Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 48


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 48



"Selamat datang, Sim Hong Bu! Aku sudah banyak mendengar tentang kelihaianmu dari bibi gurumu. Dan engkau, Cu Pek In. Ayahmu adalah seorang sahabatku yang amat baik!"

   Cu Pek In dan Sim Hong Bu memberi hormat, biarpun di dalam hatinya Cu Pek In memaki laki-laki ganteng ini, karena laki-laki inilah yang merayu hati Tang Cun Ciu, isteri dari toapeknya sehingga toapeknya itu meninggal dunia karena duka! Dan kini, dengan tak tahu malu sekali isteri toapeknya itu malah menyusul kekasihnya! Biarpun mereka itu kini menjadi pimpinan pendekar patriot, tetap saja baginya mereka mempunyai perbuatan-perbuatan yang serba busuk!itulah sebabnya mengapa Pangeran Kian Liong yang menjadi tawanan itu melihat adanya pemuda perkasa dan gadis berpakai-an pria yang bukan lain adalah Sim Hong Bu dan Cu Pek In di antara para pendekar patriot, duduk di dekat Bu-taihiap dan tiga orang isterinya yang merupakan puncak pimpinan para patriot itu.

   Tentu saja Cu Pek In tidak salah mengenal orang, dan juga dugaan Sim Hong Bu adalah benar bahwa tiga orang yang memasuki rumah penginapan itu adalah keluarga Kao. Pria gagah perkasa yang lengannya buntung itu memang adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya, Jenderal Muda Kao Cin Liong. Seperti telah kita ketahui, Jenderal Muda Kao Cin Liong diperintah oleh Kaisar sendiri untuk mencari dan merampas kembali sampai berhasil pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang lenyap dari istana. Untuk nenghadapi tugas yang amat sukar dan berat ini, Kao Kok Cu dan isterinya yang kebetulan sedang mengunjungi putera mereka, segera turun tangan dan membantu putera mereka.

   Bertiga, keluarga sakti ini telah mendatangi Lembah Suling Emas atau yang telah berganti nama baru Lembah Naga Siluman. Dengan gagah perkasa tiga orang ini menyerbu lembah itu, mengalahkan keluarga Cu yang sakti sehingga mengakibatkan dua orang sakti, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, terpaksa mengundurkan diri. Akan tetapi, kemenangan atas diri kedua orang tokoh keluarga Cu yang sakti ini, bukan berarti pedang pusaka itu dapat mereka rebut kembali. Pedang itu menurut keterangan pihak keluarga Cu yang kalah itu, berada di tangan murid mereka yang merupakan ahli waris pedang dan ilmu itu, adalah Sim Hong Bu. Demikianlah, keluarga Kao yang gagah perkasa itu melanjutkan usaha atau tugas mereka, yaitu mencari pedang pusaka yang dibawa pergi pemuda yang bernama Sim Hong Bu.

   Kemudian, dalam perjalanan mereka, keluarga Kao ini mendengar tentang geger yang dihebohkan oleh tindakan Kaisar terhadap Siauw-lim-pai, yaitu pembakaran biara atau Kuil Siauw-lim-si dan menewaskan banyak sekali murid-murid Siauw-lim-pai. Tentu saja, seperti para pendekar di dunia kang-ouw, berita ini amat mengejutkan hati mereka dan menimbulkan perasaan tidak senang dan tidak puas. Semenjak dahulu, keluarga ini memandang tinggi nama Siauw-lim-pai dan tahu bahwa partai persilatan ini adalah partai yang bersih dan terhormat, yang mempunyai banyak pendekar sakti yang gagah perkasa. Dan kini Kaisar telah bertindak dengan kejam, menggunakan pasukan besar untuk membunuh banyak murid Siauw-lim-pai, berusaha membasmi partai ini bahkan telah membakar habis biara Siauw-lim-si. Kao Cin Liong sendiri marah-marah mendengar berita itu.

   "Sungguh terlalu!"

   Katanya ketika mereka mendengar berita itu.

   "Kalau sikap Sri Baginda Kaisar seperti ini dan kelaliman ini dilanjutkan, alangkah rendahnya kalau aku menghambakan diri kepada seorang lalim! Lebih baik aku meletakkan jabatanku dan bersahabat dengan para pendekar Siauw-lim-pai yang tertimpa malapetaka!"

   "Memang amat menggemaskan! Apalagi kalau diingat bahwa Sri Baginda Kaisar sendiri pernah menjadi murid Siauw-lim-pai! Perbuatan seorang murid yang sungguh keji dan murtad!"

   Kata pula ibunya yang memang sejak muda memiliki watak keras akan tetapi jujur dan adil. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. Dia adalah seorang pendekar yang sudah matang, tidak mudah dipengaruhi oleh segala macam keadaan, dan tidak lagi membiarkan diri diseret nafsu perasaan.

   "Apapun juga alasannya, perbuatan Kaisar memang tidak patut, dan juga bukan merupakan perbuatan yang baik dan menguntungkan pemerintah. Akan tetapi, Cin Liong, harus selalu kau ingat bahwa engkau adalah seorang pendekar, kau harus selalu dapat menjaga nama dan memenuhi tugasmu dengan baik. Tugasmu saat ini adalah mencari dan merebut kembali pedang pusaka kerajaan, dan bukan watak seorang pendekar untuk meninggalkan tugas yang belum dilaksanakan sampai berhasil."

   Cin Liong mengangguk-angguk.

   "Saya mengerti, Ayah. Saya akan terus mencari Sim Hong Bu dan adapun hasilnya, saya harus dapat mencari dia, setelah bertemu dan bicara dengan dia tentang pedang itu, baru saya akan kembali dan melapor kepada Sri Baginda Kaisar tentang pelaksanaan tugas ini. Setelah itu, baru saya akan mengundurkan diri meletakkan jabatan. Pangeran Mahkota Kian Liong adalah seorang yang amat bijaksana. Menurut berita yang kita dengar, beliau malah membebaskan dan menyelamatkan sisa murid-murid Siauw-lim-pai sebanyak delapan orang, Pangeran ini tahu mana yang benar dan mana yang salah. Oleh karena itu, biarlah saya menanti sampai kelak Pangeran Kian Liong yang menjadi kaisar, baru saya akan menawarkan tenaga saya untuk mengabdikan diri."

   Ayah dan ibunya menyatakan persetujuan mereka dan ketiga orang gagah ini pun melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi, mereka terkejut bukan main ketika mendengar lagi berita angin dari para pendekar di kang-ouw bahwa Sang Pangeran Mahkota telah lenyap dan sedang dicari oleh orang-orang gagah berbagai golongan. Tentu saja mereka, terutama sekali Cin Liong yang masih bertugas sebagai seorang jenderal, apalagi yang menjadi sahabat baik Pangeran Kian Liong, merasa gelisah bukan main.

   "Ah, biarpun ini merupakan tugas yang tidak langsung menjadi perintah Kaisar akan tetapi mencari dan menyelamatkan Sang Pangeran tidak kalah pentingnya daripada mencari dan merebut kembali pedang itu,"

   Kata Cin Liong.

   "Memang, kita harus ikut mencari Sang Pangeran. Jangan sampai beliau dikuasai oleh orang-orang jahat,"

   Kata ayahnya.

   "Sungguh Pangeran Mahkota merupakan seorang pemuda yang luar biasa,"

   Kata Wan Ceng setengah mengomel.

   "Beliau adalah seorang pemuda yang lemah, akan tetapi mengapa selalu suka melakukan perjalanan merantau sendirian saja tanpa pengawal? Padahal, sebagai seorang pangeran mahkota tentu saja bahaya selalu mengancam beliau."

   "Beliau akan menjadi kaisar yang baik,"

   Suaminya mengangguk-angguk.

   "Seorang yang sejak muda telah melenyapkan rasa takut dengan rasa kasih sayang terhadap rakyatnya. Beliau ingin melihat sendiri dan mendengar sendiri keadaan kehidupan rakyat dan keluh-kesah mereka. Hanya seorang kaisar yang memerintah rakyatnya dengan kasih sayang sajalah, seperti seorang ayah yang benar-benar mencinta anak-anaknya, maka sebuah negara akan benar-benar menjadi makmur dan kuat."

   Keluarga yang gagah perkasa ini melanjutkan perjalanannya sambil menyelidiki dan mendengar-dengarkan dan akhirnya, pada suatu siang ketika melewati sebuah hutan tak jauh dari kota Cin-an, mereka melihat belasan orang laki-laki rebah malang-melintang, sebagian besar telah tewas, akan tetapi ada bebekapa orang yang masih hidup, walaupun luka-luka mereka amat parah dan mereka ini pun sukar untuk dapat diselamatkan lagi. Agaknya, baru beberapa jam mereka itu telah dirobohkan oleh musuh yang amat kuat. Tiga orang muda ini cepat menghampiri mereka yang masih hidup, memeriksa, akan tetapi mereka memperoleh kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu menolong lagi.

   "Siapakah yang melakukan ini dan mengapa?"

   Kao Cin Liong bertanya kepada seorang di antara mereka yang agaknya masih lebih kuat daripada yang lain. Ayah bundanya hanya ikut mendengarkan saja, membiarkan putera mereka menangani urusan ini. Setelah diberi beberapa teguk minuman arak, orang itu dapat juga bicara lemah,

   "Kami.... menghadang seorang pemuda yang bersenjata suling emas.... kami hampir berhasil.... lalu muncul pemuda yang berpedang.... pedang sinar biru.... aahhh...."

   Dan orang itu pun tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kepalanya sudah terkulai. Yang lain-lainnya terlampau parah luka-luka mereka sehingga sama sekali tidak mampu bicara lagi. Bahkan sebelum tiga orang pendekar itu dapat berbuat sesuatu, mereka yang terluka parah itu pun tewas pula. Setelah memeriksa semua perampok itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka telah benar-benar tewas, Cin Liong bersama ayah ibunya lalu menggali lubang besar dan mengubur semua jenazah itu dengan sederhana. Mereka, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pendekar ini tidak mungkin dapat membiarkan saja jenazah belasan orang itu tanpa dikubur, walaupun mereka dapat menduga bahwa mereka itu semua adalah anggauta perarnpok.

   "Hemm, pedang bersinar biru? Dan pemuda bersenjata suling emas?"

   Cin Liong berkata ketika mereka melanjutkan perjalanan. Ayahnya memandang kepadanya.

   "Engkau dapat menduga siapa mereka?"

   Puteranya mengangguk, juga ibunya berkata,

   "Aku pun sudah tahu siapa mereka itu."

   "Bagus, kalau begitu mari kita cepat-cepat melanjutkan perjalanan. Daerah ini termasuk daerah kota Cin-an, ke mana lagi mereka kalau tidak ke kota itu?

   Dan kabarnya, di kota Cin-an itu pula berkumpulnya para pendekar patriot,"

   Kata Si Naga Sakti Gurun Pasir. Tanpa menyebut nama, tiga orang pendekar yang cerdas ini sudah dapat menduga bahwa pemuda bersenjata suling emas itu tentulah Cu Pek In dan pedang bersinar biru itu apa lagi kalau bukan Koai-liong Po-kiam? Demikian-lah, keluarga sakti ini akhirnya dapat mengikuti jejak Cu Pek In dan Sim Hong Bu, dan seperti telah diceritakan pada bagian depan, Cu Pek In dan Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika melihat tiga orang ini. Dan biarpun Pek In cepat membuang muka, dan tiga orang sakti itu seolah-olah tidak melihat adanya dua orang muda itu, namun sesungguhnya Cin Liong dan ayah bundanya sudah melihat mereka dan mereka yakin kini bahwa dugaan mereka adalah benar.

   Biarpun mereka tidak melihat adanya senjata pedang pusaka yang mereka cari-cari itu pada diri pemuda yang nampak sederhana itu, mereka dapat menduga bahwa pedang itu tentu disembunyikan dan hal ini bahkan lebih meyakinkan hati mereka. Kalau bukan Koai-liong Po-kiam yang dibawa pemuda ini, perlu apa disembunyikan? Dan kalau pedang itu, tentu saja disembunyikan, karena pedang itu adalah pedang pusaka yang hilang dari istana. Dan ketika pada malam hari itu Hong Bu dan Pek In melarikan diri dari losmen, hal ini pun sama sekali tidak terlewat dari pengamatan keluarga itu. Diam-diam mereka bertiga cepat membayangi dari jauh. Mereka melihat betapa bayangan dua orang muda itu melompati pagar tembok sebuah rumah tua dan mereka tidak berani ceroboh memasuki rumah orang.

   "Kau berjagalah di sini bersama Ibumu, aku akan menyelidiki rumah siapa ini,"

   Kata Kao Kok Cu. Cin Liong dan ibunya mengangguk dan bersembunyi sambil mengintai untuk melihat kalau-kalau dua orang yang mereka bayangi tadi keluar dari situ lagi. Si Naga Sakti Gurun Pasir tidak lama pergi. Dia sudah muncul kembali dan berbisik kepada puteranya dan isterinya,

   "Wah, kiranya rumah inilah yang menjadi sarang patriot! Mereka berkumpul di sini!"

   Berita ini benar-benar amat mengejutkan hati Cin Liong dan ibunya. Baiknya mereka tadi tidak ceroboh memasuki sarang yang amat berbahaya, yang penuh dengan orang-orang sakti itu. Kedua orang yang mereka bayangi telah masuk ke situ, berarti bahwa itu pun tentu mempunyai hubungan yang erat dengan penghuni rumah itu!

   "Bagaimana baiknya sekarang?"

   Tanya Kao Kok Cu untuk mencoba puteranya. Betapapun juga yang mempunyai tugas itu adalah puteranya, dan pendekar ini sudah percaya penuh kepada kecerdasan dan kewaspadaan puteranya sehingga dia menyerahkan keputusan kepada puteranya itu.

   "Ayah, tidak baik kalau kita menyerbu sekarang. Mereka adalah pendekar-pendekar, bukan penjahat-penjahat. Sebaiknya kita besok pagi datang sebagai tamu dan dengan terus terang akan saya sampaikan kepada pimpinan para patriot agar menyerahkan Sim Hong Bu kepada saya dengan alasan urusan pribadi. Kita harus menjaga agar jangan sampai terjadi bentrokan antara kita dengan para patriot."

   Ayahnya mengangguk lalu berkata,

   "Memang bijaksana dengan cara demikian. Akan tetapi aku meragukan apakah patriot-patriot itu akan menerimamu dengan sikap bersahabat karena mereka tahu bahwa engkau adalah seorang perwira tinggi istana."

   "Terserah kepada mereka. Yang jelas, kedatangan kita bukanlah untuk urusan antara Kaisar dan mereka, melainkan urusan pedang."

   Mereka lalu kembali ke rumah penginapan.

   Mereka merasa yakin bahwa kedua orang muda yang mereka bayangi tadi tidak tahu bahwa mereka tadi membayangi mereka, dan juga mereka dapat menduga bahwa tentu Sim Hong Bu berbesar hati setelah berada di markas para pendekar patriot itu dan tidak akan pergi untuk sementara waktu. Dengan adanya pengejaran dari keluarga Kao, tentu pemuda itu menganggap bahwa markas itu merupakan tempat persembunyian yang paling aman. Dan memanglah, semua pendapat ini tepat sekali. Akan tetapi, Jenderal Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak tahu bahwa pada malam hari itu juga, pangeran mahkota tiba pula di Cin-an dan ditahan di dalam rumah yang menjadi markas para patriot, itu! Andaikata mereka terus mengamati di tempat itu, tentu mereka akan melihat hal ini dan mungkin akan terjadi bentrokan yang sukar dapat dicegah lagi.

   Hati Cia Han Beng merasa bingung dan gelisah sekali. Dia merasa menyesal bahwa dara yang membuatnya jatuh cinta, ternyata tidak sepaham dengan dia mengenai perjuangan para patriot. Bahkan dara itu dengan kekerasan telah membawa pergi Sang Pangeran, dan dia sama sekali tidak ada keberanian hati, atau lebih tepat lagi tidak tega, untuk menentang dengan kekerasan. Dia merasa betapa tiba-tiba dia menjadi seorang yang lemah sekali, dan dia tahu bahwa selama Ci Sian melindungi Sang Pangeran, dia tidak akan tega untuk merebut Pangeran itu. Dia pun tahu bahwa Ci Sian hanya bertindak sebagai seorang pendekar, sama sekali tidak memihak pemerintah dan menentang para patriot, melainkan hanya ingin melindungi yang lemah dari ancaman bahaya seperti selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar.

   Hal inilah yang membuatnya bingung dan putus asa. Andaikata Ci Sian itu seorang penjilat pemerintah penjajah tentu cintanya akan dapat dilawannya sendiri dan dia tentu akan mau menentang dara itu. Akan tetapi, dara itu adalah seorang pendekar yang mengagumkan hatinya. Tak mungkin aku berhasil sebagai seorang patriot kalau begini, keluhnya dengan hati kesal sekali setelah dia berpisah dari Ci Sian. Tidak, dia akan mengembil cara lain. Dia tahu bahwa Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang hebat dan bijaksana, maka dia pun tidak terlalu menyesal akan sikap Ci Sian. Dia sendiri, andaikata dia tidak mempunyai jiwa pemberontak terhadap kekuasaan penjajah, tentu dia pun tidak akan segan untuk mmpertaruhkan nyawanya guna membela seorang pangeran mahkota yang bijaksana seperti Pangeran Kian Liong.

   Yang jahat, yang menjadi biang keladi semua peluapan kemarahan hati para patriot adalah kelaliman Kaisar! Kaisarlah yang harus dibasmi! Peristiwa pembakaran biara Siauw-lim-si, perlakuan sewenang-wenang terhadap orang-orang Han, semua itu adalah perbuatan Kaisar yang membenci orang Han. Dan kalau dia telah gagal menangkap Pangeran, masih ada jalan lain baginya yang lebih langsung dan tepat, yaitu menyerbu ke istana dan mencoba untuk membunuh Kaisar. Dia tahu bahwa perbuatan ini amat berbahaya, karena istana merupakan tempat yang amat kuat dengan penjagaan ketat, di mana berkumpul perwira-perwira berke-pandaian tinggi dan pengawal-pengawal yang gemblengan. Akan tetapi, dia mempunyai harapan. Bukankah ibu kandungnya berada di sana sebagai selir Kaisar?

   Demikianlah, dengan hati yang telah mengambil keputusan tetap, Cia Han Beng pergi ke kota raja. Biarpun para pengawal dan pembesar yang mengurus dalam istana, para thaikam (orang kebiri) menyambutnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, namun mereka itu melapor juga kepada ibu pemuda itu yang menjadi selir Kaisar bahwa ada seorang pemuda bernama Cia Han Beng dan mengaku keluarga dekat mohon menghadap. Tentu saja ibu pemuda itu terkejut sekali mendengar disebutnya nama ini dan cepat-cepat mempersilakan thaikam untuk mempersilakan pemuda itu menghadapnya di dalam taman. Selir Kaisar ini memilih taman sebagai tempat pertemuannya dengan puteranya agar mereka dapat bicara dengan leluasa di tempat terbuka sehingga tidak akan ada yang dapat mencuri dengar percakapan antara mereka.

   Dengan pengawal dua orang pengawal dalam yang juga terdiri dari laki-laki yang sudah dikebiri, Han Beng dipersilahkan memasuki taman. Ketika tiba di pondok indah dekat kolam ikan, Han Beng melihat seorang wanita cantik dengan pakaian yang mewah berdiri menantinya dengan kedua mata basah dengan air mata. Melihat ibunya, Han Beng tak dapat menahan keharuan hatinya dan dia pun cepat maju berlutut di depan kaki ibu kandungnya sambil menundukkan mukanya. Selir itu memejamkan mata dan menggunakan saputangan menyusuti air matanya, kemudian memberi isyarat kepada dua orang pengawal kebiri itu untuk meninggalkannya bersama puteranya. Setelah dua orang pengawal itu mengundurkan, wanita itu lalu membungkuk dan merangkul puteranya, disuruhnya Han Beng berdiri dan sejenak mereka berdua saling berpandangan dengan hati yang tidak keruan rasanya.

   "Han Beng....!"

   Akhirnya wanita itu berbisik yang merupakan jerit yang keluar langsung dari dalam hatinya.

   "Ibu....!"

   Han Beng menahan agar air matanya tidak jatuh bertitik, sungguhpun dia sudah merasa betapa hatinya tergetar dan kedua matanya terasa panas. Kalau ibunya merasa berduka dan terharu sekali melihat puteranya, sebaliknya pemuda ini selain terharu, juga merasa panas hatinya melihat ibunya hidup sebagai seorang selir kaisar yang berpakaian begini indah dan mewah, sedangkan ayahnya telah terbunuh oleh Kaisar yang kini menjadi suami ibunya!

   "Han Beng, mari kita duduk di bangku itu.... kita bicara di luar saja agar jangan ada orang lain mendengarkan dengan sembunyi,"

   Ibunya berbisik dan menggandeng tangan puteranya, diajaknya puteranya itu duduk di bangku panjang di tengah taman, jauh dari pondok. Wanita setengah tua itu, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, masih nampak cantik sekali, apalagi karena ia mengenakan pakaian yang demikian indah dan rambutnya disanggul secara istimewa seperti biasa dandanan para selir Kaisar. Kini, melihat puteranya, seketika hancur berantakan segala kemuliaan yang dirasakannya setiap hari dan terbayanglah di pelupuk matanya segala peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu!

   Dia hidup bersama suaminya yang merupakan seorang pendekar gagah perkasa dan hidup saling mencinta, dengan seorang putera mereka, yaitu Han Beng. Kemudian, datanglah malapetaka itu! Suaminya adalah seorang pendekar yang pernah menjadi sahabat Ai Sing Kiauw murid Siauw-lim-pai yang suka bersahabat dengan para pendekar itu, yang kini telah menjadi Kaisar Yung Ceng! Dan ketika mereka mengadakan perjalanan sampai ke kota raja, suaminya teringat akan sahabat itu dan biarpun telah dicegahnya, suaminya tetap nekad berkunjung dan menghadap bekas sahabat yang kini menjadi kaisar itu. Dan memang, Kaisar menyambutnya dengan ramah dan manis budi. Akan tetapi terjadilah malapetaka ketika Kaisar memandang kepadanya! Memandang kepadanya dengan sinar mata yang demikian mesra dan penuh nafsu berahi! Maka terjadilah kesemuanya itu, peristiwa yang mengubah hidupnya!

   Suaminya telah terbunuh, dan ia pun diambil selir oleh Kaisar! Dan ia.... ia tidak melawan.... ia seorang wanita yang lemah melihat kemuliaan membayang di depan mata! Ia pun menyerahkan diri, bukan dengan terlalu terpaksa, bahkan dengan harapan baru. Kalau dulunya ia hidup sebagai seorang isteri pendekar yang bertualang, yang kadang-kadang menderita lapar dan tidur di kuil-kuil tua atau di hutan-hutan, kini ia menjadi seorang yang dihormati dan dimuliakan! Dan Kaisar pun sayang kepadanya. Bahkan Pangeran Mahkota sendiri memandangnya sebagai seorang ibu! Mau apa lagi? Puteranya, lari entah ke mana. Dan kini, puteranya itu muncul di depannya! Terjadilah perang dalam hati wanita ini, perang antara kemewahan dan kemuliaan di istana, melawan kasih sayang seorang ibu kandung terhadap anaknya.

   Dan kemuliaan itu pun kini menipis. Segala macam kesenangan di dunia ini, apapun juga adanya, tidak akan abadi. Kesenangan selalu disusul oleh kebosanan, atau juga oleh keinginan memperoleh yang lebih besar lagi. sehingga kesenangan yang ada itu tidak begitu berarti lagi. Demikian pula dengan wanita ini. Kemuliaan dan kemewahan itu memang pada mulanya dirasakan dan dinikmatinya betul, dalam waktu beberapa bulan, beberapa tahun. Akan tetapi, kemewahan dan kemuliaan yang dilimpahkan kepadanya setiap hari itu mulai menimbulkan kebosanan dan kemuakan. Apalagi dengan munculnya puteranya ini, yang mendatangkan lagi kenang-kenangan lama, membuat ibu ini merasa terguncang batinnya.

   "Han Beng.... Anakku.... Puteraku sayang.... akhirnya engkau mau juga menjenguk ibumu...."

   Ia berkata sambil mengusap air matanya yang terus bercucuran. Han Beng memandang wajah ibunya. Ada juga rasa iba, rasa haru dan rasa mesra yang timbul dari kasih sayangnya terhadap wanita yang menjadi ibunya ini. Akan tetapi yang lebih lagi adalah rasa marah. Ibunya sampai hati benar berenang di dalam kemewahan di samping laki-laki yang telah membunuh suaminya!

   "Ibu...."

   Katanya, suaranya agak gemetar.

   "Aku datang ini bukan untuk menjenguk Ibu, melainkan untuk...."

   Dia berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri yang sunyi. Dua orang tadi berdiri di luar taman, biarpun memandang ke arahnya akan tetapi tidak dapat mendengar percakapan itu.

   "Untuk apa, Anakku? Engkau membutuhkan apa....? Ibumu akan dapat menolongmu, Nak...."

   "Nah, terima kasih, Ibu. Itulah yang kubutuhkan, yaitu pertolonganmu. Kuharap Ibu suka membantuku dan suka memberi jalan kepadaku agar niat hatiku tercapai."

   "Niat hatimu? Apa niat itu? Apakah engkau ingin.... menikah?"

   Dengan air mata masih berlinang, wanita itu mencoba untuk tersenyum dan memandang wajah puteranya yang tampan.

   "Bukan. Niat hatiku adalah untuk membunuh Kaisar!"

   "Eiihhh....!"

   Wanita itu menahan jeritnya dengan menutupkan tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak dan tangan kanannya mencengkeram lengan puteranya.

   "Kau.... kau sudah.... gila....!"

   Pemuda itu melangkah mundur, melepaskan diri dari pegangan tangan ibunya, memandang tajam penuh kemarahan dan rasa penasaran. Akan tetapi suaranya masih perlahan karena dia pun tidak ingin suaranya terdengar oleh orang lain,

   "Ibu, selain Ayah telah dibunuh oleh Kaisar, juga seluruh pendekar bangsa Han ditindasnya, Siauw-lim-si dibakarnya, rakyat ditindasnya. Dan sekarang Ibu malah bersenang-senang menjadi selir kaisar lalim itu. Ibu, katakanlah sekarang, siapakah di antara kita yang pantas disebut gila?"

   "Han Beng! Engkau hanya terdorong oleh dendam atas kematian ayahmu...."

   "Tidak, Ibu. Urusan pribadi hanya urusan kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan seluruh bangsa! Tentu saja aku merasa sakit hati atas kematian Ayah, akan tetapi aku hendak membunuh Kaisar bukan karena itu, melainkan untuk membebaskan rakyat dari penindasan Kaisar penjajah yang lalim. Dan Ibu, kalau memang Ibu masih mempunyai sedikit jiwa kependekaran seperti mendiang Ayah, Ibu harus membantuku."

   "Tapi.... tapi.... berbahaya sekali, Anakku! Kaisar sendiri memiliki kepandaian yang lihai, belum lagi diingat bahwa beliau selalu dilindungi oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi! Engkau akan tertangkap dan terbunuh sebelum engkau mampu mendekatinya!"

   "Akan tetapi, aku yakin bahwa sewaktu-waktu Kaisar tentu berdua saja dengan Ibu, di mana tidak ada seorang pun pengawal yang mendekat. Kalau aku tidak mungkin mendekatinya, maka Ibu mudah sekali. Apa sukarnya bagi Ibu untuk menyerang dan membunuhnya sewaktu dia mendekati Ibu?"

   "Apa kau gila? Aku.... aku adalah selirnya! Isterinya!"

   "Bagiku bukan! Ibu adalah isteri Ayah yang telah dibunuh Kaisar, Ibu adalah isteri Ayah yang dirampas oleh Kaisar! Ibu adalah wanita Han yang tidak ingin melihat rakyat ditindas oleh Kaisar penjajah lalim!"
(Lanjut ke Jilid 45)

   Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 45
"Ohhh.... Anakku...., aku.... aku memang bersalah.... tapi.... tapi tidak tahukah engkau bahwa Ibumu ini hanya seorang wanita? Aku.... cinta padanya, Han Beng."

   Pemuda itu merasa betapa jantungnya seperti ditusuk.

   "Hemm, kalau begitu, Ibu sudah lupa kepada Ayah, Ibu tidak cinta kepadaku, dan Ibu tidak peduli dengan bangsa sendiri?"

   "Bukan.... ah, aku cinta padamu, Anakku. Engkau anakku satu-satunya.... akan tetapi ini lain lagi, Han Beng."

   "Sudahlah, Ibu. Tidak perlu banyak ribut lagi, kalau ketahuan orang semua usahaku gagal dan kita berdua akan celaka. Ibu tinggal pilih saja sekarang, Ibu lakukan sendiri bunuh Kaisar lalim itu, atau Ibu mencarikan jalan agar aku dapat mendekatinya dan membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri. Kalau Ibu menolak, aku akan mengamuk dan menyerbu ke dalam istana! Mati bukan apa-apa bagiku. Mati sebagai orang gagah jauh lebih berharga daripada hidup sebagai pengkhianat bangsa dan pengecut!"

   Wajah wanita itu berubah pucat. Pengkhianat dan pengecut! Itulah lontaran dan makian puteranya sendiri kepadanya, walaupun bukan merupakan makian langsung. Dan kalau ia menolak, berarti ia membiarkan puteranya itu mati. Menyerbu istana seorang diri saja tiada bedanya dengan bunuh diri. Dengan muka pucat sekali dan bibir gemetar, pandang mata sayu dan wajah layu, akhirnya wanita ini mengangguk dan berkata lirih,

   "Baiklah, Han Beng. Akan kulakukan itu!"

   "Ibu....!"

   Han Beng berlutut dan menubruk kedua kaki ibunya, dua titik air mata keluar dari sepasang matanya. Dia yakin benar-benar bahwa perbuatan ibunya itu, selain akan membunuh Kaisar, juga bunuh diri. Akan tetapi, dia akan merasa bangga melihat ibunya mati seperti itu daripada melihat ibunya hidup menjadi selir Kaisar laknat yang lalim itu!

   "Ibu ternyata seorang patriot wanita yang gagah perkasa. Ibu berani mengorbankan nyawa demi bangsa, aku bangga dan terharu sekali, Ibu. Engkau memang Ibuku yang patut dipuja sepanjang masa!"

   "Engkau keliru, Han Beng. Aku melakukannya sama sekali bukan demi bangsa, bukan demi Ayahmu, bukan demi diriku sendiri, melainkan demi engkau, Anakku. Nah, pergilah."

   Ucapan ibunya itu menyadarkan Han Beng dan dia pun bangkit lalu mundur, menatap wajah ibunya yang pucat, menatapnya untuk yang terakhir kali. Memang ada sedikit kekecewaan dalam hatinya bahwa ibunya hendak melakukan pengeroyokan itu bukan demi bangsa, melainkan demi dia. Betapapun juga, yang penting adalah terbunuhnya Kaisar lalim, pikirnya.

   "Terima kasih, Ibu. Selamat tinggal, selamat berpisah dan ampunkan anakmu."

   Wanita itu hanya mengangguk dan Han Beng lalu keluar, disambut oleh dua orang pengawal itu dan diantarkan sampai ke pintu tembusan di mana kembali dia diterima oleh pengawal lain yang mengantarnya sampai ke pintu yang lebih luar. Demnikianlah, akhirnya pemuda ini, setelah melalui penjagaan yang amat ketat, tiba di pintu gerbang istana paling luar dan akhirnya keluarlah dia dari lingkaran istana. Sementara itu, wanita itu berdiri seperti patung lilin. Mukanya pucat dan matanya berlinang air mata. Demi cintanya kepada anaknya, bisik hatinya. Cinta memang sudah menjadi hal yang amat janggal dalam pengertian kita. Demikian banyaknya kata ini telah kita pecah-pecah artinya, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing sehingga cinta bahkau menimbulkan banyak kesengsaraan dan malapetaka. Han Beng ingin melihat ibunya menjadi seorang patriot, seorang pahlawan.

   Pemuda ini lupa bahwa ibunya seorang manusia pula, bahwa ibunya memiliki selera dan cara hidup sendiri, yang mungkin saja berbeda dengan orang lain, berbeda dengan dia. Akan tetapi dia ingin membentuk ibunya menjadi seperti yang diidamkannya, seperti yang dianggap patut menjadi ibunya, yaitu wanita pahlawan! Dia menganggap ini benar, tentu saja. Akan tetapi sebenarnya, di dasar dari hatinya, dia hanya mengejar keinginan hatinya sendiri saja. Dialah yang akan bangga kalau ibunya menjadi pahlawan bangsa! Dialah yang akan merasa bahagia. Apakah ibunya menyukai hal ini? Bukan urusannya! Apakah ibunya berbahagia jika tewas sebagai pahlawan bangsa? Juga sama sekali hal ini dilupakannya. Dianggapnya bahwa secara otomatis ibunya tentu berbahagia pula, seperti dia! Demikian pula wanita itu. Ia mau saja membiarkan dirinya berkorban.

   Dianggapnya pengorbanannya ini demi cinta kasihnya kepada puteranya. Akan tetapi benarkah demikian? Agaknya hal ini masih harus diselidiki dengan teliti. Kalau dia mencintai puteranya, belum tentu dia membiarkan dirinya diperkosa kemudian menjadi selir dari Kaisar yang telah membunuh suaminya dan hampir juga membunuh puteranya kalau pemuda itu tidak dapat meloloskan diri. Memang, cinta telah menjadi sesuatu yang amat aneh, bahkan kadang-kadang menjadi pendorong perbuatan-perbuatan yang luar biasa kejamnya. Padahal, yang mereka namakan sebagai cinta itu sesungguhnya hanyalah nafsu belaka, nafsu untuk menyenangkan diri sendiri, perasaan sendiri melalui orang lain. Jadi, orang yang katanya dicinta setengah mati itu hanya dijadikan semacam jembatan saja untuk dapat menyeberang dan memetik kesenangan untuk diri sendiri.

   Han Beng bersembunyi di kota raja setelah dia keluar dari istana. Dia hendak menanti saat yang amat menegangkan itu. Saat di mana akan diumumkan tentang kematian Kaisar! Mati di tangan ibu kandungnya! Dan saat yang dinanti-nantikan Han Beng itu ternyata tidak terlalu lama. Bahkan pada malam itu juga, Kaisar menjatuhkan pilihan kepada ibu Han Beng untuk melayaninya! Memang Kaisar cukup mencinta wanita ini, seorang wanita bekas pendekar yang bertubuh kuat, tidak seperti para selir lain yang lemah. Kaisar sendiri adalah seorang ahli silat, maka dia merasa memiliki persamaan dengan selirnya ini, dan Kaisar suka sekali mengajak selir ini bercakap-cakap tentang ilmu silat di waktu selir ini diberi giliran untuk melayaninya dalam kamar selama semalam.

   Dan malam itu, ibu Han Beng berdandan secara istimewa, menambah wangi-wangian pada tubuhnya, dan memasuki kamar Kaisar dengan senyum cerah dan penuh daya pikat sehingga Kaisar semakin terpikat dan menyambutnya dengan pelukan dan ciuman mesra. Mereka bercakap-cakap, bercumbu dan bermain cinta. Lewat tengah malam, ketika Kaisar sedang tidur pulas kelelahan, ibu Han Beng dengan air mata bercucuran lalu menghunjamkan sebatang pisau belati ke dada Kaisar. Tetapi, karena tangan yang memegang pisau itu gemetar dan karena wanita itu menutup matanya karena tidak tega menyaksikan tangannya membunuh pria yang sesungguhnya dicintanya, maka ujung pisau mengenai tulang iga dan meleset, dan Kaisar Yung Ceng yang memiliki tubuh kuat dan kepandaian tinggi itu, seketika sudah terbangun dan otomatis tangannya menghantam dengan sekuatnya.

   "Desss....!"

   Pukulan Kaisar itu amat kuatnya, dan tidak dapat dielakkan oleh wanita itu yang memang masih memejamkan kedua matanya sehingga tubuh wanita itu terlempar ke bawah dari pembaringan dan terbanting dalam keadaan kepala retak dan tidak bernyawa lagi! Kaisar cepat memanggil pengawal, mencabut pisau itu dan roboh pingsan. Pisau belati itu tidak menembus jantung atau bagian lain yang penting,

   Akan tetapi ternyata bahwa pisau itu mengandung racun sehingga keadaan Kaisar cukup parah. Luka di dadanya itu membengkak dan para tabib yang merawatnya merasa khawatir sekali. Kaisar sendiri yang sudah sadar sepenuhnya, maklum akan keadaan dirinya, maka mulailah dia mencari-cari dan menanyakan Pangeran Mahkota Kian Liong. Diam-diam Kaisar menyesal semua perbuatannya dan dia tahu benar bahwa malapetaka yang menimpanya malam itu adalah karena perbuatannya sendiri. Dia telah lengah, tidak mengira bahwa di balik senyum manis dan pelayanannya yang amat menyenangkan hatinya dari wanita bekas isteri sahabatnya itu ternyata masih tersembunyi dendam yang demikian mendalam. Ketika dia mendengar laporan bahwa sehari sebelumnya wanita itu menerima kunjungan seorang pemuda yang mengaku sebagai anak selir itu,

   Maklumlah Kaisar bahwa itulah pendorongnya mengapa selirnya yang biasanya amat mencintanya itu tega untuk mencoba membunuhnya. Dan sebagai seorang ahli silat, dia pun yakin bahwa kalau selirnya itu tidak memejamkan mata, tentu tusukan itu akan menewaskannya, dan dia tidak akan berhasil membunuh selirnya dengan sekali pukul saja. Selagi para panglima, menteri dan hulubalang bingung karena tidak ada yang tahu di mana adanya Sang Pangeran, datanglah utusan para patriot yang telah menawan Sang Pangeran! Kaisar Yung Ceng menerima dan mendengarkan surat tuntutan itu dibacakan pembantunya kepadanya. Wajahnya berubah merah, akan tetapi dia menarik napas panjang. Pada saat itu dia tidak dapat banyak bergerak dan tidak bisa turun dari pembaringan, dia tidak dapat berbuat banyak.

   "Kirim jawaban kepada mereka bahwa aku berjanji akan memenuhi semua tuntutan mereka itu, akan tetapi minta agar Pangeran Kian Liong cepat dibebaskan dan diantar kembali ke istana, karena keadaanku,"

   Perintahnya kepada para petugas. Tentu saja utusan para patriot itu girang bukan main, bukan hanya bahwa mereka tidak dihukum atau dibunuh seperti yang sudah mereka khawatirkan, akan tetapi bahkan menerima janji dari Kaisar yang akan memenuhi semua tuntutan itu.

   Juga mereka mendengar bahwa Kaisar diserang oleh selirnya sendiri dan nyaris tewas! Maka, mereka cepat kembali ke Cin-an untuk membawa balasan dan janji Kaisar. Entah siapa di antara mereka yang lebih terkejut dan heran ketika pihak tamu dan pihak tuan rumah itu bertemu di ruangan tamu yang luas itu. Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak mengira bahwa yang menjadi pemimpin para pendekar patriot di Cin-an itu ternyata adalah Bu Seng Kin sekeluarga, sebaliknya Bu-taihiap juga tidak menyangka bahwa tamu-tamunya yang datang adalah Jenderal Kao Cin Liong dan Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya! Sejenak mereka hanya berdiri bengong saling pandang, lupa untuk saling memberi hormat sebagaimana layaknya tamu dan tuan rumah! Akhirnya, Bu-taihiap yang memang berwatak lincah dan gembira itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, memang tidak salah dikatakan orang bahwa dunia ini tidaklah sebesar yang disangka orang! Tidak kami sangka akan dapat berjumpa di tempat ini dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya yang gagah perkasa!"

   Kecuali keluarga Bu yang sudah mengenal keluarga Kao ini, para pendekar patriot terkejut setengah mati seperti mendengar suara guntur di hari terang ketika mereka mendengar bahwa tamu itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya bagi mereka seperti nama tokoh dongeng saja dan yang selamanya belum pernah mereka lihat orangnya. Kini semua mata ditujukan kepada pria setengah tua berlengan satu itu bersama isteri dan puteranya, penuh kagum dan juga gentar karena mereka itu belum tahu apa yang diinginkan oleh pendekar sakti sekeluarga ini dengan munculnya di tempat itu dalam keadaan yang amat gawat, yaitu selagi Pangeran Mahkota menjadi tamu agung, juga tawanan mereka.

   "Kami pun tidak mengira bahwa di sini akan dapat bertemu dengan Bu-taihiap yang ternyata kini mengumpulkan banyak orang-orang gagah!"

   Kata Kao Kok Cu sambil memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh tuan rumah.

   "Silakan duduk, silakan duduk dan selamat datang!"

   Setelah mereka semua duduk, Bu-taihiap bertanya,

   "Keperluan apakah kiranya yang dibawa oleh keluarga Kao yang mulia sehingga mau mendatangi tempat ini?"

   "Yarg mempunyai kepentingan adalah putera kami, maka biarlah dia yang men-jelaskan,"

   Kata pula pendekar itu dengan suara tenang. Cin Liong lalu berkata sambil memandang ke kanan kiri karena dia tidak melihat adanya Hong Bu dan Pek In di situ,

   "Bu-locianpwe,"

   Katanya hormat.

   "Saya adalah utusan Kaisar yang sedang mencari seorang bernama Sim Hong Bu, dan karena semalam saya melihat dia memasuki rumah ini, maka saya minta dengan hormat kepada Locianpwe untuk memberitahukan kepada saya di mana adanya dia. Kalau masih berada di sini, hendaknya disuruh keluar menemui kami. Kalau sudah pergi, harap beri tahu ke mana perginya."

   Kembali Bu-taihiap tertawa bergelak. Di dalam hatinya, pendekar ini terkejut sekali melihat bahwa jenderal muda ini mencari Sim Hong Bu, dan isterinya, Tang Cun Ciu, yang duduk pula di situ tentu saja mengerti mengapa keluarga Kao mencari Hong Bu, akan tetapi dia diam saja hanya memandang tajam. Bu-taihiap yang masih merasa penasaran karena lamarannya ditolak tempo hari, kini memperoleh kesempatan untuk mengejek.

   Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, sampai hampir lupa aku bahwa aku berhadapan dengan seorang jenderal kaki tangan Kaisar Mancu, juga aku lupa bahwa yang terhormat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir adalah ayah dari jenderal besar antek Kaisar penjajah!"

   Mendengar ejekan ini, Kao Kok Cu tersenyum saja dengan tenang. Akan tetapi isterinya, Wan Ceng, sudah bangkit berdiri dengan muka merah.

   "Orang she Bu! Kenapa engkau menjadi tuan rumah yang begini kasar dan kurang ajar? Kalau mau menghina orang dan membawa-bawa keluarga, apakah engkau lupa bahwa yang pura-pura menjadi pimpinan pendekar patriot, akan tetapi di sini mempunyai seorang isteri yang pernah menjadi Panglima Nepal? Bukankah itu berarti bahwa engkau telah berkhianat dan bersekongkol dengan bangsa Nepal pula?"

   Hebat sekali serangan kata-kata Wan Ceng ini. Wajah Bu Seng Kin menjadi merah sekali dan Nandini, Puteri Nepal itu sudah bangkit berdiri dengan marah.

   "Sudah sepatutnya kalau pihak tamu yang bersopan diri!"

   Bentak wanita ini.

   "Tamu yang menyerang tuan rumah dengan kata-kata adalah tamu-tamu yang tak tahu diri!"

   Akan tetapi suaminya sudah memberi isyarat agar ia duduk kembali, dan wanita Nepal itu duduk dengan marah.

   "Kao-taihiap datang bertiga dan agaknya sudah tahu bahwa kami di sini adalah pendekar-pendekar patriot yang menentang Kaisar Mancu yang lalim. Karena Sam-wi (Kalian Bertiga) merupakan utusan Kaisar, maka kami dapat saja nenganggap Sam-wi sebagai musuh-musuh kita, sebagai antek kaki tangan Kaisar. Kalau kami mengerahkan teman-teman untuk mengeroyok Sam-wi, apakah kalian tidak akan celaka?"

   "Boleh coba! Siapa takut keroyokan?"

   Tantang Wan Ceng dengan marah sambil bertolak pinggang. Suaminya lalu memegang tangannya dan dengan halus membujuknya untuk duduk kembali. Cin Liong juga membujuk ibunya sehingga akhirnya nyonya yang keras hati ini mau duduk kembali dengan kedua pipi merah dan mulut cemberut, sepasang matanya mencorong penuh kemarahan.

   "Harap saja Bu-locianpwe tidak berkata seperti itu. Kalau memang saya bermaksud buruk terhadap Bu-locianpwe dan semua teman, apa sukarnya bagi saya untuk datang bersama pasukan besar untuk menumpas kalian?"

   "Seperti yang telah dilakukan terhadap Siauw-lim-si?"

   Bu-taihiap mengejek.

   "Lihat, di antara ratusan orang murid Siauw-lim-pai, hanya delapan saudara inilah yang dapat lolos,"

   Katanya sambil menunjuk kepada delapan orang laki-laki gagah perkasa yang berdiri di sudut ruangan itu dengan sikap keren. Cin Liong memandang kepada mereka dan berkata,

   "Saya tidak tahu-menahu akan hal itu dan merasa ikut menyesal dengan terjadinya hal itu. Akan tetapi, kedatangan kami tanpa pasukan hanya untuk menunjukkan bahwa kami tidak bermaksud buruk terhadap Locianpwe dan teman-teman."

   "Ha-ha-ha, boleh saja kalau Kao-goanswe (Jenderal Kao) hendak membawa pasukan besar. Hendak kulihat apa yang dapat mereka lakukan kalau kuberi tahu bahwa Pangeran Kian Liong telah berada dalam tahanan kami!"

   Bukan main kagetnya Kao Cin Liong dan ayah bundanya mendengar ini. Mereka merasa terkejut dan juga khawatir. Dan Cin Liong menghadapi dua hal yang amat penting, yaitu soal merampas kembali pedang Koai-liong Po-kiam dan soal menyelamatkan Pangeran Mahkota. Tentu saja menyelamatkan Pangeran lebih penting. Hal ini juga diketahui oleh Kao Kok Cu. Maka pendekar ini lalu berkata dengan suaranya yang tenang sekali.

   "Bu-taihiap, urusan putera kami berkenaan dengan perintah Kaisar memang adalah urusannya sendiri, akan tetapi kalau sudah menyangkut diri Pangeran Mahkota, mau tidak mau aku pun terpaksa harus melibatkan diri. Siapa pun orangnya yang hendak mengganggu pribadi Pangeran Kian Liong, akan kuhadapi sebagai lawan! Nah, kami bertiga sudah berada di sini, dan kami bertiga siap mempertaruhkan nyawa kami demi melindungi keselamatan Sang Pangeran! Kalau kalian semua yang mengaku orang-orang gagah dan pendekar-pendekar hendak mengganggu Pangeran yang tidak mempunyai sangkut-paut dengan kelaliman Kaisar, maka kalian adalah orang-orang licik dan curang. Kami bertiga menantang untuk mengadu ilmu, guna memperebutkan Pangeran!"

   Bu-taihiap menjadi marah mendengar ini. Memang dia pun ingin membalas penghinaan tempo hari karena lamarannya ditolak. Akan tetapi, sebagai seorang pendekar besar dia pun tidak sudi untuk melakukan pengeroyokan. Nandini, Puteri Nepal yang merasa sakit hati karena penolakan lamaran tempo hari, kini mendengar pula penghinaan yang ditujukan kepada dirinya, sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dalam hal kekerasan hati, wanita ini tidak kalah oleh Wan Ceng, maka ia pun sudah bangkit berdiri lagi.

   "Bagus! Tamu menantang tuan rumah, sungguh merupakan kekurangajaran yang memuncak. Akulah yang akan maju lebih dulu melawan keluarga Kao yang sombong dan tinggi hati!"

   Berkata demikian, wanita Nepal ini telah mencabut pedang dan berdiri tegak, sinar matanya tertuju kepada Wan Ceng maka jelaslah oleh siapa pun juga bahwa wanita ini menantang isteri Naga Sakti Gurun Pasir! Tentu saja Wan Ceng merasa bahwa dirinya ditantang, maka ia pun meloncat bangun dan membentak,

   "Siapa sih takut melawan perempuan Nepal, panglima yang sudah jatuh dan kini menjadi selir orang?"

   Semua orang yang berada di situ maklum bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dihindarkan lagi,

   Maka mereka mundur sambil menarik bangku masing-masing, memberi tempat yang luas bagi mereka yang hendak berlaga. Kao Kok Cu dan Bu Seng Kin tidak dapat melarang isteri masing-masing. Pula, mereka yang akan berlaga adalah wanita lawan wanita dan masing-masing percaya akan kelihaian isteri mereka, dan perkelahian dilakukan dengan satu lawan satu, maka sebagai orang-orang gagah mereka merasa malu untuk melarang. Wan Ceng tersenyum dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia pun mencabut pedangnya yang begitu dicabut, membuat semua orang merasa serem. Pedang itu adalah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang hawanya saja sudah terasa oleh semua orang, hawa yang mengerikan.

   "Hemm, engkau menantang sambil mencabut pedang, berarti engkau sudah bosan hidup!"

   Kata Wan Ceng sambil melintangkan pedang di depan dada.

   "Mulailah!"

   "Isteriku, jangan sampai membunuh orang!"

   Tiba-tiba terdengar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir berkata dengan halus kepada isterinya. Wan Ceng menoleh kepada suaminya, melihat sepasang mata suaminya memandangnya penuh teguran. Ia pun tersenyum, mengangguk dan menoleh lagi kepada Nandini sambil berkata,

   "Untung bagimu, suamiku melarangku membunuhmu."

   Ucapan terakhir ini merupakan kata-kata yang oleh Nandini diterima sebagai kesombongan yang melampaui batas dan amat menghina. Ia adalah seorang bekas panglima yang tentu saja menganggap kematian dalam pertempuran sebagai hal yang sudah wajar dan tidak perlu ditakuti, akan tetapi calon lawannya begitu memandang ringan kepadanya, seolah sudah memastikan bahwa ia akan kalah!

   "Tak perlu banyak cerewet, bersiaplah untuk mampus!"

   Pedangnya menyambar ganas dan wanita Nepal ini sudah menerjang dengan dahsyat. Wanita ini jauh lebih tinggi daripada Wan Ceng dan memiliki tenaga besar, dan karena hatinya marah sekali, maka begitu menerjang ia telah melakukan serangkaian serangan yang bertubi-tubi. Wan Ceng memutar Ban-tok-kiam dan menangkis atau mengelak dari semua serangan itu, diam-diam memperhatikan gaya ilmu pedang lawan yang ternyata tidaklah lemah. Dan memang Nandini selama ini memperoleh petunjuk dari suaminya sehingga ilmu pedangnya memperoleh kemajuan pesat. Betapapun juga, yang dilawannya adalah Wan Ceng, seorang wanita yang selain memiliki tenaga sin-kang yang hebat berkat anak ular naga yang pernah dimakannya (baca cerita SEPASANG RAJAWALI),

   Juga ia mempelajari banyak macam ilmu dan akhirnya menerima petunjuk dari suaminya yang sakti. Maka, menghadapi Wan Ceng, Nandini masih kalah setingkat, lebih dari itu, pedang di tangan Wan Ceng adalah pedang Ban-tok-kiam yang menggiriskan. Baru hawa pedang saja kalau menyambar mendatangkan rasa dingin dan perih, dan kalau sampai mengenai kulit lawan, amatlah berbahaya karena tanpa adanya obat penawar dari Wan Ceng, nyawa lawan sukar tertolong lagi! Agaknya Nandini mengenal pedang ampuh dan berbahaya, maka ia pun memutar pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya agar jangan sampai terluka pedang lawan. Kao Kok Cu yang melihat betapa isterinya masih lebih tinggi ilmunya, merasa khawatir kalau-kalau pihak lawan akan terluka oleh Ban-tok-kiam, maka dia meneriaki isterinya,

   "Isteriku, jangan menggunakan Ban-tok-kiam!"

   Mendengar kata-kata ini, Wan Ceng tertawa lalu menyimpan kembali pedangnya.

   Melihat ini, Nandini juga menghentikan serangan pedangnya. Ia tidak mau menyerang lawan yang sudah menyimpan senjatanya. Hal ini saja sudah membuat berkurang kebencian dari hati Wan Ceng. Kiranya wanita Nepal ini memiliki watak yang gagah pula, pikirnya kagum. Ia tadi mentaati suaminya bukan karena ia takut kepada suaminya. Sama sekali tidak, bahkan terlalu sering ia membantah sampai membuat suaminya kadang-kadang pusing. Akan tetapi ia kini menurut karena dengan perbuatan itu seolah-olah ia telah menang angin dan "mengampuni"

   Lawan. Kini ia tersenyum dan mengeluarkan dua buah pisau belati dari pinggangnya. Inilah sepasang senjatanya yang amat diandalkan ketika ia masih gadis dahulu. Sepasang belati ini sama sekali tidak beracun, dan memang inilah yang dikehendaki oleh suaminya.

   Kalau hanya menghadapi Nandini dengan kedua tangan kosong, amatlah berbahaya bagi Wan Ceng, akan tetapi dengan senjata sepasang belati ini, Kao Kok Cu dapat menilai bahwa isterinya takkan kalah, dan kalau sampai isterinya melukai lawan sekalipun, maka luka dengan belati jauh lebih ringan kalau dibandingkan dengan luka karena Ban-tok-kiam. Melihat Wan Ceng telah memegang sepasang pisau belati, Nandini mengeluarkan teriakan nyaring dan sudah menyerang lebih ganas daripada tadi. Wanita ini semakin penasaran dan marah karena pergantian senjata dari lawan itu jelas merupakan penghinaan dan pandangan yang merendahkan dirinya. Sementara itu, diam-diam Bu-taihiap mengeluh karena dia tahu bahwa isterinya ini masih kalah dibandingkan dengan nyonya pendekar Gurun Pasir itu. Akan tetapi dia pun merasa kagum dan lega bahwa Naga Sakti Gurun Pasir itu menyuruh isterinya berganti senjata.

   Dia mengenal pedang yang amat menggiriskan itu dan tadi diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan isterinya. Betapapun juga, dia merasa menyesal akan watak keras Nandini yang telah berani maju, tidak memperhitungkan kepandaiannya sendiri. Memang, isterinya itu telah memiliki kepandaian yang cukup hebat dan di atas kepandaian kebanyakan orang, namun dibandingkan dengan dua isterinya yang lain, yaitu Gu Cui Bi dan Tang Cun Ciu, Nandini masih kalah jauh. Andaikata yang maju tadi Gu Cui Bi agaknya baru ramai melawan nyonya galak itu, dan kalau Tang Cun Ciu yang maju, dia yakin pihaknya akan menang. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tentu saja Nandini yang maju karena isterinya itu tentu saja merasa sakit hatinya oleh penolakan ikatan jodoh antara puterinya dan putera keluarga Kao, maka tadi pun dia tidak melarang.

   Kekhawatiran pendekar ini memang terbukti. Biarpun kini ia telah berganti senjata dengan sepasang belati, namun ternyata memang tingkat kepandaian Wan Ceng masih menang dibandingkan dengan lawannya, maka setelah lima puluh jurus, Wan Ceng "mengunci"

   Pedang lawan dengan putaran pisau belatinya yang kiri, dan cepat sekali pisau belatinya yang kanan bergerak ke depan. Mestinya pisau belati itu menusuk lambung, akan tetapi sengaja ia menurunkan sasarannya sehingga pisau belatinya menusuk dan merobek paha kiri lawan. Nandini mengeluarkan teriakan kaget dan meloncat ke belakang, terhuyung karena pahanya terobek dan berdarah cukup banyak. Melihat ini, Siok Lan berteriak marah dan meloncat ke depan untuk menyerang Wan Ceng, akan tetapi Bu-taihiap membentak.

   "Siok Lan, mundur kau!"

   Gadis itu memandang marah, akan tetapi tidak melanjutkan serangannya lalu memapah ibunya dan merawat luka di paha dengan obat dan membalutnya.

   Gu Cui Bi, isteri Bu-taihiap yang lain, tetap duduk diam saja tidak mau mencampuri urusan itu. Keluarga Kao ribut dengan suaminya dan Nandini, ia tahu karena lamaran ditolak dan hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Bahkan adanya Siok Lan sebagai puteri suaminya dan Nandini itu kadang-kadang mendatangkarn rasa iri dalam hatinya. Maka kali ini ia pun diam saja. Berbeda dengan Tang Cun Ciu, mendengar bahwa keluarga itu datang untuk juga mengejar Sim Hong Bu dan tentu saja untuk merampas kembali Koai-liong Po-kiam, ia sebagai pencuri pedang itu dari istana merasa ikut bertanggung jawab. Melihat kekalahan Nandini dan melihat ilmu silat isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, ia merasa sanggup untuk menandinginya, maka sekali meloncat ia sudah berada di tengah ruangan itu menghadapi Wan Ceng.

   "Biarlah aku yang melawan penga-cau!"

   Teriaknya. Wan Ceng mengenal wanita ini, maka ia tersenyum mengejek.

   "Tidak usah isteri orang she Bu maju satu demi satu, biarlah maju semua sekaligus, biar ada seratus orang sekalipun, siapa takut?"

   Tentu saja ejekan ini amat menyakitkan, akan tetapi Bu-taihiap yang memang merupakan seorang pria yang paling tebal muka terhadap urusan wanita, tertawa,

   "Wah, kalau ada seratus, betapa senangnya, akan tetapi aku tentu repot sekali! Ha-ha-ha!"

   Diam-diam Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir mengerutkan alis, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya hatinya yang berbisik betapa pria itu benar-benar merupakan seorang perayu wanita, seorang bandot yang luar biasa akan tetapi juga jujur!

   "Ibu, harap suka mundur, biarkan aku menghadapi nyonya ini!"

   Tiba-tiba Cin Liong sudah meloncat maju ke dekat ibunya. Wan Ceng sebenarnya tidak takut menghadapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, hanya ia agak lelah menghadapi Nandini yang cukup tangguh tadi, maka ia mengangguk lalu mundur, duduk di dekat suaminya. Sejenak mereka saling berhadapan dan saling berpandangan. Keduanya sama-sama maklum bahwa lawannya yang dihadapi amatlah tangguhnya. Cin Liong sudah tahu bahwa wanita yang bernama Tang Cun Ciu ini berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah), seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, seorang tokoh dari keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal lihai itu. Bahkan wanita inilah yang telah mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam dari gudang istana!

   Sementara itu, Tang Cun Ciu juga tidak berani memandang rendah lawannya. Biarpun pemuda ini masih muda, akan tetapi pemuda ini adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan sedemikian mudanya telah diangkat menjadi jenderal yang berarti bahwa tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Dengan gerakan yang halus Tang Cun Ciu mencabut sebatang pedang dari punggungnya. Wanita ini memiliki banyak macam ilmu silat, akan tetapi kelihaiannya memang dalam bersilat pedang, dan untuk ilmu ini ia pernah menerima ilmu dari mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, yaitu yang disebut Pat-hong Sin-kiam (Pedang Sakti Delapan Penjuru Angin). Ilmu ini telah dipecah menjadi dua, yaitu ilmu silat tangan kosong. Dan gerakan ilmu pedangnya juga berdasar dari ilmu keluarga Cu yang amat tangguh.

   "Jenderal Muda, keluarkanlah senjatamu!"

   Tantangnya dengan suara lantang namun sikapnya tenang seolah-olah wanita setengah tua yang masih cantik ini sudah yakin akan kemenangannya. Cin Liong sebetulnya lebih suka menghadapi lawan dengan mengandalkan kaki tangan saja, akan tetapi dia menghadapi isteri seorang locianpwe, maka dia tidak ingin dianggap memandang rendah kalau bertangan kosong saja. Maka dia pun mencabut sebatang pedang, yaitu pedang pemberian Kaisar sendiri sebagai tanda pangkatnya. Karena dia sedang menjalankan tugas sebagai utusan Kaisar, maka biarpun dia mengenakan pakaian biasa, namun pedang pangkatnya itu tidak pernah ditinggalkannya. Melihat Cin Liong sudah mencabut senjatanya pula, Tang Cun Ciu lalu membentak,

   "Lihat senjata!"

   Dan pedangnya yang sudah berkelebat, berubah menjadi sinar yang amat menyilaukan mata karena cepatnya.

   "Tranggg....!"

   Cin Liong sengaja menangkis karena dia hendak menguji sampai di mana kuatnya tenaga lawan. Kedua pihak merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat, tanda bahwa pertemuan kedua pedang itu amatlah kuatnya, dan tahulah mereka bahwa pihak lawan memang memiliki sin-kang yang kuat. Mereka sejenak memandang ke arah pedang masing-masing dan merasa lega bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan yang amat keras tadi. Tang Cun Ciu sudah menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi, dan kini ia tidak mengandalkan tenaga melainkan kecepatannya.

   

Jodoh Rajawali Eps 38 Jodoh Rajawali Eps 54 Jodoh Rajawali Eps 34

Cari Blog Ini