Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 15


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



"Dusta kau!"

   Dan tiba-tiba gadis ber-pakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut. Siluman Kecil cepat mengelak ke sana ke mari sambil berkata,

   "Aku tidak ingin berkelahi!"

   Akan tetapi Hwee Li tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar itu.

   "Lari ke mana kau?"

   Hwee Li membentak dan mengejar. Akan tetapi pada saat itu muncul bayangan orang di balik pohon dan terdengar bentakan halus menegur dara berpakaian hitam itu.

   "Hwee Li, jangan kurang ajar. Kembalilah!"

   "Eh, Subo....!"

   Gadis berpakaian hitam itu berseru kaget dan girang. Siluman Kecil cepat lari akan tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang disebut subo oleh gadis itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia seperti pernah melihat wajah itu. Akan tetapi dia tidak ingin bentrok dengan wanita cantik itu yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat lagi daripada si dara galak, apalagi karena memang tidak ada permusuhan apa-apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu mempercepat gerakannya dan tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu kelihatan melayang cepat sekali di atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang mata dua orang wanita guru dan murid itu penuh kekaguman. Fajar telah menyingsing ketika Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat tapal batas Propinsi Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara.

   Di depan pintu gerbang telah menanti banyak orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota An-yang yang hendak memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang oleh para penjaga. Munculnya Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka, karena keadaan pendekar ini memang aneh. Pakaiannya putih dan rambutnya juga terurai putih, sebagian menutupi mukanya sehingga menyembunyikan sebagian besar wajah yang tampan. Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita muda yang selalu memandangnya, dengan alis berkerut dan sinar mata tajam penuh selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigainya dan memperhatikan semua gerak-geriknya. Siluman Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak, akan tetapi dia diam saja dan berdiri di sudut yang agak gelap.

   Wanita itu berpakaian serba hijau, menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan wanita itu sendiri berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup cantik dan membayangkan kegagahan. Ketika pintu gerbang dibuka tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyelinap masuk dan mencari sebuah warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari yang cukup dingin itu. Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum ada tamunya seorang pun, maka dia cepat memasuki warung ini dan memesan masakan bubur ayam dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan pesanannya, masuklah tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu bercakap-cakap dengan suara lantang.

   "Lo-ciang, kenapa engkau tidak ikut memasuki pemilihan jago itu? Siapa tahu, engkau akan terpilih dan kelak menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga aku yang menjadi sahabatmu tentu takkan kau lupakan, ha-ha!"

   "Enak saja kau bicara, A-seng! Yang dipilih adalah orang-orang yang berilmu tinggi untuk menjadi pengawal gubernur sendiri, dan yang terpandai akan memperoleh kedudukan istimewa. Maka tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini apa? Hanya bisa sekedar menggerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja aku mempunyai kepandaian seperti pendekar Siluman Kecil yang disohorkan orang itu, nah....!"

   Siluman Kecil memutar duduknya membelakangi mereka, dan ketika pelayan datang mengantarkan bubur dan air teh yang dipesannya,

   Dia mulai makan bubur yang masih mengebul panas itu. Tiga orang laki-laki itu masih bercakap-cakap ramai akan tetapi tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika ada rombongan orang memasuki warung itu. Siluman Kecil melirik dan melihat bahwa wanita muda berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di pintu gerbang menuntun seorang anak kecil, akan tetapi kini tidak lagi menuntun anak itu, memasuki warung diiringkan oleh lima orang laki-laki yang bersikap hormat seolah-olah mereka adalah pengawal-pengawal wanita itu. Begitu mengambil tempat duduk, tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara lantang wanita itu memanggil pelayan, kemudian berkata setelah melirik ke arah tiga orang laki-laki muda dan Siluman Kecil,

   "Pelayan, hidangkan masakan yang paling istimewa dari warungmu ini, dan arak yang hangat dan paling baik. Suguhkan kepada semua tamu atas namaku, aku yang akan membayar semua yang dimakan para tamu di pagi hari ini!"

   Tiga orang laki-laki muda itu menoleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah wanita itu. Seorang di antara mereka berkata,

   "Kouwnio, banyak terima kasih atas kebaikanmu!"

   Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka sambil tersenyum dan tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap gembira. Akan tetapi Siluman Kecil tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya,

   "Harap Twanio tidak perlu repot, saya hanya makan bubur dan air teh, dan akan saya bayar sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu."

   "Ah, tidak mengapa, sobat. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan sudah biasa setiap ulang tahun, aku membayar makanan semua tamu di suatu warung seperti ini,"

   Kata wanita itu dengan sikap gembira dan melihat sikap dan mendengar kata-kata Siluman Kecil dapat menduga bahwa wanita ini sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung lagi berhadapan dengan orang, bahkan laki-laki asing. Dia tidak mau berbantah dan agar tidak menarik perhatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi memandangnya penuh kecurigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika hidangan disajikan oleh pelayan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan mukanya.

   Wanita itu sendiri pun tidak memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang laki-laki yang mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang merupakan rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang yang mau membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan minuman arak, agaknya ingin mabuk-mabukan di atas biaya orang lain! Siluman Kecil cepat menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik sekali melihat pemuda ini yang berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda berbangsa asing atau sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak dilihatnya di kota-kota besar.

   "Sumoi....!"

   Pemuda asing itu berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau tadi.

   "Ah, Suheng, kau baru datang?"

   Wanita itu pun berseru ketika pemuda asing itu menghampiri mejanya. Lima orang pengiring wanita itu ke-lihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan pemuda asing itu duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata-kata. Pemuda asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau,

   "Sumoi, dia kulihat di luar dusun.... sedang menuju ke sini.... sendirian."

   Wanita muda itu kelihatan terkejut, akan tetapi lalu berkata,

   "Hemmm, tak kusangka begitu cepat dia datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya. Betapapun juga kita belum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini merayakan berhasilnya usahaku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada tamu-tamu kita yang kujamu untuk merayakan hari ulang tahunku."

   Dia bangkit berdiri dan menghadap ke arah meja tiga orang pemuda tadi.

   "Cu-wi, ini Suheng saya, dan Cu-wi bertiga adalah...."

   Wanita itu memperkenalkan.

   "Saya Ma Kok Ciang!"

   "Saya Kam Seng!"

   "Saya Kam Tiong!"

   Tiga orang pemuda itu memperkenalkan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura dengan hormat dan mengikuti sumoinya menghadap ke arah Siluman Kecil.

   "Sobat, Suhengku ingin berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal namamu yang terhormat?"

   Wanita baju hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil. Pendekar ini menundukkan muka, membiarkan rambutnya menutupi mukanya. Sebetulnya dia tidak ingin berkenalan dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan hidangan orang, maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik memperkenalkan diri dan cepat pergi dari situ, pikitnya.

   "Namaku....? Hemmm, panggil saja aku Siluman Kecil,"

   Jawabnya pendek.

   "Ughhh-ukkkhhhhh!"

   Seorang di antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya itu menyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak menoleh ke arah Siluman Kecil yang mereka hanya dapat lihat punggungnya. Sedangkan wanita baju hijau dan suhengnya itu pun memandang dengan mata terbelalak kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu masih ragu-ragu.

   Memang sejak berjumpa di pintu gerbang, wanita baju hijau itu sudah menaruh curiga kepada Siluman Kecil dan sudah menduganya bahwa pemuda yang berambut putih dan bersikap aneh itu tentu bukan orang sembarangan. Bahkan di dalam warung ini si wanita baju hijau sengaja mencari jalan untuk berkenalan dengan pemuda rambut putih itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa dia itu adalah Siluman Kecil, tentu saja dia meragu dan tidak mudah percaya begitu saja. Sliurnah Kecil sendiri setelah memperkenalkan namanya sudah hendak bangkit dan pergi, akan tetapi pada saat itu terdengar suara gemuruh dan derap kaki kuda menuju ke depan warung. Seorang pelayan yang tadi berada di luar tergopoh-gopoh memasuki warung dan langsung menemui pemilik warung yang duduk di belakang meja.

   "Celaka, rombongan pembunuh dari perkampungan nelayan itu datang!"

   Pemilik warung menjadi pucat mukanya dan semua pelayan juga lari bersembunyi. Melihat ini, Siluman Kecil tidak jadi pergi dan duduk kembali dengan tenangnya, menunduk dan mereguk arak di dalam cawan araknya. Wanita baju hijau itu, bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya, juga tiga orang laki-laki muda yang sudah agak mabuk, semua menengok ke arah pintu warung.

   Dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk masuklah dua puluh orang lebih yang bersikap gagah dan kasar, dipimpin oleh seorang kakek yang pakaiannya gemerlapan mewah, pakaian seorang hartawan besar. Dengan matanya yang kelihatan makin sipit karena teraling sepasang pipi yang gemuk, kakek ini menyapu ruangan warung dengan pandang matanya, kemudian dengan gerakan kepala dia memberi perintah kepada tangan kanannya sebagai pemimpin rombongan, yaitu seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi. Laki-laki hitam ini dengan lantang lalu berkata kepada pemilik warung yang masih duduk di belakang meja dengan muka pucat dan agaknya dia telah lumpuh saking takutnya sehingga tidak sempat pula menyembunyikan dirinya seperti yang dilakukan oleh para pelayan.

   "Haaai! Pemilik warung, sudah berbulan-bulan engkau tidak pernah menyerahkan hasil tangkapan ikan kepada kami, ya?"

   Kata Si Muka Hitam dengan muka menyeringai dan nada suara menggertak. Pemilik warung itu menelan ludah beberapa kali untuk mengusir rasa takut yang mencekik lehernya sebelum dapat menjawab,

   "Saya.... saya adalah pengusaha warung.... harap maafkan.... saya tidak lagi menangkap ikan...."

   "Bohong!"

   Si Muka Hitam menghardik, suaranya keras sekali membuat si pemilik warung menjadi makin ketakutan.

   "Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah bekas nelayan yang pandai? Engkau masih mempunyai lima buah perahu dan engkau menyuruh orang-orangmu mencari ikan-ikan tetapi hasil ikan-ikan yang baik dan besar kau suruh bawa ke sini, hanya yang kecil-kecil saja kau suruh menjual. kepada kami. Berani kau menyangkal?"

   Gemetar seluruh tubuh pemilik Warung itu. Tak disangkanya bahwa Boan-wangwe.

   "raja"

   Kaum nelayan itu demikian cerdiknya, dapat tahu setiap langkah perbuatannya.

   "Maaf.... ampunkan saya.... saya membutuhkan ikan-ikan baik untuk warung saya...."

   "Ha-ha-ha!"

   Kini Boan-wangwe, hartawan itu, tertawa.

   "Sudahlah! Sekarang kau keluarkan hidangan dari ikan-ikan yang terbaik, keluarkan semua persediaan masakan dan minuman untuk kami dan kami akan melupakan pelanggaran yang kau lakukan itu. Akan tetapi suruh pergi semua tamu dari sini, kami tidak ingin diganggu."

   "Heiii, pelayan! Tambah araknya!"

   Tiba-tiba terdengar suara si pemuda asing, seolah-olah dia sama sekali tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di situ. Tukang warung itu tergopoh-gopoh mendatangi meja wanita baju hijau itu, membongkok-bongkok dan berkata gugup,

   "Harap Cu-wi sudi memaafkan saya.... harap sudi meninggalkan saja warung ini dan.... dan Cu-wi tidak usah membayar harga makanan dan minuman tadi...."

   "Hemmm, apa artinya ini?"

   Pemuda asing itu membentak, sikapnya marah.

   "Maaf, Siauw-ya.... warung ini.... harus melayani Boan-wangwe dan orang-orangnya, saya tidak bisa menerima tamu lain, semua telah diborong oleh Hartawan Boan...."

   "Tidak peduli yang memborong itu hartawan atau jembel, raja atau petani, dewa atau setan yang bernama Boan atau anjing kera, kami sudah datang lebih dulu dan harus dilayani lebih dulu!"

   Pemuda asing itu membentak marah.

   "Hayo tambah lagi araknya!"

   "Ba.... baik...."

   Pemilik warung itu menjadi makin ketakutan dan seperti seekor anjing dipukul dia mundur dan mengkeret, lalu berdiri di belakang mejanya dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sementara itu, Si Muka Hitam pimpinan rombongan pengikut Boan-wangwe itu, telah melangkah maju sambli memberi isyarat kepada orang-orangnya.

   Meja wanita baju hijau itu dikurung, akan tetapi wanita baju hijau itu bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya masih tetap duduk mengelilingi meja dengan sikap tenang. Boan-wangwe sendiri, kakek berpakaian mewah itu, hanya tersenyum lalu dengan enaknya duduk di atas bangku di sudut sambil menonton, mengeluarkan huncwe (pipa tembakau) dan mengisinya dengan tembakau, lalu menyulutnya dengan api, semua ini dilakukan dengan tenang seenaknya seperti orang yang hendak menikmati tontonan yang menarik. Siapakah kakek ini? Di bagian depan telah kita ketahui bahwa kakek ini adalah seorang bekas bajak laut yang berkepandaian tinggi, dan yang sekarang telah menjadi seorang hartawan,

   Seorang pedagang ikan yang melakukan pemerasan terhadap semua nelayan, melepas uang panas, dan memaksa semua orang nelayan untuk menjual hasil tangkapan mereka kepadanya, tentu saja dengan harga murah dan dia mempunyai banyak anak buah yang disebarnya di belasan buah dusun-dusun di sepanjang Sungai Huangho. Hartawan she Boan ini dikenal sebagai "raja"

   Kaum nelayan, dan dia merupakan seorang tokoh kaum sesat yang tidak saja kaya raya dan berani mengeduk saku untuk membantu segolongannya, akan tetapi juga memiliki iimu kepandaian yang tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, di waktu ketua Huangho Kui-liong-pang mengundang kaum sesat untuk mengadakan pertemuan di lembah, Boan-wangwe juga tidak ketinggalan dan menjadi seorang di antara para tamu kehormatan.

   "Orang bule! Agaknya engkau sudah bosan hidup! Hayo lekas engkau dan teman-temanmu merangkak keluar kalau tidak ingin kami seret ke luar sebagai mayat!"

   Bentak Si Muka Hitam. Akan tetapi pemuda asing itu bersama sumoinya masih enak-enak menggunakan sumpit lengan tangan kanan untuk menyum-pit daging ini atau sayur itu, membawa ke mulut dan memakannya dengan tenang. Mendengar ben-takan itu, pemuda asing yang dimaki orang bule itu menoleh, lalu berkata acuh tak acuh,

   "Hendak kulihat siapa yang akan mampu menyeret aku keluar!"

   "Keparat!"

   Si Muka Hitam membentak. Dia merupakan seorang di antara pembantu-pembantu Boan-wangwe dan dalam perjalanan ini dia bahkan memimpin rombongan itu, maka tentu saja dia marah bukan main mendengar tantangan si pemuda asing. Sambil memaki dia menghantam ke depan, tangan kanan mencengkeram pundak, tangan kiri menjotos ke arah tengkuk. Serangan maut ini kalau mengenal sasaran, tentu akan membuat yang diserang roboh dan tewas seketika dengan kepala remuk.

   "Plak-plakkk.... aughhh...."

   Si Muka Hitam itu terlempar ke belakang dan roboh terbanting keras! Ternyata dengan tangan kanan masih memegang sumpit dan melanjutkan makannya, pemuda asing itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya, menangkis dua tangan lawan dan mendorong, membuat Si Muka Hitam terjengkang dan roboh!

   Tentu saja hal ini membuat semua anak buah Boan-wangwe menjadi marah. Sambil berteriak-teriak mereka bergantian menerjang pemuda asing itu. Akan tetapi sungguh hebat sekali pemuda ini. Dia terus melanjutkan makan minum, ditemani sumoinya yang seolah-olah tidak mempedulikan suhengnya dikeroyok, dan lima orang pengiringnya pun hanya memandang saja dengan sikap siap siaga, akan tetapi sambil melan-jutkan makan hidangan, di depannya dengan sumpit, pemuda asing itu menggunakan tangan kirinya, menangkis, menampar, menyodok, merampas senjata dan berturut-turut para pengeroyoknya itu ada yang terpelanting, ada yang terjengkang dan jatuh tumpang tindih!

   Boan-wangwe yang melihat keadaan anak buahnya ini, mengerutkan alisnya dan dia menggigit ujung huncwenya, matanya memandang marah akan tetapi dia masih duduk karena melihat anak buahnya masih bangun lagi dan masih mengurung, kini semua mencabut senjata mereka. Lima orang pengiring wanita baju hijau kelihatan bangkit berdiri, meraba gagang pedang di pinggang, akan tetapi wanita baju hijau itu menggeleng kepala. Mereka memandang penasaran, akan tetapi ternyata mereka taat sekali karena mereka sudah duduk kembali sambil memandang pemuda asing yang menghabiskan hidangan di dalam mangkoknya. Setelah hidangannya habis, pemuda asing ini bangkit berdiri dengan muka kesal, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi para pengepungnya.

   "Kalian sungguh manusia-manusia yang menjemukan!"

   Katanya perlahan dan pemuda ini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan itu diputar-putar di depan dada.

   "Suheng, jangan....!"

   Wanita baju hijau berseru kaget. Akan tetapi kedua tangan pemuda itu sudah terlanjur digerakkan, mendorong ke depan dan biarpun dia mendengar seruan mencegah dari sumoinya dan sudah mengurangi tenaganya, tetap saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan dari dua puluh orang lebih itu. Mereka tidak roboh, melainkan menggigil kedinginan, gigi mereka berkeretakan berbunyi saling beradu, mulut mereka mengeluarkan suara
(Lanjut ke Jilid 15)

   Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15
"hu-hu-hu-huuu...."

   Dan mereka berusaha mengusir rasa dingin dengan memeluk tubuh sendiri. Keadaan mereka sungguh lucu dan aneh sekali. Siluman Kecil merasa terkejut bukan main. Dia melihat betapa keringat-keringat yang tadi membasahi tubuh dua puluh orang lebih itu, kini tampak membeku, berubah seperti tepung-tepung salju menempel di tubuh mereka. Bukan main, pikirnya. Seperti Swat-im Sin-ciang dari Pulau Es, akan tetapi bahkan lebih ganas! Juga Boan-wangwe terkejut dan kini dia bangkit berdiri.

   "Huh!"

   Pemuda asing itu mendengus.

   "Kalau saja Sumoi tidak mengasihani kalian, tentu sekarang kalian telah menjadi patung-patung beku tak bernyawa lagi.

   Boan-wangwe kini mengeluarkan semua abu dan tembakau dari huncwenya dan dengan perlahan dia mencabut ujung huncwe yang ternyata bersusun dan kini huncwe itu memanjang sampai selengan panjangnya. Kiranya huncwe itu selain dapat dipakai sebagai penghisap tembakau, juga merupakan senjata yang aneh dan ampuh! Tangan kirinya merogoh saku dan keluar lagi menggenggam peluru-peluru kecil yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya! Kemudian, dengan mengeluarkan suara menggeram, Boan-wangwe menggerakkan kakinya dan tubuhnya yang agak gendut itu ternyata memiliki gerakan ringan dan cepat sekali, melayang melalui atas kepala orang-orangnya yang masih kedinginan, langsung menyerang pemuda asing itu dengan huncwenya yang panjang!

   "Wuuuttttt.... singgggg....!"

   Sambaran huncwe itu mengejutkan si pemuda asing yang dari suaranya saja maklum bahwa dia menghadapi senjata ampuh yang digerakkan oleh tenaga sakti yang kuat. Maka dia cepat melompat ke samping sambil mengelak, sambil mencabut pedangnya, kemudian balas menusuk yang dapat ditangkis oleh Boan-wangwe.

   "Tranggggg!.... Cringgggg....!"

   Dua kali pedang bertemu huncwe dan nampak api berhamburan, keduanya menarik senjata masing-masing untuk memeriksa.

   Lega hati mereka melihat betapa senjata mereka tidak rusak biarpun tadi mereka merasakan getaran hebat mengiris telapak tangan mereka. Para anak buah Boan-wangwe kini mundur dan anehnya, mereka semua kini duduk di atas lantai di sudut ruangan itu, tidak ada seorang pun yang berdiri dan mereka menonton pertandingan hebat antara majikan mereka dan pemuda asing itu penuh perhatian. Siluman Kecil juga menonton dengan hati tertarik. Kembali dia merasa kagum karena ternyata bahwa pemuda yang berkulit putih dan berambut coklat itu selain memiliki pukulan yang mirip Swat-im Sin-ciang, juga memiliki ilmu pedang yang amat lihai sehingga biarpun Boan-wangwe juga memiliki gerakan lihai sekali, cepat kuat dan aneh, namun kakek ini kelihatan terdesak oleh ilmu pedang si pemuda asing.

   "Hyaaaaattttt....!"

   Tiba-tiba pedang itu meluncur dengan gerakan memutar seperti seekor naga bermain di angkasa, bergulung-gulung dengan cepat sekali. Boan-wangwe menggerakkan huncwenya menangkis dan memutar huncwe untuk mengimbangi kecepatan pedang, namun tetap saja dia masih kalah cepat.

   "Brettttt....!"

   Untung dia masih sempat menarik lengannya sehingga yang terbabat putus hanya ujung lengan bajunya saja. Akan tetapi hal ini cukup membuat dia terkejut sampai mukanya berubah dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan menempelkan ujung huncwe ke mulutnya.

   "Awas, Suheng....!"

   Wanita baju hijau itu berseru dan pemuda asing itu sudah waspada. Dari ujung huncwe itu menyambar sinar-sinar kehitaman yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Melihat benda-benda kecil menyambar ke arahnya, pemuda itu mengelak dan dengan pedangnya dia menangkis.

   "Tringgg.... tarrrrr-tarrrrr!"

   Dua buah peluru kecil yang kena disampok pedang itu meledak dan pemuda asing itu berteriak kaget lalu roboh. Ternyata peluru itu mengandung jarum-jarum lembut sekali yang agaknya beracun, yang berhamburan keluar ketika peluru itu meledak dan ada yang mengenai pemuda bule itu.

   "Suheng....!"

   Wanita baju hijau itu berteriak dan dengan marah dia meloncat ke arah Boan-wangwe, gerakannya ketika meloncat membuktikan bahwa dia memiliki ginkang yang amat hebat. Seperti seekor burung walet menyambar saja ketika dia meloncat. Akan tetapi Boan-wangwe sudah cepat menggerakkan huncwenya menangkis ketika melihat sinar pedang meluncur cepat.

   "Tranggggg....!"

   Kembali nampak bunga api berhamburan dan Boan-wangwe harus cepat memutar huncwenya karena wanita baju hijau itu ternyata memiliki ilmu pedang yang bahkan lebih hebat daripada suhengnya! Dan selain itu, lima orang pengiringnya kini sudah mencabut pedang semua dan mengeroyoknya!

   Boan-wangwe maklum bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran dengan senjata, jangankan dikeroyok enam, melawan wanita baju hijau itu saja sudah kewalahan, maka dia kembali melompat ke belakang dan menggunakan huncwe dan peluru-peluru kecil untuk menyerang lawan. Huncwe yang sudah berubah menjadi senjata sumpitan itu menyemburkan banyak sekali peluru-peluru kecil. Wanita baju hijau terpaksa menangkis, demikian pula lima orang pengiringnya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil. Wanita itu menjerit dan bersama lima orang pengiringnya, juga tiga orang muda yang sudah mabuk dan yang tadi menonton sambil duduk di atas kursi mereka, roboh semua tak sadarkan diri. Mereka semua, sejumlah sembilan orang itu, roboh pingsan terkena serangan jarum-jarum halus yang tak tampak oleh mata, yang berhamburan keluar dari dalam peluru-peluru kecil yang pecah dan meledak.

   "Ha-ha-ha, baru kalian tahu rasa!"

   Boan-wangwe tertawa bergelak.

   "Berani kalian menentang Huncwe Maut Boan Kwi, ha-ha!"

   Sekarang pergilah kalian ke neraka!"

   Dengan iringan suara ketawa anak buahnya yang baru sekarang berani berdiri dengan tubuh masih ada yang menggigil kedinginan,

   Boan-wangwe melangkah lebar sambil membawa huncwenya, hendak membunuh tujuh orang bekas lawannya itu. Kini baru Siluman Kecil mengerti mengapa anak buah Boan-wangwe tadi semua duduk di atas lantai. Kiranya mereka itu tahu bahwa majikan mereka akan menggunakan huncwe mautnya dan mereka sudah lebih dulu bersembunyi dari sambaran-sambaran peluru yang berisi jarum-jarum halus itu! Ketika Boan-wangwe sudah mengangkat huncwe untuk memukul kepala si pemuda bule yang masih pingsan, tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Dia terkejut sekali, akan tetapi ketika dia menggerakkan huncwe ke kanan, pukulan itu lenyap dan kini hawa pukulan menyambar dari kiri! Boan-wangwe terkejut dan bingung, mengangkat tangan kirinya menangkis.

   "Plakkk....! Nyesssss....!"

   Boan-wangwe tertegun dan matanya berkejap-kejap heran, menikmati rasa yang amat nyaman dan enak yang dirasainya ketika tangannya bertemu dengan tangan orang yang menghantamnya itu. Tadi dia masih tergetar oleh benturan-benturan tenaga dari si pemuda bule yang mendatangkan rasa dingin sekali, dan sekarang, benturan tenaga ini mendatangkan rasa hangat dan nyaman, nikmat, seolah-olah dia baru saja diserang hawa dingin lalu mendapatkan kehangatan dari perapian atau selimut hangat yang halus. Sukar dilukiskan rasanya, amat enak dan menyenangkan. Akan tetapi ketika dia memandang ke arah lengan kirinya yang tadi terbentur dengan lengan lawan dan yang mendatangkan rasa nyaman itu, dia terbelalak dan hampir saja menjerit. Ternyata lengan bajunya hancur lebur dan kulit tangannya rusak seperti habis disiram minyak mendidih.

   "Celaka....!"

   Serunya dan dia cepat menoleh ke kiri. Di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih dan berambut putih pula. Pemuda berambut putih! Muka Boan-wangwe berubah pucat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Apakah ini orangnya yang disebut-sebut di dalam pertemuan di lembah itu? Inikah dia si Siluman Kecil? Bulu tengkuknya meremang. Tak mungkin tokoh yang menggegerkan dunia kang-ouw itu masih begini muda! Siapapun adanya orang ini, jelas orang ini memiliki ilmu pukulan yang seperti ilmu iblis! Mengerikan sekali! Maka Boan-wangwe tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Cepat dia meloncat ke belakang dan menggunakan huncwenya sebagai sumpitan.

   Siluman Kecil sudah siap waspada karena dia tadi telah menyaksikan sendiri betapa lihai dan berbahayanya senjata sumpitan itu. Dia harus mengelak kalau dia ingin selamat, sama sakali tidak boleh menangkis, karena justeru di situlah letak bahayanya peluru-peluru kecil itu. Sekali ditangkis, peluru akan meledak dan jarum-jarum halus yang agaknya beracun akan menyerangnya tanpa dapat dielakkannya lagi karena selain terlalu dekat juga terlalu halus tidak dapat dilihat nyata. Maka begitu ada suara bersuitan dan ada sinar-sinar hitam menyambar, Siluman Kecil lalu menggerakkan tubuhnya dan dia pun sudah berloncatan ke sana-sini dengan kecepatan yang amat luar biasa. Seperti kilat menyambar-nyambar saja layaknya. Setiap kali berloncatan, dia hanya menggunakan satu kaki saja untuk mengenjot tubuhnya, seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki.

   Kaki yang sebuah lagi ditekuk ke belakang. Akan tetapi, loncatannya itu demikian tiba-tiba dan tubuhnya dapat melejit ke sana-sini, mencelat ke kanan kiri, depan belakang, atas bawah seperti sebuah bola saja melambung ke sana-sini. Cepatnya bukan main karena tubuhnya seolah-olah tidak lagi berloncatan, melainkan melenting ke sana-sini karena memantul kembali. Pertunjukkan ginkang yang diperlihatkan oleh Siluman Kecil ini benar-benar amat luar biasa sekali. Tubuhnya seperti telah menjadi banyak loncat ke sana-sini, jungkir balik, melayang ke atas, menyentuh atap dan menukik turun seolah-olah kepalanya akan menyentuh lantai, lalu membuat salto sampai lima enam kali berturut-turut, berbalik kembali ke atas, selalu meluncur diantara hujan peluru kecil itu.

   Kakinya menotol ke sana-sini, menjejak dinding tembok, hinggap di atas meja, di atas bangku, melayang lagi ke atas kepala Boan-wangwe, bahkan pernah kaki itu menyentuh pundaknya dan menggunakan pundak lawan untuk mencelat ke lain bagian, terus mengelak. Warung itu menjadi sasaran ledakan-ledakan peluru yang mengenai tembok, meja dan bangku sehingga kini semua pelayan termasuk pemilik warung yang bersembunyi, tidak urung terkena jarum halus dan semua roboh pingsan di atas lantai di mana mereka bersembunyi! Pada saat itu muncul seorang laki-laki yang masih muda, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Dia tiba di ambang pintu dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak.

   Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hebat!"

   Serunya ketika dia melihat tubuh Siluman Kecil yang melayang-layang.

   "Ah....!"

   Dia berteriak kaget ketika melihat peluru-peluru kecil yang meledak itu pecah dan menyebar jarum-jarum lembut yang beracun. Dia melihat banyak orang rebah di lantai akibat serangan jarum-jarum halus itu.

   "Tahan....!"

   Laki-laki ini berseru, suara melengking nyaring dan tubuhnya mendoyong ke depan, hampir menelungkup, dan tiba-tiba badannya meluncur ke depan, cepat sekali, lengan bajunya yang kiri berkibar-kibar dan bergerak-gerak ke kanan kiri seperti seekor ular yang hidup. Dan semua peluru yang kesasar dan menyambar ke arahnya, semua lenyap seperti tertelan atau tergulung oleh lengan baju itu, kemudian dengan gerakan yang bukan main gesitnya, dia mendekati Boan-wangwe dan ujung lengan baju yang seperti ekor naga itu bergerak-gerak di depan sumpit dan menggulung semua peluru yang disemburkan keluar, sampai akhirnya habislah peluru yang berada di mulut Boan-wangwe. Boan-wangwe terkejut bukan main. Pelurunya habis. Tidak ada lagi yang boleh diandalkannya untuk menghadapi lawan-lawan yang amat sakti ini.

   Baru menghadapi pemuda rambut putih yang disangkanya tentu Siluman Kecil itu saja, dia sudah kewalahan dan tak mungkin bisa menang, sekarang muncul lagi orang aneh ini yang dengan lengan baju yang kosong dapat membikin peluru-pelurunya yang ampuh dan berbahaya itu mati kutu sama sekali! Laki-laki tampan dan gagah perkasa itu ternyata memang hanya berlengan satu. Lengan kirinya buntung, maka lengan baju kirinya itu kosong. Akan tetapi hebatnya, justeru lengan baju yang kosong inilah yang amat lihai, yang seolah-olah merupakan ekor naga yang hidup dan mampu menangkap peluru-peluru berbahaya itu. Dengan sikap tenang, orang itu menggunakan tangan kanannya mengambil peluru-peluru kecil yang tergantung oleh lengan baju kirinya, memberikannya kepada Boan-wangwe. sambil berkata dengan suara penuh teguran,

   "Terimalah kembali peluru-pelurumu! Akan tetapi jangan begltu kejam lagi untuk menghamburkan barang-barang beracun yang keji ini di tempat umum. Lihatlah orang-orang itu yang menjadi korban. Engkau harus mengobati mereka."

   Boan-wangwe menerima peluru-pelurunya tanpa berkata-kata, masih terkejut sekali menyaksikan orang-orang yang begini sakti. Si lengan buntung itu melirik ke arah Siluman Kecil yang sedang berjongkok memeriksa wanita baju hijau dan suhengnya yang masih pingsan. Dia sudah memeriksa dan maklum bahwa mereka itu benar saja menjadi korban racun jarum-jarum halus, akan tetapi racunnya amat aneh dan dia tidak mampu mengobati mereka.

   Melihat kekejaman orang yang menyebar jarum halus beracun yang amat keji itu, marahlah Siluman Kecil dan dia menoleh untuk memandang kepada Boan-wangwe dengan geram. Akan tetapi pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong seperti mata naga, yaitu mata laki-laki yang buntung lengan kirinya itu. Keduanya kelihatan terkejut sekali, karena si lengan satu itu pun melihat sinar mata yang amat tajam berkilat dari mata pemuda berambut putih itu. Dari pandang mata ini saja keduanya maklum bahwa masing-masing memiliki kesaktian yang hebat, karena hanya mata orang-orang yang telah memiliki tenaga sakti amat kuat sajalah yang mengeluarkan sinar seperti itu.
Laki-laki berlengan buntung itu bukan hanya terkejut melihat sinar mata berkilat dari Siluman Kecil,

   Juga dia terkejut dan kagum sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa orang berambut putih yang memiliki kepandaian demikian dahsyatnya, yang memiliki gerakan yang demikian cepat dan mujijatnya, ternyata masih amat muda. Hal ini dapat dia lihat dari sebagian muka yang tidak tertutup oleh rambut putih riap-riapan itu. Tadinya melihat kelihaian orang itu dan melihat rambutnya yang putih, dia mengira bahwa tentu orang itu sudah tua dan merupakan seorang lo-cianpwe yang sakti. Siapa mengira bahwa orang itu ternyata masih amat muda, hanya rambutnya yang sudah putih semua. Siluman Kecil sebaliknya terkejut dan kagum karena orang yang lengannya buntung sebelah itu memiliki sinar mata yang mencorong seperti mata harimau atau naga. Sejenak mereka beradu pandang, akhirnya keduanya mengangguk, terdorong oleh rasa kagum dan hormat.

   "Sungguh hebat sekali ilmu kepandaian saudara, terutama ilmu ginkang tadi. Saya amat kagum melihatnya,"

   Kata laki-laki berlengan sebelah itu.

   "Hemmm.... tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian saudara!"

   Jawab Siluman Kecil sambil menggerakkan kepala sehingga makin banyak rambutnya yang menutupi muka, dan dia bangkit berdiri.

   "Ah, saudara terlalu merendahkan diri,"

   Kata Si lengan satu.

   "Tidak, saya berkata sungguh-sungguh. Caraku menghadapi peluru-peluru tadi hanya dengan mengelak terus sambil mencari kesempatan untuk membekuknya. Akan tetapi saudara telah langsung menghadapi peluru-peluru tadi dan merampas semua peluru sebelum meledak. Cara saya tadi menimbulkan korban kepada orang-orang lain ketika peluru meledak, tentu saja cara saudara lebih tepat dan lebih baik. Ilmu saudara tadi sungguh mengagumkan!"

   Kembali Siluman Kecil menjura dengan setulus hatinya karena harus dia akui bahwa selain Sin-siauw Seng-jin kakek yang mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, belum pernah dia bertemu orang yang kepandaiannya sehebat si lengan satu ini.

   "Ah, saudara terlalu memuji dan terlalu merendahkan diri, sungguh makin mengagumkan hati saya!"

   Kata Si lengan satu sambil memandang penuh selidik dan benar-benar merasa kagum sekali. Siluman Kecil tidak mengacuhkannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri Boan-wangwe, berkata dengan nada mengancam,

   "Manusia kejam! Kalau engkau tidak lekas mengeluarkan obat penawar racunmu yang jahat, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan melumatkan kepalamu!"

   "Dan aku pun tidak akan tinggal diam sebelum kau mengobati mereka sampai sembuh!"

   Kata pula Si lengan satu sambil menghampir Boan-wangwe. Bekas bajak sungai yang lihai ini bukan orang bodoh untuk melawan dua orang sakti ini.

   "Baiklah,"

   Katanya dengan suara berat.

   "Aku pun tidak bermaksud membunuh orang karena pertempuran ini hanya disebabkan oleh urusan kecil saja!"

   Dia lalu mengeluarkan sebuah guci arak dan setelah dia menggunakan saputangan yang dibasahi dengan obat dari dalam guci itu untuk menggosok-gosok bagian yang terkena jarum halus dan meneteskan sedikit obat di lubang hidung mereka yang menjadi korban, orang-orang yang tadinya pingsan itu berbangkis beberapa kali dan sadar kembali. Melihat ini, Siluman Kecil yang tidak ingin dirinya menjadi pusat perhatian, menyelinap pergi dengan cepat. Pula, dia ingin cepat-cepat memenuhi tantangan Ang-siocia dan mencari pencuri pusaka yang agaknya ditinggal oleh Sin-siauw Seng-jin itu di pantai Po-hai. Dia mendengar suara orang berlengan sebelah memanggilnya, akan tetapi dia malah mempercepat larinya karena justeru dia tidak ingin dikenal oleh orang gagah itu.

   Setelah semua korban disembuhkan, baru laki-laki berlengan buntung itu membiarkan Boan-wangwe bersama para anak buahnya pergi meninggalkan warung. Derap kaki kuda mereka terdengar berisik ketika mereka rneninggalkan warung Diam-diam Boan-wangwe menyadari betapa pentingnya golongan mereka untuk bersatu, mengingat demikian banyaknya orang-orang sakti yang menentang mereka. Sementara itu, suheng dan sumoi bersama lima orang pengiringnya itu segera menghaturkan terima kasih kepada si lengan satu, kemudian juga bergegas pergi meninggalkan warung setelah dengan royal mengganti semua harga makanan dan mengganti semua harga barang-barang yang rusak akibat pertempuran itu kepada si pemilik warung.

   Tentu saja pemilik warung menjadi girang sekali dan dalam kesempatan itu dia dapat menarik keuntungan yang tidak sedikit, karena tentu saja dia naikkan semua harga barang yang diganti oleh wanita baju hijau itu. Kini warung itu menjadi sunyi kembali. Yang tinggal hanyalah laki-laki tampan berlengan sebelah tadi. Bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi hal-hal hebat di warung itu, laki-laki ini lalu memilih tempat duduk di sudut, di mana meja dan bangkunya masih utuh dan dia memanggil si pemilik warung. Orang ini bergegas menghampiri karena maklum bahwa pendekar berlengan satu ini merupakan seorang di antara golongannya, di samping Siluman Kecil yang telah pergi lebih dulu.

   "Taihiap hendak memerintah apakah?"

   Tanya si pemilik warung dengan sikap merendah.

   "Lopek, harap buatkan masakan untukku. Masakan apa sajakah yang dapat kau sediakan?"

   "Wah, untuk Taihiap saya sanggup masak apa saja. Akan tetapi, warung kami ini teristimewa menyediakan hidangan-hidangan dari ikan sungai."

   "Nah, kalau begitu buatkan goreng udang bumbu tomat lima porsi, ikan lele ditim lima porsi, panggang telur ikan dua porsi, masak kuah daging kepiting lima porsi, ang-sio-hi dua porsi besar, bakso daging ikan satu panci, masak sirip ikan campur sarang burung dan telur dua porsi. Jangan lupa bumbu dan acarnya! Dan bakmi telur lima porsi!"

   "Baik.... baik....!"

   Pemilik warung mengangguk-angguk, sungguhpun di dalam hatinya merasa heran sekali mengapa ada satu orang memesan masakan demikian banyaknya! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. Bukankah pendekar ini telah mendatangkan keuntungan besar sekali baginya, di samping menyelamatkannya? Andaikata tidak dibayar semua masakan yang dipesan itu sekalipun, dia rela memberikanya sebagai tanda terima kasih!

   Bergegas dia lari ke dapur untuk memimpin sendiri masakan besar itu. Karena di situ tidak ada tamu lain sedangkan semua tenaga dikerahkan untuk melayani laki-laki berlengan buntung itu, maka terdengarlah kesibukan di dalam dapur, suara golok mencacah daging beradu dengan kayu landasan, suara api bergemuruh, suara minyak mendidih dan alat masak beradu dengan wajan berkerontangan. Sementara itu, laki-laki berlengan buntung itu duduk termenung. Siapakah laki-laki ini? Para pembacacerita Kisah Sepasang Rajawali tentu sudah dapat menduganya dengan tepat siapa adanya laki-iaki tampan yang berlengan buntung sebelah ini. Dia adalah Kao Kok Cu, putera sulung Jenderal Kao Liang, murid Go-bi Bu Beng Lojin yang terkenal de-ngan sebutan Si Dewa Bongkok.

   Seperti telah diceritakan dalamcerita Kisah Sepasang Rajawali, Kao Kok Cu berjodoh dengan Ceng Ceng atau nama lengkapnya Wan Ceng atau Lu Ceng, puteri dari mendiang Wan Keng In dan Lu Kim Bwee, adik angkat dari Puteri Syanti Dewi. Setelah bertemu dengan Ceng Ceng, mereka menikah dan Kao Kok Cu mengajak isterinya kembali ke Istana Gurun Pasir, istana tempat tinggal gurunya di gurun pasir Go-bi di mana mereka hidup rukun dan damai, penuh kasih sayang dan sudah menjauhkan diri dari urusan dunia ramai. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Kao Kok Cu ini sejak kecil hilang karena tersesat di gurun pasir dan ditolong kemudian dipelihara dan dididik oleh gurunya. Setelah dewasa, barulah dia kembali ke selatan mencari orang tuanya dan dalam perjalanan ini dia berjumpa dengan Ceng Ceng,

   Jatuh cinta dan setelah mengalami banyak lika-liku dalam pengalaman hidup yang amat hebat, sehingga dia terpaksa menyembunyikan mukanya di balik topeng yang membuat dia dikenal sebagai Topeng Setan, dan dia kehilangan lengan kirinya ketika membantu Ceng Ceng mencari obat, yaitu anak ular naga, akhirnya dapat juga dia dan Ceng Ceng bersatu sebagai suami isteri yang saling mencinta. Akan tetapi, memang segala sesuatu tidak ada yang kekal di dunia ini. Keadaan kehidupan setiap orang manusia selalu berubah. Yang berada di atas setiap waktu bisa saja tergelincir ke bawah, sebaliknya yang berada di bawah juga bisa saja sewaktu-waktu naik ke atas. Oleh karena itu, tentu saja keliru kalau orang menjadi besar kepala dan sombong selagi dia berada di atas, sama kelirunya dengan orang yang menjadi putus asa selagi dia berada di bawah.

   Hanya orang yang wajar dan tidak mengharapkan apa-apa saja yang akan selalu merasa gembira dan bahagia, kalau dia berada di atas, dia tidak khawatir akan tergelincir ke bawah dan kalau dia berada di bawah, dia pun tidak membabi buta mengejar-ngejar tempat yang lebih tinggi. Kalau dia berada di atas, dia tidak menginjak yang berada di bawah, dan kalau dia berada di bawah, dia tidak pula menjilat yang berada di atas! Keadaan suami isteri Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, yang menjadi majikan dan keluarga Istana Gurun Pasir, yang hidup selama beberapa tahun dalam keadaan tenteram dan rukun, kemudian mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil, menjadi berubah sama sekali ketika putera mereka itu pada suatu hari lenyap tanpa meninggalkan jejak! Peristiwa ini seketika menghancurkan semua ketenangan hidup suami isteri itu,

   Dan mau tidak mau terpaksa mereka harus meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi merantau dan mencari putera mereka dan lenyap! Itulah sebabnya mengapa pada hari itu majikan Istana Gurun Pasir, Kao Kok Cu yang dikenal sebagai Si Naga Sakti itu berada di kota An-yang, dan kebetulan sekali dia melihat pertempuran di dalam warung dan membantu Siluman Kecil menundukkan Boan-wangwe. Untuk lebih teliti dan mencari jejak putera mereka yang hilang, kemarin dia berpisah dari isterinya, masing-masing mengambil jalan sendiri dan mereka berjanji akan bertemu hari ini di An-yang. Dia sendiri sejak kemarin telah menyelidik tanpa hasil dan kini semua peristiwa tadi telah dilupakannya karena pikirannya sudah penuh lagi dengan urusan lenyapnya puteranya yang membuat pendekar ini duduk termenung.

   Bahkan ketika semua hidangan yang dipesannya telah diatur di atas meja di depannya, pendekar ini masih saja duduk termenung, tidak mempedulikan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dengan baunya yang sedap menyergap hidung dan melayang-layang tercium oleh mereka yang berada di luar warung. Melihat betapa pendekar itu mendiamkan saja masakan yang sudah dipersiapkan dengan susah payah itu, si pemilik warung yang seperti juga pemilik warung mana saja di dunia ini ingin sekali melihat tamunya menikmati hidangannya dan sejak tadi menanti dengan pandang mata berseri-seri penuh kebanggaan, menjadi tidak sabar dan dia menghampiri pendekar itu.

   "Taihiap, masakan sudah siap semua. Silakan Taihiap makan dan menikmatinya selagi masih panas, karena kalau keburu dingin tentu kurang sedap."

   Akan tetapi, dengan sikap tak acuh dan kurang semangat, Kao Kok Cu menjawab,

   "Biarlah, aku memang sedang menanti isteriku. Sebentar lagi dia tentu akan datang. Tidak mengapalah kalau masakan-masakan itu menjadi sedikit dingin."

   Dengan mengangkat pundak penuh rasa kecewa si pemilik warung terpaksa mundur dan duduk di belakang menjaga mejanya, akan tetapi kini berkurang keheranannya mengapa pendekar itu memesan masakan begitu banyak. Ternyata pendekar itu menanti kedatangan isterinya dan tentu juga keluarga lainnya. Seorang pengemis kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun memasuki warung itu. Para pelayan dan pemilik warung itu sudah hampir mengusirnya ketika pendekar itu dengan ramah berkata,

   "Anak, kau mau apakah?"

   Pengemis itu cengar-cengir, hidungnya kembang kempis karena bau masakan yang sedap itu sungguh seperti tangan-tangan jahil yang meremas-remas isi perutnya yang kosong.

   "Saya.... saya mohon dikasihani, minta sedikit uang pembeli nasi...."

   Katanya. Si Naga Sakti memandang bengong sejenak, kemudian dia menggeleng kepala.

   "Aku tidak pernah membawa uang, dan isteriku yang membawa uang belum datang. Apakah kau lapar?"

   Jembel kecil itu mengangguk dan matanya memandang ke arah piring-piring berisi masakan yang masih mengepulkan uap dan yang berjajar menantang di atas meja itu. Kao Kok Cu lalu berkata sambil melihat kaleng yang dibawa oleh anak pengemis itu.

   "Kesinikan kalengmu itu."

   Si pengemis dengan girang menyerahkan kalengnya dan Kao Kok Cu lalu mengisi kaleng itu penuh dengan beberapa macam masakan dan bakmi, lalu menyerahkannya kembali kepada anak itu.

   "Terima kasih.... terima kasih...."

   Anak itu menyambut kaleng yang telah penuh makanan dan separuh berlari dia ke luar dari warung itu dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh kegembiraan. Akan tetapi, tak Lama kemudian masuklah seorang anak pengemis lainnya sambil menodongkan kaleng kosongnya. Kao Kok Cu menerima kaleng kosong itu, meletakkannya di atas meja dan kembali mengisinya dengan masakan. Anak itu menghaturkan terma kasih, dan datang pula seorang anak lain.

   Kiranya peristiwa itu telah memancing datangnya hampir semua jembel kecil di kota An-yang itu yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang anak! Tentu saja, setelah semua orang pengemis kecil itu menerima bagiannya, semua masakan di atas meja telah habis sama sekali! Para pelayan memandang dengan mata terbelalak dan si pemilik warung membanting-benting kakinya, akan tetapi sama sekali dia tidak berani melarang atau mencegah karena melihat pendekar itu membagi-bagi makanan dengan wajah terharu, kemudian tersenyum ketika dia melihat anak-anak itu makan sambil tertawa-tawa di emper warung, dan kadang-kadang mereka menoleh ke dalam, memandangnya seperti mata anjing-anjing yang baru saja diberi makan dan dibelai oleh majikannya. Pandang mata yang jelas membayangkan rasa gembira dan terima kasih yang mendalam.

   "Terima kasih, Siauw-ya! Terima kasih, Siauw-yang! Terima kasih, Siauwya!"

   Anak-anak itu bersorak-sorak dan berteriak-teriak dari luar warung, ada yang bertepuk tangan dan ucapan terima kasih itu mereka nyanyikan dalam paduan suara penuh kegembiraan. Akan tetapi, Kao Kok Cu hanya tersenyum dan memandang keluar karena dia melihat dua orang wanita berjalan menuju ke warung itu.

   Seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa, dan yang paling cantik di antara seluruh wanita di dunia ini bagi Kao Kok Cu yang mencintanya karena wanita itu adalah Wan Ceng atau Lu Ceng, atau lebih terkenal dengan sebutan Ceng Ceng, isterinya! Dan wanita ke dua adalah seorang dara remaja yang cantik jelita pula, berpakaian serba hitam sehingga menonjolkan kulitnya yang putih halus itu. Dara jelita itu adalah Kim Hwee Li, murid dari isterlinya, atau puteri dari Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau Neraka! Ketika Ceng Ceng yang wajahnya agak pucat dan muram karena selalu memikirkan nasib puteranya dengan hati gelisah itu melihat suaminya menjamu para jembel kecil demikian banyaknya sehingga semua masakan di atas meja telah ludes, dia menegur,

   "Hemmm, apa pula yang kau lakukan ini?" "Wah, kedatanganmu terlambat, isteriku. Makanan yang kupesan telah dihabiskan oleh tamu-tamu kita itu. Engkau terlambat sekali sih!"

   Dia membalas teguran isterinya. Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan gemas. Kelakuan suaminya memang aneh, akan tetapi kadang-kadang juga membikin hatinya mengkal, seperti sekarang ini. Dia berjanji akan bertemu dengan suaminya di kota An-yang ini, dan setelah bertemu dan perutnya lapar sekali, suaminya menyambutnya dengan piring-piring kosong karena semua masakan telah diberikan habis kepada pengemis-pengemis kecil itu! Hati siapa tidak akan men-dongkol? Melihat gurunya yang cantik itu cemberut dan marah, Hwee Li tertawa dan menutupi mulutnya dengan tangan seperti menyaksi-kan hal yang lucu sekali.

   "Wah, Suhu telah membikin pusing lagi kepada Subo! Hi-hik, Suhu harus didenda dengan minuman tiga cawan arak sebagai tambahan minta ampun kepada Subo! Kalau tidak, Subo akan marah terus!"

   "Hwee Li, jangan main-main kau!"

   Ceng Ceng membentak muridnya yang menahan ketawa dan duduk di dekat meja. Akan tetapi, Kao Kok Cu memandang ke luar, kepada seorang pengemis muda yang duduk di emper rumah di seberang jalan. Dia ingat bahwa pengemis yang satu itu belum memperoleh bagian tadi, maka dia lalu menegur kepada pengemis-pengemis cilik yang berada di dekat pintu warung,

   "Heiii, kenapa temanmu yang di seberang jalan itu tidak kalian beri bagian makanan?"

   "Ah, Siauw-ya, apakah Siauw-ya maksudkan dia yang duduk di sana itu? Dia adalah Siauw-ong-ya, mana dia mau? Dia tidak pernah minta-minta, kalau kami beri tentu kami semua akan dihajar. Kami tidak berani!"

   Tentu jawaban ini membuat Kao Kok Cu, Ceng Ceng dan Hwee Li merasa heran sekali dan mereka bertiga lalu memandang ke arah pengemis muda yang disebut Siauw-ong-ya oleh para pengemis kecil itu. Dan seolah-olah tahu bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, pengemis muda itu bangkit berdiri, menghadap ke arah warung dan mulutnya berkemak-kemik. Tiga orang keluarga sakti itu mendengar dengan jelas suaranya yang bergema,

   "Terima kasih atas perhatian Siauw-ya kepada saya. Akan tetapi tidak perlu Siauw-ya mempedulikan saya. Saya sudah merasa bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Siauw-ya mau mengasihani kawan-kawan saya."

   Lalu dia berteriak kepada para pengemis kecil itu,

   "Hei, anak-anak, hayo haturkan terima kasih sekali lagi dan cepat pergi, jangan mengganggu terus."

   Anak pengemis itu ternyata amat mentaati seruan pengemis muda itu. Mereka beramai-ramai menyatakan terima kasih mereka kepada Kao Kok Cu, lalu menjura dan berlari-larian pergi dari tempat itu seperti sekawanan burung yang beterbangan bebas dan gembira. Pengemis muda itu sendiri pun melenggang seenaknya meninggalkan emper rumah di seberang jalan itu.

   "Hemmm, lagaknya! Kaum jembel pun mempunyai raja segala! Dan bocah itu raja mudanya! Hi-hik, kalau tidak melihat sendiri siapa percaya?"

   Hwee Li berkata sambil tertawa geli.

   "Husss!"

   Ceng Ceng menegur muridnya.

   "Jangan kau bicara sembarangan, Hwee Li. Apakah kau tidak melihat kenyataan bahwa pengemis muda itu bukan orang sembarangan? Semuda itu dia sudah pandai mengirim suara dari jauh dan khikangnya cukup kuat."

   Dengan cepat Ceng Ceng lalu memesan makanan kepada pemilik warung yang melayaninya dengan penuh perhatian.

   "Bagaimana hasil penyelidikanmu? Sudah mencium jejak?"

   Tanya Ceng Ceng kemudian kepada suaminya. Kok Cu menggeleng kepala.

   "Belum...."

   Jawabnya dengan wajah muram dan sepasang matanya kini melayang jauh, mengikuti anak-anak pengemis yang pergi dari situ. Isterinya juga memandang kepada anak-anak itu, maklum akan isi hati suaminya, dan kini dia mengerti mengapa suaminya tadi menjamu anak-anak pengemis itu. Tentu suaminya teringat akan anak mereka yang hilang dan sampai sekarang belum dapat mereka temukan jejaknya, membayangkan betapa anak mereka itu mungkin juga terlantar dan kelaparan seperti anak-anak pengemis itu!

   Ceng Ceng merasa lehernya seperti dicekik dan hanya kekerasan hatinya yang luar biasa sajalah yang mampu membuat dia menahan jatuhnya air matanya. Mereka berdua telah bersusah payah mencari-cari di seluruh padang pasir. Dalam penyelidikan mereka, anak mereka itu bukan hilang diculik orang karena yang nampak dari dalam istana mereka sampai di luar, hanya tapak kaki anak mereka, tidak nampak tapak kaki orang lain. Tapak kaki anak mereka itu menuju ke luar dan tentu saja tak lama kemudian tapak kaki itu lenyap diratakan lagi oleh angin sehingga mereka tidak mampu menemukan jejak anak mereka. Agaknya anak itu bermain-main di luar, lalu bermain-main terlalu jauh dan tersesat, tidak mampu pulang kembali.

   "Hemmm, sungguh mengherankan sekali. Kenapa anak kita mengalami peristiwa yang sama dengan pengalamanku ketika masih kecil? Aku dulu juga hilang di gurun pasir ketika masih kecil dan ayahku tidak berhasil menemukan. Baru setelah aku berusia dua puluh lima tahun aku dapat bertemu lagi dengan ayah dan keluargaku. Jangan-jangan Liong-ji (Anak Liong) juga...."

   "Jangan kau bicara demikian, suamiku!"

   Ceng Ceng cepat memotong kata-kata suaminya yang menusuk perasaannya dan menimbulkan kekhawatiran besar didalam hatinya.

   "Kita harus mencari sampai dapat dan aku yakin kita akan dapat menemukan kembali Cin Liong!"

   "Ucapan Subo benar sekali!"

   Hwee Li berkata dengan wajahnya yang tetap berseri cerah dan gembira.

   "Tidak mungkin ada orang lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Kita pasti akan dapat menemukan kembali Adik Cin Liong, dan teecu (murid) akan menjelajahi seluruh dunia golongan hitam untuk menyelidiki kalau-kalau di antara mereka ada yang melihat putera Subo."

   Ucapan dan sikap Hwee Li amat menghibur suami isteri yang sedang kebingungan dan dilanda kegelisahan itu,

   Namun tetap saja hidangan masakan di depan mereka itu hampir tidak dapat tertelan kalau mereka mengingat betapa anak mereka yang hilang itu usianya baru empat lima tahun dan betapa akan sengsaranya bagi anak sekecil itu untuk merana seorang diri, apalagi perginya dari Istana Gurun Pasir itu melalui padang pasir yang luas, panas dan amat berbahaya! Pagi yang cerah. Sinar matahari yang masih menciptakan bayangan-bayangan panjang memuntahkan cahayanya dengan langsung ke bumi, tanpa halangan awan karena langit nampak biru muda dan bersih sekali, bersih dan amat tinggi. Sinar matahari di saat itu mengandung daya hidup yang mukjijzat di dalam kehangatan yang tidak terlalu panas, namun kehangatan yang dapat menembus apa saja dan memberi daya hidup kepada bumi dan apa saja yang berada di permukaannya.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 38 Kisah Sepasang Rajawali Eps 14 Kisah Sepasang Rajawali Eps 31

Cari Blog Ini