Jodoh Rajawali 35
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 35
Dan agak jauh di tengah-tengah padang itu, dia melihat api unggun di antara semak-semak dan dari sanalah datangnya bau sedap gurih tadi. Siang In mempergunakan kepandaiannya, menyusup di antara semak-semak dan menghampiri tempat itu. Setelah dekat, dia bersembunyi di balik semak-semak bunga dan mengintai. Sinar api unggun menambah terang tempat yang sudah disinari cahaya bulan itu. Di depan api unggun duduk seorang yang rambutnya riap-riapan. Tertimpa sinar api dan sinar bulan, rambut panjang riap-riapan itu mengkilap dan seperti benang-benang perak. Wajahnya agak menunduk, memandang kepada daging paha kijang yang sedang dipanggangnya. Kembali Siang In menelan ludah. Akan tetapi dia termangu dan tidak berani bergerak. Jantungnya berdebar tegang.
Bukankah orang itu Siluman Kecil? Melihat rambut panjang riap-riapan yang keputihan itu! Pernah dia melihat Siluman Kecil, ketika pendekar aneh itu bertanding melawan seorang kakek botak yang amat lihai. Ketika itu, dia turun tangan membantu Siluman Kecil karena dia melihat kakek botak mempergunakan sihir, dan dia hanya membuyarkan ilmu hitam itu. Akan tetapi, ketika itu, dia hanya melihat Siluman Kecil dari jarak jauh dan tidak dapat melihat wajah pendekar yang amat terkenal itu dengan jelas. Benarkah orang yang berjongkok dekat api unggun dan sedang memanggang dua buah paha kijang besar gemuk itu Siluman Kecil? Siapapun adanya orang itu, tidak lagi menarik perhatian Siang In benar karena dia lagi-lagi sudah tertarik oleh gumpalan-gumpalan daging yang sedang dipanggang itu.
Bibirnya sudah bergerak, mulutnya sudah hampir dibuka untuk menegur orang itu, untuk minta kebaikan orang itu agar suka membagi sedikit daging kepadanya ketika cepat Siang In menutupkan mulutnya kembali dan menahan napas. Dia melihat munculnya seorang bayangan lain, kemunculan bayangan ini sedemikian cepatnya sehingga dia merasa bulu tengkuknya meremang. Seperti setan saja yang pandai menghilang dan kini tahu-tahu menampakkan diri, demikian cepatnya gerakan orang itu. Kini sinar api unggun dari bawah menyorot ke arah muka bayangan itu dan Siang In melihat seraut wajah wanita yang amat cantik, kemerah-merahan tertimpa sinar api unggun itu. Bayangan wajah wanita yang sukar ditaksir berapa usianya. Saking cantiknya masih kelihatan muda, namun wajah itu sedemikian penuh kematangan sehingga sudah barang tentu juga tidak bisa dikatakan muda lagi.
Pakaiannya amat mewah, seperti puteri istana saja, rambutnya digelung malang melintang penuh dengan hiasan emas dan ratna mutu manikam yang gemerlapan. Akan tetapi bajunya itu berlengan besar dan longgar seperti jubah pendeta, dan juga tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu halus dan panjang, gagangnya terbuat dari benda putih berkilauan halus, entah terbuat dari gading gajah ataukah tulang ikan besar. Yang amat mengagumkan, akan tetapi sekaligus juga menyeramkan adalah sepasang mata wanita itu. Sepasang mata itu indah sekali memang, akan tetapi di dalam keindahan itu bersembunyi kebengisan dan kekejaman luar biasa, sinar mata yang tajam seperti menusuk ulu hati dan menjenguk segala isi hati orang!
"Hai! Kamu....!"
Suara wanita itu halus merdu ketika menegur laki-laki berambut riap-riapan yang sedang memanggang daging. Lagaknya demikian tinggi hati dan angkuh, seolah-olah dia seorang ratu yang sedang menegur hambanya saja.
"Apakah kamu melihat lima orang lelaki bersenjata golok besar keluar dari dalam hutan ini?"
Pria yang sedang memanggang paha kijang itu masih tetap menunduk, sama sekali tidak menjawab, apalagi menjawab, mengangkat muka memandang pun tidak. Dia hanya melanjutkan pekerjaannya dan membesarkan api unggun dengan menambah kayu kering sehingga sinar api unggun makin terang, apinya makin bernyala tinggi. Namun sebagian besar muka orang itu tertutup oleh rambut putihnya yang berjuntai ke bawah sehingga sukar dikenal. Melihat orang yang ditanya itu diam saja, berkerut sepasang alis yang hitam kecil itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar berkilat.
"Heiii, laki-laki jembel, apakah kau tuli? Apakah kau gagu? Hayo jawab!"
Wanita itu membentak dan hudtim di tangan kanan itu digoyang-goyangnya.
Terdengar suara bersuitan dan diam-diam Siang In terkejut bukan main. Tenaga sinkang dari wanita ini hebat sekali, baru menggoyangkan sedikit hudtim itu saja sudah mengeluarkan suara bersuitan seperti itu! Dengan hati penuh ketegangan Siang In mengintai dan ingin sekali tahu apa yang akan di jawab oleh laki-laki itu, yang disangkanya adalah pendekar sakti Siluman Kecil. Akan tetapi, laki-laki yang sedang memanggang paha kijang itu sama sekali tidak mengangkat muka apalagi menjawab, hanya membolak-bolik daging yang dipanggangnya agar tidak sampai hangus, dan kini terdengar dia bernyanyi atau membaca sajak dengan suara yang berirama! "Siapa bicara kasar menyakitkan hati orang akan memperoleh jawaban yang kasar pula kelakuan kasar menyakitkan hati hanya akan menimpa diri sendiri!
Akan tetapi si bodoh dan tolol! berbuat jahat tanpa melihat akibat seperti si tolol api akhirnya membakar diri sendiri!"
Mendengar itu, Siang In teringat akan suara orang yang pernah didengarnya membaca sajak tentang bahagia tadi. Tahulah dia bahwa orang yang tadi membaca sajak tentang bahagia adalah si pemanggang daging ini. Dua buah sajak yang dinyanyikannya sekarang ini pun bukan sajak main-main. Dia mengenalnya sebagai ujar-ujar yang terdapat dalam kitab-kitab para hwesio, dalam kitab Agama Buddha, kalau dia tidak salah ingat, dalam kitab Dhammapada bagian Hukuman. Wanita yang memegang hudtim itu pun agaknya terkejut dan agaknya mengenal pula sajak-sajak itu maka kini dia melangkah maju dan memandang wajah orang yang tersembunyi di balik rambut putihnya. Melihat rambut putih itu, tiba-tiba wanita itu berseru,
"Ah, apakah engkau ini yang dijuluki orang Siluman Kecil?"
Pria itu memang bukan lain adalah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Siluman Kecil atau Suma Kian Bu. Bahkan di istana kuno milik Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek di puncak Bukit Nelayan itu, dia bertemu dengan Ceng Ceng yang terhitung adalah keponakannya sendiri, dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, bahkan dia melihat pula munculnya Sin-siauw Seng-jin yang mewarisi kepandaian Suling Emas. Dia mendengarkan percakapan mereka itu dari sebelah dalam, dan dia merasa enggan untuk keluar, karena dia segan bertemu dengan Sin-siauw Seng-jin yang pernah menjadi lawannya.
Akan tetapi, ketika dia mendengar penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi yang diculik orang, Kian Bu terkejut bukan main dan dia sudah cepat meninggalkan tempat itu tanpa pamit, hanya meninggalkan surat untuk kakaknya dan dia sudah pergi untuk mencari dan menolong Syanti Dewi, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya dan masih dicintanya itu. Dia mencari jejak Syanti Dewi di sekitar pantai Po-hai, namun dia tidak dapat menemukan jejak itu dan pada senja hari itu, setelah merobohkan seekor kijang, dia sedang asyik memanggang paha kijang ketika dia melihat munculnya wanita cantik yang angkuh dan galak itu. Ketika mendengar pertanyaan yang nadanya meremehkan itu, Kian Bu hanya miringkan mukanya dan melirik ke atas, lalu menjawab tak acuh, seperti melayani seorang anak-anak yang mengajukan pertanyaan yang tidak penting pula,
"Kalau benar, kenapa sih?"
Wanita itu mendengus dan suaranya dingin sekali ketika berkata,
"Semua laki-laki di dunia ini berhati palsu dan bicaranya mengandung racun seperti ular-ular belang! Akan tetapi selama ini yang kubunuh hanyalah cacing-cacing yang tidak ada gunanya. Orang macam engkau inilah baru seekor ular sendok yang berbahaya. Aku bosan juga membunuhi cacing-cacing kotor, sekarang bertemu dengan ular jahat dan berbahaya macammu, tidak boleh terlepas dari tanganku!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan hudtimnya dan sinar putih menyambar dengan cepat dan dahsyat sekali ke arah leher Kian Bu!
"Wuuuttt....!"
Kian Bu sudah cepat mengelak dan tubuhnya tidak berada lagi di depan api unggun. Dan api unggun itu seketika padam tertiup hawa pukulan kebutan itu! Melihat ini, diam-diam Siang In memandang kagum bukan main dan jantungnya berdebar. Kiranya pria itu benar Siluman Kecil adanya! Dan gerakan Siluman Kecil tadi pun luar biasa, ketika kebutan menyambar dari jarak dekat. Tubuhnya seperti dapat menghilang saja.
"Huh, agaknya engkau telah menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan (Ilmu-ilmu Bangau Sakti). Hemmm, aku sudah mendengar bahwa engkau si ular jantan ini berhasil membujuk Kim Sim Nikouw sehingga engkau dapat mencuri ilmu-ilmu itu."
Wanita itu hanya mengejek dan cepat menerjang lagi. Kian Bu merasa tidak enak. Dia masih ragu-ragu apakah benar wanita ini adalah orang she Ouw seperti yang pernah dia dengar dari ibu angkatnya. Kalau benar demikian, dia menjadi serba salah. Mau mengeluarkan jurus maut, orang ini masih terhitung saudara seperguruan dengan dia. Kalau tidak, agaknya sukar baginya memperoleh kemenangan karena wanita ini benar-benar amat lihai sekali. Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita, suara jeritan yang hanya terdengar lapat-lapat saja karena amat jauh. Namun bagi telinga Kian Bu dan wanita itu, suara ini terdengar amat jelas. Sedangkan Siang In yang mengintai itu hampir tidak mendengarnya sama sekali.
"Huh, mengingat Kim Sim Nikouw, biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas lehermu!"
Kata wanita itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar emas yang amat cepat menyambar ke arah leher Kian Bu. Biarpun cuaca amat gelap dan hanya diterangi oleh bulan, namun melihat kehebatan serangan hudtim itu, disamping keheranannya mengapa wanita yang tak dikenalnya ini memusuhi-nya dan begitu bertemu ingin membunuhnya. Akan tetapi, wanita itu hanya menjawab dengan kebutannya yang bergerak makin dahsyat, makin lama makin cepat sehingga kini bayangan wanita itu pun tergulung sinar putih dan tidak kelihatan lagi, dan dari dalam gulungan sinar itu terdengar suaranya mendengus penuh ejekan dan kebencian,
"Huh!"
"Hemmm, kalau begitu engkau adalah seekor ular betina! Baik, kau ingin mengadu ilmu? Nah sambutlah!"
Kian Bu kini tidak lagi mau mengalah dan cepat dia menggerakkan rantingnya, selain menangkis juga membalas serangan. Dalam satu gerakan saja, rantingnya telah mengirim totokan yang mengarah sedikitnya tujuh jalan darah di tubuh lawan, sedangkan tangan kirinya juga tidak mau menganggur, melainkan melancarkan dorongandorongan yang mengandung hawa pukulan mujijat, berselang-selang dari pukulan pukulan sakti Pulau Es, yaitu Swat-im-sin-jiu dan Hwi-yang-sin-ciang.
Maka menyambarkan hawa panas dan hawa dingin berganti-ganti ke arah wanita itu sehingga wanita itu berkali-kali mengeluarkan pekik kaget. Kian Bu yang tidak mengenal wanita ini tidak merasa bermusuh dengannya, masih tidak tega untuk mengeluarkan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan penggabungan sinkang yang bersifat Im dan Yang, pukulan yang hampir saja pernah menewaskan nyawa kakaknya sendiri itu. Kian Bu segera mendapatkan kenyataan bahwa biarpun dalam hal ilmu pukulan dan tenaga sinkang, dia mempunyai kelebihan dari wanita itu, namun dia diam-diam harus mengakui bahwa dalam hal ginkang, dia masih kalah setingkat! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut bukan main dan teringatlah dia akan cerita Kim Sim Nikouw yang menjadi ibu angkatnya.
"Tahan dulu! Bukankah engkau ini orang she Ouw?"
"Huhhh! Laki-laki palsu yang cerewet!"
"Sialan! Engkau harus mampus dua kali untuk itu!"
Kini wanita itu telah menerjang dengan hebat, hudtim di tangannya berubah menjadi gulungan sinar putih yang amat lebar dan terdengarlah bunyi bersuitan nyaring memekak-kan telinga ketika sinar putih itu bergulung-gulung menyambar ke arah Siluman Kecil. Namun, Siluman Kecil sudah meninggalkan dua paha kijang tadi dan sebagai gantinya kini tangannya telah memegang sebatang ranting. Dengan kecepatan kilat, dia pun mengelak sambil balas menotok dengan rantingnya ke arah tengkuk lawan. Namun, wanita itu ternyata dapat bergerak dengan cepat luar biasa sehingga ketika Kian Bu menotoknya, sebelum totokan tiba, dia sudah melesat ke kanan dan kembali gulungan sinar putih itu menyambar dahsyat.
"Hei, siapakah engkau perempuan galak ini?"
Kian Bu menghardik karena selain merasa terkejut menyaksikan gerakan wanita ini yang jelas menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan pula, dan juga pandang mata Kian Bu awas sekali. Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa sinar emas yang menyerangnya itu adalah seekor ular yang kulitnya seperti emas berkilauan! Cepat dia mengelak dan rantingnya menyambar ke depan untuk memukul ular itu.
"Wuuuttttt.... syiiittttt....!"
Kian Bu tertegun. Ular itu dapat mengelak dan sabetannya luput! Padahal, sabetan rantingnya tadi belum tentu dapat dielakkan oleh seorang ahli silat umum saja! Dan kini, seperti dapat terbang saja, tubuh ular itu menggeliat dan ternyata dia sudah membalik dan menyerang lagi ke arah muka Kian Bu.
"Ehhh!"
Seru pemuda itu dan ketika ular itu lewat di dekat mukanya yang dia condongkan ke belakang untuk mengelak, dia mencium bau harum yang amis. Ular itu berbisa dan berbahaya sekali! Akan tetapi kini wanita tadi sudah menyambut kembali ularnya yang seperti burung bisa terbang itu, lalu kakinya meloncat dan dalam sekelebatan saja wanita itu telah lenyap dari tempat itu. Kian Bu merasa penasaran, juga dia cepat mempergunakan gerakan Sin-coan-in, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tahu-tahu sudah jauh sekali dan dia mengejar dengan Ilmu Jouw-sang-huiteng ke arah timur. Siang In memandang bengong. Dia hanya melihat dua orang itu berkelebat dan lenyap, kemudian di timur dia hanya melihat dua titik putih seperti bintang jatuh, lalu lenyap?
Siang In menarik napas panjang, penuh kekaguman. Dia tadi dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, akan tetapi dia tidak pernah dapat melihat wajah Siluman Kecil. Sudah dua kali dia bertemu dengan pendekar sakti yang terkenal sekali itu, namun kedua kalinya dia tidak berkesempatan untuk berkenalan, bahkan melihat wajahnya pun belum, atau sedikitnya tidak jelas sama sekali karena dilihatnya dari samping, itu pun masih tertutup sebagian oleh rambut putih. Siang In muncul dari tempat sembunyinya dan menghampiri tempat bekas pertempuran tadi. Dilihatnya api unggun telah padam, akan tetapi dua paha kijang masih berada di situ, ditusuk bambu dan sudah matang. Melihat paha kijang, perutnya menjadi lapar lagi dan tanpa mempedulikan siapa yang memiliki daging paha kijang itu, dia lalu mengambil dua paha itu dan mulai menggerogotinya. Sedap sekali!
Kiranya Siluman Kecil itu pandai memanggang paha kijang, pikirnya. Diberi bumbu pula dan diberi garam. Bukan main! Siang In cepat membawa dua buah paha kijang yang sudah matang itu kembali ke dalam hutan. Dengan lahap dia makan daging itu. Sudah habis sepotong, dia mulai dengan yang ke dua, akan tetapi kini kelahapannya berkurang. Daging paha itu besar dan menghabiskan sepotong pun sudah kenyang. Akhirnya dia tidak mampu menghabiskan paha ke dua dan melemparkannya ke samping. Perutnya kenyang dan tenaga pulih, akan tetapi rasa kenyang itu menimbulkan kantuk sehingga tak lama kemudian Siang In sudah tertidur pulas di bawah pohon! Sementara itu, Kian Bu yang melakukan pengejaran, menjadi penasaran bukan main.
Tak disangkanya bahwa wanita itu amat hebat larinya, memiliki ginkang yang mencapai tingkat sempurna sehingga dia sendiri tertinggal jauh dan sebentar saja bayangan wanita itu sudah lenyap dan dia berdiri termangu-mangu karena tidak tahu ke arah mana larinya bayangan yang lenyap itu. Dia merasa menyesal sekali. Betapapun cepat larinya wanita itu, kalau dia mengejarnya di waktu siang, tentu dia akan tahu ke arah mana larinya. Kini, hanya sinar bulan remang-remang saja yang membantunya maka dia kehilangan jejak. Dia hanya ingin mendapat kepastian dari wanita itu apakah benar wanita itu murid ibu angkatnya. Akan tetapi dia segera teringat. Bukankah wanita itu tadi meninggalkannya ketika mendengar jerit wanita dari jauh itu? Dan jerit itu datang dari arah lereng bukit di depan. Teringat akan ini, Kian Bu melanjutkan larinya menuju ke bukit yang nampak remang-remang di depan.
Setelah tiba di lereng bukit itu, kembali Kian Bu menjadi bingung. Dia memperhatikan dan mendengar-dengarkan, namun tidak terdengar suara apa pun. Akhirnya, dengan untung-untungan dia memasuki sebuah hutan kecil. Bulan bersinar sepenuhnya tanpa terhalang mega sehingga sinarnya cukup terang juga. Tiba-tiba dia melihat tubuh lima orang berserakan di atas tanah, di depan sana. Dia teringat betapa wanita lihai tadi sedang mencari-cari lima orang laki-laki yang bergolok panjang. Jangan-jangan....! Dia cepat berlari menghampiri dengan penuh kewaspadaan. Ketika dia tiba di tempat itu, dia mengerutkan alisnya. Di situ nampak mayat seorang wanita muda yang cantik dan empat orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan kasar dan bengis wajah mereka. Akan tetapi empat orang laki-laki itu tewas dalam keadaan mengerikan.
Mereka rebah dengan pakaian hancur dan tubuh penuh luka-luka berjalur-jalur merah, seolah-olah seluruh tubuh mereka disayat-sayat dengan pisau tajam! Kian Bu teringat akan hudtim yang mempunyai bulu-bulu putih halus itu dan dia merasa ngeri. Betapa kejamnya wanita itu, agaknya dalam kemarahan dan kebencian yang amat hebat, wanita itu telah mencambuki empat orang laki-laki ini dengan bulu-bulu kebutannya yang kalau digerakkan dengan tenaga sinkang hebat tentu berubah menjadi benda yang amat menyeramkan, dapat dipakai seperti puluhan buah pedang tajam yang menyayat-nyayat kulit daging! Dengan perasaan muak Kian Bu lalu mendekati mayat wanita muda cantik yang agaknya masih utuh tubuhnya itu. Akan tetapi ketika dia mendekat, memandang jelas, dia lalu membuang muka dan mengutuk.
Wanita itu setengah telanjang dan dari keadaan tubuhnya yang berlepotan darah, Kian Bu dapat menduga bahwa wanita muda ini tentu telah menjadi korban perkosaan yang amat keji dan buas! Tiba-tiba, bagaikan seekor kijang melompat tubuh Kian Bu melesat ke kiri dan di lain saat dia telah menyambar tengkuk seorang laki-laki dan melemparkannya ke atas tanah, di dekat mayat-mayat itu. Kiranya tadi dia mendengar ada gerakan di kiri dan cepat dia menyambar, dan ternyata di tempat itu terdapat seorang laki-laki yang bersembunyi. Laki-laki ini tubuhnya juga sudah tersayat-sayat, pakainya robek-robek dan mukanya membayangkan ketakutan sampai bola matanya berputaran memandang ke kanan kiri, kemudian dia bangkit berlutut dan mengangguk-angguk ke depan kaki Kian Bu sambil mengeluarkan suara seperti orang menangis,
".... ampunnn.... ampunkan saya...."
Tubuhnya menggigil.
"Siapa kau?"
Kian Bu membentak dengan suara bengis.
"Saya.... saya.... bernama Giam Hok.... harap Taihiap sudi mengampuni saya...."
Orang itu meratap.
"Harap Taihiap sudi menolong dan menyela-matkan saya.... nama Taihiap sudah terkenal di seluruh kang-ouw.... harap lindungi saya dari.... dari iblis betina itu.... hu-huuhhh...."
Kian Bu mengerutkan alisnya. Orang ini telah mengenalnya sebagai Siluman Kecil. Memang namanya banyak dikenal di kalangan dunia hitam! Dan dia melihat wajah orang ini mirip dengan wajah empat orang laki-laki yang sudah tewas di situ. Maka teringatlah dia akan lima orang saudara she Giam yang terkenal di wilayah selatan.
"Hemmm, apakah engkau dan empat orang ini adalah Ngo Giam-lo-ong dari selatan yang tersohor itu?"
Orang itu mengangguk-angguk. Lalu dia memandang ke arah mayat empat orang saudaranya itu dan menangis mengguguk. Kian Bu meraba dagunnya dan mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar akan nama Ngo Giam-lo-ong (Lima Dewa Maut) ini. Bukan tergolong manusia-manusia yang baik, bahkan sering kali mengandalkan kekerasan, memaksakan kehendak sendiri dan berlaku sewenang-wenang. Maka dia pun tertarik sekali. Siapakah pembunuh empat di antara mereka? Wanita cantik itukah? Dan mengapa?
"Siapa yang melakukan pembunuhan terhadap empat orang saudaramu?"
Tiba-tiba dia bertanya, suaranya bengis penuh wibawa sehingga orang yang sudah habis nyalinya karena takut terhadap orang yang membunuh saudara-saudaranya itu dan kini makin jerih setelah mengenal Siluman Kecil, menjadi makin ketakutan dan menggigil seluruh tubuhnya.
"Yang membunuh adalah.... dia.... Bu-eng-kui...."
Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia belum pernah mendengar nama julukan Bu-eng-kui (Setan Tanpa Bayangan) itu. Akan tetapi julukan itu memang tepat bagi wanita yang memiliki gerakan sedemikian gesitnya itu.
"Dia seorang wanita?"
"Begitulah.... yang saya dengar...."
Orang yang bernama Giam Hok itu men-jawab ketakutan.
"Dan namanya Ouw Yan Hui?"
"Saya mendengar kabar bahwa dia she Ouw.... akan tetapi tidak tahu jelas...."
"Apa artinya kata-katamu ini?"
Kian Bu membentak marah.
"Saudara-saudaramu ini jelas dibunuh orang, dan melihat keadaan tubuhmu, agaknya engkau pun nyaris tewas pula, dan sekarang kau bilang hanya mendengar kabar, apakah engkau tidak melihat pembunuh-pembunuh saudaramu ini?"
"Dia.... dia bergerak seperti setan hampir tak dapat saya lihat.... bayangan berkelebat kadang-kadang ada kadang kadang tidak dan yang terdengar hanya bunyi bersuitan sinar putih bergulung-gulung dan kami.... kami sudah disayat-sayat.... baiknya dia menyangka saya telah mati pula dan dia melesat pergi. Saya.... saya masih hidup dan cepat bersembunyi sampai Taihiap datang tadi...."
"Dan bagaimana kau dapat menduga bahwa dia itu yang berjuluk Bu-eng-kui dan she Ouw?"
Kian Bu mendesak lagi.
"Kami.... saya.... telah lama mendengar akan Bu-eng-kui yang amat kejam dan mengerikan itu.... dan bahwa dia she Ouw.... hidup di Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Tapi saya belum pernah bertemu dengan dia...."
"Kau belum pernah bertemu dengan dia, dan tadi pun tidak dapat kau melihat wajahnya, akan tetapi bagaimana kau tahu dia itu Bu-eng-kui Ouw Yan Hui?"
"Karena.... sebelum berkelebat pergi, saya pura-pura menggeletak mati, dia mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata: Bu-eng-kui tidak dapat mengampuni segala cacing busuk!"
Kian Bu mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu wanita yang menyerang tadi itulah yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan ini. Bu-eng-kui Ouw Yan Hui, murid dari ibu angkatnya, berarti masih sucinya sendiri! Hemmm, seorang pembenci pria yang amat kejam dan ganas!
"Mengapa kalian berlima diserangnya? Hayo katakan, mengapa?"
"Kami.... kami tidak melakukan kesalahan, kami tidak pernah bermusuhan dengan dia...., entah mengapa, dia datang-datang menyerang dengan ganas, seperti setan yang tidak kelihatan, kami tidak diberi kesempatan untuk bicara...."
"Jangan membohong! Atau aku akan menyempurnakan perbuatannya atas dirimu yang masih belum selesai itu! Hayo katakan, siapa mayat wanita muda itu?"
"Dia.... dia...."
"Hayo katakan, siapa dia dan bagaimana dia mati?"
Kian Bu menghardik.
"Dia adalah tawanan kami...."
"Hemmm, jahanam-jahanam busuk kalian ini! Dan kalian telah memperkosanya sampai mati, ya?"
Orang itu mengangkat muka dan memandang kepada wajah yang tampan namun menyeramkan karena dikurung rambut putih itu, terutama sekali sepasang mata yang seperti mata naga itu amat menakutkan hatinya. Dia mendengar bahwa Siluman Kecil adalah seorang pendekar sakti yang suka mengampuni orang, bahkan banyak orang golongan hitam yang tunduk kepadanya. Mendengar nama julukan "siluman"
Itu, tentu pendekar sakti ini juga seorang dari golongan hitam, maka Giam Hok dengan terus terang mengakui, karena menganggap bahwa hal itu tentu tidak aneh bagi pendengaran seorang tokoh kaum sesat seperti Siluman Kecil.
"Kami berlima memang sedang bersenang-senang dengan tawanan kami, sudah menjadi hak kami untuk menikmati gadis yang menjadi tawanan kami ketika dia datang dan...."
"Desssss....! Aughhh....!"
Tubuh Giam Hok terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Kian Bu berdiri dengan alis berkerut. Dia tadi menendang tubuh di depannya itu saking muak dan marahnya.
"Jahanam busuk kau!"
Katanya dan cepat dia menghampiri mayat gadis itu, memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu, tidak mempedulikannya lagi Giam Hok yang mengaduh-aduh dan berkelojotan. Tendangan itu bukan dimaksudkan untuk membunuh dan orang ini tidak mati, akan tetapi karena dia telah terluka berat oleh sayatan kebutan Bu-eng-kui, kini ditambah dengan tendangan Kian Bu, tentu saja dia menjadi tiga perempat mati!
Setelah mengubur jenazah itu dengan sederhana di dalam hutan, Kian Bu lalu kembali ke tempat tadi untuk mencari paha kijang yang telah dipanggangnya. Akan tetapi, betapapun dia mencari, dua paha kijang itu telah lenyap! Dia menjadi heran sekali, juga penasaran dan bersungut-sungut. Perutnya lapar sekali dan paha-paha kijang tadi kelihatan amat enak! Apakah digondol binatang hutan? Agaknya tidak mungkin, karena binatang liar tentu tidak doyan makanan daging yang sudah dipanggang itu. Dia lalu memasuki hutan dengan maksud mencari kijang lain atau kelinci. Tak lama kemudian, dia sudah berdiri memandangi gadis cantik yang tidur berbantalkan buntalan pakaian. Bukan hanya gadis cantik yang tidur nyenyak itu yang menarik perhatiannya, melainkan sepotong paha kijang yang tinggal separuh dan yang berada di atas rumput.
"Sialan....!"
Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya.
Cuaca yang terlalu gelap membuat dia tidak mengenal wajah gadis yang tidur nyenyak itu, maka dia pun lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak mengganggu Siang In yang masih tidur nyenyak. Sambil berjalan, dia teringat kepada gadis setengah telanjang yang telah mati karena diperkosa dan yang tadi mayatnya telah dia kubur. Dia teringat akan pakaian dalam gadis itu yang koyak-koyak dan kini teringatlah dia bahwa gadis itu bukanlah bangsan Han, setidaknya bukan pakaian gadis Han-lah yang dipakainya itu. Timbul keinginan tahunya. Dari manakah lima orang itu memperoleh gadis asing yang diperkosanya dan tewas tadi? Cepat dia kembali ke bukit yang ditinggalkan.
Fajar telah menyingsing dan cuaca telah mulai terang ketika dia tiba di tempat tadi. Dilihatnya Giam Hok sedang mengubur jenazah empat orang saudaranya dengan susah-payah dan sambil menangis. Diam-diam Kian Bu merasa kasihan juga. Betapapun jahatnya, orang ini telah menerima hukuman yang amat berat. Bayangkan saja! Tadinya dia berlima dengan saudaranya, terkenal di dunia kang-ouw sebagai Lima Dewa Maut dari selatan, dan kini dalam waktu semalam saja, empat orang saudaranya telah tewas semua dalam keadaan mengerikan, dia sendiri pun luka-luka dan kini dia mengubur jenazah empat orang saudaranya itu sambil menangis sedih! Setelah Giam Hok selesai menguruk lubang kuburan empat orang saudaranya, Kian Bu muncul. Melihat Kian Bu, Giam Hok cepat bangkit berdiri dan kini timbul keberaniannya. Dia bertolak pinggang dan berkata,
"Siluman Kecil adalah nama yang bergema di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti yang suka memberi kesempatan kepada para anggauta golongan hitam. Akan tetapi kalau sekarang telah berubah dan hendak membunuh aku, marilah, jangan kepalang. Memang aku pun tidak mempunyai harapan lagi, lebih baik menyusul saudara-saudaraku."
Kian Bu menarik napas panjang, lalu melangkah dekat. Jantung Giam Hok sudah berdebar keras. Dia maklum akan kelihaian iblis berambut putih ini, maka biarpun dia menantang maut, tidak urung jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi Kian Bu tidak menggerakkan tangan, melainkan menunduk, menutupi muka dengan rambut putihnya dan dari celah-celah rambut itu sepasang matanya yang mencorong tajam itu mengerling.
"Giam Hok loheng,"
Katanya ramah.
"Jangan mengira yang bukan-bukan. Biarpun engkau memang sudah layak dibunuh sepuluh kali, akan tetapi aku bukanlah seorang yang haus darah."
"Kalau begitu, mengapa Taihiap datang lagi menemui saya?"
Sikap Giam Hok berubah. Ucapan seorang seperti pendekar ini tentu saja dapat dipercaya, maka timbul lagi harapannya untuk hidup.
"Aku datang hanya untuk bertanya kepadamu asal-usul wanita yang tewas tadi. Dari manakah engkau memperolehnya atau menawannya?"
Tiba-tiba sikap Giam Hok menjadi berubah lagi, dan dia kelihatan takut sekali. Dia menoleh ke kanan kiri dan seolah-olah ingin melarikan diri. Melihat ini, Kian Bu menjadi heran dan tertarik.
"Giam-loheng, jangan takut. Ceritakan sebenarnya. Dari mana kalian memperoleh dia? Kulihat dia bukan seperti orang sini."
Dia berhenti sebentar dan menyambung,
"Dia seperti orang dari.... Bhutan. Benarkah?"
Memang keadaan pakaian wanita itulah yang amat menarik perhatian Kian Bu. Pakaian itu mengingatkan dia kepada Puteri Syanti Dewi! Karena itulah maka dia sampai mau menemui lagi orang she Giam itu. Akan tetapi Giam Hok menggeleng kepala.
"Saya tidak tahu.... hanya dia.... dia itu sesungguhnya adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani ehhh...."
Kembali Giam Hok berhenti dan memandang ke kanan kiri, ketakutan.
"Orang she Giam!"
Kian Bu membentak tak sabar lagi.
"Selagi ada aku di sini, yang engkau takuti siapa lagikah?"
Giam Hok menjadi makin gugup, akan tetapi setelah menelan ludah beberapa kali, dia dapat berkata dengan muka pucat,
"Dia adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal."
Kian Bu terkejut. Dia pernah bertemu dengan koksu dari Nepal, kakek botak yang amat lihai itu dan kini dia mendengar tentang Pangeran Nepal yang dayangnya tadi ditawan dan diperkosa sampai mati oleh lima orang iblis she Giam itu. Pantas saja pakaiannya mirip dengan pakaian Syanti Dewi, karena memang negera Nepal hampir sama dengan negara Bhutan, merupakan negeri-negeri tetangga di sebelah barat, di Pegunungan Himalaya.
"Hei, bagaimana kalian bisa memperoleh seorang dayang Pangeran Nepal?"
Tanyanya, tertarik. Giam Hok menarik napas panjang dan berkata,
"Itulah yang menjadi gara-gara sampai empat orang saudaraku tewas semua."
Lalu dia bercerita dengan suara sedih,
"Kami berlima mendengar bahwa Pangeran Nepal kini berada di lembah Huang-ho, di sarang Kui-liong-pang dan kami mendengar bahwa pangeran itu royal sekali terhadap orang-orang kang-ouw yang suka bersahabat dengan dia. Kami lalu mengunjungi lembah itu dan memang benar, Pangeran Liong itu mengumpulkan banyak orang pandai, bahkan kabarnya hendak membangun lembah itu menjadi benteng yang amat kuat. Akan tetapi sungguh menggemaskan, terhadap kami lima orang Giam-lo-ong dia memandang rendah dan kami diberi pekerjaan mengepalai orang-orang yang menggali parit untuk dibangun sebagai dasar dari tembok benteng. Kami merasa penasaran akan tetapi tidak berani membantah karena pangeran itu selain sakti juga dibantu oleh banyak orang-orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Maka kami bersikap sabar, sampai kami mendapat kesempatan melarikan diri sambil membawa seorang dayang cantik dari pangeran itu yang kami anggap sebagai hadiah. Hemmm, dayang itu memang cantik jelita dan tubuhnya berbau sedap, sayang dia tidak kuat dan lebih celaka lagi, ketika kami sedang lari, kami berjumpa dangan Bu-eng-kui. Untung kami masih dapat melarikan diri ke dalam hutan, berlindung di kegelapan malam. Akan tetapi, ketika kami sedang menikmati hadiah kami itu, muncul si Setan Tanpa Bayangan sehingga akibatnya.... beginilah...."
Kian Bu tertarik sekali mendengar akan Pangeran Nepal yang berada di lembah Huang-ho, di sarang perkumpulan Kui-liong-pang itu.
Mau apa seorang Pangeran Nepal main-main di tempat ini? Bahkan mau membangun sebuah benteng? Hadirnya Koksu Nepal yang lihai itu di istana Gubernur Ho-nan saja sudah amat mencurigakan hatinya, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa gubernur itu memang bermaksud buruk dan hendak membangkang terhadap kekuasaan kerajaan. Suma Kian Bu adalah putera Majikan Pulau Es, dia adalah putera dari Puteri Nirahai yang berdarah keluarga kaisar. Maka tentu saja di dalam batinnya terdapat perasaan setia terhadap kerajaan sehingga berita tentang pangeran asing itu menarik hatinya dan menimbulkan kecurigaannya. Melihat wajah Siluman Kecil itu kelihatan tertarik sekali, maka Giam Hok lalu melanjutkan,
"Memang aneh-aneh yang terjadi di lembah itu, Taihiap. Pangeran Nepal itu dibantu oleh banyak orang pandai dan luar biasa. Bahkan saya melihat kakek raksasa yang amat menyeramkan, yang kabarnya adalah kakek majikan Pulau Neraka yang kesaktiannya melebihi iblis sendiri, akan tetapi yang mempunyai seorang anak perempuan yang seperti bidadari...."
"Ahhh....!"
Kian Bu benar-benar tertarik. Kiranya Hek-tiauw Lo-mo telah berada di sana pula, dan puterinya itu, Kim Hwee Li, juga diajak ke tempat itu. Apa maksudnya tokoh jahat itu berada di sana dan apa artinya semua itu? Jangan-jangan di sana menjadi sarang mereka yang merencanakan pemberontakan! Memang tempat itu baik sekali, di perbatasan antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei! Dia harus menyelidikinya!
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Taihiap.... ahhh....!"
Giam Hok melongo karena pemuda yang tadinya masih berada di depannya itu tahu-tahu telah lenyap entah ke mana perginya! Lembah Huang-ho yang menjadi benteng pertahanan Kui-liong-pang itu benar-benar amat hebat! Jenderal Kao Liang benar-benar telah memenuhi janjinya terhadap Pangeran Liong. Sebagai seorang gagah perkasa, Jenderal Kao memenuhi janjinya, membuatkan sebuah benteng yang kokoh kuat dan yang tidak akan mudah diserbu oleh musuh.
Benteng itu terletak di Lembah sungai yang mengalir di belakang benteng dan amat sukarlah untuk menyerbu benteng melalui sungai karena sungai itu lebar sekali dan di bagian itu merupakan bagian yang mengandung banyak pusaran air. Selain berbahaya bagi perahu-perahu yang berani mendatangi benteng dari belakang, juga sebelum musuh dapat mendekati, tentu fihak penjaga benteng sudah dapat menghujankan anak panah ke perahu-perahu itu. Di kanan kiri benteng itu terlindung oleh tebing yang amat curam, juga dari kanan kiri ini sukar sekali musuh dapat menyerbu. Jalan satu-satunya adalah dari depan, akan tetapi tentu saja jalan ini diperketat penjagaannya sehingga dari jarak beberapa li sebelum tiba di benteng, musuh sudah akan nampak dan dapat dikepung karena jalan menuju ke benteng itu melalui jalan terusan yang di kanan kirinya terapit tebing curam.
Pasukan musuh yang melalui terowongan atau jalan yang terapit tebing ini sama dengan membunuh diri, karena tentu saja penyerangan dari atas kedua tebing di kanan kiri itu akan sukar sekali mereka tangkis atau balas. Akan tetapi, biarpun tidak dapat disangkal pula bahwa tempat itu merupakan tempat berbahaya dan sukar ditembus oleh pasukan, namun tidaklah merupakan tempat yang tak mungkin didatangi oleh seorang pendekar yang berkepandaian tinggi seperti Siluman Kecil, Suma Kian Bu yang datang sendirian saja! Menjaga penyelundupan pasukan besar tentu saja mudah, akan tetapi sama sekali tidak mudah bagi para penjaga untuk dapat melihat Kian Bu yang menyelinap masuk dengan pengerahan ilmunya meringankan tubuh. yang membuat dia dapat bergerak seperti burung terbang itu!
Kian Bu juga tidak kurang hati-hati. Dia maklum bahwa tempat itu amat berbahaya, apalagi karena di situ terdapat orang-orang yang amat sakti seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Koksu Nepal itu. Maka dia tidak berani muncul di siang hari dan menyelundup ke lembah itu, melainkan menanti sampai malam tiba. Bagaikan seekor burung saja ringannya, tubuh Kian Bu berloncatan, mula-mula melalui pohon, sampai ke puncak pohon dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke atas, berjungkir-balik beberapa kali, makin lama makin tinggi sampai dia mencapai puncak tembok benteng! Sukar membayangkan ada seorang manusia dapat berloncatan sampai setinggi itu. Orang lain, betapapun lihainya, tentu akan menggunakan tali untuk memanjat naik. Memang tingkat ginkang yang dimiliki atau dikuasai oleh Kian Bu sudah amat tinggi sehingga untuk waktu itu, jarang ada yang dapat menandinginya.
Akan tetapi, begitu kakinya menyentuh dasar puncak tembok, tiba-tiba saja terdengar suara kelenengan di tempat penjaga yang berada di setiap sudut tembok benteng. Kian Bu terkejut bukan main dan cepat memeriksa bawah kakinya. Kiranya, di atas tembok itu terben-tang tali yang amat halus dan karena malam hari itu gelap, maka dia tidak melihat kawat halus itu. Apalagi di waktu malam, bahkan andaikata dia meloncat ke tempat itu di siang hari, belum tentu dia dapat melihat kawat halus yang warnanya sama dengan kawat tembok itu. Dan kakinya hanya menyentuh kawat itu sedikit saja, namun ternyata sudah cukup bagi alat rahasia ini untuk membunyikan kelenengan di pondok penjaga. Memang hebat sekali perlengkapan yang dipasang sebagai penjagaan keselamatan yang diatur oleh Jenderal Kao Liang.
Begitu ada suara kelenengan, maka segera terdengar suara suitan-suitan bersambung-sambung, tidak terlalu keras sehingga tidak akan meributkan penduduk di sebelah dalam benteng atau di lembah itu, namun cukup untuk memberitahu kepada seluruh penjaga yang bertugas di sekeliling benteng! Kian Bu menjadi bingung. Dia masih berada di atas tembok, dan kini dia sudah ketahuan oleh penjaga. Cepat dia lalu meloncat ke sebelah dalam tembok, hinggap di atas atap rumah penjaga dan mendekam di balik wuwungan tinggi, mengintai ke depan. Nampak olehnya betapa para penjaga menjadi sibuk dan banyak sekali pasukan-pasukan kecil hilir-mudik dengan obor-obor di tangan. Celaka, pikirnya, benteng ini benar-benar amat rapi penjagaannya dan melihat pakaian seragam itu, agaknya benteng ini penuh dengan pasukan-pasukan terlatih!
Padahal, tidak demikian sesungguhnya. Orang-orang yang membentuk pasukan-pasukan kecil dengan pakaian seragam itu hanyalah anak buah Kui-liong-pang yang mulai terdidik sebagai pasukan-pasukan penjaga. Belum ada rencana Gubernur Ho-nan untuk menempatkan barisan yang dikuasainya ke dalam benteng yang menjadi tempat tinggal Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu. Dari tempat sembunyinya, Kian Bu melihat berkelebatnya bayangan orang orang. Dia makin terkejut. Ternyata banyak sekali orang pandai di dalam benteng ini. Ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo berlompatan dari genteng ke genteng bangunan lain untuk ikut mencari penyelundup, dia diam saja dan tetap bersembunyi di tempat gelap.
Dari arah lain dia melihat pula bayangan yang juga amat ringan, dan ternyata bahwa orang itu adalah seorang kakek tua yang wajahnya amat menyeramkan tertimpa sinar lampu dan obor, muka tengkorak yang menakutkan sekali, pakaiannya serba hitam, dan muka tengkorak yang putih seperti kapur itu kelihatan jelas sekali di atas pakaiannya yang hitam. Itulah Hek-hwa Lo-kwi! Kemudian datang pula seorang laki-laki tinggi besar yang kepalanya tertutup sorban dan jenggotnya sampai ke perut, memegang sebatang tongkat panjang kayu cendana. Kakek bersorban ini gerakannya juga amat hebat sehingga Kian Bu menjadi makin kaget. Yang kelihatan saja sudah ada tiga orang sakti di situ! Ternyata cerita Giam Hok itu benar juga! Tiga orang kakek itu berhenti tak jauh dari tempat dia bersembunyi, dan mereka bercakap-cakap, maka dia lalu mengerahkan pendengarannya untuk menangkap percakapan mereka.
"Jangan membolehkan para perjaga memukul tanda bahaya lebih dulu!"
Terdengar kakek bersorban berkata dengan suaranya yang kaku.
"Jangan sampai mengagetkan pangeran kalau belum jelas persoalannya."
"Penjaga-penjaga tolol itu! Belum apa-apa sudah ribut sendiri. Hemmm, Lo-kwi, anak buahmu itu benar-benar tidak becus!"
Berkata Hek-tiauw Lo-mo. Hek-hwa Lo-kwi memandang marah.
"Yang tidak becus adalah Jenderal Kao itu! Alat rahasianya yang menimbulkan geger! Jangan-jangan hanya seekor kucing saja yang melanggarnya sehingga kelenengan berbunyi. Jangan lancang mengatakan anak buahku yang tidak becus, Lomo. Bahkan anak buahku memperlihatkan kesigapan sehingga ada tanda sedikit saja mereka sudah siap!"
"Ataukah panik karena ketakutan?"
Hek-tiauw Lo-mo mengejek.
"Kau berani menghina anak buahku?"
Hek-hwa Lo-kwi menghardik dengan alis berkerut. Melihat dua orang kakek ini yang memang seringkali saling berbantahan dan saling tidak mau kalah, kakek Nepal bersorban itu cepat menengahi dan berkata,
"Sudahlah, sesungguhnya tidak ada yang bersalah dalam hal ini. Andaikata benar hanya kucing yang melanggar, maka hal itu membuktikan bahwa hasil pekerjaan Jenderal Kao memang hebat sehingga tempat ini tidak mungkin didatangi musuh tanpa ketahuan. Dan anak buah Kui-liong-pang juga sudah membuktikan kesigapan mereka sehingga membuktikan pula baiknya disiplin yang ditanamkan oleh Jenderal Kao. Hanya jangan sampai hal ini didengar oleh pangeran. Kalau hanya masuknya kucing yang melanggar alat rahasia itu sampai mengagetkan pangeran, kita semua tentu akan menerima teguran keras."
"Kucing atau tikus yang melanggarnya, kita tidak boleh lengah. Andaikata ada orang pandai masuk, dia tentu hanya mempunyai tujuan untuk coba-coba melarikan tawanan."
Kata Hek-hwa Lo-kwi.
"Ah, sekali ini kau benar, Setan Tua! Sebaiknya kita membagi tugas. Aku mengawasi anakku, engkau mengawasi puteri dan biar Gitananda ini yang memperkuat penjagaan keluarga Kao di sana,"
Kata Hek-tiauw Lo-mo. Kakek bersorban itu yang bukan lain adalah kakek Gitananda pembantu Koksu Nepal, mengangguk dan tiga orang itu lalu melayang, turun dalam tiga jurusan. Kian Bu termenung dan termangu-mangu. Kiranya di tempat ini terdapat tawanan-tawanan dan di antaranya adalah keluarga Jenderal Kao! Akan tetapi, menurut percakapan tadi, benteng ini adalah buatan Jenderal Kao, juga tali kawat halus berupa alat rahasia tanda bahaya yang terlanggar kakinya tadi. Apa artinya ini semua? Namun, dia segera melupakan semua itu karena perhatiannya sepenuhnya tertarik oleh ucapan Hek-tiauw Lo-mo yang menyebut-nyebut tentang "puteri"
Dan menyuruh Hek-hwa Lo-kwi untuk mengawasi sang puteri. Siapakah itu? Jantungnya berdebar tegang. Apakah yang dimaksudkan itu adalah Puteri Syanti Dewi?
"Besar kemungkinannya demikian,"
Pikirnya. Menurut Ceng Ceng, Syanti Dewi telah meninggalkan Bhutan dan kini diculik dan dilarikan orang. Bukan tidak aneh kalau Syanti Dewi berada di sini, menjadi tawanan orang-orang Nepal!
Setelah berpikir demikian, dia lalu dengan hati-hati berlari menuju ke arah larinya Hek-hwa Lo-kwi untuk menyelidiki dan kalau memang benar Syanti Dewi yang menjadi tawanan di tempat ini, dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menolong puteri itu keluar dari benteng ini! Akan tetapi, Kian Bu menjadi bingung karena dia sudah kehilangan bayangan Hek-hwa Lo-kwi dan dia mendekam di atas wuwungan sebuah bangunan terbesar karena dia mengira bahwa agaknya kakek itu tadi lenyap di tempat ini dan agaknya sudah meloncat turun. Dia bersembunyi di balik wuwungan dan melihat bahwa kini para pasukan sudah mulai tenang, agaknya mereka itu pun menganggap bahwa yang melanggar tanda bahaya tadi hanyalah seekor kucing saja. Akan tetapi jauh di bawah, dia melihat bayangan seorang tinggi besar yang dengan suara lantang berkata kepada para pasukan,
"Malam ini tidak ada istirahat! Semua harus berjaga secara bergiliran sampai pagi! Baik kucing maupun apa saja yang melanggar alat tanda bahaya, kita harus tetap berjaga!"
Kian Bu terkejut ketika dia mengenal suara itu. Jenderal Kao Liang! Hampir dia tidak dapat menahan suaranya untuk memanggilnya. Akan tetapi dia cepat sadar, sungguhpun dia hampir tidak percaya. Jenderal Kao kini memimpin pasukan menjaga benteng itu? Dan Jenderal Kao ini sekarang menjadi pembantu atau kaki tangan seorang pangeran asing yang agaknya bersekutu dengan Gubernur Ho-nan yang akan memberontak? Sungguh tak masuk di akal dan sukar sekali untuk dapat dipercaya.
Padahal nama Jenderal Kao telah terkenal sebagai seorang pahlawan yang amat setia kepada
(Lanjut ke Jilid 35)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 35
kerajaan! Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan Hek-tiauw Lo-mo tadi yang menyinggung adanya keluarga Kao yang harus dijaga. Jelas bahwa keluarga Kao Liang yang dikabarkan lenyap diculik orang itu ternyata diculik oleh kaki tangan Pangeran Nepal dan berada di sini menjadi tawanan! Mengertilah dia, sungguhpun pengertian itu juga menimbulkan keheranan di dalam hatinya. Tentu keluarga jenderal itu ditawan dan dijadikan sandera untuk memaksa sang jenderal menuruti permintaan musuh agar jenderal itu suka membangun benteng dan mengatur penjagaan benteng itu. Yang mengherankan hatinya adalah mengapa jenderal itu suka melakukan perbuatan yang sifatnya mengkhianati negara ini hanya demi menyelamatkan keluarganya.
Diam-diam Kian Bu merasa khawatir sekali, Kalau keluarga jenderal itu menjadi tawanan, dan juga Syanti Dewi seperti yang diduganya, maka tidak akan mudahlah untuk menyelamatkan mereka dan meloloskan mereka dari tempat ini. harus diakuinya bahwa benteng ini amat kuat. Dia yang sudah memiliki ginkang istimewa saja masih mengalami kesukaran dan dapat diketahui kehadirannya. Mereka yang biarpun berkepandaian tinggi, kalau tidak memiliki ginkang istimewa, kiranya akan sukar memasuki benteng ini. Dan di dalam benteng masih terdapat begitu banyak orang pandai. Sekarang pun dia tahu bahwa dia tidak bisa mempergunakan kekerasan, karena mana mungkin dia akan berhasil kalau harus menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang pandai yang masih dibantu oleh pasukan pula?
"Aku harus menolong Syanti Dewi,"
Pikirnya dengan hati bulat.
"Apapun yang terjadi, aku harus menyelamatkan dia."
Jantungnya berdebar kalau dia teringat kepada puteri itu. Bayangan wajah yang cantik jelita dan lembut itu membangkitkan semangatnya dan Kian Bu lalu cepat bergerak menyelidiki bangunan besar di mana Hek-hwa Lo-kwi tadi menghilang. Dia memandang ke bawah. Sunyi di pekarangan belakang gedung itu, maka dia lalu melayang turun dengan maksud untuk menyelidiki tempat itu dari bawah. Dengan gerakan yang amat cepat dan ringan, kedua kakinya sudah hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan yang amat mengejutkan hatinya.
"Hei, berhenti! Siapa di situ?"
Bukan main kagetnya hati Kian Bu mendengar bentakan ini. Tadi tidak kelihatan ada seorang pun manusia di bawah ini, mengapa begitu kakinya menyentuh tanah lalu ada orang yang menegurnya? Bayangan orang itu muncul dari balik sebuah pintu maka dia menduga bahwa tentu tempat itu ada alat rahasianya lagi. Akan tetapi, dia cepat mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas dengan kecepatan kilat. Dia mendekam di atas genteng, mendengar langkah kaki beberapa orang di bawah dan terdengar suara orang mengomel,
"A-ban, siapa yang kau tegur tadi? Tidak ada bayangan seorang pun di sini!"
"Ah, jelas kulihat tadi bayangannya. Kenapa dia bisa lenyap lagi?"
Kian Bu cepat berloncatan di atas genteng menuju ke samping gedung itu untuk turun dari bagian lain. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Maling hina, menyerahlah!"
Dan sebuah lengan yang panjang besar, dengan tangan berbentuk cakar, dan kuku-kukunya yang panjang keluar bau amis dan gerakan tangan itu mengandung sambaran angin besar, telah meluncur hendak mencengkeram pundaknya dari belakang.
Kian Bu maklum bahwa tangan itu adalah tangan orang yang memiliki ilmu tinggi, dan juga kuku-kuku tangan itu mengandung racun berbahaya, maka dia mempergunakan kelincahannya, melesat ke belakang dan menyerong ke kanan sehingga cengkera-man itu luput. Dia tidak mau melayani dan terus lari ke depan. Raksasa yang menyerangnya itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi. Ketika tadi dia mendengar teguran penjaga di belakang gedung, dia tahu bahwa ada orang di sekitar tempat itu, maka diam-diam dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dia langsung saja menerkam. Akan tetapi, Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Terkamannya itu dapat dielakkan sedemikian mudahnya oleh maling itu! Dan kini maling itu dapat berlari sedemikian cepatnya.
"Hendak lari ke mana kau?"
Bentaknya dan dia pun mengejar dengan cepat. Kian Bu cepat melarikan diri dan meloncat ke atas genteng rumah lain. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga sebentar saja Hek-hwa Lo-kwi telah kehilangan jejaknya. Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak wuwungan sebuah bangunan lain, tiba-tiba terdengar suara berkerining di dalam bangunan itu, disusul bentakan kasar yang parau dan keras, sekali,
"Anjing dari mana berani mengantar nyawa? Ha-haha!"
Dan dari sebuah jendela, melayang keluar sesosok bayangan orang tinggi besar yang langsung naik ke atas genteng. Begitu melihat bayangan ini, Kian Bu mengenalnya. Orang itu bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, musuh lamanya! Kian Bu hendak lari lagi, akan tetapi tiba-tiba ada sinar meluncur ke arah lambungnya. Cepat dia mengelak dan melihat bahwa sinar itu adalah sebatang tombak tulang ikan, senjata ampuh dari kakek raksasa itu, dia mengelak sambil menendang dengan ujung kakinya yang mengenai batang tombak. Tombak itu terpental, akan tetapi tidak sampai terlepas dari tangan kakek raksasa itu. Namun, terpentalnya tombak itu cukup bagi Kian Bu untuk menjejaknya kakinya dan tubuhnya sudah melesat dengan cepat sekali dari situ.
"Ha-ha-ha, kau hendak lari? Tak mungkin! Hek-tiauw Lo-mo mengejar sambil tertawa suara ketawa untuk menutupi rasa penasaran dan kagetnya karena maling itu ternyata mampu mengelak dari senjatanya yang ampuh, bahkan tendangan kaki orang itu hampir saja membuat tombaknya terlepas dari pegangannya! Tentu saja Kian Bu tidak merasa jerih menghadapi dua orang kakek sakti itu, akan tetapi kedatangannya bukan untuk bertanding dengan mereka, melainkan untuk membebaskan Syanti Dewi. Kalau dia melayani mereka, tentu akan muncul yang lain dan akan sukarlah baginya untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi yang belum diketahuinya berada di mana itu, bahkan belum diketahuinya dengan pasti apakah benar Puteri Bhutan itu berada di tempat itu sebagai tawanan.
Maka dia cepat berlari dan ketika dia melihat bayangan Hek-hwa Lo-kwi mendatangi dari depan sedangkan Hek-tiauw Lo-mo mengejar dari belakang, dia lalu melarikan diri ke kanan. Akan tetapi baru saja dia melompat ke atas genteng bangunan di sebelah kanan, tiba-tiba muncul belasan orang pasukan yang melepaskan anak panah ke arahnya. Kiranya tempat itu telah dijaga dengan barisan panah dan terpaksa dia lalu mempergunakan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini sambil menggerakkan kedua tangan menyampok anak panah yang tak dapat dielakkannya. Melihat bahwa di depan telah dihadang, dia lalu membalikkan diri lagi dan berlari ke jurusan kiri, tempat yang agak terang karena di situ terdapat sebuah bangunan yang amat megah, agaknya merupakan bangunan induk dan tempat itu terang sekali, bahkan di atas genteng juga terang karena ada lampu-lampu besar digantung di tingkat atas.
Celaka, belum juga dia tahu di mana adanya Syanti Dewi, kalau benar dara itu ditawan di situ, dia telah ketahuan. Lebih baik aku menyelamatkan diri lebih dulu, baru kemudian mencari akal untuk menyerbu tempat ini, kalau perlu minta bantuan kakaknya atau teman-teman lain! Berpikir demikian, melihat jalan kanan kiri, dan belakang sudah dihadang musuh, Kian Bu meloncat ke atas bangunan yang megah dan terang itu. Dia mengerahkan ginkangnya dan mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng, kedua kakinya seolah-olah tidak menyentuh genteng dan tubuhnya melesat ke depan, kemudian jarak antara bangunan ini dan bangunan megah itu diloncatinya dengan gerakan yang membubung ke atas, tubuhnya berjungkir-balik beberapa kali dan akhirnya dengan ringan kedua kakinya hinggap di atas wuwungan gedung megah yang terang benderang itu.
"Kraaakkkkk....!"
Tiba-tiba genteng yang diinjaknya itu, yang diinjak dengan ringan sekali, mengeluarkan suara keras dan terbuka, disusul menyambarnya puluhan batang amgi (senjata gelap) berupa jarum, paku, piauw, pisau dan sebagainya lagi! Kian Bu sejak tadi tidak pernah kehilangan kewaspadaannya, maka begitu genteng-genteng itu terbuka dan dari dalam menyambar sinar-sinar senjata gelap itu, dia sudah mendahuluinya meloncat turun dari atas genteng dan karena tidak ada tempat lain yang dapat diloncatinya, terpaksa dia melayang turun ke bawah, sebuah ruangan terbuka yang amat terang dan sunyi, tidak nampak seorang pun manusia.
"Pyarrrrr....!"
Sebelum tubuhnya turun ke atas lantai ruangan terbuka itu, lebih dulu Kian Bu melemparkan sebuah genteng yang tadi disambarnya ketika dia meloncat. Genteng itu menimpa lantai dan pecah berantakan, namun tidak ada akibat apa-apa, maka barulah Kian Bu berani turun dan hinggap di dekat pecahan genteng itu. Ternyata ruangan yang lantainya dari batu ini tidak dipasangi alat rahasia, akan tetapi kesunyian tempat itu amat menyeramkan karena begitu kosong, begitu terang dan begitu sunyi! Sebelum Kian Bu bergerak, telinganya mendengar sesuatu, mendengar gerakan-gerakan di sekeliling tempat itu dan kini bermuncullanlah orang-orang di sekeliling ruangan terang itu, makin lama makin banyak dan ternyata bahwa tempat itu telah terkepung!
Tidak kurang dari lima puluh orang bersenjata lengkap mengepung tempat itu dan kini tempat itu telah tertutup oleh pagar manusia! Kian Bu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lengannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, muka agak menunduk dan sebagian tertutup oleh rambutnya yang panjang riap-riapan dan berwarna putih. Dia kelihatan seperti sebuah arca saja karena tidak pernah bergerak, namun mendatangkan perasaan ngeri di dalam hati para pengepungnya. Hanya mata di balik tirai rambut putih itu saja yang bergerak memandang ke kanan kiri, sikapnya tenang namun jelas bahwa setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga. Melihat pemuda berambut putih ini, sekarang jelas sekali karena penerangan di situ menjadi makin terang dan semua mata ditujukan kepada Kian Bu.
Sepasang Pedang Iblis Eps 53 Kisah Sepasang Rajawali Eps 15 Kisah Sepasang Rajawali Eps 41