Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 10


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Jangan kau khawatir, asal engkau tidak membangkang perintah Pangcu, isterimu itu tentu tidak akan diganggu."

   "Isteri? Dia bukan isteriku,"

   Jawab Kian Lee. Karena Cui Lan tidak terancam seperti ketika para bajak laut tadi hendak kurang ajar, maka dia tidak perlu lagi mengaku sebagai suami dara itu, pikirnya.

   "Ahhh....!"

   Kim-hi Nio-cu berseru kaget dan girang. Jadi pemuda ini benar-benar masih perjaka, pikirnya kagum.

   "Dan kakek itu?"

   Kian Lee teringat bahwa dua orang itu, terutama Hok-taijin, harus menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menjawab cepat,

   "Dia adalah sahabatku, dan gadis itu puterinya. Kami sedang mencari ikan ketika bajak-bajak itu memaksa kami membawa mereka sampai bertemu dengan kalian."

   "Dan kau begitu gagah dan berkepandaian tinggi....!"

   Kian Lee tersenyum mengejek.

   "Dan tidak berdaya karena kecurangan kalian!"

   Kim-hi Nio-cu tertawa kecil dan menutupi mulut dengan gaya genit.

   "Kami golongan wanita, selain menggunakan ilmu silat juga harus menggunakan akal dan siasat menghadapi kaum pria. Hihik. Eh, pemuda yang lihai, siapakah namamu?"

   "Tidak perlu mengenal namaku, kuberitahu pun kau takkan mengenalku."

   "Wah-wah, tanpa nama bagaimana dapat menyebut dan memanggilmu?"

   Kim-hi Nio-cu tertawa genit karena dia makin tertarik kepada pemuda yang aneh ini.

   "Hemmm, sebut saja aku Nelayan"

   Kata Kian Lee yang memang tidak ingin memperkenalkan namanya sembarangan saja.

   "Eh, Nelayan Muda, ya, kusebut kau Nelayan Muda, yang tampan dan gagah!"

   Kian Lee merasa jemu dan membuang muka, selanjutnya tidak melayani lagi semua kata-kata Kim-hi Nio-cu yang jelas amat tertarik kepadanya.

   Pelayaran itu makan waktu lama juga, sampai sehari semalam barulah si nenek memerintahkan semua perahu ke pinggir. Selama itu, Kian Lee, Cui Lan dan Hok-taijin tidak mendapat gangguan, dan diajak makan bersama dengan baik, hanya Kian Lee yang selalu diganggu oleh rayuan Kim-hi Nio-cu yang sama sekali tidak dilayaninya dan karena wanita itu maklum akan kelihaian pemuda itu maka dia pun tidak berani menggunakan paksaan. Semua orang mendarat dan beberapa orang anggauta Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Kim-hi Nio-cu menodongkan pedang mereka ke punggung Cui Lan dan Hok-taijin. Karena ini maka Kian Lee tidak berdaya sama sekali dan dia pun ikut mendarat, akan tetapi dia tetap bersikap tenang. Nenek itu kini menghadapinya, memandang dengan penuh perhatian, kemudian berkata,

   "Orang muda, kami merasa kagum sekali padamu dan kami mengundangmu untuk datang berkunjung ke markas kami di puncak Bukit Cemara."

   Setelah berkata demikian, nenek itu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk berangkat.

   "Tapi, Pangcu....!"

   Kian Lee membantah. Kim-hi Nio-cu mendorong Cui Lan dan Hok-taijin ke depan dan dari jauh dia berkata kepada Kian Lee,

   "Nelayan Muda, tidak ada yang boleh membantah kehendak Pangcu, apalagi beliau mengundangmu dengan baik-baik sebagai seorang tamu. Jangan sampai kami terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap dua orang kawanmu ini."

   Karena Cui Lan dan Hok-taijin di todong, maka terpaksa. Kian Lee mengangguk dan mengikuti perjalanan mereka. Dia maklum bahwa selama dia tidak membantah, tentu dua orang itu selamat dan karena permintaan mereka itu pun bukan hal yang tidak patut, melainkan mengundangnya datang berkunjung, dia pun tidak keberatan. Pula, dia pun ingin mengenal markas perkumpulan yang semua anggautanya terdiri dari wanita-wanita yang memiliki kepandaian lumayan ini.

   Belum jauh mereka berjalan, baru tiba di kaki bukit, mereka telah disambut oleh serombongan wanita yang dipimpin oleh seorang wanita muda berpakaian serba hitam seperti Kim-hi Niocu, mukanya putih dan manis dan rombongan ini segera memberi hormat kepada Hek-eng-pangcu dengan hormat. Kiranya mereka itu adalah Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li. Tiba di lereng bukit, mereka disambut oleh Pasukan Kayu dan Kian Lee merasa makin kagum. Kiranya perkumpulan Hek-engpang itu sungguhpun merupakan perkumpulan kaum wanita, namun mempunyai disiplin yang baik dan semua anggautanya kelihatan gagah dan patuh kepada pimpinan mereka. Setelah mereka tiba di puncak di mana terdapat markas perkumpulan itu yang merupakan sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok seperti benteng dan mereka memasuki pintu gerbang, Kian Lee menjura ke arah nenek itu dan berkata,

   "Saya kira cukup sampai di sini saja dan harap Pangcu suka membiarkan kami bertiga kembali ke perahu kami."

   Hek-eng-pangcu yang tadi merasakan kelihaian pemuda itu sudah merasa tertarik dan ingin sekali dia mendapatkan seorang pembantu selihai itu, maka mendengar ucapan itu dia menjawab dengan suara dingin.

   "Kami bermaksud baik, hendak menjamu Sicu sebagai seorang tamu yang terhormat. Bawa mereka ke dalam!"

   Perintahnya kepada Kim-hi Niocu yang segera menggiring Cui Lan dan Hok-taijin ke dalam di bawah todongan pedangnya. Cui Lan menoleh dan memandang ke arah Kian Lee dengan alis berkerut dan melihat pemuda itu seperti orang marah, dia khawatir kalau-kalau pemuda itu menjadi marah dan mengamuk,

   Maka dia cepat menggelengkan kepalanya dan tersenyum menenangkan hati Kian Lee. Kian Lee menarik napas panjang dan diam-diam dia memuji Cui Lan yang dalam segala hal selalu bersikap tenang dan tidak putus harapan, sama sekali tidak kelihatan khawatir. Setelah dua orang itu "disimpan"

   Nenek itu sendiri lalu mempersilakan Kian Lee memasuki ruangan luas di sebuah gedung pusat di mana akan diadakan pesta untuk merayakan kemenangan mereka yang berhasil membalas
(Lanjut ke Jilid 10)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
penghinaan yang ditimpakan kepada dua orang anggauta mereka. Kian Lee dipersilakan duduk di meja nenek itu sendiri dan tak lama kemudian hidangan-hidangan pun dikeluarkan.

   "Saya harap Pangcu tidak melupakan dua orang kawan saya, karena kalau mereka itu sengsara, bagaimanapun saya tidak suka makan minum, kata Kian Lee.

   "Hemmm, Sicu benar-benar seorang gagah perkasa yang tahu akan setia kawan. Sungguh aku merasa kagum sekali. Jangan Sicu khawatir, dua orang kawanmu itu tidak akan mengalami suatu kesengsaraan apa pun dan mereka saat ini juga dijamu seperti Sicu, hanya tempatnya yang berbeda. Mari minum untuk persahabatan kita, Sicu."

   Tiba-tiba seorang anggauta Hek-engpang datang melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan pangcu.

   "Siapa dia? Liong-li, kau lihat siapa dia dan apa niatnya!". Liong-li, kepala Pasukan Tanah yang hadir dalam pesta itu bersama empat orang kepala pasukan lainnya, cepat bangkit dan berjalan cepat keluar bersama anggauta yang melaporkan itu dan tak lama kemudian dengan wajah berubah lalu mendekati nenek itu dan berbisik,

   "Pangcu, dia.... dia itu yang datang.... Si Jari Maut"

   "Ahhh....? Persilakan dia masuk!"

   Katanya dengan wajah berubah.

   Dia dahulu telah mendengar laporan Kim-hi Nio-cu dan Liong-li tentang seorang pemudai lihai bukan main yang memesan kepada wanita itu agar mengatakan kepada ketuanya bahwa dia akan datang berkunjung dan kalau si ketua bertanya disuruh mengatakan bahwa dia adalah seorang yang biasa membunuh dengan jari tangan! Hek-eng-pangcu sudah mendengar bahwa orang muda selihai itu yang biasa membunuh dengan jari tangan tentulah Si Jari Maut yang beberapa tahun yang lalu namanya menggetarkan dunia kang-ouw. Kini ternyata pemuda itu benar-benar muncul! Padahal tadinya, diam-diam di dalam hatinya timbul dugaan bahwa pemuda nelayan itulah Si Jari Maut karena menurut berita, Si Jari Maut itu yang memiliki kesaktian hebat adalah seorang pemuda yang tampan. Sekarang kiranya bukan pemuda yang duduk di depannya ini.

   "Aku sudah di sini, Pangcu!"

   Tiba-tiba terdengar suara tenang, dingin dan tegas. Kian Lee terkejut bukan main ketika dia menoleh dan melihat bahwa orang yang masuk itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

   "Saudara Ang...., kau di sini....?"

   Tentu saja Kian Lee menegur dengan ragu-ragu dan heran karena sepanjang pengetahuannya, Ang Tek Hoat telah menjadi panglima di Bhutan, bahkan telah menjadi calon suami Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tempat ini dan mengaku lagi julukannya yang telah lama ditinggalkannya itu, julukan ketika Si Jari Maut ini masih menggunakan nama Gak Bun Beng, suhengnya, ketika pemuda ini memburuk-burukkan nama Gak Bun Beng dengan segala macam kejahatan karena menganggap Gak Bun Beng seorang musuh besarnya? Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali diceritakan dengan jelas tentang peristiwa itu.

   Pemuda itu memang Ang Tek Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia pernah bertemu dengan Kimhi Nio-cu dan Liong-li ketika dia menolong dua orang putera Jenderal Kao Liang yang terancam keselamatannya oleh dua orang dari Huang-ho Kui-liongpang, kemudian dia mengatakan kepada dua orang kepala pasukan Hek-eng-pang itu bahwa dia akan mengunjungi ketua mereka. Ketika dia memandang kepada pemuda yang menyebutnya pada she-nya itu segera dia mengenal putera Pulau Es itu, putera Majikan Pulau Es! Bahkan dia pun tahu bahwa Suma Kian Lee ini terhitung masih paman tirinya sendiri. Suma Kian Lee adalah putera dari neneknya, Lulu dan Suma Han si Pendekar Super Sakti, sedangkan mendiang ayahnya yang amat jahat itu, Wan Keng In, adalah putera Lulu bersama seorang she Wan.

   Akan tetapi, mengingat akan pesan ibunya yang kini telah tewas dalam cara yang menyedihkan sekali, biarpun dahulu dia tidak setuju dengan pesan ibunya, yaitu bahwa dia harus membalas dendam kepada keluarga Pulau Es, kini melihat Suma Kian Lee dia teringat akan ibunya dan hatinya menjadi dingin terhadap keluarga yang dibenci oleh ibunya itu. Dengan sikap dingin dan acuh tak acuh dia mengangguk kepada Kian Lee. Tentu saja Kian Lee menjadi heran menyaksikan sikap Tek Hoat ini. Bukankah pemuda yang tadinya tersesat itu kabarnya telah menjadi baik kembali? Bukankah pemuda itu sudah maklum bahwa dia masih terhitung pamannya sendiri? Akan tetapi jelas bahwa sikap Tek Hoat seperti sikap seorang musuh! Ada apa pula ini?

   "Aihhh.... Ji-wi (Anda Berdua) sudah mengenal?"

   Hek-eng-pangcu terkejut dan heran, memandang kepada Kian Lee dengan kagum. Kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, bukan seorang nelayan biasa melainkan seorang sahabat dari Si Jari Maut yang amat tersohor itu! Tek Hoat tersenyum mengejek dan sambil memandang kepada Suma Kian Lee, dia berkata,

   "Siapa yang tidak mengenal Suma Kian Lee, saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka yang kalian cari-cari itu?"

   Mendengar ini, nenek itu dan semua anak buahnya berteriak kaget dan otomatis mereka bergerak mengepung Kian Lee.

   "Hemmm, bagus! Kiranya engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang mencuri harta keluarga Jenderal Kao? Kiranya engkau memang sengaja hendak menyelidiki dan memata-matai kami? Hayo katakan di mana harta itu, kalau kau tidak mengaku, jangan harap akan dapat lolos dari tempat ini!"

   Yang-liu Nio-nio mengangkat tangannya dan seorang anak buahnya melemparkan sebatang ranting pohon yang-liu yang segar kepadanya.

   Kian Lee memandang kepada Tek Hoat yang kini tersenyum-senyum duduk di atas sebuah kursi minum arak dan sikapnya sebagai orang yang menonton dan menikmati pertunjukan yang menyenangkan hati. Bermacam perasaan mengaduk hati Kian Lee. Pertama, dia teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin yang masih terancam keselamatannya. Ke dua, dia merasa heran mendengar adiknya, Suma Kian Bu, merampok harta benda Jenderal Kao. Mungkinkah ini? Akan tetapi kalau tidak, mengapa Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerang dia? Benarkah Kian Bu kini telah tersesat dan menjadi seorang perampok? Ke tiga, dia merasa gembira juga men-dengar tentang Suma-kongcu yang tentu saja Kian Bu adanya, kalau tidak siapa lagi? Berita itu menandakan bahwa Kian Bu masih hidup dan berada di sekitar daerah ini. Ke empat, dia juga heran dan tidak mengerti melihat sikap Tek Hoat.

   "Apa artinya ini? Aku tidak tahu sama sekali tentang harta pusaka Jenderal Kao!"

   Teriaknya penasaran, melihat dirinya dikepung oleh para anak buah Hek-eng-pang.

   "Tak perlu menyangkal lagi, orang muda engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka Jenderal Kao, akan tetapi engkau menyamar sebagai seorang nelayan miskin. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa engkau sedang melakukan penyelidikan. Sekarang lekas mengaku, di mana saudaramu itu menyembunyikan harta pusaka itu, kalau tidak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan."

   Kian Lee menjadi marah. Apa pun yang dilakukan andaikata benar adiknya merampas harta pusaka keluarga Jenderal Kao, tentu telah diperhitungkan oleh adiknya itu dan tentu ada alasannya yang kuat.

   "Pangcu, kau hendak menggunakan kekerasan bagaimana? Silakan!"

   Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan ranting pohon yang-liu di tangan kirinya itu dan terdengarlah teriakan nyaring dari mulut lima orang wanita cantik, yaitu Kim-hi Nio-cu, Liong-li dan tiga orang kepala pasukan yang semua telah berkumpul di situ. Lima orang wanita cantik ini maju mengepung diiringi pasukan masing-masing yang terdiri dari dua belas orang sehingga ketika itu ada enam puluh orang wanita mengepung Kian Lee dari lima penjuru, semuanya memegang senjata!

   "Hemmm, kalian sungguh nekad dan gila!"

   Kian Lee membentak.

   "Aku sungguh tidak tahu-menahu tentang harta pusaka yang kalian maksudkan itu, akan tetapi kalau kalian memaksa dan hendak bertanding, majulah!"

   Kembali lima orang wanita cantik itu kini bergerak secara teratur sekali, membentuk lingkaran dan bergerak-geraklah lingkaran yang berlapis dua itu, yang sebelah dalam bergerak dari kanan ke kiri sedangkan yang sebelah luar bergerak sebaliknya dari kiri ke kanan. Senjata mereka berbeda, yang depan menggunakan golok dan pedang akan tetapi barisan lingkaran ke dua menggunakan tombak dan senjata bergagang panjang. Yang-liu Nio-nio dan lima orang muridnya itu hanya berdiri di luar lingkaran, menonton dan mengatur barisan. Ketika Kian Lee melirik, dia melihat Tek Hoat masih duduk minum arak sambil tersenyum-senyum sehingga hatinya merasa mendongkol bukan main.

   "Seranggggg....!"

   Terdengar teriakan nenek itu dan lingkaran dalam itu segera berhenti gerakannya memutari tubuh Kian Lee dan berkelebatanlah pedang dan golok, menimbulkan sinar yang menyilaukan mata menyambar ke arah Kian Lee dari semua jurusan! Pemuda ini tentu saja tidak dapat mengelak ke kanan atau kiri atau belakang karena senjata-senjata itu datang dari semua jurusan. Namun dia menggunakan keringanan tubuhnya dan tiba-tiba tiga puluh orang wanita dari barisan lingkaran pertama itu terkejut karena pemuda itu telah lenyap dari tengah-tengah mereka. Kiranya Kian Lee telah mencelat ke atas. Nenek ketua Hek-eng-pang yang memimpin langsung penyerbuan itu berteriak lagi dan kini lingkaran pertama mundur dan lingkaran ke dua maju, menggunakan tombak mereka untuk menyambut tubuh Kian Lee yang melayang turun!

   Pemuda ini terpaksa menggerakkan kedua tangannya, didorongkan ke sekelilingnya dan lingkaran pemegang tombak dan senjata panjang itu menjadi kalang kabut karena mereka terhuyung-huyung sebelum senjata mereka sempat menyentuh tubuh pemuda itu sehingga Kian Lee dapat turun ke atas lantai dengan selamat, akan tetapi kini dua barisan lingkaran itu telah mengepungnya lagi. Wajah pemuda itu menjadi merah dan sinar matanya mulai bercahaya. Seperti juga adiknya, Suma Kian Lee memiliki sepasang mata seperti mata ayahnya, Pendekar Super Sakti, yaitu tajam sekali sinarnya. Hanya bedanya, kalau sinar mata Pendekar Super Sakti mengandung keanehan yang mujijat daya sihir yang kuat dan berwibawa, mata dua orang puteranya itu hanya tajam saja, membayangkan kewajaran dan keberanian yang luar biasa.

   "Kalian memaksa hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!"

   Kata-katanya ini disusul dengan gerakan tubuhnya, kedua tangannya mendorong ke sana-sini dan terdengarlah teriakan-teriakan dan jerit-jerit para wanita yang mengepung itu karena enam puluh orang wanita itu seperti daun-daun kering diamuk badai, terpelanting ke sana-sini, terhuyung dan ada yang terjengkang roboh, senjata mereka terpental dan mencelat ke mana-mana, menimbulkan suara gaduh ketika terbanting ke atas lantai.

   Dalam waktu singkat saja Kian Lee telah membuat enam puluh orang anggauta Hek-engpang itu mundur ketakutan, barisan mereka rusak dan biarpun tidak ada di an-tara mereka yang tewas, namun semua telah dibikin takut dan kaget oleh hawa pukulan yang menyambar dari kedua tangan pemuda itu, hawa pukulan rasa panas yang luar biasa dan menakutkan. Memang tadi untuk membuyarkan lingkaran yang mengurungnya dengan ketat, Kian Lee telah menggunakan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang yang panas. Tentu saja lima orang kepala pasukan itu menjadi kaget setengah mati menyaksikan betapa enam puluh orang anak buah mereka dibikin kocar-kacir semudah itu oleh Kian Lee. Mereka tahu bahwa pemuda itu memang hebat, akan tetapi ketika guru mereka memberi isyarat,

   Mereka berlima menemani guru mereka mengurung Kian Lee. Kini pemuda itu dikurung oleh enam orang, yaitu Nenek Yang-liu Nio-nio ketua Hek-eng-pang dan lima orang muridnya yang masing-masing menjadi kepala pasukan di perkumpulan itu. Jumlah murid langsung dari nenek ini hanya ada belasan orang saja dan yang lima ini merupakan murid-murid utama, maka tentu saja mereka berlima telah memiliki kepandaian yang lumayan. Kalau lima orang muridnya itu masing-masing memegang senjata tajam seperti siang-kiam, golok, pedang dan lain-lain, adalah Si nenek itu sendiri hanya membawa sebatang ranting yang-liu tadi karena memang itulah senjatanya yang paling ampuh, di samping pukulan atau cengkeraman tangannya yang terkenal yaitu Hek-eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda Hitam yang mengandung racun berbahaya.

   "Bentuk barisan mengepung! Jaga dua orang itu agar jangan lolos!"

   Tiba-tiba nenek itu berseru kepada semua anak buahnya yang kocar-kocir tadi. Biarpun takut-takut, enam puluh orang itu sudah berkumpul dan membentuk lingkaran lebar mengurung ruangan itu, dan beberapa orang murid ketua itu sendiri yang memimpin penjagaan terhadap Cui Lan dan Hok-taijin agar jangan ka-bur dan menodongkan senjata mereka kepada dua orang tawanan ini.

   "Hek-eng-pangcu, engkau sungguh terlalu!"

   Tiba-tiba Kian Lee membentak dan tubuhnya sudah bergerak menyerang ke depan, Yang-liu Nio-nio menggerakkan rantingnya dan lima orang muridnya juga sudah menubruk dengan serangan dalam berbagai gaya. Kian Lee menggerakkan tubuhnya, mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru dan ramai! Tentu saja kalau Kian Lee bermaksud membunuh mereka berenam, dia tidak akan membutuhkan terlalu banyak waktu.

   Namun pemuda ini tidak suka membunuh, maka dia hanya mempertahankan diri, kemudian kalau dia membalas, itu pun dilakukan dengan hati-hati agar jangan sampai membunuh orang. Kian Lee adalah seorang pemuda yang selalu berhati-hati dan sikapnya bijaksana. Dalam keadaan marah sekalipun dia tetap tenang dan waspada, tidak mau diseret oleh arus kemarahannya dan dia masih sadar bahwa para murid Yangliu Nio-nio ini hanyalah mentaati perintah guru mereka, maka dia pun bersikap lunak terhadap mereka. Yang diincarnya adalah Yang-liu Nio-nio, maka ketika dia memperoleh kesempatan baik, pada saat nenek itu menggerakkan ranting untuk melecutnya, dia tidak menangkis, membiarkan ranting itu melecut lehernya, dan dengan pengerahan tenaganya dia menangkis cengkeraman tangan nenek itu yang ditujukan ke arah lambungnya.

   "Plakkk! Aughhh....!"

   Nenek itu melompat jauh ke belakang sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya, mengaduh-aduh karena biarpun tulang lengannya tidak patah, namun hawa dingin yang menusuk tulang menjalar dari lengan itu sampai ke dalam dadanya! Kemudian nenek itu lari keluar dari kepungan anak buahnya, menghampiri Tek Hoat yang masih menonton dengan sikap acuh tak acuh.

   "Mengapa Sicu diam saja? Bantulah kami! Bukankah Sicu datang sebagai tamu kami?"

   Katanya. Tek Hoat tersenyum dan memandang ke arah Kian Lee yang masih dikepung anak buah Hek-eng-pang itu, kemudian menghadapi nenek itu.

   "Aku sanggup mengalahkan dia dan membantumu, akan tetapi aku tidak pernah membantu orang-orang seperti engkau tanpa imbalan."

   "Apa imbalannya? Katakan!"

   Nenek itu mendesak karena melihat betapa anak buahnya kini telah mulai terlempar ke sana-sini oleh amukan Kian Lee.

   "Kalian harus membantuku menyerbu Liong-sim-pang "

   "Apa? Liong-sim-pang di puncak Naga Api?"

   Nenek itu terbelalak dan kelihatan khawatir sekali. Siapa yang tidak mengenal nama Hwa-i-kongcu, ketua perkumpulan Liong-sim-pang yang amat lihai dan memiliki banyak anak buah dan memiliki tempat yang juga amat kuat seperti benteng istana itu?

   "Aku akan membebaskan seseorang yang tertawan di sana. Bagaimana, mau atau tidak?"

   Tek Hoat bertanya, sambil tetap tersenyum. Terdengar suara menjerit dan tubuh Kim-hi Nio-cu yang terlempar itu jatuh berdebuk di depan kaki Yang-liu Nionio.

   "Pangcu.... aduhhh.... kami tidak kuat menghadapinya"

   Kim-hi Nio-cu mengeluh dan mengelus pinggulnya yang tadi terkena ditendang kaki Kian Lee.

   "Kami terima syaratmu, orang muda. Nah, kau robohkan dia dan kami akan membantumu menyerbu Liong-sim-pang!"

   Akhirnya nenek itu berkata dengan cepat.

   "Mundurlah kalian semua!"

   Tiba-tiba Tek Hoat membentak, suaranya mengandung getaran khikang kuat sehingga biarpun yang memerintah mereka ini bukan ketua atau kepala mereka, melainkan seorang pemuda yang belum mereka kenal, namun bentakan Tek Hoat itu membuat mereka semua mundur, apalagi karena memang mereka telah merasa jerih sekali terhadap Kian Lee. Dua orang pemuda itu kini berdiri saling berhadapan. Keduanya sama tampan dan sama gagahnya, dan mereka kini bukan lagi pemuda lima tahun yang lalu.

   Ang Tek Hoat telah berusia dua puluh tiga tahun, dan Suma Kian Lee sudah berusia hampir dua puluh dua tahun. Mereka telah menjadi seorang laki-laki, seorang yang sudah dewasa dan matang, bukan lagi seorang pemuda remaja seperti ketika mereka pernah saling bertemu empat lima tahun yang lalu. Keadaan menjadi penuh ketegangan dan ini dirasakan oleh Yang-liu Nio-nio dan semua murid dan anak buah mereka yang kini menjadi penonton, tidak bergerak. Bahkan mereka yang ditugaskan menjaga Cui Lan dan Hok-taijin, kini juga membawa dua orang tawanannya itu keluar di bawah todongan senjata, untuk menyaksikan pertandingan yang tentu akan terjadi hebat sekali antara Si Jari Maut yang nama besarnya telah mereka dengar melawan pemuda nelayan yang ternyata adalah saudara dari Suma-kongcu yang mereka cari-cari itu.

   "Ang Tek Hoat, apa artinya ini? Benarkah engkau hendak membantu kaum sesat ini untuk menentang aku? Ketahuilah bahwa aku melindungi dua orang yang tidak berdosa itu!"

   Dia menunjuk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin yang berdiri di sudut ruangan dengan pedang ditodongkan di punggung mereka. Cui Lan memandang dengan penuh perhatian dan wajahnya yang cantik membayangkan kekhawatiran ketika dia memandang Kian Lee.

   "Suma Kian Lee, dahulu kita bukan sahabat, sekarang bukan pula teman! Aku tidak membantu siapa-siapa melainkan saling menukar jasa. Kalau kau enggan bertanding melawan aku, penuhilah permintaan Hek-eng-pangcu."

   "Ang Tek Hoat, tidak kusangka engkau ternyata sama sekali tidak berubah sejak dahulu! Engkau tidak juga bertobat dan kembali menjadi orang baik-baik!"

   Kian Lee menegur dengan suara penuh penyesalan karena betapapun juga, pemuda di depannya ini adalah cucu kandung ibunya sendiri! Tek Hoat tertawa, tertawa yang pahit sekali karena matanya tidak ikut tertawa bahkan mulutnya menyeringai seperti orang menderita nyeri.

   "Ha-ha-ha, memang aku bukan orang baik-baik, tidak seperti keluarga Pulau Es yang bersih dan terhormat! Dan aku pun tidak ingin menjadi orang baik-baik yang sombong seperti keluarga Pulau Es! Tak perlu banyak cakap, Suma Kian Lee, kau menyerah dan memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pangcu atau harus melawan aku."

   "Hemmm, kau tentu mengira aku takut padamu! Majulah!"

   Kian Lee menantang, sedikit pun tidak merasa takut. Empat lima tahun yang lalu, memang Tek Hoat merupakan seorang tandingan yang lihai bukan main. Akan tetapi selama lima tahun ini dia telah melatih diri di bawah bimbingan ayahnya di Pulau Es dan telah memperoleh kemajuan pesat sekali.

   "Kalau begitu terpaksa aku merobohkan engkau!"

   Tek Hoat berkata dan sebelum kata terakhir habis diucapkan, tangannya sudah menyambar dan sebuah tamparan yang seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kepala Kian Lee.

   "Plak-plak-plak-plakkkkk!"

   Empat kali Tek Hoat menyerang dan empat kali ditangkis oleh Kian Lee. Keduanya merasa betapa lengan lawan mengandung tenaga yang amat kuat, akan tetapi yang terkejut sekali adalah Tek Hoat. Dia maklum akan kelihaian putera Pulau Es ini maka tadi serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaganya, dengan tenaga yang dinamakan tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Butek Siauw-jin datuk ke dua dari Pulau Neraka.

   Namun, tangkisan Kian Lee mnembuat tenaga mujijat itu buyar dan dia merasakan hawa dingin menghantam-nya, membuatnya tergetar dan terguncang! Akan tetapi, Tek Hoat dapat cepat mengusir hawa dingin itu dan dia kini telah menerjang dengan hebat dan dahsyat, mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang dahulu dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka dan Bu-tek Siauw-jin. Dia menyerang dan memang pemuda ini memiliki watak yang ganas, maka serangan-serangannya itu pun bukan sekedar untuk mengalahkan lawan, melainkan mengandung cengkeraman maut untuk membunuh! Menyaksikan keganasan sepak terjang Tek Hoat, diam-diam Kian Lee mengeluh. Pemuda ini benar-benar telah tersesat dan seperti seekor harimau yang haus darah, pikirnya.

   Tentu saja dia tidak mau melayani nafsu membunuh Tek Hoat ini dan dia lebih banyak melindungi dirinya dengan menangkis atau mengelak, kadang-kadang membalas dengan serangan yang hebat pula, namun serangannya selalu diperhitungkan agar jangan sampai membunuh orang. Dia tidak suka membunuh orang apalagi Ang Tek Hoat cucu ibu kandungnya sendiri, keponakannya sendiri. Dia ingin mengalahkan Tek Hoat tanpa membunuhnya. Dan inilah sebabnya mengapa pertandingan itu menjadi ramai dan seimbang. Kalau dibuat perbandingan, kedua orang pemuda ini sama-sama mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan tinggi, sukar dicari bandingnya di dunia ini. Hanya bedanya, sejak kecil Suma Kian Lee dibimbing oleh Pendekar Super Sakti, ayahnya sendiri, maka tentu saja ilmunya lebih matang dan murni, tidak seperti Ang Tek Hoat yang biarpun menemukan kitab-kitab yang mengandung ilmu-ilmu tinggi,

   Namun dipelajarinya sendiri tanpa bimbingan langsung orang pandai, maka ilmunya tidak lagi murni bercampur dengan ilmu-ilmu lain yang pernah di pelajarinya sebelum dia memperoleh kitab-kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Maka, dalam kematangan ilmu, Kian Lee masih lebih menang setingkat. Akan tetapi kemenangan setingkat ini tidak banyak artinya karena Kian Lee tidak mau melakukan serangan yang mematikan sedangkan Tek Hoat yang maklum akan kehebatan lawan telah bertanding dengan nekat, baginya bukanlah merupakan pertandingan adu kepandaian, melainkan suatu perkelahian mengadu nyawa. Inilah yang membuat Kian Lee kehilangan kemenangan tingkatnya dan pertandingan itu berjalan seimbang dan amat hebatnya.

   Angin pukulan yang didorong oleh tenaga sakti mereka terdengar bersuitan dan terasa oleh para anggauta Hek-eng-pang yang berdiri jauh, membuat pakaian mereka berkibar dan kulit mereka nyeri, kadang-kadang terasa dingin sekali dan kadang-kadang juga terasa panas sekali. Hawa dingin dan panas ini timbul dari dua macam sinkang yang dipergunakan, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang. Menghadapi dua macam sin-kang yang saling bertentangan ini, diam-diam Tek Hoat mengakui bahwa dalam hal kekuatan sinkang, dia benar-benar kewalahan menghadapi lawannya. Dan hal ini bukan karena kalah tekun berlatih, melainkan selain kalah bimbingan juga kalah murni. Tek Hoat mengandalkan ilmu silatnya yang aneh, yang didapat dari peninggalan kitab dua orang datuk Pulau Neraka.

   Tiba-tiba dia berseru keras, suaranya melengking nyaring sekali sehingga ada empat orang wanita anggauta Hek-eng-pang yang kurang jauh berdirinya roboh terjungkal dan pingsan karena jantung mereka tergetar! Tubrukan Tek Hoat ini merupakan jurus serangan yang amat dahsyat, mula-mula tangan kirinya yang menyambar ubun-ubun lawan dengan membentuk cakar, akan tetapi dalam detik selanjutnya, tangan kanannya mencuat dari bawah dengan kiri itu menyambar ke arah ulu hati lawan dengan totokan dua jari tangan. Keduanya adalah serangan maut yang dilakukan hampir bersamaan waktunya. Kian Lee menghadapi cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu dengan miringkan tubuh atas dan agak ditarik ke belakang, tangan kanannya menangkis, kemudian melihat tangan kanan lawan menotok ke arah ulu hatinya, dia cepat pula meloncat ke samping sambil menangkis dengan tangan kirinya.

   "Hyaaattttt....!"

   Tiba-tiba tubuh Tek Hoat meluncur dengan kaki kanannya melakukan tendangan maut ke arah leher lawan. Tendangan ini cepat dan kuat sekali datangnya, tubuhnya mencelat ke udara dan dari atas kakinya meluncur ke arah lawan.

   "Haaaiiiiittttt....!"

   Kian Lee juga berteriak dan tubuhnya mencelat pula ke atas memapaki.

   "Desss....!"

   Dua pasang kaki yang sama kuatnya bertemu di udara dan keduanya terlempar ke atas lantai lagi. Kian Lee berjungkir balik tiga kali dan Tek Hoat agak terhuyung, mukanya berubah pucat. Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal mengapa dia tidak mempunyai lagi pedangnya yang diandal-kannya, yaitu Cui-beng-kiam. Kalau dia mempunyai pedang yang dulu terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka itu, tentu dia mempergunakan pedangnya itu menghadapi Kian Lee yang begini lihai.

   Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi tetap saja mereka berimbang karena Kian Lee tetap tidak mau menggunakan tenaga sepenuhnya atau pukulan yang mematikan. Hal inilah yang membuat panas hati Tek Hoat. Dia tahu bahwa pemuda Pulau Es itu tidak mengerahkan seluruh tenaga, bahkan beberapa kali terasa olehnya Kian Lee sengaja mengurangi kecepatan dan tenaganya. Dia merasa penasaran dan marah sekali, karena dia merasa seperti dipandang ringan! Saking marahnya, Tek Hoat lalu mengambil keputusan untuk mengadu nyawa! Mereka telah bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang kalah, dan nenek ketua Hek-eng-pang sendiri sampai silau menyaksikan pertandingan itu dan merasa bahwa sebenarnya tingkat kepandaiannya kalah jauh oleh dua orang pemuda perkasa itu.

   "Suma Kian Lee manusia sombong! Bersiaplah untuk mampus!"

   Teriak Tek Hoat dan dia menyerang makin ganas. Melihat serangan ini, Kian Lee cepat menhindarkan diri dengan mengelak dan menangkis, kemudian untuk menahan serbuan lawan, dia membalas dengan pukulan ke arah dada Tek Hoat.

   Dia maklum bahwa pukulan ini tentu membuat Tek Hoat mengelak atau menangkis sehingga dia akan dapat membalas dengan desakan pukulan-pukulan berantai. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Tek Hoat tidak mengelak maupun menangkis, melainkan menerima begitu saja pukulannya itu akan tetapi pada saat yang sama, kedua tangan Tek Hoat memukul ke arah paha dan lehernya. Kian Lee yang terkejut itu mengeluarkan bunyi melengking yang amat nyaring, membuat lima orang anggauta Hek-eng-pang kembali terjungkal pingsan. Maklum bahwa tidak mungkin dia menghindarkan diri dari dua pukulan sekaligus karena tangan kirinya sedang memukul dada Tek Hoat, Kian Lee menggerakkan tangan kanan menangkis pukulan ke arah lehernya yang lebih berbahaya dan terpaksa membiarkan pahanya terpukul.

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Plakkk! Desssss....!"

   Dada Tek Hoat terkena dorongan tangan Kian Lee dan pada saat yang sama, paha Kian Lee terkena pukulan keras dari tangan kanan Tek Hoat.

   Akibatnya, Tek Hoat terlempar ke belakang sampai tiga meter jauhnya dan dia terhuyung-huyung sedangkan Kian Lee roboh pingsan karena kakinya di bagian paha terkena pukulan beracun. Pukulan ini hebat sekali karena merupakan pukulan jari tangan Tek Hoat yang biasanya membunuh orang sehingga dia dijuluki Si Jari Maut, yaitu pukulan yang disebut Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Paha itu menjadi biru dan hawa pukulan berancun menyerang ke atas, membuat putera Pulau Es itu roboh pingsan. Tek Hoat memejamkan mata dan mengatur pernapasannya. Kalau saja tadi Kian Lee tidak mengurangi tenaganya, tentu sudah putus nyawanya! Dia tahu akan hal ini dan menarik napas panjang lalu menyusut darah yang menetes dari ujung bibirnya.

   "Kongcu....!"

   Cui Lan yang ditodong pedang itu tidak peduli dan dia sudah lari menubruk tubuh Kian Lee yang disangkanya mati, berlutut sambil menangis. Kemudian, melihat Nenek Yang-liu Nio-nio dan Tek Hoat menghampiri, dia lalu bangkit berdiri dan dengan air mata bercucuran, dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Tek Hoat.

   "Engkau.... pemuda tiada guna! Engkau hanya menjadi tukang pukul orang! Sungguh malu hidup seperti engkau, pemuda yang tampan dan gagah namun dalamnya jahat seperti sebutir buah yang berulat! Dan kau.... Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Yang-liu Nionio,

   "Kau seorang wanita yang berhati busuk, dan engkau pengecut besar yang harus merasa malu karena beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan saja!"

   "Diam, bocah lancang mulut!"

   Seorang anak buah Hek-eng-pang yang tadi bertugas menjaga Cui Lan kini sudah mengejar dan tangannya diayun keras.

   "Plakkk!"

   Pipi kiri Cui Lan kena ditampar, kulit pipi yang halus putih itu menjadi merah sekali dan dara itu terhuyung ke belakang. Namun bibirnya tersenyum mengejek dan dengan keberanian luar biasa dara ini memandang mereka semua sambil berkata,

   "Kalian boleh membunuh aku dan aku akan mati sebagai seorang terhormat tidak seperti kalian yang akan hidup sebagai manusia-manusia hina dan kotor!"

   "Bangsat, tutup mulut!"

   Anggauta Hek-eng-pang itu menjadi makin marah dan kini dia mengayun tangan, tidak menampar seperti tadi melainkan memukul ke arah mulut Cui Lan dengan kuat.

   "Krekkk.... aduuuhhhhh....!"

   Anggauta Hek-eng-pang yang memukul itu menjerit dan memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya ketika bertemu tadi dengan tangkisan tangan Tek Hoat!

   "Hemmm, apa artinya ini?"

   Yang-liu Nio-nio menegur dengan alis berkerut, memandang kepada Tek Hoat dengan heran dan penasaran.

   "Dia memaki-maki kita, sudah sepatutnya dihajar!"

   "Siapa yang memaki? Apa yang di katakannya itu benar belaka, kenapa kita mesti marah? Pangcu, janji kita hanya aku merobohkan Suma Kian Lee dan dia sudah roboh, aku tidak suka ditambah dengan penyiksaan atau pembunuhan orang! Dan sekarang juga engkau harus mengerahkan orang-orangmu untuk ikut dan membantuku."

   Di dalam suara Tek Hoat terkandung perintah yang mengancam. Nenek itu menelan kembali kemarahannya dan memberi isyarat kepada Kim-hi Nio-cu.

   "Kau bawa mereka bertiga ke tempat tahanan. Pisahkan mereka dan pergunakan yang dua itu sebagai sandera agar pemuda ini tidak sampai lari."

   Kemudian setelah Kian Lee yang masih pingsan itu digotong pergi, Cui Lan dan Hok-taijin digiring meninggalkan ruangan itu. Hek-eng-pangcu lalu mengumpulkan orang-orangnya dan akhirnya memilih tiga pasukan. Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li, Pasukan Kayu dan Pasukan Api, semua berjumlah tiga puluh enam orang ditambah tiga orang kepala pasukan, mengiringkan dia sendiri dan Tek Hoat meninggalkan puncak Bukit Cemara.

   Kiranya Ang Tek Hoat telah mendengar, bahkan menerima undangan, bahwa Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api, Pegunungan Liu-Iiang-san di dekat belokan Sungai Huang-ho, akan menikah dan calon isterinya itu adalah seorang puteri dari Bhutan yang amat cantik jelita! Mendengar ini, jantung Tek Hoat berdebar keras, timbul kekhawatirannya karena dia menduga keras bahwa Puteri Bhutan yang cantik jelita itu sudah pasti adalah Syanti Dewi. Kalau tidak, siapa lagi? Memang banyak wanita muda, puteri-puteri Bhutan yang cantik jelita, akan tetapi puteri-puteri itu tidak akan meninggalkan istana Bhutan. Kemungkinan satu-satunya hanyalah Syanti Dewi yang entah mengapa dan bagaimana telah sampai di tempat itu dan agaknya ditawan Liong-sim-pang.

   Tek Hoat maklum akan kekuatan Liong-sim-pang, dan kalau hanya sendirian saja tidak mungkin dia akan dapat menolong Puteri Bhutan itu, maka dia lalu mengundang ketua Hek-eng-pang dengan maksud untuk minta "bantuan"

   Mereka. Kebetulan sekali dia melihat Suma Kian Lee dan ketika ketua Hek-eng-pang dan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Kian Lee, timbul akalnya untuk memaksa mereka membantunya. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya, melawan Kian Lee hampir saja dia celaka dan biarpun akhirnya dia bisa merobohkan putera Pulau Es itu, dia sendiri juga menderita luka yang cukup parah dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja amat berbahaya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Untungnya dia kini dibantu oleh pasukan-pasukan Hek-eng-pang dan ketua mereka.

   Seluruh perkampungan Liong-sim-pang dihias dengan meriah, mulai dari pintu gerbang tembok yang seperti benteng itu, sampai menara yang berdiri di luar tembok sebagai tempat jaga, sampai di sepanjang saluran air yang mengelilingi tembok benteng. Suasana perkampungan Liong-sim-pang yang seperti benteng dan biasanya muram dan menyeramkan itu kini nampak meriah, tanda bahwa orang-orang yang menjadi penghuni sedang bersenang-senang dan bersuka-ria. Dan memang hari itu merupakan hari gembira, untuk menyambut para tamu karena malam itu merupakan malam "midodareni", yaitu menyambut hari pernikahan sang ketua Liong-sim-pang yang akan dilangsungkan besok pagi.

   Sejak pagi hari dari tadi para tamu sudah membanjiri tempat itu dan mereka itu harus melalui satu-satunya jembatan yang menuju ke pintu gerbang tembok benteng karena jalan lain tidak ada lagi untuk memasuki benteng perkampungan Liong-sim-pang yang dikelilingi saluran air lebar itu. Para penjaga dengan ketat melakukan penjagaan dan pengawasan di pintu gerbang sehingga tidak ada orang luar dapat menyelundup masuk dan para tamu itu membawa undangan sebagai tanda pengenal. Menjelang senja rombongan pemain opera yang memang dipesan oleh Liong-sim-pang, menyeberang jembatan itu menuju ke pitu gerbang. Mereka terdiri dari tujuh orang wanita dan belasan orang pria, sebagian pemain dan ada pula yang sebagai penabuh musik.

   Para penjaga yang memeriksa semua orang yang masuk, memperhatikan para pemain opera ini dengan sikap ceriwis, cengar-cengir dan tersenyum-senyum penuh aksi karena tujuh orang wanita anggauta rombohgan itu memang cantik-cantik. Terutama sekali seorang di antara mereka, yang termuda dan memakai pakaian berwarna ungu, bukan main cantiknya! Cantik jelita dan manis sekali, dengan gayanya yang manja dan memikat, lenggangnya yang berliak-liuk seperti lemasnya batang pohon yang-liu tertiup angin, kedua lengannya agak melengkung seperti gendewa itu bergerak seperti orang menari kalau dia melenggang, dan senyum yang manisnya membuat semua penjaga mabuk kepayang itu tak pernah meninggalkan belahan bibir yang membuat orang ingin menjadi buah anggur agar dikecup oleh bibir itu!

   Gerak-gerik dara muda jelita ini membuat para penjaga ingin sekali mencubitnya, memeluknya, pendeknya saking tertariknya membuat mereka menjadi gemas, seperti kalau kita melihat seorang anak kecil yang genit dan montok bersih. Saking tidak dapat menahan gairahnya melihat gerak-gerik dara jelita ini, seorang di antara para penjaga itu sambil berpura-pura memeriksa bawaan mereka, menggerakkan tangannya ingin meraba pinggul yang penuh itu. Akan tetapi.... tangannya hanya meraba angin karena secara cepat sekali gadis itu menggerakkan pinggulnya mengelak. Si penjaga menjadi makin penasaran, kini terang-terangan dia mengulur tangannya meraba ke arah dada. Kembali gadis itu miringkan tubuh dan rabaan itu pun mengenai tempat kosong. Melihat ini, teman-temannya mentertawakan.

   "Ha-ha, si A-kiong menangkap katak akan tetapi luput!"

   A-kiong makin penasaran dan dia hendak merangkul.

   "Jangan kurang ajar kalian!"

   Tiba-tiba gadis itu membentak, suaranya halus akan tetapi nyaring dan mulutnya masih tersenyum, akan tetapi anehnya, semua penjaga termasuk komandannya menjadi gemetar ketakutan seakah-olah mereka itu dimarahi seorang jenderal! Dengan muka pucat ketakutan komandan itu lalu memberi isyarat agar rombongan penari dan pemain opera itu cepat-cepat masuk. Setelah rombongan itu masuk, si komandan dan anak buahnya saling pandang dengan heran dan bengong. Tidak mengerti mengapa mereka tadi begitu ketakutan mendengar bentakan si dara jelita tadi, yang memiliki wibawa luar biasa sekali dan bentakan tadi mengguncangkan jantung mereka menimbulkan rasa takut yang hebat.

   "Ihhh,.... seperti siluman saja....!"

   Seorang akhirnya berkata dan mendengar ini, semua orang bergidik. Memang mereka semua pernah mendengar bahwa siluman selalu mengubah diri menjadi seorang dara cantik sekai untuk memikat pria yang kemudian akan dlhisap darahnya sampai habis!

   "Hihhh.... jangan-jangan benar siluman...."

   Pada saat mereka dicekam perasaan yang menyeramkan karena memang hari telah mulai menjadi gelap, untung datang serombongan wanita lain yang membuyarkan keseraman itu. Rombongan wanita ini dipimpin oieh seorang wanita yang cantik, dan anggauta rombongan yang jumlahnya dua puluh empat orang itu pun terdiri dari wanita-wanita yang cantik. Pimpinan rombongan itu, yang usianya sekitar tiga puluh tahun, memperlihatkan sehelai surat undangan dan sesampul surat yang ditujukan kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun.

   "Kami adalah utusan dari sahabat Tang-kongcu, yaitu Si Jari Maut,"

   Kata pemimpin rombongan itu.

   Melihat kartu undangan itu, para penjaga tentu saja menaruh kepercayaan, apalagi mendengar nama orang yang mengutus mereka, Si Jari Maut, cepat-cepat mereka mempersilakan semua wanita itu masuk tanpa ada yang berani bersikap kurang ajar. Rombongan ini bukan lain adalah para anggauta Hek-eng-pang yang menyamar, dipimpin oleh Liong-li kepala Pasukan Tanah dan membawa surat Ang Tek Hoat untuk Hwai-kongcu. Setelah rombongan pemain opera diterima sendiri oleh Hwa-i-kongcu dan diantar oleh para pelayan untuk berhias dan bersiap-siap untuk mulai pertunjukan mereka malam nanti, kini rombongan wanita itu pun diterima oleh Hwa-i-kongcu sendiri. Liong-li yang sudah berhias sebagai seorang pelayan yang cantik, berlutut dan menghaturkan selamat, serta menyerahkan surat dari Ang Tek Hoat.

   "Aih, dari Si Jari Maut?"

   Hwa-i-kongcu berseru bangga.

   "Mengapa beliau tidak muncul sendiri?"

   Sudah lama dia mendengar nama Si Jari Maut dan mengaguminya, akan tetapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Surat itu segera dibukanya dan dengan wajah berseri dia membaca bahwa Si Jari Maut, menghaturkan selamat atas pernikahannya, dan minta maaf bahwa berhalangan hadir, akan tetapi mengirim dua puluh lima orang wanita untuk membantu pelayanan dalam pesta itu.

   "Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut sungguh mengagumkan sekali, dapat mengumpulkan begini banyak wanita cantik dan begitu memperhatikan keperluan kami sehingga mengirim bantuan pelayan!"

   Dia lalu memanggil kepala pelayan dan memerintahkan kepala pelayan untuk menerima dua puluh lima orang wanita itu dan agar diberi tugas dalam pelayanan malam nanti dan besok pagi. Malam pun tibalah. Para tamu sudah berkumpul di sebuah ruangan yang luas sekali, ruangan yang menyambung pada taman indah di mana juga penuh dengan kursi-kursi untuk para tamu. Suara musik sudah sejak sore tadi dibunyikan oleh rombongan pemain opera, sungguhpun opera itu sendiri belum dimulai. Para "pelayan"

   Yang sesungguhnya adalah anggauta-anggauta Hek-eng-pang yang menyamar itu mulai pula dengan tugas yang sesungguhnya.

   Di antara mereka memang ada yang membantu para pelayan Liong-sim-pang melayani para tamu mempersiapkan minuman, hidangan dan lain-lain. Akan tetapi sebagian pula di antara mereka mulailah meryelidiki dan mencari-cari di mana adanya Puteri Bhutan seperti yang diceritakan oleh Tek Hoat, puteri yang akan menjadi pengantin besok pagi dan yang harus mereka culik itu. Dua puluh empat orang ini adalah dari Pasukan Tanah dan Pasukan Kayu, sedangkan Pasukan Api bertugas mempersiapkan "jalan keluar"

   Untuk teman-temannya itu apabila mereka telah berhasil menculik sang puteri. Tek Hoat sendiri yang masih menderita luka bekas gempuran tenaga melawan Suma Kian Lee, menanti di luar tembok dan sudah mempersiapkan kuda untuk melarikan puteri itu.

   Dia maklum bahwa dalam keadaan terluka, amat berbahaya kalau dia sendiri masuk ke dalam. Selain dia tentu akan dikenal, juga untuk melawan banyak orang pandai dalam keadaan terluka, tidaklah mungkin, maka dia mengandalkan kecerdikan para temannya, yaitu wanita-wanita Hek-eng-pang itu. Sementara itu, Syanti Dewi yang selalu mengharapkan pertolongan dari Siang In, masih berada dalam kamarnya dan dia tidak membantah ketika para pelayan menghias dan merias dirinya di dalam kamarnya. Diam-diam dia masih mengharapkan akan munculnya gadis luar biasa yang telah berhasil meloloskan dirinya dari istana ayahnya itu. Dia akan menanti sampai saat terakhir, yaitu sampai besok malam. Kalau sampai besok malam Siang In atau siapa saja tidak datang menolongnya,

   Kalau sampai tiba saatnya dia menyerahkan diri kepada Hwa-i-kongcu, pemuda tampan pesolek yang mengerikan hatinya itu, maka dia akan membunuh diri! Ketika dia mendengar dari para pelayan yang merias bahwa malam itu di dalam pesta akan diadakan pertunjukan tari-tarian dan permainan opera, dan bahwa bintang panggung amat cantik jelita dan jenaka, hati Syanti Dewi tertarik sekali. Dia menduga bahwa tentu Siang In gadis yang cerdik itu menyamar sebagai pemain opera, maka dia lalu minta kepada seorang di antara para pelayan untuk memanggil bintang opera itu karena dia ingin bertemu dan bicara tentang tarian. Permintaan ini disampaikan oleh si pelayan kepada Hwa-i-kongcu dan tentu saja calon suami yang merasa beruntung akan memperisteri seorang puteri raja mengijin-kan permintaan itu.

   Apalagi karena pelayan yang melayani calon isterinya itu adalah pelayan-pelayan kepercayaannya, ya pelayan ya selir, maka dia tidak menjadi curiga dan diperintahkan kepada seorang pengawalnya untuk me-nyampaikan permintaan calon mempelai puteri itu kepada pimpinan rombongan opera. Pimpinan opera lalu berbisik kepada bintang panggung, si dara cantik jelita tadi dan sambil tersenyum gembira bintang panggung ini lalu mengikuti si pelayan meninggalkan kamar rias itu. Liong-li dan kawan-kawannya mencari-cari namun belum berhasil menemukan di mana adanya kamar sang puteri. Akan tetapi tiba-tiba Liong-li melihat seorang pelayan bersama seorang dara cantik jelita berjalan lewat. Diam-diam dia lalu mengikuti mereka dari jauh dan karena dia pun berpakaian pelayan, maka para pengawal yang berjaga-jaga di seluruh tempat itu tidak ada yang menaruh curiga kepadanya.

   Dara cantik yang diiringkan oleh pelayan itu lincah dan jenaka sekali, di sepanjang jalan bicara dan memuji-muji keindahan rumah gedung seperti istana milik Hwa-i-kongcu yang kaya raya itu. Liong-li terus membayangi mereka dari jauh, melewati gang-gang, kamar-kamar, ruangan-ruangan terbuka, pendapa-pendapa dan taman-taman. Kiranya sang puteri itu berada di tempat yang demikian tersembunyi! Akhirnya tibalah mereka di sebuah bangunan kecil yang mungil dan masuk ke dalamnya. Bintang panggung itu diajak masuk ke dalam kamar. Kini mereka berdiri saling pandang, si bintang panggung dan Syanti Dewi. Syanti Dewi kecewa bukan main. Memang bintang panggung itu cantik jelita, dan bentuk tubuhnya seperti bentuk tubuh Siang In yang ramping akan tetapi mukanya bukanlah Sian In! Akan tetapi bintang panggung itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

   "Saya menghaturkan selamat kepada mempelai puteri, semoga hidup bahagia dan dikarunia banyak putera dan berumur panjang!"

   Mendengar suara ini, Syanti Dewi terkejut bukan main. ltulah suara Siang In! Dia dapat menenangkan hatinya dan berkata,

   "Terima kasih."

   Lalu puteri itu menoleh kepada para pelayannya yang jumlahnya lima orang itu, berkata,

   "Harap kalian keluar dari kamar dulu, aku ingin bicara seenaknya dengan seniwati ini. Kalian tunggu saja panggilanku dan menanti di luar."

   Para pelayan itu saling pandang, tersenyum dan segera mengundurkan diri. Mereka mendapat pesan yang amat keras dari majikan mereka agar melayani sang puteri sebaiknya dan agar memenuhi semua permintaannya. Tentu saja permintaan untuk berduaan dengan bintang panggung yang cantik itu tidak menimbulkan kecurigaan hati mereka dan mereka pun mundur dan keluar dari dalam kamar itu. Setelah yakin bahwa mereka hanya berdua, Syanti Dewi memandang tajam wajah cantik itu dan bertanya,

   "Siapakah engkau?"

   Bintang panggung itu tersenyum lebar.

   "Enci, apakah engkau lupa akan suaraku?"

   "Ah, Siang In....!"

   Syanti Dewi lalu maju merangkul dan mereka berangkulan sejenak, dua titik air mata turun dari mata Syanti Dewi yang merasa girang bukan main itu,

   "Kukira engkau takkan muncul lagi, adikku.... hampir lenyap harapanku...."

   "Jangan khawatir, Enci. Aku pasti akan berusaha menolongmu keluar dari sini sedapatku. Akan tetapi, banyak orang pandai di sini, kita harus berhati-hati dan Enci bersikap wajar saja. Aku melihat keanehan di sini. Pelayan-pelayan bantuan itu, demikian banyaknya, katanya mereka itu adalah utusan dari Si Jari Maut "

   "Ahhhhh....!"

   Muka Syanti Dewi menjadi pucat mendengar nama julukan ini.

   "Dia....?"

   Siang In mengangguk.

   "Akan tetapi aku masih curiga. Sikap mereka mencurigakan sekali. Akan tetapi, mungkin mereka ini akan dapat membantu kita, memudahkan aku membawamu keluar dari sini, Enci Syanti Dewi. Kau tinggallah di sini, bersikaplah tenang dan wajar dan percayalah kepadaku. Syanti Dewi merangkul dan mencium pipi dara itu, lalu menatap wajah itu dengan penuh keheranan.

   "Bagaimana mukamu bisa begini berubah sama sekali?"

   Siang In tersenyum, meraba dengan kedua tangannya ke bawah dagu, kemudian sekali dia menarik, mukanya berubah menjadi muka Siang In sendiri! Kiranya mukanya ditutup oleh sehelai "kedok"

   Yang amat tipis, setipis kulit manusia, akan tetapi kedok itu sama sekali mengubah mukanya dengan kecantikan yang sama sekali berbeda! Mulutnya menjadi lebar, hidungnya lebih mancung, pipinya lebih montok dan dahinya lebih lebar, matanya agak sipit. Tentu saja Syanti Dewi sendiri tidak mengenalnya.

   "Aku harus menyamar sebaiknya, kalau tidak, mana bisa aku mengelabuhi mata Hwa-i-kongcu yang berminyak itu?"

   "Berminyak? Ada mata berminyak?"

   Syanti Dewi terheran karena dia sendiri belum pernah memandang mata calon suaminya secara teliti!

   "Hi-hik, berminyak dan berkeranjang! Mata minyak dan mata keranjang, hidungnya belang! Hi-hik!"

   Syanti Dewi tertawa geli dan terkejutlah dia betapa dalam sedetik saja dia sudah bisa tertawa! Berdekatan dengan gadis ini memang membuat orang tidak dapat tidak akan menjadi gembira. Dia sendiri seketika melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya dia masih menjadi tawanan, seperti seekor burung masih berada di dalam sangkar tertutup. Hatinya masih geli ketika dia melihat Siang In mengenakan kembali "kedoknya"

   Yang luar biasa itu dan makin gelisah dia teringat betapa Siang In juga mempunyai kedok yang kalau dipasang tentu akan membuat para pelayannya menjerit-jerit!

   "Eh, In-moi, bagaimana kalau kau meminjamkan kedokmu yang polos itu kepadaku dan mengajari aku bagaimana untuk memakainya?"

   "Wah, Enci Syanti. Engkau ini aneh-aneh saja. Untuk apa kedok setan itu untukmu?"

   "Kalau tidak ada jalan lain, di waktu si hidung belang itu datang kepadaku, aku akan memakai kedok polos itu, hendak kulihat apakah...."

   Syanti Dewi tak dapat menahan ketawanya.

   "Apakah hidungnya masih belang atau tidak? Hi-hik, Enci. Tentu akan lucu sekali dan ingin memang aku melihat bagaimana dia akan lari tunggang-langgang melihat isterinya bermuka polos seperti itu, hi-hik. Akan tetapi berbahaya sekali Enci. Sudahlah, aku harus kembali ke tempat pertunjukan, dan akan kuatur nanti bagaimana baiknya untuk menolongmu sambil melihat perkembangan. Selamat berpisah untuk sebentar, Enci."

   Syanti Dewi merangkul dan mencium kedua pipinya yang sudah tertutup kedok namun masih halus dan menarik kemerahan itu.

   "Nyawaku berada di tanganmu, adikku,"

   Bisik Syanti Dewi. Siang In tersenyum dan melangkah mundur.

   "Hi-hik, apa kau kira aku ini Giam-lo-ong (Raja Akherat)? Sampai nanti, Enci...."

   Dan pergilah dia keluar dari kamar. Para pelayan yang berada di luar dan tadi hanya mendengar betapa calon majikan mereka itu tertawa-tawa dengan sripanggung itu, cepat masuk kembali dan mereka melihat wajah yang tadinya agak pucat itu kini berseri dan yang mengherankan hati mereka, kalau selama ini jarang sekali sang puteri mau makan, kini Syanti Dewi menyambut kedatangan mereka dengan kata-kata yang menggirangkan mereka.

   "Cepat ambilkan nasi dan masakan yang paling enak. Bukankah malam ini ada pesta? Aku pun ingin pesta sendiri!"

   Sementara itu, pada saat itu para tamu mulai dengan pesta. Hidangan makanan kecil mulai dikeluarkan dan para tamu menikmati pertunjukan tari-tarian yang ditarikan oleh enam orang penari yang cantik-cantik. Semua orang memandang ke arah Siang In yang baru kembali dan ada yang kecewa mengapa dara yang paling cantik dan yang menjadi sripanggung itu tidak pula ikut menari.

   Setelah para penari itu selesai menari, banyak tamu yang berteriak minta agar sripanggung menari! Pemimpin rombongan itu, seoraNg tua yang juga menabuh alat musik, yaitu meniup suling, bangkit berdiri dan berkata dengan hormat bahwa sripanggung akan main sebagai Kauw Gee Thian Si Raja Monyet dalam cerita See-yu akan dipentaskan malam itu, dan karenanya tidak ikut menari. Pemimpin ini khawatir kalau-kalau dara cantik itu tidak pandai menari. Siang In baru kemarin memasuki perkumpulannya dan karena gadis itu mempunyai kepandaian bermain sulap, maka diterimanya gadis sebagai anggauta rombongaannya, akan tetapi sebagai pemain opera, bukan sebagai penari. Dia hanya tahu bahwa gadis itu mempunyai wajah cantik jelita, tubuh yang indah, memikat, pandai main sulap dan tari silat. Akan tetapi tiba-tiba Siang In berkata,

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 56 Kisah Sepasang Rajawali Eps 24 Kisah Sepasang Rajawali Eps 43

Cari Blog Ini