Kisah Sepasang Rajawali 43
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 43
"Harap para tamu jangan pergi dulu, pesta akan dilanjutkan di taman bunga! Kebakaran ini tidak akan menghalangi kita bersenang-senang!"
Para tamu bersorak-sorai gembira dan semua menuju ke taman di mana mulai diatur oleh para anak buah Tambolon, sedangkan Tambolon sendiri bersama dua orang pengawalnya menuju ke puing bekas ruangan tadi untuk mencari nenek yang menjadi gurunya. Nenek itu amat lihai dan sakti, akan tetapi memang sudah agak pikun. Jangan-jangan gurunya itu keenakan melamun sehingga dimakan api, atau bisa jadi juga gurunya itu melakukan pengejaran terhadap para tawanan dengan pembantu mereka yang lihai, yaitu pemuda tampan itu dan Si Kakek berambut putih! Tambolon dan dua orang pengawalnya menghadapi tumpukan abu dan kayu-kayu yang menjadi arang, yang merupakan puing menggunung.
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh dan tumpukan debu arang dan kayu itu berhamburan dan muncullah Si Nenek guru Tambolon itu sambil tertawa-tawa dan dalam keadaan segar bugar, hanya kotor penuh debu. Tidak ada luka, tidak ada yang terbakar pada tubuh nenek itu, dan sedikit pun tidak kelihatan dia kepanasan ketika dia melangkah dan menginjak sisa-sisa api yang masih membara itu dengan enaknya. Para anak buah Tambolon yang sejak nenek itu datang memandang rendah nenek tua renta itu dan hanya menghormatinya karena Tambolon mengakui sebagai gurunya, kini terbelalak memandang kagum dan ngeri. Nenek ini seperti bukan manusia biasa tampaknya! Tambolon cepat menyongsongnya dan bertanya,
"Subo (Ibu Guru) tidak apa-apa?"
Nenek itu tertawa, hanya mulutnya saja yang terbuka dan memperlihatkan lubang yang dalam dan tanpa ada giginya, hanya nampak gelap saja, tidak ada terdengar suara ketawa,
"Aku sedang melamun, tahu-tahu atap runtuh dan aku tertimpa. Mana dia si bocah tua bangka itu?"
Matanya yang kecil penuh keriput di seputarnya itu memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
"Mana bocah gila itu? Dia selalu mengikuti dan mengganggu aku!"
"Siapakah yang Subo cari?"
Tambolon bertanya.
"Siapa lagi kalau bukan See-thian Hoat-su? Aku tahu betul bahwa tadi dia datang dan kau kira siapa yang menimbulkan kebakaran kalau bukan dia? Sayang aku tadi sedang melamun, kalau tidak sudah kutangkap dia!"
Tambolon terkejut mendengar nama See-thian Hoat-su itu. Dia belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi dia tahu bahwa See-thian Hoat-su adalah bekas suami gurunya ini. Menurut cerita gurunya yang pernah didengarnya, gurunya itu dahulu mempunyai seorang suami, seorang bangsa Han yang di waktu mudanya merantau ke India dan berguru kepada ayah nenek itu untuk belajar ilmu sihir.
Nenek itu pun masih muda dan mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri. Akan tetapi makin tua makin tidak cocoklah mereka dan seringkali mereka bercekcok sampai bertanding ilmu. Dalam hal ilmu silat, Si Suami lebih pandai, akan tetapi mengha-dapi ilmu sihir isterinya yang lebih lihai daripadanya, See-thian Hoat-su (Ahli Sihir dari Dunia Barat) ini merasa tobat sehingga akhirnya dia meninggalkan isterinya, kembali ke pedalaman. Nenek itu sendiri setelah amat terkenal dan disebut Durganini, seolah-olah dia adalah titisan atau penjelmaan Dewi Durga, isteri dari maha dewa yang menjadi kepala dari bangsa iblis! Tambolon berguru kepada Durganini setelah nenek itu berpisah dari suaminya. Tambolon teringat akan kakek rambut putih yang dilihatnya muncul tiba-tiba di waktu keadaan kacau-balau tadi.
"Ah, kakek rambut putih itukah See-thian Hoat-su?"
"Kalau dia muncul lagi, cepat beritahu agar dapat kucengkeram tengkuknya!"
Nenek itu berkata sambil berjalan ke kamarnya dan meneriaki pelayan agar datang membawa air, memandikannya dan mengganti pakaiannya. Pesta itu dilanjutkan juga pada malam harinya.
Para tamu dijamu lagi di ruangan belakang, tidak kalah meriahnya dengan sebelum terjadi keributan, dan kini pengantin wanita telah digantikan tempatnya oleh Siang In! Dara remaja ini tidak berdaya karena ditotok dan dipaksa duduk bersanding dengan Tambolon di dalam ruangan itu! Pesta berlangsung dengan penuh kegembiraan dan gila-gilaan. Setelah merasa puas minum dan menjamu para tamunya, Tambolon yang sudah mulai mabok itu, timbul kegembiraannya melihat bahwa dara pengganti pengantinnya itu ternyata tidak kalah cantiknya dengan kakaknya yang telah melarikan diri! Maka sambil tersenyum dia lalu memanggul tubuh "pengantinnya"
Itu dan di bawah sorak dan tawa para tamu yang masih belum pulang, Tambolon membawa pengantinnya itu pergi dari dalam ruangan dan terus menuju ke dalam kamar pengantin yang sudah terhias meriah dan berbau harum karena disiram minyak wangi dan dibakari dupa wangi!
Siang In terkejut dan ketakutan, akan tetapi karena dia sudah ditotok lumpuh, dia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terbelalak seperti seekor kelenci yang diterkam harimau. Tambolon sebenarnya bukanlah seorang yang mata keranjang atau gila wanita. Akan tetapi, dia mempunyai kepercayaan bahwa dia akan "awet muda"
Dan dapat menggunakan ilmunya untuk memindahkan kemurnian seorang gadis kepada tubuhnya sehingga memperkuat tenaga mujijatnya jika dia memperoleh seorang gadis, maka raja liar yang berilmu tinggi ini di mana-mana selalu mencari korban seorang gadis. Dia tidak pernah jatuh cinta dan setiap kali mendapatkan seorang perawan, setelah dipermainkannya paling lama sepekan saja lalu "dioperkan"
Kepada para pembantunya untuk menyenangkan hati para pembantunya itu.
Tentu saja setelah dia menyedot hawa murni dari gadis korbannya itu untuk memperkuat dirinya. Dia tidak pernah mempunyai isteri dan karena kepandaiannya yang tinggi dan bantuan para kaki tangannya, amat mudah bagi Tambolon untuk di mana saja mencari perawan untuk menjadi korbannya. Betapapun juga, tentu saja untuk membangkitkan berahinya, dia selalu memilih wanita yang cantik. Ketika Siang Hwa membawa bahan-bahan obat untuk dijual ke kota, dia bertemu dengan serombongan kaki tangan Tambolon yang dipimpin oleh Si Petani Maut. Melihat gadis cantik ini, Petani Maut yang memang sudah dipesan oleh Tambolon untuk mencarikan "isteri"
Lalu menangkapnya dan perlawanan Siang Hwa percuma saja.
Tambolon yang baru saja kehilangan pasukannya dan sedang berusaha untuk menghimpun tenaga, lalu menggunakan kesempatan memperoleh "isteri"
Baru itu untuk mengundang para pimpinan suku bangsa liar di utara mengadakan perjamuan untuk menyenangkan hati mereka. Pesta pernikahan itu hanyalah alasan saja, karena yang penting baginya adalah menyenangkan hati calon-calon pembantu dan sekutunya itu dan ke dua memperoleh korban seorang perawan baru. Demikianlah, dengan wajah berseri sungguhpun tadi dia marah-marah karena gangguan di dalam pesta sehingga terjadi kebakaran, kini Tambolon memanggul tubuh Siang In. Dengan kasar dia membentak para pelayan dan penjaga di depan kamarnya agar pergi, kemudian dia berkata kepada Siang In,
"Heh-heh, manis, sekarang kita hanya berdua saja, jangan kau bersikap malu-malu lagi...."
"Jahanam, iblis keji, anjing babi hina dina! Kau bunuhlah saja aku....!"
Siang In memaki-maki dengan suara serak karena sudah sehari penuh dia memaki-maki tadi. Kalau saja kaki tangannya tidak menjadi lumpuh ditotok secara istimewa oleh Tambolon, tentu dia sudah mengamuk atau membunuh diri.
"Heh-heh-heh, sayang kalau dibunuh, kau begini segar dan muda!"
Tambolon menendang daun pintu kamarnya terbuka, lalu melangkah masuk ke dalam kamar.
"Heh-haaaa?"
Dia terbelalak dan terheran-heran memandang ke dalam karena di tengah kamarnya, seperti seorang dewi dari kahyangan, berdiri seorang wanita yang cantik dan menyala pakaiannya, dengan gelung rambut tinggi dihias emas mutiara, jubahnya merah dan pakaiannya ketat membayangkan tubuh yang penuh tantangan, akan tetapi wanita ini berdiri sambil bertolak pinggang, sikapnya gagah dan sebatang pedang tergantung di punggungnya!
"Eh, Nona cantik, siapa kau....?"
Tambolon benar-benar terkejut dan kagum sekali. Wanita yang berdiri di dalam kamarnya itu biarpun tidak semuda gadis remaja yang dipanggulnya, akan tetapi cantik menarik dan penuh daya pikat, dengan tubuh yang sudah matang!
"Tambolon, kau bebaskan bocah itu."
"Kenapa?"
Tambolon bertanya.
"Dan siapakah kau?"
"Hi-hik, kalau kau tidak keburu melarikan diri ketika pasukanmu dihancurkan di Koan-bun, tentu engkau telah bertemu dengan aku. Suheng Hek-tiauw Lo-mo dan aku Mauw Siauw Mo-li yang memimpin pasukan pemberontak menghancurkan pasukan itu!"
"Ahhhh....!"
Tambolon terkejut dan cepat melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan sambil berkata,
"Manis, kau tunggu sebentar di situ!"
Kemudiah dia menghadapi wanita itu dan memandang dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Hek-tiauw Lo-mo yang hebat dan kiranya wanita ini adalah adik seperguruan tokoh itu.
"Jadi begitukah? Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya menentang Tambolon?"
"Tambolon, semua itu adalah salahmu sendiri. Mula-mula engkau membantu Pangeran Liong, seperti juga kami, akan tetapi siapa suruh engkau berkhianat dan malah menyerang pasukan Pangeran Liong? Sehingga terjadi saling serang dan akhirnya kita semua dihancurkan oleh pasukan pemerintah! Sekarang kita semua telah gagal, dan kedatanganku bukan karena urusan kegagalan itu, melainkan untuk minta Nona ini."
Tambolon mengangguk-angguk. Memang dia telah sadar bahwa dia telah dipancing oleh Lu Ceng dan Topeng Setan! Juga tidak baik kalau dia harus memusuhi Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya ini. Dengan orang-orang seperti itu jauh lebih baik bersekutu daripada bermusuhan, dan dia sedang membutuh-kan banyak tenaga bantuan untuk menghimpun kekuatan baru. Maka dia lalu tertawa.
(Lanjut ke Jilid 42)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 42
"Ha-ha-ha, Mauw Siauw Mo-li sungguh enak saja bicara. Engkau tahu bahwa nona ini telah menjadi isteriku, bagaimana mungkin akan kau minta begitu saja?"
Dia lalu melanjutkan setelah menjelajahi tubuh wanita cantik itu dengan pandang matanya.
"Kalau kau hendak mengambil dia, apakah engkau akan menggantikan dia menemaniku malam ini? Ha-ha-ha!"
Mauw Siauw Mo-li tersenyum.
"Menemanimu saja bukan merupakan keberatan bagiku, Tambolon. Akan tetapi aku perlu nona ini sekarang, dan kalau kau memberikannya baik-baik, kelak masih belum terlambat bagiku untuk ber-kunjung dan menemanimu beberapa malam. Akan tetapi sekarang aku tidak ada waktu lagi, dan biarkan aku pergi membawa nona itu."
"Kalau aku menolak?"
"Hi-hik, engkau tentu tahu bahwa kami kakak beradik seperguruan tidak biasa dibantah!"
Tambolon tersenyum. Baginya, mendapatkan Siang In atau tidak bukanlah merupakan hal yang amat penting. Masih banyak perawan yang bisa didapatkan pada malam itu juga dan berapa banyak pun. Dan sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ini amat cantik, pula kalau dia dapat bersekutu dengan Hek-tiauw Lo-mo melalui wanita ini, hal itu akan memperkuat kedudukannya. Akan tetapi dia adalah seorang raja, selain amat merendahkan kalau dia harus menurut perintah wanita itu begitu saja, juga sebagai seorang yang berilmu tinggi dia ingin sekali mencoba kepandaian wanita yaang mengaku sebagai sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo.
"Bagus, Mauw Siauw Mo-li, aku pun ingin sekali mencoba apakah kepandaianmu juga sehebat kecantikanmu. Sambutlah!"
Tambolon lalu meloncat ke depan mengirim serangan dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah pundak wanita cantik itu.
"Hemm, bagus....!"
Wanita itu dengan gerakan yang amat lincahnya sudah mengelak ke kiri. Mauw Siauw Mo-li bukan tidak tahu bahwa raja orang liar ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, dan dia pun tahu pula bahwa Tambolon mempunyai pembantu-pembantu yang lihai dan dia telah memasuki sarang naga yang berbahaya.
Maka sambil meloncat, dia terus mencelat ke arah pembaringan dan di lain saat dia telah berhasil menyambar tubuh Siang In yang dikempit oleh lengan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebuah benda kecil. Benda itu berbentuk dos kecil tempat yanci (alat pemerah pipi). Melihat wanita memegang yanci, Tambolon tertawa dan tentu saja tidak menduga apa-apa, terus menubruk ke depan. Akan tetapi wanita itu membawa Siang In meloncat keluar kamar melalui jendela sambil menyambitkan dos kecil itu ke arah Tambolon. Raja yang liar ini cukup cerdik. Biarpun benda itu hanya dos kecil, namun dia menjadi curiga dan cepat melompat jauh menghindari sambil bertiarap.
"Darrr....!"
Seperti yang telah dikhawatirkan oleh Tambolon, benda kecil yang kelihatan tidak berarti itu kiranya adalah sebuah senjata rahasia peledak yang amat hebat kekuatannya. Meja kursi dan pembaringan di dalam kamar itu hancur berantakan dan kalau saja Tambolon tidak bertiarap, tentu dia dapat terluka pula. Dia menjadi kagum akan tetapi juga marah. Wanita itu memang patut dijadikan sekutu, akan tetapi telah terlalu menghinanya, maka dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan minta bantuan gurunya untuk melakukan pengejaran. Karena Mouw Siauw Mo-li sudah berlari jauh dan berlindung di kegelapan malam bersama Siang In, maka dengan hati mendongkol Tambolon lalu mengirim pasukan untuk mengejar terus.
Siang In tadinya marah sekali ketika melihat Mauw Siauw Mo-li, karena wanita pesolek itulah yang telah mencuri kitab catatan peninggalan ayahnya. Akan tetapi ketika melihat wanita itu menolongnya dan melarikannya dari kamar Tambolon, dia merasa heran dan juga bersyukur sekali, sungguhpun dia menduga bahwa perbuatan wanita itu tentu mengandung pamrih sesuatu. Seorang yang berwatak palsu seperti wanita ini, yang diterimanya sebagai tamu dengan ramah kemudian malah mencuri kitab seperti maling, tidak mungkin mengenal perbuatan baik. Di balik pertolongannya melarikan dia dari tangan Tambolon pasti bersembunyi keinginan lain demi kepentingan dirinya sendiri. Mauw Siauw Mo-li membebaskan totokannya dan Siang In kini berjalan di sampingnya di dalam kegelapan malam, melalui pegunungan yang hanya disinari cahaya bulan muda dan bintang-bintang di langit.
"Setelah mencuri kitab, engkau ini pura-pura menolongku ada keperluan apa?"
Siang In menegur, akan tetapi tidak menghentikan kakinya yang berjalan mengikuti wanita itu karena dia maklum bahwa Tambolon dan anak buahnya tentu melakukan pengejaran.
"Kitab itu? Nih, kau boleh terima kembali!"
Mauw Siauw Mo-li menyerahkan kitab kuno kecil kepada Siang In. Dara ini makin heran akan tetapi menerima kitab itu dan disimpannya di saku baju dalamnya. Kitab itu sebetulnya tidak lagi berguna bagi dia atau kakaknya karena mereka telah hafal akan isinya, dan mereka menyim-pannya hanya sebagai barang pusaka peninggalan ayah mereka.
"Engkau seorang yang aneh sekali. Engkau tadi menyebutkan nama julukanmu Mauw Siauw Mo-li? Apakah artinya semua perbuatanmu ini? Mula-mula engkau mengunjungi aku, mencuri kitab ini, sekarang engkau bersusah payah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon lalu mengembalikan kitab. Sebetulnya, apakah kehendakmu?"
Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, lalu berkata,
"Engkau puteri mendiang Yok-sian, sayang kalau sampai menjadi makanan Tambolon yang rakus! Dan, eh adik kecil yang baik, siapa namamu?"
"Aku Teng Siang In."
"Adik Siang In, sebagai keturunan orang pandai, engkau tentu mengutamakan balas budi. Engkau tentu tahu bahwa tanpa aku yang melarikanmu dari tangan Tambolon, saat ini engkau sudah mengalami hal yang amat menyenangkan hati Tambolon akan tetapi yang bagi dirimu merupakan penghinaan yang akan terasa seumur hidupmu. Engkau akan sudah diperkosa, menderita penghinaan berkali-kali sampai kau tidak kuat menahan dan mati, dalam keadaan hina dan mengerikan. Nah, kau mengakui adanya pertolonganku ataukah tidak?"
Mendengar ucapan itu, Siang In membayangkan apa yang dapat menimpa dirinya itu dan dia bergidik ngeri. Akan tetapi dia seorang dara yang cerdik, dan setelah terbebas dari ancaman bahaya maut di tangan Tambolon, kini dia pun tidak takut lagi menghadapi bahaya baru dan dia menjawab,
"Mo-li, lebih baik katakan saja terus terang, apa yang kau kehendaki dari aku setelah kitab yang kau curi ini agaknya tidak ada gunanya bagimu."
"Hi-hik, engkau lumayan juga, engkau cerdik! Nah, lebih baik aku berterus terang saja."
Dia berhenti di bawah pohon kecil dan duduk di atas batu, Siang In berdiri di depannya.
"Terus terang saja, aku menderita keracunan di sebelah dalam darahku. Hal ini terjadi ketika aku mencuri mempe-lajari ilmu pukulan beracun dari kitab milik suhengku. Sebelum sempurna aku mempelajarinya, suhengku tahu akan hal itu dan dia merampas kembali kitab itu sehingga aku tidak dapat melanjut-kan latihanku. Karena tidak ada lagi petunjuknya, hawa beracun yang sudah terkumpul itu tidak dapat kusalurkan dan mulai meracuni diriku sendiri. Aku telah minta tolong Suheng, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi suhengku itu memang orang kejam! Dia malah menyukurkan, bilang bahwa itu hukumannya seorang yang mencuri pelajaran orang lain. Huh, seperti aku tidak tahu saja bahwa dia pun mencuri kitab itu dari Dewa Bongkok! Akan tetapi untuk memaksanya, aku tidak berani karena dia lihai sekali. Nah, aku mendengar bahwa tokoh pengobatan yang paling pandai adalah Yok-sian, ayahmu. Sayang dia telah meninggal dunia, maka aku lalu mencuri kitab itu. Kiranya kitab itu hanya terisi catatan tentang nama-nama dan macamnya tetumbuhan obat, sama sekali tidak ada gunanya bagiku. Karena itu, Adik Siang In, aku menolongmu dan ingin minta bantuanmu agar engkau suka menerangkan, obat apa yang kiranya akan dapat menyembuhkan aku, karena engkau tentu telah mewarisi kepandaian itu dari ayahmu."
Siang In mengerutkan alisnya.
"Sayang sekali, kepandaian pengobatan itu diwarisi enciku, dan aku hanya mengenal bahan-bahan obat saja. Akan tetapi, biar enciku sendiri kiranya tidak akan dapat menyembuhkan akibat racun yang menyerang dari dalam karena latihan yang salah. Ada suatu rahasia besar yang diketahui oleh enciku dan aku, dan karena engkau telah menyelamatkan aku, biarlah aku membuka rahasia itu kepadamu dan mungkin saja rahasia itu akan menjadi jalan penyembuhanmu."
Mauw Siauw Mo-li gembira sekali mendengar ini.
"Rahasia apa itu yang akan mampu menyembuhkan aku? Lekas katakan!"
"Mendiang Ayah pernah bercerita kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, Ayah sendiri pernah mencoba untuk mendapatkan anak naga itu...."
"Anak naga? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!"
Karena merasa telah dihindarkan dari bahaya yang mengerikan di tangan Tambolon, Siang In lalu membuka rahasia seperti yang pernah dituturkan oleh mendiang ayahnya itu. Di sebuah telaga yang amat luas, yaitu Telaga Sungari yang jarang didatangi manusia, di sebelah barat Pegunungan Jang-kwan-cai, hidup seekor naga yang mungkin merupakan naga terakhir di dunia ini.
Naga itu tidak pernah keluar dari dasar telaga yang amat dalam itu, dan hanya setiap sepuluh tahun sekali, pada permulaan musim semi, naga itu keluar dari dalam telaga, membawa anaknya yang baru menetas untuk menerima sinar matahari. Setiap sepuluh tahun sekali naga itu bertelur dan jarang sekali ada telurnya yang menetas, akan tetapi kalau ada yang menetas, anaknya lalu dibawa ke permukaan telaga untuk menghisap tenaga yang dari matahari. Nah, anak naga yang baru menetas itu merupakan mustika yang tak ternilai harganya, karena dapat dipergunakan untuk obat yang menyembuhkan segala macam penyakit, terutama keracunan. Juga bagi yang tidak menderita sakit, anak naga itu merupakan obat yang dapat membikin tubuh menjadi kuat dan kebal, dapat pula memperkuat tenaga sin-kang.
"Sekarang aku telah berusia lima belas tahun berarti sepuluh tahun telah lewat sejak naga itu muncul di permukaan air Telaga Sungari. Bulan depan adalah permulaan musim semi, maka kalau engkau mau pergi ke telaga itu dan dengan kepandaianmu engkau dapat merampas anak naga, jangankan baru keracunan di dalam darahmu, biar engkau sudah tiga perempat mati pun akan dapat disembuhkan."
Mauw Siauw Mo-li tertarik sekali.
"Permulaan musim semi? Hanya kurang beberapa hari lagi...."
Dia berhenti dan menatap wajah dara itu, menajamkan pandangan untuk menembus kegelapan remang-remang itu menyelidiki wajah Siang In.
"Siang In, benarkah apa yang kau ceritakan semua itu?"
Siang In cemberut.
"Mo-li, engkau tadi menyebut-nyebut nama ayahku yang telah meninggal dunia. Apa kau kira aku sudi untuk mencemarkan nama baik ayahku dengan cara membohongimu? Betapapun juga, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon, dan sudah sepatutnya kalau kau kuberi tahu tentang anak naga itu agar engkau dapat mencari penyembuhan untuk darahmu yang keracunan."
"Bagus! Kalau ceritamu benar dan aku berhasil, kelak aku akan menghaturkan terima kasih ke lembah Pek-thouw-san di mana engkau tinggal. Akan tetapi kalau engkau membohong, aku pun akan datang ke sana dan engkau akan menerima hukuman yang lebih mengerikan daripada kalau engkau terjatuh ke tangan Tambolon."
Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan lenyap.
Siang In hanya mendengar suara lengking aneh seperti seekor kucing terinjak ekornya dari jauh. Dia bergidik. Pantas julukannya Siluman Kucing, pikirnya. Kemudian dia teringat bahwa dia ditinggalkan sendirian saja, sedangkan mungkin sekali pasukan Tambolon masih melakukan pengejaran, maka dia lalu melanjutkan perjalanan melarikan diri. Siang In adalah seorang dara remaja yang sejak kecil hidup tenteram di lereng Gunung Pek-thouw-san, sebuah puncak di Pegunungan Jang-pai. Dia hidup bersama encinya, Siang Hwa dan biasanya dia hanya pergi ke hutan-hutan di sekitar pegunungan itu mencari bahan-bahan obat atau rempah-rempah yang banyak tumbuh di daerah itu.
Kini, dia melakukan perjalanan mencari encinya, tentu saja dia kurang pengalaman dan dia sama sekali asing dengan daerah yang dilaluinya sekarang ini. Apalagi perjalanan pelarian itu dilakukan di malam hari, hanya diterangi bulan muda dan bintang-bintang, dalam keadaan gelisah karena dikejar pula, maka dia lalu melarikan diri secara ngawur. Sebaliknya, yang melakukan pengejaran dua rombongan. Rombongan pertama adalah pasukan yang melakukan pengejaran terhadap lima orang Bhutan, Kian Bu, dan Siang Hwa yang dapat melarikan diri lebih dulu ketika terjadi kebakaran. Rombongan ke dua adalah pasukan yang mengejar Mauw Siauw Mo-li dan Siang In. Yang pertama dipimpin oleh Si Petani Maut, sedangkan pasukan ke dua dipimpin oleh Yu Ci Pok Si Siucai Maut.
Pasukan-pasukan pengejar ini terdiri dari orang-orang Nomad yang sejak kecil hidup di daerah itu secara berpindah-pindah, tentu saja mereka mengenal baik daerah itu dan mereka dapat melakukan pengejaran dengan terarah dan mengepung serta memotong jalan-jalan di daerah itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada keesokan harinya, Siang In terkejut sekali mendengar derap kaki kuda jauh dari belakangnya. Dia sudah keluar dari daerah hutan dan berada di tanah datar tanpa pohon, maka tidak sempat lagi baginya untuk bersembunyi, maka larilah dara ini ke depan, secepat mungkin! Tak lama kemudian terdengar suara hiruk-pikuk dan para pengejar itu membalapkan kuda mereka karena mereka telah melihat gadis yang berlari cepat itu, dan mende-ngar betapa derap kaki kuda makin dekat, Siang In mempercepat larinya dan mengeluh,
"Ahh.... kalau saja Pek-liong berada di sini...."
Kalau dia menunggang keledai itu, dia tidak takut biar dikejar oleh siapapun juga karena keledainya dapat berlari lebih cepat dari kuda yang bagaimanapun. Para pengejar makin dekat dan napas Siang In sudah terengah-engah ketika tiba-tiba dia membelalakkan matanya dan menghentikan larinya karena di depannya membentang luas sebatang sungai yang amat lebar. Sungai ini adalah Sungai Yi-tung.
"Celaka....!"
Siang In berseru kaget dan cepat dia memutar tubuhnya. Belasan orang penunggang kuda mendatangi dengan cepat dipimpin oleh Si Sastrawan!
"Biar aku melawan sampai mati!"
Siang In yang maklum bahwa dia tidak dapat lari terus karena ada sungai lebar menghalang di depannya, kini sudah berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan dia menggigit bibir bawah dan matanya berkilat penuh kemarahan! Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan dari kiri dan ketika Siang In menoleh, dia melihat belasan orang lagi datang berlarian di tepi sungai, dan mereka itu bukan lain adalah orang-orang liar yang dipimpin oleh Si Petani Maut, yaitu para pengejar pertama yang dalam usahanya mengejar para tawanan yang lolos telah tiba pula di tempat itu! Tentu saja hati Siang In menjadi makin gelisah, akan tetapi dara itu telah kehilangan rasa takut karena dia tahu bahwa melawan atau tidak, dia akan celaka di tangan mereka, dan dia memilih mati sambil melawan daripada hidup menjadi tawanan dan permainan dari Raja Tambolon!
"In-moi....!"
Siang In terkejut dan jantungnya ber-debar keras. Itulah suara encinya Siang Hwa!
"Cici....!"
Dia cepat menoleh dan makin girang hatinya ketika dia melihat Kian Bu bersama encinya, seorang kakek tua berambut putih, dan lima orang tawanan itu berada di atas rakit bambu yang didayung oleh mereka ke tepi sungai.
"Bu-koko.... kau tolonglah aku...."
Siang In berteriak girang melihat munculnya pemuda itu. Dia telah salah mengira bahwa pemuda yang pandai mengenal sajak kuno itu hanyalah seorang kutu buku yang lemah. Dia mengerti sekarang bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka begitu bertemu dia berteriak minta tolong.
"Siauw-moi, (Adik Kecil), kau tenanglah!"
Kian Bu berkata sambil meloncat ke darat dengan gerakan yang amat lincah, diikuti oleh kakek berambut putih yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su. Pada saat itu, hampir berbareng Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Yu Ci Pok telah tiba di situ.
"Nona, ke mana engkau hendak lari?"
Yu Ci Pok yang bertugas menawan kembali "pengantin ke dua"
Ini menubruk sambil meloncat dari atas kudanya. Siang In mencoba untuk mengelak ke kiri sambil mengirim pukulan dengan tangan kanannya ke arah dada sastrawan itu.
"Plakk!"
Pukulan dara itu yang dilakukan dengan sekuatnya diterima oleh Si Sastrawan sambil tertawa dan sebaliknya sastrawan itu menangkap pergelangan tangan Siang In.
"Lepaskan aku....!"
Siang In meronta namun percuma karena pegangan Yu Ci Pok itu kuat sekali. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Keparat, Lepaskan dia!"
Yu Ci Pok cepat menengok dan melihat tubuh pemuda tampan bekas tawanan itu melayang dengan cepat ke arahnya. Dia terkejut, melepaskan Siang In dan menyambut Kian Bu dengan tamparan dahsyat, mengambil kesempatan selagi pemuda itu masih melayang.
"Desss....!"
Kian Bu sudah mendorong dan mengerahkan sin-kangnya. Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh sastrawan itu hampir roboh terjengkang kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang sambil memandang heran dan mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit. Sementara itu, Si Petani Maut juga sudah tiba di situ, akan tetapi sebelum dia sempat turun tangan, terdengar suara ketawa dan ketika dia menoleh ada tangan menampar mukanya.
Untung Liauw Kui adalah seorang berkepandaian tinggi dan merupakan pembantu utama dari Tambolon, maka begitu mendengar ada angin menyambar, dia sudah mengelak dan cepat menengok. Kiranya yang menamparnya tadi adalah seorang kakek berambut putih yang menamparnya sambil tertawa-tawa! Liauw Kui teringat bahwa kakek ini yang muncul di dalam kekacauan pesta, maka dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu lihai sekali. Seperti juga Tambolon sendiri, dua orang pembantu utamanya ini belum mengenal See-thian Hoat-su bekas suami Durganini guru Tambolon. Liauw Kui sudah cepat mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya lalu menyerang kakek itu sambil menyerukan perintah mengepung dan mengeroyok kepada semua anak buah kedua pasukan yang jumlahnya ada tiga puluh orang lebih itu!
Siang Hwa, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya sudah cepat mendayung perahu getek atau rakit bambu itu ke tengah setelah Siang Hwa yang tadi meloncat ke darat, berhasil menarik adiknya dan membawanya lari ke atas rakit. Sedangkan Kian Bu dan See-thian Hoat-su mengamuk dikeroyok oleh dua orang pembantu Tambolon yang lihai dan tiga puluh orang lebih itu. See-thian Hoat-su tidak mengeluarkan ilmu sihirnya karena kakek ini mengira bahwa bekas isterinya, Durganini ikut pula mengejar dan mengeluarkan ilmu sihir berarti mencari penyakit kalau nenek bekas isterinya yang merupakan tokoh sihir itu berada di situ. Malah dia pun sudah merasa gentar, maka cepat dia berkata,
"Orang muda, mau tunggu apa lagi? Hayo lekas kembali ke rakit!"
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakek itu sudah menyambar beberapa buah batu, lalu dia melemparkan sebuah batu melayang lurus ke depan, tepat di permukaan air sungai, disusul tubuhnya meloncat, menginjak batu itu sambil melempar lagi batu ke dua ke depan, meloncat lagi dan dengan cara mengagumkan ini dia telah tiba di atas rakit.
Akan tetapi, ternyata Kian Bu juga telah berada di atas rakit itu. Kiranya pemuda ini tadi melayang tinggi ke atas, lalu di atas membuat jungkir balik sembilan kali sehingga tubuhnya meluncur terdorong gerakan poksai susul-menyusul ini dan hinggap di atas rakit dengan ringan. Siang Hwa, Siang In, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya melongo melihat demonstrasi gin-kang istimewa yang dilakukan oleh kakek berambut putih dan pemuda tampan itu. Siang Hwa dan Siang In berpelukan dan mencucurkan air mata saking girang dan terharu bahwa mereka berdua telah lolos dari bahaya mengerikan yang mengancam diri mereka di sarang Raja Tambolon. Akan tetapi mereka tidak memperoleh banyak kesempatan untuk bertangisan dan saling menceritakan pengalaman lebih lama lagi karena Kakek See-thian Hoat-su berseru,
"Hayo kalian hentikan tangis-menangis itu, lihat mereka telah mengejar kita!"
Semua orang menengok dan memang benar. Kiranya tiga puluh lebih anak buah Tambolon itu telah mempergunakan rakit-rakit yang banyak terdapat di tepi sungai dan melakukan pengejaran di atas enam buah rakit yang mulai mengepung dan mencegat dari empat jurusan.
"Awas anak panah!"
Kian Bu berseru sambil meloncat berdiri. Bersama Kakek See-thian Hoat-su, pemuda Pulau Es ini dengan tangkas menyambut anak-anak panah yang datang menyambar, menangkis dengan kaki tangannya. Melihat ini, See-thian Hoat-su tertawa gembira.
"Ha-ha-ha, orang muda perkasa. Engkau memang hebat!"
Dan seperti berlomba dan tidak mau kalah, dia pun menangkis dan menendang setiap anak panah yang meluncur dan menyambar di dekatnya. Kakek tua renta itu tertawa-tawa, gembira sekali seperti seorang anak kecil bermain perang-perangan. Akan tetapi selagi kedua orang ini sibuk menghadapi serangan anak panah dengan menangkis, enam buah rakit itu telah mengepung dekat dan mereka telah menyerang dengan tombak-tombak panjang.
Si kakek berambut putih menjadi makin girang. Dia dapat menangkap sebatang tombak musuh dan sambil bersorak girang dia meloncat ke atas sebuah rakit musuh dan mengamuk di situ. Susahnya bagi para pelarian itu, kakek ini seperti anak kecil, tidak segera merobohkan enam orang di atas rakit itu melainkan mempermainkan mereka dan hanya menampar dan menendang perlahan saja untuk mempermainkan, membuat mereka berjatuhan akan tetapi mereka masih dapat bangkit kembali dan mengeroyok lagi. Hal ini agaknya menyenangkan hati kakek itu, seperti seekor kucing mempermainkan enam ekor tikus, melayani mereka, membagi-bagikan tamparan sambil tertawa-tawa.
"Heiittt, wuuhh, tidak kena.... heh-heh-heh, nah, berlututlah engkau, dan engkau rebahlah!"
Demikianlah kakek itu bermain-main, membuat gemas juga hati Kian Bu. Kalau kakek itu bersungguh-sungguh, agaknya bersama dia akan dapat melawan dan menahan semua musuh ini. Akan tetapi kakek itu main-main dan kini dia sibuk seorang diri menahan pengeroyokan para pengepung. Untung bahwa Panglima Jayin dan empat orang pembantunya juga melawan dengan gagah berani, juga Siang Hwa dan Siang In membantu sekuat tenaga mereka, sungguhpun keadaan mereka amat repot karena dikepung dan dikeroyok.
"Awas pinggir rakit!"
Kian Bu berteriak dan cepat kakinya menendang kepala seorang musuh yang tahu-tahu muncul di pinggir rakit. Kiranya mereka itu kini telah mengirim beberapa orang untuk menyelam dan agaknya ingin menggulingkan rakit! Akan tetapi Panglima Jayin dan para pembantunya juga sudah siap menjaga keselamatan rakit mereka yang mulai bergoyang-goyang.
"Auuhhh....!"
Seorang di antara pembantu Panglima Jayin mengeluh dan tubuhnya terjungkal ke dalam air sungai karena perutnya telah terkena sebatang senjata rahasia paku beracun yang dile-pas oleh Si Petani Maut.
"Awas senjata rahasia!"
Kian Bu berteriak lagi dan dia sudah menghadapi serangan paling dahsyat di pinggir rakit. Berkat amukan Kian Bu yang amat tangguh, Si Petani Maut Liauw Kui dan Sastrawan Yu Ci Pok yang tidak dapat langsung menyerang secara dekat itu kembali menyuruh para anak buahnya mundurkan rakit.
"Lepas anak panah....!"
Perintahnya dan kembali anak-anak panah berluncuran menyerang ke perahu para pelarian itu. Kian Bu sibuk sendiri dan tidak mungkin dia harus melindungi seluruh rakit dari anak-anak panah itu. Panglima Jayin dan anak buahnya juga sudah memutar golok mereka menangkisi anak-anak panah yang datang menyambar ke arah mereka. Juga dua orang gadis itu harus berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri. Akan tetapi tiba-tiba Siang Hwa mengeluh dan roboh di atas rakit.
"Cici....!"
Siang In menubruk encinya dan betapa kaget hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa punggung encinya terluka hebat dan ketika dia mendekap encinya, Siang Hwa mengerang lirih.
"In-moi.... kau.... jaga dirimu.... baik-baik...."
Gadis ini mengerang lalu terkulai. Sebatang paku beracun yang dilepaskan oleh Petani Maut kembali telah memperoleh korban, memasuki punggung Siang Hwa dan tepat mengenai jantung sehingga gadis itu tewas seketika.
"Enci Siang Hwa....!"
Siang In menjerit dan menangis sambil memeluk encinya yang sudah menjadi mayat. Melihat ini, Kian Bu menjadi makin gemas kepada See-thian Hoat-su,
"Kakek menjemukan! Kau membantu kami ataukah membantu musuh?"
Teriaknya. See-thian Hoat-su tertawa dan sekali kaki tangannya bergerak, enam orang yang dipermainkannya itu terlempar semua dari atas rakit, tenggelam dan hinggap di pinggir rakit para pelarian itu.
"Eh, oh, kenapa menangis....? Kenapa dia?"
"Enci Siang Hwa.... telah.... tewas....!"
Siang In menangis.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah enak-enak mati mengapa ditangisi? Apa kau ingin melihat encimu hidup lagi dan menderita seperti kita ini? Ohhhh, bocah tolol kau! Aku yang ingin sekali mampus sampai puluhan tahun tidak juga mampus, sekarang encimu sudah enak-enak mati, membikin aku iri saja, engkau malah menangis!"
Siang In tidak mempedulikan kata-kata aneh dan gila-gilaan dari kakek itu, terus memeluki mayat encinya dengan hati hancur dan dia tidak peduli lagi apakah dia terancam bahaya atau tidak, karena setelah encinya mati. Dia amat ngeri dan takut menghadapi hidup seorang diri saja di dunia yang kejam ini. Encinya merupakan pengganti ayah bundanya, sekarang encinya telah mati, berarti bahwa dia akan hidup seorang diri saja di dunia yang penuh dengan kekerasan dan kesengsaraan ini. Kakek See-thian Hoat-su, Kian Bu, Panglima Jayin dan pembantunya yang tinggal tiga orang itu masih melakukan perlawanan mati-matian karena para anak buah Tambolon masih terus mengepung mereka.
Andaikata pertandingan itu terjadi di atas daratan, dengan adanya See-thian Hoat-su dan Suma Kian Bu, tentu sudah sejak tadi dua orang pengawal Tambolon beserta puluhan orang anak buahnya itu akan roboh semua dalam waktu singkat. Akan tetapi pertempuran terjadi di atas sungai, di atas rakit dan dikepung dari jauh, dihujani anak panah dan senjata rahasia, maka tentu saja para pelarian itu makin lama makin repot. Rakit mereka telah berada di tengah sungai yang lebar itu, terlalu jauh dari tepi sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka untuk mendarat. Para pengeroyok sudah mengepung mereka dan biarpun di antara para pengeroyok itu sudah sepuluh orang yang terjungkal ke dalam air, namun Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang maklum akan kelemahan lawan di air, terus mengepung dan berusaha menggulingkan rakit itu dengan berbagai cara. Sementara itu, di langit atas mereka berkumpul awan mendung menghitam tanpa diketahui oleh mereka yang sedang bertempur.
Pada waktu itu, Liauw Kui sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyerang dengan panah api! Dia merasa penasaran sekali bahwa dengan banyak anak buah belum juga mereka dapat mengalahkan para pelarian itu, maka timbul keinginannya untuk menumpas musuh yang tidak bisa ditawan kembali itu. Berhamburanlah anak panah berapi ke rakit itu dan See-thian Hoat-su berteriak-teriak marah. Akan tetapi kakek yang lihai ini bersama Suma Kian Bu repot menangkis panah-panah ini, demikian pula Jayin dan anak buahnya. Hanya Siang In yang tidak peduli akan itu semua, dan kalau tidak ada Kian Bu yang selalu melindunginya, tentu gadis ini akan menjadi korban panah berapi. Akan tetapi, biarpun mereka tidak atau belum terkena anak panah tetapi ada panah yang menancap di rakit mereka yang mulai terbakar!
Seorang anak buah Panglima Jayin cepat melepas jubahnya, membasahi jubah itu dengan air sungai kemudian dia cepat memadamkan api yang mulai membakar permukaan rakit dari bambu. Akan tetapi, karena sibuk dengan usaha ini, dia tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan terdengar teriakan mengerikan ketika orang ini terkena anak panah yang menancap di lambungnya! Orang Bhutan ini terjungkal dan jatuh ke dalam air sungai. Pada saat itu, tiba-tiba turun hujan dengan derasnya, seperti dituang dari langit, dibarengi dengan angin yang besar. Amukan hujan dan angin ini sekaligus membubarkan pertempuran, karena selain hujan yang amat deras membuat cuaca menjadi gelap sekali dan membuat mereka sukar membuka mata, juga angin ribut membuat air sungai mulai bergelombang yang makin lama makin dahsyat.
Beberapa kali Siang In menjerit karena hampir dia tidak dapat menahan mayat kakaknya yang akan terlempar keluar karena rakit itu mulai berguncang dan miring ke kanan kiri. Semua orang harus berpegang kuat-kuat pada pinggiran rakit agar tidak terlempar keluar. Ternyata hujan sejak tadi turun di hulu Sungai Yi-tung dan kini air mulai membanjir datang, menciptakan arus yang amat kuat dan rakit-rakit itu hanyut dan terputar-putar tanpa dapat dikendalikan lagi. Rakit yang membawa para pelarian itupun hanyut terseret arus, berputaran. Kian Bu mendengar Siang In menjerit dan menangis karena jenazah encinya tak dapat dipertahankannya lagi. Rakit itu hampir jungkir-balik dan dia hampir saja terbawa air kalau saja dia tidak cepat-cepat memegang pinggiran rakit. Dan karena menyelamatkan diri sendiri ini, dia melepaskan mayat encinya yang tahu-tahu telah lenyap disambar air.
"Enci....!"
Dara itu menjerit dan dengan nekat dia hendak menyusul mayat encinya.
"In-moi, jangan....!"
Di antara air hujan deras yang membuat orang sukar membuka mata, Kian Bu melihat dara itu bangkit berdiri. Dia lalu meloncat dan berhasil mendorong kembali Siang In sehingga terlempar dan roboh di atas rakit, disambar lengannya oleh See-thian Hoat-su, akan tetapi Kian Bu sendiri tergelincir di pinggir rakit dan terseret oleh air yang mengganas.
"Bu-twako....!"
Siang In menjerit akan tetapi Kian Bu telah lenyap ditelan air sungai yang menggelora itu. Siang In menjerit-jerit dan roboh pingsan di pelukan Kakek See-thian Hoat-su.
"In-moi.... ah, In-moi...."
Kian Bu mengeluh, kepalanya terasa pening dan yang pertama kali teringat olehnya ketika dia siuman dari pingsannya adalah Siang In karena ketika dia terlempar ke air sungai dia sedang berusaha menolong gadis itu. Betapa pun kuatnya tubuh Kian Bu di dalam air yang mengamuk itu dia sama sekali tidak berdaya. Dia terseret oleh arus, dibuat terguling-guling, tenggelam-timbul, diangkat ke atas oleh gelombang, dihempaskan ke bawah dan dia pingsan, tubuhnya seperti tidak bernyawa lagi dipermainkan air Sungai Yi-tung yang mengamuk.
Dan mungkin saja karena pingsan inilah maka nyawanya tertolong. Andaikata dia tidak pingsan, tentu dia akan melawan maut dan justeru perlawanan yang sia-sia itu membuat tubuhnya kaku dan mungkin akan remuk-remuk terbanting-banting seperti itu. Setelah pingsan tubuhnya menjadi lemas dan tak pernah melawan dipermainkan air dan agaknya air sungai pun tidak bernafsu lagi menghadapi korban yang tidak mau melawan, seperti seekor kucing tidak bernafsu lagi mempermainkan seekor tikus yang sudah tidak dapat bergerak. Akhirnya air menjadi bosan dengan tubuh manusia yang tak mampu bergerak lagi itu dan menyeretnya ke tepi, melontarkannya ke pinggir sehingga separuh tubuhnya berada di atas tanah sedangkan dari pinggang ke bawah masih di dalam air.
"Siang In... kasihan kau..."
Kembali dia mengeluh.
"Engkau juga kasihan, muda belia yang tampan..."
Terdengar suara halus berada di dekatnya. Kian Bu terkejut dan kesadarannya mulai kembali. Ketika dia merasa betapa kepalanya rebah di tempat yang lunak dan hangat, dia cepat membuka matanya dan terbelalak heran melihat sebuah wajah yang cantik sekali berada di atasnya. Wajah yang berkulit halus, dengan sepasang mata bening menatap mesra, dengan bibir yang merah tersenyum ramah. Dan dia ternyata rebah di atas rumput di tepi sungai, kepalanya rebah di atas pangkuan wanita berwajah cantik itu! Tentu saja Kian Bu terkejut sekali dan cepat dia bangkit duduk dan membalikkan tubuh memandang. Wanita itu cantik bukan main dan ia mencium bau harum semerbak.
"Kau.... kau siapakah....?"
Kian Bu bertanya meragu karena dia seperti pernah melihat wanita ini. Senyum di bibir merah itu makin melebar dan nampaklah deretan gigi putih bersih, kemudian, hanya sekilas pandang, nampak ujung lidah yang meruncing dan merah menjilat keluar di antara deretan gigi atas bawah, hanya sebentar saja akan tetapi mendatangkan penglihatan yang mengesankan.
"Namaku Hong Kui.... she Lauw.... aku melihat engkau rebah di tepi sungai, kukira sudah mati, lalu kutarik ke sini, ternyata engkau masih hidup. Sukurlah, Kongcu, sukur engkau masih hidup...."
Suara wanita ini merdu dan seperti orang bernyanyi saja penuh dengan nada tinggi rendah dan kata-katanya diiringi gerak bibir mempesona dan kerling mata yang menyambar-nyambar. Heran sekali, melihat bibir yang bergerak-gerak dan mata mengerling tajam itu teringatlah Kian Bu kepada Siang In ketika dara itu berlagak meniru gerak-gerik wanita yang genit memikat. Wanita genit memikat! Tak salah lagi, dia inilah orangnya!
"Jadi.... engkaukah ini....?"
Dia meloncat berdiri dan wanita itu memandang ke arah celananya yang basah kuyup dan menempel ketat di tubuhnya, sambil tertawa. Kian Bu menunduk dan cepat dia menutupkan jubahnya yang juga basah kuyup di depan tubuhnya. Sialan! Celana yang basah kuyup itu membuat dia seperti telanjang saja.
"Engkau sudah mengenal aku, Kongcu?"
Wanita itu bertanya dan memandang penuh selidik.
"Bukankah engkau yang dicari-cari oleh Teng Siang In?"
Kian Bu bertanya, diam-diam harus mengakui bahwa wanita yang sudah matang ini benar-benar cantik menarik dan mempunyai daya pikat yang amat kuat.
"Bukankah engkau yang.... eh, mencuri kitab dari dara itu?"
Wanita yang berpakaian mewah dan indah, dengan gelung rambutnya yang tinggi itu tersenyum lagi.
Dia ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li. Seperti telah kita ketahui, setelah mendengar dari Siang In tentang obat anak naga di Telaga Sungari, wanita ini meninggalkan Siang In dan melanjutkan perjalanan hendak menuju ke telaga itu. Akan tetapi dia terhalang oleh hujan angin dan terpaksa dia mencari tempat perlindungan dan berteduh di dalam sebuah bekas bangunan kuil tak jauh dari Sungai Yi-tung yang akan diseberangi. Setelah hujan berhenti, dia keluar dari tempat peneduhan itu dan secara kebetulan saja dia melihat Kian Bu terdampar di tepi sungai. Melihat seorang pemuda yang amat tampan dan muda itu terdampar seperti telah mati, dia merasa sayang sekali dan cepat menghampiri. Segera ditolongnya pemuda itu ketika dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu masih hidup.
"Ah, agaknya Adik Siang In telah bercerita kepadamu tentang kitab itu? Ah, Kongcu, kitab itu hanya kupinjam saja dan sekarang telah kukembalikan. Apakah dia tidak bercerita kepadamu betapa aku telah menolong dan menyelamatkannya dari tangan Tambolon? Aku yang mengajaknya lari sebelum dia menjadi korban kejahatan Tambolon dan mengantarnya sampai dia selamat dari kejaran mereka."
Kian Bu lalu duduk kembali dan wanita itu membuat api unggun. Sampai lama mereka tidak bicara, dan wanita itu sering mengerling dan tersenyum kepadanya, sedangkan semua gerak-gerik-nya ketika membuat api unggun, ketika melangkah dan melenggang, semua penuh daya pikat dan seluruh bagian tubuh wanita itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak penuh keindahan, dari gerak matanya, sampai ke ujung jari tangannya, pinggungnya, kakinya, bibirnya.
"Agaknya engkau telah menolong aku pula, Toanio...."
"Aihhh, jangan menyebut aku Toanio, Kongcu...."
Wanita itu cepat memutar tubuh, mencela akan tetapi sambil tertawa.
"Setelah kita bertemu di sini dan kebetulan aku menarikmu dari air, bukankah kita telah menjadi sahabat?"
"Engkau juga menyebut aku Kongcu (Tuan Muda)...."
"Hi-hik, engkau sungkan benar...., biarlah kau menyebut aku.... enci, karena aku memang lebih tua darimu dan kau.... eh, siapa sih namamu?"
"Aku Kian Bu, Suma Kian Bu."
"Namamu gagah, seperti orangnya. Nah, Kian Bu, bukankah kita sekarang sudah bersahabat dan lebih akrab kalau aku menyebut namamu saja dan kau menyebut enci kepadaku seolah-olah kita ini dua orang bersahabat atau bersaudara?"
"Terima kasih.... Enci Hong Kui, engkau baik sekali."
Wanita itu kembali tersenyum dan membesarkan api unggun.
"Kau duduklah dekat api, biar tubuhmu hangat dan pakaianmu kering."
"Aku harus pergi mencari yang lain-lain, Enci. Mungkin mereka pun terdampar dan selamat seperti aku."
"Eh, yang lain-lain siapakah?"
Mereka berdua duduk berdampingan di atas rumput, dekat api unggun. Malam itu gelap dan dingin, akan tetapi api unggun itu hangat. Kian Bu lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia bersama Siang Hwa, Kakek See-thian Hoat-su dan lima orang Bhutan melarikan diri dari sarang gerombolan Tambolon. Kemudian setelah berhasil membawa pula Siang In yang muncul di tepi sungai, mereka dikepung oleh anak buah Tambolon dan dikeroyok, akhirnya sampai hujan angin menyerang mereka semua.
"Aku tidak tahu bagaimana dengan nasib mereka karena aku terlempar keluar dari rakit dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku harus segera mencari Siang In. Kasihan sekali gadis itu, sudah kehilangan encinya yang tewas di atas rakit, kemudian dia sendiri masih terancam bahaya maut. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan selamat, dan aku harus mencarinya sekarang juga, Enci Hong Kui."
Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li menggeleng kepalanya.
"Tidak akan ada gunanya, Kian Bu. Malam amat gelap, langit masih diliputi mendung dan tidak mungkin kita dapat mencari dia di tempat gelap begini. Kita menanti sampai besok dan aku akan membantumu mencari dia. Sekarang, mari kau makan dulu, aku membawa bekal roti dan arak."
Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke arah sungai. Air masih penuh sungguhpun gelombang tidak mengamuk seperti tadi, akan tetapi keadaannya gelap benar sehingga memang tidak mung-kin untuk mencari Siang In di sepanjang tepi sungai itu. Dia menarik napas panjang dan duduk kembali sementara wanita itu mengeluarkan bungkusan roti dan seguci arak. Makanan itu dibelinya dari warung di dusun yang dilewatinya tadi dan dibawa sebagai bekal.
"Sungguh kasihan sekali Siang In...."
Kian Bu berkata ketika dia sudah duduk dan membayangkan keadaan dara yang lincah jenaka itu.
"Eh...., apamukah dia itu? Sahabat baikmu? Pacarmu?"
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan terakhir itu, pertanyaan yang diajukan dengan suara biasa saja.
"Oh, bukan! Kami hanya teman-teman seperjalanan yang beberapa hari saling berjumpa dalam hutan."
"Ah, kukira pacar atau.... calon isteri."
"Hemm, aku masih belum bertunangan,"
Kian Bu menjawab cepat untuk menyetop percakapan mengenai hal itu. Wanita itu memandangnya dengan kerling tajam dan senyumnya melebar, manis sekali. Wajahnya kelihatan kemerah-merahan di bawah sinar api unggun.
"Kian Bu, kaumgkanlah. Roti ini kubeli di dusun tadi, masih lunak. Marilah!"
"Terima kasih."
Kian Bu menerima roti dan bersama Mauw Siauw Mo-li yang mengaku bernama Lauw Hong Kui, nama kecilnya yang jarang dikenal orang itu, dia makan roti karena memang perutnya terasa lapar sekali. Teringat olehnya betapa dia bersama Siang In sudah sejak ditawan tidak makan apa-apa dan perutnya menerima roti dengan hangat. Melihat Kian Bu menelan roti agak seret, Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan mengulurkan tangannya yang memegang guci arak.
"Minumlah.... arak ini pun arak baik, manis dan tidak begitu keras."
"Mana cawan atau mangkoknya?"
Kian Bu menerima guci.
"Ih, membawa cawan di perjalanan berabe saja dan di tempat ini mana ada mangkok? Kauminum saja dari guci itu."
"Tapi.... tapi.... ini guci arakmu dan...."
"Aih, Kian Bu, mengapa engkau banyak sungkan? Minum begitu saja mengapa sih?"
"Habis, bagaimana engkau nanti kalau hendak minum?"
"Bagaimana? Ya biasa saja, dari guci."
"Kalau begitu, kauminumlah dulu!"
Kian Bu mengembalikan guci arak, merasa sungkan kalau harus mendahului. Untuk minum dari guci, berarti bahwa mulut guci akan beradu dengan mulutnya.
"Hi-hik, engkau seperti anak kecil saja."
Mauw Siauw Mo-li diam-diam merasa girang sekali dan makin tergila-gila kepada pemuda remaja yang tampan dan sopan ini. Dia membuka tutup guci, mencucup mulut guci mereguk sedikit arak, kemudian menyerahkan guci itu kepada Kian Bu.
"Nah, giliranmu minum!"
Karena memang roti itu sebagian berhenti di kerongkongannya, Kian Bu menerima guci arak dan mereguk araknya, langsung dari mulut guci masuk ke mulutnya. Setelah dia menurunkan guci itu, Mauw Siauw Mo-li mengambil dari tangannya dan tanpa ragu-ragu wanita itu minum lagi. Kian Bu melihat betapa sepasang bibir yang berkulit tipis itu mengulum mulut guci dan betapa leher yang panjang itu bergerak-gerak ketika arak memasukinya.
Cepat Kian Bu menunduk karena penglihatan itu terlalu mendebarkan jantungnya, entah mengapa dia sendiri pun tidak mengerti. Baru saja mereka selesai makan roti dan minum arak, dan Kian Bu duduk membelakangi api untuk mengeringkan pakaiannya di punggung, tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan dia bersikap waspada sungguhpun masih kelihatan tenang saja. Dia tahu bahwa ada gerakan beberapa orang mendekat tempat itu dari arah daratan yang penuh pohon-pohon. Mula-mula dengan penuh harapan, timbul dugaannya bahwa itu adalah Siang In dan teman-teman lain, akan tetapi dia tahu bahwa harapannya itu sia-sia karena kalau Siang In, tentu sudah berseru memanggilnya, pula kalau mereka itu teman-teman, tentu tidak berindap-indap seperti kelakuan orang-orang yang mempunyai niat buruk.
"Ssssttt, kau mendekatlah ke sini. Ada orang-orang datang...."
Mauw Siauw Mo-li berbisik dan tahulah Kian Bu bahwa wanita ini juga memiliki pendengaran yang amat tajam. Dan wanita ini kelihatan tenang saja, bahkan kini menambah kayu kering pada api unggun sehingga keadaan di situ menjadi cukup terang.
"Kau mendekatlah agar aku dapat melindungimu, Kian Bu. Mereka itu tentu orang-orang yang berniat buruk...."
Kian Bu menurut dan dia mendekati wanita itu. Mereka masih duduk di dekat api unggun ketika orang-orang itu telah datang mengurung dan dari sudut matanya Kian Bu melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pembantu Tambolon bersama sepuluh orang anak buah mereka. Dia bersikap waspada karena maklum bahwa dua orang pembantu raja liar itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga. Munculnya dua orang pengejar ini mendatangkan dua macam perasaan di hati Kian Bu. Dengan masih berkeliarannya mereka itu di sini, berarti bahwa mereka belum dapat menawan kembali Siang In dan yang lain-lain, akan tetapi juga menimbulkan keraguan apakah mereka semua yang menjadi pelarian itu dapat menyelamatkan diri dari sungai yang mengganas.
Yang datang itu memang benar adalah sisa anak buah Tambolon yang berhasil menyelamatkan diri dari amukan badai di Sungai Yi-tung, dipimpin oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Mereka tidak berhasil menemukan para pelarian itu dan melihat api unggun dari jauh, mereka lalu berindap-indap datang ke tempat itu. Marah hati mereka ketika mengenal Kian Bu sebagai seorang diantara para pelarian itu, dan dua orang pembantu Tambolon ini mengenal pula Mauw Siauw Mo-li, karena ketika Siluman Kucing ini dahulu bersama Hek-tiauw Lo-mo memimpin pasukan pemberontak menumpas pasukan Tambolon di Koan-bun, mereka berdua langsung berhadapan dengan wanita ini dan suhengnya yang lihai.
"Hemm, kiranya engkau pula yang berada di sini, Siauw Mo-li!"
Liauw Kui berkata marah sambil melintangkan batang pikulannya di depan dada.
"Sudah berkali-kali engkau sengaja merintangi jalan kami. Sesudah penyerbuan di Koan-bun, engkau melarikan pengantin raja kami, kemudian sekarang engkau di sini bersama seorang buruan kami. Berikan dia kepada kami."
Sepasang Pedang Iblis Eps 26 Sepasang Pedang Iblis Eps 6 Sepasang Pedang Iblis Eps 5