Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 6


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian dua orang dara itu mengatur rencana pelarian itu yang akan mereka lakukan malam nanti, Syanti Dewi menggambar peta dari istana itu dan memberi tahu di mana letaknya pintu rahasia dari mana dia akan meloloskan, dan Siang In mengatur rencana untuk menarik semua pengawal menjauhi pintu rahasia itu.

   Sehari itu Siang In tidak lagi pernah keluar dari kamar sang puteri dan memang sudah lama Syanti Dewi tidak pernah membolehkan pelayan-pelayannya untuk menemaninya di dalam kamar. Semenjak Tek Hoat lolos dari istana, puteri ini lebih suka menyendiri sehingga pelayan-pelayannya hanya memasuki kamarnya di waktu perlu saja. Dengan demikian, lebih leluasalah bagi Siang In untuk bersembunyi di dalam kamarnya. Malam itu hawanya masih dingin seperti malam-malam yang lewat. Udara yang dingin ditambah cuaca yang gelap membuat suasana yang sudah seram karena dongeng-dongeng yang tersiar tentang gangguan siluman, dongeng yang dari mulut ke mulut mengalami perubahan dan penambahan banyak sekali, menjadi makin menyeramkan. Hampir seluruh penghuni Kota Raja Bhutan yang semua telah mendengar akan gangguan siluman itu, tidak ada yang berani keluar dari rumah masing-masing.

   Mereka menerima dengan penuh kepercayaan berita angin yang mengatakan bahwa malam itu iblis, setan dan siluman-siluman berkeliaran mencari mangsa! Demikian pula para penghuni istana sendiri juga sejak senja hari sudah menyembunyikan diri di dalam kamar masing-masing. Tentu saja keadaan para penghuni itu sebaliknya dengan keadaan para pengawal yang bertugas berjaga. Setelah malam tiba penjagaan diperketat dan mereka lebih waspada lagi menjaga daripada di waktu siang, karena mereka semua mempunyai dugaan bahwa di waktu malam tentu siluman akan lebih mengganas lagi. Kini bahkan Panglima Mohinta sendiri mengatur dan mengepalai penjagaan, seolah-olah istana menghadapi ancaman serbuan musuh yang besar jumlahnya.

   Keadaan di sekeliling istana itu seperti dalam perang saja karena sedikitnya ada tiga ratus orang pengawal dikerahkan oleh Mohinta untuk menjaga seluruh istana, terutama sekali sekeliling istana kecil yang menjadi tempat tinggal Syanti Dewi. Keadaan sunyi sekali di sekeliling istana. Suasana yang sunyi dan mencekam hati ini membuat para penjaga juga merasa ngeri dan mereka bahkan tidak berani membuat suara keras untuk memecahkan kesunyian malam, seolah-olah suara keras hanya mengundang datangnya siluman! Mereka bicara bisik-bisik dan membuat api unggun sebesarnya, karena selain api unggun itu dipergunakan untuk mengusir hawa dingin dan menimbulkan kehangatan, juga menurut kata para pendeta, api dapat menjauhkan segala macam siluman.

   Juga mereka berusaha untuk membicarakan urusan lain tanpa menyebut-nyebut tentang siluman, karena ada kepercayaan di antara mereka bahwa setan tidak boleh disebut-sebut, karena kalau disebut-sebut biasanya suka datang! Demikian hebatnya dongeng tentang gangguan setan dan kepercayaan tentang tahyul menghimpit hati mereka sehingga para pengawal yang biasanya galak dan pemberani itu, kini berubah menjadi seperti sekelompok anak kecil yang ketakutan. Panglima Mohinta sendiri, diiringkan oleh dua orang pendeta, yaitu Pendeta Nalanda dan seorang pendeta lain yang terus berkemak-kemik membaca doa, dan empat orang perwira pengawal, tiada hentinya hilir mudik dari gardu ke gardu, untuk memberi semangat kepada para pengawal yang berjaga. Malam makin larut dan keadaan makin serem.

   Dari balik pintu kamar, Siang In yang sudah siap melakukan siasatnya untuk meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana, mengintai ke luar. Dilihatnya banyak sekali pengawal berjaga di luar dalam keadaan terpencar. Dia mengintai dari balik jendela. Sama saja. Taman di luar kamar itu pun penuh dengan pengawal-pengawal yang menjaga ketat. Tidak mungkin dia dapat keluar dari pintu atau jendela tanpa diketahui orang. Dan menggunakan sihirnya pun akan berbahaya karena tentu ada di antara mereka yang tidak terpengaruh dan akan dapat melihatnya. Dia tidak boleh memperlihatkan diri di dekat kamar Sang Puteri karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan dan akan mempersulit lolosnya Syanti Dewi karena tentu kamar itu tidak akan ditinggalkan para penjaganya.

   "Bagaimana....?"

   Syanti Dewi mendekati dan berbisik ketika melihat Siang In yang telah mengintai dari jendela itu berdiri termenung. Puteri ini sudah berpakaian ringkas dan sebuah buntalan terisi bekal pakaiannya sudah dia siapkan di atas meja.

   "Sssttttt,.... banyak penjaga di luar. Aku akan keluar melalui genteng,"

   Bisik Siang In. Dara ini masih mengempit payungnya dan dia lalu menjejakkan kakinya di atas lantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ke arah langit-langit dan dengan payungnya dia menusuk langit-langit dan bergantungan di situ. Dari bawah, Syanti Dewi memandang penuh kagum dan dia teringat kepada Ceng Ceng, adik angkatnya yang juga memiliki kepandaian hebat seperti Siang In. Sementara itu, Siang In telah berhasil membobol langit-langit, kemudian setelah dia menoleh ke bawah dan memberi kedipan mata yang lucu kepada Syanti Dewi, tubuhnya menyelinap ke atas dan lenyap. Dengan hati-hati sekali Siang In membuka genteng dan menyelinap ke luar. Kemudian dia mempergunakan ilmunya dan berkelebat cepat sekali di atas genteng.

   "He.... apa itu....?"

   Terdengar seruan dari bawah. Agaknya ada seorang pengawal yang sempat melihat bayangan berkelebat cepat. Siang In segera mendekam di wuwungan yang tinggi, bersembunyi sambil memasang telinga mendengarkan. Ada gerakan-gerakan kaki orang di bawah.

   "Mana? Tidak ada apa-apa!"

   Terdengar orang lain mencela.

   "Akan tetapi aku melihat bayangan orang berkelebat di atas genteng. Sungguh aku berani sumpah!"

   "Hemmm, mana ada orang mampu menghilang? Kecuali setan.... ihhhhh....!"

   "Sssttttt, jangan bicara yang bukan-bukan. Kita harus waspada."

   Siang In terus mendekam. Maklumlah dia bahwa kalau dia muncul begitu saja, betapapun cepatnya dia mengguna-kan ginkang untuk meloncat, para pengawal yang sudah memasang mata penuh perhatian di atas genteng itu akan dapat melihatnya.

   Dia mencari akal dan tersenyumlah gadis yang cerdik ini. Dipatahkannya sepotong genteng dan dia lalu menyambitkan tiga patahan genteng berturut-turut ke arah belakangnya. Potongan-potongan genteng itu menimbulkan suara berisik ketika menimpa pot-pot bunga di bagian depan bangunan itu. Tentu saja semua pengawal terkejut dan semua orang menoleh ke tempat itu sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau melihat ketika Siang In cepat sekali meloncat dan terus berlari dan akhirnya melayang turun ke dalam taman. Dengan hati lega Siang In menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak di dalam taman itu. Dia telah berhasil meninggalkan kamar Syanti Dewi tanpa diketahui orang dan kini akan menuju ke kandang kuda seperti yang telah direncanakan di dalam kamar Sang Puteri. Dari peta yang dibuat oleh Syanti Dewi, kini dia telah hafal akan keadaan dan lorong-lorong di kompleks istana itu.

   "Heiiiii, berhenti....!"

   Siang In terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ada dua orang pengawal yang bersembunyi di belakang batang pohon besar sehingga hampir saja dia bertumbukan dengan mereka.

   "Srat! Srattt!"

   Dua orang pengawal itu telah mencabut pedang masing-masing.
(Lanjut ke Jilid 06)

   Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
"Aihhhhh, mengapa kalian demikian galak? Mengagetkan orang saja!"

   Siang In tersenyum manis bukan main, suaranya pun merdu dan genit, matanya bersinar-sinar sehingga kedua orang pengawal itu terpesona dan dalam waktu beberapa detik tidak mampu bergerak hanya menatap wajah yang cantik jelita itu dengan bengong. Waktu yang hanya beberapa detik ini cukuplah sudah bagi Siang In.

   Dua kali payungnya bergerak dan dua orang itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara atau berkutik lagi karena mereka telah tertotok secara tepat sekali oleh ujung payung di tangan Siang In yang cepat sudah menyelinap maju. Kini dia berlaku hati-hati sekali sehingga dia tidak sampai ketahuan oleh para penjaga lain. Akhirnya tibalah dia di bagian kandang kuda dan gudang rumput, di sebelah belakang istana. Dia menyelinap dan mengintai. Dilihatnya ada empat orang penjaga di dalam gudang rumput, maka dia lalu menyambar lampu minyak yang tergantung di samping gudang, kemudian dia bersenandung! Tentu saja empat orang penjaga yang sedang melewatkan malam dingin dengan bermain kartu, karena mereka ini pun menerima perintah agar malam itu mereka tidak tidur, menjadi terheran-heran mendengar senandung yang merdu itu. Suara wanita di tempat itu? Sungguh aneh.

   "Aih, kiranya di antara kalian ada yang mempunyai simpanan wanita di sini, ya?"

   Penjaga yang gendut tertawa.

   "Hayo, siapa yang menyimpan wanita yang sekarang bersenandung itu?"

   "Aih, suaranya begitu merdu...."

   Kata penjaga yang kurus.

   "Aku tidak mempunyai kenalan wanita di sini,"

   Kata yang ke tiga.

   "Aku pun tidak...."

   Kata yang ke empat.

   "Kalau begitu.... siapa...."

   Mereka saling pandang dan mata mereka terbelalak karena teringatlah mereka akan dongeng tentang siluman cantik.

   "Jangan-jangan dia....?"

   "Ahhhhh, mana ada siluman pandai bersenandung semerdu itu. Apapun adanya dia, mari kita ke luar menyelidiki. Suaranya terdengar dekat, agaknya di depan gudang,"

   Kata Si Gendut yang menjadi pemimpin dan keluarlah empat orang itu,

   Berindap-indap keluar dari gudang, tangan mereka memegang tombak garpu yang biasanya dipakai untuk me-numpuk rumput kering. Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar pintu gudang dan celingukan karena tidak melihat sesuatu, dari jendela gudang itu ada lentera yang dilemparkan ke dalam gudang. Lentera menimpa tumpukan rumput kering dan tentu saja dalam sekejap mata rumput kering itu terbakar! Empat orang itu terkejut mendengar suara api di belakang mereka. Cepat mereka menengok ke dalam gudang dan melihat api sudah berkobar besar di dalam gudang itu. Mereka terkejut dan juga merasa ngeri. Kalau saja mereka tadi belum keluar, agaknya akan sukar meloloskan diri dari api yang tentu mudah berkobar memakan rumput kering itu.

   "Kebakaran....!"

   "Tolonggg.... kebakaran....!"

   Segera mereka memukul kentongan sambil berteriak-teriak dan sebentar saja suara kentongan dan berita kebakaran di gudang kandang kuda itu sudah terdengar di seluruh kompleks istana. Apalagi ketika semua kuda telah terlepas dari kandangnya dan kini berlarian ke sana-sini karena ketakutan melihat api. Tentu Siang In pula yang telah melepaskan kuda-kuda itu dengan membuka pintu-pintu kandang dan mencambuki binatang-binatang itu ke luar kandang mereka. Panik dan gegerlah seluruh istana! Orang-orang berlari ke sana-sini, berserabutan dan bingung.

   "Jangan panik! Jangan tinggalkan tempat penjagaan masing-masing!"

   Panglima Mohinta dibantu oleh beberapa orang perwira berlari ke sana-sini menenangkan para pengawal. Akan tetapi tetap saja terjadi kepanikan hebat, bukan hanya karena kebakaran itu, melainkan kepanikan lain yang terjadi mulai dari taman di belakang kamar Syanti Dewi. Selagi para pengawal di sekitar taman itu yang jumlahnya paling banyak ada lima puluh orang yang tadinya berada di mana-mana dan kini berkumpul, menjadi agak bingung mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan bunyi kentongan, tiba-tiba di tempat gelap muncul seorang wanita muda yang amat cantik, yang tersenyum-senyum kepada mereka dari jauh dan melambaikan tangan.

   "Itu dia.... siluman itu!"

   Teriak seorang diantara mereka yang pernah bertemu dengan Siang In.

   "Lihat dia membawa payung!"

   Mendengar ini, para pengawal yang merasa tabah karena terdiri dari banyak orang itu berlari menghampiri. Akan tetapi Siang In tertawa terkekeh lalu membalikkan tubuhnya dan lari menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak.

   Gerakannya amat ringan dan cepat, lincah bukan main sehingga untuk beberapa lamanya dia dapat bermain kucing-kucingan dengan mereka, kadang-kadang menghilang bersembunyi di balik semak-semak atau di balik pohon-pohon, bahkan kadang-kadang dia meloncat seperti seekor burung terbang ke dalam pohon dan ketika beberapa orang pengawal yang mencarinya lewat di bawah pohon. Dia melempari mereka dengan buah-buah mentah lalu melompat ke lain pohon dan berlari lagi. Dengan gangguan-gangguan ini, Siang In berhasil membikin kacau lima puluh orang itu dan kini mereka semua tercurah perhatiannya kepada Siang In yang sebentar muncul sebentar lenyap itu. Bahkan Siang In kini lari tidak begitu cepat meninggalkan taman,

   Tentu saja dikejar oleh semua pengawal yang seolah-olah kini berlumba untuk menangkap siluman yang amat cantik jelita itu. Siang In sengaja memperlambat larinya dan membiarkan dirinya hampir tersusul. Setelah dia mendengar suara derap para pengawal itu dekat di belakangnya, tiba-tiba dia berhenti, membalik sambil mengeluarkan suara melengking nyaring yang tidak menyerupai suara manusia. Begitu dia membalik, semua pengejarnya terbelalak ngeri melihat wajah yang putih polos, wajah setan tanpa mata hidung mulut! Dan selagi mereka bengong dengan muka pucat, Siang In menubruk ke depan, menggerakkan payungnya dan robohlah enam orang sambil mengaduh-aduh karena ujung payung itu secara nakal sekali telah menusuk pundak dan paha mereka, tidak membahayakan namun cukup mendatangkan rasa nyeri.

   "Hi-hi-hik!"

   Siang In tertawa lagi sambil membalikkan dan melanjutkan larinya, makin menjauhi taman. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya dengan marah. Berhasillah Siang In mengacaukan para pengawal dan Syanti Dewi yang sudah siap dan mendengar keributan kebakaran, maklum bahwa saat baginya sudah tiba. Memang tanda kebakaran itu merupakan isyarat baginya untuk mulai meloloskan diri. Maka puteri ini lalu cepat keluar dari kamarnya melalui jendela dan hal ini bukanlah merupakan hal yang sukar baginya karena Syanti Dewi bukanlah seorang puteri yang lemah, melainkan seorang yang telah mempelajari ilmu silat pula sehingga lolos dari jendela merupakan pekerjaan yang mudah. Dia mendengar suara ribut-ribut di taman itu, maka tahulah dia bahwa Siang In sedang "mengerjakan"

   Para pengawal yang berjaga di taman.

   Maka dia lalu menyelinap di belakang pohon, mengintai dari tempat gelap dan setelah suara teriakan para pengawal makin menjauhi taman, tanda bahwa Siang In yang cerdik itu sudah berhasil memancing mereka ke luar dari taman, Sang Puteri cepat berlari menyelinap di antara kegelapan pohon-pohon di taman, membawa buntalannya dan terus menuju ke luar taman melalui jalan rahasia yang menembus ke pinggir tembok kota raja! Sementara itu, Siang In dengan lincahnya mempermainkan para pengawal yang kini makin banyak berdatangan dan mengepungnya. Ketika para pengejarnya belum begitu banyak, dia dapat menggunakan sihirnya yang mempengaruhi para pengejarnya. Kadang-kadang dia berdiri begitu saja di dekat pohon dan mereka yang mengejarnya tidak melihatnya karena mereka melihat gadis itu seperti sebatang pohon dan melewatinya begitu saja.

   Kadang-kadang ketika mereka sudah mengepung gadis itu, tiba-tiba saja gadis itu lenyap berubah menjadi asap atau "terbang"

   Begitu saja ke angkasa di depan mata mereka! Tentu saja semua ini hanyalah pengaruh sihir yang dikerjakan oleh Siang In dan menguasai pikiran mereka semua. Akan tetapi ketika yang mengejarnya makin banyak, sihir Siang In tidak begitu manjur lagi! Ada sebagian yang melihat dia "terbang"

   Sehingga menjadi bengong, akan tetapi sebagian lagi yang tidak terpengaruh, melihat gadis itu sebetulnya hanya menyelinap saja untuk melarikan diri dan mereka ini terus mengejar, dan tentu saja perbuatan mereka ini sekaligus menyadarkan mereka yang terkena pengaruh sihir. Mulai sibuklah Siang In berlari ke sana ke mari dikejar oleh para pengawal yang dipimpin oleh Panglima Mohinta sendiri.

   "Kejar! Tangkap dia!"

   Mohinta berteriak-teriak ketika melihat betapa gadis itu kadang-kadang melawan dan merobohkan para pengeroyok dengan gerakan silat yang amat hebat. Mulailah Siang In mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Menurut perhitungannya, saat ini Syanti Dewi tentu telah lolos.

   Akan tetapi celaka baginya, kini tiga ratus orang pengawal memusatkan kekuatan untuk mengurungnya dan tidak memberi kesempatan baginya untuk keluar dari dalam lingkungan istana! Kemanapun dia lari, tentu dia bertemu dengan pasukan pengawal yang amat banyak jumlahnya! Dan dia tidak akan mungkin terus bermain kucing-kucingan seperti itu, karena kalau sampai malam berganti pagi dan dia masih berada di istana, dia akan celaka! Ilmu silatnya dan ilmu sihirnya tidak mungkin dapat dia pergunakan menghadapi bala tentara Bhutan yang tentu akan dikerahkan untuk menangkapnya! Kemarin masih ada Syanti Dewi yang melindungi dan menyembunyikannya, akan tetapi sekarang, para pengawal sudah menduga bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa yang pandai ilmu sihir.

   Bahkan kini Mohinta telah mengundang jago-jago ilmu sihir yang banyak terdapat di Bhutan untuk menandinginya sehingga ketika dia mencoba menggunakan sihirnya ketika dia bertemu dengan sepasukan pengawal yang ditemani seorang pendeta, sihirnya melempem dan tidak berhasil sama sekali! Hanya berkat ilmu silatnya yang cukup tinggi sajalah dia mampu lolos! Napasnya agak terengah dan keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya ketika Siang In menyelinap ke dalam sebuah ruangan kosong untuk beristirahat sejenak mengumpulkan kekuatan dan mencari akal. Akan tetapi baru saja dia masuk dan menghapus peluh dengan saputangan, muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian panglima yang gagah sekali. Orang ini sudah setengah tua, usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya tegap dan gagah, tangannya memegang sebatang golok. Melihat laki-laki ini, Siang In terkejut, akan tetapi juga girang dan wajahnya berseri.

   "Paman Jayin....!"

   Panglima itu memang Panglima Jayin, seorang panglima yang setia kepada Kerajaan Bhutan dan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa panglima ini yang telah berhasil membawa pulang Syanti Dewi dari timur, dan panglima ini masih terhitung suheng dari Ceng Ceng karena dia pernah menerima gemblengan dari kakek pendekar wanita itu.

   Panglima Jayin terkejut dan heran mendengar dara muda yang cantik, yang disangka siluman dan dikejar-kejar ratusan orang pengawal itu, menyebutnya paman. Panglima ini baru saja tiba dari tugasnya ke luar kota raja dan begitu mendengar bahwa istana dikacau oleh seorang gadis lihai yang disangka siluman, dia bergegas pergi ke istana dan ikut pula mencari "siluman"

   Itu. Panglima ini adalah seorang yang sudah berpengalaman. Tentu saja dia tidak percaya bahwa istana diganggu siluman. Dia menduga bahwa tentulah yang mengganggu atau mengacau itu seorang tokoh kang-ouw atau seorang penjahat. Bahkan tadinya dia menduga bahwa yang mengacau adalah Ang Tek Hoat, akan tetapi dugaan ini dilenyapkan oleh berita bahwa pengacau atau siluman itu adalah wanita.

   Dengan kecerdikannya, Panglima Jayin tidak ikut mengejar-ngejar dengan ribut, melainkan dia menyelinap ke tempat-tempat sunyi karena dia mempunyai perhitungan bahwa orang jahat itu yang dikejar-kejar tentu akan mencari tempat-tempat sunyi untuk beristirahat. Perhitungannya itu ternyata cocok sekali, dan dengan girang dia melihat seorang dara menyelinap masuk ke dalam ruangan kosong itu. Akan tetapi terkejut dan terheranlah dia ketika dara asing yang dia yakin tentulah si pengacau itu langsung saja menyebutnya paman! Sejenak mereka berpandangan dan dara itu tersenyum manls, senyum kekanak-kanakan yang manis akan tetapi penuh dengan sifat menggoda seperti seorang anak nakal.

   "Eh, Paman Panglima Jayin, sudah lupa lagikah engkau kepadaku?"

   Kembali dara itu berkata ramah sambil tersenyum. Kini ada sesuatu pada diri dan sikap lucu dan nakal dari dara itu yang mengingatkan kepada panglima ini bahwa dia memang pernah bertemu dengan dara ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana.

   "Nona, siapakah engkau?"

   "Aku adalah Teng Siang In, murid dari See-thian Hoat-su. Kami pernah membantu kalian ketika dahulu mengawal Syanti Dewi ke Bhutan. Jayin teringat dan dia mengangguk-angguk.

   "Ah, kiranya Nona! Akan tetapi apakah Nona pula yang menggegerkan istana dan dianggap sebagai siluman?"

   "Hi-hik, inilah yang disangka siluman!"

   Siang In mengeluarkan kedok dan sekali tangannya mengusap muka, mukanya berubah menjadi polos mengerikan. Jayin terbelalak lalu tersenyum.

   "Aih, Nona sungguh nakal sekali! Apa perlunya Nona mempermainkan kami dan mengacau istana?"

   Siang In sudah melepaskan kedoknya lagi dan kini dengan sikap serius, sungguh tidak pantas bagi wajahnya yang cantik namun jenaka sifatnya itu, dia berkata,

   "Paman Jayin, apakah engkau tidak kasihan kepada Puteri Syanti Dewi? Apakah dulu Paman bersusah payah membawanya pulang ke Bhutan hanya untuk menyiksanya sehingga dia akan mati tenggelam dalam kedukaan seperti seekor burung dalam sangkar?"

   "Eh, apa maksudmu berkata seperti itu, Nona?"

   Jayin bertanya marah dengan alis berkerut.

   "Hemmm, jangan kau pura-pura tidak tahu, Paman. Tidak tahukah engkau bahwa Puteri Syanti Dewi setiap hari berduka, bahwa Sang Puteri masih mencinta Tek Hoat dan sama sekali tidak men-cinta Mohinta? Tidak tahukah Paman akan hal itu?"

   Jayin terkejut dan sejenak dia tak dapat menjawab. Akhirnya dia menghela napas dan berkata,

   "Tentu saja aku tahu, Nona. Aku tidak buta, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan?"

   "Paman Jayin, dahulu engkau adalah seorang gagah perkasa yang budiman, yang amat sayang kepada Syanti Dewi. Apakah sekarang Paman sudah berubah? Apakah Paman tidak ingin melihat dia berbahagia?" "Bagaimana saya dapat membuat dia berbahagia?"

   "Dengan membiarkan dia lolos dari istana untuk pergi mencari dan berkumpul kembali dengan kekasihnya, yaitu Ang Tek Hoat.

   "Hemmm.... apakah kau menganjurkan aku berkhianat?"

   "Siapa yang suruh kau berkhianat? Terus terang saja Paman Jayin, dahulu aku menganggapmu sebagai teman. Akan tetapi sekarang, aku sedang berusaha meloloskan Puteri Syanti Dewi dari is-tana. Bahkan sekarang pun dia sudah lolos. Kalau engkau hendak menghalangi, hemmm.... terpaksa aku akan menganggap engkau sebagai musuh!"

   Berkata dengan demikian, gadis yang cerdik itu sudah siap dengan payungnya, akan tetapi sesungguhnya ini hanya aksi belaka,

   Karena dia sama sekali tidak ingin melukai panglima ini, dan yang dia persiapkan adalah kekuatan sihirnya karena kalau perlu dia akan menguasai panglima ini dengan sihirnya. Panglima Jayin tercengang. Tahulah dia sekarang mengapa gadis ini mengacau istana. Dan semenjak Tek Hoat pergi tanpa pamit dari Kota Raja Bhutan, kemudian melihat keadaan Sang Puteri, memang di dalam hati panglima yang setia ini sudah timbul penyesalan hebat. Akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya untuk membantu Syanti Dewi. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga, muncul nona ini yang hendak menolong Syanti Dewi. Kalau dia menghalangi, sama saja artinya dengan dia hendak memaksa Syanti Dewi hidup menderita selamanya! Pada saat itu, terdengar suara hiruk-pikuk dari jauh yang makin lama makin mendekati tempat itu.

   "Dia tadi berkelebat ke sini!"

   "Cari sampai dapat!"

   "Geledah semua tempat, semua tempat kosong!"

   Jayin dan Siang In masih saling berpandangan.

   "Kau yakin Puteri telah lolos dari istananya?"

   Tiba-tiba Jayin bertanya.

   "Sudah pasti!"
"Kalau begitu, aku akan memancing mereka menjauhimu menuju ke istana Syanti Dewi di utara dan kau dapat melarikan diri ke bagian selatan. Cepat kau temani Sang Puteri dan bantulah dia agar bertemu dengan kekasihnya agar dia hidup berbahagia."

   Siang In tersenyum dan menjura.

   "Sungguh engkau habat, Paman! Sudah kusangka bahwa engkau memang seorang yang gagah perkasa dan budiman."

   "Sudahlah selamat berpisah....!"

   Kata Jayin.

   "Mari selidiki di dalam sini!"

   Terdengar suara Mohinta tiba-tiba.

   "Heiiiii, siluman! Kau hendak lari ke mana?"

   Tiba-tiba Jayin membentak marah, dengan golok terhunus dia menyerbu ke luar, mengejutkan Mohinta dan para anak buahnya.

   "Eh, Paman. Panglima!"

   Mohinta berseru.

   "Mohinta! Cepat, siluman itu lari ke sana! Eh, kenapa kalian mengejar-ngejar di sini? Celaka! Tentu siluman itu akan menculik Sang Puteri! Dan kalian meninggalkan istana Sang Puteri! Celaka aku melihat siluman itu tadi lari ke arah istana Sang puteri!"

   Jayin mendahului yang lain-lain, melompat dan lari ke arah istana Syanti Dewi. Mohinta terkejut dan baru teringat, maka dia pun lalu berlari cepat mengejar Jayin, diikuti oleh para pengawal.

   "Ini adalah pancingan!"

   Sambil berlari Panglima Jayin berseru.

   "Siluman itu memancing kalian meninggalkan penjagaan di istana Sang Puteri. Betapa bodohnya kalian!"

   "Celaka....!"

   Mohinta menjadi pucat dan mempercepat larinya ke arah istana kecil itu. Seperti berlomba lari saja mereka menuju ke istana, langsung ke kamar Sang Puteri dan memang semua pengawal yang menjaga di situ telah lari tadi mengejar Siang In. Mohinta bernapas lega melihat pintu kamar Sang Puteri masih terkunci dari dalam.

   
"Ah, syukur Adinda Syanti Dewi masih di dalam, tentu masih tidur nyenyak,"

   Katanya sambil tersenyum lega.

   "Bodoh! Coba ketuk, buka! Siapa tahu....!"

   Jayin melangkah maju dan mengetuk pintu perlahan-lahan sambil memanggil. Akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketukan diperkeras dan akhir-nya pintu itu digedor-gedor oleh Mohinta yang sudah menjadi pucat sekali mukanya. Namun tetap saja tidak ada jawaban.

   "Bongkar pintunya!"

   Jayin yang bersikap seperti orang kebingungan itu me-merintah. Pintu kamar dibongkar, dipaksa terbuka dan mereka menyerbu ke dalam Kosong!

   "Celaka....! Adinda.... Adinda Syanti Dewi....!"

   Panglima Mohinta mencari-cari dalam kamar itu, lalu menjenguk keluar jendela, akan tetapi keadaan di luar jendela pun sunyi.

   "Nah, apa kataku tadi!"

   Panglima Jayin marah-marah.

   Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sungguh tolol kalian semua, dapat dipancing meninggalkan tempat ini oleh penjahat. Jelas bahwa penjahat itu menyamar sebagai siluman, mengacau dan membakar kandang agar semua pengawal terpancing ke sana, kemudian dia dengan leluasa telah masuk ke dalam kamar ini dan menculik Sang Puteri."

   "Aduh, Paman Panglima Jayin, bagaimana baiknya sekarang?"

   Panglima Mohinta yang merasa cemas dan duka itu mengeluh.

   "Agaknya tidak mungkin penjahat, dapat melarikan Sang Puteri keluar dari lingkungan istana. Mohinta, kau perkuat penjagaan di sekitar istana, jangan sampai ada orang dapat keluar atau masuk. Aku sendiri akan melaporkan hal ini kepada Sri Baginda sekarang juga!"

   Mohinta cepat mengerahkan semua pasukan untuk berjaga-jaga dan mencari-cari, akan tetapi tentu saja tanpa hasil karena pada saat itu, Syanti Dewi dan Siang In telah pergi jauh meninggalkan tembok tebal yang mengurung Kota Raja Bhutan. Gegerlah istana Bhutan. Sri Baginda menjadi marah sekali dan juga amat gelisah memikirkan puterinya yang untuk kedua kalinya diculik orang. Dahulu, kurang lebih lima tahun yang lalu, Sang Puteri bersama Ceng Ceng juga lenyap, sampai setahun lebih baru berhasil ditemukan.

   Sekarang, Sang Puteri lenyap pula, bahkan sekarang lenyap dari dalam kamarnya! Maka, ketika Panglima Mohinta mohon perkenan Sri Baginda untuk pergi mencari Sang Puteri, Sri Baginda menyetujuinya. Panglima Mohinta lalu mengumpulkan jagoan-jagoan dari Bhutan, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi untuk menemaninya pergi mencari jejak Sang Puteri Syanti Dewi. Keadaan Syanti Dewi benar-benar seperti seekor burung yang tadinya terkurung dalam sangkar kini terlepas dari kurungan, terbang bebas di udara. Kesehatannya pulih kembali, dalam waktu satu bulan saja melakukan perjalanan, wajahnya sudah menjadi segar kemerahan, sepasang matanya yang tadinya sayu kini bersinar-sinar penuh semangat dan gairah hidup dan biarpun pakaiannya tidak seindah dan semewah ketika dia berada di istana,

   Namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya, bahkan dia kelihatan segar dan cantik sekali, dengan mata bersinar, mulut tersenyum dan wajah berseri-seri. Dia telah berhasil menyelinap keluar dari tembok kota raja setelah bertemu dengan Siang In di tempat yang telah dijanjikan oleh mereka, dan berkat kelihaian Siang In, Sang Puteri dapat dibawa keluar tembok kota dan dengan cepat mereka melarikan diri ke timur. Memang bukan perjalanan yang mudah yang mereka tempuh selama sebulan ini. Naik turun gunung-gunung yang tinggi dan liar, masuk keluar hutan-hutan yang amat besar dan gelap. Namun, karena di sampingnya ada Siang In, pula karena memang puteri ini pernah mempelajari ilmu silat dan telah banyak mengalami hal-hal yang hebat, maka perjalanan ini tidaklah terlalu sukar dan sengsara baginya.

   Sebaliknya malah, dia benar-benar merasa seperti hidup baru, merasa gembira dan penuh harapan yang muluk-muluk, yaitu harapan untuk dapat bertemu kembali dengan pria yang dicintanya, ialah Ang Tek Hoat. Makin akrab saja hubungan di antara dua orang dara yang sifat dan wataknya bagaikan bumi dan langit itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut, halus budi, halus perasaan, pandai mengekang perasaan, dan memiliki keagungan seseorang puteri. Sebaliknya, Teng Siang ln adalah seorang wanita yang berwatak periang jenaka, bahkan bengal dan suka menggoda orang, suka tertawa, jujur, polos dan tidak begitu mempedulikan tentang peraturan dan sopan santun, perasaannya mengeras oleh gemblengan hidup, dan biarpun dia termasuk seorang dara yang suka berpakaian indah dan suka pula bersolek,

   Namun pada dasarnya dia amat sederhana. Betapapun besar perbedaan watak antara mereka, namun mereka dapat segera menjadi sahabat yang akrab sekali. Syanti Dewi benar-benar merasa seolah-olah dia mendapatkan pengganti Ceng Ceng! Memang ada persamaan antara Ceng Ceng dan Siang In, persamaan dalam hal watak periang, agak binal dan jujurnya. Akan tetapi Ceng Ceng tidaklah sebinal Siang In! Betapapun juga, dengan adanya Siang In di sampingnya, perjalanan yang amat sukar itu tidak terasa oleh Syanti Dewi dan dia dalam waktu sebulan itu saja sudah mengenal benar-benar watak Siang In. Biarpun kelihatan binal dan terpengaruh oleh keindahan yang membawa keanehan, kadang-kadang kelihatan keras, namun pada hakekatnya dara ini memiliki watak yang amat baik, setia dan jujur!

   "Enci Syanti, ajari aku nyanyian yang kemarin kau nyanyikan ketika kita mandi di telaga itu! Kau sudah berjanji"

   Mereka duduk beristirahat di sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di pegunungan yang jauh dari dusun-dusun, hutan yang liar dan tentu amat jarang terinjak kaki manusia. Akan tetapi ternyata alam memiliki daya cipta yang tak dapat terukur oleh otak manusia.

   Pohon-pohon besar kecil tumbuh dengan subur dan amat nyeni seolah-olah diatur saja, berkelompok dan memiliki keindahan sendirl-sendiri yang khas, namun juga merupakan suatu kesatuan yang amat indah, yang tak terpisahkan. Agaknya, sebatang pohon saja dipindahkan, akan hambarlah keindahan kesatuan itu. Kembang-kembang dan rumput-rumput seolah-olah tumbuh di tempat yang memang sudah semestinya, begitu serasi, begitu cocok sehingga suasana di hutan itu menjadi indah membahagiakan hati. Dua orang dara yang sadar atau tidak terpengaruh oleh keindahan yang membahagiakan itu dan yang kini beristirahat melepaskan lelah di bawah sebatang pohon besar, merasa gembira pula dan bercakap-cakap dengan asyiknya sampai terdengar Siang In minta diajari nyanyian.

   "Adikku yang manis, engkau sudah begini pandai, mempunyai banyak macam ilmu-ilmu yang aneh-aneh, akan tetapi kulihat engkau masih selalu haus akan pelajaran-pelajaran. Betapa rajinnya engkau, In-moi."

   Syanti Dewi memuji sambil meletakkan tangannya ke atas pundak dara itu. Siang In tersenyum.

   "Selama ini, aku hanya mempelajari hal-hal yang kasar saja, Enci. Ilmu silat, ilmu memukul orang. Huh! Dan ilmu sihir, ilmu menipu orang. Wah, tidak ada yang baik dan hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Akan tetapi engkau sebagai seorang puteri benar-benar memiliki banyak kepan-daian yang dapat menyenangkan orang lain, dan aku ingin sekali mempelajarinya, Enci."

   "Akan tetapi, aku mempelajari segala macam kepandaian nyanyi, tari, bermain musik dan lain-lain itu bukan untuk menyenangkan sembarang orang, adikku. Aku bukannya ingin menjadi seorang penari atau penyanyi umum"

   "Aku tahu, Enci. Tentu engkau hanya mau bernyanyi atau menari di depan orang yang kau cinta. Bukankah begitu?"

   Dengan kedua pipinya berubah merah, Syanti Dewi mengangguk.

   "Aku pun demikian, Enci. Aku minta diajar bernyanyi, karena. aku suka mendengar senandungmu kemarin itu, dan aku.... hemmm, aku pun tidak akan sembarangan memamerkan nyanyian di depan orang lain!"

   Wajah itu berseri dan mata yang halus pandangnya itu menatap wajah Siang In penuh selidik. Akan tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja.

   "Aihhh, kalau begitu engkau juga sudah mempunyai seorang pilihan hati, seorang kekasih, adikku!"

   Siang In menggeleng kepala.

   "Belum, Enci. Pilihan hati.... hemmm, ya, mungkin saja, siapa tahu.... akan tetapi kekasih? Belum! Enci dengan Ang Tek Hoat, nah, itu baru namanya kekasih, karena saling mencinta."

   Tiba-tiba pandang mata Syanti Dewi berubah, penuh kekhawatiran.

   "Adikku yang manis, apakah.... apakah cintamu hanya sepihak....?"

   Kembali Siang In menggeleng dan tersenyum.

   "Tidak ada cinta, baik dari fihak mana pun, Enci. Aku sendiri tidak tahu benar apakah aku telah mencinta seseorang. Banyak memang pria yang menyatakan cinta padaku, baik melalui pandangan matanya, melalui rayuannya...."

   "Aku percaya. Engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari!"

   "Tidak ada sepersepuluhmu dalam kecantikan, Enci. Akan tetapi kalau hanya seperti itu cinta yang diagung-agungkan itu, seperti para pria yang menyatakan cinta melalui pandang mata atau rayuan mulut penuh nafsu itu, hihhh...."

   Siang In bergidik.

   "Lebih baik aku tidak mengenal cinta!"

   Syanti Dewi memandang tajam.

   "Hemmm.... jangan engkau berkata begitu, In-moi. Kalau benar engkau belum mempunyai kekasih, habis siapa yang kau cari-cari itu? Dulu di Bhutan engkau pernah bilang bahwa engkau datang ke Bhutan mencari seseorang siapakah dia itu yang kau cari-cari?"

   Terjadi perubahan, akan tetapi hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi bersinar-sinar seperti orang gembira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang marah. Dia mengangguk.

   "Memang aku mencari seseorang yang tadinya kusangka berada di Bhutan atau sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku salah sangka dan dia mungkin tidak berada di barat.

   "Siapakah dia, In-moi? Mungkin saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada."

   "Enci mengenalnya, tentu. Dia adalah Suma Kian Bu"

   "Ehhh....? Dia....?"

   Sejenak puteri itu termenung teringat akan pemuda gagah perkasa, putera Majikan Pulau Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat dan andaikata di dunia ini tidak ada Ang Tek Hoat, betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada seorang sepertli Suma Kian Bu!

   "Tahukah Enci di mana adanya dia?"

   Syanti Dewi dalam keadaan masih termenung menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak tahu, tentunya di Pulau Es, di ternpat tinggal orang tuanya, In-moi, Suma Kian Bu adalah seperti kakakku sendiri, seperti saudaraku sendiri. Katakanlah mengapa engkau mencari dia? Kuharap saja tidak ada permusuhan antara kalian"

   Siang In menggeleng kepalanya.

   "Tidak ada permusuhan apa-apa "

   "Kalau begitu kalian saling mencinta! Wah, syukurlah !"

   "Juga tidak, Enci. Tidak ada permusuhan, juga tidak ada ikatan itu karena selama ini kami tidak pernah saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan suatu hal agar rasa penasaran di hatiku dapat lenyap."

   "Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.

   "Penasaran? Urusan apakah itu yang membuat engkau penasaran, adikku? Bolehkah aku mengetahuinya? Aku khawatir sekali...."

   "Ah, tidak apa-apa, Enci Syanti. Hanya rasa penasaran karena suatu perbuatan yang dia lakukan kepadaku, lima tahun yang lalu."

   Jawab Siang In dan tiba-tiba wajahnya berubah merah. Tentu saja puteri itu menjadi makin penasaran.

   "In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan kepadamu sampai membuatmu penasaran? Atau.... engkau kurang percaya kepadaku untuk memberitahu...."

   "Ah, mengapa tidak percaya, Enci Syanti Dewi?"

   Siang In merangkul.

   "Tidak ada rahasia perbuatan itu hanyalah.... eh, lima tahun yang lalu dia.... eh, dia pernah mencium bibirku."

   "Ihhh....!"

   Syanti Dewi terkejut bukan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian jujurnya, seolah-olah itu

   "bukan apa-apa"!

   "Kenapa kau terkejut, Enci?"

   Siang In memandang penuh selidik.

   "Tidak apa-apa...."

   Syanti Dewi mengatur napasnya yang agak memburu.

   "Hanya.... kalau sudah begitu.... berarti kalian saling men-cinta."

   Siang In menggeleng kepala.

   "Bagaimana engkau dapat memastikan begitu?"

   "Ya.... karena.... pria yang mau mencium seperti itu, berarti dia mencinta, dan kau kalau kau mau menerima ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya."

   "Hemmm.... aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia cinta padaku. Akan tetapi, terus terang saja, ciuman itu membuat aku sering kali tidak bisa tidur, Enci Syanti."

   Syanti Dewi menutupi mulutnya, menahan ketawa. Anak ini benar-benar jujur bukan main, pikirnya dengan hati terharu. Jujur dan polos, murni bagaikan setangkai mawar hutan yang mulus tak pernah ternoda.

   "Itulah tandanya bahwa kau jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku."

   "Ah, tidak. Belum tentu. Aku tidak yakin apakah aku cinta padanya. Aku sering kali membayangkan ciuman itu, memang, akan tetapi dengan hati penasaran. Maka aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa lima tahun yang lalu itu dia menciumku seperti itu!"

   Syanti Dewi menggeleng-geleng kepalanya. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang gadis seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia bertemu dengan cerita tentang seorang gadis seperti Siang In!

   "Jadi jauh-jauh engkau bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk bertanya tentang itu?"

   "Benar, akan tetapi sudahlah, Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan kecewa karena kenyataannya perjalananku sia-sia belaka, tidak dapat bertemu dia. Baiknya aku bertemu denganmu dan dapat membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan itu. Sekarang kau ajarkan lagu yang kaunyanyikan kemarin itu."

   "In-moi, lagu itu adalah lagu lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk menyanyikannya harus diiringi musik dan dinyanyikan sannbil menari."

   "Bagus sekali! Aku pun senang menari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kau ajarkan sekalian tariannya."

   "Musiknya?"'

   "Asal kau ajarkan pada aku iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu."

   Syanti Dewi tertawa. Memang, inti dari musik adalah iramanya, dan andaikata tidak ada alat musik, asal iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu atau apa pun jadilah! Dia lalu mengajarkan iramanya yang sederhana saja seperti semua irama dari segala macam musik di dunia ini.

   "Lagu ini bernama HARAPAN JUMPA KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan irama yang baik dan teratur, dan dengarkan nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin mempelajarinya."

   Terdengarlah ketukan-ketukan batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara halus merdu dari Syanti Dewi yang bernyanyi sambil menari. Kata-kata dalam Lagu itu memang tepat sekali dengan keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri. :

   Kekasih Telah Lama Pergi
Tak Tahu Bila Akan Jumpa Kembali
Namun Hati Pantang Membeku
Tak Mengenal Putus Harapan
Selama Hayat Dikandung Badan
Cintaku Tak Pernah Padam
Jika Tiada Kesempatan Jumpa Di Dunia
Di Akhirat Kita Akan Saling Bersua
Harapan Jumpa Kekasih
Kubawa Sampai Mati.

   "Hebat, Enci! Hebat sekali, baik nyanyiannya maupun tariannya. Cepat, kau yang mengiringi dengan irama, selagi aku masih ingat."

   Gembira bukan main hati kedua orang dara itu dan ketika Siang In belajar menyanyi dan menarikan lagu Harapan Jumpa Kekasih itu, Syanti Dewi yang bengong dan kagum! Kiranya di samping kepandaian silat dan sihirnya yang hebat, dara ini pun memiliki suara yang nyaring merdu seperti burung kenari, dan tubuhnya yang padat ramping itu memang telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah gemulai sehingga ketika dia menari,

   Benar-benar amat indah dan mengandung daya pikat yang mempesonakan. Gerak-gerik tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih terselubung oleh tradisi sopan santun yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan tetapi tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini bebas dari segala ikatan tradisi, gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggauta tubuhnya seolah-olah "hidup"

   Dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang menggairahkan! Demikianlah, dengan asyiknya dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang In belajar penuh semangat, kadang-kadang Syanti Dewi turun tangan mengajarnya bagaimana harus menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang benar, bagaimana harus menggerakkan kaki melangkah.

   Puteri itu memberi petunjuk dengan penuh ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai akhirnya dia dapat menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu. Sejak kecil, Siang In mempelajari ilmu silat dan sesungguhnya orang yang berbakat pula mempelajari ilmu tari, karena di dalam gerakan ilmu silat memang terkandung inti gerakan ilmu tari pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang memang bertubuh ramping dan lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih itu. Tiba-tiba Siang In menangkap tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke balik semak-semak belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan main, akan tetapi melihat Siang In memberi isyarat dengan jari tangan ke depan mulut, dia pun tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres.

   Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh dan kini setelah dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat derap kaki kuda datang dari jurusan itu. Tidak lama mereka menanti. Derap kaki kuda makin keras dan segera kelihatan belasan orang penunggang kuda membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi ketika melihat bahwa rombongan berkuda itu dipimpin oleh Panglima Mohinta! Seketika wajahya menjadi pucat dan tangannya yang memegang tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa dia telah terlepas dari bahaya karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa kira, ternyata dia dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ! Setelah derap kaki kuda itu menghilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas lega dan Siang In berkata,

   "Aihhh, tak kusangka monyet-monyet itu akan dapat menyusul secepat itu. Dan tunanganmu sendiri yang mengepalai pasukan pengejar."

   "Dia bukan tunanganku! Jangan menyebut-nyebut lagi dia sebagai tunanganku, In-moi. Engkau tahu bahwa tunanganku adalah Ang Tek Hoat!"

   "Maaf, Enci Syanti. Sekarang kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka telah mendengar tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati untuk membeli roti kering. Kalau mereka nanti tiba di dusun depan dan tidak mendengar tentang kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di sepanjang jalan."

   "Tapi mereka hanya belasan orang banyaknya. Dengan kepandaianmu...."

   "Hemmm, apakah engkau tidak melihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggu kuda di samping tunang.... eh, Panglima Mohinta itu?"

   "Ya, aku melihatnya dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa, In-moi?"

   "Ketika lewat tadi, aku melihat sinar matanya dan tentu dia itu seorang jagoan undangan. Agaknya dari Tibet dan melihat sinar matanya, aku dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang lihai dan tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir. Tentu saja aku tidak takut kepada mereka, akan tetapi aku harus melindungimu, Enci. Dan agaknya akan sukarlah kalau aku harus melawan mereka sambil melindungimu. Aku tidak ingin melihat usaha kita gagal setelah kita berhasil pergi sejauh ini dari Bhutan. Mari kita mengambil jalan lain saja, bukan jalan umum."

   "Terserah kepadamu, In-moi."

   Siang In lalu mengubah rencana perjalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke timur melainkan membelok ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan jurang yang amat liar akan tetapi yang menjamin mereka bahwa pasukan berkuda itu tidak akan mungkin dapat mencari jejak mereka. Siasat Siang In berhasil baik. Memang tepat perhitungannya. Ketika Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka tidak mendengar adanya dua orang gadis itu lewat di dusun ini,

   Mohinta dan kawan-kawannya segera kembali dan mencari-cari di dalam hutan di mana dua orang tadi bernyanyi dan menari. Akan tetapi Mohinta kehilangan jejak mereka dan terpaksa dia membawa rombongannya terus mengejar dan mencari ke timur. Mohinta dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya, Ang Tek Hoat, maka dengan mencari pemuda itu, dia percaya akhirnya akan dapat pula menemukan Syanti Dewi. Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua selalu berada dalam keadaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan periang dari Siang In telah menular kepada Syanti Dewi, akhirnya pada suatu senja mereka tiba di kaki sebuah diantara pegunungan yang mempunyai banyak puncak.

   Itulah Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi Shen-si di barat, Ho-nan di selatan, dan Shan-si di utara. Lebih dari sepekan mereka berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di kota Sian, yaitu ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan perjalanan darat. Tujuan mereka adalah Kota Raja Peking di utara. Setelah berjalan beberapa hari lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki puncak dan mereka memandang ke atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi tembok, mereka merasa lelah sekali karena anehnya, setelah melakukan perjalanan sehari lamanya mereka tidak juga bertemu dengan kota atau dusun! Baru sekarang mereka melihat kota di puncak bukit itu, dan di depan agak jauh nampak mengalir Sungai Kuning yang amat lebar.

   "Hari sudah gelap dan sudah dua hari kita tidak makan nasi,"

   Kata Siang In,

   "Kalau melanjutkan ke depan, kita terhalang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke puncak itu? Kelihatannya di atas itu adalah sebuah kota kuno yang besar dan kita bisa mencari penginapan di sana dan makan sepuasnya di rumah makan."

   Syanti Dewi yang merasa sudah lelah sekali itu mengangguk.

   "Terserah kepadamu, In-moi. Aku setuju saja. Hanya lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja. Perjalanan melalui air yang telah kita tempuh, demikian enak dan membikin malas sehingga begitu diganti dengan perjalanan darat, kaki ini menjadi seperti mau patahpatah rasanya. Padahal, sebelum itu, dipakai berjalan sampai sebulan lebih tidak apa-apa."

   Siang In tersenyum dan menggandeng puteri itu.

   "Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan kedua kakimu yang mungil itu. Biasanya pergi dekat saja engkau tentu menggunakan joli atau kereta, dan biasanya kalau terasa capai, tentu ada pelayan-pelayan yang memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu"

   "Hushhh, genit kau....!"

   Syanti Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit minta ampun. Dengan kelakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan kelelahannya dan mereka bersendau-gurau sambil mendaki jalan naik ke puncak itu.

   Sungguh kasihan kedua orang dara cantik jelita itu. Mereka tertawa-tawa bersendau-gurau, membayangkan bahwa mereka akan tiba di sebuah kota atau dusun besar di mana mereka akan dapat melepaskan lelah di rumah penginapan, mandi air hangat dan makan masakan yang lezat-lezat. Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka itu seolah-olah dua ekor anak domba yang berdaging empuk dan yang sedang menuju ke gua yang penuh dengan harimau dan naga! Tempat apakah yang dikurung tembok di atas puncak itu? Bagi wilayah itu, bahkan hampir semua orang kang-ouw di Propinsi-propinsi Shan-si, Ho-nan dan Shen-si, tempat itu sudah amat terkenal, disegani dan tidak sembarangan orang kang-ouw berani mendatangai tempat itu, apalagi sejak beberapa tahun akhir-akhir ini.

   Puncak bukit itu merupakan daerah berbahaya dan gawat, bahkan di sekitar itu, orang-orang tidak lagi berani tinggal sehingga dusun-dusun ditinggalkan orang. Inilah sebabnya mengapa selama sehari perjalanan Siang In dan Syanti Dewi tidak pernah melihat kota atau dusun. Puncak itu dinamakan puncak Hwee-liong (Naga Api) dan yang kelihatan seperti dusun itu sesungguhnya adalah sekelompok bangunan yang dikurung dinding tembok yang kuat seperti benteng saja. Tempat itu menjadi markas sebuah perkumpulan yang amat terkenal, yaitu Per-kumpulan Liong-sim-pang (Perkumpulan Hati Naga). Yang menjadi ketuanya, atau lebih tepat menjadi pemiliknya karena sesungguhnya perkumpulan itu didirikan oleh seorang yang amat kaya raya,

   Adalah seorang lakl-laki yang terkenal dengan julukan Hwa-i-kongcu (Pemuda Baju Kembang), bernama Tang Hun dan memang dia merupakan keturunan terakhir dari keluarga Tang yang kaya raya dan seolah-olah sejak turun-temurun menjadi raja kecil yang menguasai semua tanah di daerah itu. Mengapa pemuda bernama Tang Hun ini sampai mendirikan Perkumpulan Liong-sim-pang? Karena selain kaya raya dia pun sejak kecil suka sekali akan ilmu silat, bahkan kini ia terkenal sebagai seorang yang amat tangguh dan lihai, apalagi setelah sejak beberapa tahun ini dia berguru kepada seorang nenek hitam yang kini tinggal di puncak itu sebagai seorang yang dipuja-puja. Semenjak berguru kepada nenek hitam ini kabarnya kepandaian Hwa-i-kongcu menjadi hebat bukan main karena selain silat nenek itu amat tinggi, juga terutama sekali nenek itu seorang ahli sihir yang menurunkan sebagian dari kepandaian ini kepada muridnya itu!

   Dan selain dia sendiri amat lihai, juga Hwa-i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu yang sakti dan setia. Sebagai seorang majikan atau ketua dari sebuah perkumpulan, apalagi karena amat kaya raya, tentu saja Hwa-i-kongcu membentuk pasukan sebagai anak buah Liong-sim-pang. Anak buahnya berjumlah lima puluh orang, dan cata-rata memiliki kepandaian lumayan, karena mereka yang masuk menjadi anggauta harus lulus melalui ujian tertentu. Bahkan setelah menjadi anak buah Liong-sim-pang mereka ini mendapat pendidikan khusus dari para pembantu Hwa-i-kongcu. Melihat namanya, perkumpulan ini didirikan oleh Tang Hun dengan maksud mengangkat diri sendiri sebagai majikan atau ketua perkumpulan orang-orang gagah yang berhati naga!

   Akan tetapi, sudah menjadi kelajiman di dunia bagian mana pun juga, baik dalam bentuk pangkat, kedudukan, dan kepintaran, harta benda, maupun kekuatan, selalu mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan inilah yang menimbulkan kesombongan, kesewenang-wenangan dan penindasan. Maka tidak lama kemudian, nama Liong-simpang menjadi tersohor dan ditakuti orang karena para anak buahnya meng-andalkan kekuasaan itu untuk menang sendiri terhadap fihak lain. Hwa-i-kongcu Tang Hun sendiri tentu saja merasa dirinya terlalu tinggi untuk melakuan hal-hal yang remeh. Dia sudah kaya raya, maka tidak pernah dia melakukan pemerasan atau merampas harta. Akan tetapi, dia memiliki kesenangan lain, yaitu wanita cantik!

   Dengan menggunakan berbagai jalan, baik menggunakan kekayaannya, atau ketampanannya, atau kalau perlu kepandaiannya, dia mengumpulkan banyak wanita cantik di dalam gedungnya dan celakanya, pemuda mata keranjang dan hidung belang ini adalah seorang pembosan sehingga kumpulan wanita di gedungnya selalu berganti. Yang sudah membosankan, dan biasanya hal ini takkan pernah terjadi lebih dari beberapa bulan saja, lalu dipulangkan begitu saja dan dia mulai berkeliaran mencari penggantinya. Kamar-kamarnya selalu penuh dengan wanita cantik yang jumlahnya paling sedlkit ada sepuluh orang! Hwa-i-kongcu sendiri biarpun usianya sudah tiga puluh tahun namun dia kelihatan amat muda, seperti seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun, wajahnya tampan dan selalu putih karena dibedaki dengan bedak harum.

   Dia pesolek sekali, dengan pakaian seperti seorang sastrawan yang selalu berwarna-warni dan berbunga-bunga, pakaian dari sutera yang mahal dan mewah. Karena kelihatan masih amat muda, tampan dan ganteng, kaya raya, pandai ilmu sastra dan silat, maka tentu saja dengan mudah dia dapat memikat hati wanita-wanita cantik. Akan tetapi, begitu wanita-wanita itu berhasil diperolehnya dan dibawa ke dalam gedungnya, wanita-wanita itu menyesal bukan main dan barulah mereka sadar bahwa mereka telah memasuki neraka karena pria yang tampan itu memiliki watak yang amat aneh dan kejam, yang suka menyiksa wanita demi untuk memuaskan nafsu berahinya dan menganggap wanita hanya sebagai barang permainan belaka, sebagai pemuas nafsu belaka! Sampai berusia tiga puluh tahun, Hwa-i-kongcu ini tidak pernah menikah.

   Hal ini adalah karena dia berwatak pembosan dan terutama sekali karena dia amat tinggi hati, merasa bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang cukup berharga untuk menjadi isterinya yang sah! Semua wanita itu hanya mau menjadi barang permainanhya untuk sementara saja. Demikianlah, di luar kesadaran atau dugaan mereka, kini Siang In dan Syanti Dewi sedang mendaki bukit menuju ke tempat seperti itu! Tentu saja para penjaga di atas tembok yang seperti benteng itu sudah melihat akan adanya dua orang yang mendaki bukit, maka sepasukan anak buah Liong-sim-pang yang jumlahnya selosin orang segera bergegas turun dari puncak untuk menghadang dua orang yang berani lancang naik ke puncak itu. Siang In dan Syanti Dewi sudah tidak bergurau lagi karena mendaki jalan naik itu cukup melelahkan, membuat mereka terutama Syanti Dewi menjadi kecapaian, keringatnya membasahi seluruh tubuh dan nafasnya agak memburu.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 56 Kisah Sepasang Rajawali Eps 25 Sepasang Pedang Iblis Eps 53

Cari Blog Ini