Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 13


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



"Hayo katakan, di mana adanya dua orang tawanan yang kalian bawa dari Gunung Cemara!"

   Kian Lee membentak sambil menyentuh ubun-ubun kepala orang itu dan dengan tangan kiri membebaskan totokan pada lehernya sehingga dia dapat mengeluarkan suara lagi.

   "Ta.... tawanan.... yang mana....?"

   Hoa-gu-ji bertanya, jantungnya berdebar tegang karena jari-jari tangan yang menyentuh ubun-ubunnya itu benar-benar merupakan "todongan maut"

   Baginya, maka dia tidak berani main-main.

   "Seorang gadis dan seorang laki-laki tua yang kalian bawa dari tempat tahanan Hek-eng-pang. Cepat jawab!"

   "Ahhh.... mereka itu?"

   Setelah jelas bahwa orang ini mengetahui tentang dua orang temannya, Kian Lee lalu membebaskan totokan pada tubuh Hoa-gu-ji dan sambil mencengkeram leher bajunya, dia menghardik,

   "Hayo antarkan kami ke sana!"

   Hoa-gu-ji mengangguk-angguk. Dia maklum bahwa dia tidak berdaya karena selain pemuda ini luar biasa lihainya, juga teman-temannya sedang sibuk menyelamatkan diri dari serangan air yang membanjiri lembah. Akan tetapi, Kian Lee menjadi repot juga karena air sudah mulai naik sampai ke paha.

   "Kita membuat rakit dulu!"

   Kata Liang Wi Nikouw dan nenek ini lalu mengumpulkan kayu dan bambu yang banyak hanyut di situ, bekas orang-orang tadi membuat rakit. Dengan cekatan mereka dibantu oleh Hoa-gu-ji membuat rakit, lalu cepat mereka menuju ke kelompok bangunan yang sudah digenangi air setinggi perut. Akhirnya tibalah mereka di sebelah kamar tahanan dan dengan hati lega Kian Lee melihat Cui Lan dan Hok-taijin berpegang kepada ruji-ruji besi tempat tahanan itu dengan muka pucat dan ketakutan karena air sudah terus naik!

   "Kongcu.... syukur engkau datang....!"

   Cui Lan terisak penuh kegembiraan melihat munculnya pemuda itu. Untung lampu di atas tempat tahanan masih belum padam sehingga keadaan di situ cukup terang. Kian Lee cepat menotok lumpuh Hoa-gu-ji dan membawanya loncat naik ke atas wuwungan rumah dan melemparkan tubuh itu di atas wuwungan karena dia yakin bahwa air tidak mungkin sampai naik ke wuwungan. Kemudian bersama Liang Wi Nikouw dia membongkar pintu tahanan dan menolong gadis dan pembesar itu naik rakit dan mereka lalu mendayung rakit itu keluar dari situ. Di luar, air sudah naik sampai ke dada orang. Bangunan-bangunan kecil roboh terlanda air, akan tetapi bangunan besar di mana tadi Kian Lee melemparkan Hoa-gu-ji ke atas wuwungan cukup kokoh dan tentu akan dapat bertahan.

   "Ahhhhh.... Taihiap.... sungguh kami sudah hampir putus asa...."

   Hok-taijin, berkata.

   "Untung aku bersama dengan Cui Lan, anakku yang gagah perkasa ini.... dialah yang selalu membesarkan hatiku.... kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi gila...."

   Kian Lee memandang kepada Cui Lan dengan sinar mata kagum dan gadis itu menunduk dengan air mata berlinang.

   "Cui Lan, ini adalah Liang Wi Nikouw yang diutus oleh Siluman Kecil untuk menyelidiki keadaanmu dan menolongmu,"

   Kata Kian Lee sambil memandang gadis itu. Seketika wajah yang menunduk itu bergerak, diangkat dan biarpun air matanya masih berlinang, namun bibirnya tersenyum dan wajahnya berseri.

   "Aihhh...? Suthai yang baik, benarkah itu?"

   Nikouw itu mengangguk dan terse-nyum.

   "Di mana dia? Bagaimana dengan dia? Baik-baik sajakah dia?"

   Tanyanya seperti air hujan. Nikouw itu mengangguk-angguk lagi.

   "Dia mengkhawatirkan keadaanmu, Nona, maka mengutus pinni menyelidiki. Kiranya engkau benar-benar terancam bahaya, untung ada pemuda perkasa ini yang menolong."

   Karena mereka masih berada dalam bahaya, maka Cui Lan tidak berani banyak bertanya lagi.

   Juga dia merasa malu untuk banyak bertanya tentang pendekar luar biasa itu, maka dia kini hanya menunduk sedangkan Kian Lee yang dibantu oleh nikouw yang biarpun sudah tua namun masih kuat itu untuk mendayung rakitnya menuju ke sungai di mana juga terdapat kesibukan dari mereka yang menyelamatkan dirinya. Sementara itu, jauh di atas tebing nampak tiga orang berdiri menonton semua keributan di lembah. Tentu saja tidak kelihatan jelas benar karena hanya dibantu dengan sinar bulan, akan tetap melihat lampu-lampu bergerak ke sana sini dengan kacau dan teriakan-teriakan orang di bawah terdengar sampai di atas, tiga orang itu cukup puas dan menonton sambil tersenyum. Mereka itu bukan lain adalah Hek-eng-pangcu Yang-liu Nio-nio, Ang Tek Hoat, dan Mauw Siauw Moli. Bagaimana mereka bisa berada di sana?

   Mari kita ikuti perjalanan Tek Hoat yang kita tahu melakukan usaha menculik Syanti Dewi dari puncak Naga Api, tempat tinggal Hwa-i-kongcu itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah Ang Tek Hoat berhasil membantu Yang-liu Nio-nio ketua Hekeng-pang merobohkan Kian Lee, pemuda itu lalu dibantu oleh Yang-liu Nio-nio dan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke puncak Naga Api menculik Syanti Dewi yang menjadi tawanan di sana dan hendak dipaksa menikah dengan Hwai-kongcu Tang Hun, murid dari Durganini yang kaya raya dan lihai itu. Dan biarpun Hek-eng-pang mengorbankan beberapa orang anggautanya, akhirnya mereka berhasil melarikan Syanti Dewi yang oleh Yang-niu Nio-nio di-lemparkan kepada muridnya,

   Liong-li dan kemudian dibawa keluar di mana telah menanti Tek Hoat bersama beberapa orang anak buah Hek-eng-pang yang siap dengan beberapa ekor kuda yang baik. Tentu saja Tek Hoat girang sekali melihat bahwa kekasihnya telah berhasil diselamatkan. Akan tetapi dia teringat akan perlakuan Raja Bhutan ayah puteri itu terhadap dirinya dan penghinaan lima tahun yang lalu itu masih membuat hatinya terasa panas, apalagi kalau dia teringat betapa sengsaranya hatinya selama ini yang terkenang dengan penuh kerinduan kepada wanita yang dicintanya itu. Maka, setelah kini dengan susah payah dia dapat bertemu kembali dengan $yanti Dewi, dia tidak mau lekas-lekas mamperkenalkan diri lebih dulu. Karena cuaca masih gelap sekali, mudah baginya untuk tidak memperkenalkan diri dan tidak membuka suara.

   Dia hanya menerima puteri yang tertotok itu dari tangan Liong-li, kemudian dengan mendudukkan wanita yang dicintainya itu di atas punggung kuda, dia melompat di belakang Syanti Dewi dan membalapkan kuda secepatnya, diikuti oleh Yang-liu Nio-nio, Liong-li dan lain anak buah Hek-engpang, menuju kembali ke Gunung Cemara. Untuk membi-ngungkan para pengejarnya, mereka berpencar menjadi tiga rombongan dan Tek Hoat masih tetap bersama Yang-liu Nio-nio dan Liong-li, sedangkan rombongan lain bertugas untuk menghilangkan jejak ketua dan rombongannya ini. Tentu saja Hwa-i-kongcu Tang Hun dibantu oleh tiga orang sakti Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To terus melakukan pengejaran, akan tetapi mereka ini dibikin bingung dan akhirnya juga berpencar menjadi dua rombongan yang membelok ke kanan kiri,

   Tidak tahu bahwa puteri itu dilarikan terus ke depan oleh Tek Hoat dan rombongannya. Hal ini adalah karena jejak kaki kuda mereka telah dihapus oleh anak buah Hek-eng-pang yang cerdik itu. Hanya ada satu orang yang tidak mudah diakali oleh anak buah Hek-eng-pang. Orang ini adalah Siang In! Ketika terjadi keributan di tempat pesta, Siang In yang meninggalkan rombongan penari itu cepat-cepat mencari-cari dan ketika jelas bahwa Syanti Dewi diculik orang, dia pun cepat melakukan pengejaran. Dia amat cerdik, sudah menduga bahwa tentu rombongan penculik itu membawa keluar Syanti Dewi, maka dia telah mendahului pergi ke kandang kuda, mencuri seekor kuda dan menggunakan kesempatan selagi ribut-ribut itu menjalankan kudanya keluar dari benteng yang terjaga.

   "Aku sri panggung rombongan penari, hendak membantu mencari pengantin puteri yang terculik!"

   Katanya dan karena penjaga tadi melihat betapa dara cantik jelita ini pandai main sulap, mereka membiarkan Siang In keluar.

   Dara ini mengintai dan melihat ada rombongan orang membawa kuda menanti di luar tembok, maka dia pun bersembunyi. Ketika para penculik wanita rombongan orang-orang Hek-eng-pang itu keluar dan membawa lari Syanti Dewi, dia pun membalapkan kudanya membayangi dari jauh. Dia cukup hati-hati dan dapat menduga bahwa orang-orang itu tentu memiliki kepandaian, maka dia tidak berani sembrono turun tangan di situ, apalagi dia tahu bahwa tentu fihak Hwa-i-kongcu tidak akan tinggal diam dan melakukan pengejaran, sehingga andaikata dia berhasil merampas Syanti Dewi dari tangan para penculik, dia pun tidak akan terlepas dari tangan Hwa-i-kongcu dan para pembantunya yang lihai itu. Untuk menggunakan sihirnya, dia teringat akan orang Nepal yang lihai tadi, maka sekali ini dia harus bersikap hati-hati sekali.

   Sementara itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Ang Tek Hoat memeluk pinggang Syanti Dewi yang duduk di depannya. Pelukan yang penuh kemesraan dan seluruh kerinduan hatinya dicurahkan pada sentuhan mesra itu. Namun dia tetap membisu dan hanya membalapkan kudanya bersama Yang-liu Nio-nio, dan Liong-li. Hatinya lega karena tidak terdengar derap kaki banyak kuda mengejarnya. Hanya kadang-kadang terdengar derap kaki seekor kuda di belakang, akan tetapi tentu saja hal ini dianggap ringan. Andaikata benar ada satu orang yang mengejar, tentu saja bukan merupakan halangan. Dia sendiri masih belum berani menggunakan terlalu banyak tenaga sebagai akibat luka dalam ketika bertanding melawan Kian Lee,

   Akan tetapi Liong-li dan terutama Yang-liu Nio-nio yang menunggang kuda di dekatnya bukanlah orang-orang yang lemah. Karena tidak ada pengejar, hati mereka tenang dan mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua yang berada di tepi jalan untuk membiarkan kuda mereka mengaso. Tanpa banyak cakap Tek Hoat memondong tubuh Syanti Dewi dan merebahkan dara itu di atas lantai dalam kuil, kemudian dia membebaskan totokannya dan meninggalkannya pergi. Syanti Dewi mengeluh dan kemudian menangis terisak-isak. Malam hampir lewat dan waktu itu sudah menjelang subuh. Sudah terdengar kokok ayam jantan di kejauhan. Udara dingin sekali. Syanti Dewi menggigil, akan tetapi Tek Hoat hanya berdiri di luar, bermacam perasaan teraduk di hatinya.

   Dia merasa rindu, merasa girang, merasa kasihan, akan tetapi juga mendongkol dan marah. Ingin dia memeluk, membisikkan kata-kata cinta, menciumi wanita yang selama ini amat dirindukannya itu. Ingin dia menghiburnya, membuatnya gembira dan tertawa, karena dia yakin bahwa tentu Syanti Dewi akan merasa girang sekali bertemu dengan dia. Dia tahu bahwa puteri itu belum dapat menduga siapa adanya orang yang menolongnya bebas dari tangan Hwa-i-kongcu! Akan tetapi karena rasa sakit di hatinya oleh ayah gadis itu, dia masih "menjual mahal"

   Dan mengambil keputusan untuk menjumpai Syanti Dewi pagi nanti kalau cuaca sudah terang. Dia akan muncul begitu saja mengagetkan hati puteri itu. Tersenyum dia membayangkan betapa Syanti Dewi tentu akan menjerit, dan lari memeluknya kalau puteri itu tiba-tiba melihat dia muncul di dalam kamar kuil rusak itu!

   Adapun Yang-liu Nio-nio dan Liong-li membuat api unggun di dalam kuil, tidak mau mencampuri urusan Tek Hoat bersama Syanti Dewi. Dan mereka membicarakan tentang beberapa orang anggauta mereka yang diduga tewas dalam penyerbuan itu, juga membicarakan tentang orang-orang pandai yang muncul di dalam pesta Hwa-i-kongcu. Tak lama kemudian, sinar matahari pagi mulai mengusir kabut dan hawa dingin dan tiba-tiba Hek-eng-pang bersama muridnya itu mendengar suara teriakan Tek Hoat dari sebelah dalam kuil. Mereka terkejut dan cepat melompat ke dalam dan mereka melihat Tek Hoat dengan muka pucat berdiri di ambang pintu, memandang ke arah puteri yang mereka culik semalam. Puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai sambil menangis dan Si Jari Maut yaneg biasanya tenang dan gagah perkasa itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang puteri itu, mukanya pucat sekali.

   "Celaka....!"

   Tek Hoat berseru marah

   "Kenapa? Apa yang terjadi....?"

   Yang liu Nio-nio bertanya.

   "Bodoh! Tolol semua! Dia bukan...."

   "Bukan apa?"

   "Dia bukan puteri itu!"

   Tek Hoat mengepal tinju dan memandang kepada ketua Hek-eng-pang dengan mata melotot.

   "Kalian telah tertipu! Ini bukan Puteri Syanti Dewi!"

   "Tapi....!"

   Yang-liu Nio-nio membantah, terheran-heran. Dia sendiri yang menculik wanita ini dari dalam kamar pengantin wanita. Tidak bisa salah lagi. Liong-li cepat meloncat dan menarik pundak wanita yang mengempis itu.

   "Diam kau! Hayo ceritakan siapa kau dan di mana adanya pengantin puteri!"

   Hardiknya sambil mengguncang-guncang pundak wanita muda yang cantik itu.

   "Ampunkan saya...."

   Wanita itu me-ratap.

   "Saya adalah seorang pelayan dari Kongcu dan malam tadi.... ada seorang kakek muncul dan menyeret saya, mengancam akan membunuh kalau saya berteriak, lalu saya menjadi lumpuh, bah-kan untuk mengeluarkan suara pun tidak mampu.... dan kakek itu melucuti pakaian saya dan memaksa saya memakai pakaian ini.... saya tidak tahu apa-apa.... dan tiba-tiba saja saya dilarikan sampai di sini...."

   "Di mana pengantin puteri?"

   Tek Hoat membentak, tidak sabar.

   "Saya tidak tahu.... harap ampunkan saya.... saya tidak tahu apa-apa...."

   "Hemmm, siapa kakek itu? Bagaimana macamnya?"

   "Saya hanya tahu dia kakek tua, entah siapa...."

   "Sialan!"

   Yang-liu Nio-nio meludahi muka wanita itu, tangannya bergerak dan wanita itu roboh tak berkutik lagi karena kepalanya telah pecah oleh ketukan jari tangan ketua Hek-eng-pang yang merasa dipermainkan dan menjadi marah sekali. Dia telah bersusah payah, telah kehilangan beberapa orang anggauta perkumpulannya, dan hasilnya adalah puteri palsu! Pada saat itu terdengar suara dari luar,

   "Heiii, Ang Tek Hoat! Biarkan aku bertemu dan bicara dengan Enci Syanti Dewi!l Aku belum puas kalau belum mendengar darl mulutnya sendiri bahwa dia suka ikut dengan orang seperti engkau! Enci Syanti, ini aku, Siang In. Keluarlah dulu dan kita bicara sebentar!"

   "Huh!"

   Tek Hoat mendengus marah dan dia menyambar punggung baju mayat pelayan yang telah dibunuh oleh Yang-liu Nio-nio dan Liong-li yang terkekeh mengejek ke arah Siang In. Siang In terkejut bukan main melihat tubuh wanita yang disangkanya Syanti Dewi terlempar ke arahnya. Dia mengelak dan tubuh itu terbanting ke atas tanah. Cepat dia memeriksa dan menahan napas lega. Kiranya bukan Syanti Dewi yang dibawa kabur oleh Tek Hoat!

   "Hemmm.... kalau begitu, siapa yang menculik Syanti Dewi! Ke mana perginya? Orang lihai macam Tek Hoat dan nenek cantik itu masih dapat ditipu orang. Dan melihat Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya melakukan pengejaran dan pencarian ke mana-mana, jelas bahwa Enci Syanti Dewi benar-benar telah lenyap. Akan tetapi siapa yang membawanya dan kemana?"

   Dengan hati penasaran Siang In lalu melompat ke atas kudanya dan kembali ke daerah puncak Naga Api untuk menyelidiki hilangnya Syanti Dewi yang penuh rahasia itu. Demikianlah, dengan marah dan kecewa Ang Tek Hoat kembali ke Gunung Cemara bersama Yang-liu Nio-nio dan Liong-li. Dan ketika mereka tiba di sana, mereka melihat bahwa Gunung Cemara telah dibasmi dan dibakar oleh musuh, yaitu orang-orang dari lembah perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang! Tentu saja Yang-liu Nio-nio menjadi marah dan berduka sekali ketika para anggauta Hek-eng-pang yang tadinya melarikan diri itu berdatangan sambil menangis.

   "Orang muda! Kau lihat apa yang terjadi dengan kami karena kami pergi membantumu. Tempat kami dibasmi musuh. Kalau kau tidak membantu kami melakukan pembalasan, sungguh-sungguh aku harus menyebutmu seorang yang tidak mengenal budi!"

   Ketua yang sedang marah dan sakit hati itu berkata kepada Tek Hoat. Ang Tek Hoat juga merasa tidak senang dengan peristiwa ltu.

   "Jangan khawatir, Pangcu. Aku tentu akan membantumu."

   "Bagus! Kalau begitu, kelak kami pun akan melakukan penyelidikan, siapa yang telah menculik pengantin puteri dari puncak Naga Api itu,"

   Yang-liu Nio-nio berkata.

   "Akan tetapi, karena anak buahku banyak yang tewas, aku harus minta bantuan dari Subo."

   Dia lalu menulis sepucuk surat dan menyuruh Liong-li naik kuda yang kuat untuk cepat minta bantuan gurunya yang dia tahu berada di istana gubernuran di Propinsi Ho-nan. Sepekan kemudian, munculiah Mauw Siauw Mo-li di tempat itu. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi terkejut melihat wanita cantik yang genit ini, karena dia sudah mengenalnya dahulu ketika dia membantu pemberontakan Pangeran Liong Khi Ong (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Juga Mauw Siauw Mo-li terkejut dan girang bertemu dengan pemuda tampan gagah ini.

   "Heh-heh-heh, bukankah engkau Tek Hoat Si Jari Maut? Aku mendengar bahwa engkau telah menjadi seorang panglima dan mantu raja di Bhutan! Bagaimana sekarang berkeliaran di sini?"

   Tek Hoat cemberut dan tidak menjawab pertanyaan itu, hanya berkata,

   "Hemmm, kiranya engkau guru dari Yang-liu Nio-nio? Sungguh tak kusangka!"

   "Pangcu, bagaimana engkau dapat bergaul dengan pemuda ini? Ketahuilah, dia pernah menjadi musuhku beberapa tahun yang lalu, hik-hik!"

   Katanya kepada muridnya yang lebih tua daripada dia itu, maka dia menyebutnya pangcu! Yang-liu Nio-nio terkejut bukan main.

   "Ahhh.... teecu tidak tahu.... dia.... dia telah membantu teecu dan sekarang pun hendak membantu teecu menghadapi orang-orang Kui-liong-pang."

   Mauw Siauw Mo-li tertawa dan memandang wajah Tek Hoat yang tampan dan muram itu sambil berkata,
(Lanjut ke Jilid 13)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
"Tidak mengapa. Ada waktunnya menjadi musuh, ada waktunya menjadi sahabat, bukan? Nah, ceritakan apa yang telah dilakukan orang-orang Kui-liong-pang yang bosan hidup itu."

   Yang-liu Nio-nio lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa perkumpulannya bermusuhan dengan Kui-liong-pang dan akhir-akhir ini berebutan pusaka keluarga Jenderal Kao dan betapa ketika dia pergi membantu Tek Hoat untuk menculik pengantin dari Hwa-i-kongcu, orang-orang Kui-liong-pang datang membasmi dan membakar tempat itu.

   "Hemmm, sungguh mereka itu harus mampus. Jangan khawatir, aku akan membantumu membasmi mereka. Akan tetapi, sungguh mati aku merasa heran sekali mengapa engkau pergi menculik pengantin puteri, Ang-sicu?"

   Tanyanya kepada Tek Hoat, memanandang heran. Tek Hoat sebenarnya tidak suka kepada wanita yang cabul dan genit ini, dan pandang mata wanita itu kepadanya pun sudah membuat dia merasa muak. Akan tetapi dia tahu pula bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali dan selama Syanti Dewi masih belum dapat olehnya dan terancam keselamatannya di tangan orang-orang sesat, dia perlu bantu-an orang-orang seperti wanita ini. Maka dengan terus terang dia menjawab,

   "Pengantin puteri itu adalah Puteri Syanti Dewi."

   "Ehhh....?"

   Mauw Siauw Mo-li membelalakkan matanya dan wanita yang usianya sudah empat puluh tahun ini masih belum kehilangan daya tariknya.

   "Bagaimana ini? Bukankah dia sudah kembali ke istana Bhutan?"

   Tek Hoat menggelengkan kepalanya. Dia tidak suka menceritakan riwayatnya yang menyedihkan dan memalukan itu kepada orang lain, apalagi kepada seorang wanita seperti Mauw Siauw Mo-li ini. Maka dia menjawab singkat,

   "Aku pergi dari Bhutan, dia menyusul dan tertawan oleh Hwa-i-kongcu, akan dipaksa menjadi isterinya."

   Mauw Siauw Mo-li mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran sekali. Dia mendengar bahwa pe-muda ini telah menjadi mantu raja, berarti sudah memperoleh kedudukan yang mulia, akan tetapi mengapa sekarang berkeliaran lagi ke sini dan wajahnya begitu murung?

   Sungguh dia tidak mengerti sama sekali, akan tetapi dia pun tidak berani mendesak karena tahu bahwa pemuda yang tampan dan lihai ini mempunyai watak yang amat aneh. Demikianlah, Tek Hoat dan Mauw Siauw Mo-li lalu bersama Yang-liu Nio-nio dan semua sisa anak buah Hek-eng-pang pergi ke lembah yang menjadi sarang Kui-liong-pang dan atas usul Tek Hoat yang melihat keadaan di situ, Mauw Siauw Mo-li lalu mempergunakan senjata peledaknya untuk membobolkan tempat itu sehingga air sungai menyerbu lembah melalui terowongan yang juga telah diledakkan. Kini mereka bertiga memandang dengan hati puas ke bawah, ke arah lembah yang kebanjiran itu sehingga seluruh penghuni dan para tamunya harus bergegas menyelamatkan diri dengan perahu-perahu dan rakit-rakit darurat. Setelah itu, tanpa berkata apa-apa lagi Tek Hoat lalu membalikkan tubuh sambli berkata,

   "Aku pergi!"

   "Terima kasih, dan kami akan menyebar anak buah kami untuk menyelidiki di mana adanya pengantin puteri itu!"

   Kata Yang-liu Nio-nio. Tek Hoat tidak menjawab dan terus berkelebat pergi.

   "Nanti dulu, Ang-sicu!"

   Bayangan lain juga berkelebat pergi dan ternyata Mauw Siauw Mo-li mengejarnya. Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia membalik dan memandang tokoh sesat itu sambil bertanya,

   "Engkau mau apa?"

   "Ang-sicu, tiga hari yang lalu ketika aku meninggalkan Lok-yang menerima undangan muridku, ketika aku tiba di dusun Khun-kwa aku berpapasan dengan seorang gadis yang bertanya-tanya kepada orang-orang di jalan tentang seorang kakek yang membawa seorang gadis dengan paksa. Aku merasa curiga kepada gadis itu karena aku merasa seperti pernah melihatnya, maka aku bersembunyi dan mengintai. Ketika aku mendengar gadis itu menceritakan ciri-ciri gadis yang dibawa dengan paksa oleh kakek itu, aku teringat bahwa gadis yang diculik itu tentulah gadismu yang dahulu kau pertahankan mati-matian, yaitu Syanti Dewi."

   Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali dan wajahnya memancarkan harapan baru. Dia melangkah dekat dan bertanya,

   "Mo-li, siapa yarg menculik dia?"

   Wanita itu tersenyum lebar dan memang dia masih manis sekali.

   "Mana aku tahu? Akan tetapi, kalau kau mau pergi bersama aku mencarinya, mungkin saja kita dapat menemukan gadis itu dan dari dia kita tentu akan dapat tahu siapa yang menculik puterimu itu. Dengan kerja sama antara kita, apa pun akan dapat kita lakukan dengan berhasil, bukan?"

   Tek Hoat yang amat mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya, tidak dapat menolak dan berkata singkat,

   "Baiklah, mari kita pergi!"

   Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan berjalan pergi di samping pemuda tampan itu, menoleh dan berkata kepada muridnya,

   "Engkau bawa anak buahmu menyingkir dan bersembunyi dulu sebelum mendapatkan tempat baru yang baik. Aku pergi dulu!"

   Maka berangkatlah wanita cantik yang hatinya sejak dahulu memang sudah tergerak oleh ketampanan dan kegagahan Tek Hoat ini bersama Tek Hoat yang terpaksa menerimanya sebagai teman seperjalanan dalam usahanya mencari kembali Syanti Dewi yang lenyap.

   Biarpun yang mereka tumpangi hanya sebuah rakit yang terbuat dari kayu dan bambu yang diikat secara kasar dan tergesa-gesa, namun karena yang memegang dayung adalah Kian Lee dan Liang Wi Nikouw, maka rakit itu dapat meluncur cepat, memasuki sungai bersama dengan orang-orang lain yang berserabutan meloloskan diri dari ancaman air yang membanjiri lembah.

   Banyak perahu dan rakit yang bermacam-macam terapung di situ. Di depan rakit mereka meluncur perahu besar yang ditumpangi oleh rombongan Boan-wangwe yang memang menggunakan perahu besar yang oleh anak buahnya sudah dipersiapkan itu. Tentu saja dengan cara "membeli"

   Dari anak buah Kui-liong-pang. Dalam keadaan ribut-ribut itu pun pengaruh dan kekuasaan uang masih nampak sehingga rombongan yang kaya raya ini masih mampu memperoleh perahu yang terbesar dan terbaik dengan cara menyogok bagian pengurus perahu-perahu dari Kui-liong-pang. Tentu saja para tamu yang tidak pernah melihat dan mengenal Cui Lan dan Hok-taijin, tidak memperhatikan empat orang di atas rakit itu, yang mereka anggap juga tamu-tamu yang sama-sama melarikan diri.

   "Minggir....!"

   Seruan yang keras sekali ini terdengar dari belakang rakit! Suma Kian Lee, Liang Wi Nikouw, Cui Lan dan Hok-taijin terkejut dan memandang sebatang balok besar yang meluncur dengan cepatnya ke arah mereka dari belakang. Di atas balok besar ini duduk Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang menyeramkan karena golok ini di dekat punggungnya mempunyai sembilan buah lubang dan di gagang golok dipasangi tali panjang yang melibat-libat lengan kakek itu.

   Melihat betapa balok yang ditumpanginya itu hampir menabrak rakit di depannya, si Golok Sakti ini cepat menggunakan kakinya mendorong rakit Kian Lee sehingga rakit itu menjadi miring hampir terbalik! Cui Lan menjerit dan Hok-tai jin cepat memeluk gadis itu dan karena ini maka keduanya terguling-guling di atas permukaan rakit! Mereka tentu terlempar ke air kalau saja Kian Lee tidak cepat-cepat menggunakan tangan kanannya menepuk air sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang amat hebat. Air muncrat tinggi dan rakit itu seperti terdorong oleh tenaga raksasa, menjadi tegak kembali sehingga Hok-taijin dan Cui Lan tidak jadi terlempar ke air karena mereka sudah berhasil berpegang pada bambu rakit. Akan tetapi, air yang muncrat tadi mengenai beberapa orang anak buah Boan-wangwe yang mendayung perahu besar di depan.

   Mereka berteriak-teriak kaget dan kesakitan ketika air yang muncrat itu mengenai muka mereka karena terasa seperti jarum-jarum menusuk dan panas sekali! Marahlah beberapa orang itu dan seorang di antara mereka yang merupakan tukang pukul dari Boan-Wangwe dan tentu saja memiliki kepandaian yang lumayan, memaki dan meloncat ke arah rakit di sebelah. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar hitam meluncur dan sinar seperti tali panjang itu mengenai kaki orang yang meloncat, terus membelit kaki itu dan ketika benda panjang hitam itu bergerak, tubuh orang itu terlempar kembali ke atas papan perahu besar di mana dia bengong terlongong memandang gadis berpakaian hitam yang berada di atas sebuah perahu kecil dan gadis itu menyimpan kembali ular panjang yang melingkar di lengannya.

   Orang tadi terlalu kaget, terlalu ngeri karena tahu bahwa dia tadi dilemparkan kembali oleh gadis itu dengan menggunakan ular panjang yang mengerikan itu! Sebelum orang-orangnya Boan-wangwe dapat melampiaskan kemarahan mereka, rakit Kian Lee sudah meluncur melewati perahu besar itu, dan ketika Kian Lee memandang, dia melihat gadis berpakaian hitam yang dia ingat bukan lain adalah Hwee Li, tersenyum kepadanya. Dia mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya dan mempercepat dayungnya sehingga rakit itu meluncur cepat meninggal perahu besar di mana orang-orangnya Boan-Wangwe masih memandang marah. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menyamai kecepatan perahu Hwee Li yang meluncur seperti terbang di permukaan air sungai dan sebentar saja sudah lenyap jauh di depan.

   Ketika Kian Lee melihat bahwa perahu besar milik Boan-wangwe itu kini juga melaju pesat dengan menambah barisan pendayung, dia cepat-cepat minggirkan rakitnya sampai jauh agar perahu besar itu lewat lebih dulu karena dia tidak ingin ribut-ribut di situ, apalagi tanpa sebab-sebab yang patut diributkan. Yang penting baginya adalah menyelamatkan Cui Lan dan Hok-taijin dan sekarang mereka telah berhasil diselamatkan, maka dia tidak boleh mencari perkara lagi sebelum kedua orang ini dapat dia antarkan sampai ke daerah Ho-pei. Mereka menumpang di atas rakit sejak semalam sampai pada keesokan harinya dan baru setelah menjelang sore, Kian Lee menghentikan rakitnya di sebuah dusun nelayan di tepi sungai.

   Mereka lalu mendarat dan mencari sebuah warung nasi untuk mengisi perut karena mereka berempat sudah merasa lapar sekali. Mereka memasuki sebuah warung yang cukup besar, akan tetapi keadaan di warung itu sunyi sekali, padahal dusun itu cukup ramai karena merupakan pasar ikan. Setelah mengambil tempat duduk dan memesan makanan, tentu saja masakan sayur tanpa daging untuk Liang Wi Nikouw, Kian Lee melepaskan pandang matanya ke sekelilingnya dan baru dia melihat bahwa tempat itu baru saja mengalami keributan. Masih banyak meja kursi yang patah-patah ditumpuk di pinggir, juga mangkok piring yang pecah. Teman-temannya juga melihat ini dan mereka menduga-duga apa yang telah terjadi di warung ini. Ketika pelayan datang mengantar makanan yang mereka pesan, Kian Lee bertanya,

   "Eh, Lopek, apakah yang telah terjadi maka banyak meja kursi hancur dan mangkok piring pecah-pecah?"

   Dia menuding ke arah tumpukan barang-barang rusak itu.

   "Aihhh, kami mengalami hari sial kemarin, Kongcu,"

   Kata pelayan itu.

   "Tidak saja barang-barang rusak, akan tetapi sejak peristiwa yang terjadi kemarin, warung kami menjadi sepi karena tidak ada orang berani makan di sini. Baru Kongcu berempat saja yang berani makan di sini dan itulah rejeki kami."

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Eh, apakah yang terjadi?"

   Kian Lee makin tertarik.

   "Kemarin seperti biasa, orang-orang dari Boan-Wangwe yang biasa mengumpulkan hasil ikan di dusun ini, sebanyak sepuluh orang, makan di sini. Mereka itu memang orang-orang kasar, akan tetapi Boan-Wangwe selalu membayar apa yang mereka makan maka kami pun melayani dengan senang hati. Tiba-tiba masuk pula serombongan tentara yang jumlahnya belasan orang. Tentu saja kami makin sibuk dan kekurangan tenaga untuk melayani terlalu lama, kedua rombongan itu berebut minta didahulukan dan terjadilah pertempuran di sini antara mereka. Wah, bukan main ramainya sampai meja kursi hancur dan mangkok piring beterbangan dan pecah-pecah. Akhirnya fihak tentara itu mengundurkan diri dan pergi. Kami tentu akan mohon kebijaksanaan Boan-Wangwe untuk mengganti kerugian kami, akan tetapi ternyata Boan-Wangwe sedang pergi entah ke mana."

   Hok-taijin tentu saja tertarik sekali mendengar adanya sepasukan tentara. Tentara siapakah itu? Kalau tentara dari Gubernur Ho-nan, berarti dia masih dikejar-kejar dan dicari-cari sampai di sini.

   "Tahukah engkau tentara dari propinsi mana mereka itu?"

   Tanyanya kepada si pelayan.

   "Mana saya tahu? Tentu saja tentara pemerintah, entah dari propinsi mana."

   "Apakah fihak tentara itu kalah?"

   Kian Lee bertanya lagi karena dia tahu bahwa orang-orang dari Boan-wangwe seperti mereka yang berada di atas perahu besar semalam, adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.

   "Sebetulnya sih masih ramai, entah fihak mana yang menang atau kalah karena kami hanya berani menonton sambil bersembunyi. Tentu akan terjadi hal-hal mengerikan dan tentu akan banyak yang mati karena mereka mulai mengeluarkan senjata tajam masing-masing. Baiknya ketika mereka sudah mulai menggerakkan senjata, muncul seorang pendekar yang melerai. Bukan main pendekar ini, tubuhnya terbang seperti burung dan semua senjata itu dirampasnya! Sambil bergerak merampas senjata dia berseru agar mereka menghentikan pertempuran. Dia hanya datang, bergerak merampas senjata, lalu pergi lagi, menghilang begitu saja sehingga kami tidak lagi dapat atau sempat melihat mukanya. Yang tampak hanya rambutnya yang sudah putih semua, padahal dia masih muda dan...."

   "Siluman Kecil!"

   Cui Lan menjerit tanpa disadarinya dan dia bangkit berdiri sampai sepasang sumpitnya terjatuh ke atas lantai.

   "Benar....!"

   Kata Liang Wi Nikouw sambil memandang Cui Lan. Gadis ini segera sadar kembali dan menjadi tersipu-sipu, cepat mengambil kembali sepasang sumpitnya membungkuk dan ketika dia membersihkan sepasang sumpit itu, mukanya menjadi merah sekali.

   "Munculnya pendekar itu menghentikan pertempuran dan para perajurit itu lalu pergi, demikian pula orang-orangnya Boan-wangwe tidak berani melanjutkan pertempuran setelah melihat betapa senjata-senjata mereka demikian mudahnya dirampas pendekar itu. Sedangkan para perajurit itu menurut kabar bermalam di dusun ini dan heiii, itulah mereka! Mereka datang lagi ke sini....!"

   Pelayan itu cepat pergi meninggalkan tamunya untuk masuk ke dalam dan melapor kepada majikannya tentang kedatangan para perajurit yang kemarin itu. Dia tidak tahu bahwa empat orang tamunya itu pun terkejut sekali dan Kian Lee bersama Liang Wi Nikouw sudah bersiap-siap untuk melawan kalau pasukan itu ternyata anak buah Gubernur Ho-nan. Akan tetapi ketika rombongan itu sudah memasuki warung dan dipimpin oleh seorang perwira yang sudah setengah tua, tiba-tiba Hok-taijin berseru girang.

   "Ciangkun, ke sinilah!"

   Teriaknya kepada perwira itu. Perwira setengah tua itu terkejut, menoleh dan sejenak dia memandang kepada Hok-taijin dengan melongo. Akan tetapi akhirnya dia pun mengenal gubernurnya dan cepat dia maju berlutut dan memberi hormat.

   "Ah, Taijin! Siapa kira hamba dapat bertemu dengan Taijin di sini!"

   Serunya dengan girang. Semua anak buahnya ketika mengenal pula bahwa kakek berpakaian petani yang berdiri di depan mereka itu bukan lain adalah Hoktaijin, segera berlutut pula memberi hormat. Perwira itu dipersilakan duduk dan dia bercerita bahwa pasukannya mendapat perintah dari atasannya untuk mencari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap ketika mengiringkan Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Propinsi Ho-nan.

   "Semua pasukan disebar, akan tetapi tidak juga berhasil,"

   Perwira itu berkata.

   "Siapa tahu, di tempat yang tidak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa dengan Taijin."

   Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan setelah dia bertemu dengan gubernur yang dicari-carinya dengan susah payah itu.

   "Marilah Taijin, hamba antar Taijin kembali pulang. Apakah Taijin ingin naik kereta, ataukah kuda?"

   "Cui Lan, apakah engkau biasa menunggang kuda? Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta saja,"

   Tanya Hok-taijin kepada Cui Lan. Gadis itu tadinya melamun, karena pikirannya masih tertarik oleh berita tentang Siluman Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa ingin dia berjumpa dengan pendekar yang dipujanya itu. Betapa besar rasa rindu di hatinya ingin memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar matanya yang aneh tapi lembut.

   "Eh.... saya.... hemmm, saya pun biasa naik kuda...."

   Jawabnya gagap.

   "Bagaimana kabarnya dengan Pangeran Yung Hwa, Ciangkun?"

   Suma Kian Lee bertanya. Perwira itu memandang kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk.

   "Kau boleh menceritakan apa pun juga kepada Suma-taihiap ini,"

   Katanya.

   "Kalau tidak ada dia dan nona ini dan nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan mayatku."

   Perwira itu terkejut dan cepat memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menjawab kepada Kian Lee,

   "Kami tidak mendengar berita tentang Pangeran Yung Hwa. Tidak ada kabar apa-apa dan kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum gubernur pulang."

   Kian Lee lalu berkata kepada gubernur itu,

   "Hok-taijin, kalau begitu sungguh mengkhawatirkan sekali keadaan Pangeran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah bertemu dengan pasukan Taijin, maka kiranya tidak perlu lagi saya mengantar sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini termasuk Propinsi Ho-pei dan Tai jin telah berada di daerah sendiri. Biarlah Taijin dan Nona Phang dikawal oleh pasukan, sedangkan saya sendiri hendak menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa...."

   Pada saat itu, Kian Lee memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee melihat, dengan jelas betapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya tidak senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gubernur. Mengapa? Dia merasa heran sendiri. Betapapun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada gadis ini, dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang untuk saling berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin mereka akan terus berkumpul. Tak mungkin! Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus bersama dengan dia untuk mencari Siluman Kecil.

   "Benar, dan pinni pun harus kembali,"

   Kata Liang Wi Nikouw.

   "Suthai...."

   Cui Lan berkata akan tetapi ditahannya. Nikouw yang sudah tua dan bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkan-dung dalam hati gadis itu, maka dengan tenang dia berkata,

   "Engkau ingin agar pinni menyampaikan kepada dia bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho-pei, Nona?"

   Kedua pipi gadis itu menjadi merah, matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan menggumam,

   "Terima kasih, Suthai....

   "

   Kian Lee dan Liang Wi Nikouw lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan meninggalkan tempat itu, dlikuti pandang mata Hok-taijin dan Cui Lan.

   "Suma-taihiap!"

   Tiba-tiba kakek itu berseru memanggil. Kian Lee cepat membalik dan menghampiri kakek itu yang sudah bangkit.

   "Ada pesan apa yang hendak disampaikan oleh Taijin?"

   Hok-taijin melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu.

   "Suma-taihiap, betapa besar aku hutang budi kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu. Sudikah engkau datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami dapat menyatakan terima kasih kami kepadamu?"

   Kian Lee tersenyum. Dia tahu bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi.

   "Baiklah, Taijin. Kelak, kalau sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus kuselesaikan, saya pasti akan berkunjung kepada Taijin."

   Mereka pun berpisah dan Hok-taijin lalu dikawal oleh para perajuritnya, bersama Cui Lan pergi ke rumah penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala persiapan.

   Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah perajurit pengawal itu hanya dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai seorang petani. Pada keesokan harinya, Hok-taijin dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini bergerak perlahan dan belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar derap kaki banyak kuda lari dari arah belakang. Perwira pengawal memberi aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda itu lewat. Cui Lan melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar itu tergesa-gesa lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu mengebul tinggi. Cui Lan memandang kagum. Sudah banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman.

   Sudah banyak ia menerima pertolongan para pendekar, terutama sekali dari Kian Lee yang dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini sesudah Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah kuda yang ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman Kecil pernah muncul, hatinya merasa sedih. Tak lama kemudian, kembali terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika mereka menoleh, kelihatan tiga ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu menyerukan aba-aba agar semua kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga orang yang datang membalapkan kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti dan memandang tiga orang penunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar yang memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya.

   "Heiiiii.... Enci Lan....!!"

   Tiba-tiba anak itu berseru. Tiga orang penunggang kuda itu menoleh dan mereka pun melihat Cui Lan, lalu mereka menahan kuda mereka.

   "Ah, kiranya engkau, Hong Bu....!"

   Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun dari kudanya. Tiga orang laki-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan Sim Kun tiga orang pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan anak itu adalah Sim Hong Bu, putera dari Sim Hoat.

   "Sam-wi Twako, kalian baik-baik saja?"

   Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura kepada Cui Lan, juga kepada Hok-taijin yang mereka tahu adalah seorang sahabat dari nona ini. Mereka menghormati Cui Lan yang mereka anggap sebagai sahabat baik dari Siluman Kecil.

   "Terima kasih, Nona,"

   Jawab Sim Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai bicara dibandingkan dengan dua orang kakaknya yang kasar dan kaku.

   "Eh, kalian hendak ke manakah? Kelihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi melewati kami? Ada belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa melewati kami menuju ke depan,"

   Cui Lan bertanya. Mendengar ini, Sim Hoat tertawa girang.

   "Ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah berangkat!"

   Katanya kepada dua orang adiknya yang juga kelihatan gembira.

   "Sebetulnya ada urusan apakah?"

   Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena orang-orang ini termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru mengharapkan berita dari Siluman Kecil! Kini Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut mendengarkan, sedangkan para perajurit tetap menanti di atas kuda sambil berjaga-jaga karena mereka itu betapapun juga merasa curiga terhadap tiga orang yang kelihatannya kasar-kasar seperti gerombolan perampok itu. Heran sekali mereka melihat gubernur mereka dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan oleh sang gubernur sebagai anak angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan segala macam orang kasar seperti tiga orang penunggang kuda itu.

   "Kami hendak membantu penolong kami, Pendekar Siluman Kecil."

   "Ehhhhh....?"

   Cui Lan berseri wajahnya dan dia maju selangkah.

   "Apa yang terjadi?"

   Tanyanya penuh gairah.

   "Kami hanya mengetahui urusan itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimanapun juga, kami ingin membantu beliau,"

   Kata Sim Kun.

   "Entah benar entah tidak kabar angin itu, kami pun tidak tahu."

   "Ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya, bukan Gi-hu?"

   Cui Lan menoleh kepada ayah angkatnya dengan sinar mata penuh permohonan. Kakek itu mengangguk. Betapapun juga, ketika dikejar oleh tentara Ho-nan, dia dan Cui Lan telah ditolong oleh para pemburu ini pun berkat nama Siluman Kecil, pikirnya.

   "Menurut kabar angin di antara kawan-kawan yang seperti semacam dongeng tentang diri Siluman Kecil, lima tahun kurang lebih yang lalu, di dalam pengembaraannya, beliau bertemu dengan musuh yang amat sakti yang tinggal mengasingkan diri di atas bukit di depan sana. Orang sakti itu tinggal bersama murid-muridnya dan pelayan-pelayannya yang kesemuanya juga lihai-lihai sekali. Dan menurut dongeng itu, kabarnya orang sakti ini adalah pewaris dari ilmu-ilmu pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lalu. Entah apa sebabnya, lima tahun yang lalu tecjadi pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dan orang sakti itu, dan kabarnya beliau terluka parah oleh suling sakti dari lawan itu dan hampir saja beliau tewas. Akan tetapi beliau dapat diselamatkan dan diobati oleh seorang pendeta wanita, dan biarpun dapat sembuh, namun luka-luka hebat itu membuat rambut beliau menjadi putih semua! Nah, kabarnya beliau membuat perjanjian dengan orang sakti itu untuk saling mengadu ilmu lagi lima tahun kemudian dan hari ini adalah hari perjanjian itu. Kami yang berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil, tidak dapat berdiam diri saja dan kami semua beramai-ramai pergi ke tempat itu untuk membantu beliau."

   Setelah selesai bercerita, cerita yang seperti dongeng dan yang hanya mereka dengar sepotong-sepotong itu, hati Cui Lan ingin sekali ikut bersama mereka untuk menyaksikan pertandingan itu, atau sesungguhnya lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa ia ingin pergi untuk menjumpai orang yang dipujanya itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani dan malu untuk menyatakan hal ini kepada ayah angkatnya. Maka ketika tiga orang bersama anak laki-laki itu berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka, Cui Lan melangkah maju beberapa tindak mengikuti mereka sampai ke tempat mereka menambatkan kuda mereka. Air matanya membasahi bulu matanya, ketika dia mendengar mereka berpamit lagi dan melompat ke atas kuda mereka.

   "Selamat tinggal, Enci Cui Lan!"

   Terdengar Hong Bu berteriak. Cui Lan yang tadinya menunduk untuk menyembunyikan air matanya, kini berdongak mendengar seruan suara Hong Bu. Terkejutlah dia ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sim Kun yang ternyata masih berada di situ dan memandangnya dengan sinar mata aneh, lembut, hangat dan mesra! Cui Lan terkejut dan gugup, cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia mendengar Sim Kun berkata,

   "Selamat berpisah sampai jumpa kembali!"

   Lalu terdengar derap kaki kuda dilarikan cepat ke depan. Mereka melanjutkan perjalanan dan Cui lan kelihatan termenung. Melihat ini, Hok-taijin bertanya,

   "Anakku, kenapa kau kelihatan diam? Apakah engkau masih terkesan oleh cerita tadi?"

   Memperoleh kesempatan itu Cui Lan lalu berkata,

   "Benar sekali, Gi-hu. Gi-hu tentu tahu mengapa orang-orang kasar itu sampai begitu setia, mereka semua telah berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil. Saya pun hutang nyawa, bahkan lebih dari itu kepadanya, dan mendengar dia hendak bertanding melawan orang sakti, saya saya ingin sekali menonton, Gi-hu."

   Hok-taijin mengerutkan alisnya.

   "Hemmm, berbahaya sekali, Cui Lan. Orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian silat seperti kita ini, apa gunanya bagi dia? Tidak dapat membantu seperti para pemburu itu, bahkan kita terancam bahaya maut. Jangan khawatir, kalau kita sudah tiba di rumah, aku akan mengirim utusan mengundang Pendekar Siluman Kecil dengan hormat agar sudi berkunjung ke rumah kita."

   Terhibur juga hati Cui Lan mendengar janji ini, sungguhpun hatinya masih ingin sekali untuk pergi ke bukit itu. Akan tetapi, selain tidak berani memaksa, juga dia merasa malu terhadap ayah angkatnya dan para perajurit, maka dia melan-jutkan perjalanan itu dengan diam saja dan termenung.

   Lewat tengah hari, udara panas sekali dan Hok-taijin mengajak mereka beristirahat di sebuah lapangan terbuka dekat hutan di kaki bukit yang penuh dengan hutan-hutan besar. Perwira itu lalu mengeluarkan perbekalan dan Hok-taijin dan Cui Lan lalu makan. Lezat bukan main makan di tempat terbuka itu, sungguhpun yang dimakan hanya roti kering dan daging panggang dibantu oleh air jernih. Setelah keduanya selesai makan, Hok-taijin memberi kesempatan kepada para pengawalnya untuk makan pula. Kakek ini duduk bersandar pohon dan segera terasa kantuk datang menyerangnya ketika tubuh lelah perut kenyang itu dihembus angin sejuk. Cui Lan berjalan-jalan di sekitar tempat itu mencari kembang. Mendadak dia mendengar suara orang bersenandung, suara yang amat merdu dan gembira.

   Ketika dia menuju ke tempat itu, dia melihat seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba hitam dan ringkas, pakaian yang ketat memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat dan indah, sedang duduk di antara rumput-rumput hijau dan rebah terlentang sambil bersenandung. Cui Lan ingin pergi lagi karena dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang beristirahat dengan enaknya itu, akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam menyambar di dekat kakinya. Ketika dia melihat ke bawah, hampir dia menjerit karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah seekor ular yang hitam panjang dan yang kini berada di depan kakinya dengan kepala terangkat dan bergoyang-goyang seperti menari-nari, atau seperti memberi isyarat kepadanya agar jangan pergi! Cui Lan memandang dengan muka pucat, akan tetapi memang pada dasarnya gadis ini seorang yang tabah. Dia tidak jadi menjerit dan perlahan-lahan dia menggeser kakinya untuk menjauhi.

   "Hi-hik, si Hek-coa (Ular Hitam) itu suka kepadamu dan dia ingin agar kau duduk di sini bercakap-cakap dengan aku!"

   Cui Lan cepat menoleh dan dia melihat gadis berpakaian hitam tadi sudah duduk dan tersenyum. Bukan main cantiknya! Baru sekarang dia melihat betapa gadis itu mempunyai kecantikan yang luar biasa, cantik jelita dan manis sekali, apalagi kini sedang tersenyum. Dia memandang kagum dan melihat gadis berpakaian hitam dan ular yang kini melilit lengan gadis itu, teringatlah dia akan gadis di dalam perahu yang telah melempar kembali orang dari perahu besar yang meloncat ke rakit mereka.

   "Kau.... bukankah kau gadis dalam perahu...."

   Gadis itu memang Hwee Li adanya. Dia mengangguk dan menepuk rumput di dekatnya.

   "Duduklah di sini, enak, lunak seperti duduk di kasur saja. Jangan takut, ularku ini tidak jahat. Aku melihat engkau bersama rombongan perajurit dan si orang tua, akan tetapi mana pemuda yang bersamamu di perahu itu?"

   "Ah, dia sudah pergi...."

   Cui Lan menahan kata-katanya karena dia tidak hendak bercerita tentang urusan Pangeran Yung Hwa kepada seorang asing. Lalu cepat disambungnya dengan pertanyaan,

   "Engkau siapakah? Aneh sekali seorang gadis cantik seperti engkau bermain-main dengan seekor ular seperti itu."

   "Seekor? Ada dua! Lihat di atasmu!"

   Cui Lan mengangkat mukanya dan dia menahan jeritnya ketika melihat seekor ular yang amat panjang, bergantung di cabang pohon dengan ekornya dan kini kepala ular itu dekat sekali di atas kepalanya! Bahkan lidah yang merah itu hampir menjilat-jilat dahinya! Hwee Li tertawa dan dengan gerakan tangan dia membuat ular itu menarik diri lagi ke atas cabang dan ular yang di lengannya itu pun dia suruh pergi merayap naik ke atas pohon, berkumpul dengan temannya.

   "Namaku Kim Hwee Li. Kau juga cantik manis, siapa namamu, Enci?"

   "Namaku Phang Cui Lan."

   Cui Lan merasa suka kepada gadis itu dan duduk di atas rumput. Memang enak sekali duduk di situ, rumputnya tebal dan lunak seperti kasur dan tempat itu sejuk di bawah pohon besar.

   "Hwee Li nama yang indah sekali. Mengapa kau berada di sini seorang diri saja, Hwee Li? Seorang gadis seperti engkau seorang diri saja, sungguh aneh."

   "Apa anehnya? Memang aku hanya sendiri saja di dunia ini, eh, tidak sendiri, melainkan bertiga dengan sepasang ular hitamku itu. Aku ingin nonton keramaian di bukit sana."

   Cui Lan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.

   "Kau maksudkan.... keramaian.... pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dengan orang sakti....?"

   Kini Hwee Li yang terkejut.

   "Apa? Kau tahu pula tentang itu? Kau kenal Siluman Kecil?"

   Cui Lan mengangguk.

   "Tentu saja aku mengenalnya,"

   Dan pandang matanya kini merenung, membayangkan pendekar itu.

   "Benarkah? Hebat! Namanya sudah tersohor di seluruh daerah ini, dan kau seorang gadis yang lemah telah mengenalnya! Kau lebih aneh dari aku, Cui Lan! Kau seorang lemah akan tetapi kenalanmu pemuda-pemuda hebat! Baru yang di perahu itu saja sudah hebat, sekarang kau bilang kenal dengan Siluman Kecil! Kau benar-benar membuat aku merasa iri."

   Terpaksa Cui Lan tersenyum mendengar ini. Gadis ini sikapnya seperti telah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun saja, demikian ramah dan akrab. Seketika timbul rasa sayang di dalam hatinya.

   "Ah, Hwee Li, seorang gadis seperti engkau ini, yang cantik seperti Dewi Kwan Im, apa sih sukarnya kalau hendak berkenalan dengan pemuda-pemuda yang paling hebat di dunia ini?"

   "Benarkah? Eh, orang macam apa sih sebetulnya Siluman Kecil itu?"

   "Orang macam apa....?"

   Cui Lan menengadah dan memejamkan matanya. Terbayang wajah pemuda pendekar itu dan dia menarik napas.

   "Orang yang hebat....! Seorang pendekar yang masih amat muda, akan tetapi rambutnya telah putih semua, seperti benang-benang perak halus mengkilap...."

   

   Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hemmm, kau makin menambah keinginanku untuk nonton pertandingan itu. Kabarnya malam ini Siluman Kecil akan muncul dan melawan Sin-siauw Seng-jin di puncak bukit itu."

   "Sin-siauw Seng-jin? Siapakah dia?"

   "Seorang tokoh yang maha sakti. Seorang yang terasing akan tetapi seluruh tokoh dunia kang-ouw tidak ada yang berani mengganggunya, dan kabarnya dia hidup seperti dewa. Hemmm, aku berani bertaruh potong leher...."

   "Potong leher?"

   Cui Lan terkejut.

   "Nanti dulu, belum habis. Leher ayam maksudku! Siluman Kecil sekali ini tentu akan jatuh namanya. Mana mungkin dia bisa menang! Hi-hik, kedua ekor ularku ini paling suka minum darah, apalagi kalau darah orang sakti seperti Siluman Kecil itu. Hemmm, mereka tentu akan senang sekali."

   Pucat wajah Cui Lan.

   "Apa.... apa.... maksudmu....?"

   "Hi-hik, pandang matamu begitu ketakutan dan ngeri seperti seekor kelinci. Ah, memang matamu indah sekali, Cui Lan, seperti mata kelinci! Jangan khawatir, aku tidak akan mencampuri urusan mereka, akan tetapi aku tahu bahwa pasti Siluman Kecil akan tewas dan ularularku akan menikmati darahnya kalau dia sudah roboh."

   "Ihhh.... kau.... kau kejam sekali!"

   Cui Lan bangkit berdiri, sepasang matanya menyinarkan api dan kedua pipinya merah, telunjuknya menuding ke arah muka Hwee Li.

   "Kau sungguh kejam, dan aku.... aku akan menggunakan batu menghancurkan kepala dua ekor ular-ularmu kalau mereka beralni melakukan hal itu!"

   "Ehhh....?"

   Hwee Li memandang dengan mata terbelalak.

   "Wah.... kau cinta padanya, hi-hik! Kau cinta padanya!"

   Lemas lagi rasa tubuh Cui Lan dan dia menjatuhkan diri di atas rumput. Dia mengangguk.

   "Aku memang cinta padanya...."

   "Kalau begitu, mengapa tidak nonton bersama aku? Dengan adanya kekasihnya di sana, hal itu akan membesarkan hatinya!"

   "Aku bukan kekasihnya, jangan bicara seperti itu, Hwee Li."

   "Ihhh? Bagaimana sih kau ini? Baru saja kau mengaku cinta padanya dan kau tidak mau kusebut kekasihnya?"

   "Aku cinta padanya, memang, dengan sepenuh jiwa ragaku. Akan tetapi apakah dia cinta padaku.... hemmm, hal itu aku.... aku tidak tahu...."

   "Hi-hik, jangan khawatir. Laki-laki mana yang tidak akan membalas cinta seorang dara seperti engkau? Dia pasti cinta padamu. Pasti! Mari kau ikut aku nonton ke sana, Cui Lan."

   Cui Lan menengok ke arah rombongan ayah angkatnya. Mereka agaknya sudah berkemas dan ayahnya sudah bangkit berdiri.

   "Aku.... aku tidak bisa, di sana ada ayah angkatku.... aku harus pergi bersama mereka."

   "Huh, betapa tidak enaknya hidup seperti engkau ini. Hati ingin nonton ke gunung, akan tetapi kenyataannya terpaksa harus pergi. Kau seperti burung dalam sangkar saja. Dan kau gadis yang memiliki keberanian hebat sungguhpun kau lemah."

   "Aku ingin sekali, akan tetapi mereka tentu melarang dan kita tidak bisa memaksa."

   "Siapa bilang? Baru dua puluh orang perajurit macam itu, biar ditambah dua puluh lagi masih belum cukup untuk melawan aku!"

   "Ah, aku tidak ingin kau bertempur dengan mereka. Orang tua itu adalah ayah angkatku yang amat baik."

   "Kalau begitu tidak perlu bertempur. Aku dapat melarikan engkau dari sini tanpa dapat mereka kejar!"

   "Benarkah? Akan tetapi aku harus berpamit! Aku tidak boleh menyusahkan hati ayah angkatku."

   "Nah, berpamitlah!"

   Hwee Li lalu menggerakkan tangan dan dua ekor ularnya meluncur turun ke arah kedua lengannya, terus melingkar di situ. Kemudian dia mengiringkan Cui Lan berjalan menghampiri rombongan itu. Melihat Cui Lan datang bersama seorang gadis cantik berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai gadis yang membantu mereka di atas sungai, Hok-taijin memandang kagum, akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah pucat ketika melihat dua ekor ular melingkar di kedua lengan yang putih mulus itu.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 11 Kisah Sepasang Rajawali Eps 46 Sepasang Pedang Iblis Eps 53

Cari Blog Ini