Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 49


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 49



"Mundur semua! Mana wanita itu tadi?"

   "Dia.... dia sudah melarikan diri...."

   Seorang di antara mereka menjawab.

   "Bodoh, kejar!"

   Teriak Tang Hun dan kini dia menangkis pedang Hwee Li, kemudian dia membentak,

   "Nona Hwee Li, hayo kau berlutut!"

   Bentakan ini mengandung kekuatan batin karena Tang Hun telah mempergunakan ilmu sihirnya. Hwa-i-kongcu Tang Hun,

   Ketua Liong-sim-pang adalah murid dari Durganini, seorang nenek iblis dari India, ahli sihir, maka tentu saja dia pun pandai menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi batin lawan. Seketika Hwee Li merasa betapa kedua kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi, dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Namun, Hwee Li adalah seorang dara gemblengan yang sejak kecil digembleng oleh seorang manusia iblis aeperti, Hek-tiaw Lo-mo, bahkan dia lalu menjadi murid seorang wanita sakti seperti Lu Ceng Ceng dan karena berdekatan dengan suami subonya ini yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, maka dia bukan merupakan dara biasa yang mudah saja dikuasai sihir. Dia masih sadar bahwa dia diserang orang dengan sihir, maka dia menggunakan kecerdikannya. Biarpun dia sudah berlutut, namun dia masih memegang pedangnya dan kini dia cepat mengangkat muka memandang kepada Tang Hun.

   "Hwa-i-kongcu Tang Hun, engkau tahu siapa aku? Aku adalah tunangan dari Pangeran Bharuhendra! Beranikah kau kurang ajar kepada calon permaisuri Raja Nepal?"

   Ucapan dara itu sungguh amat mengejutkan hati Tang Hun.

   Pemuda pesolek ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan tidak mudah baginya untuk merasa terkejut apalagi takut. Akan tetapi, terhadap Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal, apalagi setelah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok juga menjadi kaki tangan Pangeran Nepal, dia benar-benar tahu bahwa pangeran itu memiliki kedudukan yang amat kuat dan dia tahu akan kelemahan-nya menghadapi mereka. Oleh karena itulah maka dia mau membonceng kekuasaan itu dan mau bersekutu dengan Pangeran Nepal. Kini, di ingatkan bahwa Hwee Li adalah tunangan dan calon isteri Pangeran Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Memang dia sendiri pun tahu betapa besar cinta kasih Pangeran Liong Bian Cu kepada dara cantik jelita dan lincah ini, maka diingatkan demikian, dia termangu.

   "Mampuslah!"

   Tiba-tiba Hwee Li meloncat dan pedangnya menyambar ke arah dada Tang Hun.

   "Aihh....! Cringgg....!"

   Tang Hun terkejut bukan main, sedapatnya dia menangkis pedang itu dengan pedangnya. Akan tetapi karena serangan itu datangnya tak tersangka-sangka, ketika Hwee Li menggerakkan kakinya menendang dia tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.

   "Desss!"

   Pahanya kena ditendang dan tubuh Tang Hun terlempar ke belakang. Ketika dia merangkak bangun sambil meringis karena pahanya terasa nyeri bukan main, dia melihat bahwa Hwee Li telah lenyap, telah melarikan diri. Terpincang-pincang dia mengejar sambil menyumpah-nyumpah karena merasa bodoh. Kiranya ketika dia terkejut tadi, kekuatan sihirnya pun lenyap sehingga dara itu dapat bergerak dan menyerangnya.

   Sementara itu, Kian Bu yang terpisah dari Hwee Li mencari-cari dara itu. Tentu saja tidak mudah mencari Hwee Li di tempat itu, di mana pasukan musuh sibuk mengejar dan mencari-cari mereka. Maka Kian Bu mencari Hwee Li sambil juga bersembunyi-sembunyi jangan sampai bertemu dengan para perajurit musuh dan tokoh-tokoh lihai yang berkeliaran di dalam benteng. Dia tidak begitu khawatir akan keselamatan Hwee Li karena dia maklum bahwa selain lihai sekali, juga gadis itu amat cerdik dan menurut ceritanya, gadis itu dicinta oleh Pangeran Liong Bian Cu, maka keselamatan gadis itu agaknya tidak begitu mengkhawatirkan. Dia harus dapat mencari sendiri Pangeran Liong Bian Cu untuk dibekuk, karena itulah kiranya satu-satunya untuk menguasai benteng dan menyelamatkan para tawanan.

   Tiba-tiba dia melihat ribut-ribut di bawah. Dia mendekam di atas wuwungan dan memandang ke bawah. Di bawah sinar lampu dan obor, dia melihat seorang pemuda sedang dikeroyok oleh belasan orang perajurit yang dipimpin oleh seorang kakek bertubuh gorilla yang amat mengerikan. Kiranya kakek itu adalah Su Lo Ti yang memiliki kepandaian seperti iblis! Dan pemuda yang dikeroyok itu adalah Suma Kian Lee! Dikeroyok oleh belasan orang itu, Kian Lee bersilat seenaknya saja dan setiap orang pengeroyok yang berani mendekat, tentu roboh oleh tamparan atau tendangannya. Kakek gorilla itu hanya menonton dan berdiri sambil berpangku tangan. Kemudian dia menurunkan kedua lengannya yang panjang, lalu mengangkat sebelah tangan ke atas sambil berkata,

   "Mundur kalian semua!"

   Para pengeroyok itu berloncatan mundur dan menolong teman-teman yang sudah roboh. Kakek itu melangkah dengan langkah seekor monyet besar, menghadapi Kian Lee yang memandang kepada kakek gorilla itu dengan sinar mata tajam dan penuh kewaspadaan. Kian Lee yang sudah pernah bentrok dengan kakek ini maklum betapa lihai dan berbahayanya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa jerih. Sinar mata yang mencorong dan mengeluarkan cahaya kehijauan dari kakek itu menandakan bahwa kakek itu telah menampung te-naga sinkang yang luar biasa. Ketika melihat Kian Lee dan sikapnya yang berani, kakek itu tersenyum.

   "Sungguh berani mati sekali, sudah pernah lolos dari bahaya kini malah berani mendatangi tempat ini. Sungguh pemuda Pulau Es yang mengagumkan dan patut dihormati!"

   Dari atas genteng, Kian Bu melihat dengan penuh kecurigaan dan hampir saja dia berteriak memperingatkan kakaknya ketika kakek gorilla itu menjura.

   Akan tetapi, Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak tenang namun waspada, maka begitu kakek itu menjura, dia pun cepat membalas dengan sikap hormat namun tidak melepaskan kewaspadaan. Benar saja, begitu kakek itu menjura, ada angin dahsyat menyambar dari kedua tangan kakek itu ke arah Kian Lee. Pemuda yang sudah siap ini cepat mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang untuk mendorong dan menangkis. Nampak asap mengepul ketika dua hawa itu bertemu dan Kian Lee terkejut juga karena ternyata olehnya betapa kuatnya sinkang dari kakek itu. Maka dia lalu meloncat ke pinggir menghindarkan adu tenaga secara langsung. Sebaliknya, Twa-ok Su Lo Ti yang curang luar biasa itu tersenyum.

   "Bagus, tidak kecewa menjadi penghuni Pulau Es. Orang muda, mari kita main-main sebentar!"

   Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya.

   Memang hebat sekali kepandaian dari orang pertama Im-kan Ngo-ok ini. Angin menyambar-nyambar, bukan hanya dari kedua tangannya berikut lengan baju yang panjang, akan tetapi juga dari kedua kakinya dan angin yang menyambar itu mengandung hawa yang amat panas dan mengeluarkan bunyi bercuitan! Kian Lee maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya untuk melawan, menangkis, mengelak dan balas menyerang. Namun, setiap kali mereka berdua mengadu lengan atau mengadu hawa pukulan, selalu Kian Lee merasa terdorong ke belakang dan dadanya terasa nyeri karena tertekan oleh tenaga mujijat yang aneh! Dia makin terkejut, namuh dia melawan sekuatnya, karena dalam keadaan terdesak dan terkepung, tidak mungkin dia akan dapat meloloskan diri sebelum dia mengalahkan kakek lihai ini.

   "Lee-ko, kau serang bagian bawahhya!"

   Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan ada bayangan orang berkelebat dari atas, cepatnya seperti halilintar menyambar dan tahu-tahu Twa-ok Su Lo Ti merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah ubun-ubun kepalanya. Dan pada saat itu, Kian Lee yang maklum bahwa adiknya sudah muncul dan membantunya, cepat melancarkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin ke arah pusar kakek itu.

   "Aughhhhh....!"

   Twa-ok Su Lo Ti mengeluarkan gerengan nyaring sampai seluruh tempat itu seperti tergetar, dan biarpun penyerangan kakak beradik itu dahsyat, dan cepat, namun dia masih dapat menggunakan lengan kanan menangkis hantaman Kian Bu dan lengan kirinya menangkis pukulan Kian Lee.

   "Dukkk....! Desss....!"

   Tubuh Kian Lee mencelat ke belakang sedangkan tubuh Kian Bu juga berjungkir balik beberapa kali. Kakek yang lihai itu hanya tergetar dan terhuyung saja, padahal Kian Bu sudah menggunakan tenaga gabungan Im dan Yang, yaitu tenaga mujijat yang pernah membuat koksu roboh pingsan. Namun kakek gorilla ini hanya tergetar dan terhuyung, padahal pukulan Kian Bu tadi dibantu oleh pukulan Kian Lee yang juga amat kuatnya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu. Twa-ok memandang dengan kaget.

   "Ah, kiranya engkau yang disebut Siluman Kecil? Hebat, hebat! Sungguh orang-orang muda yang hebat,"

   Katanya halus akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya sudah menyerang ke depan, berputar-putar seperti gasing dan dari gerakan kedua tangannya menyambar tenaga yang amat kuatnya. Kian Bu dan Kian Lee cepat menyambut dengan tangkisan dan serangan balasan, namun keduanya maklum bahwa kakek ini memang benar-benar amat kuat.

   Kian Bu sendiri yang sudah banyak menghadapi orang kuat, diam-diam harus memuji dan mengakui bahwa selama ini baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang benar-benar amat menggiriskan. Tingkat kepandaian kakek bermuka monyet ini lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Sin-siauw Seng-jin, kakek yang menyimpan pusaka-pusaka Suling Emas itu! Akan tetapi sekali ini Kian Bu dibantu oleh kakaknya, Kian Lee yang kepandaiannya juga sudah meningkat tinggi, maka kakak beradik ini dapat mengimbangi permainan silat yang aneh dari Twa-ok. Akan tetapi, mereka harus mengakui bahwa untuk mengalahkan kakek itu bukanlah hal yang mudah, dan mereka berdua berada di tempat berbahaya. Baru seorang kakek ini saja sudah sehebat itu, kalau sampai datang yang lain-lain bukankah keselamatan mereka terancam bahaya?

   "Lee-ko, mari kita pergi!"

   Kata Kian Bu dan tiba-tiba saja pemuda ini menyambar tangan kakaknya dan sekali bergerak, mereka sudah melesat seperti kilat cepatnya ke atas genteng, dan dengan beberapa loncatan lagi mereka telah lenyap dari pandang mata. Twa-ok tidak mengejar, melainkan bengong memandang ke atas genteng dan berulang kali dia menarik napas panjang, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.

   "Hebat.... hebat....!"

   Dia masih tertegun karena harus diakui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia menyaksikan ginkang seperti itu! Dia sendiri maklum dalam hal ginkang, dia tidak akan menang melawan Siluman Kecil. Dan kalau dia dikeroyok dua, dia masih ragu-ragu apakah dia pun akan dapat mengalahkan dua orang muda yang amat hebat itu. Sementara itu, Kian Bu dan Kian Lee cepat menjauhkan diri dan bersembunyi di wuwungan rumah yang gelap.

   "Ah, kakek monyet itu benar-benar lihai sekali,"

   Kata Kian Bu.

   "Untung engkau keburu datang, Bu-te. Kalau tidak, kiranya aku tidak akan mampu mengalahkan dia."

   "Lee-ko, tempat ini berbahaya sekali. Melawan banyak orang pandai dengan kekerasan tentu tidak ada gunanya dan kita akan gagal. Sebaiknya kita mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu itu. Sekali dia sudah berada di tangan kita, kita dapat memaksa Koksu Nepal dan yang lain untuk menyerah."

   Kian Lee mengangguk.

   "Pikiran yang baik sekali, Bu-te. Akan tetapi ke mana kita harus mencarinya?"

   "Dia tentu berada di salah satu di antara rumah-rumah ini. Kita harus mencarinya sampai dapat. Mari!"

   Kakak beradik ini sama sekali tidak mau menyinggung soal Siang In dan Hwee Li. Keduanya merasa sungkan karena keduanya menduga bahwa tentu masing-masing mencinta dara yang melakukan perjalanan bersama itu. Kian Lee menduga bahwa Kian Bu jatuh cinta kepada Hwee Li, sebaliknya Kian Bu juga menduga bahwa Kian Lee tentu jatuh cinta kepada dara cantik jelita berpayung itu. Maka keduanya tutup mulut, tidak berani saling bertanya tentang dara-dara itu, padahal di dalam hati, mereka itu merasa heran dan bertanya-tanya ke mana perginya dara yang tadinya bersama masing-masing itu.

   Suasana makin menjadi gempar ketika beberapa kali para penjaga bentrok dengan Kian Lee, Kian Bu, Siang In, dan Hwee Li yang telah berpencaran dan terpisah-pisah itu. Seluruh pembantu yang pandai dikerahkan, bahkan Pangeran Liong Bian Cu sendiri memerintahkan agar para pengacau itu dapat ditangkap hidup-hidup. Koksu Nepal sendiri pun turun tangan, keluar dari kamarnya untuk memimpin para penjaga melakukan pencarian dan pengejaran. Para perwira pasukan yang mengadakan perondaan dan pemeriksaan, juga menjadi makin bingung ketika mereka melihat ada dua orang Hek-sin Touw-ong berkeliaran! Baru saja seorang perwira bersama selosin orang perajuritnya bertemu dengan Hek-sin Touw-ong di belakang sebuah rumah, dan begitu mereka keluar dari lorong dan berada di depan rumah itu, mereka melihat lagi Hek-sin Touw-ong! Biarpun kakek itu lihai, tidak mungkin pandai menghilang atau terbang secepat itu.

   "Heiii, Touw-ong! Bagaimana kau bisa muncul di sini? Padahal, baru saja kita saling jumpa di belakang...."

   Akan tetapi perwira itu tidak melanjutkan kata-katanya karena Hek-sin Touw-ong ke dua ini telah menggerakkan tangan menampar dan perwira itu roboh pingsan! Selagi para perajurit melongo dan kemudian marah-marah, Hek-sin Touw-ong ke dua itu telah melarikan diri! Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Hek-sin Touw-ong ke dua ini bukan lain adalah Gak Bun Beng! Para perajurit menggotong perwira yang pingsan dan mereka lari pergi menghadap Koksu Nepal. Ketika mereka bertemu dengan rombongan koksu, mereka melihat bahwa Hek-sin Touw-ong sudah berada di situ bersama rombongan koksu!

   "Dia.... dia telah menyerang dan merobohkan komandan kami!"

   Perajurit-perajurit itu berseru.

   "Kalian bicara apa? Sejak tadi aku berada di sini bersama dengan Koksu!"

   Jawab Touw-ong yang tentu saja mengerti bahwa yang dimaksudkan adalah Bun Beng. Karena koksu juga melihat sendiri betapa Touw-ong sejak tadi berada ber-samanya, maka dia marah-marah dan memaki-maki para perajurit dan menyuruh mereka pergi dan membawa perwira yang pingsan.

   "Kalian tolol! Tentu musuh yang telah menyerang perwira kalian, dan sama sekali bukan Touw-ong."

   "Tapi.... tapi hamba melihat betul bahwa Touw-ong...."

   "Cukup dan pergi! Atau kau lngin kupukul roboh juga?"

   Bentak koksu dan para perajurit itu segera pergi dengan ketakutan. Koksu Nepal marah bukan main.

   Dia merasa jengkel bahwa bentengnya diselundupi mata-mata musuh dan sampai sekian lamanya mata-mata musuh belum juga tertangkap. Ketika dia mendengar laporan dari Twa-ok yang bertemu dengan Siluman Kecil dan pe-muda Pulau Es, mengertilah koksu bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah dua orang di antara para mata-mata yang mengacau. Juga dia mendengar dari para pembantu lain bahwa gadis yang dicinta oleh pangeran, Hwee Li, dan seorang gadis lain yang mahir ilmu sihir, juga memasuki benteng da melakukan pengacauan. Kalau hanya orang-orang muda itu yang mengacau, masa seluruh pasukan tidak mampu menangkap mereka? Padahal di situ terdapat lm-kan Ngo-ok lengkap, belum lagi orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan masih banyak orang-orang pandai lagi!

   "Tangkap mereka!"

   Bentaknya ketika dia bertemu dengan semua pembantunya.,

   "Kalau tidak dapat menangkap, bunuh saja mereka!"

   "Akan tetapi, jangan sekali-kali melukai atau membunuh Nona Hwee Li!"

   Tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata dan tidak ada seorang pun berani membantah perintah ini.

   Pengejaran di perketat dan semua pengawal dikerahkan untuk mencari di seluruh tempat dalam benteng seperti menyisir rambut saja. Namun kekacauan makin menghebat ketika para pengawal itu tiba-tiba melihat Ang-siocia kembar! Saking bingungnya menyaksikan keributan yang ditimbulkan oleh empat orang muda yang belum dapat mereka jumpai, Ang-siocia dan Ceng Ceng meninggalkan tempat mereka dan ikut mencari, tentu saja dengan maksud melihat siapa orangnya yang menyusup ke dalam benteng dan kalau perlu melindungi mereka. Mereka lupa sama sekali bahwa wajah mereka adalah serupa dan bahwa mereka merupakan Ang-siocia kembar! Demikian pula dengan Gak Bun Beng yang sudah dapat menduga bahwa tentu keributan itu di timbulkan oleh Kian Bu dan Kian Lee. Pendekar ini pun telah menambah kebingungan para pengejar karena dia merupakan Hek-sin Touw-ong ke dua.

   "Benarkah dugaanmu bahwa satu di antara pengacau itu adalah Siluman Kecil, Lihiap?"

   Tanya Ang-siocia kepada Ceng Ceng yang berjalan di sebelahnya. Ceng Ceng mengangguk.

   "Siapa lagi kalau bukan dia yang begitu berani mengacau di tempat seperti ini? Dan aku mendengar sendiri dari mulut Twa-ok yang bertemu dengan Ji-ok, bahwa dia telah bentrok dengan pemuda lihai berambut putih panjang. Siapa lagi kalau bukan Paman Kian Bu?"

   Jantung Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berdebar kencang. Siluman Kecil berada di situ pula! Tentu saja dia makin bersemangat untuk dapat menolong dan menyembunyikan pendekar yang telah menundukkan hatinya itu dan mereka berdua lalu makin giat mencari.

   Tiba-tiba mereka bertemu dengan Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang tinggi dan sombong, yang memimpin belasan orang dan yang memegang golok dengan sikap angkuh, seolah-olah dialah yang akan berhasil menangkap para pengacau. Matanya liar memandang ke kanan kiri dan tiba-tiba matanya terbelalak ketika dia melihat Ang-siocia den Ceng Ceng! Dia mengenal Ang-siocia yang dianggap sebagai pembantu koksu yang lihai dan andaikata dia melihat seorang saja Ang-siocia berkeliaran, tentu dia tidak akan menaruh curiga karena sudah semestinya kalau Ang-siocia ikut pula mengejar dan mencari mata-mata musuh. Akan tetapi dia melihat Ang-siocia kembar! Dan dia tidak pernah mendengar Ang-siocia mempunyai enci atau adik di situ, apalagi saudara kembar.

   "Heeiii!! Berhentii!"

   Bentaknya. Ang-siocia sudah hafal akan semua pembantu koksu dan dia tahu siapa adanya si jangkung bergolok ini. Maka dia tersenyum dan berkata,

   "Jiu-lopek, mau apa engkau menghentikan aku? Apakah kau sudah berhasil membekuk mata-mata?"

   Jiu Koan memandang kepada Ang-siocia dan Ceng Ceng silih berganti dengan mata bingung.

   "Ang-siocia, engkaukah Ang-siocia? Dan siapa pula yang seorang ini?"

   Ditanya demikian, barulah Ceng Ceng lngat bahwa ia menyamar sebagai Ang-siocia dan Kang Swi Hwa sendiri baru sadar setelah dia menoleh dan menatap wajah Ceng Ceng. Celaka, pikirnya mengapa dia begitu pelupa dan bodoh! Hal ini tentu karena kegirangan hatinya mendengar bahwa Siluman Kecil berada di dalam benteng itu.

   "Lihiap, serang!"

   Bisiknya dan dia sudah menerjang maju. Juga Ceng Ceng sudah bergerak dan serangannya demikian hebatnya sehingga Jiu Koan tidak sempat lagi berteriak. Tengkuknya sudah dihantam oleh tangan Ceng Ceng dan dia roboh tak sadarkan diri lagi. Juga Ang-siocia telah merobohkan dua orang anak buah Liong-sim-pang, kemudian dua orang wanita itu meloncat dan melarikan diri, dikejar oleh para anak buah Liong-sim-pang yang berteriak-teriak.

   Di sana-sini terjadi pertempuran, apabila ada seorang di antara para pengacau itu kepergok musuh, akan tetapi karena empat orang muda itu memang lihai, mereka selalu dapat melarikan diri dan mereka begitu cerdik sehingga tidak pernah para tokoh lihai pembantu koksu dapat melihat mereka. Akan tetapi, setelah para pembantu koksu menggunakan siasat bersembunyi sambil mengintai, akhirnya Ang-siocia dan Ceng Ceng yang merupakan dua orang kembar itu terkepung oleh Twa-ok dan Ji-ok dibantu oleh beberapa orang penjaga! Twa-ok dan Ji-ok sudah mendengar dari para anggauta Liong-sim-pang betapa Ang-siocia telah berkhianat dan menyelundupkan seorang mata-mata yang menyamar seperti dia, maka begitu bertemu dengan Ang-siocia kembar ini, orang pertama dan ke dua dari Im-kan Ngo-ok langsung saja meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghadang.

   Ceng Ceng terkejut bukan main melihat dua orang yang wajahnya mengerikan itu. Twa-ok Su Lo Ti yang wajah dan tubuhnya seperti seekor monyet besar sudah mengerikan, akan tetapi Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang memakai topeng tengkorak lebih mengerikan lagi. Tentu saja dia tidak merasa takut, karena suaminya sendiri, Si Naga Sakti Gurun Pasir, dahulu juga memakai topeng setan yang mengerikan (baca Kisah Sepasang Rajawali), dan memang nyonya muda yang gagah perkasa ini tidak pernah merasa takut menghadapi siapapun juga, apalagi dia tidak pernah mengenal siapa adanya dua orang ini dan sampai di mana kelihaian mereka. Akan tetapi, Angsiocia sudah menjadi pucat wajahnya dan dia berbisik,

   "Lihiap, celakalah kita sekali ini...."

   Twa-ok Su Lo Ti tersenyum ramah, akan tetapi karena wajahnya seperti monyet, ketika tersenyum ramah wajahnya itu menyeringai seperti seekor kera marah.

   "Ha-ha-ha, engkaulah yang tulen karena wajahmu dapat berubah pucat. Dan yang seorang lagi adalah Ang-siocia palsu, wajahnya tertutup lapisan topeng. Ang-siocia, memang sejak lama aku sudah curiga kepadamu dan kepada gurumu, sekarang terbukti bahwa engkau menyelundupkan seorang mata-mata musuh. Betapa berani mati engkau."

   "Twa-heng, ingin aku melihat wajah orang ke dua ini,"

   Kata Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan tiba-tiba telunjuknya menuding ke arah Ceng Ceng, ke arah wajah pendekar wanita ini. Terdengar suara mencicit nyaring dan hawa dingin tajam menyambar ke arah wajah Ceng Ceng. Wanita ini terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita tua bertopeng tengkorak itu demikian hebat kepandaiannya. Cepat dia miringkan tubuhnya dan menggunakan kekuatan sinkang untuk menangkis. Dia berhasil menghindarkan diri, akan tetapi tetap saja dia terhuyung, tanda betapa kuatnya sinkang dari wanita muka tengkorak itu! Di lain fihak, Ji-ok Kui-bin Nio-nio juga terkejut dan penasaran. Tidak banyak orang dapat menghindarkan diri dari serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat diandalkan itu.

   "Eh, kau boleh juga!"

   Dia mengejek dan sudah hendak menyerang pula. Akan tetapi Twa-ok mencegahnya.

   "Tak perlu membuka kedoknya, Ji-moi. Wajah semua wanita pun sama saja, tiada bedanya dengan kedok. Kulit muka hanyalah topeng yang menutupi keadaan aselinya. Kalu kulit muka dikupas, yang nampak tentu hanyalah tengkorak seperti yang kau pakai itu."

   "Kalau begitu dia tentu harus kita bunuh dulu."

   "Tidak perlu, aku bisa mengupas kulit muka mereka sehingga nampak tengkoraknya tanpa membunuh mereka. Kau ingin lihat?"

   "Baik, kau lakukanlah. Ingin aku melihat tengkorak hidup, hi-hik-hik, tentu lucu sekali, Twa-heng."

   Mendengar percakapan dua orang aneh itu, Ang-siocia merasa ngeri. Akan tetapi, Ceng Ceng marah bukan main. Dua orang itu bicara seolah-olah dia dan Kang Swi Hwa hanya merupakan dua buah boneka yang boleh diperbuat sesuka hati dua orang iblis itu.

   "Iblis-iblis tua bangka yang sombong! Siapa takut padamu?"

   Bentak Ceng Ceng dan nyonya muda ini sudah menyerang dengan pukulan dahsyat. Pukulan ini adalah pukulan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) yang dipelajarinya dari mendiang Ban-tok Mo-li, dan setelah nyonya muda ini minum darah anak naga dan memiliki kekuatan mujijat, tentu saja pukulan yang menggunakan Ban-tok Sin-ciang ini dahsyatnya bukan main. Angin pukulan yang mengandung hawa panas seperti api berkobar menyambar ke arah kakek gorilla itu ketika Ceng Ceng menyerangnya.

   "Aehhh....!"

   Twa-ok Su Lo Ti berseru kaget. Dia mengenal pukulan beracun yang mengandung tenaga amat kuatnya, maka cepat dia pun bergerak menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

   "Desss....!"

   Tubuh Ceng Ceng terlempar ke belakang, akan tetapi nyonya muda ini tidak roboh melainkan berjungkir balik dan turun lagi ke atas tanah dengan selamat, sungguhpun napasnya agak memburu karena dadanya terguncang hebat. Akan tetapi, sebaliknya kakek itu pun terhuyung ke belakang. Bukan main kuatnya memang tenaga sakti yang didapat oleh Ceng Ceng dari sari darah ular telaga yang dinamakan anak naga itu! Twa-ok Su Lo Ti terbelalak kaget dan penuh kagum. Selama hidupnya mengembara di dunia kang-ouw sebagai orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, baru sekarang dia bertemu tanding seorang wanita muda yang memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga dalam pertemuan tenaga tadi mampu membuat dia terhuyung.

   "Hi-hi-hik, Twa-heng, apakah kau masih bersumbar hendak mengupas kulit mukanya hidup-hidup?"

   Ji-ok mengejek. Wanita tua mengerikan ini senang melihat Twa-hengnya menemukan tandingan yang amat tangguh maka dia mengejek. Akan tetapi Twa-ok tidak mempedulikannya.

   "Siapakah engkau?"

   Tanyanya sambil memandang kepada Ceng Ceng.

   "Siapa adanya aku tidak perlu kau tahu!"

   Bentak Ceng Ceng dengan angkuh. Twa-ok mengangguk-angguk.

   "Bagus, bagus! Kau kira aku tidak akan dapat mengenal ilmu silatmu? Nah, kau sambutlah ini dan aku akan mencoba untuk mengenal ilmu silatmu."

   Setelah berkata demikian, dua buah lengan panjang itu bergerak dan tahu-tahu dua buah tangan itu mulur sampai panjang, hendak menangkap Ceng Ceng dari atas dan bawah. Yang atas mengacam kepala, yang bawah hendak menangkap kaki! Ceng Ceng makin kaget. Dari suaminya dia sudah mendengar akan adanya ilmu mujijat ini, yang dapat membuat kedua lengan mulur sampai panjang sekali dan ilmu ini sungguh amat berbahaya. Cepat dia lalu mengerahkan tenaganya dan menggunakan kedua tangannya untuk menyambut dua lengan panjang itu dengan babatan tangan yang dimiringkan.

   "Wut-wuttt.... plakkk!"

   Kembali tubuh Ceng Ceng terlempar. Ketika kedua tangannya membabat tadi, seperti dua ekor ular hidup, kedua lengan Twa-ok Su Lo Ti sudah mengelak dan dari samping, tangan itu menampar ke arah tengkuk Ceng Ceng. Nyonya muda itu cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar dan dia terlempar dan terbanting. Baiknya nyonya muda ini memiliki kekebalan, dan dia menggulingkan tubuhnya lalu meloncat bangun kembali. Sementara itu, melihat Ceng Ceng sudah bertempur melawan Twa-ok, dengan nekat Ang-siocia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ji-ok dengan senjata itu.

   Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang dimiliki Ang-siocia sudah lumayan, kini dia menggunakan pedang maka tentu saja serangannya bukan merupakan hal yang boleh dipandang ringan begitu saja. Ji-ok maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani menerima serangan pedang itu dan cepat dia bergerak mengelak dan membalas dengan sambaran hawa pedang yang menyambar dahsyat dari jari-jari tangannya. Menghadapi ini, Ang-siocia kewalahan dan baru belasan jurus saja baju di lengan kirinya telah robek dan kulit lengannya tergores hawa yang tajam itu. Dia terkejut dan melompat mundur, ditertawakan oleh Ji-ok! Pada saat yang amat berbahaya bagi kedua orang wanita muda itu, tiba-tiba muncul Koksu Nepal! Begitu muncul, Koksu Nepal ini cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru,

   "Twa-ok! Ji-ok! Jangan layani mereka. Pangeran berada dalam bahaya, yang penting kita harus lindungi pangeran. Mari....!"

   Tiba-tiba Ang-siocia menyentuh lengan Ceng Ceng dan berbisik,

   "Kita pergi!"

   Lalu dia menarik lengan Ceng Ceng. Nyonya muda ini mengerutkan alisnya, karena biarpun dia maklum akan kelihaian lawan, dia tidak takut dan ingin melawan terus. Akan tetapi sikap Ang-siocia yang menarik lengannya, dia pun tidak membantah dan meloncat bersama Ang-siocia meninggalkan tempat itu.

   Twa-ok dan Ji-ok saling pandang dengan wajah menunjukkan kemarahan. Koksu Nepal sudah lari ke kiri sambil memberi isyarat kepada mereka untuk ikut, akan tetapi mereka tidak mau cepat-cepat ikut, karena mereka merasa mendongkol dengan sikap koksu. Koksu tidak saja mencegah mereka menangkap atau merobohkan dua orang wanita muda tadi, bahkan koksu telah menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok! Agaknya dalam keadaan genting seperti itu, Sam-ok menganggap dirinya koksu dan menganggap mereka berdua bukan sebagai kakak-kakak yang sepatutnya disebut Twa-heng dan Ji-ci, melainkan menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok. Karena mendongkol inilah maka keduanya tadi membiarkan saja Ceng Ceng dan Ang-siocia lari dan kini mereka saling pandang.

   "Hemmm, lagaknya....!"

   Ji-ok mengomel.

   "Sam-te, memang sudah mabuk pangkat rupanya,"

   Twa-ok juga mengomel.

   "Jangan pedulikan dia, kalau muncul lagi akan kutempiling kepalanya!"

   Jik-ok makin marah.

   "Akan tetapi kita di sini untuk membantu pangeran, kalau dia benar dalam bahaya...."

   Mereka diam dan menoleh. Betapa kaget dan marah mereka ketika melihat koksu muncul lagi dari belakang, padahal baru saja koksu pergi ke kiri!

   "Twa-heng, Ji-ci, kenapa kalian diam saja di sini?"

   "Bagus, ya? Tadi menyebut Twa-ok dan Ji-ok, kini mengapa berubah dengan sebutan Twa-heng dan Ji-ci segala?"

   Ji-ok membentak dan sudah menyerang koksu dengan pukulan Kiam-ci!

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Plak-plak!"

   Dua kali koksu menangkis dan dia mencelat ke belakang.

   "Eh, eh, apa-apaan ini? Siapa menyebut kalian begitu?"

   Twa-ok memandang heran.

   "Bukankah baru saja engkau muncul dan mengajak kami melindungi pangeran?"

   "Siapa? Aku baru saja datang...."

   "Tentu kau koksu yang palsu!"

   Ji-ok sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya. Koksu meloncat ke kanan kiri lalu meloncat ke belakang.

   "Tunggu, kau keliru, Ji-ci. Lihat, apakah ini palsu?"

   Dia lalu bersilat, membuat gerakan aneh yang membuat tubuhnya berpusing. Itulah Thian-te Hong-i, ilmu silat khas dari Ban Hwa Sengjin atau Sam-ok. Melihat ini Twa-ok dan Ji-ok percaya.

   "Wah, kalau begitu, ada orang yang main-main dan menyamar sebagal engkau, Sam-te,"

   Kata Ji-ok. Twa-ok lalu menceritakan pertemuan mereka berdua dengan dua orang Ang-siocia, dan orang ke dua itu amat lihainya. Mendengar penuturan itu, koksu mengangguk-angguk.

   "Aku sudah tahu. Guru dan murid maling itu benar-benar telah mengkhianti kita. Dan Ang-siocia ke dua itu tentu adalah isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Agaknya mereka telah menyelundup ke sini. Ji-ci, lekas kau pergi ke tempat tawanan dan kau bawa anak Si Naga Sakti itu ke istana pangeran. Twa-heng, mari ikut aku untuk menjebak dan menangkap mereka."

   Ji-ok mengangguk dan berkelebat pergi, sedangkan Twa-ok lalu mengikuti koksu meninggalkan tempat itu. Ke mana perginya Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu? Dua orang yang memiliki kesaktian hebat ini mengapa tidak muncul dalam keadaan kacau-balau itu? Sesungguhnya mereka berdua pun sedang sibuk dan sesuai dengan rencana siasat Jenderal Kao Liang, mereka berdua mempergunakan kesempatan selagi keadaan kacau-balau itu untuk berusaha menyelamatkan keluarga Jenderal Kao lebih dulu.

   Seperti kita ketahui Gak Bun Beng menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong, sedangkan Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu memang tidak menyamar. Kini, dua orang sakti ini sudah berkelebat pergi menuju ke tempat di mana tawanan berada. Namun tempat itu terjaga dengan amat ketat, dan ketika mereka tiba di tempat itu, yang bertugas men-jaga adalah Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek sekali itu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu kurus yang tingginya dua meter setengah. Di samping dua orang tangguh dari Im-kan Ngo-ok ini, nampak pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Melihat ketatnya penjagaan di luar tempat tahanan, Bun Beng menarik tangan Kok Cu ke tempat gelap.

   "Penjagaan amat kuat,"

   Bisik Bun Beng.

   "Paman Gak, kita terjang saja. Biar saya saja yang mengamuk dan Paman dapat melindungi para tawanan dan membawa mereka keluar."

   Gak Bun Beng menggeleng kepala.

   "Empat orang kakek itu lihai sekali, dan kakek Nepal yang berdiri di sudut itu agaknya juga tak boleh dipandang ringan."

   "Kalau tidak salah, kakek itu bernama Gitananda dan menjadi pengawal pribadi koksu,"

   Bisik Kok Cu.
(Lanjut ke Jilid 48)

   Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 48
"Akan tetapi, biarlah saya menghadapi mereka."

   "Aku percaya kepadamu, Kok Cu. Akan tetapi, tujuan kita adalah mengeluarkan tawanan dan membawa mereka ke tempat seperti yang telah ditunjuk oleh ayahmu, bukan sekedar melawan mereka. Kalau sampai gagal, tentu akan lebih sukar lagi untuk menyelamatkan mereka. Kau seorang diri saja masih kurang cukup untuk melindungi aku mengeluarkan keluargamu yang amat banyak itu. Kalau saja ada Kian Lee atau Kian Bu...."

   Tiba-tiba kedua orang itu menarik diri ke tempat gelap karena mereka melihat berkelebatnya orang. Gerakan orang itu cepat bukan main dan melihat orang itu, Bun Beng cepat bergerak. Dengan loncatan seperti seekor burung saja, dia sudah keluar dari tempat sembunyinya dan menghadang di depan pemuda yang berkelebat itu.

   "Paman Gak....!"

   "Sssttttt cepat ke sinilah....!"

   Orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini berada di dalam tembok benteng,

   Bukan semata-mata hendak membantu pemberontak atau membantu Koksu Nepal, melainkan karena dia hendak melindungi Syanti Dewi yang dianggapnya berada di tempat itu sebagai tawanan. Ketika terjadi ribut-ribut pada malam hari itu, Tek Hoat terus menjaga di luar tempat tinggal sang puteri dengan setia dan penuh kewaspadaan. Biarpun di situ ada pula Mohinta dan kaki tangannya yang melakukan penjagaan, namun dia tidak pernah meninggalkan tempat itu dan siap untuk melindungi Syanti Dewi. Akan tetapi ketika dia mendengar dari Mohinta dan para penjaga bahwa yang mengacau di dalam benteng, di antaranya terdapat Kian Lee dan Kian Bu yang dinamakan orang Siluman Kecil, juga adanya berita bahwa Ang-siocia dan gurunya juga berkhianat, jantungnya berdebar tegang.

   Dia tahu bahwa mereka yang disebut sebagai pengacau-pengacau itu sama sekali bukanlah musuh Syanti Dewi, juga bukan musuhnya. Siapa tahu kalau-kalau gerakan mereka itu malah ada hubungannya dengan ditawannya Syanti Dewi dan bahwa mereka itu bergerak untuk membebaskan para tawanan termasuk Syanti Dewi. Semenjak benteng itu diserang oleh barisan kerajaan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yaitu bibinya sendiri, dia sudah merasa gelisah bukan main. Dia tidak sudi membantu orang Nepal, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan Syanti Dewi yang menjadi tamu atau tawanan di tempat itu. Yang membuat dia pusing dan bingung adalah sikap Syanti Dewi kepadanya. Begitu dingin dan lebih hebat lagi, Syanti Dewi minta kepadanya agar dia membantu orang-orang Nepal!

   Dalam keadaan bimbang inilah akhirnya Tek Hoat meninggalkan tempat di mana dia berjaga, yaitu di depan tempat tinggal Syanti Dewi dan dia berniat untuk mencari dan bertemu dengan seorang di antara para pengacau untuk menyelidiki apa yang mereka kehendaki. Maka ketika tiba-tiba dia melihat Gak Bun Beng, dia terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pendekar sakti itu juga telah berada di dalam benteng! Dia maklum bahwa pendekar sakti ini adalah seorang gagah dan budiman, bahkan pernah menyelamatkan nyawa Syanti Dewi berkali-kali, maka tentu saja dia menaruh kepercayaan penuh dan cepat dia mengikuti Bun Beng menyelinap ke dalam tempat gelap. Dan ketika dia melihat Kao Kok Cu berada pula di situ, dia makin terkejut. Dia maklum akan ke-lihaian si Topeng Setan ini, maka cepat-cepat dia menegur adik iparnya ini, karena Ceng Ceng adalah adik tirinya seayah berlainan ibu.

   "Engkau juga di sini?"

   Kao Kok Cu tersenyum.

   "Sama dengan engkau."

   "Tek Hoat, engkau harus membantu kami. Kami akan menyelamatkan keluarga Kao yang tertawan,"

   Kata Bun Beng. Tek Hoat mengerutkan alisnya dan memandang dengan bimbang, lalu dia berkata dengan suara meragu,

   "Akan tetapi aku.... saya harus melindungi dia di sana...."

   "Aku tahu, Tek Hoat. Engkau melindungi Syanti Dewi, akan tetapi bukankah engkau juga tahu bahwa Syanti Dewi bukanlah tawanan melainkan tamu? Syanti Dewi tidak akan terganggu, sebaliknya keluarga Kao terancam keselamatan nyawanya. Dan benteng ini telah dikurung oleh barisan kerajaan, dalam beberapa hari lagi pasti akan runtuh. Engkau harus membantu kami. Kau bantulah Kok Cu menyerang mereka yang menjaga tawanan itu, dan aku akan membawa mereka keluar."

   "Tapi Syanti...."

   "Jangan khawatir, akulah yang menanggung bahwa kalau benteng ini dibobolkan, dan kalau benar Syanti Dewi masih berada di sini, aku menjamin keselamatannya."

   Tentu saja ucapan seorang pendekar seperti Gak Bun Beng itu tidak pernah diragukan oleh Tek Hoat. Pula, memang sesungguhnya dia tidak suka kepada koksu dan semua pembantunya dan dia tidak sudi membantu mereka. Kalau saja tidak ingat bahwa Syanti Dewi perlu dengan perlindungannya, tentu dia tidak sudi tinggal di dalam benteng itu dan sudah keluar, bahkan ada kemungkinan dia membantu bibinya, Puteri Milana, untuk menyerbu ke dalam benteng. Maka mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia mengangguk.

   "Cepat, waktunya tinggal sedikit lagi!"

   Kata Gak Bun Beng dengan girang. Dia telah mengatur rencana dengan Jenderal Kao dan telah berjanji bahwa sebelum matahari pagi muncul, dia sudah harus dapat membawa para tawanan itu ke tempat aman, yaitu di dalam gudang bawah tanah yang telah ditentukan oleh Jenderal Kao Liang.

   Dan waktu itu, tengah malam telah lama terlewat. Fajar sudah menjelang tiba. Gak Bun Beng membisikkan siasatnya kepada Kao Kok Cu dan Tek Hoat, kemudian, dari tempat persembunyian mereka, tiga orang yang berilmu tinggi ini meloncat ke depan. Seperti sudah direncanakan oleh Bun Beng, maka Gak Bun Beng langsung menyerang Ngo-ok yang tinggi itu sedangkan Kok Cu mernyerang Su-ok, adapun Tek Hoat sudah menerjang ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Perhitungan Gak Bun Beng memang tepat. Di antara mereka yang berjaga itu orang-orang yang paling lihai adalah Su-ok dan Ngo-ok. Akan tetapi, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu kini diserang oleh dua orang sakti seperti Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, maka biarpun mereka itu cepat menyambut,

   Namun mereka terkena hantaman dengan hawa pukulan sinkang yang amat hebat sampai mereka itu terhuyung-huyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Bun Beng untuk mendesak Ngo-ok dengan ilmu sakti Lo-thiam-sin-ciang. Biarpun Si Jangkung itu sudah mempertahankan diri dan menggerakkan dua lengannya yang panjang, namun karena diserang secara mendadak oleh seorang yang memiliki tingkat ilmu lebih tinggi dari padanya, dia menjadi bingung dan gugup, akhirnya pundaknya kena ditampar dan dia terlempar sampai beberapa kaki jauhnya! Sepak terjang Si Naga Sakti Gurun Pasir lebih hebat lagi. Tadi dia melayang seperti seekor naga dan begitu tangan kanannya yang mencengkeram itu dapat dielakkan oleh si kate Su-ok yang masih terhuyung karena dorongan hawa pukulan,

   Kok Cu menubruk dengan kecepatan kilat dan lengan kirinya yang kosong dan hanya ada lengan baju saja itu meluncur ke depan, melakukan totokan sampai tujuh kali ke arah jalan-jalan darah yang paling berbahaya dari lawan. Su-ok berteriak kaget dan ketakutan, menggelinding ke sana-sini, dan biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari an-caman maut, tetap saja dia kena ditendang sehingga tubuhnya menjadi semacam bola dan terlempar lebih jauh dari tubuh Ngo-ok. Tek Hoat mengalami kesukaran karena dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Akan tetapi tibatiba Kok Cu membantunya dan dua orang iblis itu menjadi gentar karena hawa pukulan yang meluncur dari tangan tunggal Kok Cu sudah mendorong mereka ke belakang dengan dahsyatnya. Juga Gitananda yang memutar tongkatnya, bertemu dengan Bun Beng yang secara berani menangkis tongkat itu dengan lengan.

   "Krakkk!"

   Tongkat itu patah dan Gitananda meloncat ke belakang dengan muka pucat. Pendeta Nepal ini lalu berkemak-kemik, mengangkat tangan kiri ke atas dan berteriak nyaring,

   "Tiga orang jahat berlututlah kalian!"

   Bun Beng dan Kok Cu telah mencapai tingkat tinggi sekali dalam kekuatan sinkang mereka, maka biarpun jantung mereka tergetar oleh pengaruh sihir ini, dengan menahan napas mereka dapat menolak pengaruh itu. Ketika Tek Hoat terhuyung dan hampir berlutut, tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan suara melengking seperti seekor naga marah dan tiba-tiba Tek Hoat dapat meloncat ke depan kakek Nepal, dengan kemarahan meluap Tek Hoat lalu menusukkan jari tangannya dengan pengerahan tenaga sinkangnya ke arah dada Gitananda. Kakek ini terkejut, mendoyongkan tubuh ke belakang dan menggerakkan tangan kanan menangkis.

   "Cusss.... aughhh....!"

   Lengan yang menangkis itu bertemu dengan jari tangan Tek Hoat dan lengan itu tertusuk jari seperti tertusuk pedang saja! Memang hebat sekali jari tangan Tek Hoat ini dan bukanlah julukan kosong kalau di dunia kang-ouw dia dinamakan Si Jari Maut. Kiranya pengaruh sihir dari Gitananda tadi membuyar dan lenyap oleh suara lengkingan yang keluar dari dada Kok Cu.

   "Harap kalian suka menahan mereka!"

   Bun Beng berseru dan dia sendiri lalu menerobos dari kepungan, menghampiri pintu tempat tahanan dan merobohkan setiap orang pengawal yang berani menghalanginya. Dengan kekuatan tangannya, dibobolnya pintu itu. Pintu besi yang ter-kunci itu ambrol dan terbuka. Keluarga Kao yang sejak tadi merasa gelisah mendengar suara ribut-ribut, kini terkejut melihat munculnya seorang laki-laki gagah perkasa. Kini Gak Bun Beng sudah tidak lagi menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong. Semenjak dia pergi bersama Kao Kok Cu untuk menolong keluarga Kao, dia sudah menanggalkan penyamarannya yang dianggapnya tidak berguna lagi. Akan tetapi, Kao Kok Tiong, putera ke dua dari Jederal Kao, segera mengenal Bun Beng.

   "Gak-taihiap....!"

   Serunya girang dan semua keluarga lalu dikumpulkan dan diajak keluar oleh Bun Beng.

   "Cepat, kita harus pergi ke gudang bawah tanah. ini perintah Jenderal Kao!"

   Kata Bun Beng. Kok Tiong lalu mengatur keluarganya, digiringnya semua keluarga itu keluar dari tempat tahanan. Ternyata Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda dan semua penjaga sudah melarikan diri, tidak dapat menahan amukan Kok Cu dan Tek Hoat. Melihat ibunya dan semua keluarga keluar, Kok Cu girang dan terharu. Akan tetapi matanya mencari-cari dan wajahnya berubah.

   "Mana Cin Liong....?"

   Tanyanya. Kok Tiong, adiknya, cepat berkata,

   "Baru saja dia dibawa pergi oleh nenek muka tengkorak, Twa-ko."

   "Ji-ok....!"

   Kao Kok Cu berseru kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia sudah mendengar tentang kekejaman nenek iblis itu dan kini puteranya dibawa pergi oleh Ji-ok. Melihat keadaan kakaknya, Kok Tiong berkata dengan suara sedih,

   "Maafkan bahwa aku tidak dapat mempertahankan puteramu, Twa-ko. Nenek itu lihai bukan main dan dia berkata bahwa koksu yang menyuruh dia menjemput Cin Liong."

   Kao Kok Cu tentu saja tidak dapat menyalahkan adiknya karena dia pun maklum betapa lihainya Ji-ok yang sama sekali bukanlah tandingan Kok Tiong. Dia lalu berkata kepada Gak Bun Beng.

   "Paman Gak, tolong Paman lindungi keluarga kami, aku sendiri harus cepat mencari Cin Liong."

   Setelah berkata demikian dan melihat Bun Beng mengangguk, Kok Cu lalu berkelebat pergi dengan cepatnya. Gak Bun Beng kini dibantu oleh Tek Hoat mengawal keluarga Jenderal Kao menuju ke gudang bawah tanah yang memang sudah dipersiapkan oleh Jenderal Kao sebagai tempat persembunyian keluarganya kalau tiba saatnya. Tanpa ada rintangan, Bun Beng berhasil mengantar mereka semua memasuki gudang bawah tanah.

   "Paman Gak, sekarang saya harus pergi karena saya harus melindungi Syanti Dewi! Sedapat mungkin saya harus melarikan dia dari tempat ini sebelum terlambat."

   Gak Bun Beng mengangguk dan hendak membuka mulut, akan tetapi ditahannya dan dia memandang tubuh pemuda itu yang sudah berkelebat pergi.

   Tadinya dia hendak memberi tahu bahwa yang dilindunginya itu adalah Syanti Dewi palsu, akan tetapi dia ingat betapa aneh dan beraninya tabiat pemuda ini sehingga kalau sampai diiberitahu, mungkin pemuda ini akan mengamuk di dalam benteng secara nekat dan hal itu sama artinya dengan bunuh diri. Karena itulah maka dia tidak jadi memberi tahu. Dengan sikap gagah Gak Bun Beng menjaga di luar pintu gudang itu bersama Kao Kok Tiong yang kini timbul kembali semangatnya setelah keluarganya keluar dari tahanan, apalagi ketika dia mengetahui bahwa kakaknya yang sakti, juga banyak pendekar sakti, telah berada di dalam benteng untuk membantu keluarganya. Dia merampas sebatang pedang dari seorang penjaga dan dengan pedang di tangan dia ikut menjaga di depan pintu gudang di mana keluarganya bersembunyi.

   Ketika Tek Hoat berlari menuju ke tempat di mana Syanti Dewi berada, yaitu di sebuah bangunan kecil bagian barat, tiba-tiba dia melihat Kian Lee dan Kian Bu sedang mengamuk di luar rumah besar seperti istana yang dia tahu adalah tempat tinggal Pangeran Liong Bian Cu. Kakak beradik yang amat lihai itu dikeroyok oleh im-kan Ngo-ok! Tadinya Tek Hoat tidak mau peduli karena baginya yang terpenting adalah keselamatan Syanti Dewi, dan melihat betapa koksu dan teman-temannya sedang sibuk mengeroyok dua orang pemuda Pulau Es itu, dia melihat kesempatan baik untuk melarikan Syanti Dewi. Akan tetapi, melihat betapa dua orang kakak beradik yang amat lihai itu terdesak hebat oleh Im-kan Ngo-ok, sedangkan di situ masih nampak para pembantu koksu lainnya, dia merasa tidak tega.

   Dia teringat bahwa dua orang pemuda Pulau Es itu adalah orang-orang gagah luar biasa, dan dia teringat juga bahwa mereka itu sesungguhnya masih merupakan paman-paman tirinya karena dia adalah cucu kandung dari lbu Suma Kian Lee. Mendiang ayahnya dan Suma Kian Lee adalah seibu berlainan ayah. Mana mungkin dia mendiamkannya saja mereka yang terancam bahaya di tangan Im-kan Ngo-ok? Dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan lima orang iblis Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi kalau melihat dua orang pemuda Pulau Es itu terancam bahaya dan dia diam saja, selamanya dia akan merasa menyesal. Apalagi kalau hal itu terdengar oleh Syanti Dewi, tentu dia akan dikutuk sebagai seorang manusia yang tidak mengenal prikemanusiaan! Teringat akan ini, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan meloncat ke depan, langsung dia menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah Koksu Nepal.

   "Haiiiiittt....!"

   Hantaman yang dilakukan oleh Tek Hoat itu hebat bukan main. Tek Hoat sudah tahu akan kesaktian koksu atau Sam-ok, maka sekali menyerang dia telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepala Ban Hwa Sengjin.

   "Ehhh....?"

   Kakek botak itu terkejut bukan main. Tadi bersama dengan Twa-ok dia sedang mengeroyok dan mendesak Siluman Kecil, sedangkan tiga orang saudaranya yang lain mendesak Kian Lee. Ketika menghadapi serangan diahsyat ini, dia berseru keras dan melempar tubuh ke belakang sambil menggerakkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya. Dia terluput dari serangan itu, akan tetapi Kian Bu juga terbebas dari desakan, bahkan dengan pukulan-pukulan ga-bungan tenaga Im-yang amat dahsyat dia dapat membuat Twa-ok meloncat ke belakang pula. Melihat bahwa yang membantunya adalah Ang Tek Hoat, Kian Bu terkejut dan girang sekall.

   "Ah, kiranya engkau membantuku, Tek Hoat?"

   Tanyanya sambil tersenyum lebar.

   "Bagus, Tek Hoat!"

   Kian Lee yang sudah terdesak itu pun masih mampu mengeluarkan seruan girang. Melihat Kian Lee terdesak hebat oleh tiga orang lawannya, Tek Hoat lalu menerjang dan menyerang Ji-ok yang me-ngerikan itu sambil berkata,

   "Mari kita hancurkan mereka ini atau kita mati bersama!"

   Kakak beradik dari Pulau Es itu tentu saja merasa girang bukan main mendengar hal ini. Semangat mereka bangkit kembali dan bersama dengan Ang Tek Hoat mereka lalu mengamuk dan biarpun lima orang Im-kan Ngo-ok memiliki kepandaian yang rata-rata amat tinggi, bahkan tingkat kepandaian Twa-ok dan Ji-ok sedikit lebih tinggi daripada tingkat mereka, namun tidak mudah bagi Im-kan Ngo-ok untuk merobohkan mereka bertiga.

   "Mari kita masuk!"

   Tiba-tiba Kian Lee yang maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat dapat menangkap Pangeran Liong Bian Cu, tentu keselamatan mereka akan terancam hebat. Mendengar teriakan Kian Lee ini, Kian Bu dan Tek Hoat lalu mengikuti Kian Lee yang sudah lebih dulu meloncat ke dalam istana itu! Anehnya, Im-kan Ngo-ok tidak menghalangi perbuatan mereka melainkan mengejar dari belakang. Tiba-tiba terdengar suara koksu, suara yang dikirim dari jauh melalui kekuatan khikang ke arah kamar di sebelah kiri yang pintunya terbuka dan besar.

   "Pangeran, hati-hati, tutuplah pintu kamar Paduka."

   Suara ini terdengar oleh tiga orang muda perkasa itu. Tentu saja girang bukan main hati Kian Lee dan Kian Bu, maka serentak mereka bersama Tek Hoat menyerbu ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu. Kalau sekali pangeran itu dapat mereka tangkap, tentu mereka dapat menguasai keadaan. Tiga orang muda perkasa itu masih bersikap hati-hati ketika mereka me-nyerbu memasuki pintu kamar itu. Akan tetapi ketika mereka melihat Pangeran Liong Bian Cu duduk di atas pembaringan kamar yang amat indah itu, hati mereka girang sekali dan seperti orang-orang berlomba mereka melompat ke dalam. Tentu saja dalam perlombaan itu Kian Bu yang menang karena pemuda ini mengerahkan ilmu ginkangnya yang luar biasa.

   "Bu-te, hati-hati....!"

   Tiba-tiba Kian Lee berseru kaget ketika pemuda ini melihat pintu kamar di belakangnya tiba-tiba tertutup. Kian Bu sudah hampir tiba di dekat pembaringan, ketika tiba-tiba pembaringan itu terjeblos ke bawah dengan cepat sekali bersama tubuh sang pangeran yang tertawa mengejek. Kian Bu maklum bahwa pangeran itu melarikan diri dengan alat rahasia, maka dia cepat menyusulkan pukulan dengan tenaga saktinya.

   "Blarrr....!"

   Pembaringan itu pecah, akan tetapi tubuh sang pangeran sudah meloncat ke bawah dan lubang di mana ranjang itu lenyap kini telah tertutup kembali. Kian Bu meloncat ke tempat itu dan menggunakan kakinya untuk menginjak dan menendang, namun hasilnya sia-sia belaka karena ternyata lantai itu terbuat dari batu yang di bawahnya dipasangi baja. Mereka bertiga seperti tiga ekor harimau terjebak. Mereka berlarian ke pintu dan jendeta, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa jendela dan pintu itu terbuat dari baja yang amat kuat pula! Mereka telah terjebak dalam sebuah kamar luas yang kuat sekali. Melihat adanya sebuah pintu kayu kecil di sebelah kiri, yang agaknya menembus ke ruangan lain, Kian Bu lalu menendangnya.

   "Brakkkkk....!"

   Pintu kayu itu jebol dan mereka bertiga siap untuk menerjang ke depan, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat empat orang menggeletak pingsan di dalam kamar di belakang pintu itu! Mereka itu adalah Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Siang In, dan Hwee Li!

   "Ahhh....!"

   Otomatis Kian Lee dan Kian Bu meloncat dan berlutut dekat tubuh Siang In dan Hwee Li dan karena mereka berdua masih menyangka bahwa masing-masing mencinta dara yang datang bersama mereka, maka Kian Lee merasa tidak enak kalau harus mendekati Hwee Li,

   Sungguhpun hatinya merasa berkhawatir sekali akan keselamatan Hwee Li, maka dia lalu "mengalah"

   Dan tidak ingin menyakitkan hati adiknya. Dia berlutut di dekat tubuh Siang In. Melihat ini, Kian Bu juga makin keras menyangka bahwa kakakanya itu benar-benar telah jatuh hati kepada Siang In, padahal dia tahu bahwa Hwee Li mencinta kakaknya. Dia merasa kasihan kepada Hwee Li dan dia pun berlutut di dekat Hwee Ll. Sementara itu, Tek Hoat cepat memeriksa jendela kamar ini dan ternyata sama juga. Jendela kamar ini amat kuatnya, terbuat daripada baja dan terkunci dari luar! Kian Lee dan Kian Bu merasa lega bahwa dua orang dara itu hanya pingsan karena asap bius saja, demikian pula Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia. Setelah mengurut tengkuk mereka, sebentar saja mereka berempat sudah siuman kembali dan yang lebih dulu meloncat adalah Hwee Li.

   "Mana si bedebah pangeran dan koksu? Biar kupatahkan batang lehernya!"

   Bentaknya marah, apalagi ketika melihat betapa Kian Lee tadi mengurut tengkuk Siang In. Rasa cemburu bercampur rasa mendongkol karena dia seperti juga yang lain telah kena dijebak oleh koksu dan pangeran sehingga tertawan di dalam kamar itu. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

   "Kembalikan anakku!"

   Dan terdengar suara hiruk-pikuk ketika pintu besar terbuka dan Ceng Ceng meloncat ke dalam kamar itu.

   "Ceng Ceng, tahan pintu itu!"

   Tiba-tiba Kian Lee berteriak, namun terlambat karena begitu Ceng Ceng masuk pintu itu telah tertutup kembali! Ceng Ceng membalik, mendorong dan menendang pintu, namun sia-sia belaka. Pintu itu terlampau kokoh kuat. Mereka semua kini berkumpul di tengah kamar besar itu. Ceng Ceng bercerita betapa dia tadi berpisah dari Ang-siocia dan karena merasa tidak perlu lagi menyamar dalam keadaan ribut itu dan pula karena sudah diketahui musuh betapa Ang-siocia sudah berkhianat, maka dia menanggalkan penyamarannya. Ketika dia hendak mencari tempat tawanan, dia melihat Ji-ok mengempit tubuh puteranya berkelebat ke dalam istana ini.

   "Ibuuuuu.... tolonggg....!"

   Cin Liong menjerit dan Ceng Ceng lalu mengejar. Akan tetapi Ji-ok lenyap dan Ceng Ceng yang tiba-tiba melihat pintu istana ter-buka, cepat menerjang masuk. Kiranya dia pun terjebak seperti yang lain.

   "Bagaimana kalian tahu-tahu pingsan di dalam kamar sebelah?"

   Kian Lee bertanya kepada Siang In, tanpa berani memandang kepada Hwee Li yang dianggapnya telah saling jatuh cinta dengan Kian Bu. Akan tetapi yang ditanya sedang menatap wajah Kian Bu tak pernah berkedip, dan barulah Siang ln terkejut ketika dia ditanya oleh Kian Lee. Dia menunduk dan menarik napas panjang.

   "Si keparat Koksu Nepal itu sungguh amat cerdik dan berbahaya."

   Akan tetapi dia tidak berani bercerita, hanya mengerling ke arah Hwee Li. Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia juga merasa amat sungkan dan sukar untuk menceritakan betapa dia kembali telah bertemu dengan Siang In dan saling serang! Maka dia lalu bercerita sambil melewati adegan ketika dia bertanding melawan Siang In itu.

   "Kami berdua.... kami dikepung oleh orang-orang yang dipimpin oleh Pangeran Nepal sendiri. Karena aku gemas dan benci kepadanya, aku menyerang Pangeran Nepal yang main mundur dan akhirnya kami berdua kena dipancing ke dalam kamar ini. Pangeran Nepal dan para pengikutnya lenyap melalui pintu-pintu rahasia, dan ternyata semua itu diatur oleh koksu yang hanya terdengar saja suaranya dari dalam kamar. Tak lama kemudian muncul Hek-sin Touw-ong dan Enci Swi Hwa yang hendak menolong kami berdua. Akan tetapi sungguh celaka, mereka itu pun terjebak dan begitu masuk, mereka tidak dapat keluar kembali."

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 18 Kisah Sepasang Rajawali Eps 32 Kisah Sepasang Rajawali Eps 14

Cari Blog Ini