Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 16


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



Awan-awan putih yang agaknya menjauh, tidak berani menghalangi berkah yang berlimpahan itu berarak di angkasa, bergerak perlahan-lahan seperti bermalas-malasan, namun semua gerakan itu teratur rapi dan selalu berubah bentuknya, seolah-olah ada tangan gaib yang mengatur awan-awan itu, memilih dan memisah-misahkannya, mengumpul-ngumpulkannya, untuk digiring ke tempat yang membutuhkan hujan kelak. Tidak ada angin berkelisik. Daun-daun yang bermandikan cahaya matahari nampak kekuningan seperti bermandikan cahaya keemasan, berseri-seri mengelilingi bunga-bunga yang mencuat di sana-sini, dan kupu-kupu bersayap kuning dan putih menyemarakkan suasana yang penuh dengan suka cita di pagi hari itu. Berkelompok-kelompok kecil burung-burung terbang lewat di udara tanpa suara, menuju ke sawah ladang di mana terdapat makanan berlimpah bagi mereka.

   Orang-orang yang berpakaian seperti penduduk dusun, membawa bermacam-macam barang dagangan hasil kebun mereka, berlalu-lalang di jalan raya itu pergi ke dan pulang dari kota An-yang yang menjadi pasar bagi barang dagangan hasil bumi mereka. Yang berangkat dan memikul barang dagangan, kelihatan tergesa-gesa dan berjalan separuh berlari tanpa bicara, akan tetapi yang pulang ke dusun berjalan seenaknya sambil meng-obrol membicarakan hasil penjualan mereka dan belanjaan mereka. Siluman Kecil yang sudah keluar dari pintu gerbang kota An-yang, kini berdiri di luar tembok kota, memandang air yang mengalir di tepi tembok. Air itu memasuki kota dari sebelah barat dan keluar dari selatan. Ketika memasuki kota, air itu bersih dan jernih, akan tetapi setelah keluar dari kota,

   Air itu menjadi keruh, penuh dengan sampah-sampah dan segala kekotoran kota yang dicampakkan ke dalamnya. Kekeruhan air ini tidak akan berlangsung lama, karena beberapa mil jauhnya setelah meninggalkan kota, air sungai itu sudah akan menjadi jernih kembali. Melihat setangkai daun hijau yang agaknya rontok sebelum waktunya hanyut pula di air itu, Siluman Kecil mengikutinya dengan pandang matanya dan dia menarik napas panjang. Keadaannya seperti daun itu. Daun muda yang sudah hanyut seorang diri mengikuti ke mana air mengalir. Tidak tahu akan apa jadinya dengan dirinya. Seperti juga dia! Hanya mengikuti jalan peristiwa yang dijumpainya di jalan hidupnya. Siluman Kecil termenung dan tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara orang wanita yang cukup nyaring :

   "Kun Cu Souw Ki Wi Ji Heng. Put Goan Houw Ki Gwee!"

   Siluman Kecil mengerutkan alisnya. tentu saja dia hafal pula akan ujar-ujar itu karena dia pernah mempelajari semua pelajaran dari Nabi Khong Cu. Dia masih ingat bahwa ujar-ujar yang dinyanyi-kan mulut wanita itu adalah ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, ayat pertama dari bagian ke tiga belas, yang berarti :

   "Seorang kongcu (budiman) bertindak sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan hal-hal di luar dari kedudukannya."

   Siluman Kecil menarik napas panjang. Dia telah mengalami banyak sekali hal-hal yang amat pahit dalam kehidupannya dan kalau direnungkan secara mendalam, memang karena manusia menginginkan hal-hal yang tidak ada padanya, menginginkan sesuatu yang belum ada, yang tidak dimilikinya, yang berada di luar jangkauannya, dan KEINGINAN inilah yang menjadi biang keladi segala macam penyakit dan kesengsaraan hidup. Dia menarik napas panjang lagi. Sesungguhnyalah, bukan hanya seperti yang disadari oleh Siluman Kecil bahwa keinginan menjadi biang keladi kesengsaraan hidup. Bahkan keinginan itulah yang membuat kita kehilangan kesbahagiaan!

   Betapa tidak? Keinginan membuat mata kita buta terhadap segala keindahan yang telah kita miliki. Keinginan membuat kita meremehkan dan tidak dapat melihat keindahan yang sudah berada pada kita. Contohnya : Biarpun kita telah memegang sebutir buah apel di dalam tangan, namun kalau kita menginginkan buah anggur yang belum ada, mata kita seperti buta akan kelezatan buah apel yang sudah berada di tangan, menganggapnya tidak enak dan tidak memuaskan dan yang paling memuaskan adalah buah anggur yang kita inginkan, yang belum ada itulah! Karena itu mari kita mencoba untuk membuka mata dan melihat segala sesuatu yang sudah ada pada kita, melihat keindahannya, tanpa membanding-bandingkan dengan yang belum ada, tanpa membayangkan yang lain-lain,

   Maka kita akan melihat keindahan dan akan terbuka mata kita bahwa sesungguhnya selama ini kita hanya diombang-ambingkan oleh pikiran kita yang selalu haus akan hal-hal yang belum ada pada kita! Kita selalu beranggapan bahwa kebahagiaan berada di sana, yang harus kita kejar-kejar, sama sekali kita tidak pernah mau melihat, apa yang berada di sini, yang sudah ada pada kita. Kita seperti mengejar-ngejar bayangan kita, biar dikejar sampai selama hidup pun tidak akan dapat tersusul, kita tidak pernah mau berhenti dan menyelidiki apa gerangan bayangan itu, lupa bahwa bayangan itu adalah kita sendiri, karena kitalah yang menciptakan bayangan yang kita kejar-kejar itu! Siluman Kecil sadar kembali dari lamunannya ketika dia mendengar suara tadi bernyanyi terus. :

   "Cai Shang Wi, Put Leng He. Cai He Wi, Put Wan Shang."

   Siluman Kecil mengangguk-angguk, menterjemahkan ujar-ujar itu dalam hatinya.

   "Dalam kedudukan tinggi, dia tidak menghina yang di bawah. Dalam kedudukan rendah, dia tidak menjilat yang di atas. Betapa sukarnya mencari seorang kuncu (budiman) seperti itu! Sudah lajim di dunia ini, orang selalu memandang rendah kepada orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada kita, kita suka menginjak dan meremehkan orang-orang yang berada di bawah kita, kita merasa jijik kepada kaum jembel, kita menjebikan bibir terhadap orang-orang miskin dan papa, kita merendahkan mereka yang bekerja kasar dan yang kedudukannya jauh lebih rendah daripada kita. Sebalikya, sudah menjadi KESOPANAN masyarakat bahwa kita selalu bersopan santun kepada orang-orang yang tinggi kedudukannya, kita bermanis muka kepada orang-orang kaya, kita menjilat-jilat kepada pejabat tinggi. Betapa palsunya kita ini! Betapa kejamnya kita ini! Namun kita marah kalau dinyatakan bahwa kita tidak memiliki perikemanusiaan!"

   Siluman Kecil makin dalam tenggelam dalam renungannya. Dia mengenal ujar-ujar itu yang merupakan ayat ke tiga dari bagian ke tiga belas itu, dan dia masih ingat pula akan bagian selanjutnya, yang berbunyi,

   "Dia memperbaiki diri sendiri dan tidak mencari kesalahan orang lain, maka dia tidak mempunyai penyesalan apa pun. Ke atas dia tidak menyalahkan Thian dan ke bawah dia tidak menyalahkan manusia lain."

   Setelah suara itu berhenti bernyanyi, Siluman Kecil menoleh. Timbul keinginan tahunya untuk melihat siapa gerangan yang di tempat seperti itu menyanyikan ujar-ujar yang mengandung sari pelajaran amat tinggi itu. Dan dia tertegun. Di bawah sebatang pohon yang rindang nampak seorang nenek tua sedang duduk di atas tanah berumput, menghadap barang dagangannya yang bertumpuk di atas tikar terhampar. Seorang nenek tua penjual sepatu rumput rupanya! Dan nenek itulah yang tadi bernyanyi. Memang harus diakui bahwa ujar-ujar dari Nabi Khong Hu Cu dikenal oleh semua orang yang pernah bersekolah, sungguhpun sebagian besar orang hanya mengenalnya sebagai ujar-ujar belaka tanpa menghayati isinya, tanpa meneliti diri sendiri apakah ujar-ujar yang setiap hari keluar dari mulutnya, terus-menerus diulang-ulanginya itu ada pula terkandung dalam langkah hidupnya sehari-hari.

   Akan tetapi, mendengar ujar-ujar itu dinyanyikan oleh seorang nenek penjual sepatu rumput, dinyanyikan di tempat seperti itu, yaitu di luar kota di bawah pohon, sungguh merupakan hal yang amat janggal didengar. Biasanya, ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu atau ujar-ujar dari Agama Buddha hanya didengar di sekolah-sekolah, di kuil-kuil, atau dibicarakan di antara "orang-orang pandai"

   Sebagai bahan untuk berbantahan dan mempertahankan pendirian dan pentafsiran masing-masing, dan diperalat untuk membanggakan kepintarannya! Melihat nenek itu menghadapi dagangannya dan kelihatan sama sekali tidak laku, terbukti dari bertumpuknya sepatu rumput itu dan tidak ada seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang itu menengok ke arah nenek itu, apalagi membeli dagangannya, Siluman Kecil merasa kasihan. Nenek itu kelihatannya miskin, pandang matanya sayu, dan siapa tahu sudah berapa hari nenek itu tidak makan. Tubuhnya begitu kurus! Siluman Kecil cepat menghampiri dan berjongkok di depan dagangan nenek itu.

   "Nenek, apakah ada sepatu yang ukurannya cocok untuk kakiku?"

   Tanyanya, sambil memandang wajah keriputan itu. Akan tetapi dari sinar matanya, Siluman Kecil tahu bahwa nenek itu agaknya tidak mengerti atau mungkin juga tidak mendengar. Ketika nenek itu menaruh tangan di belakang daun telinganya, mengertilah dia bahwa nenek ini adalah seorang yang sudah berkurang pendengarannya atau agak tuli.

   "Apakah ada yang cocok dengan ukuran kakiku?"

   Tanyanya pula dengan suara lebih keras.

   "Oh, tentu ada.... ada....! Nah, ini agaknya cocok!"

   Nenek itu menyerahkan sepasang sepatu dan memandang wajah Siluman Kecil yang sebagian tertutup rambut putih penuh perhatian.

   "Agaknya Kongcu akan pergi ke selatan juga! Memang lebih enak pakai sepatu rumput, apalagi di selatan sana banyak hujan. Lebih hangat memakai sepatu rumput."

   Siluman Kecil mengukur sepatu itu dengan kakinya. Memang cocok. Agaknya pedagang sepatu ini sudah biasa mengira-ngira ukuran kaki orang yang datang membeli sepatunya.

   "Berapa harganya?"

   Dia bertanya.

   "Memang banyak yang ke sana. Kemarin banyak orang muda yang membeli sepatu saya pula, mereka hendak pergi ke selatan,"

   Jawab nenek itu dan Siluman Kecil baru sadar bahwa pertanyaannya yang kurang keras tadi telah didengar lain oleh Si Nenek, maka jawabannya pun kacau. Dia mengeluarkan uang tembaga dan mengangkat sepatu itu.

   "Harganya berapa?"

   "Ohhh...."

   Nenek itu tertawa dan nampak mulut yang ompong! Setelah nenek itu memberi tahu harga sepatu yang hanya beberapa potong uang tembaga, Siluman Kecil membayarnya tanpa menawar. Padahal dia tahu bahwa biasanya pedagang seperti ini menawarkan dagangannya dengan harga dua kali lipat dan biasanya fihak pembeli pasti juga menawar harga itu. Nenek itu kelihatan girang menerima pembayaran Siluman Kecil dan berkata,

   "Terima kasih. Mudah-mudahan Kongcu akan diterima menjadi perajurit."

   "Apa? Perajurit apa?"

   Siluman Kecil terheran mendengar itu.

   "Eh, apakah Kongcu bukan hendak pergi ke selatan seperti mereka itu, untuk memasuki ujian penerimaan perajurit?"

   "Hemmm, ada apakah di selatan sana?"

   "Kongcu belum tahu? Kabarnya Gu-bernur Ho-nan sedang mengadakan ujian untuk menerima calon-calon perajurit pengawal. Gajinya besar, kedudukannya tinggi, dan mereka yang terpilih akan dijadikan pengawal gubernur, atau kalau untung malah bisa diangkat menjadi calon pengawal pribadi."

   Tiba-tiba percakapan terhenti karena ada serombongan orang menghampiri nenek itu untuk membeli sepatu rumput. Yang membeli sepatu hanya dua orang, yaitu seorang kakek bertubuh tinggi tegap dan seorang setengah tua yang sikapnya pendiam dan matanya bersinar tajam. Sedangkan di belakang dua orang kakek ini terdapat sepuluh orang lain yang berpakaian ringkas dan sikapnya juga pendiam. Kakek berusia enam puluhan tahun yang bertubuh tinggi tegap itu melirik ke arah Siluman Kecil dan pandang matanya tajam penuh selidik. Siluman Kecil menundukkan muka, pura-pura memilih sepatu dan membiarkan rambutnya yang panjang itu menutupi mukanya seperti tirai. Setelah memilih sepatu dan membayar harganya, kakek itu bertanya kepada si pedagang sepatu,

   "Apakah banyak orang yang lewat ke sini dan menuju ke Ceng-couw, ibu kota Ho-nan?"

   Suaranya besar, tegas dan berwibawa.

   "Banyak sekali.... banyak orang-orang muda yang hendak melamar pekerjaan pengawal. Agaknya Sicu semua ini juga hendak ke sana?"

   Kakek itu hanya menggumam, lalu bangkit berdiri dan bersama ternan-temannya meninggalkan tempat itu.

   "Wah, sungguh banyak sekali yang ingin melamar sebagai pengawal,"

   Kata Si Nenek.

   "Tentu ramai sekali di Ceng-couw sana, wah, kalau aku bisa berdagang sepatu di sana, tentu laris sekali!"

   "Kenapa kau tidak membawa sepatumu dan berdagang di sana saja?"

   Kata Siluman Kecil sambil bangkit berdiri pula.

   "Oh, jadi Kongcu juga ingin ke sana?"

   Tanya nenek itu yang kembali salah dengar. Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Repot juga bicara dengan seorang tuli. Dia mengangguk-angguk sebagai jawaban, tidak mau lagi berteriak-teriak karena terdengar seperti orang cek-cok saja sehingga tentu akan banyak menarik perhatian mereka yang lewat di jalan itu. Akan tetapi, jawabannya dengan anggukan itu membuat si nenek menjadi gembira dan nenek itu pun bangkit berdiri.

   "Kalau begitu, sebaiknya Kongcu naik kuda ke sana! Mungkin besok pagi sudah dimulai ujian itu dan Kongcu tentu akan ketinggalan kalau berjalan kaki. Di sini terdapat seorang pedagang kuda yang bagus-bagus dan harganya pun murah. Dia masih keponakanku sendiri. Saya tinggal bersama dia di sana juga. Marilah kuantarkan Kongcu ke sana melihat-lihat. Baru kemarin dia pulang membawa dua ekor kuda peranakan Mongol yang amat baik."

   "Tapi aku sudah biasa berjalan kaki, Nek. Aku tidak ingin membeli kuda."

   Siluman Kecil hendak melangkah pergi,

   Akan tetapi dia melihat seorang pengemis muda duduk tak jauh dari tempat itu. Wajah pengemis ini menarik hatinya karena wajah itu terlalu tampan untuk seorang pengemis, dan sinar mata pengemis ini tidak seperti para pengemis lainnya. Semua pengemis selalu memiliki pandangan mata sayu, baik dibuat-buat atau tidak, akan tetapi sinar mata pengemis ini tajam berseri-seri dan sedikit pun tidak kelihatan duka terbayang di dalamnya! Keadaan ini menimbulkan keharuan di hati Siluman Kecil dan dia lalu memberikan kelebihan uang pembeli sepatu tadi kepada si pengemis muda tanpa mengeluarkan kata-kata. Pengemis itu menerima pemberian ini, membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasih, akan tetapi mulutnya diam saja! Bahkan ada ba-yangan keangkuhan di sinar matanya! Siluman Kecil merasa makin heran dan tertarik.

   "Kongcu akan menyesal setengah mati kalau tidak membeli kuda itu!"

   Kembali nenek itu mendesak dan ketika Siluman Kecil menoleh, ternyata nenek itu sudah menggulung tikarnya dan membungkus semua sepatunya tanda bahwa dia sudah kukut (berkemas untuk pulang).

   "Sudahlah, Nek. Aku tidak punya uang....eh, uangku tidak akan cukup untuk membeli seekor kuda peranakan Mongol yang bagus."

   "Aaahhhhh, Kongcu sungguh merendah! Kongcu mempunyai banyak uang....eh, maksud saya, seorang seperti Kongcu yang melakukan perjalanan jauh tentu kaya raya, tentu Kongcu akan mampu membeli seekor kuda yang baik. Apakah Kongcu tidak rela memberi sedikit keuntungan kepada keluarga kami?"

   Siluman Kecil terkejut. Dia memang membawa banyak uang, pemberian seorang hartawan yang pernah dltolongnya, sebagai bekal dan terima kasih atat bantuannya. Bagaimana nenek ini bisa tahu? Akan tetapi, mungkin juga sebagai seorang pedagang, nenek ini memiliki pandangan tajam tentang hal itu. Tertarik juga hatinya. Memang selama ini banyak sekali hal-hal yang menarik hatinya. Dia selalu tertarik oleh urusan orang-orang lain. Apakah hal ini menunjukkan gejala bahwa dia sudah tidak tertarik lagi kepada diri sendiri?

   "Baiklah, Nek. Aku hendak melihat kuda yang kau puji-puji itu. Akan tetapi tidak perlu kau mengemasi dagangan untuk mengantar aku. Katakan saja di mana tempat keponakanmu itu, dan aku akan mencarinya sendiri ke sana. Tidak perlu kau mengorbankan daganganmu yang menjadi tidak laku hanya untuk mengantarkan aku."

   "Kongcu, biar saya yang mengantar Kongcu ke sana. Saya juga tahu tempat pedagang kuda itu. Bukankah yang Nenek maksudkan itu adalah Paman Ciok pedagang kuda di sebelah barat jembatan hijau itu?"

   Tiba-tiba pengemis muda itu berkata. Nenek itu mengangguk dan mengerling ke arah Siluman Kecil.

   "Benar di sana...."

   "Kalau begitu, biar ia ini yang mengantarku, Nek. Terima kasih!"

   Kata Silu-man Kecil dan dia lalu pergi bersama si pengemis muda.

   Siluman Kecil makin tertarik kepada pengemis ini. Sungguh tidak seperti pengemis-pengemis umumnya. Memang pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi pakaian itu bersih dan jelas bahwa pakaian itu belumlah begitu butut sehingga perlu ditambal-tambal. Agaknya seperti pakaian yang masih baru akan tetapi sengaja ditambal-tambal! Hal ini tentu saja mencurigakan hatinya dan membuat dia menjadi tertarik. Jangan-jangan bocah pengemis ini mempunyai maksud tertentu dan sengaja mendekatinya, pikirnya. Banyak sekali orang-orang yang memusuhinya di dunia ini, apalagi sejak dia dikenal sebagai Siluman Kecil dan banyak menolong orang-orang yang tertindas sehingga otomatis dia dimusuhi oleh mereka yang ditentangnya. Akan tetapi, tentu saja dia tidak merasa gentar, hanya tertarik kepada pribadi pengemis cilik ini.

   "Siapakah namamu?"

   Pengemis itu terkejut, akan tetapi lalu menjawab dengan suara tenang,

   "Na-ma saya Hong, dan orang-orang memanggil saya Siauw-hong (Hong Kecil)."

   "Kenapa? Engkau tidak begitu kecil tubuhmu."

   "Entahlah, Kongcu. Sejak kecil saya disebut Siauw-hong."

   "Hemmm, di mana tempat tinggalmu?"

   "Saya tidak mempunyai tempat tinggal."

   "Dan ayah bundamu?"

   Siauw-hong menggeleng kepala.

   "Tidak punya."

   Siluman Kecil mengerutkan alisnya, kemudian tiba-tiba dia berhenti, memegang pundak pengemis cilik itu dan menggunakan jari-jarinya untuk menotok jalan darah dekat leher, jalan darah kematian. Pengemis itu terkejut, cepat dia miringkan tubuh sehingga pegangan itu meleset dan totokan itu luput.

   "Ha, sudah kuduga. Engkau pandai ilmu silat tinggi!"

   Siluman Kecil berseru.

   "Dan Kongcu adalah Siluman Kecil!"

   Pengemis cilik itu berkata.

   "Hemmm, ternyata engkau bukan bocah pengemis sewajarnya, seperti pakaianmu yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan masih baru. Hayo katakan, mau apa engkau membayangi aku?"

   Siluman Kecil menghardik. Pengemis muda itu menjura.

   "Maafkan saya, Taihiap. Sesungguhnya bukan maksud saya hendak membayangi, hanya karena sudah lama saya mendengar nama Taihiap dengan penuh kekaguman maka begitu melihat Taihiap tadi, saya sudah menduganya dan saya ingin mengenal dan berdekatan dengan Taihiap. Saya sungguh tidak bermaksud buruk dan hendak mengantar Taihiap kepada rumah pedagang kuda itu."

   "Bagaimana engkau berpakaian pengemls? Apa maksudnya?"

   "Maaf, memang saya sengaja dan ini merupakan syarat menjadi murid dari guru saya. Ketahuilah bahwa sejak kecil saya diserahkan oleh kakek saya yang sekarang entah berada di mana, kepada guru saya itu, dan setelah saya menjadi muridnya, saya diharuskan berpakaian pengemis untuk memenuhi kebiasaan nenek moyang dari guru saya."

   "Hemmm, mengapa begitu?"

   Siluman Kecil makin tertarik.

   "Guru saya adalah keturunan pengemis, Taihiap. Oleh karena itu, biarpun sekarang guru saya tidak menjadi pengemis, akan tetapi semua muridnya diharuskan berpakaian pengemis sebelum tamat belajar untuk menghormati leluhurnya."

   Siluman Kecil memandang tajam. Dari gerakan anak ini ketika mengelak tadi, dia maklum bahwa anak ini memiliki dasar ilmu silat tinggi, bukan ilmu silat sembarangan saja, maka guru anak ini tentulah seorang tokoh besar pula.

   "Siapakah gurumu itu, Siauw-hong?"

   "Maaf, Taihiap, akan tetapi guru saya tidak pernah mau menyebutkan namanya."

   Siluman Kecil mengangguk-angguk. Dia maklum akan hal ini karena memang demikianlah, makin tinggi pengertian seseorang, makin rendah hati pula watakhya di samping keanehan-keanehan yang tidak lumrah manusia biasa. Maka dia pun tidak mau mendesak lagi untuk menghormati pendirian guru pengemis cilik ini. Akhirnya mereka tiba di tempat si pedagang kuda. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, bermata sipit dan berkumis pendek, menyambut kedatangan mereka dan ketika mendengar bahwa Siluman Kecil datang untuk melihat kuda keturunan Mongol itu setelah diberi tahu oleh nenek penjual sepatu rumput, dia tersenyum lebar.

   "Memang benar, Kongcu. Dan kalau bukan bibi saya yang memberi tahu, tidak sembarangan orang akan saya persilakan melihat dua ekor kuda dagangan saya itu. Kuda simpanan, kuda tunggangan raja-raja di daerah Mongol!"

   Sambil memuji-muji kudanya, orang itu mengantar Siluman Kecil dan Siauw-hong ke kandang kuda. Dan memang dua ekor kuda itu merupakan kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan jelas kelihatan kuat sekali. Yang seekor berbulu hitam mulus sedangkan yang ke dua berbulu putih. Warna bulu mereka begitu mulus dan terang sehingga amat menyolok perbedaan warna bulu mereka. Yang putih adalah kuda betina sedangkan yang hitam adalah seekor kuda jantan yang kelihatan galak.

   "Coba Kongcu lihat tanda di paha kiri mereka ini!"

   Kata si tukang kuda. Siluman Kecil melihat dan di paha dua ekor kuda itu, di paha belakang yang kiri, terdapat capnya, yaitu ukiran kepala naga yang tentu saja kasar karena dibuat dengan menempelkan besi membara yang bergambarkan kepala naga di bagian paha itu.

   "Apa artinya gambar ini?"

   Tanya Siluman Kecil.
(Lanjut ke Jilid 16)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16
"Itu adalah tanda bahwa sepasang kuda ini adalah bekas milik raja Mongol, seorang di antara raja-raja liar di antara suku bangsa Nomad di Mongol sana dan agaknya raja itu memuja naga. Atau mungkin juga dua ekor kuda ini adalah keturunan Liong-ma (Kuda Naga) yang terkenal itu. Pendeknya, bukan kuda sembarangan, Kongcu, dan kalau Kongcu dapat memiliki seekor kuda ini, Kongcu sungguh beruntung. Akan tetapi, saya anjurkan Kongcu memilih yang putih."

   "Yang betina? Mengapa?"

   "Karena dua ekor kuda ini memang mempunyai keanehan. Yang putih ini agaknya hanya mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang pria! Sedangkan yang jantan, yaitu yang hitam ini, hanya mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang wanita!"

   "Ah, sungguh luar biasa!"

   Siluman Kecil berseru dan pengemis kecil itu tertawa.

   "Ha-ha, kalau begitu mereka adalah kuda-kuda yang cabul!"

   Seru Siauw-hong.

   "Hushhhhh, jangan sembarangan saja kau, Siauw-kai (Pengemls Cilik)!"

   Pedagang kuda itu menghardik.

   "Omongannya itu ada benarnya,"

   Kata Siluman Kecil membela Siauw-hong.

   "Tidak, Kongcu. Sama sekali tidak benar. Dua ekor kuda ini bukanlah kuda cabul, akan tetapi adalah kuda yang sudah terlatih matang di tempat asalnya. Dengan wataknya yang aneh itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tentu kuda hitam ini dahulu adalah kuda tunggangan seorang permaisuri dan dilatih sedemikian rupa, sehingga dia tidak mau ditunggangi seorang pria, maka hanya sang permaisuri sajalah yang dapat menung-ganginya. Mana boleh kuda tunggangan seorang permaisuri ditunggangi seorang pria? Dan demikian pula dengan kuda putih ini, tentu dahulunya menjadi kuda tunggangan seorang raja."

   Siluman Kecil mengangguk-angguk. Biarpun cerita itu agaknya terlalu dibuat-buat, akan tetapi masuk akal juga.

   "Saya tidak percaya!"

   Tiba-tiba Siauw-hong berkata.

   "Saya yakin bahwa kuda hitam itu lebih baik karena dia jantan. Lebih baik Kongcu memilih yang jantan saja."

   "Eh, kau berani tidak percaya kepadaku, Siauw-kai? Kau menyuruh Kongcu naik kuda hitam kemudian dibantingkan?"

   Bentak si tukang kuda.

   "Masa dibantingkan! Kuda itu kelihatan begitu jinak!"

   Siauw-hong membantah.

   "Kalau tidak percaya, boleh kau coba naik di punggungnya!"

   Tantang si tukang kuda.

   "Baik, akan saya tunggangi dia!"

   Siauw-hong menerima tantangan itu.

   "Siauw-hong, apakah kau bisa menunggang kuda?"

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siluman Kecil bertanya khawatir. Siauw-hong tersenyum dan anak ini kelihatan tampan sekali kalau tersenyum.

   "Jangan khawatir, Taihiap, sejak kecil saya sudah biasa menunggang kuda dan entah sudah ada berapa ratus ekor kuda jantan yang saya tunggangi, maka saya tidak percaya kalau ada kuda jantan tidak mau ditunggangi pria!"

   "Kau bocah sungguh bermulut besar. Boleh kau coba si Hitam, akan tetapi Kongcu ini menjadi saksi dan saya tidak mau dipersalahkan kalau nanti kau dibantingkan dan punggungmu patah,"

   Kata si tukang kuda. Siauw-hong tertawa lalu dia menuntun kuda hitam itu keluar kandang. Kelihatan si Hitam ini memang cukup jinak dan menurut saja ketika dituntun keluar. Dengan gerakan cekatan tanda bahwa dia memang biasa menunggang kuda, Siau-whong lalu meloncat ke atas punggung kuda hitam yang tinggi itu. Dan mulailah si Hitam itu memperlihatkan keliarannya. Dia meringkik keras, mendengus-dengus marah lalu berloncatan ke atas, berdiri di atas kedua kaki, meloncat lagi dan membuat punggungnya menjadi melengkung, bergerak ke kanan kiri dan membuat gerakan dengan punggung untuk melemparkan Siauw-hong yang duduk di atas punggungnya.

   Siauw-hong ternyata memang seorang ahli menunggang kuda. Kalau lain orang yang menunggangi punggung kuda hitam yang mengamuk itu, tentu takkan dapat bertahan lama dan sudah terlempar sejak tadi. Akan tetapi Siauw-hong juga memperlihatkan kelihalannya, biarpun beberapa kali tubuhnya kelihatan hampir terlempar dari punggung, namun ternyata dia masih dapat turun lagi duduk di atas punggung sambil memegangi kendali dengan cekatan. Siluman Kecil menonton dengan hati tegang. Kembali dia dibuat kagum, sekali ini dibuat kagum oleh Siauw-hong dan juga oleh kuda itu. Benar-benar seekor kuda yang amat aneh, terlatih baik sekali dan penuturan pedagang kuda ini ternyata tidak bohong. Kuda jantan ini benar-benar tidak sudi ditunggangi oleh seorang pria! Kini kuda itu mengeluarkan suara ringkikan yang rendah mirip gerengan harimau dan tiba-tiba dia membanting diri ke kanan dan membuat gerakan bergulingan!

   "Awas, Siauw-hong....!"

   Mau tidak mau Siluman Kecil memekik dan dia sudah siap menolong karena keadaan pengemis muda itu benar-benar amat berbahaya.

   "Kuda iblis....!"

   Siauw-hong berteriak dan tubuhnya terlempar, akan tetapi dengan gerakan pok-sai (salto) dia berhasil turun ke atas tanah dengan kaki lebih dulu. Dia mengebut-ngebutkan pakaiannya dan mengomel,

   "Taihiap, kuda iblis itu berbahaya sekali!"

   Pedagang kuda tertawa menyeringai akan tetapi tidak berani bicara semba-rangan karena dia pun sekarang tahu bahwa pengemis cilik itu bukan orang sembarangan setelah dia melihat betapa pengemis itu tadi dapat menyelamatkan diri secara luar biasa. Dia menuntun kuda hitam yang sudah jinak kembali begitu punggungnya tidak ditunggangi orang!

   "Kuda yang baik sekali!"

   Mereka bertiga menoleh dan melihat seorang pemuda yang berwajah tampan sekali,

   Berpakaian mentereng dan bersikap lincah memasuki tempat itu dan memuji si kuda hitam yang liar tadi, Siluman Kecil memandang penuh perhatian. Pemuda itu usianya tentu masih amat muda, mungkin baru belasan tahun, akan tetapi sinar matanya memandang penuh perhatian, dan melihat pakaiannya yang indah dan serba baru, mudah diduga bahwa pemuda ini tentulah putera seorang hartawan besar atau setidaknya putera seorang bangsawan! Tubuhnya kecil, akan tetapi kelihatan gesit, tanda bahwa pemuda hartawan ini tentu "berisi", yaitu pernah berlatih silat. Di belakang pemuda ini berjalan seorang anak laki-laki yang membawa buntalan. Pedagang kuda itu pun bermata tajam, tentu saja dia segera mengenal seorang hartawan, maka sambil menuntun kuda hitam dia menghampiri dan menjura,

   "Kuda yang manakah yang Kongcu anggap baik?"

   Tanyanya.

   "Mana lagi kalau bukan kuda yang kau tuntun itu,"

   Jawab si pemuda tampan sambil memandangi kuda hitam dengan mata bersinar-sinar.

   "Ini kuda Mongol tuan!"

   Serunya sambil mendekati kuda itu, mengelus leher kuda itu dengan tangannya.

   "Apakah Kongcu ingin membeli kuda?"

   Tanya pula si pedagang kuda.

   "Benar, aku membutuhkan dua ekor kuda untuk aku dan pelayanku ini, karena aku hendak pergi ke Cheng-couw, untuk memasuki ujian pengawal gubernur!"

   Siluman Kecil merasa tertarik sekali. Benar dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian silat, kalau tidak tentu tidak akan ikut-ikut memasuki ujian pengawal. Pedagang kuda itu tersenyum lebar dan matanya berseri girang. Hari baik rupanya hari ini bagi dia. Sepagi itu sudah banyak orang datang hendak membeli kuda!

   "Kongcu tidak salah kalau mencari kuda di sini!"

   Katanya.

   "Aku suka sekali dengan kuda hitam ini, berapa harganya? Akan kubeli dia!"

   Kata si kongcu yang masih mengelus-ngelus kuda itu. Si pedagang kuda kelihatan kaget.

   "Ohhh, jangan yang ini, Kongcu! Apakah Kongcu tadi tidak melihat betapa liarnya dia? Kuda ini pantang ditunggangi oleh seorang pria. Dia adalah bekas tunggangan seorang permaisuri suku Nomad di Mongol, sudah terlatih untuk menolak kalau ditunggangi seorang pria. Sebaliknya, kuda putih itu pantang ditunggangi seorang wanita. Maka, kalau Kongcu membutuhkan kuda, sebaliknya yang putih itu....eh, kalau belum jadi dibeli oleh Kongcu itu yang datang lebih dulu."

   Pemuda tampan itu kini memandang kepada Siluman Kecil, menghampiri dan tersenyum, lalu menjura. Tentu saja Siluman Kecil juga cepat membalas penghormatan orang itu.

   "Apakah engkau juga hendak membeli kuda putih itu, Sobat?"

   Pertanyaan ini diajukan dengan sikap ramah sekali sehingga biarpun Siluman Kecil tidak ingin berkenalan dengan orang itu, terpaksa dia menjawab dengan anggukan kepala.

   "Agaknya engkau hendak melakukan perjalanan cepat dan jauh pula, Sobat."

   "Saya....kami hendak pergi ke selatan....!

   "Ah! Betapa kebetulan sekali! Tidak dicari-cari di sini bertemu dengan seorang teman seperjalanan! Sobat yang baik, kalau begitu mari kita melakukan perjalanan bersama. Sungguh menyenangkan sekali! Aku mendapatkan seorang teman untuk bercakap-cakap di perjalanan!"

   Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin melakukan perjalanan dengan orang lain yang tidak dikenalnya. Pula, memang selama ini dia selalu menjauhkan diri dari pergaulan umum.

   "Terima kasih atas kebaikan saudara"

   Jawabnya.

   "Akan tetapi saya masih mempunyai banyak kepentingan lain."

   Penolakan halus diterima oleh pemuda tampan itu dengan senyum.

   "Tidak mengapa. Engkau boleh menyelesaikan semua kepentinganmu dulu, baru kita berangkat bersama."

   Siluman Kecil tidak menjawab lagi, melainkan menoleh kepada pedagang kuda.

   "Paman, berapakah harganya kuda putih itu?"

   "Tiga ratus tael perak"

   Jawab si pedagang kuda.

   "Wah, masa ada kuda harganya sekian?"

   Siauw-hong berseru.

   "Biasanya, seekor kuda tidak akan lebih dari seratus tael perak harganya!"

   Si pedagang kuda menyeringai.

   "Siau-kai, biarpun omonganmu itu ada benarnya, akan tetapi dua ekor kuda ini bukanlah kuda biasa! Coba dibayangkan, berapa biayanya mengambil dua ekor kuda ini dari tempat asalnya! Kongcu, harganya tiga ratus tael perak, tidak boleh kurang satu tael pun."

   Siluman Kecil tidak tahu akan harga kuda, akan tetapi terdengar pemuda tampan itu berkata,

   "Tiga ratus tael tidaklah mahal untuk seekor kuda seperti itu."

   Mendengar ini, Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Uang baginya bukan apa-apa, apalagi uang itu adalah pemberian orang untuk bekal. Dia tidak membutuhkan banyak uang, hanya memberatkan saja.

   Tiba-tiba dia terkejut bukan main dan baru teringat bahwa dia tidak merasakan sesuatu yang berat di buntalannya! Karena dia tidak pernah memikirkan uang, dan jarang sekali membawa uang banyak, maka dia tidak merasakan perbedaan itu! Dia mengangkat buntalannya, menimbang-nimbang dan jantungnya berdebar. Benar saja, buntalannya sudah tidak berat lagi! Padahal seingatnya, uang bekal yang diberikan oleh hartawan itu kepadanya amat berat! Cepat dia membuka buntalannya dan dia menahan napas. Uang itu telah lenyap! Dia telah diberi beberapa potong uang emas dan banyak uang perak oleh hartawan itu, yang rasanya cukup banyak untuk membeli kuda itu. Akan tetapi ternyata uang itu lenyap sama sekali, tidak ada sisanya barang satu potong pun! Dan dia tidak merasakan kehilangan itu!

   "Celaka....!"

   Serunya.

   "Taihiap, ada apakah....?"

   Siauw-hong bertanya sambil mendekati.

   "Uangku lenyap!"

   "Ahhh....!"

   Siauw-hong juga memandang bingung. Pemuda tampan itu menghampiri Siluman Kecil dan bertanya,

   "Sobat, apa yang telah terjadi?"

   Siluman Kecil menggeleng kepala.

   "Entah bagaimana, uangku yang berada di dalam buntalan ini lenyap semua tanpa kusadari. Aku lupa bahwa aku membawa uang, maka ketika lenyap aku tidak tahu...."

   "Hemmm...."

   Si pedagang kuda berkata dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh kecurigaan kepada Siluman Kecil dan Siauw-hong.

   "Kalau begitu, biarlah aku yang membayarnya! Hei, pedagang kuda, berikan kuda putih itu kepada sobatku ini dan kuda hitam itu kubeli, lalu sediakan dua ekor kuda lain untuk pembantu-pembantu kami!"

   Pemuda itu cepat mengeluarkan sekantung uang emas dari buntalannya yang tadi dibawa oleh kacungnya.

   "Ah, tidak usah, Saudara.... biar kami jalan kaki saja...."

   Kata Siluman Kecil.

   "Sobat yang baik, kita sudah menjadi sahabat dan calon teman seperjalanan, mengapa banyak sungkan?"

   "Aku tidak mau menerima pemberian dari orang yang tidak kukenal dan...."

   "Kalau begitu perkenankan, aku she Kang, bernama Swi,"

   Katanya.

   "Tetapi...."

   "Kalau kau segan menerima pemberianku, biarlah kuda itu kau pinjam saja!"

   Siluman Kecil tidak dapat menolak lagi, merasa tidak enak kalau menolak terus kebaikan orang yang kelihatannya demikian tulus dan ikhlas.

   "Kalau begitu, baiklah, Saudara Kang Swi. Terima kasih atas kebaikanmu,"

   Katanya sambil menjura.

   "Akan tetapi saya bukanlah pembantu Taihiap ini, saya hanya mengantarnya sampai ke sini saja,"

   Kata Siauw-hong. Pemuda tampan itu menoleh kepadanya.

   "Aku melihat engkau tadi pandai sekali menunggang kuda, tentu engkau pandai pula merawat kuda, bukan? Nah, bagaimana kalau kau kuangkat sebagai perawat kuda? Berapakah gaji yang kau minta, akan kupenuhi."

   Siauw-hong mengangkat dadanya dan menjawab,

   "Saya menerima permintaan Kongcu, akan tetapi bukan karena besarnya gaji, melainkan karena saya memang ingin meluaskan pengalaman ke selatan."

   "Jadi kau terima?"

   Tanya kongcu itu dengan girang, akan tetapi ada sinar keheranan melihat sikap pengemis muda itu, yang demikian angkuh sikapnya.

   "Paman, cepat pilihkan dua ekor kuda lain selain si Putih dan si Hitam ini, dan hitung berapa harus kubayar kepadamu."

   Tentu saja si pedagang kuda menjadi girang bukan main. Sungguh mujur dia. Hari ini bertemu dengan kongcu yang kaya dan begini royal, membeli kuda tanpa menawar lagi! Tentu saja dia tidak mau mencelakakan seorang langganan yang begini royal, maka dia berkata,

   "Akan saya pilihkan seekor kuda yang terbagus untuk Kongcu...."

   "Aku sudah memilih si Hitam ini!"

   Jawab kongcu itu.

   "Ahhh, jangan, Kongcu! Baru saja Siauw-kai ini hampir terbanting mati oleh kuda itu!"

   Siauw-hong juga berkata,

   "Sebaiknya Kongcu mengambil lain kuda. Kuda hitam ini adalah kuda iblis, atau kuda porno...."

   "Eh, kuda porno (cabul)....?"

   Kongcu itu bertanya dan memandang Siauw-hong dengan alis berkerut.

   "Habis, kuda jantan ini hanya mau ditunggangi seorang wanita! Cabul dia!"

   Siauw-hong berkata dan memandang kepada kuda hitam itu dengan hidung dikernyitkan. Kongcu itu tertawa.

   "Kalian semua tidak tahu rahasianya. Aku sudah pernah memiliki seekor kuda seperti ini dan kalau tidak tahu rahasianya, memang jangan harap dapat menjinakkan dia."

   "Kau kau hendak mengatakan bahwa kau dapat menundukkan dia?"

   Siluman Kecil bertanya penuh keheranan. Dia melihat sendiri tadi betapa Siauw-hong yang merupakan seorang ahli menunggang kuda, hampir celaka. Apakah pemuda halus yang kaya raya dan royal ini memiliki ilmu menunggang kuda yang lebih mahir daripada Siauw-hong? Agaknya tak mungkin. Dia sendiri pun harus mengakui bahwa dalam menunggang kuda, belum tentu dia mampu menandingi Siauw-hong dan dia akan berpikir dua kali untuk menunggangi kuda liar macam si Hitam itu.

   "Tentu saja,"

   Kata pemuda royal itu tersenyum.

   "Kalau tidak, untuk apa kubeli?"

   "Tapi.... tapi dia benar-benar ber-bahaya sekali,"

   Kata Siluman Kecil.

   "Aku mengerti bagaimana harus menguasainya, harap kau jangan khawatir, Sobat."

   Akan tetapi ketika pemuda tampan itu hendak memegang kendali kuda hitam dari tangan pedagang kuda, si pedagang berkata ragu,

   "Wah, bagaimana kalau sampai Kongcu terbanting jatuh dan.... dan celaka? Siapa akan membayar kuda-kuda saya?"

   Kongcu itu tertawa.

   "Hitunglah dan akan kubayar sekarang juga. Kalau seandainya nanti aku dibanting mati oleh kuda ini, kau tidak akan rugi apa-apa."

   Wajah pedagang kuda itu menjadi merah.

   "Bukan.... bukan maksudku begitu.... sebaiknya Kongcu jangan mencoba-coba untuk menunggang ini dia sungguh tidak mau ditunggangi oleh pria."

   Akan tetapi pemuda itu tidak melayaninya lagi, melainkan mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar empat ekor kuda. Kemudian dia berkata sambil menuntun si Hitam,

   "Kalian semua lihatlah bahwa aku tidak main-main. Aku tahu bagaimana harus menundukkan kuda Mongol yang terlatih ini."

   Setelah berkata demikian, dia mengusap-usap kepala kuda hitam itu, mendekatkan mulutnya pada telinga kiri kuda itu dan mengeluarkan kata-kata asing dalam bahasa Mongol. Mulutnya komat-kamit dan terdengar kata-kata aneh seperti mantra.

   Siluman Kecil mengerti juga bahasa Mongol, akan tetapi karena bahasa dari suku bangsa Nomad banyak sekali macamnya, maka dia tidak merasa heran mendengar bahasa yang mirip bahasa Mongol akan tetapi tidak dimengertinya, yang keluar dari mulut pemuda tampan itu. Akan tetapi dia rnelihat betapa kuda hitam itu menggoyang-goyangkan ekornya ke kanan kiri dan kelihatan gembira dan jinak! Kemudian, dengan gerakan ringan sekali tanda bahwa pemuda tampan itu memiliki ginkang yang tinggi, pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda. Semua orang, terutama Siuaw-hong, memandang dengan hati berdebar tegang, menduga bahwa tentu si Hitam itu akan meloncat-loncat, meringkik dan membungkukkan punggung. Akan tetapi sungguh aneh! Kuda itu berdiri diam dan tenang-tenang saja, bahkan ekornya masih bergoyang-goyang! Pemuda tampan itu tertawa.

   "Nah, tidak percayakah kalian kepadaku? Kuda ini memang terlatih untuk menantang ditunggangi pria, akan tetapi ada rahasianya untuk menjinakkan dia dan aku mengenal rahasia itu. Sobat, marilah kita berangkat. A-cun, dan kau, Siauw-kai...."

   "Nama saya Siauw-hong, Kongcu!"

   Kata Siauw-hong, tidak senang disebut Siauw-kai (Pengemis Cilik).

   "Dan saya tidak pernah mengemis."

   "Ahhh, engkau seorang bocah aneh, tidak kalah anehnya dengan kuda ini dan sahabat itu!"

   Si pemuda tampan menunjuk ke arah Siluman Kecil yang sudah meloncat naik ke atas punggung si Putih. dan memang benar kata-kata si pedagang kuda. Si Putih itu tenang-tenang saja ketika punggungnya ditunggangi oleh Siluman Kecil, seorang pria! Mereka berempat lalu berangkat meninggalkan si tukang penjual kuda yang berdiri bengong, masih terheran-heran menyaksikan mereka. Baru hari itu dia memperoleh keuntungan besar di samping keheranannya bertemu dengan orang-orang yang begitu aneh.

   Si pengemis yang pandai menunggang kuda, si kongcu yang masih muda akan tetapi sudah putih semua rambutnya, dan si kongcu royal yang ternyata seorang ahli yang luar biasa dalam menaklukkan kuda hitam itu! Akhirnya dia menggeleng-geleng kepala dan berjalan masuk sambil menggenggam uang emas yang memenuhi saku bajunya. Sementara itu, Siluman Kecil yang menunggang kuda si Putih menjalankan kudanya berendeng dengan pemuda tampan bernama Kang Swi yang menunggang kuda si Hitam. Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan karena Siluman Kecil sedang melamun dan agaknya Kang Swi juga tidak tergesa-gesa. A-cun, kacung dari Kang Swi, dan Siauw-hong, menjalankan kuda di belakang mereka dan Siauw-hong kelihatan gembira sekali,

   Sikapnya sama sekali tidak seperti seorang jembel biarpun pakaiannya tambal-tambalan, melainkan seperti seorang jenderal perang menunggang kuda dan memeriksa barisan! Siluman Kecil mengerutkan alisnya, mengingat-ingat dan memutar otak, mencari-cari ke mana lenyapnya uangnya yang banyak itu. Sungguh memalukan, juga mengherankan. Dia bukan seorang anak kecil yang pelupa, bukan pula seorang yang lemah sehingga uang yang berada di dalam buntalan pakaiannya dapat lenyap begitu saja! Dia adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dijuluki orang Siluman Kecil, namun kenyataannya uangnya dicuri orang dari dalam buntalannya tanpa dia ketahui! Sungguh menggemaskan! Dia mengepal tinju dan tanpa disadarinya, mulutnya mengeluarkan suara,

   "Hemmmmm!"

   Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Terdengar suara tertawa ditahan dan ketika dia menoleh, dia melihat Kang Swi melirik ke arahnya sambil tersenyum-senyum, senyum yang kelihatan seperti orang mengejek.

   "Huh, bocah ini sikapnya manja dan sombong bukan main!"

   Pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia merasa tidak enak kalau memperlihatkan rasa gemasnya karena betapapun juga, hartawan muda ini telah membelikan kuda untuknya dan Siauw-hong!

   "Tidak mungkin uang itu lenyap begitu saja, bisik hatinya dan kembali dia tenggelam dalam renungan. Ketika dia membayar sepatu rumput, uang itu masih ada. Dia ingat benar. Dan sesudah itu, dia hanya berdekatan dengan si nenek penjual sepatu rumput yang agak tuli dan pengemis muda, Siauw-hong itu. Siau-whong tidak mungkin mengambil uangnya, biarpun dia tahu bahwa Siauw-hong juga bukan anak biasa, melainkan seorang anak yang memiliki kepandaian. Siauw-hong bukan pencuri uangnya. Anak ini kelihatan jujur dan tidak membawa apa-apa di dalam bajunya yang penuh tambalan itu, dan semenjak bertemu di tempat penjual sepatu rumput, anak ini tidak pernah berpisah dari sampingnya.

   Bukan, bukan Siauw-hong yang mencuri uang itu. Kalau begitu, tidak ada orang lain, tentu si nenek itu! Si nenek yang mencurigakan sekali sekarang, sikapnya yang ramah dan aneh, bicaranya yang membujuk-bujuk, yang sering harus dia dekati karena tidak mendengar kata-katanya, gerak-geriknya yang aneh dan akhirnya nenek itu tadi menggulung tikarnya hendak kukut dan mengantar dia ke tempat pedagang kuda. Dan sekarang dia teringat betapa nenek itu kadang-kadang tidak mendengar omongannya, akan tetapi kadang-kadang seperti tidak tuli, sikapnya aneh dan penuh rahasia. Menjual sepatu rumput di luar kota, di jalan yang hanya dilalui orang-orang dusun yang tidak akan mau membeli sepatu seperti itu, seolah-olah memang sengaja menghadangnya! Teringat akan semua itu, tiba-tiba dia menghentikan kudanya.

   "Eh, ada apakah?"

   "Saya harus kembali sebentar!"

   Siluman Kecil berkata.

   "Hemmm, mau mencari uangmu yang hilang?"

   Kang Swi bertanya sambil tersenyum simpul.

   "Tidak ada gunanya. Ke mana engkau hendak mencari uangmu itu di dunia yang begini luas?"

   Dia mengebutkan ujung bajunya dengan sikap agung-agungan.

   "Siauw-hong, nenek itu!"

   Siluman Kecil menoleh kepada pengemis muda dan Siauw-hong juga mengangguk, seolah-olah baru ingat bahwa mungkin sekali uang "majikannya"

   Itu dicuri oleh nenek penjual sepatu rumput yang aneh itu.

   "Mungkin sekali, Taihiap!"

   Kata Siauw-hong.

   "Terlambat, Sobat!"

   Kata kongcu tampan itu sambil menggerak-gerakkan cambuknya.

   "Dia sudah pergi. Bukankah kau maksudkan nenek si penjual sepatu rumput yang tuli itu? Lihat, sepatu yang dipakai A-cun itu adalah sepatu terakhir yang saya beli darinya,"

   Katanya menunjuk ke belakang dan Siluman Kecil melihat sepatu rumput yang dipakai oleh kaki kacung itu. Siluman Kecil memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada Kang Swi. Dia harus berhati-hati. Pemuda tampan ini tidak kalah anehnya daripada si nenek penjual sepatu rumput! Seorang pemuda yang sikapnya begitu baik kepadanya, yang tahu segala!

   "Hemmm, Saudara Kang, bagaimana kau tahu bahwa nenek itu yang kumaksudkan?"

   Kang Swi tertawa.

   "Ha-ha, jangan kau memandang kepadaku seperti itu, Kawan! Aku menjadi takut karenanya! Kau memandang kepadaku seolah-olah aku si pencuri uangmu itu! Tentu saja aku tahu. Begitu mudahnya! Jangan engkau meman-dang ringan kepadaku. Lihat, engkau memakai sepatu rumput yang baru, dan kau tadi menyebut nenek, maka setiap orang pun tentu akan dapat menduga nenek yang mana yang kau maksudkan,"

   Jawabnya dengan sikap tenang sekali. Siluman Kecil mengangguk-angguk.

   "Engkau sungguh cerdik."

   "Sama sekali tidak. Hanya aku menggunakan otak dan engkau yang terlalu memandang ringan kepadaku. Bukan hanya itu saja, aku pun dapat menduga siapa adanya engkau, Sahabatku!"

   "Eh?"

   Siluman Kecil kembali menatap wajah tampan itu dengan tajam.

   "Siapa kiranya?"

   "Aku berani bertaruh seribu tael bahwa engkau adalah pendekar yang dijuluki orang Siluman Kecil."

   Siluman Kecil cepat menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya yang putih itu sebagian menutupi mukanya. Dia terkejut dan tercengang. Benar-benar pemuda ini aneh dan cerdik bukan main. Dia harus berhati-hati!

   "Bagaimana kau tahu? Menggunakan otak pula ataukah hanya kira-kira saja?"

   "Aku tidak pernah mau bertindak ceroboh. Segalanya harus kupikirkan masak-masak baru aku mengambil kesimpulan. Dengar alasanku, Sobat. Aku sudah sering mendengar tentang Siluman Kecil, yang kabarnya masih muda akan tetapi rambutnya sudah putih semua. Sekarang, aku bertemu dengan engkau, engkau masih muda, rambutmu seperti benang-benang perak, gerak-gerikmu penuh rahasia, dan Siauw-kai.... eh, Siauw-hong itu menyebutmu Taihiap. Siapa lagi kau kalau bukan Siluman Kecil yang tersohor itu?"

   "Saudara Kang Swi, engkau memang cerdik sekali,"

   Siluman Kecil kembali memuji.

   "Aku harus kembali dulu untuk mencari nenek itu."

   "Taihiap.... hemmm, setelah benar bahwa engkau adalah Siluman Kecil, aku harus menyebutmu Taihiap! Taihiap, percuma saja kalau kau hendak mencari nenek itu."

   "Mengapa kau berkata demikian?"

   "Seorang yang dapat mencuri uangmu tanpa kau ketahui, tentulah bukan orang sembarangan, dan dia tentu tahu bahwa dia telah mencuri uang dari Taihiap, maka setelah berhasil, apakah dia akan menanti di sana sampai Taihiap kembali ke sana dan menghajarnya? Kurasa dia tidaklah begitu bodoh, Taihiap, dan sekarang ini tentu dia sudah pergi jauh sekali, jauh dari kota An-yang. Mencari dia di sana sama dengan membuang-buang waktu, sedangkan kita harus cepat tiba di Ceng-couw karena besok ujian itu sudah dimulai!"

   Siluman Kecil terpaksa membenarkan pendapat ini, akan tetapi mendengar ucapah terakhir itu dia berkata,

   "Aku tidak ingin mengikuti ujian itu."

   "Ah, tentu saja tidak. Masa seorang pendekar sakti seperti Taihiap hendak merendahkan dlri menjadi seorang pengawal? Akan tetapi, kurasa amat penting bagi Taihiap untuk pergi secepatnya ke Ceng-couw jika Taihiap hendak menyelidiki tentang lenyapnya uang Taihiap itu.

   "Eh?"

   Siluman Kecil memandang heran dan tidak mengerti.

   "Taihiap, setiap orang yang memiliki kepandaian tentu akan tertarik oleh sayembara memasuki ujian pengawal itu, dan kurasa nenek tuli itu pun tidak terkecuali. Satu-satunya tempat di mana Taihiap mengharapkan untuk bertemu dengan dia, kurasa di Ceng-couw itulah tempatnya."

   Siluman Kecil mengangguk dan memandang kagum.

   "Kau benar, mari kita berangkat!"

   Dan dia pun membedal kuda putih itu dengan cepat. Kongcu tampan itu tertawa dan membedal si Hitam untuk mengejar. Keduanya membalapkan dua ekor kuda itu sampai akhirnya mereka terpaksa berhenti dan menanti dua orang pelayan yang berteriak-teriak karena tertinggal jauh. Ternyata kemudian oleh Siluman Kecil betapa menyenangkan melakukan perjalanan dengan Kang Swi, pemuda kaya yang royal itu. Mereka selalu makan di rumah makan besar dan kongcu itu memesan masakan-masakan yang termahal dan terbaik, bersikap royal sekali dan ternyata dia merupakan seorang dermawan besar. Setiap orang pengemis yang meminta selalu diberi uang yang tidak tanggung-tanggung banyaknya. Siauw-hong yang menjadi tukang kuda sampai mengacungkan jempolnya saking girang dan kagum terhadap Kang Swi.

   "Kang-kongcu benar-behar seorang yang dermawan!"

   Dia memuji.

   "Saya ikut menyatakan terima kasih atas kebaikan Kongcu terhadap para pengemis itu."

   Akan tetapi Kang Swi tersenyum dan tidak kelihatan bangga, malah menjawab,

   "Aku dapat mencari uang dengan mudah sekali. Begini banyak uang untuk aku sendiri apa gunanya? Lebih baik kubagi-bagi kepada mereka yang membutuhkan!"

   Siluman Kecil merasa makin kagum terhadap teman seperjalanan yang aneh ini.

   Memang bocah itu manja dan agak sombong, pikirnya, tinggi hati dan penuh rahasia, akan tetapi harus diakuinya bahwa Kang Swi memang berwatak dermawan. Yang amat kagum dan senang hatinya adalah Siauw-hong. Baru sekarang dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa di dunia ini banyak pula orang-orang yang berbaik hati. Dalam beberapa hari saja dia sudah bertemu dengan tiga orang yang selain gagah perkasa dan aneh, juga amat baik. Pertama-tama dia bertemu dengan laki-laki berlengan sebelah yang menjamu para pengemis cilik dengan royal, kemudian Siluman Kecil yang telah tersohor sebagai seorang pendekar budiman, dan kini pemuda yang sikapnya penuh lagak dan agung-agungan ini ternyata lebih baik hati lagi.

   Kota Ceng-couw di Propinsi Ho-nan hari itu kelihatan ramai sekali, jauh lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang luar kota membanjiri kota ini dan pagi-pagi sekali sudah banyak orang berduyun-duyun memasuki halaman yang luas di depan istana gubernur. Mereka semua ingin menonton ujian pemilihan calon pengawal dan perajurit. Gubernur Ho-nan, yaitu Kui Cu Kam,tinggal di Lok-yang, yaitu kota yang menjadi ibu kota Ho-nan, akan tetapi dia mempunyai istana di Ceng-couw dan di kota inilah pemilihan perajurit itu diadakan. Seperti telah diketahui, Gubernur Ho-nan ini diam-diam ingin menanam kekuasaannya di Ho-nan, terlepas dari kedaulatan kaisar dan untuk keperluan ini, selain dia bersekongkol dengan semua fihak yang anti kerajaan, juga dia berusaha mengumpulkan orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi sebanyak mungkin.

   Untuk keperluan itu pula maka dia memerintahkan untuk mengadakan sayembara pemilihan calon pengawal di Cengcouw itu dan untuk urusan ini, dia telah menugaskan kepada Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It, jagoannya yang terkenal lihai itu, untuk membantu pembesar di Ceng-couw dalam mengawasi jalannya sayembara atau ujian pemasukan pengawal itu. Karena banyaknya tamu dari luar kota, bukan hanya mereka yang ingin memasuki sayembara akan tetapi juga mereka yang ingin menonton, maka kota Ceng-couw menjadi sibuk sekali. Semua rumah penginapan, besar kecil, penuh dengan tamu, juga semua warung makan penuh dengan tamu sehingga banyak penduduk kota Ceng-couw hari itu benar-benar mengalami panen besar!

   Karena banyak-nya orang-orang aneh, jagoan-jagoan kang-ouw, memasuki kota Ceng-couw di hari itu, maka munculnya Siluman Kecil dan Kang Swi bersama dua orang pembantu mereka, tidak begitu menyolok dan menarik perhatian banyak orang, sungguhpun dua ekor kuda mereka, si Hitam dan si Putih, menimbulkan kekaguman banyak orang, terutama mereka yang mengenal kuda baik. Akan tetapi, Kang Swi sejak tadi bersungut-sungut dan marah-marah karena semua rumah penginapan telah penuh. Sukar bagi mereka untuk memperoleh kamar di rumah penginapan. Akhirnya, Kang Swi turun tangan sendiri, tidak mengandalkan dua orang pelayan itu untuk menanyakan kamar di rumah penginapan. Dia mendatangi sebuah rumah penginapan yang besar dan langsung dia menemui pemilik rumah penginapan itu.

   "Saudara Kang, bukankah tadi A-cun dan Siauw-hong sudah menanya-kan dan di situ sudah penuh pula?"

   Siluman Kecil menegur temannya itu ketika mereka turun dari atas punggung kuda di depan sebuah rumah penginapan besar.

   "Hemmm, ingin kulihat sendiri apakah benar-benar sudah penuh semua, Taihiap."

   "Sssttttt, harap Saudara Kang jangan menyebut aku Taihiap di tempat ramai ini, itu hanya akan menarik perhatian orang saja,"

   Siluman Kecil berkata. Kang Swi tersenyum, senyum pertama sejak dia merengut dan marah-marah karena belum memperoleh kamar tadi. Matanya berkedip-kedip menggoda,

   "Kenapa sih? Bukankah Taihiap memang pendekar sakti yang terkenal itu?"

   "Sudahlah, aku tidak ingin dikenal orang."

   "Kalau begitu, karena engkau lebih tua daripada aku, aku akan menyebutmu Twako (Kakak), akan tetapi siapa namamu?"

   "Kau boleh menyebutku Twako, dan aku....aku tidak punya nama."

   Kang Swi tertawa lagi.

   "Engkau sungguh seorang manusia aneh penuh rahasia, Twako. Nah, aku akan mencari kamar."

   Dia lalu berjalan memasuki penginapan besar itu sambil membawa kantung uangnya. Tak lama kemudian keluarlah dia dengan wajah berseri.

   "Aku berhasil mendapatkan sebuah kamar!"

   Terlaknya.

   "Eh! Tadi saya sendiri yang menanyakan dan para pengurus itu bilang kamar telah penuh semua!"

   Siauw-hong berseru dengan penasaran.

   "Tentu saja, memang penuh semuaa kata Kang Swi.

   "Eh, Kang-kongcu.... kalau begitu...."

   Siauw-hong berkata heran.

   "Yang kusewa adalah kamarnya. Kamar pemilik rumah penginapan itu sendiri. Dia mengalah dan bersama isterinya dia rela tidur di gudang malam ini dan menyerahkan kamarnya untukku."

   Dia tertawa dan sikapnya penuh lagak kemenangan. Diam-diam Siluman Kecil dapat menduga. Tentu dengan kekuasaan uang, pikirnya. Entah berapa puluh kali lipat dari harga biasa pemuda royal ini menyewa kamar itu.

   "Akan tetapi sayang, kamarnya hanya satu untukku sendiri, dan untuk kalian bertiga terpaksa aku menyewakan sebuah kandang kosong karena memang sudah tidak ada kamar kosong lagi. Maaf, Twako."

   "Hemmm....!"

   Siluman Kecil menggumam.

   "Di kandang atau di mana pun tidak ada bedanya bagiku."

   Pelayan muncul dan empat ekor kuda itu digiring ke kandang, juga tiga orang laki-laki itu.

   Kandang yang disulap menjadi kamar untuk mereka bertiga itu sudah dibersihkan dan lantainya ditutupi rumput kering. Bau rumput kering dan tahi kuda kering memang tidak begitu busuk, bahkan mernpunyai kesedapan yang khas, akan tetapi tetap saja hati Siluman Kecil merasa mendongkol juga. Kurang ajar, pikirnya. Sungguh sekali ini dia tidak dihargai orang sama sekali! Dia, yang di mana-mana disambut orang dengan penuh penghormatan, kini tidur di kandang kuda, sedangkan pemuda royal berpakaian mewah dan banyak uangnya itu tidur sendirian di dalam kamar besar! Kalau dilanjutkan begini, pada suatu hari aku tentu akan menampar kepala yang sombong itu, pikirnya. Dan hal itu amat tidak baik karena pemuda itu, betapapun juga telah bersikap baik kepadanya, tidak sayang membelikan kuda untuk dia dan Siauw-hong dengan harga mahal.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 49 Kisah Sepasang Rajawali Eps 35 Kisah Sepasang Rajawali Eps 7

Cari Blog Ini