di ruangan dalam, juga kursi-kursinya mereka bersihkan dengan sapu bulu ayam.

   Maka duduklah tiga orang itu saling berhadapan dan Ceng Liongpun mulai menceritakan semua pengalamannya, sejak Pulau Es diserbu dan dia dilarikan Hek-i Mo-ong. Diceritakan betapa raja iblis itu telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya sehingga akhirnya dia diambil murid.

   "Mula-mula aku hanya ingin membalas budinya karena telah dua kali dia menyelamatkan nyawaku. Akan tetapi lambat-laun, ilmu-ilmunya menarik hatiku dan selain itu, juga dia amat baik kepadaku, amat menyayangku sehingga timbul rasa kasihan dan suka di dalam hatiku terhadap orang tua itu.!

   Ceng Liong melanjutkan ceritanya, tentang petualangannya bersama gurunya itu ke barat, bahkan sampai di Bhutan. Betapa dia bertemu dengan bibi Syanti Dewi dan suaminya, pendekar sakti Ang Tek Hoat dan puteri mereka yang bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee. Suma Kian Bu dan isterinya mendengarkan penuturan putera mereka dengan penuh perhatian. Mereka merasa heran, kadang-kadang terkejut, penasaran, kagum dan bermacam perasaan mengaduk hati mereka.

   Mereka tidak dapat menilai lagi apakah mereka harus menyalahkan atau membenarkan putera mereka. Begitu banyaknya pengalaman aneh dan hebat dialami putera mereka. Ceng Liong menceritakan semuanya sampai matinya Hek-i Mo-ong. Betapa dia pernah bertemu dan bertempur melawan pendekar sakti Kam Hong. Hanya di bagian dia dijodohkan kepada Kam Bi Eng oleh mendiang Hek-i Mo-ong tidak dia ceritakan kepada orang tuanya.

   Hal ini terlalu memalukan, dan dia dapat mengerti bahwa ayah bundanya tentu tidak akan cocok dan tidak akan menerima begitu saja putera mereka dijodohkan oleh Hek-i Mo-ong tanpa setahu mereka. Setelah pemuda itu menceritakan semua pengalamannya, Suma Kian Bumenarik napas panjang. Teng Siang In lalu pergi mengambil arak dan mempersiapkan makanan, memotong ayam peliharaan mereka dan mengambil sayur-sayuran dari kebun belakang.

   "Ceng Liong, tahukah engkau mengapa aku tadi mengenakan topeng dan menyerangmu?! Kian Bu bertanya kepada puteranya.

   Ceng Liong tersenyum.

   "Tadinya aku tidak tahu bahwa yang bertopeng adalah ayah. Baru setelah aku mengenal dasar gerakan ayah, aku menduga tentu ayah atau paman lain dari keluarga Pulau Es dan kalau benar ayah, tentu untuk mengujiku.!

   Kian Bu menggeleng kepala.

   "Bukan sekedar menguji, anakku. Dari dalam aku mendengar percakapanmu dengan ibumu. Mendengar bahwa selama bertahun-tahun ini engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong, aku terkejut bukan main, juga marah dan kecewa. Kalau menjadi murid Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun, tentu engkau sudah memperoleh warisan ilmu sesat dan hawa yang kotor. Daripada melihat engkau menjadi seorang calon datuk sesat lebih baik melihat engkau mati. Maka aku lalu keluar dan selain mencobamu, juga untuk melihat apakah engkau benar-benar mewarisi ilmu kotor.!

   "Kalau benar demikian?!

   "Aku akan berusaha memukulmu roboh.!

   "Ayah hendak membunuhku?!

   "Bukan, melainkan hendak melenyapkan ilmu-ilmumu yang kotor. Kalau dalam penyerangan itu engkau roboh dan tewas.... yah, lebih baik mati daripada menjadi orang jahat. Akan tetapi, ternyata engkau memiliki dasar sin-kang keluarga kita, bahkan teramat kuat sehingga terus terang saja, kalau engkau mengerahkan semua, belum tentu aku akan kuat melawannya. Sungguh aneh, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong akan tetapi engkau memiliki sin-kang keluarga kita yang amat kuat. Bagaimana ini, anakku?!

   "Ayah, tenaga itu bukan kudapat dari mendiang suhu Hek-i Mo-ong, melainkan kuwarisi dari mendiang kakek Suma Han....!

   "Ahhh....?!

   Ceng Liong lalu menceritakan tentang pengoperan tenaga sin-kang dari kakeknya, sebelum terjadi malapetaka menimpa keluarga Pulau Es itu. Mendengar cerita ini, bukan main girang rasa hati Suma Kian Bu. Wajahnya berseri gembira dan matanya bercahaya.

   "Ah, jadi kakekmu telah mengoperkan tenaga sin-kang kepadamu? Bukan main! Kepada putera-puteranya sendiri beliau tidak melakukan hal ini! Engkau menerima pengoperan sumber tenaga yang amat hebat, anakku, dan kalau engkau mampu menghimpun dan mempergunakannya, sungguh tenaga itu amatlah dahsyatnya. Sumber tenaga itu mengandung tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang yang sudah tergabung. Akan tetapi.... sayang, engkau telah mempelajari ilmu-ilmu kotor dari Hek-i Mo-ong....!

   "Maaf, ayah. Akan tetapi apakah ayah lupa akan nasihat-nasihat ayah dahulu yang pernah kuterima dan masih kuingat? Ayah, kita harus melihat kenyataan. Ilmu apakah yang kotor dan bersih? Bukankah segala ilmu, segala benda, hanya dapat ditentukan bersih kotornya tergantung dari pada si pemakai?!

   Ucapan pemuda itu memang tepat sekali. Kita ini sudah biasa menilai-nilai, sudah biasa menentukan pendapat akan sesuatu, memisah-misahkan menjadi yang baik dan yang tidak baik. Padahal, segala ilmu, segala benda di dunia ini baru mempunyai predikat baik atau buruk kalau sudah dipergunakan manusia. Penggunaannya itulah yang mengandung baik atau buruk, bukan si ilmu atau si benda itu sendiri. Sebatang pisau umpamanya, apakah pisan itu benda baik atau buruk?

   Tentu saja pisau ya pisau, sebuah benda mati, tidak baik tidak buruk. Baru disebut buruk kalau orang mempergunakan pisau itu untuk menusuk perut orang lain, untuk membunuh atau melukai, benda itu menjadi bernoda dan menjadi buruk. Akan tetapi sebaliknya, kalan pisau itu dipergunakan untuk merajang bumbu masak, untuk membuat kerajinun tangan, untuk keperluan pembedahan dan banyak lagi kegunaan yang baik, benda itupun menjadi benda baik. Demikian pula dengan ilmu. Apapun macamnya ilmu itu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, menjadilah ia ilmu jahat, kalau untuk kebaikan, menjadi ilmu baik. Jadi, baik buruk hanya terdapat dalam penilaian yang timbul karena adanya penggunaan.

   Suma Kian Bu menarik napas panjang.

   "Engkau benar, akan tetapi jangan keliru. Di dalam ilmu silat terdapat ajaran-ajaran yang mengandung kekejian dan kecurangan, dan hal-hal semacam itu tidak akan dipergunakan oleh seorang pendekar.!

   Pemuda itu mengangguk.

   "Aku mengerti, ayah. Keji dan curang hanya terdapat dalam batin seorang yang menyeleweng daripada kebenaran, yang batinnya dilanda kebencian. Biarpun mendiang suhu mengajarkan banyak pukulan beracun dan kecurangan-kecurangan lain dalam ilmu silat, aku tidak akan mempergunakannya untuk mencelakai orang. Betapapun juga, ilmu-ilmu itu tetap masih berguna, misalnya untuk melindungi diri dari malapetaka.!

   Kembali pendekar itu mengangguk-anguk. Dia merasa gembira sekali melihat betapa puteranya yang baru berusia enam belas tahun itu telah memiliki pandangan yang luas dan matang.

   "Ceng Liong, engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es. Karena itu, engkau harus mewarisi ilmu-ilmu keluarga kita. Engkau dipilih o1eh mendiang kakekmu untuk mewarisi tenaga yang mujijat, sumber tenaga sin-kang itu. Akan tetapi ilmu-ilmu keluarga kita, belum kau kuasai sepenuhnya, baru kau ketahui dasar-dasarnya dan teori-teorinya belaka. Maka, mulai sekarang, engkau harus menerima latihan-latihan dariku secara tekun agar kelak tidak akan mengecewakan menjadi keturunan kakekmu di Pulau Es.!

   Demikianlah, mulai hari itu, Suma Ceng Liong kembali menerima gemblengan-gemblengan, sekali ini dari ayahnya sendiri yang menurunkan semua ilmu-ilmu Pulau Es kepada puteranya. Ceng Liong sudah memiliki dasar yang kuat, juga sudah mewarisi tenaga kakeknya, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk memahami ilmu-ilmu keluarganya.

   Bahkan diam-diam pemuda yang cerdik ini dapat menciptakan ilmu-ilmu gabungan antara ilmu keluarga Pulau Es dan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong. Tentu saja penggabungan dua ilmu yang amat tinggi itu hasilnya hebat sekali dan semua ini dilakukan secara diam-diam oleh Ceng Liong, bahkan ayahnya sendiripun tidak diberi tahu. Selama beberapa tahun Ceng Liong digembleng oleh ayahnya, bahkan ibunya juga mengajarkan semua ilmunya, termasuk ilmu sihirnya!

   Tanpa terasa tiga tahun telah lewat. Tiga tahun yang merupakan waktu penggemblengan bagi para tokoh muda kita dalam cerita ini. Dan sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui dan Suma Ciang Bun, enci adik yang bernasib malang itu.

   Seperti telah kita ketahui, enci adik inipun menerima gemblengan yang amat keras dan tekun dari ayah mereka sendiri, yaitu pendekar sakti Suma Kian Lee dan ibu mereka, pendekar wanita Kim Hwee Li. Karena ayah bunda mereka khawatir kalau-kalau kedua orang anak mereka itu takkan dapat mengalahkan Louw Tek Ciang musuh besar mereka, maka keduanya menurunkan semua ilmu mereka. Kedua orang muda itu mewarisi semua ilmu keluarga Pulau Es dari ayah mereka, bahkan ibu mereka menurunkan pula ilmu-ilmunya termasuk ilmu menaklukkan ular.

   Dengan bekal banyak ilmu, Suma Hui dan Suma Ciang Bun meninggalkan Thian-cin, pergi mencari musuh besar mereka, yaitu Louw Tek Ciang. Bukan hanya mencari murid ayah mereka yang jahat dan murtad itu, akan tetapi juga hendak mencari musuh-musuh yang telah menimbulkan malapetaka di Pulau Es, yaitu Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan kawan-kawan mereka.

   Tentu saja mereka tidak tahu bahwa para tokoh yang pernah melakukan penyerbuan ke Pulau Es itu telah meninggal dunia. Dan mereka tidak tahu pula bahwa musuh besar mereka, Louw Tek Ciang, telah berada di tempat yang amat sukar untuk didatangi karena pemuda itu beruntung sekali terpilih oleh keluarga Cu untuk menjadi murid keluarga sakti itu dan berada di Lembah Naga Siluman, digembleng oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, bersama Pouw Kui Lok pemuda murid Kun-lun-pai itu.

   Tentu saja semua usaha enci dan adik itu untuk mencari musuh-musuh mereka tak kunjung berhasil. Akan tetapi mereka tidak mau pulang ke Thian-cin sebelum berhasil, terutama sebelum berhasil mencari Louw Tek Ciang. Dan untuk lebih mudah mencari, akhirnya mereka berpencar dan berpisah, dengan perjanjian bahwa enam bulan kemudian, sebulan sebelum tiba hari raya Sin-cia (Hari Raya Musim Semi), mereka akan saling jumpa di kota raja untuk kemudian bersama-sama pulang dahulu ke Thian-cin, berhasil maupun tidak.

   Selama melakukan perjalanan bersama encinya, Suma Ciang Bun juga melakukan segala usaha untuk mengatasi masalah dirinya sendiri. Dibantu oleh encinya, dia berusaha untuk menyelidiki keadaan dirinya yang mempunyai kelainan di bidang sex, tidak seperti pria pada umumnya. Dia melakukan penyelidikan mengapa dirinya memiliki kelainan seperti itu agar dia dapat mengobatinya kalau hal itu merupakan penyakit, dan merobahnya kalau memang seharusnya demikian. Dengan latihan pernapasan dia mencoba untuk mengatasi masalah tubuhnya.

   Dari penyelidikannya bersama Suma Hui, dia dapat menemukan kesimpulan. Ada berbagai kemungkinan yang mungkin dapat menimbulkan kelainan itu. Pertama, pengaruh sekeliling. Kalau seorang anak laki-laki sejak kecil lebih dekat dengan ibunya, lebih banyak bergaul dengan anak perempuan, maka kebiasaan-kebiasaan dan selera-selera wanita dapat mempengaruhinya dan menular kepada anak laki-laki itu yang lambat laun bisa saja memberinya selera wanita sehingga dia lebih menyenangi apa yang disukai wanita daripada laki-laki biasa.

   Dan hal inipun dapat saja membuat dia lebih condong merasa peka dalam soal sex terhadap seorang pria daripada terhadap seorang wanita. Ke dua, terjadinya suatu peristiwa yang hebat dan mengguncangkan batin, misalnya kekecewaan berulang kali dengan wanita, mungkin saja dapat membuat hati seorang pria menjadi hambar terhadap wanita dan dia mengalihkan perhatian untuk melepaskan gairah sexnya kepada pria lain, atau karena di samping kekecewaan terhadap wanita itu kebetulan dia bertemu dengan seorang sahabat pria yang amat menyenangkan dan disayangnya.

   Ketiga, seorang pria yang bertemu dengan seorang pria lain yang memiliki kelainan seperti itu, dapat saja terpengaruh dan ketularan. Dan ke empat, kelainan pada tubuh, pada kelenjar-kelenjar dan mungkin syaraf, dapat pula mendatangkan kelainan selera di bidang sex seperti yang dialaminya itu. Dari penyelidikan dia dan encinya, dia menarik kesimpulan bahwa sebab-sebab lain itu tidak pernah terjadi pada dirinya sehingga satu-satunya kemungkinan adalah bahwa memang terdapat kelainan di dalam tubuhnya.

   Dan hal ini tentu saja hanya dapat diatasi dengan pengobatan jasmani. Akan tetapi, siapakah yang akan mampu memberi obat? Pula, berkali-kali Ciang Bun bertanya kepada batin sendiri. Adakah dia menghendaki dirinya berobah? Dan jawabannya adalah : Tidak! Dia suka berdekatan dengan pria, dan hal ini sama sekali bukan hal yang aneh baginya, bahkan terasa wajar. Kalaupun dia menjadi prihatin adalah karena dia melihat betapa pria pada umumnya tidak demikian, sehingga dia seolah-olah merasa ganjil dan terasing.

   "Bun-te,! kata Suma Hui setelah mereka berdua berbincang-bincang tentang hal dirinya.

   "Engkau adalah seorang gagah, keturunan keluarga Pulau Es. Bagaimanapun juga beratnya, engkau tentu kuat untuk melawan dorongan yang tidak wajar itu. Kalau perlu, kita tidak usah berurusan dengan cinta berahipun kita akan kuat!

   Pergunakanlah tenaga dalam untuk melawan dorongan-dorongan tidak wajar itu, dan kalau engkau belum dapat menemukan obatnya, lawan saja dengan tenaga sakti. Pendeknya, engkau jangan menurutkan dorongan hasrat hati sehingga melakukan perbuatan yang ganjil. Apa sih sukarnya melawan dorongan berahi? Kita kan sudah terlatih.!

   Suma Ciang Bun mengangguk dan menarik napas panjang.

   "Benar, enci. Memang hal ini tidak perlu dipersoalkan, tidak perlu dijadikan masalah. Ternyata yang paling berat adalah karena adanya pertentangan dalam batinku. Kalau kudiamkan saja dan kuanggap sebagai sesuatu yang wajar, dan aku tidak menurutkan dorongan hasrat nafsu, sebetulnya juga tidak ada apa-apa.!

   Demikianlah, setelah berpisah dari encinya, Ciang Bun dapat menguasai diri sepenuhnya. Dia tidak lagi mau memaksa diri untuk menjauhi pria ataupun berusaha mendekati wanita, melainkan memandang dan mengikuti saja hasrat yang tenggelam timbul di batinnya sebagai dorongan naluri jasmaninya. Dan dia mengerti bahwa satu-satunya jalan terbaik untuk penyaluran hasratnya tanpa menyinggung orang lain adalah kalau dia dapat bertemu dengan seorang pria yang mempunyai masalah yang sama dengan dirinya!

   Akan tetapi, hal inipun merupakan suatu kesukaran tersendiri. Pria yang tidak diganggu kelainan akan dapat memilih di antara laksaan wanita dan tentu akan bertemu dengan seorang yang disukainya. Akan tetapi, berapa banyak adanya pria seperti dia? Audaikata adapun tentu tidak akan terang-terangan mengaku dan sukar dikenal dari keadaan lahirnya saja. Tentu hanya ada beberapa orang saja dan andaikata bertemu dengan satu dua orang yang sama keadaannya dengan dia, belum tentu dia menyukai orang itu.

   Maka, Ciang Bun mengambil keputusan untuk berdiam diri saja dan melihat perkembangam hidupnya tanpa banyak mengeluh dan tanpa bunyak menentang. Keadaan jasmaninyalah yang membuatnya seperti itu, bukan keadaan batinnya. Namun, untuk sementara, kekuatan batinnya dapat menundukkan jasmaninya, sehingga dia tidaklah menderita lagi.

   Suma Ciang Bun kini sudah dewasa. Usianya sudah dua puluh tiga tahun. Kumis tipis mulai tumbuh bersama jenggot tipis. Mukanya yang bulat dengan kulit yang agak gelap membuat dia nampak gagah, dan keadaan dirinya membuat wataknya yang memang pendiam itu menjadi semakin serius.

   Pakaiannya selalu rapi dan indah karena dia memang suka akan pakaian yang halus dan indah. Kesukaan akan pakaian yang merupakan satu di antara kecondongannya seperti wanita ini tidak ditekannya dan Ciang Bun selalu mengenakan pakaian yang rapi dan rambutnya selalu disisir dan dikuncir dengan rapi pula. Pemuda ini selalu nampak bersih dan tampan sekali.

   Kalaupun ada nampak sifat kewanitaannya mungkin hanya pada kerling matanya. Biji matanya bergerak tanpa mukanya ikut bergerak, seperti kebiasaan wanita mengerling ke kanan kiri. Akan tetapi kebiasaan inipun tidak akan mudah diketahui orang kalau tidak amat memperhatikannya. Sepasang siang-kiam yang tergantung di punggungnya juga bergagang indah, dengan ronce-ronce merah. Bahkan untuk memilih senjata rahasiapun dia memilih jarum-jarum halus yang berbau harum! Senjata rahasia ini dia peroleh dan dia pelajari dari ibunya.

   Dandanan dan sikapnya yang halus pendiam itu tentu akan membuat dia disangka seorang pelajar daripada seorang pendekar, kalau saja tidak nampak sepasang pedang di punggungnya. Pada waktu itu, untuk mengurangi terjadinya kekerasan, pemerintah melarang orang berlalu-lalang membawa senjata tajam. Akan tetapi, para pendekar tidak mengabaikan larangan ini dan memang bagi para pendekar,bukan penjahat, larangan itu tidak begitu menekan. Apalagi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es yang amat dikenal oleh para pejabat tinggi. Bagaimanapun juga, keluarga Pulau Es masih mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga kaisar.

   Hari masih pagi ketika dia memasuki taman umum di kota raja itu. Sejak kemarin dia berada di kota raja, sesuai dengan janji yang telah diadakan dengan encinya, enam bulan yang lalu. Selama ini dia merantau dan mencari jejak musuh-musuhnya tanpa hasil. Dia telah berpencar dengan encinya, encinya mengambil jalan barat dan dia mengambil jalan timur.

   Dia telah merantau memasuki Propinsi An-hwi, Ce-kiang, Kian-su dan Shan-tung. Banyak pengalaman dirasakan dan perjalanan berbulan-bulan sendirian itu membuat pemuda ini menjadi semakin matang. Banyak pertemuan dengan penjahat-penjahat dan di manapun dia berada, dia selalu menentang para penjahat. Akan tetapi belum pernah dia bertemu dengan Louw Tek Ciang atau musuh-musuh lain, bahkan menemukan jejak merekapun tidak pernah.

   Janji pertemuannya dengan Suma Hui di kota raja, di dalam taman umum itu, masih beberapa hari lagi. Dia datang terlampau pagi dan memang dia ingin melihat-lihat dan berjalan-jalan di kota raja yang indah. Dan pagi hari itu dia memasuki taman, bukan untuk bertemu dengan encinya karena memang belum waktunya, melainkan untuk pelesir. Dia mengenakan pakaian serba biru sehingga wajahnya nampak semakin gagah. Taman itu sudah mulai dibanjiri tamu.

   Terdapat kolam-kolam ikan dengan bunga teratainya. Juga banyak terdapat kedai-kedai arak yang diatur indah menarik. Ada pula beberapa buah pondok yang menjulang ke kolam teratai di mana orang dapat bersembunyi diri menikmati ikan-ikan di kolam, atau termenung sendirian melihat bunga-bunga teratai yang beraneka warna. Sebuah telaga buatan yang cukup lebar berada di ujung taman dan di situ para pelancong dapat berperahu sambil minum arak.

   Ciang Bun merasa perutnya lapar karena ketika meninggalkan kamar hotel di pagi hari itu dia belum sarapan. Dimasukinya sebuah di antara kedai-kedai arak itu. Ketika dia masuk, di ruangan itu sudah terdapat beberapa orang pelancong dan ada pula beberapa orang gadis dari keluarga hartawan yang duduk di situ. Mereka ini segera mengangkat muka memandang kagum kepada Ciang Bun. Pemuda ini tidak merasa aneh dengan pandangan ini. Di manapun banyak dia menerima pandang mata seperti itu dari para wanita dan diapun bersikap wajar, tersenyum sedikit lalu memilih tempah duduk di sudut. Seorang pelayan menghaanpirinya dan diapun memesan beberapa butir bak-pauw dan air teh panas. Dia tidak biasa minum arak di pagi hari.

   Bukan hanya para wanita yang memandang kagum melihat kegagahan pemuda yang baru masuk ini, akan tetapi juga para tamu pria memandang, tertarik melihat sepasang pedang yang tergantung di punggung itu. Ciang Bun tidak memperdulikan semua perhatian yang ditujukan kepadanya dan dia segera makan bak-pauw dan minum teh panas sambil memandang lurus ke depan.

   Akan tetapi, di sebelah depannya, di meja yang berdekatan, terdapat seorang pemuda lain yang juga sedang duduk sendirian, agaknya sudah selesai makan minum karena ada mangkok bubur kosong di depannya, juga cangkir teh. Dan kini pemuda itu sedang mencoret-coret menggunakan pencil buhr di atas sehelai kertas putih, nampaknya asyik sekali.Berdebar rasa jantung dalam dada Ciang Bun, akan tetapi segera ditekannya perasaan itu. Kambuh kembali penyakitnya, pikirnya tak enak.

   Kenapa baru melihat saja seorang pemuda yang amat tampan ini lalu jantungnya berdebar-debar? Benarkah dia semata keranjang ini? Apakah seorang wanita juga akan berdebar seperti ini kalau melihat seorang pemuda tampan? Apakah wanita-wanita yang duduk di sana itupun berdebar ketika melihat dia masuk dan mereka tadi memandang kepadanya?

   Tanpa menggerakkan mukanya yang kini dimiringkan agar tidak lurus memandang ke depan, Ciang Bun mengerling ke arah pemuda itu. Seorang pemuda yang masih amat muda, paling-paling baru tujuh belas atau delapan belas tahun usianya. Pakaiannya sederhana, berwarna hijau. Tubuhnya agak kecil kurus, akan tetapi wajahnya sungguh amat menarik hati. Wajah itu berbentuk tampan bukan main, dengan hidung kecil mancung, mulut kecil yang mengarah senyum, sepasang mata yang hidup dan tajam menatap kertas yang dicoretinya.

   Rambutnya dikuncir besar karena rambut itu hitam gemuk dan panjang. Alisnya hitam dan agak terlalu tebal, akan tetapi bulu matanya lentik panjang. Seorang pemuda yang amat tampan, terlalu tampan malah, seperti seorang wanita saja. Akan tetapi bulu alis tebal itu jelas bukan alis wanita.

   Agaknya pemuda remaja itu sudah selesai menulis. Kini dia menyimpan alat tulisnya di dalam buntalan pakaian yang berada di atas meja, sambil tersenyum-senyum sendiri dia mengambil kertas itu dan diangkatnya untuk dibaca. Karena Ciang Bun duduk arah belakangnya, tentu saja Ciang Bun dapat ikut pula membaca tulisan itu yang ditulis dengan huruf besar dan indah. Tulisan indah bersajak! Ciang Bun membacanya cepat.

   Pergi merantau seorang diri

   Berkelana menjelajah negeri

   Pamer senjatamenimbulkan ngeri

   Apakah hanya untuk menaknti?

   Wajah Ciang Bun berobah merah. Biarpun tidak secara langsung, bukankah isi sajak itu menyirdir, bahkan mengejeknya? Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa semua tamu yang berada di situ tidak ada yang membawa senjata. Dialah satu-satunya orang yang membawa pedang dan karena pedangnya itu tergantung di punggung, maka disebut pamer oleh si penulis sajak.

   Akan tetapi penulis itu mengejeknya, mengatakan bahwa senjatanya itu hanya untuk menakut-nakuti! Sungguh pemuda remaja ini usil, lancang, akan tetapi jenaka dan tulisannya halus indah, dengan goresan-goresan aneh seperti yang biasa terdapat pada tulisan seorang asing. Ciang Bun semakin tertarik dan memperhatikan. Hatinya tidak marah oleh sindiran dan ejekan itu, bahkan diapun merasa geli dan lucu. Pemuda bengal, pikirnya, akan tetapi menarik hati. Ingin diaberkenalan dengannya. Sekedar berkenalan karena selama ini dia malah menjauhkan diri dari para pemuda. Kini dia tidak perlu khawatir. Dia sudah dapat menguasai hatinya dan pula, pemuda itu masih remaja dan diapun hanya ingin bersahabat, tidak lebih.

   Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu memanggil pelayan dengan suaranya yang lantang dan benar dugaannya, pemuda remaja itu mempunyai suara yang nadanya asing. Setelah membayar harga makanan, pemuda remaja itu bangkit berdiri, menyandang buntalannya yang cukup panjang, lalu melangkah ke luar. Akan tetapi ketika lewat di dekat Ciang Bun, pemuda remaja itu mengerling dan tersenyum, kerling dan senyum yang mengejek. Ciang Bun membalas senyuman itu, senyuman yang mengandung kesabaran dan menawarkan persahahatan. Akan tetapi pemuda remaja itu membuang muka dan melangkah lebar keluar dari kedai arak.

   Ciang Bun menarik napas panjang dan menenteramkan hatinya. Terasa benar olehnya bahwa penyakit pada dirinya itu belum sembuh. Kalau selama ini dia tidak merasakan getaran seperti ini, getaran yang harta pertama kali dirasakan ketika dia berada di Pulau Nelayan bersama Liu Lee Siang, adalah karena memang hatinya tidak pernah tertarik oleh seorang pemuda seperti halnya Lee Siang atau pemuda remaja ini. Biarpun dia lebih condong menyukai pria, akan tetapi tidak sembarang pria membuatnya berdebar seperti ini.

   Setelah membayar harga makanan, Ciang Bun bangkit berdiri dan dengan keputusan hati untuk segera melupakan pemuda tampan tadi, diapun melangkah keluar dari kedai arak. Dia berjalan-jalan di taman itu dan tertarik oleh keadaan telaga buatan, dia menyewa sebuah perahu sambil membeli seguci arak karena akan nikmat sekali naik perahu miuum arak nanti kalau matahari sudah naik agak tinggi.

   Taman ini indah sekali. Dahulu merupakan taman pribadi milik kaisar.Akan tetaapi sejak kaisar Kian Liong bertahta, kaisar yang mencinta atau lebih dekat dengan rakyat dibandingkan kaisar-kaisar terdahulu, membuka taman itu menjadi taman umum yang boleh dikunjungi rakyat. Kaisar Kian Liong memang bijaksana dan pandai menyenangkan hati rakyatnya, maka di jaman pemerintahannyalah rakyat merasa lebih tenteram hidupnya.

   Ciang Bun mendayung perahunya berputar-putar di telaga buatan itu. Semua orang yang berada di sekitar tempat itu, tidak ada yang tidak berseri wajahnya tanda bahwa mereka semua bergembira. Ketika Ciang Bun mendayung perahunya tiba di dekat sebuah pondok kecil yang berada di atas permukaan air di tepi telaga, tiba-tiba dia mendengar suara lantang disertai ketawa mengejek.

   "Ha-ha, Siang-kiam taihiap (Pendekar Besar Sepasang Pedang) nongol lagi memamerkan pedangnya!!

   Ciang Bun menghentikan dayungnya dan mengangkat muka. Kiranya pemuda remaja yang tadi sedang nongkrong di pondok itu, menjenguk keluar dari sebuah jendela kecil dan tersenyum mengejek. Mendongkol juga rasa hati Ciang Bun. Pemuda itu sungguh bengal, suka menggoda orang. Akan tetapi dia masih dapat menahan rasa marahnya dan sambil tersenyum ramah diapun berkata.

   "Bersama pedang menjelajah negeri bukan pamer bukan menakuti sekedar alat pembela diri harap adik jangan salah mengerti!!

   Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak.

   "Aihh, kiranya engkau adalah seorang terpelajar, pandai bersajak, bukan tukang pukul yang suka menakut-nakuti orang!!

   Ciang Bun tersenyum.

   "Aku seorang biasa saja yang suka bersahahat. Kalau adik suka, kita boleh berkenalan dan menunggang perahu bersama.!

   Sepasang mata itu bersinar-sinar.

   "Benarkah? Engkau tidak marah kepadaku karena aku telah mengganggumu tadi?!

   Ciang Bun tersenyum dan menggeleng kepalanya. Hatinya merasa semakin tertarik dan suka kepada pemuda remaja itu yang biarpun bengal akan tetapi ternyata pandai membawa diri dan juga jujur, mau mengakui kesalahannya. Buktinya, dia kini mengaku terus terang bahwa tadi telah mengganggunya.

   "Engkau gembira dan jenaka, bukan mengganggu melainkan bicara sebenarnya. Di jaman sekarang memang banyak orang berlagak, dan engkau tadi menganggap aku tukang menjual lagak, jadi sajakmu tadi wajar saja.!

   Pemuda remaja itu nampak semakin gembira.

   "Ah, begitukah? Kalau begitu, biar aku ikut naik perahu bersamamu.!

   Gembira sekali rasa hati Ciang Bun.

   "Tunggu, akan kudaratkan perahu ini....!!Tidak usah. Awas, aku melompat turun!! Dan tiba-tiba saja pemuda remaja itu sudah meloncat keluar dari jendela itu, meluncur turun ke atas perahu yang jaraknya masih cukup jauh. Ciang Bun terkejut bukan main, akan tetapi dia memandang kagum ketika pemuda itu sudah tiba di dalam perahu dan perahu itu sama sekali tidak terguncang seolah-olah yang tiba di dalam perahu dari atas itu hanya sehelai daun kering saja. Dia terkejut dan kagum, tahu bahwa pemuda remaja ini memiliki gin-kang yang amat hebat.

   "Aih, kiranya engkau lah sebenarnya seorang taihiap!! katanya jujur.

   "Sungguh malu sekali aku yang tidak bisa apa-apa ini berani membawa-bawa pedang di depan seorang pendekar lihai sepertimu ini.!

   Pemuda rernaja itu tertawa dan wajahnya nampak semakin muda dan tampan.

   "Sudahlah, toako, tak perlu merendahkan diri. Dari sikapmu menanggapi gangguanku dan pujianmu tadi, menunjukkan bahwa engkau berhati lapang dan juga berwatak rendah hati. Dan sikap ini hanya dimiliki oleh orang yang sudah patut disebut pendekar. Pula, siapa lagi kalau bukan pendekar yang lihai yang berani membawa-bawa pedang secara berterang, di kota raja pula?!

   Seorang pemuda yang ahli gin-kang dan juga cerdik, pikir Ciang Bun. Juga nada suaranya jelas menunjukkan lidah asing, walaupun bicaranya cukup lancar. Tentu seorang pemuda asing yang sudah lama berada di sini atau yang mempelajari Bahasa Han dengan baik.

   "Siauw-te, tak perlu engkau memuji. Akan tetapi sungguh gin-kangmu yang kau perlihatkan tadi mengagumkan hatiku. Dan mendengar suaramu, agaknya engkau adalah seorang yang datang dari jauh. Kalau boleh aku bertanya, siapakah namamu dan dari mana engkau datang?!

   "Akupun seorang pengembara seperti engkau, toako, hanya saja aku datang jauh dari luar negeri, dari barat. Dan karena orang tuaku kagum akan kebesaran Sungai Gangga, aku diberi nama Ganggananda (Putera Sungai Gangga).!

   "Ahh....! Kalau begitu engkau tentu datang dari See-thian (Negara Barat). Akan tetapi kulitmu putih dan mukamu, biarpun agak asing, tidak jauh bedanya dengan muka bangsa kami. Dan semuda ini engkau sudah berani merantau sejauh itu. Bukan main! Padahal, usiamu tentu baru lima belas atau enam belas tahun, masih belum dewasa benar.!

   "Siapa bilang? Aku sudah berusia delapan belas tahun! Dan aku sudah merantau selama satu tahun lebih. Girang sekali hari ini di kota raja dapat bertemu dengan seorang pendekar seperti engkau, toako. Siapakah namamu?!

   Biasanya, Suma Ciang Bun segan memperkenalkan nama, apalagi nama keturunannya, karena she Suma akan mendatangkan daya tarik dan kecurigaan, membuka rahasia bahwa dia masih keturunan keluarga Suma dari Pulau Es. Memang tidak semua orang she Suma keluarga Pulau Es, akan tetapi she ini jarang terdapat sehingga menarik perhatian. Akan tetapi terhadap pemuda remaja yang jujur ini, yang amat menarik hatinya, dia tidak mau berbohong.

   "Namaku Suma Ciang Bun....!

   "Wah....! Kau tentu cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!!

   Kini wajah Ciang Bun berobah agak pucat. Tak disangkanya bahwa pemuda remaja yang asing ini begitu mendengar namanya langsung saja menebak dengan demikian tepatnya. Biarpun tokoh kang-ouw kenamaan tentu masih akan meragu.

   "Pantas saja begitu bertemu aku tertarik untuk menggoda agar dapat berkenalan denganmu!! kata lagi pemuda yang bernama Ganggananda itu.

   "Eh, Ganggananda, bagaimana engkau bisa tahu?!

   Pemuda itu tertawa.

   "Dan engkau tentu masih saudara dari Suma Ceng Liong, bukan?!

   Kini Ciang Bun terbelalak memegang lengan pemuda remaja itu.

   "Engkau mengenalnya? Engkau bertemu dengan Ceng Liong? Dia masih hidupkah?!

   Ganggananda tersenyum.

   "Tentu saja dia masih hidup, setidaknya dia masih hidup enam tujuh tahun yang lalu. Aku bertemu dan kenal dengannya ketika dia pergi ke barat.! Tiba-tiba wajah pemuda ini menjadi muram.

   "Heran sekali mengapa engkau tidak tahu dan mukamu berobah ketika mendengar namanya?!

   
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dengar, Nanda, aku berterus terang saja. Kami semua mengira bahwa Ceng Liong sudah tewas kurang lebih sembilan tahun yang lalu. Dan sekarang, bertemu denganmu mendengar bahwa dia masih hidup, sungguh amat mengejutkan dan menggembirakan.!

   "Memang dia masih hidup, akan tetapi ada hal aneh sekali yang tentu akan membuatmu menjadi semakin terkejut.!

   "Apa itu?!

   "Katakanlah dahulu. Betulkah engkau dan Ceng Liong cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalian adalah keluarga para pendekar Pulau Es?!

   "Benar, ayahku dan ayahnya adalah kakak beradik, dan Pendekar Super Sakti adalah kakak kami.!

   "Nah, itulah yang aneh. Ceng Liong cucu Pendekar Super Sakti, akan tetapi dia juga menjadi murid seorang raja iblis.!

   "Apa? Siapa?!

   "Hek-i Mo-ong!!

   "Ahhh....!! Tentu saja Ciang Bun kaget setengah mati mendengar berita ini, lebih kaget daripada berita bahwa adiknya itu masih hidup. Hek-i Mo-ong adalah raja iblis yang memimpin penyerbuan ke Pulau Es. Dialah musuh besar nomor satu. Bagaimana mungkin kini Ceng Liorg malah menjadi muridnya? Dia begitu terkejut sehingga dia memandang ke depan, jauh ke depan dan tiba-tiba wajahnya berobah pucat ketika dia melihat dua orang pria berada di dalam sebuah perahu meluncur datang dan sudah dekat.

   "Kau.... kau kenapa....?! Ganggananda memegang lengan Ciang Bun melihat pemuda itu wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi.

   "Diamlah,! bisik Ciang Bun.

   "Dan jangau mencampuri kalau aku nanti berkelahi. Aku bertemu dengan musuh besarku!!

   Perahu di depan itu kini mendekat dan yang membuat hati Ciang Bun terkejut adalah ketika dia mengenal bahwa seorang di antara dua pria yang berada di dalam perahu itu adalah Louw Tek Ciang! Dia tidak mungkin pangling. Pria itu biarpun kini sudah lebih tua, masih seperti dahulu. Pakaiannya mewah dan bibirnya masih tersenyum-senyum mengejek, pandang matanya membayangkan kecerdikan dan kelicikan. Biarpun dia belum bertemu dengan encinya, akan tetapi setelah kini melihat musuh besar itu, dia harus turun tangan membunuh orang yang telah merusak kehidupan encinya!

   Akan tetapi, agaknya Tek Ciang juga bermata tajam. Mula-mula dia tidak mengenal Ciang Bun, akan tetapi begitu Ciang Bun berdiri di dalam perahunya dan dia memandang penuh perhatian, Tek Ciang segera mengenalnya. Dengan sikap congkak dan manis dibuat-buat penuh ejekan, dia melambaikan tangan.

   "Aha, kiranya bertemu dengan adikku Ciang Bun di sini! Apa kabar, adikku?!

   Akan tetapi Ciang Bun membentak sambil mencabut sepasang pedangnya.

   "Louw Tek Ciang keparat busuk! Bersiaplah untuk mampus!!!Aihh, anak kurang ajar. Lupakah engkau bahwa aku ini kakak iparmu, juga suhengmu sendiri? Keturunan keluarga Suma memang kurang ajar semua!! Tek Ciang juga membentak. Kawannya, pemuda yang berpakaian serba hijau, memandang dengan alis berkerut. Pemuda ini adalah Pouw Kui Lok, murid Kun-lun-pai yang kini menjadi sute dari Tek Ciang itu.

   Seperti kita ketahui, dua orang ini beruntung sekali diangkat menjadi murid-murid oleh kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman, yaitu Kim-kong-sian Cu Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu. Mereka diajak ke Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya dan selama kurang lebih tiga tahun mereka menerima gemblengan dari dua orang tokoh sakti itu.

   Karena Louw Tek Ciang adalah murid Suma Kian Lee yang sudah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari pendekar Pulau Es itu, juga murid Jai-hwa Siauw-ok yang lihai, sedangkan Pouw Kui Lok adalah murid utama Kun-lun-pai, keduanya memiliki dasar yang kuat. Karena itulah, dalam waktu tiga tahun saja mereka mampu menguasai ilmu-ilmu tertinggi ciptaan Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Juga kedua orang muda itu oleh guru mereka diberi masing-masing sebuah suling emas dan mereka mahir mempergunakannya sebagai senjata.

   Setelah turun gunung, kedua orang muda itu lalu kembali ke timur dan untuk bersenang-senang setelah mereka bertapa selama tiga tahun itu, mereka pergi ke kota raja untuk bersantai. Secara kebetulan sekali, ketika mereka berdua sedangberpesiar di dalam taman itu, Tek Ciang melihat Ciang Bun yang segera dikenalnya. Tentu saja Tek Ciang merasa terkejut sekali, akan tetapi dia tidak merasa takut, malah mengejek. Selain ilmunya sendiri sudah memperoleh kemajuan pesat, juga di sebelahnya terdapat Pouw Kui Lok, seorang sutenya dan juga sahabat baiknya yang tentu akan membelanya kalan ada bahaya mengancam dirinya. Apa yang ditakutkan lagi?

   Pouw Kui Lok telah menjadi saudara seperguruan Tek Ciang dan hubungan di antara mereka akrab sekali. Tek Ciang memang seorang yang amat cerdik. Seperti ketika dia mengelabui Suma Kian Lee sehingga pendekar itu amat percaya kepadanya, ketika berada di Lembah Naga Silumanpun dia dapat membawa diri sehingga tidak nampak sama sekali sifat jahatnya. Kedua orang sakti she Cu itu menganggapnya seorang murid yang baik dan yang berwatak gagah perkasa, pantas menjadi seorang pendekar yang akan menjunjung tinggi nama dan kehormatan keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Juga Kui Lok, murid Kun-lun-pai yang berwatak pendekar itu merasa suka kepada Tek Ciang dan menganggap suhengnya ini benar-benar seorang gagah sejati. Apalagi suhengnya pernah menjadi murid, bahkan mantu pendekar sakti Suma Kian Lee keluarga Pulau Es itu.

   Dengan cerdik Tek Ciang pernah menceritakan riwayatnya kepada Kui Lok. Dia bercerita bahwa dia sebagai murid Suma Kian Lee lalu diambil mantu. Akan tetapi akhirnya keluarga Suma yang tinggi hati itu merasa menyesal karena dia hanya anak seorang guru silat yang tak ternama. Dan keluarga itu hendak memisahkan dia dari isterinya.

   Pouw Kui Lok tadinya merasa terkejut dan heran mendengar cerita itu. Sukar untuk dapat dipercaya. Akan tetapi, ketika dia menyebut nama Suma Ceng Liong sebagai murid Hek-i Mo-ong yang merupakan musuh besarnya, dia mendengar dari suhengnya bahwa Suma Ceng Liong juga cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, masih adik sepupu isterinya. Barulah timbul semacam perasaan tidak suka di hati Kui Lok dan dia percaya bahwa keluarga Suma dari Pulau Es memang congkak, tinggi hati dan condong ke arah penyelewengan, seperti dibuktikan dengan kenyataan bahwa Suma Ceng Liong menjadi murid Hek-i Mo-ong, dan keluarga Suma Kian Lee bersikap tidak adil terhadap Tek Ciang. Bukan hanya Kui Lok yang terpengaruh. Saking pandainya Tek Ciang bersikap dan bicara, kedua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang tadinya kagum kepada keluarga Pulau Es, kinipun merasa tidak senang.

   "Engkau atau aku yang mati!! bentak Ciang Bun yang sudah mencabut sepasang pedangnya dan pemuda ini meloncat ke arah perahu di depan. Ganggananda menjadi bingung dan menahan agar perahu yang terguncang itu tidak sampai terguling, kemudian dia cepat mendayung perahu agak menjauh sambil memandang dengan alis berkerut dan hati khawatir. Dia tidak tahu harus berbuat apa karena sahabat barunya itu tidak bercerita tentang musuh besarnya. Dia tidak tahu bagaimana urusannya. Apalagi ketirka mendengar betapa orang yang diserang Ciang Bun tadi bicara seperti kakak ipar Ciang Bun sendiri, dia menjadi semakin bingung dan tidak berani sembarangan mencampuri.

   "Trang.... trangg....!! Bunga api berpijar ketika sepasang pedang di tangan Ciang Bun yang menyerang itu ditangkis oleh suling di tangan Tek Ciang. Pemuda yang baru saja turun dari Lembah Naga Siluman ini terkejut ketika menangkis sepasang pedang Ciang Bun. Tadinya dia mengira bahwa tingkat kepandaian Ciang Bun tentu tidak banyak bedanya dengan dahulu.

   Maka dia tadi mengerahkan tenaga untuk menangkis dengan keyakinan bahwa tangkisan itu akan membuat sepasang pedang lawan terpental. Akan tetapi ternyata ketika sulingnya bertemu dengan sepasang pedang, dia merasa lengannya tergetar dan tenaga bekas adik iparnya itu bukan main kuatnya. Di lain pihak, Ciang Bun juga kaget sekali karena selain tiba-tiba saja musuh besar itu memiliki senjata aneh, sebatang suling emas yang digerakkan menangkis dengan tenaga dahsyat, juga suling itu mengeluarkan suara melengking yang seolah-olah menusuk telinganya. Akan tetapi karena hati Ciang Bun sudah penuh kemarahan dan dendam, dia tidak perduli akan kenyataan itu dan diapun sudah menggerakkan sepasang pedangnya lagi, menyerang dengan dahsyat. Terjadilah perkelahian sengit di atas perahu kecil itu.

   Pouw Kui Lok yang masih duduk di ujung perahu sambil memegang dayung, menjadi bingung melihat perkelahian seru di atas perahu kecil itu. Seperti juga Ganggananda, diapun tidak tahu harus berbuat apa. Bedanya, kalau Ganggananda tidak tahu urusannya, dia sendiri sudah tahu dan karenanya tidak berani lancang mencampuri. Bukankah urusan autara suhengnya dan keluarga Suma adalah urusan pribadi? Perahu terguncang hebat dan dengan susah payah Kui Lok berusaha menahan dengan dayungnya agar perahu tidak sampai terguling.

   Tingkat kepandaian Ciang Bun pada waktu itu sungguh tak dapat dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Semenjak ayahnya sadar akan kekeliruannya, pendekar itu menggembleng Suma Hui dan Ciang Bun dengan tekun sehingga kedua orang anaknya itu memperoleh kemajuan pesat sekali. Akan tetapi, lawannya sekarang adalah Louw Tek Ciang yang bukan saja telah mengenal semua ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi di samping itu juga telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari para datuk Ngo-ok melalui gurunya yang lain, yaitu Jai-hwa Siauw-ok.

   Apalagi setelah selama tiga tahun dia digembleng oleh orang-orang sakti she Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu saja tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Ciang Bun. Maka, biarpun Ciang Bun menggerakkan siang-kiamnya dan menyerang dengan sengit, tetap saja Tek Ciang dapat menguasai keadaan. Dia mengenal jurus-jurus gerakan Siang-mo Kiam-hoat yang dimainkan Ciang Bun. Sebaliknya Ciang Bun sama sekali tidak mengenal ilmu serangan yang dimainkan dengan suling itu, yang penuh dengan totokan-totokan amat berbahaya. Dia terdesak hebat dan menjadi bingung.

   Betapapun juga, karena mereka berkelahi di atas perahu kecil yang terombang-ambing, tentu saja gerakan meraka tidak sempurna benar. Sebagian dari perhatian mereka dikerahkan untuk menjaga agar tubuh mereka jangan sampai terjungkal jatuh keluar perahu. Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Tek Ciang yang lebih unggul belum juga mampu merobohkan Ciang Bun yang melawan dengan gigih. Karena maklum akan kelihaian lawan yang ternyata memiliki tenaga amat kuat dan dapat memainkan suling itu sedemikian aneh dan berbahaya, Ciang Bun memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya, dua gulung sinar menyelimuti tubuhnya, merupakan perisai yang kokoh kuat dun sukar ditembus.

   Tek Ciang menjadi penasaran sekali. Dia tahu bahwa kalau mereka berkelahi di darat, tentutidak akan begitu sukar baginya untuk merubuhkan pemuda ini. Perahu yang terombang-ambing dan miring ke sana-sini itu sungguh membuat gerakannya amat sukar dan tidak leluasa, bahkan besar bahayanya dia akan terkena senjata lawan yang selain lebih panjang juga berjumlah dua itu. Maka tiba-tiba dia lalu merendahkan tubuhnya, mengerahkan tenaga sakti Hoa-mo-kang, yaitu ilmu pukulan Katak Buduk yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok sebagai ilmu peninggalan mendiang Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok.!Arrghhh....!!

   Suara yang menyerupai katak berkokok keluar dari perutnya dan tangan kirinya sudah mendorong ke depan, ke arah Ciang Bun. Serangkum angin pukulan dahsyat yang mengandung bau amis sekali menyambar. Ciang Bun terkejut bukan main. Dia maklum akan datangnya pukulan jahat. Cepat dia miringkan tubuh untuk mengelak sambil meloncat, akan tetapi karena perahu miring, dia terpeleset. Sebelum dia mampu mengatur keseimbangan tubuhnya, suling di tangan Tek Ciang meluncur. Ciang Bun masih dapat melihat sinar kuning emas menyambar pusarnya dan dalam keadaan miring hampir jatuh itu dia merendahkan tubuhnya agar suling tidak mengenai tempat berbahaya. Dia mengerahkan sin-kang untuk menerima suling yang kini menyambar ke arah perutnya.

   "Dukk!! Sin-kang dari Pulau Es memang hebat, membuat tubuhnya kebal, akan tetapi, totokan suling itupun dahsyat sekali sehingga biarpun kulit perutnya tidak terluka, namun hawa pukulan kuat menembus dan mengguncangkan isi perut, membuat Ciang Bun menahan keluhannya karena rasa nyeri dan kepalanyapun pening. Sementara itu, kaki Tek Ciang masih menyusulkan tendangan.

   "Bukk.... byuurrr....!! Tak dapat dicegah lagi, tubuh Ciang Bun terlempar keluar dari perahu dan menimpa air telaga.

   "Ha-ha-ha-ha, mampus engkau sekarang!! Tek Ciang tertawa bergelak dan baru dia sadar bahwa dia telah membiarkan perasaannya meliar ketika dia melihat pandang mata Kui Lok terbelalak ditujukan kepadanya. Memang pemuda Kun-lun-pai itu terkejut dan ngeri melihat sikap Tek Ciang. Diapun mengenal pukulan keji tadi dan kini melihat sikap Tek Ciang demikian kejam tertawa-tawa buas, dia terheran sampai terbelalak! Tek Ciang sudah menguasai dirinya, maklum bahwa dia telah tanpa disengaja memperlihatkan perasaannya yang sesungguhnya, maka diapun menghentikan tawanya, dan menarik napas panjang.

   "Aih.... betapa tega hatiku melihat dia roboh. Pemuda itu lihai sekali dan tadi dia bersungguh-sungguh hendak membunuhku.! Ucapan ini agaknya untuk membela diri mengapa dia tadi kelihatan kejam.

   Tiba-tiba dua orang itu terkejut bukan main. Perahu mereka tiba-tiba terguncang hebat dan miring, seperti ada yang membalikkannya dari bawah! Tentu saja Tek Ciang sama sekali tidak tahu bahwa biarpun sudah terkena pukulan dan tendangannya, namun Ciang Bun belum tewas dan begitu tubuhnya terlempar ke dalam air, pemuda ini bahkan menjadi semakin berbahaya!

   Dia tidak tahu bahwa Ciang Bun telah memiliki ilmu dalam air yang jarang tandingannya, berkat latihan yang diperolehnya dari keluarga di Pulau Nelayan.Bagaikan seekor ikan, walaupun sudah terluka, Ciang Bun dapat menyelam, menyimpan sepasang pedangnya dan kini dia berusaha menggulingkan perahu yang ditumpangi Tek Ciang dan kawannya. Kalausampai Tek Ciang dapat terlempar ke air,dia yakin akan dapat membunuh musuh besar itu!

   "Hei, apa ini....?! Tek Ciang berseru kaget dan mengatur keseimbangan tubuhnya.

   "Ada yang hendak menggulingkan perahu!! Kui Lok juga berseru kaget. Mereka melongok ke bawah dan melihat kepala Ciang Bun nongol. Dengan marah Tek Ciang lalu memukul ke arah kepala itu, akan tetapi kepala itu menyelam dan lenyap. Kemudian perahu terguncang lagi dan tiba-tiba ada pedang menembus dasar perahu yang tentu saja menjadi bocor! Air memasuki perahu dari bawah!

   "Celaka! Perahu bocor....!! seru Tek Ciang dan tiba-tiba dia tersentak kaget ketika ada pedang menyambar dari luar perahu. Kiranya, dengan kecepatan seperti ikan berenang Ciang Bun sudah muncul lagi dan menyerangnya dari luar perahu. Tek Ciang cepat mengelak dan siap untuk melawan, akan tetapi tubuh Ciang Bun sudah lenyap menyelam lagi. Kini kembali terasa guncangan-guncangan dan perahu itupun berlubang-lubang karena ditusuki dari bawah oleh Ciang Bun!

   "Ah, iblis itu pandai bermain di air!! kata pula Tek Ciang terbelalak kaget dan khawatir.

   "Berbahaya! Kita harus pergi dari sini!! Pouw Kui Lok juga berseru kaget melihat betapa dengan cepat air memasuki perahu yang hampir tenggelam.

   "Byarrrr....!! Kembali perahu yang hampir tenggelam itu terguncang hebat, membuat kedua orang muda itu terhuyung dan pada saat itu, sinar pedang menyambar pula, membabat ke arah kaki Tek Ciang. Pemuda ini cepat meloncat, akan tetapi pedang ke dua menusuk dan biarpun dia mengelak pula, tetap saja ujung pedang menyerempet pahanya. Celananya robek berikut kulit paha dan darahpun mengucur deras.

   Tiba-tiba Pouw Kui Lok yang melihat bahaya, menyambar tubuh suhengnya yang pahanya terluka itu, membawanya melompat ke arah sebuah perahu lain yang datang mendekat. Perahu itu ditumpangi dua orang yaug agaknya melihat keributan di situ menjadi tertarik. Terkejutlah mereka melihat betapa pemuda berpakaian hijau sambil memondong seorang pemuda lain yang terluka, tiba-tiba melompat ke perahu mereka. Bukan main hebatnya lompatan pemuda itu dan mereka mengeluarkan teriakan kaget ketika Kui Lok berhasil hinggap di atas perahu bersama suhengnya.

   Akan tetapi dengan mata terbelalak Tek Ciang dan Kui Lok melihat betapa Ciang Bun berenang dengan amat cepatnya menuju ke perahu itu. Bukan main cepatnya pemuda itu bergerak dalam air. Seperti seekor ikan saja.

   "Ikan besar....!! Dua orang penumpang perahu yang masih belum hilang kagetnya itupun kini melihat Ciang Bun dan mengira bahwa ada ikan besar hendak menyerang perahu mereka. Kini Pouw Kui Lok merasa khawatir dan dengan sendirinya diapun harus melindungi dirinya. Kalau perahu terbalik, tentu diapun menjadi korban. Dia merasa ngeri menyaksikan kehebatan gerakan pemuda tampan di dalam air itu sehingga dia tahu bahwa sekali mereka terjatuh ke air, tentu nyawa suhengnya tidak akan tertolong lagi. Maka dia lalu menyambar sebatang dayung dalam perahu itu dan secepat kilat dia menggerakkan dayungnya menyerang ketika pemuda yang berenang seperti ikan itu mendekati perahu.

   

Suling Emas Naga Siluman Eps 32 Suling Emas Naga Siluman Eps 31 Suling Emas Naga Siluman Eps 25

Cari Blog Ini