Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 36


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 36



Puteri Milana mengajukan usul, tentu saja masih dipengaruhi kekhawatirannya tentang Kian Lee dan Syanti Dewi.

   "Merebut Koan-bun jauh lebih mudah, akan tetapi tidak begitu besar manfaatnya, bahkan sisa pasukan mereka tentu akan lari ke Teng-bun, membuat benteng itu menjadi makin kuat. Kalau saja ada jalan untuk memecah kekuatan mereka menjadi dua...."

   Jenderal Kao tidak melanjutkan kata-katanya karena mendengar teriakan penjaga minta diperkenankan masuk. Setelah perkenan diberikan, dua orang perajurit masuk dan memberi tahu bahwa lagi-lagi ada seorang yang disangka mata-mata telah ditangkap dan sudah digiring ke situ.

   "Hemm, sungguh aneh.... tempat kita amat rahasia, siapa yang bisa tahu bahwa kita berada di sini?"

   Kata jenderal itu.

   "Bawa dia ke sini!"

   Dua orang perajurit memberi hormat, ke luar dan tak lama kemudian, sepasukan penjaga menggiring seorang pemuda tinggi besar memasuki pondok itu.

   "Kok Cu....!"

   Jenderal Kao melompat bangun saking kaget dan girangnya melihat puteranya itu!

   "Lihat baik-baik!"

   Katanya kepada para penjaga.

   "Dia ini adalah Kao Kok Cu, puteraku sendiri. Hayo kalian semua pergi dan menjaga lagi yang waspada!"

   Kok Cu sudah melangkah maju dan berlutut di depan Jenderal Kao.

   "Ayah....!"

   Jenderal Kao mengangkat bangun puteranya dan memandang dengan mata berseri.

   "Aih, ke mana saja engkau, Anakku? Cepat kau beri hormat kepada beliau ini. Beliau adalah Puteri Milana."

   "Kiranya inilah puteramu yang dikabarkan kembali setelah lenyap bertahun-tahun, Jenderal? Sungguh gagah dia!"

   Milana berkata memuji ketika Kok Cu memberi hormat kepadanya.

   "Apa kabar, Saudara Kok Cu yang gagah!"

   Kian Bu berkata dan Kok Cu juga menyalam pemuda Pulau Es yang pernah dijumpai sebentar di rumah ayahnya di kota raja.

   "Ayah, maaf, agaknya tidak ada wak-tu untuk bicara tentang urusan pribadi dalam saat seperti ini. Anak datang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi gerakan Ayah untuk membasmi pemberontak."

   Jenderal Kao membelalakkan matanya, lalu menghela napas dengan perasaan gembira dan lega yang amat besar. Kiranya puteranya ini sama sekali tidak mengecewakan sebagai puteranya! Tanpa pernah dia memberi didikan sedikit pun, sikap puteranya ini sudah seperti seorang gagah sejati, seorang berjiwa pahlawan, dan tentu saja dia merasa amat bangga karena ucapan puteranya itu dikeluarkan di depan Puteri Milana, pahlawan wanita yang amat dikaguminya itu.

   "Tentu saja, Anakku,"

   Jawabnya dengan nada biasa padahal hatinya membesar saking bangganya.

   "Ceritakanlah, berita apa yang kau bawa itu?"

   "Ayah, dan Paduka Puteri.... Ang-kiok-teng pagi hari tadi telah terjatuh ke tangan pasukan Tambolon!"

   Jenderal Kao mengerutkan alisnya. Kalau hanya itu beritanya, sama sekali tidak penting lagi.

   "Hemm, kami sudah mendengar dengan jelas tentang itu, Kok Cu, Panglima Thio telah tiba di sini menceritakan tentang terampasnya Ang-kiok-teng, dan bahkan betapa dia diselamatkan oleh seorang gadis cantik yang lihai dan seorang laki-laki bermuka buruk seperti setan."

   Dia berhenti sebentar, termenung.

   "Aku sangat tertarik akan kelihaian gadis penolongnya itu, yang kabarnya dengan menggunakan racun merobohkan seratus orang anak buah Tambolon. Apakah engkau juga tahu dia itu siapa, Kok Cu?"

   Jenderal Kao bertanya.

   "Ayah sudah mengenal dia baik-baik,"

   Kok Cu berkata.

   "Dia adalah gadis yang gambarnya Ayah sembahyangi dahulu itu...."

   "Apa....? Kau maksudkan Nona Lu Ceng....?"

   Jenderal Kao bangkit dan memegang pundak puteranya. Kalau bukan Kok Cu yang dicengkeram pundaknya seperti itu saking kaget dan girangnya hati jenderal raksasa ini, agaknya akan remuk tulang pundaknya!

   "Benar, Ayah. Saya telah menyelidiki dengan jelas."

   "Dan laki-laki bermuka buruk seperti setan itu?"

   "Dia disebut Topeng Setan, kabarnya menjadi pembantu Nona Lu Ceng yang telah menjadi beng-cu orang-orang golongan hitam. Sekarang mereka bersekutu dengan Tambolon."

   "Apa....?"

   Jenderal itu berseru kaget.

   "Akan tetapi berita yang amat penting yang hendak anak sampaikan adalah bahwa besok malam pasukan-pasukan liar yang dipimpin Tambolon secara serentak akan meninggalkan Ang-kiok-teng dan menyerang Koan-bun untuk dirampasnya."

   "Heiii....?"

   Milana berseru kaget. Berita ini mengejutkan dan tidak terduga-duga sama sekali. Jenderal Kao Liang memejamkan matanya, alisnya yang tebal berkerut-kerut dan dia berpikir-pikir. Tiba-tiba dia membuka matanya, memandang puteranya dan suaranya memecah kesunyian,

   "Engkau yakin benar akan berita ini, Kok Cu?"

   "Sudah pasti, Ayah. Saya mendengar sendiri keputusan itu keluar dari mulut Raja Tambolon dan mereka kini sedang bersiap-siap."

   Tiba-tiba Jenderal Kao tertawa bergelak dan memukul-mukul pahanya sendiri.

   "Ha-ha-ha-ha! Bodoh sekali aku, hampir saja meragukan kebersihan hati seorang gadis pahlawan!"

   Lalu dia menoleh kepada Puteri Milana sambil berkata,

   "Thian telah mengirim gadis itu untuk memberi jalan kepada kita! Tentu dia telah menggunakan siasat, bersekutu dengan Tambolon dan mengajaknya menghantam pemberontak di Koan-bun. Entah dengan janji dan siasat apa dia berhasil! Inilah kesempatan kita. Kita biarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak saling hantam, sampai salah satu hancur, kemudian kita gunakan kesempatan selagi pihak yang menang lengah dan lelah, kita serbu Koan-bun dan Teng-bun. Untuk membantu Koan-bun, tentu pasukan di Teng-bun akan dikurangi dan benteng itu tidak sekuat sekarang."

   Puteri Milana mengangguk-angguk.

   "Siapakah dia Nona Lu Ceng itu, Kao-goanswe?"

   "Ha-ha-ha, sungguh dia hebat dan sudah membikin aku seorang tua tertipu beberapa kali. Tadinya dia terjungkal di dalam sumur maut ketika menolongku dari pengkhianatan Kim Bouw Sin, dia kusangka mati dan bahkan sudah kusembahyangi! Kiranya dia benar masih hidup! Tadi kusangka dia telah menjadi orang sesat karena selain menjadi ahli racun juga menjadi beng-cu kaum sesat, kiranya dia masih seorang patriot yang dengan caranya sendiri membasmi pemberontak!"

   Malam ini juga Jenderal Kao dan Puteri Milana mengatur siasat dan membagi-bagi tugas. Sepertiga jumlah pasukan akan memasang barisan pendam di sekitar Koan-bun dan akan menanti sampai pasukan liar Tambolon menyerbu Koan-bun, membiarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak perang sendiri dan Kok Cu ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin pasukan ini.

   "Tunggu sampai perang itu selesai dan pihak pemenang, baik pihak pemberontak maupun pihak Tambolon, berpesta merayakan kemenangannya sehingga lengah, baru turun tangan serbu dan rampas Koan-bun. Pasukan itu terdiri dari lima ribu orang perajurit pilihan, dan engkau dibantu oleh Perwira Thio Luk Cong, bekas komandan di Ang-kiok-teng. Nah, kau atur dan rundingkan dengan Thio-ciangkun, sedangkan urusan pribadi kita bicarakan kalau semua tugas sudah selesai dengan baik."

   "Baik, Ayah."

   Thio Luk Cong lalu dipanggil dan bersama Kok Cu mereka lalu keluar dari pondok itu untuk merundingkan dan mengatur pasukan mereka yang bertugas bergerak di Koan-bun setelah membiarkan pihak pemberontak bertempur sendiri dengan pasukan liar yang dipimpin Tambolon. Kok Cu menyerahkan pimpinan pasukan kepada Panglima Thio karena dia sendiri merasa tidak mampu mengatur barisan dan dia berjanji akan menyelundup lebih dulu ke Koan-bun dan menyelidiki keadaan.

   Panglima Thio memberikan anak panah-anak panah berapi kepada Kok Cu dan mereka berjanji bahwa panah berapi itulah yang akan menjadi tanda dari Kok Cu bahwa saatnya yang tepat telah tiba bagi pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Thio-ciangkun untuk turun tangan menyerbu Koan-bun. Lima ribu orang pasukan lagi bertugas untuk memotong jalan kalau barisan pemberontak dari Teng-bun mengirim bala bantuan ke Koan-bun, dan lima ribu orang pasukan lagi bertugas menyerbu Teng-bun. Pasukan pertama dipimpin oleh Puteri Milana dan pasukan ini juga bertugas sebagai pembantu pasukan yang menyerbu Teng-bun yang menjadi pusat kekuatan pemberontak, sedangkan pasukan penyerbu Teng-bun itu dipimpin oleh Jenderal Kao sendiri, dibantu oleh Kian Bu.

   Pemuda ini masih merasa gelisah memikirkan Kian Lee yang tidak tahu berada di mana, juga Puteri Syanti Dewi yang lenyap. Akan tetapi karena keadaan tidak mengijinkan untuk mencari, dan perang sudah berada di depan mata, pemuda ini terpaksa menekan kekhawatirannya dengan hiburan bahwa kakaknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan biarpun mengalami luka di pahanya, kiranya masih akan mampu menjaga diri dengan baik. Hanya dia gelisah memikirkan Syanti Dewi, karena kalau puteri itu terjatuh ke tangan pemberontak, tentu celaka. Akan tetapi dia mempunyai harapan dan kepercayaan bahwa Gak Bun Beng kiranya akan dapat mencari dan menemukan kedua orang yang lenyap itu.

   Setelah Kok Cu berunding dengan Panglima Thio Luk Cong dan menerima pesan-pesan ayahnya, menjelang pagi dia meninggalkan hutan itu untuk mulai dengan tugasnya, membantu Panglima Thio yang diam-diam menggerakkan pasukannya menjadi barisan pendam di sekitar kota Koan-bun. Tek Hoat melayani Pangeran Liong Khi Ong makan minum. Pemuda ini kelihatannya biasa saja, akan tetapi sebenarnya hatinya merasa risau bukan main. Semenjak dia bertemu dengan Syanti Dewi dan melihat puteri bangsawan itu terjatuh ke tangan Pangeran Tua ini, hatinya selalu gelisah. Dia sendiri tidak mengerti mengapa, akan tetapi dia merasa betapa semua semangatnya lenyap, kegairahannya untuk membantu pihak pemberontak agar dapat cepat mencapai kemenangan dan dia memperoleh kesempatan untuk meraih kedudukan tinggi, kini menjadi dingin dan kehilangan artinya.

   Bahkan kegembiraan Pangeran Liong Khi Ong yang makan minum sampai mabok ditemani oleh panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan dia sendiri bersama Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak mendatangkan kegembiraan pula di dalam hatinya, bahkan sebaliknya dia merasa tidak senang, sungguhpun ketidaksenangannya ini tidak dia perlihatkan. Tanpa disadarinya sendiri, terjadi perubahan di dalam hati Tek Hoat, dan perubahan itu terjadi di luar pengetahuannya dan hanya disebabkan oleh kehadiran Syanti Dewi sebagai orang tawanan Pangeran Liong Khi Ong. Memang Pangeran Liong Khi Ong gembira sekali setelah dia dapat menawan Syanti Dewi yang ternyata luar biasa cantiknya, melebihi semua kabar yang pernah diperolehnya tentang Puteri Bhutan yang oleh Kaisar dijodohkan dengan dia itu.

   Kehadiran puteri itu secara tak terduga-duga sampai terjatuh ke tangannya sungguh merupakan hal yang amat menguntungkan, baik untuk pribadinya sendiri maupun untuk perjuangannya. Puteri Bhutan itu merupakan orang penting pada waktu itu. Pertama-tama, siasat mereka menimbulkan sakit hati Raja Bhutan dengan lenyapnya Syanti Dewi ketika diantar ke timur telah berhasil, dan kelak, kalau perjuangan itu berhasil dan dia bersama kakaknya menduduki tampuk pemerintahan, lalu mereka "berjasa"

   Menemukan kembali Puteri Bhutan yang hilang itu, berarti menanam hu-bungan baik dengan Bhutan. Ketiganya, dia dapat memiliki puteri cantik jelita itu disamping jasa-jasa baik ini!

   "Eh, Kim-ciangkun, bagaimana beritanya tentang Tambolon dengan pasukannya yang menyerbu Ang-kiok-teng?"

   Pangeran yang mukanya sudah merah itu bertanya kepada Panglima Kim Bouw Sin. Kim Bouw Sin tersenyum lebar.

   "Tepat seperti yang kita rencanakan, berkat siasat Ang-taihiap yang cerdik sekali. Tambolon dan anak buahnya itu seperti gerombolan anjing kelaparan, diberi tulang-tulang busuk pun sudah berebutan! Kini mereka kekenyangan tulang busuk dan tidak banyak menggonggong lagi. Tunggu beberapa hari lagi dan kalau mereka sudah mulai lapar, kita pergunakan mereka sebagai pasukan-pasukan pelopor menyerbu ke selatan."

   Pangeran Liong Khi Ong tertawa gembira dan berkata sambil memandang Tek Hoat,

   "Untuk jasa itu kami perlu memberi selamat kepadamu dengan secawan arak, Ang Tek Hoat."

   Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong Khi Ong memberi selamat dengan minum arak yang terpaksa diterima dan diikuti oleh Tek Hoat dengan hati berat, akan tetapi Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak mengangkat cawan arak mereka. Melihat hal ini, Tek Hoat mengerutkan alisnya akan tetapi dia diam saja. Liong Khi Ong yang melihat hal ini menjadi tidak senang hatinya. Tek Hoat adalah pembantunya yang utama, tangan kanannya, sedangkan dua orang kakek aneh itu kini merupakan pembantu-pembantu Kim Bouw Sin.

   "Eh, Ji-wi Siang Lo-mo mengapa tidak ikut memberi selamat kepada Ang Tek Hoat yang sudah berjasa besar?"

   Pak-thian Lo-mo yang mukanya putih itu tidak menjawab, hanya menunduk dan mengerling ke arah Tek Hoat dengan pandang mata tidak senang. Sedangkan Lam-thian Lo-mo yang lebih pandai bicara, mengangguk hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong sambil berkata,

   "Siasat itu memang baik sekali dan sudah sepatutnya kalau semua memujinya. Akan tetapi setelah apa yang kami dengarkan dari Hek-wan Kui-bo, kami berdua menjadi agak ragu-ragu untuk memberi selamat, sebelum Ang-sicu memberi penjelasan akan perbuatannya itu."

   Tek Hoat memandang kakek kembar itu dengan sinar mata tajam dan mereka pun menatap wajahnya dengan penuh selidik sehingga mereka saling pandang dengan sinar mata yang makin lama makin menjadi panas! Api persaingan telah mulai menyala di antara para pembantu utama pimpinan pemberontak itu! Tek Hoat yang cerdik itu tentu saja telah dapat menduga apa yang telah diceritakan oleh nenek buruk itu, akan tetapi dengan cerdik dia malah sengaja menantang untuk menimbulkan kesan bahwa dia tidak menyimpan rahasia apa-apa, dan dia bertanya,

   "Siang Lo-mo, di depan Pangeran dan Kim-ciangkun, tidak perlu bicara sembunyi-sembunyi, katakan saja mengapa kalian meragukan aku dan apa yang telah diceritakan oleh nenek iblis itu kepada kalian mengenai diriku."

   Sepasang kakek kembar itu saling pandang dan nampaknya mereka terheran melihat sikap pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gugup atau takut sebagaimana biasanya orang yang melakukan kesalahan. Kemudian Lam-thian Lo-mo berkata lagi,

   "Kami mendengar dari Hek-wan Kui-bo bahwa ketika engkau diajak oleh Kui-bo melihat gadis yang ditawannya, tiba-tiba engkau menyerangnya sehingga nenek itu terpaksa melarikan diri dan cepat melapor kepada Pangeran tentang Puteri Bhutan itu. Bukankah perbuatanmu itu aneh sekali, Ang-sicu?"

   Suasana menjadi sunyi dalam ruangan itu setelah Lam-thian Lo-mo mengajukan pertanyaan ini. Pangeran Liong Khi Ong dan Panglima Kim memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata jelas membayangkan keheranan dan keinginan tahu, menun-tut penjelasan. Tek Hoat telah memutar otaknya dan kelihatan tenang saja, bahkan tersenyum ketika dia berkata kepada kakek kembar itu,

   "Tentu saja ada penjelasanku untuk hal itu. Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku lebih dulu ingin mengetahui bagaimana pendapat dan dugaan Siang Lo-mo tentang perbuatanku itu
(Lanjut ke Jilid 35)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 35
sehingga kalian menaruh curiga kepadaku?"

   Pertanyaan ini jelas merupakan tantangan kepada sepasang kakek kembar untuk membuka isi hatinya di depan Pangeran Liong dan Panglima Kim. Pak-thian Lo-mo yang tidak pandai bicara, melihat saudara kembarnya ditantang, segera bertepuk tangan dan berkata tegas,

   "Ang-sicu mendengar Kui-bo hendak mempersembahkan gadis itu kepada Pangeran lalu menyerangnya, tentu berniat hendak memiliki sendiri dara cantik itu!"

   Tek Hoat tersenyum dan memandang kepada Lam-thian Lo-mo.

   "Demikiankah pendapatmu pula?"

   Lam-thian Lo-mo mengangguk.

   "Apa lagi kalau tidak begitu niatmu, Sicu? Karena kecantikan seorang gadis, hampir engkau meninggalkan kesetiaanmu!"

   Tek Hoat lalu menoleh kepada Pangeran Liong dan Panglima Kim yang me-mandangnya tajam, lalu bertanya,

   "Apakah saya diharuskan menjelaskan perbuatan saya menyerang Hek-wan Kui-bo?"

   Pangeran Liong mengangguk.

   "Karena pertanyaan telah diajukan, hati kami tidak akan merasa puas sebelum mendengar penjelasanmu, Ang Tek Hoat."

   Tek Hoat lalu berkata, suaranya lantang dan tenang,

   "Memang saya akui bahwa saya telah menyerang nenek iblis itu. Saya bertemu dengan nenek itu di jalan dan hal ini saja sudah menimbulkan kecurigaan saya, menyangka bahwa dia adalah seorang mata-mata musuh. Kemudian dia menyatakan hendak mempersembahkan seorang gadis. Tentu saja kecurigaan saya bertambah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, siapa tidak mencurigai nenek iblis yang tiba-tiba saja hendak mengabdi dan mempersembahkan seorang gadis sebagai sogokan? Dan ketika saya dibawanya masuk ke dalam gedung Coa-wangwe, melihat Coa-wangwe sekeluarga dibelenggu, saya hampir yakin bahwa nenek iblis itu tentulah seorang mata-mata musuh yang amat berbahaya. Coa-wangwe adalah seorang sahabat kita yang banyak membantu perjuangan, melihat dia sekeluarga diperlakukan seperti itu, siapa yang tidak merasa marah dan curiga? Apalagi setelah saya melihat bahwa gadis itu bukan lain adalah Sang Puteri Syanti Dewi yang tentu saja saya segera mengenalnya, kecurigaan saya menjadi bulat bahwa nenek ini mempunyai niat yang jahat, maka tanpa banyak cakap lagi saya lalu menyerangnya. Sampai detik itu pun saya masih mencurigai nenek itu, apakah hal ini berarti aku kehilangan kesetiaan?"

   Tek Hoat bicara dengan tenang dan lancar, dan alasannya cukup meyakinkan sehingga bukan hanya Pangeran Liong dan Panglima Kim yang mengangguk-angguk, bahkan Siang Lo-mo sendiri juga mengangguk dan lenyaplah kecurigaan mereka. Pangeran Liong tertawa girang.

   "Bagus, dengan demikian teranglah sudah segalanya. Dan engkau tidak perlu meragukan, Tek Hoat. Nenek itu adalah seorang tokoh besar golongan hitam, mana mungkin dia membantu Pemerintah Ceng? Bahkan dia menyatakan bahwa suhengnya yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, yang katanya memiliki kepandaian paling tinggi di dunia ini, juga sudah berada di kota ini dan siap membantu perjuangan kita, demikian pula seorang sumoinya yang amat lihai berjuluk Mauw Siauw Mo-li."

   Tek Hoat mengangguk-angguk.

   "Kalau begitu, saya tidak curiga lagi akan tetapi kecuri-gaan saya hanya karena saya setia terhadap perjuangan, tidak seperti ke-curigaan Siang Lo-mo terhadap saya yang didasari oleh perasaan iri hati!"

   "Hemm, apa maksudmu dengan kata-kata itu, Ang-sicu?"

   Pak-thian Lo-mo bertanya dengan suara keren dan pandang mata tajam. Tek Hoat tersenyum dan memandang kepada kakek kembar itu dengan sinar mata mengejek,

   "Maksud saya sudah jelas! Kalian tidak suka memberi selamat kepadaku karena iri, maka biarlah sekarang saya yang memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!"

   Sambil tersenyum, Tek Hoat membuka kedua tangannya ke arah dua buah cawan arak kosong yang terletak di atas meja, di depan dua orang kakek kembar itu dan seperti bernyawa saja, dua buah cawan arak kosong itu "terbang"

   Ke arah kedua tangan Tek Hoat. Pemuda ini cepat mengisi dua cawan arak itu dengan arak sampai penuh, kemudian mengangkat dua cawan yang penuh arak itu dengan lengan kedua tangan dilonjorkan dan disodorkannya kedua cawan itu ke arah Siang Lo-mo sambil berkata,

   "Nah, terimalah pemberian selamat saya kepada kalian!"

   "Tek Hoat dan Siang Lo-mo, jangan melakukan kekerasan dan bertentangan antara kawan sendiri!"

   Pangeran Liong Khi Ong berkata dengan khawatir.

   "Saya hanya memberi selamat kepada Siang Lo-mo, Pangeran,"

   Tek Hoat menjawab tenang. Lam-thian Lo-mo tertawa,

   "Ha-ha-ha, harap Paduka jangan khawatir, agaknya Ang-sicu hanya ingin menguji hamba berdua."

   Dia menoleh kepada Pak-thian Lo-mo dan berkata,

   "Mari kita menerima pemberian selamat Ang-sicu."

   Dua orang kakek kembar itu lalu meluruskan lengan dan menyambut cawan arak itu dengan tangan kanan mereka, tentu saja mereka yang maklum bahwa pemuda itu bukannya memberi selamat secara biasa saja, mereka telah mengerahkan sin-kang mereka, disalurkan melalui lengan sampai ke tangan mereka ketika jari-jari tangan mereka menyentuh cawan arak.

   Jari-jari tangan tiga orang itu melekat pada dua buah cawan itu dan lengan mereka mulai tergetar hebat. Adu tenaga sin-kang terjadi, satu melawan dua! Sepasang kakek kembar itu sudah mengenal Tek Hoat dan maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi karena mereka maju berdua, mereka tidak menjadi gentar dan mereka yakin bahwa tidaklah mungkin lawan semuda itu akan dapat mengalahkan tenaga sin-kang mereka yang tergabung. Pangeran Liong Ki Ong dan Panglima Kim Bouw Sin memandang dengan hati tegang akan tetapi juga gembira karena mereka memang sering menduga-duga siapa di antara mereka yang lebih lihai, sungguhpun terdapat kekhawatiran di da-lam hati mereka bahwa adu tenaga sin-kang itu akan berubah menjadi pertandingan sungguh-sungguh.

   Mereka memandang dengan hati berdebar dan terkejutlah mereka melihat betapa arak di dalam dua cawan itu tiba-tiba menjadi naik dan terguncang. Mereka melihat Tek Hoat tersenyum dan agaknya pemuda itu hendak menggunakan sin-kangnya untuk membuat arak itu terus naik dan muncrat ke arah dua orang kakek kembar. Akan tetapi, dua orang kakek itu mengerahkan tenaga mereka dan arak itu turun kembali. Beberapa kali arak itu naik lagi, bahkan sampai melampaui bibir cawan, dan anehnya tidak tumpah seolah-olah arak itu menjadi beku, dan setelah dua orang kakek itu kelihatan mengerahkan seluruh tenaga, barulah arak itu turun lagi. Mereka bersitegang beberapa lamanya dan sepasang kakek kembar itu sudah mulai berkeringat dahi mereka akan tetapi Tek Hoat masih tenang dan tersenyum, seolah-olah dia tidak mengeluarkan seluruh tenaganya.

   Hal ini saja sudah membuktikan bahwa biarpun dia dikeroyok dua, namun dia sama sekali tidak terdesak. Melihat keadaan dua orang kakek yang menjadi pengawal dan pembantu-pembantunya itu kelihatan terdesak dan berkeringat, Panglima Kim hendak menghentikan adu tenaga ilmu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa halus seorang wanita dan tampak dua bayangan orang berkelebat dan di situ tahu-tahu telah berdiri dua orang yang kedatangannya seperti setan saja! Yang seorang adalah kakek yang tubuhnya tinggi besar dan mukanya menyeramkan seperti raksasa liar, akan tetapi orang ke dua merupakan seorang wanita yang cantik dengan pakaian mewah dan dia muncul didahului bau harum semerbak! Sambil tersenyum wanita dan kakek raksasa itu mendekati meja.

   "Aihh, suguhan arak kalau tidak diterima sungguh sayang. Biar aku mengambil satu cawan!"

   "Ha-ha, kau benar sekali, Mo-li! Engkau secawan dan aku secawan!"

   Kakek raksasa itu pun berkata sambil tertawa dan tampaklah dua buah taring di dalam mulutnya. Mereka membuka mulut dan menyedot, dan.... arak dari dalam cawan yang sedang diperebutkan oleh Tek Hoat dan Siang Lo-mo itu tiba-tiba bergerak naik dan keluar, terus memancar naik memasuki mulut wanita dan kakek raksasa itu yang menelannya dengan enak sekali.

   Melihat ini, Tek Hoat dan Siang Lo-mo menarik kembali tenaga mereka. Mereka tidak merasa heran dengan perbuatan dua orang pendatang baru itu. Karena tadi mereka saling mengadu tenaga dan mempertahankan cawan, tentu saja dua orang yang juga memiliki sin-kang kuat itu berhasil "mencuri"

   Arak dari dalam kedua cawan. Andaikata mereka bertiga tidak sedang mengadu tenaga dan mempertahankan, tidak mungkin dua orang itu akan dapat "minum"

   Semudah itu. Tek Hoat dan Siang Lo-mo sudah meloncat berdiri untuk melindungi Pangeran Liong dan Panglima Kim, sedangkan panglima itu sendiri sudah berteriak memanggil para pengawal yang berada di luar. Pasukan pengawal berlari masuk dan mereka terheran-heran melihat adanya dua orang itu yang tidak mereka lihat masuknya.

   "Heh-heh, harap Paduka Pangeran dan Ciangkun tidak salah paham. Suhengku dan sumoiku sudah datang untuk menyumbangkan tenaga!"

   Suara ini terdengar dari dalam, suara Nenek Hek-wan Kui-bo. Mendengar ini, Pangeran Liong Khi Ong mengangkat tangan menahan pasukan pengawal yang sudah mengurung dua orang itu, lalu bertanya,

   "Apakah kalian yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li?"

   Kakek tinggi besar dan wanita cantik itu menjura dengan hormat, dan kakek raksasa itulah yang menjawab.

   "Tepat dugaan Paduka Pangeran Liong Khi Ong!"

   "Maafkan kedatangan kami yang tidak diundang,"

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata pula Mauw Siauw Mo-li dengan suaranya yang halus, lirikan matanya menyambar ke wajah Tek Hoat yang tampan dan senyumnya memikat. Pangeran Liong Khi Ong terkenal sebagai seorang yang pandai mengambil hati orang-orang pandai, maka dia ditugaskan oleh kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong sebagai penghimpun tenaga di luar kota raja yang ternyata berhasil baik. Bahkan Panglima Kim Bouw Sin adalah panglima yang kena dipikat oleh pangeran ini. Kini, menghadapi dua orang pandai dan golongan hitam itu, Pangeran Liong yang
cerdik segera dapat menentukan sikapnya. Sannbil tertawa dia lalu berkata,

   "Ah, sudah lama kami menanti kedatangan kalian berdua. Silakan duduk dan terimalah ucapan selamat datang dari kami!"

   Panglima Kim Bouw Sin menyuruh pengawal-pengawal mundur dan mereka lalu menjamu dua orang yang baru datang itu. Mauw Siauw Mo-li segera tertarik sekali kepada Tek Hoat dan dia mengangkat cawan araknya, memandang tajam penuh daya pikat kepada pemuda itu, berkata halus sambil tersenyum dan ketika bicara bibirnya bergerak penuh tantangan,

   "Saya telah mendengar nama besar pendekar muda Ang Tek Hoat dan sungguh seperti mimpi saja rasanya da-pat bertemu dan makan semeja dengan pendekar muda Ang. Saya menghaturkan secawan arak untuk persahabatan antara kita!"

   Biarpun hatinya masih bercuriga kepada dua orang ini, namun karena mereka sudah diterima oleh Pangeran Liong sendiri, Tek Hoat terpaksa bersikap manis, menerima pemberian selamat itu dan mengucapkan terima kasih. Pangeran Liong menjadi makin gembira ditemani oleh dua orang pembantu baru ini, apalagi sikap Mauw Siauw Mo-li yang penuh daya pikat itu membuat dia lupa bahwa sejak tadi dia sudah terlampau banyak minum arak keras. Akhirnya pangeran itu menjadi agak mabok oleh pengaruh arak.

   "Ha-ha-ha, perutku sudah kenyang.... aih, aku ngantuk sekali, ingin tidur.... akan tetapi siapa yang mau menemaniku?"

   Berkata demikian, dia bangkit dari bangkunya sambil memandang dengan penuh ajakan kepada Mauw Siauw Mo-li yang cantik. Melihat ini, Lam-thian Lo-mo yang mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu dan belum percaya betul kepada wanita yang baru datang ini, cepat berkata,

   "Apakah Paduka lupa akan bunga segar dari Bhutan itu?"

   Berkata demikian, Lam-thian Lo-mo melirik ke arah Tek Hoat dengan pandang mata penuh arti. Kiranya kakek bermuka merah yang cerdik ini tidak saja ingin mencegah pangeran itu tidur bersama Mauw Siauw Mo-li yang belum dipercayanya, akan tetapi juga ingin membuktikan bahwa Tek Hoat memang tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Puteri Bhutan itu.

   "Ha-ha-ha-ha, engkau benar sekali, Lam-thian Lo-mo. Mengapa aku sampai terlupa? Kelak dia menjadi isteriku, sekarang pun apa bedanya? Ha-ha-ha-ha, Mo-li, lain kali saja kita melanjutkan persahabatan kita, ya? Silakan kalian melanjutkan pesta ini, aku mau.... mau.... menikmati bunga segar dari Bhutan, ha-ha-ha!"

   Pangeran yang mabok itu bangkit dari kursinya dan terhuyung-huyung meninggalkan ruangan itu menuju ke kamar di mana Syanti Dewi dikeram dan dijaga oleh Hek-wan Kui-bo di luar kamarnya. Dapat dibayangkan betapa mendongkol rasa hati Tek Hoat. Dia mengerti akan lirikan mata Lam-thian Lo-mo dan dia menahan kemarahan hatinya. Dalam bingungnya dia tidak tahu harus berbuat apa. Dibayangkannya betapa Syanti Dewi meronta-ronta di bawah dekapan Pangeran Liong Khi Ong yang memperkosanya, dan dia merasa jantungnya seperti berhenti berdetik.

   "Ang-sicu, mari kita minum arak bahagia untuk memberi selamat kepada pangeran yang sedang berpengantin di dalam kamar bersama Puteri Bhutan!"

   Lam-thian Lo-mo berkata sambil mengangkat cawan araknya. Tek Hoat terpaksa minum araknya dengan hati panas karena dia maklum bahwa kakek itu sengaja hendak mengejeknya. Namun Tek Hoat adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa betapapun tinggi kepandaiannya, dia tidak mungkin akan dapat menandingi begitu banyaknya orang pandai. Sepasang kakek kembar itu mungkin dapat dia tandingi, biar dibantu oleh nenek Hek-wan Kui-bo sekalipun, akan tetapi kedatangan Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li merubah keadaan dan kalau mereka ini pun maju menentangnya, tentu dia akan celaka.

   "Hi-hik, Ang-taihiap.... pangeran itu sungguh romantis.... hemmm, membuat orang menjadi tertarik dan timbul semangat! Ang-taihiap, bagaimana kalau kita berdua juga mengaso dan saling menuturkan riwayat hidup kita untuk mempererat persahabatan?"

   "Ha-ha-ha, engkau sungguh mata keranjang, Sumoi!"

   Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak.

   "Aih, Suheng! Hidup satu kali kalau tidak bersenang-senang mau apa lagi? Kalau sudah mati, kepingin pun tidak akan mampu bergerak lagi. Betul tidak, Ang-taihiap?"

   Sambil berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li menggeser bangkunya mendekat dan tangannya meraba-raba dari bawah meja ke paha Tek Hoat. Selagi pemuda ini bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar ruangan itu dan dua orang pengawal masuk dan memberi hormat kepada Panglima Kim Bouw Sin, lalu berkata lantang,

   "Lapor! Peristiwa hebat ter-jadi di Koan-bun!"

   Kim Bouw Sin bangkit berdiri dan matanya terbelalak.

   "Lekas katakan. Apa yang terjadi di Koan-bun?"

   Dengan sikap gugup pengawal itu lalu menjawab,

   "Koan-bun pada saat ini sedang diserbu oleh pasukan liar Raja Tambolon dan membutuhkan bantuan, Ciangkun."

   Berita ini amat mengejutkan.

   "Celaka....!"

   Tek Hoat sudah meloncat dari kursinya.

   "Pangeran harus segera diberi tahu!"

   Bagaikan kilat cepatnya tubuhnya sudah meloncat ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah menggedor pintu kamar Pangeran Liong Khi Ong.

   "Ihh, engkau mau apa?"

   Nenek Hek-wan Kui-bo menegur dan tongkatnya sudah siap untuk menyerang.

   "Bodoh!"

   Tek Hoat membentak.

   "Ada laporan penting untuk Pangeran!"

   Dia mengetuk pintu lagi dan pintu terbuka dari dalam. Dengan muka merah karena setengah mabok dan juga marah Pangeran Liong Khi Ong memperlihatkan mukanya sambil memandang marah kepada pembantunya itu.

   "Ang Tek Hoat, mengapa engkau menggangguku?"

   Dari pintu yang terbuka sedikit itu Tek Hoat dapat melihat ke dalam dan ketika dia melihat Syanti Dewi duduk di atas kursi di kamar itu dengan mata terbelalak dan muka pucat, akan tetapi hanya kelihatan marah sedangkan pakaiannya masih lengkap, hatinya menjadi lega. Dia cepat memberi hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong lalu berkata,

   "Berita buruk sekali, Pangeran. Baru saja datang laporan bahwa Tambolon yang curang itu telah mengerahkan pasukannya menyerbu Koan-bun."

   Seketika rasa mabok oleh arak dan oleh kecantikan Puteri Bhutan terbang meninggalkan benak pangeran ini.

   "Apa....?"

   Dia sudah membuka lebar daun pintu dan berlari ke ruangan, diikuti oleh Tek Hoat sedangkan Hek-wan Kui-bo tetap menjaga di depan pintu kamar Syanti Dewi. Memang bagi dua orang kakak beradik Pangeran Liong, urusan pemberontakan mereka merupakan hal terpenting bagi hidup mereka, oleh karena itu tidak mengherankan apabila Pa-ngeran Liong Khi Ong segera melupakan semua kesenangan pribadinya begitu mendengar berita diserbunya Koan-bun oleh Raja Tambolon. Ketika dia tiba di ruangan itu, Panglima Kim Bouw Sin, Siang Lo-mo, Hek-tiauw Lo-mo, dan Mauw Siauw Mo-li sedang mendengarkan pelaporan lengkap dari pembawa berita itu. Kemunculan pangeran ini mengharuskan Si Pengawal mengulang semua laporannya.

   "Mereka datang sebagai sahabat,"

   Pengawal itu menutup laporannya.

   "Akan tetapi begitu pintu gerbang dibuka untuk membiarkan Raja Tambolon dan para pengikutnya masuk, tiba-tiba rombongan raja liar itu membunuhi penjaga pintu gerbang dan pasukannya yang bersembunyi dalam gelap langsung menyerbu ke dalam kota."

   Pangeran Liong Ki Ong marah sekali mendengar ini.

   "Raja biadab itu! Panglima Kim Bouw Sin, kita harus menghajar dan menumpas mereka!"

   Panglima Kim Bouw Sin segera mengumpulkan para perwira pembantunya dan menyiapkan pasukan yang besar untuk membantu Koan-bun dan menumpas pasukan liar Tambolon itu. Tek Hoat maklum bahwa karena dia yang mengusulkan untuk membiarkan Tambolon dan pasukannya menetap di Ang-kiok-teng, sudah sepatutnya kalau dia yang kini membantu dan ikut memimpin pasukan itu. Andaikata tidak ada Syanti Dewi di situ, tentu sudah tadi dia mengajukan diri. Kini dia berpendapat lain dan kecerdikannya membuat dia cepat berkata kepada Panglima Kim Bouw Sin, akan tetapi tentu saja kata-katanya ini ditujukan untuk menarik perhatian Pangeran Liong Khi Ong.

   "Tambolon seperti anjing, diberi sejengkal ingin sehasta! Manusia macam dia harus dibasmi, dan kesempatan yang amat baik ini hendaknya dipergunakan untuk menguji kesanggupan dua orang pembantu baru kita yaitu Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li. Hal-hal aneh terjadi, maka kita harus tetap waspada dan terutama keselamatan pangeran harus dijaga baik."

   Ucapan ini diterima baik oleh Panglima Kim dan juga Pangeran Liong. Maka segera diputuskan bahwa pasukan besar yang akan membantu Koan-bun itu selain dipimpin oleh para perwira, juga dibantu pula oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.

   "Saya sendiri akan melakukan perondaan dan mengatur penjagaan ketat di Teng-bun, karena dalam keadaan segawat ini, kita harus tetap waspada dan memperkuat penjagaan,"

   Tek Hoat berkata pula dan tanpa menanti persetujuan, dia sudah keluar pula dan lenyap di dalam kegelapan malam. Pasukan besar yang diperbantukan kepada pertahanan kota Koan-bun itu segera berangkat pada malam hari itu juga. Sementara itu, dengan didampingi oleh Ceng Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon, dua orang pengawalnya, yaitu Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai lihai, memimpin seribu orang pasukan yang liar itu malam-malam menyerbu Koan-bun. Seperti telah diceritakan oleh para pelapor kepada Pangeran Liong Khi Ong,

   Tambolon menggunakan siasat, bersama empat orang pembantunya yaing lihai itu dia muncul di depan pintu gerbang selatan kota Koan-bun dan berteriak minta dibukai pintu karena dia hendak menemui komandan kota Koan-bun. Setelah kepala penjaga mengenal Raja Tambolon ini, jembatan gantung diturunkan dan pintu gerbang dibuka, Raja Tambolon, dua orang pengawal, Ceng Ceng dan Topeng Setan, segera menyeberangi jembatan gantung dan secara tiba-tiba, lima orang yang berkepandaian tinggi ini menyerang pasu-kan penjaga yang terdiri dari dua puluh orang lebih. Dalam waktu singkat saja mereka itu telah merobohkan semua penjaga dan pasukan liar itu segera menyerbu ke dalam kota. Gegerlah kota Koan-bun dan perang terjadi dengan hebatnya dan kacau-balau karena penyerbuan yang tak terduga-duga itu membuat pasukan-pasukan pertahanan kota Koan-bun menjadi bingung.

   Kalau saja tidak datang pasukan bantuan dari Teng-bun yang tiba di Koan-bun menjelang pagi, tentu kota Koan-bun sudah terjatuh ke tangan pasukan Tambolon. Kedatangan pasukan besar dari Teng-bun ini membangkitkan kembali semangat sisa pasukan pertahanan Koan-bun dan perang dilanjutkan sampai keesokan harinya. Sebagian pasukan liar telah menduduki separuh dari kota Koan-bun akan tetapi sebagian pula kini bertempur di luar pintu gerbang untuk menahan serbuan pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun. Perang hebat terjadi di dalam kota Koan-bun dan juga di luar kota itu. Akan tetapi kini pasukan liar di bawah pimpinan Tambolon terjepit antara dua pasukan yang berada di dalam dan yang datang dari luar.

   Karena jumlah mereka jauh kalah banyak, maka mulailah mereka terhimpit dan korban-korban berjatuhan. Tambolon sendiri seperti biasa dibantu oleh dua orang pengawalnya yang setia, ikut berperang dan mengamuk ganas. Juga Ceng Ceng dan Topeng Setan bertempur bahu-membahu, merobohkan banyak tentara pemberontak. Diam-diam kedua orang ini merasa girang sekali melihat betapa siasat mereka berhasil baik, bahkan bukan saja mereka dapat mengadu domba antara pasukan-pasukan liar Tambolon dan pasukan pemberontak, juga mereka memperoleh kesempatan ikut pula bertempur membasmi para pemberontak. Akan tetapi kini pasukan liar Tambolon ini mulai terdesak hebat. Yang mempertahankan diri di luar terhadap serbuan pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun kini didesak masuk kota oleh pasukan besar pemberontak itu.

   Kini semua pasukan liar yang berperang seperti binatang-binatang buas itu telah digiring masuk ke dalam kota Koan-bun dan di dalam kota ini terjadilah peristiwa-peristiwa mengerikan. Bukan hanya perang antara anak buah pasukan-pasukan yang berlawanan, melainkan pasukan itu terpecah-pecah dan terjadilah perang campuh kacau-balau yang menyeret pula penduduk kota Koan-bun. Seluruh kota menjadi kacau dan di sana-sini terjadi pembakaran-pembakaran. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Pasukan liar itu makin terjepit. Mereka terdiri dari orang-orang liar dan buas yang kalau sedang berperang seperti berubah menjadi binatang-binatang buas sehingga mereka itu telah menjatuhkan banyak sekali lawan dalam perang campuh itu.

   Setiap orang anggauta pasukan Tambolon ini baru roboh kalau sedikitnya telah menjatuhkan tiga orang lawan. Akan tetapi setelah bala bantuan dari Teng-bun tiba, jumlah mereka jauh kalah banyak dan mulailah mereka terhimpit dan mulai pula timbul rasa panik di antara mereka. Ceng Ceng dan Topeng Setan masih mengamuk dengan pedang mereka, merobohkan banyak sekali pasukan pemberontak. Akan tetapi setelah pasukan dari Teng-bun berhasil mendesak masuk dan barisan pemberontak ini datang seperti air banjir, mereka berdua terdesak dan terdorong sampai saling berpisah. Di antara kekacauan yang terjadi di Koan-bun itu, di antara ribuan orang penduduk yang menjadi panik dan ketakutan, terdapat seorang pemuda yang bersembunyi di atas wuwungan rumah dan menonton perang campuh itu dengan hati tertarik sekali.

   Ketika dia mendengar bahwa pasukan liar yang dipimpin Tambolon menyerbu kota Koan-bun, dia terkejut dan merasa heran. Akan tetapi setelah menyaksikan perang hebat antara pasukan liar ini melawan pasukan-pasukan pemberontak, hatinya menjadi girang. Pemuda ini adalah Suma Kian Lee. Dia tidak mengerti mengapa sekutu pemberontak, pasukan kuat dari suku bangsa liar yang dipimpin Tambolon itu menyerbu Koan-bun dan memerangi pasukan pemberontak, sekutu mereka sendiri. Akan tetapi hal ini tentu saja menguntungkan pemerintah, maka Kian Lee menjadi girang ketika dia menyaksikan perang campuh kacau-balau yang terjadi di bawah itu. Pemuda ini masih belum meninggalkan Koan-bun karena dia ingin mencari suhengnya, adiknya dan Syanti Dewi yang terpisah darinya.

   Seperti diketahui, pemuda ini menderita luka karena racun senjata rahasia peledak yang dilepas Hek-wan Kui-bo, akan tetapi luka di pahanya itu telah diobati oleh Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo. Kini lukanya telah sembuh benar, akan tetapi hatinya gelisah karena dia masih belum berhasil bertemu kembali dengan Gak Bun Beng, Suma Kian Bu, dan Syanti Dewi. Ketika dari atas wuwungan loteng sebuah rumah besar dia melihat perang yang kacau-balau itu menjurus ke perbuatan kejam terhadap penduduk, baik yang dilakukan oleh kaum liar maupun oleh tentara pemberontak yang mempergunakan kekacauan itu untuk melampiaskan nafsu-nafsu pribadi mereka, menggarong, memperkosa, dan membunuh, Kian Lee lalu meloncat turun dan menyelidiki dari rumah ke rumah.

   Sudah dua kali dia membunuh dua orang tentara liar yang sedang memaksa dan hendak memperkosa wanita, dan dia pun telah membunuh tiga orang tentara pemberontak yang menggarong dan mencoba untuk membunuh pemilik rumah yang digarongnya. Perang dilanjutkan sampai keesokan harinya, akan tetapi kini semua pasukan liar di bawah pimpinan Tambolon itu telah digiring masuk dan perang campuh yang berat sebelah terjadi di dalam kota Koan-bun karena jumlah tentara Tambolon itu jauh kalah banyak. Ceng Ceng yang terpisah dari Topeng Setan masih menggerakkan pedangnya, merobohkan setiap orang tentara pemberontak yang berani mendekatinya. Dia sudah lelah sekali karena sejak penyerbuan malam tadi sampai pagi ini dia harus bertempur. Kini dia hanya menjaga diri saja sambil beristirahat dan mencari-cari pembantunya yang tidak kelihatan lagi itu.

   Perang dilanjutkan dan kini pihak pemberontak mulai melakukan pembersihan karena sisa tentara liar itu sudah cerai-berai dan mulai main kucing-kucingan bersembunyi di antara rumah-rumah penduduk Koan-bun. Dengan cara demikian, mereka masih mampu melakukan perang gerilya yang tentu saja makin mengacaukan kota itu dan membikin geger para penduduk karena tempat tinggal mereka dipergunakan sebagai tempat persembunyian, kejar-kejaran dan saling bunuh. Sehari itu pihak pasukan liar hanya mampu mempertahankan diri sambil bersembunyi di sana-sini dan akhirnya, ketika malam tiba, sisa mereka tinggal sedikit dan mereka kini hanya berani melawan kalau ketahuan tempat sembunyi mereka dan hanya karena terpaksa saja. Ceng Ceng makin bingung karena tidak melihat Topeng Setan.

   Dia mencari-cari ke seluruh kota namun tidak berhasil karena dia pun harus selalu menghindari pertemuan dengan pasukan-pasukan pemberontak yang mengadakan operasi pembersihan. Dia tadi melihat bahwa pasukan pemberontak itu dipimpin oleh seorang kakek raksasa dan seorang wanita cantik yang amat lihai. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, raksasa lihai sekali Ketua Pulau Neraka yang pernah dijumpainya, bahkan pernah menangkapnya di Lembah Bunga Hitam, ayah dari Kim Hwee Li yang pernah menolong dan membebaskannya. Ceng Ceng gentar menghadapi raksasa itu, dan pula, selain dia amat lelah, juga dia telah merasa puas dengan siasatnya, menghancurkan pasukan Tambolon dan merugikan besar sekali kepada pasukan pemberontak.

   Ceng Ceng menjadi bingung juga karena hari telah menjadi gelap dan hanya terjadi pertandingan-pertandingan kecil di sana-sini antara sisa tentara Tambolon yang ketahuan tempat persembunyian mereka mela-wan pasukan pemberontak yang mengadakan pembersihan. Dia masih belum berhasil menemukan kembali Topeng Setan. Dan tadi dia melihat sinar dari anak panah berapi meluncur tinggi di angkasa, berwarna kebiruan dan indah. Dia tidak tahu apa artinya anak panah berapi itu yang meluncur dari tengah kota Koan-bun. Selagi dia menyelinap di antara rumah-rumah di dalam cuaca yang mulai gelap itu, tiba-tiba terde-ngar bentakan-bentakan keras dan tahu-tahu dia telah dikepung oleh belasan orang tentara pemberontak yang dipimpin oleh seorang wanita cantik yang memegang sebatang pedang.

   "Ini dia wanita pemimpin pasukan liar itu!"

   Terdengar bentakan seorang perajurit. Wanita cantik yang bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li itu, memandang Ceng Ceng yang tak dapat melarikan diri lagi itu penuh perhatian, lalu sambil tersenyum dia bertanya,

   "Ah, benarkah Tambolon mempunyai pembantu secantik ini?"

   "Tidak salah lagi, Kouw-nio (Nona). Kami tadi melihat dia mengamuk di samping Tambolon dan para pembantunya. Dia lihai sekali!"

   Kembali terdengar suara meyakinkan dari seorang perajurit pemberontak. Mauw Siauw Mo-li melangkah maju.

   "Eh, perempuan cantik, apakah engkau selir Tambolon? Hayo katakan di mana adanya Tambolon dan para pembantunya itu!"

   Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan marah hati Ceng Ceng mendengar kata-kata dan pertanyaan yang dianggapnya menghina itu.

   "Perempuan pemberontak rendah!"

   Dia memaki sambil menyerang ke depan dengan Ban-tok-kiam di tangannya.

   "Sing.... wuuuuttt-tranggg....!"

   Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang Ban-tok-kiam di tangan Ceng Ceng bertemu dengan pedang di tangan Mauw Siauw Mo-li. Ceng Ceng terhuyung ke belakang, akan tetapi siluman kucing itu pun terperanjat melihat betapa ujung pedangnya patah dan ada hawa beracun yang mengerikan keluar dari pedang di tangan lawannya itu. Jelas bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Ceng Ceng masih kalah oleh lawannya, akan tetapi keampuhan Ban-tok-kiam juga mengejutkan hati Mauw Siauw Mo-li. Pada saat itu, dua orang perajurit menubruk dari kanan kiri menggunakan golok mereka menyerang. Ceng Ceng memutar pedangnya dan terdengar suara nyaring disusul runtuhnya dua batang golok yang menjadi buntung berikut lengan kedua orang itu!

   "Mundur kalian....!"

   Mauw Siauw Mo-li berteriak nyaring dan ketika belasan orang pasukan itu mundur, dia sudah melemparkan bola-bola hitam berturut-turut sebanyak lima buah ke arah Ceng Ceng.

   Gadis ini maklum bahwa lawan menggunakan senjata rahasia yang aneh dan belum dikenalnya, maka cepat dia menjatuhkan diri bergulingan dan untung saja dia melakukan pengelakan secara ini, karena ketika bola-bola itu terbanting ke atas tanah terdengar ledakan-ledakan dan tentu Ceng Ceng akan terluka kalau saja dia tidak bergulingan di atas tanah. Ceng Ceng terkejut bukan main. Cepat dia menggerakkan pedang menangkis sambil meloncat bangun ketika wanita itu menubruknya dan mengirim tusukan, tusukan maut yang nyaris mengenai perutnya. Namun berkat keampuhan Ban-tok-kiam yang membuat lawan menjadi jerih dan tidak berani beradu pedang secara langsung, Ceng Ceng mampu meloncat tinggi dan terus mencelat ke atas genteng lalu melarikan diri! Dia maklum akan kelihaian wanita itu dan kalau sam-pai datang lebih banyak pasukan pemberontak lagi lebih-lebih kalau sampai Hek-tiauw Lo-mo muncul, tentu dia akan celaka.

   "Kejar dia....!"

   Mauw Siauw Mo-li berteriak sambil meloncat naik ke atas genteng dengan gerakan yang luar biasa cepatnya.

   Untung bahwa Ceng Ceng telah lebih dulu menghilang di atas genteng, kalau tidak agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena dalam hal gin-kang, dia pun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing itu. Mauw Siauw Mo-li terus mencari dengan penasaran, bahkan mendatangkan pasukan lebih banyak lagi. Biarpun pasukan bantuan dari Teng-bun berhasil mengalahkan dan hampir membasmi habis pasukan liar Tambolon, namun pasukan pemberontak itu sendiri kehilangan banyak sekali anggauta tentara dan kalau dia atau suhengnya tidak mampu menangkap Tambolon dan para pembantunya, mati atau hidup, hati Mauw Siauw Mo-li belum puas. Ceng Ceng berlari-larian, kadang-kadang di atas genteng, kemudian meloncat turun dan menyelinap di antara bayangan-bayangan rumah yang gelap. Ketika dia berhenti sebentar di belakang sebuah rumah, tiba-tiba terdengar suara bisikan,

   "Lu-bengcu.... mari sini....!"

   Ceng Ceng terkejut, apalagi ketika mengenal Raja Tambolon dan dua orang pembantunya yang lihai itu. Kiranya Tambolon, Liauw Kui Si Petani Maut dan Si Siucai Yu Ci Pok bersembunyi di dalam rumah kosong itu! Biarpun hatinya tidak suka, namun Ceng Ceng yang sedang dikejar-kejar Mauw Siauw Mo-li dan pasukannya itu segera meloncat masuk melalui pintu kecil di belakang rumah yang dibuka oleh Tambolon. Mereka berempat segera menutup pintu dan memasuki rumah kosong. Ceng Ceng memandang ruangan yang diterangi lentera itu penuh harapan, akan tetapi hatinya ke-cewa ketika dia tidak melihat Topeng Setan di situ.

   "Untung ada kalian di sini...."

   Kata Ceng Ceng.

   "Akan tetapi di mana adanya Topeng Setan?"

   "Hemm.. justeru kami hendak bertanya kepadamu, Lu-bengcu. Di manakah Topeng Setan pembantumu itu?"

   Mendengar suara dan melihat sikap Raja Tambolon, Ceng Ceng terkejut, apalagi ketika melihat bahwa tiga orang itu membuat gerakan mengurungnya, Tambolon di depannya sedangkan dua orang pembantu raja di kanan kirinya, sikap mereka seperti orang yang marah kepadanya.

   "Eh, apa maksudmu, Raja Tambolon?"

   Ceng Ceng bertanya dengan sikap biasa.

   "Ha-ha, engkau masih pandai berpura-pura lagi! Sikap dan maksudku sudah jelas! Engkau telah menjebloskan kami ke dalam perangkap. Engkau telah menyebabkan pasukan kami terbasmi habis, dan sekarang pembantumu itu tidak tampak bayangannya dan engkau masih berpura-pura lagi, Nona."

   Di dalam hatinya Ceng Ceng terkejut sekali. Akan tetapi dia cerdik dan dia berkata dengan nada suara dan penasaran.

   "Raja Tambolon, begitu tidak tahu terima kasihkah engkau? Apakah engkau tidak melihat betapa aku tadi hampir celaka oleh pasukan yang dipimpin wanita lihai itu? Kalau usaha kita tidak berhasil karena keburu datang bala bantuan dari Teng-bun, apakah itu salahku? Mengapa engkau tidak menyalahkan pasukanmu sendiri yang tidak becus dan kurang mampu!"

   Raja Tambolon yang sudah kehilangan segala-galanya itu masih bisa tertawa. Kemudian dia berkata,

   "Nona Lu Ceng, kalau tadi kami tidak melihat betapa engkau dikejar-kejar, tentu sekarang engkau sudah mati di tanganku! Akan tetapi jangan mengira bahwa hal itu sudah cukup bagi kami. Tidak hadirnya Topeng Setan di sampingmu memperkuat dugaan kami bahwa kalian telah mempermainkan kami dan karena engkaulah maka kini pasukanku terbasmi habis. Mana bisa aku mendiamkannya saja hal ini? Tidak! Untuk meyakinkan hatiku bahwa engkau tidak mengkhianati aku, engkau tidak boleh lagi berpisah dari sampingku."

   Berdebar jantung Ceng Ceng mendengar ucapan ini. Sudah cukup jelas baginya apa yang terkandung di dalam hati raja liar ini. Akan tetapi untuk mengulur waktu sambil memutar otaknya mencari akal dia berpura-pura tidak mengerti dan bertanya,

   "Maksudmu?"

   "Ha-ha-ha! Pasukanku boleh terbasmi habis, akan tetapi aku masih mempunyai dua orang sahabat dan pembantuku yang setia ini, ditambah lagi memiliki engkau yang cantik jelita, muda lagi pintar dan cerdik sebagai sahabat dan penghiburku, sebagai permaisuriku! Dengan adanya kita berempat, mudah bagi kita untuk menghimpun pasukan lagi dan membangun sebuah negara yang kuat, ha-ha-ha!"

   Makin berdebar rasa jantung Ceng Ceng. Tepat seperti telah diduganya. Akan tetapi melihat Tambolon dan dua orang pembantunya itu menghadapi dengan sikap siap untuk menghalangi dia melarikan diri, dia masih berkata,

   "Hemm, rencanamu memang bagus sekali, akan tetapi bagaimana dengan Topeng Setan?"

   "Dia? Ha-ha-ha, kalau memang dia itu bukan pengkhianat dan saat ini tidak bergabung kepada musuh, dia pun bisa menjadi orang ke lima, bisa menjadi pembantuku. Akan tetapi kalau tidak muncul, persetan dengan dia. Kita berempat sekarang juga harus kabur keluar dari kota terkutuk ini!"

   "Engkau memang manusia hina!"

   Tiba-tiba Ceng Ceng membarengi makiannya itu dengan gerakan kedua tangannya yang menyebar jarum-jarum hitam beracun yang tadi diam-diam sudah disiapkannya di kedua tangannya.

   "Ehhhh!"

   "Heiitttt!"

   "Hyaattt!"

   Tambolon dan dua orang pembantunya itu memang bukan orang-orang sembarangan.

   Mereka bertiga itu selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga sudah puluhan tahun menghadapi segala macam keadaan sehingga tentu saja mereka sudah waspada akan akal yang dipergunakan Ceng Ceng tadi yang mereka anggap tiada lebih sebagai akal kanak-kanak saja. Maka begitu kedua tangan dara itu bergerak dan ada sinar hitam menyambar ke arah mereka, tiga orang ini sudah bergerak cepat, membuang diri ke bawah dan bergulingan sehingga serangan jarum-jarum beracun yang mendadak itu dapat mereka elakkan. Akan tetapi kesempatan ini cukup bagi Ceng Ceng untuk secepat kilat meloncat keluar dari rumah itu melalui jendela, terus berloncatan ke atas genteng melarikan diri karena dia maklum bahwa meng-hadapi tiga orang pandai itu dia tidak akan mampu menang.

   "Ha-ha, betina liar, kau hendak lari ke mana?"

   Tambolon berseru dan bersama dua orang pembantunya, dia mengejar dengan cepat. Mereka bertiga juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang membuat gerakan mereka cepat sekali sehingga setelah melewati empat wuwungan rumah, Ceng Ceng yang meloncat turun telah dikurung lagi di sebelah kebun kosong yang sunyi.

   "Ha-ha-ha-ha, sungguh hebat! Makin liar dan hebat engkau melawan, akan makin manis dan mesra kalau engkau sudah terjatuh ke dalam pelukanku, ha-ha!"

   Tambolon tertawa bergelak.

   "Tambolon, manusia iblis! Kau hanya dapat menguasai aku kalau aku sudah dapat menjadi mayat!"

   Ceng Ceng berteriak sambil mencabut pedangnya, yaitu Ban-tok-kiam yang mengeluarkan hawa mujijat dan menyeramkan. Dengan nekat Ceng Ceng yang maklum bahwa melarikan diri pun percuma saja lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya yang mengandung hawa beracun itu dengan sengit dan membabi buta. Akan tetapi jangankan dikurung bertiga, baru melawan seorang di antara mereka saja Ceng Ceng tidak akan mampu menang.

   Petani Maut Liauw Kui menggerakkan pikulannya dan senjatanya ini saja sudah cukup untuk menahan gulungan sinar pedang Ban-tok-kiam sehingga tidak dapat bergerak leluasa karena selalu terhalang oleh pikulan yang digerakkan secara lihai sekali. Sedangkan dari kanan kiri, Yu Ci Pok yang menggunakan sepasang senjata poan-koan-pit mengan-cam dengan totokan-totokan cepat dan Tambolon yang tertawa itu menggunakan kedua lengannya yang panjang berbulu untuk menerkam tubuh Ceng Ceng! Tentu saja Ceng Ceng menjadi sibuk sekali. Semua kepandaiannya telah dikeluarkannya, bahkan dia telah menggunakan pukulan tangan kiri beracun, juga menggunakan ludah yang telah menjadi beracun karena pengerahan ilmunya, namun tiga orang lawan itu terlalu kuat baginya. Hanya karena Tambolon menghendaki dia hidup-hidup sajalah maka dia masih belum roboh.

   Kalau mereka itu ingin membunuhnya, tentu sudah sejak tadi dia tewas. Justeru karena tahu bahwa dia akan ditangkap hidup-hidup dan dijadikan barang permainan oleh Tambolon, Ceng Ceng merasa ngeri. Dia tidak takut mati, akan tetapi dia menggigil penuh kengerian kalau teringat betapa dia akan diperkosa dan dipermainkan oleh raja liar itu. Teringat akan pengalamannya ketika diperkosa orang, Ceng Ceng ingin menjerit. Dia tidak sudi dijadikan permainan oleh Tambolon, akan tetapi dia pun tidak ingin mati sebelum mampu membalas sakit hatinya kepada Kok Cu, pemuda murid Si Dewa Bongkok yang telah memperkosanya. Tidak, dia tidak ingin mati sebelum dapat berhadapan dengan Kok Cu! Akan tetapi dia pun tidak sudi menderita perkosaan lagi, perkosaan yang lebih mengerikan dan lebih menghina kalau dia sampai tertangkap oleh Tambolon!

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 17 Sepasang Pedang Iblis Eps 26 Sepasang Pedang Iblis Eps 40

Cari Blog Ini